kearifan lingkungan pada masyarakat sasak

23
KEARIFAN LINGKUNGAN PADA MASYARAKAT SASAK ABSTRAK Budaya Indonesia sangat beragam dan merupakan aset dan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan. Salah satu budaya yang terkenal di Indonesia yaitu Budaya Sasak yang berasal dari Nusa Tenggara Barat. Pada masyarakat Sasak, kearifan lokal merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan agama dan adat budaya. Kearifan local digunakan untuk mengatur sistem sosial kemasyarakatan suku Sasak. Dalamkearifan local terdapat nilai kearifan lingkungan yang didasarkan pada mitos dan sistem kepercayaan. Kearifan lingkungan masyarakat suku Sasak tercermin dari kebiasaan mereka untuk selalu menjaga lingkungan di sekitarnya dan diwujudkan dalam berbagai ritual adat. Kata Kunci: Suku Sasak, kearifan lokal, kearifan lingkungan PENDAHULUAN Indonesia, sebagai sebuah bangsa, terbentuk dari aneka kultur dan struktur sosial yang berbeda-beda. Kebudayaan yang ada di Indonesia sangatlah beragam yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Setiap daerah di wilayah Indonesia pasti memiliki kebudayaan tradisional masing-masing. Keaneka ragaman budaya yang ada di Negara ini merupakan ciri khas dan kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia yang perlu dijaga dan dilestarikan.

Upload: rizki-amalia-tri-cahyani

Post on 11-Jan-2016

42 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Bahasa

TRANSCRIPT

Page 1: Kearifan Lingkungan Pada Masyarakat Sasak

KEARIFAN LINGKUNGANPADA MASYARAKAT SASAK

ABSTRAKBudaya Indonesia sangat beragam dan merupakan aset dan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan. Salah satu budaya yang terkenal di Indonesia yaitu Budaya Sasak yang berasal dari Nusa Tenggara Barat. Pada masyarakat Sasak, kearifan lokal merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan agama dan adat budaya. Kearifan local digunakan untuk mengatur sistem sosial kemasyarakatan suku Sasak. Dalamkearifan local terdapat nilai kearifan lingkungan yang didasarkan pada mitos dan sistem kepercayaan. Kearifan lingkungan masyarakat suku Sasak tercermin dari kebiasaan mereka untuk selalu menjaga lingkungan di sekitarnya dan diwujudkan dalam berbagai ritual adat.

Kata Kunci: Suku Sasak, kearifan lokal, kearifan lingkungan

PENDAHULUAN

Indonesia, sebagai sebuah bangsa, terbentuk dari aneka kultur dan struktur

sosial yang berbeda-beda. Kebudayaan yang ada di Indonesia sangatlah beragam yang

tersebar dari Sabang sampai Merauke. Setiap daerah di wilayah Indonesia pasti

memiliki kebudayaan tradisional masing-masing. Keaneka ragaman budaya yang ada

di Negara ini merupakan ciri khas dan kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia yang

perlu dijaga dan dilestarikan.

Budaya sangatlah berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Tidak

hanya berkaitan dengan hal-hal yang berbau seni dan adat istiadat saja namun budaya

juga dapat dilihat dari segi sosial, pola perilaku, bahasa, religi, dan hukum. Seiring

berkembangnya zaman budaya tradisional di masyarakat mulai terpengaruh oleh

perkembangan teknologi. Hal ini yang menyebabkan budaya yang ada di Indonesia

semakin punah dari generasi ke generasi.

Salah satu daerah yang masih kental akan kebudayaan tradisionalnya yaitu

Nusa Tenggara Barat. Dimana di daerah ini terkenal akan suku dan budaya Sasak.

Masyarakat di daerah tersebut kebanyakan menggunakan bahasa Sasak dalam

berkomunikasi. Bahasa Sasak yang berkembang di Lombok ternyata beragam. Hal ini

dapat dilihat dari dialeg maupun kosa katanya. Selain itu, baik budaya dan agama

Page 2: Kearifan Lingkungan Pada Masyarakat Sasak

disini juga sangat beragam. Komunitas agama yang ada di Suku Sasak mayoritas

beragama Islam, namun ada juga yang beragama Hindu, dan Kristen.

Suku bangsa Sasak memiliki adat istiadat yang kuat. Keteraturan hidup di

dalam lingkungan sosialnya terjaga dengan baik oleh ketaatan anggota masyarakat

melaksanakan berbagai nilai dan norma adat yang tertuang dalam adat istiadat

mereka. Oleh karenanya mereka kurang meminati masuknya modernisasi, yang

dianggap hanya akan menghilangkan tradisi-tradisi yang berharga, yang sangat

fungsional untuk menghadapi kondisi-kondisi yang ada dalam lingkungannya.

Dalam masyarakat suku Sasak dikenal istilah kearifan lokal dan kearifan

lingkungan. Kearifan local adalah bagaimana masyarakatan suku Sasak memegang

adat-istiadat mereka dalam kehidupan social sehari-hari. Adat yang sangat kental dan

kepatuhan mereka akan norma yang berlaku dapat menjaga keteraturan system social

kemayarakatan suku Sasak, bahkan di era modern sekalipun.

Cara berpikir orang Sasak lebih dikuasai sistem kepercayaan, begitu yakin jika

mereka memperlakukan sumber hidup tidak semestinya, maka akan mendatangkan

mala petaka atau bencana besar. Dengan demikian, mereka tidak sembarangan

menebang kayu atau pohon-pohon di hutan. Begitu pula di sumber air, dijaga dengan

sebaik-baiknya dengan cara mengirimkan sesajen pada waktu-waktu tertentu,

khususnya Malam Jum'at. Mereka juga memanfaatkan air sesuai dengan kebutuhan.

Sikap-sikap inilah yang disebut sebagai kearifan lingkungan suku Sasak. Sistem

kepercayaan suku Sasak menuntut masyarakat suku Sasak untuk selalu menjaga

lingkungan di sekitarnya.

SUKU SASAK

Pulau Lombok adalah sebuah pulau di kepulauan Sunda kecil atau Nusa

Tenggara yang terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelah barat dan Selat

Alas di sebelah timur dari Sumbawa. Dan Sasak merupakan suku asli pulau Lombok,

Nusa Tenggara Barat. Meskipun Lombok sangat dipengaruhi oleh budaya Bali yang

mayoritas memeluk agama Hindu Bali tetapi suku Sasak di Lombok mayoritas

memeluk Islam.

Etnis Sasak merupakan etnis mayoritas penghuni pulau Lombok, suku Sasak

merupakan etnis utama meliputi hampir 95% penduduk seluruhnya. Bukti lain juga

Page 3: Kearifan Lingkungan Pada Masyarakat Sasak

menyatakan bahwa berdasarkan prasasti tong-tong yang ditemukan di Pujungan, Bali.

Suku Sasak sudah menghuni pulau Lombok sejak abad IX sampai XI masehi. Kata

Sasak pada prasasti tersebut mengacu pada tempat suku bangsa atau penduduk seperti

kebiasaan orang Bali sampai saat ini sering menyebut pulau Lombok dengan gumi

Sasak yang berarti tanah, bumi atau pulau tempat bermukimnya orang Sasak.

Disamping bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, penduduk pulau

Lombok terutama suku Sasak, menggunakan bahasa Sasak atau bahasa asli mereka

sebagai bahasa utama dalam percakapan sehari-hari. Di seluruh Lombok sendiri

bahasa Sasak dapat dijumpai dalam empat macam dialek yang berbeda yakni dialek

Lombok utara , tengah, timur laut dan tenggara.

Mata pencaharian mereka berasal dari lahan pertanian, peternakan dan hanya

sebagian kecil saja yang mata pencahariannya berasal dari pariwisata. Mereka

bertanam padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kedele,

maupun sorgum. Selain itu, mereka mengusahakan kebun kelapa, tembakau, kopi, dan

tebu. Peternakan merupakan mata pencaharian sampingan. Mereka beternak sapi,

kerbau, dan unggas. Mata pencaharian lain adalah usaha kerajinan tangan berupa

anyaman, barang-barang dari rotan, ukir-ukiran, tenunan, barang dari tanah liat,

barang logam, dan lain-lain. Kain tenun songket Sasak merupakan salah satu yang

terbaik dan sangat diminati oleh para wisatawan. Di daerah pantai mereka juga

menjadi nelayan.

Suku Sasak merupakan daerah yang memiliki sistem kemasyarakatan yang

terdiri dari pelapisan social dan system kekerabatan. Di daerah lombok secara umum

terdapat 3 Macam lapisan sosial masyarakat yaitu golongan ningrat, golongan

pruangse, dan Golongan Bulu Ketujur atau Masyarakat Biasa.

Yang kedua adalah sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan di Tolot-tolot

khususnya dan lombok selatan pada umumnya adalah berdasarkan prinsip Bilateral

yaitu menghitung hubungan kekerabatan melalui pria dan wanita. Kelompok terkecil

adalah keluarga batin yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan Anak.

Suku Sasak memiliki budaya dan adat istiadat yang berbeda dari suku atau

daerah lainnya, sehingga menjadikan suku Sasak termasuk suku atau daerah yang

memiliki budaya dan adat istiadat yang sangat unik.

Etnis Sasak merupakan salah satu suku yang tetap mempertahankan tradisi dan

adat tradisional bahkan di era modern seperti saat ini. Hal ini tercermin pada sikap

Page 4: Kearifan Lingkungan Pada Masyarakat Sasak

mereka yang memegang teguh system kepercayaan dan hukum adat. Namun, justru

dengan sikap demikian masyarakat Sasak dapat tumbuh menjadi suatu komunitas

yang memiliki nilai-nilai luhur yang saat ini sudah hampir punah di kalangan

masyarakat modern. Nilai-nilai luhur tersebut tidak hanya terbatas pada sikap mereka

terhadap satu sama lain, namun juga sikap mereka terhadap lingkungan di sekitarnya.

KEARIFAN LOKAL

Etnik Sasak adalah penganut kepercayaan adat yang sangat kuat dan fanatic.

System kepercayaan sebagai dasar filosofi hidupnya terlihat kental dalam praktek dan

tradisi hidup keseharian. Pada masyarakat Sasak, kearifan lokal merupakan hal yang

tidak dapat dipisahkan dengan agama dan adat budaya. Kearifan local bahkan

digunakan untuk mengatur sistem sosial kemasyarakatan. Karenanya kehidupan

masyarakat Sasak dipenuhi aturan mengenai cara bermasyarakat yang arif lagi

bijaksana. Ini tercermin dari petuah orang-orang Sasak terdahulu yang masih

dipegang teguh hingga sekarang.

Kearifan local juga tercermin pada kehidupan sosial masyarakat. Menurut

Zulyani (1990), beberapa kearifan yang dimiliki masyarakat Sasak, yaitu: saling

jot/perasak (saling memberi atau mengantarkan makanan); pesilaq (saling undang

untuk suatu hajatan keluarga); wales/bales (saling balas silaturrahmi, kunjungan atau

semu kebaikan yang pernah terjadi); saling tembung/sapak (saling tegur sapa jika

bertemu atau bertatap muka antarseorang dengan orang lain dengan tidak

membedakan suku atau agama) dan saling saduq (saling mempercayai dalam

pergaulan dan persahabatan). Sikap-sikap tersebut apabila di transformasikan secara

utuh akan menimbulkan kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan

bermasyarakat suku Sasak.

Kearifan lokal lain masyarakat suku Sasak adalah mereka masih berpegang

teguh pada hukum adat atau warga sering menyebutnya awig-awig. Awig-awig adalah

suatu bentuk aturan hukum tradisional baik tertulis atau tidak yang dibuat oleh

anggota secara mufakat sebagai pedoman bagi tingkah laku masing-masing anggota.

Selain awig-awig, juga terdapat istilah krama. Sejak masa lampau etnis Sasak telah

mengenal tentang wadah yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat

Page 5: Kearifan Lingkungan Pada Masyarakat Sasak

mereka dan tempat mereka mencari rujukan untuk menetapkan sanksi atas terjadi

pelanggaran dalam tata pergaulan komunitasnya. Wadah itulah yang disebut krama.

Menurut Ismail dkk (2009) krama, yaitu institusi adat yang memayungi

kearifan local, terdiri dari dua macam: karma sebagai lembaga adat dan karma

sebagai aturan pergaulan social. Krama sebagai lembaga adat dibagi menjadi tiga

tingkatan. Krama tingkat paling rendah adalah karma banjar urip pati yang hanya

beranggotakan kelompok-kelompok masyarakat dalam suatu dusun atau desa.

Tingkatan selanjutnya adalah karma gubuk, beranggotakan seluruh masyarakat dalam

suatu desa tanpa terkecuali. Tingkatan paling tinggi adalah karma desa, yaitu majelis

adat tingkat desa. Krama desa memiliki fungsi seperti pengadilan negeri daerah.

Krama desa memiliki hierarki kekuasaan tersendiri, terdiri dari Pemusungan (Kepala

Desa Adat), Juru Arah (Pembantu Kepala Desa), Lang-Lang Desa (Kepala Keamanan

Desa), Jaksa (Hakim Desa), Luput (Koordinator Kesejahteraan Desa), dan Kiai

Penghulu.

Krama sebagai aturan pergaulan sosial dibagi menjadi tiga bagian, yaitu titi

karma, bahasa karma, dan aji karma. Titi krama, merupakan adat yang diatur awig-

awig sebagai hasil kesepakatan adat dari seluruh rnasyarakat adat. Jika dilanggar,

dikenakan sanksi sosial atau sanksi moral seperti adat bejiran (bertetangga), adat

nyangkok (menginap di rumah pacar). Bahasa krama, merupakan budi pekerti, sopan

santun atau tata tertib adat yang diatur dalam awig-awig adat yang harus dilakukan

dengan bahasa lisan dan bahasa tubuh yang santun dan tertib, dilakukan dengan penuh

tertib-tapsila. Dalam bahasa krama terdapat beberapa kaidah dan tata bahasa yang

termuat dalam kearifan lokal masyarakat Sasak, antara lain: tata bahasa, indit bahasa,

rangin bahasa, paribahasa. Aji krama, merupakan harga adat komunitas atau juga

harga status sosial seseorang atau nilai martabat kekerabatannya seseorang yang

terkait dengan hak adat dalam komunitas, baik dalam lingkungan keluarga maupun

dalam lingkungan masyarakat adat secara umum. Aji krama ini mencerminkan

pengakuan terhadap status sosial sesorang dalam masyarakat. .

Nilai-nilai kearifan lokal dalam komunitas Sasak yang tinggi dan sangat cocok

diterapkan dalam kehidupan dewasa ini dan di masa depan, terdapat dalam ungkapan

bahasa yang dipegang teguh dalam pergaulan, yang berwujud peribahasa dan pepatah

sebagai perekat pergaulan masyarakat Sasak. Dalam komunitas Sasak diistilahkan

dengan sesenggak. 

Page 6: Kearifan Lingkungan Pada Masyarakat Sasak

Sesenggak, yaitu ungkapan bahasa tradisional yang berbentuk peribahasa dan

pepatah sebagai perekat pergaulan masyarakat Sasak. Dalam ajaran sesenggak banyak

terkandung ajaran-ajaran dan nilai-nilai kearifan tradisional, seperti mengajarkan

tentang ketuhanan, pendidikan, moral, hukum dan sebagainya. Beberapa contohnya

antara lain: “adeqta/adeqte tao jauq aiq”, maknanya bahwa dalam suatu perselisihan

atau pertengkaran yang sedang terjadi dan memanas, kita harus mampu menjadi

pendingin; dan “besual/besiaq cara anak kemidi”, maknanya boleh saja kita

berselisih pendapat, tetapi tidak boleh menyimpan dendam.

Masyarakat suku Sasak menjadikan adat-istiadat, kepercayaan, bahkan petuah

leluhur sebagai filosofi hidup mereka. Nilai-nilai luhur tersebut tidak hanya mengatur

kehidupan social masyarakat Sasak, namun juga turut berperan menciptakan kearifan

lingkungan masyarakat Sasak. Nilai kearifan local dalam sistem kepercayaan secara

tidak langsung telah membentuk sikap kepedulian lingkungan pada masyarakat

Sasak.

KEARIFAN LINGKUNGAN

Kearifan lingkungan masyarakat suku Sasak tercermin dari kebiasaan mereka

untuk selalu menjaga lingkungan di sekitarnya. Sikap ini didasari dari filosofi hidup

mereka, yang memegang teguh adat istiadat dan system kepercayaan. Bagi orang

Sasak, hidup di dunia ini sifatnya sementara. Untuk itu maka setiap orang haruslah

selalu berbuat baik. Manusia harus mengikuti adat istiadat yang berlaku, selalu

memberikan sajian kepada arwah leluhur yang menjaga desa dan tempat-tempat

tertentu.

Orang Sasak relatif tidak terlalu mengejar materi dan keduniawian. Menurut

anggapan mereka, apa yang dialami sekarang sudah cukup. Oleh karena itu sikap

hidup yang mewarnai mereka adalah pasrah terhadap nasib. Dengan demikian setiap

yang dihasilkan mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan biologis dan menunaikan

tugas-tugas sosialnya ataupun kewajiban-kewajiban ritualnya. Rejeki yang diperoleh

sebagai hasil kerja mereka, sebagian harus dikorbankan untuk tujuan-tujuan

memenuhi adat istiadat mereka, serta keperluan pemujaan kepada arwah leluhur.

Sebab menurut anggapan mereka, rejeki itu bukan semata-mata karena prestasi

mereka, tetapi berkat kemurahan dari Tuhan dan pertolongan arwah leluhur yang

Page 7: Kearifan Lingkungan Pada Masyarakat Sasak

memelihara tempat-tempat tertentu. Tempat-tempat tertentu dianggap mempunyai

kekuatan sakti dan ditempati oleh mahluk harus yang harus dipuja dan dihormati,

seperti hutan, pohon-pohon besar, sumber air dan sebagainya, yang semuanya

merupakan sumber kehidupan bagi orang Sasak, yang selalu harus dijaga dan diolah

untuk kebutuhan mereka.

Suatu hal yang dipedomani mereka secagai cara untuk selalu menjaga

keserasian hubungan dengan lingkungannya. Hutan yang dianggap memiliki penghuni

tidak sembarang bisa dimasuki apalagi dtebangi pohon-pohonnya. Begitu pula sumber

air dan sumber daya alam lainnya sangat dipercaya dapat mendatangkan musibah

apabila tidak diperlakukan dengan baik, karena tempat-tempat tersebut ada

penghuninya. Mereka membutuhkan air untuk hidupnya, karenanya sumber-sumber

air harus selalu dijaga dengan baik. Berbagai ketentuan, pantarangan atau tabu

tersebut harus dipatuhi. Peran tabu dan aturan (awig-awig) tersebut dapat

mengendalikan tindakan pemanfaatan sumber daya alam agar tidak merusak, tamak

dan tidak mencemari.

System kepercayaan pada masyarakat Sasak telah menjaga lingkungan dan

alam di sekitar mereka. Namun, system kepercayaan yang mereka anut tidak hanya

terbatas dari mitos masyarakat saja. Kepercayaan mereka terhadap petuah leluhur juga

turut melahirkan sikap kearifan lingkungan. Petuah yagn terkenal dalam masyarakat

Sasak adalah Solah mum gaweq, solah eam daet, bayoq mum gaweq bayoq eam daet”.

Petuah ini memiliki arti “Baik yang dikerjakan maka akan mendapat kebaikan dan

buruk yang dikerjakan maka akan mendapatkan keburukan”. Masyarakat suku Sasak

memahami bahwa seluruh alam raya diciptakan untuk digunakan oleh manusia dalam

melanjutkan evolusinya, hingga mencapai tujuan penciptaan. Kehidupan mahluk-

mahluk Tuhan saling terkait. Bila terjadi gangguan yang luar biasa terhadap salah

satunya, maka mahluk yang berada dalam lingkungan hidup akan ikut terganggu pula.

Dalam petuah tersebut jelas terlihat bahwa perusakan terhadap alam dan

lingkuran merupakan hal yang bersifat tabu. Perusakan terhadap alam akan sangat

berpengaruh terhadap makhluk hidup di sekitarnya. Masyarakat susu Sasak tidak

hanya mengaplikasikan nilai kearifan lingkungan dalam kehidupan sehari-hari.

Kearifan lingkungan masyarakat suku Sasak juga diwujudkan dalam berbagai tradisi

adat. Beberapa diantaranya adalah tradisi malelang, menjango, dan bau nyale.

Page 8: Kearifan Lingkungan Pada Masyarakat Sasak

KEARIFAN LINGKUNGAN DALAM TRADISI MASYARAKAT SASAK

Tradisi Malelang

Pola pengelolaan lingkungan bagi orang Sasak masih sangat dipengaruhi oleh

system pengetahuan dan kepercayaan yang diwariskan secara turun temurun. Mereka

memiliki system pengetahuan tentang gejala-gejala alam, perhitungan waktu yang

baik untuk melaksanakan suatu kegiatan, dan sebagainya.

Bagi orang Sasak, keberhasilan panen tidak terlepas dari sikap dan prilaku

mereka yang selalu menghormati dan memanjakan lingkungan alamnya. Keberhasilan

panen inipun disyukuri mereka dalam berbagai bentuk upacara dan atraksi, salah

satunya adalah maleang. Sampai saat ini kebiasaan mempertunjukkan malenag tetap

hidup dan berkembang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan para

petani Sasak.

Malelang merupakan tradisi yang berkembang menjadi permainan rakyat.

Cara berpikir orang Sasak yang lebih dikuasai sistem kepercayaan, begitu yakin jika

mereka memperlakukan sumber hidup tidak semestinya, maka akan mendatangkan

mala petaka atau bencana besar. Sebagai contohnya pandangan yang melatarbelakangi

pengolahan sawah. Bahwa tanah pertanian itu harus dianggap sakral, oleh karenanya

alat pertanian yang digunakan harus yang telah ditentukan oleh sistem kepercayaan

yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Sawah hanya boleh diinjak-injak oleh

sapi atau kerbau pada waktu pembajakan dan garu.

Dengan demikian para petani Sasak masih mengerjaan lahan pertanian secara

tradisional. Para petani juga mengerjakan lahan secara gotong royong. Jika tanah

sudah mulai rata, para petani yang sedang bergotong royong tersebut biasanya lalu

memacu sapinya di tanah yang berlumpur. Ternyata berpacu di tanah berlumpur dan

berair ini menimbulkan kegembiraan. Ini dirasakan bukan saja oleh para pelakunya,

tetapi juga oleh orang-orang yang menyaksikan. Keadaan seperti itulah kemudian

berkembang menjadi permainan maleang hingga sekarang. Akhirnya Maleang

dijadikan sebagai permainan rakyat yang dapat diselenggarakan oleh setiap lapisan

masyarakat, khususnya petani.

Tanah yang diolah dengan menggunakan sapi ini lebih gembur dari pada jika

diolah dengan traktor. Oleh karena itulah para petani Sasak tidak berniat akan alih

teknologi untuk pengerjaan lahan pertaniannya. Kualitas tanah dapat dipertahankan

Page 9: Kearifan Lingkungan Pada Masyarakat Sasak

hingga beberapa generasi berikutnya. Pengetahuan masyarakat yang masih sederhana,

menganggap teknologi baru hanyalah akan membawa masalah baru bagi sumber daya

yang tersedia. Oleh karenanya mereka tetap bertahan untuk melanjutkan warisan

leluhur mereka dengan mengerjakan lahan pertanian secara tradisional.

Tradisi Menjango

Masyarakat suku Sasak mengenal tradisi menjango, yaitu datang melihat areal

yang layak atau tidak layak untuk usaha pertanian, ini sama dengan kegiatan survei.

Menjango merupakan penentuan lahan yang digarap, diberi tanda (pengajiran) agar

tidak digarap orang lain. Lantas menentukan hari baik untuk mengerjakannya dengan

mengacu pada uriga (kalender) atau pranata mangsa. Proses ini mirip pemetaan lahan.

Bukak tanak (membuka tanah), menggarap lahan, atau tahap pengolahan dan

penanaman.

Upaya konsevasi juga terlihat dari istilah yang diberikan pada pohon yang

dalam pertumbuhannya memerlukan jangka waktu relatif lama dan bernilai ekonomis

tinggi. Umpamanya, julukan prabu nangka untuk kayu nangka, batara suren pada

kayu suren dan tumenggung jati bagi kayu jati. Julukan itu simbolisasi kegiatan

konservasi, mengingat kayu suren yang berbau harum,, kayu jati yang harganya mahal

ternyata menjadi buruan banyak orang.

Tradisi menjango dapat mengendalikan kegiatan pembukaan hutan secara

berlebihan. Tidak semua ruang termasuk hutan dapat diperuntukkan untuk kegiatan

produksi maupun lokasi permukiman. Dengan demikian secara tidak disadari, bahwa

dengan sendirinya telah terbangun ruang-ruang konservasi yang tidak boleh

dieksploitasi.

Tradisi Bau Nyale

Tradisi bau nyale merupakan upacara adat yang diadakan satahun sekali oleh

masyarakat suku Sasak. Upacara ini dilakukan dengan menangkap nyale atau cacing

laut. Meski demikian, maksud upacara Bau Nyale bukan sekedar untuk memperoleh

nyale saja. Akan tetapi mereka ingin memperoleh ke selamatan dan kesejahteraan,

terutama yang berhubungan dengan upacara memohon kesuburan tanaman padi yang

Page 10: Kearifan Lingkungan Pada Masyarakat Sasak

baru selesai di tanam, dengan harapan akan memperoleh hasil panen yang baik pada

tahun yang bersangkutan. Perkiraan, panen yang akan di perolehnya akan segera

tergambar pada warna nyale yang keluar pada tahun itu. Menurut kepercayaan

mereka, panen padi akan melimpah bila warna putih, hitam, gading, kuning dan

coklat. Kelengkapan warna itu juga menunjukan pula/pertanda akan banyak turun

hujan sesudah Nyale.

Dengan tetap dipertahankannya tradisi Bau Nyale ini, dengan sendirinya

masyarakat akan menjaga lingkungan di sekitar pantai, sehingga tidak tercemar oleh

sampah atau kotoran. Apalagi bila sudah tiba musim hujan. Polusi dan bibit penyakit

akan bertebaran apabila lingkungan di sekitar pantai tidak dijaga dengan baik.

Kearifan masyarakat setempat tercermin dalam upaya masyarakat memelihara

dan melestarikan tradisi Bau Nyale yang dikaitkan dengan kesuburan. Hasil panen

padi akan melimpah bila warna nyale yang keluar pada tahun yang bersangkutan

lengkap. Itu sebenarnya memiliki arti bahwa nyale atau cacing tersebut sebenarnya

dapat menyuburkan tanah. Sehingga tanah tempat menanam padi tersebut menjadi

subur maka dengan sendirinya akan menghasilkan panen yang baik pula. Bahkan

setiap keluarga berusaha mendapatkan uang untuk membeli nyale untuk kesuburan

tanamannya.

Sebenarnya kepedulian penduduk terhadap lingkungan sudah ada sejak dulu,

semenjak kehidupan nenek moyang mereka. Aspek lingkungan merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari kelangsungan kehidupan manusia seperti yang dilakukan

oleh masyarakat Sasak. Dengan adanya upacara Bau Nyale pada masyarakat Sasak,

maka tanpa disadari masyarakat telah memelihara lingkungan secara arif.

PENUTUP

Suku Sasak merupakan suku yang sangat kental akan nilai adat, tradisi, dan

kepercayaan. Suku Sasak memiliki nilai-nilai luhur yang merupakan warisan budaya

dari generasi-generasi pendahulunya. Nilai-nilai kearifan lokal dalam komunitas

Sasak terkandung dalam petuah leluhur, hukum adat atau awig-awig, krama, dan

sesenggak atau peribahasa. Nilai-nilai luhur tersebut kemudian menjadi kearifan local

masyarakat Sasak dan digunakan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat mereka.

Page 11: Kearifan Lingkungan Pada Masyarakat Sasak

Dalam kearifan local masyarakat Sasak ternyata juga terkandung nilai kearifan

lingkungan. Kearifan lingkungan tersebut tercipta dari berbagai mitos dan petuah

yang diyakini masyarakat Sasak sebagi sesuatu yang sakral. Kearifan lingkungan

masyarakat Sasak tidak hanya terwujud dalam kehidupan sehati-hari, namun juga

diwujudkan dalam berbagai tradisi adat. Beberapa diantaranya adalah tradisi

malelang, menjango, dan bau nyale.

Melalui tradisi maleang ternyata dapat menciptakan rasa kesetiakawanan

sosial, meningkatkan etos kerja, pengembangan usaha ternak sapi, serta peningkatan

hasil panen. Sedangkan tradisi menjango dapat mengendalikan kegiatan pembukaan

hutan secara berlebihan. Tidak semua ruang termasuk hutan dapat diperuntukkan

untuk kegiatan produksi maupun lokasi permukiman. Dengan demikian secara tidak

disadari, bahwa dengan sendirinya telah terbangun ruang-ruang konservasi yang tidak

boleh dieksploitasi. Kemudian dengan adanya upacara Bau Nyale pada masyarakat

Sasak, secara tidak langsung masyarakat telah memelihara lingkungan secara arif.

Nilai kearifan lingkungan masyarakat Sasak merupakan hal yang bersifat

tradisional. Alam dan lingkungan justru terjaga berkat sikap masyarakat Sasak yang

tidak menerima modernisasi. System kepercayaan yang mereka anut membuat

masyarakat Sasak secara tidak sadar selalu menjaga lingkungan di sekitarnya.

Nilai kearifan lingkungan masyarakat Sasak seharusnya dapat diterapkan

pada masyarakat modern. Sikap masyarakat modern yang cenderung acuh terhadap

lingkungan akan menimbukan kerusakan alam secara perlahan-lahan. Dengan

menerapkan nilai kearifan lingkungan kepada masyarakat modern diharapkan dapat

mengubah perspektif masyarakat modern. Lingkungan dan alam tidak lagi dipandang

sebagai sesuatu yang remeh, namun sebagai hal penting yang harus terus dijaga

kelestariannya.

Page 12: Kearifan Lingkungan Pada Masyarakat Sasak

DAFTAR RUJUKAN

Ismail, M. Sukardi, dan Suud Surachman. 2009. Pengembangan Model Pembelajaran

IPS Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Sasak : Kearah Sikap dan

Berprilaku Berdemokrasi Siswa SMP/MTs, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran

Jilid 42, Nomor 2, Juli 2009, Singaraja : Undiksha

Hidayah, Zulyani. 1990. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia.

Kementerian Lingkungan Hidup. 2009. Bunga Rampai Kearifan Lingkungan.

Page 13: Kearifan Lingkungan Pada Masyarakat Sasak

KEARIFAN LINGKUNGAN PADA MASYARAKAT SASAK

OLEH:DESINTA NUR L. (105060100111005)RIZKI A. T. CAHYANI (105060100111025)NIKEN NURDIANI (105060101111018)TIARA GEA N. (105060100111029)IMANUDDIN (105060100111040)SOFYAN SAURI (105060101111018)ADITYA W. (115060107111007)MOCH. FACHRUR R. (115060100111016)

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS TEKNIK

JURUSAN SIPIL

Page 14: Kearifan Lingkungan Pada Masyarakat Sasak

TUGAS I

TEKNIK PONDASI

OLEH:

NAMA : RIZKI A. T. CAHYANI NIM : 105060100111025NO. ABSEN : 19

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS TEKNIK

JURUSAN SIPIL

Page 15: Kearifan Lingkungan Pada Masyarakat Sasak