kearifan lokal masyarakat suku baduy terhadap lingkungan
TRANSCRIPT
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUKU BADUY TERHADAP
LINGKUNGAN
(Studi Kasus pada Masyarakat Baduy Dalam, Kampung Cibeo, Lebak,
Banten)
Disusun Oleh :
Hanna Marissa (4915116890)
Mu’iz Lidinillah
4915111646
Skripsi ini Ditulis untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan IPS
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
2015
I
ABSTRAK
Mu’iz Lidinillah, Kearifan Lokal Masyarakat Suku Baduy Terhadap Lingkungan(Studi Kasus Pada Masyarakat Bady Dalam, Desa Cibeo, Lebak, Banten),Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial,Universitas Negeri Jakarta, 2015.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi terkait perilakumasyarakat Suku Baduy terhadap lingkungan berupa pengetahuan mereka tentangbercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup. Penelitian ini dilakukanselama 3 bulan di Desa Cibeo, Baduy Dalam.
Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskiptif denganpendekatan kualitatif. Kegiatan wawancara secara mendalam dilakukan kepadapara narasumber dan informan, yaitu pimpinan adat, pimpinan kampung (jaro,kokolot), dan warga Baduy Dalam yang terpilih sebagai informan kunci..Informan kunci dipilih secara snowballing dimulai dari Jaro Pamarentah Kanekeshingga warga masyarakat Baduy Dalam yang sangat mengetahui tentang topiktersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cara masyarakat Baduy menjagakearifan lokalnya dengan mematuhi aturan yang sudah ditentukan adat. Aturanadat mengajarkan kepada mereka tentang bagaimana cara merawat alam,melestarikan alam, dan hidup harmonis dengan alam.
Kesimpulannya, ditemukan berbagai macam kearifan lokal dalambercocok tanam yang mempunyai nilai-nilai luhur yang dapat diterapkan padapeserta didik atau siswa untuk membentuk karakternya. Bentuk kearifan lokaldalam bercocok tanam pada masyarakat Baduy berupa penghormatan terhadaptanaman padi karena diyakini sebagai penjelmaan Nyi Sri atau Nyi PohaciSanghyang atau Dewi Padi kemudian cara masyarakat Baduy mewariskankearifan lokal kepada generasi penerusnya yaitu melalui peran lembaga adat dankeluarga.
Kata Kunci : Kearifan Lokal, Baduy, Lingkungan
II
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Penanggung Jawab / Dekan Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
Dr. Muhammad Zid, M.Si
NIP. 19630412 199403 1 002
No Nama Tanda Tangan Tanggal
1. Dr. Budiaman, M.Si
NIP. 19671021 199403 1 002
Ketua .……………….. …..……………
2. Martini, SH,MH
NIP. 19710303 199803 2 001
Sekretaris .……………….. …..……………
3. Dr. Eko Siswono, M.Si
NIP. 19590316 198303 1 004
Dosen Pembimbing I .……………….. …..……………
4. Drs. Muhammad Muchtar, M.Si
NIP. 19540315 198703 1 002
Dosen Pembimbing II ………………… …..……………
5. Dr. Desy Safitri, M.Si
NIP. 19691204 200801 2 016
Penguji Ahli .………………. …..……………
Tanggal Lulus: 30 Juni 2015
III
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini menyatakan:
1. Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapat gelar akademik (ahli madya, sarjana, magister, dan / atau dokter),
baik di Universitas Negeri Jakarta maupun di Perguruan Tinggi lainnya.
2. Skripsi ini murni gagasan, rumusan, dan hasil penelitian saya sendiri,
kecuali arahan dosen pembimbing.
3. Dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
ataupun dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama
pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah
diperoleh karena skripsi ini.
5. Serta sanksi lainnya yang berlaku di Perguruan Tinggi ini.
Jakarta, Juli 2015
Yang Membuat Pernyataan,
(Mu’iz Lidinillah)
NIM. 4915111646
IV
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASISKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai civitas akademik Universitas Negeri Jakarta, saya yang bertandatangan di bawah ini:Nama : Mu’iz LidinillahNo. Registrasi : 4915111646Program Studi : Pendidikan IPSFakultas : Ilmu SosialJenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikankepada Universitas Negeri Jakarta Hak Bebas Royalti Non Ekslusif (Non-Exlusive Royalty Free Right) atas Skripsi saya yang berjudul : “Kearifan LokalMasyarakat Baduy Terhadap Lingkungan (Studi Kualitatif padaMasyarakat Baduy Dalam, Kampung Cibeo, Lebak, Banten)”.
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas RoyaltiNon Ekslusif ini Universitas Negeri Jakarta berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat,dan mempublikasikan Skripsi saya selama tetap mencantumkan nama sayasebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : JakartaPada Tanggal : Juli 2015
Yang Menyatakan
MU’IZ LIDINILLAH4915111646
V
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MottoGoreskanlah tinta kebenaran disetiap langkah yang kau buat, maka kan
kau temukan berlembar kebaikan didalamnya.
Belajarlah untuk terus belajar, hiduplah untuk terus hidup, dan matilahuntuk terus dikenang.
Ingatlah bahwa keberuntungan selalu hadir didalam kesempatan.
PersembahanAlhamdulillah, atas rahmat dan hidayah-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik.
Ku persembahkan skripsi ini untuk Ayahku Soeparman dan Ibuku Siti Aminah
yang selalu sabar membimbingku, atas doa, dan motivasi yang selalu diberikan
kepadaku, serta keluarga besarku atas dukungan dan doa selama ini.
Terima Kasih.
VI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini
yang merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta dengan tepat pada waktunya.
Dalam menyelesaikan skripsi ini peneliti mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu peneliti ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada :
1. Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada peneliti
sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Drs. H. Muhammad Muchtar, M.Si selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Ilmu Sosial.
3. Ibu Martini M. H selaku sekretaris Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial Fakultas Ilmu Sosial.
4. Bapak Dr. H. Eko Siswono, M.Si, selaku dosen pembimbing 1 yang telah
memberikan ilmunya, meluangkan waktu dan pemikirannya untuk membantu
penulis menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Sujarwo, M.Pd, selaku dosen pembimbing 2 yang telah memberikan
saran dan arahan kepada peneliti baik dalam hal penulisan maupun
kesempurnaan isi dari skripsi ini.
6. Kedua orang tuaku yaitu ayah dan ibu yang senantiasa menyertaiku dalam
doanya. Abangku Zia Mustofa yang telah memberi dukungan kepadaku.
VII
7. Dimas Prasetya yang telah memberikan tempat tumpangan untuk menginap
selama berbulan-bulan menyelesaikan skripsi ini.
8. Ayah Arja, Ayah Sami, Ayah Mursid yang telah mengizinkan dan
meluangkan banyak waktu untuk membantu dan memberikan informasi
kepada penulis hingga terselesaikan skripsi ini. Seluruh warga Baduy,
terimakasih telah memberi banyak bantuan kepada penulis. Pakde Rose yang
telah meminjamkan bukunya, memberikan dukungan dan motivasi kepada
penulis.
9. Bapak dan ibu dosen Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta.
10. Teman-teman jurusan PIPS angkatan 2011, yang telah membantu selama
proses pembuatan skripsi terutama untuk Muhammad Mukrim, Mahfud
Irfanto, Muhammad Afriaji, Dicky Tri Gusrian, Fitri Alawiyah sebagai teman
pejuang skripsi, teman berdiskusi, serta sebagai sahabat yang selalu bersedia
untuk memberikan kritik dan saran mengenai isi skripsi penulis dan selalu
memberikan motivasi kepada penulis.
11. Ramdhani Marshal S.Pd, Dedi Setiyawan S.Pd, Raja Bonar S.Pd, Bimo
Nugroho S.Pd, dan Abdul Latief S.Pd selaku senior PIPS yang selalu bersedia
memberikan masukan serta motivasi kepada penulis.
12. Kawan-kawan perkumpulan DPR Hanna Marisa, Qmen, Muslim Hanief,
Adih Firmansyah, Agung, Dian, Rio, Umar, Dara, Cipey, Cepong, Bella,
Kibo, Gatot, Faris, Raka, Vano, Angga, Tarmuji, Hafiz, Jhon, terima kasih
atas dukungan, doa, serta keceriaan yang selalu diberikan kepada peneliti.
VIII
Akhir kata peneliti memohon maaf kepada pihak-pihak yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu. Penulis mengucapkan terimakasih, dan berdoa
kepada ALLAH S.W.T, semoga segala dukungan, bantuan, motivasi, serta doa
yang diberikan mendapat balasan dari ALLAH S.W.T. Mohon maaf atas segala
kekurangan dan kekhilafan dalam skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi
penulis dan pembaca.
Jakarta, Juli 2015
Mu’iz Lidinillah
IX
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..................................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ..................... iv
MOTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Masalah Penelitian ...................................................................................... 3
C. Fokus Penelitian ......................................................................................... 3
D. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 4
E. Kegunaan Penelitian ................................................................................... 4
F. Kerangka Konseptual .................................................................................. 4
1. Hakikat Kearifan Lokal .......................................................................... 5
2. Hakikat Masyarakat Baduy .................................................................... 8
3. Hakikat Etika Lingkungan ...................................................................... 17
BAB II METODOLOGI PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian ........................................................................ 22
B. Sumber Data ............................................................................................... 24
C. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 25
D. Teknik Kalibrasi Keabsahan Data .............................................................. 27
E. Teknik Analisis Data .................................................................................. 28
BAB III HASIL TEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Masyarakat Baduy .................................................................... 30
1. Latar Belakang Masyarakat Baduy ........................................................ 30
X
2. Geografi Desa Kanekes .......................................................................... 33
3. Administrasi Desa Kanekes .................................................................... 33
4. Sistem Pemerintahan .............................................................................. 35
5. Aktivitas Perekonomian ......................................................................... 39
6. Religi dan Adat ....................................................................................... 41
B. Deskripsi Objek Penelitian .......................................................................... 44
1. Keluarga AJ ............................................................................................ 44
2. Keluarga AM ..........................................................................................
C. Pembahasan dan Hasil Temuan .................................................................. 72
1. Aktivitas Bercocok Tanam Masyarakat Baduy ...................................... 48
2. Lahan Bercocok Tanam Masyarakat Baduy .......................................... 58
3. Menetapkan Lahan Garapan ................................................................... 61
4. Menyiapkan Lahan Garapan .................................................................. 64
5. Masa Tanam ........................................................................................... 66
6. Masa Pemeliharaan ................................................................................. 68
7. Masa Panen ............................................................................................. 70
8. Konsumsi Makanan ................................................................................ 72
9. Pola Bercocok Tanam Masyarakat Baduy ............................................. 73
10. Hubungan Masyarakat Baduy Dengan Lingkungannya ....................... 79
11. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy dalam Bercocok Tanam ............... 80
12. Mewariskan Kearifan Lokal ................................................................. 83
13. Nilai-Nilai Luhur Dalam Kearifan Lokal Suku Baduy ........................ 85
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 92
B. Saran ........................................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 94
LAMPIRAN ................................................................................................... 96
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap suku bangsa di dunia mempunyai pengetahuan tentang alam
sekitarnya, alam flora dan fauna di daerah tempat tinggalnya dan tingkah laku
sesama manusia dalam ruang dan waktu. Dengan kata lain, manusia tidak bisa
lepas dengan lingkungan hidupnya. Proses interaksi antara manusia dengan
lingkungan selalu terjadi secara terus-menerus sehingga dapat menimbulkan
pengalaman. Pada giliranya, pengalaman-pengalaman tersebut kemudian
diabstraksikan menjadi konsep-konsep, teori-teori, dan pendidikan atau pedoman-
pedoman tingkah laku bermasyarakat.
Pada era globalisasi seperti sekarang ini, teknologi dan ilmu pengetahuan
mengalami perkembangan yang pesat sehingga dapat berpengaruh pada
lingkungan hidupnya. Namun, yang terjadi kemudian adalah bahwa teknologi
mulai disangsikan manfaatnya karena dapat merusak tata lingkungan dan
membawa bencana. Alam yang merupakan obyek pemenuhan kebutuhan
manusia. Tidak ada satupun kebutuhan manusia di dunia ini yang tidak tergantung
dari alam. Awalnya, manusia menyesuaikan dengan alam agar dia dapat bertahan
hidup. Berikutnya, sedikit demi sedikit alam dirubah agar sesuai dengan
kebutuhan manusia di dalamnya. Keserasian dan keseimbangan diberlakukan
agar manusia bersahabat dengan alam. Namun belakangan, keterdesakan untuk
1
2
memenuhi kebutuhan dan keinginan menjadikan manusia makin gencar
melakukan eksploitasi alam.
Kearifan lokal dalam dekade belakangan ini sangat banyak
diperbincangkan. Perbincangan tentang kearifan lokal sering dikaitkan dengan
masyarakat lokal dan dengan pengertian yang bervariasi. Indonesia merupakan
negara yang paling kaya dalam segi budaya. Indonesia mempunyai banyak suku
yang memliki kebudayaan masing-masing. Manusia adalah makhluk hidup
ciptaan Tuhan dengan segala fungsi dan potensinya yang tunduk kepada aturan
hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, mati, dan
seterusnya. Budaya adalah segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan
mengubah alam.1 Suku Baduy atau biasa disebut “masyarakat Kanekes” atau
pula disebut “masyarakat Rawayan” merupakan salah satu suku yang ada di
Indonesia, yang tinggal sekitar kaki pegunungan Kendeng di desa Kenekes,
Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Mereka itu tinggal
didaerah-daerah bukit terpencil, didaerah-daerah hutan wilayah pedesaan Banten
Selatan.
Pada masyarakat Baduy terdapat hal yang menarik yaitu kearifan lokal
mereka mengenai pandangan terhadap alam semesta. Masyarakat suku Baduy
sangat menjaga keseimbangan dan keselarasan dengan alam. Maka dari itu,
masyarakat suku Baduy selalu menjaga ajaran tentang menjaga alam serta
melestarikan. Hingga saat ini, masyarakat Baduy masih terikat pada pikukuh atau
adat yang kuat yang diturunkan dari generasi ke generasi. Insan Baduy yang
1 Koentjaningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Penerbit Universitas. 1965), hlm. 77-78
1
3
melanggar pikukuhakan memperoleh ganjaran adat dari puun atau pimpinan adat
tertinggi. Hal tersebut yang menciptakan masyarakat Baduy hidup berdampingan
dengan alam secara harmonis. Selain itu. masyarakat Baduy tidak mengeksploitasi
alam, mereka menggunakan seperlunya yang ada di alam dan disertai dengan
pelestarian.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melakukan penelitian terhadap
tingkah laku mereka dalam memperlakukan lingkungan sesuai dengan
pengetahuan lokal yang mereka miliki secara turun menurun, sehingga mereka
mampu hidup berdampingan selaras dengan alam.
B. Masalah Penelitian
1. Bagaimanakah cara masyarakat suku Baduy Dalam menjaga kearifan lokal
mereka dari pengaruh budaya luar?
2. Bagaimanakah cara masyarakat suku Baduy Dalam menjaga kearifan lokal dari
segi bercocok tanam?
C. Fokus Penelitian
Berdasarkan masalah penelitian di atas, maka penelitian ini difokuskan
pada kemampuan masyarakat Baduy menjaga kearifan lokal dalam bercocok
tanam dari masuknya budaya luar. Dengan kata lain bagaimana kemampuan
masyarakat Baduy menjaga kearifan lokal dengan bercocok tanam.
4
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dirumuskan tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh gambaran tingkah laku masyarakat Suku Baduy berupa
cara mempertahankan kearifan lokalnya dari budaya luar.
2. Untuk menggali informasi terkait tingkah laku masyarakat Suku Baduy berupa
kearifan lokal mereka tentang bercocok tanam.
E. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditemukan kegunaan dari penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan
terhadap kearifan lokal masyarakat Suku Baduy Dalam.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan terhadap
kearifan lokal masyarakat Suku Baduy Dalam, khususnya dalam hal bercocok
tanam.
3. Hasil penelitian ini diharapkan menambah referensi kajian pengetahuan dalam
ilmu sosial khususnya di jurusan Pendidikan IPS, terkait kearifan lokal
masyarakat Suku Baduy Dalam
F. Kerangka Konseptual
Dalam penelitian kualitatif, teori yang digunakan harus sudah jelas, karena
teori disini akan berfungsi untuk memperjelas masalah yang diteliti, sebagai dasar
5
untuk merumuskan hipotesis, dan sebagai referensi untuk menyusun instrumen
penelitian.2
1. Hakikat Kearifan Lokal
Kearifan lokal dalam dekade belakangan ini sangat banyak diperbincangkan
dan didengungkan. Perbincangan tentang kearifan lokal sering dikaitkan dengan
masyarakat lokal. Kearifan dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai
kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau
kecerdasan setempat (local genius). Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan
kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan
jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh
di dalam wilayah dimana komunitas itu berada.3
Kearifan lokal merupakan suatu bentuk warisan budaya Indonesia yang
telah berkembang sejak lama. Kearifan lokal lahir dari pemikiran dan nilai yang
diyakini suatu masyarakat terhadap alam dan lingkungannya. Dalam kearifan
lokal terkandung nilai-nilai, norma-norma, sistem kepercayaan, dan ide-ide
masyarakat setempat. Oleh karena itu kearifan lokal di setiap daerah berbeda-
beda. Kearifan lokal berkaitan erat dengan pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan. Masyarakat memiliki sudut pandang tersendiri terhadap alam dan
lingkungannya. Masyarakat mengembangkan cara-cara tersendiri untuk
memelihara keseimbangan alam dan lingkungannya guna memenuhi kebutuhan
hidupnya. Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan melalui pengembangan
2 Iskandar, Indranata, Pendekatan Kualitatif untuk Pengendalian Kualitas. (Jakarta: 2008, UI-Press), Hlm. 119
3 R. Cecep Eka Permana, Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Dalam Mitigasi Bencana (Jakarta:Wedatama Widya Sastra. 2010), hlm. 1
6
kearifan lokal memiliki kelebihan tersendiri. Selain untuk memelihara
keseimbangan sumberdaya alam dan lingkungannya, kebudayaan masyarakat
setempat pun dapat dilestarikan.
Kearifan lokal pada dasarnya memiliki bentuk di dalam masyarakat.
Bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa: nilai,
norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam
ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi bermacam-macam pula. Fungsi
tersebut antara lain adalah:
a. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam.
b. Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia.
c. Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
d. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan.
Kearifan lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat tersendiri
dalam kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan dalam kehidupan
masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk
menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi,
kondisi, kemampuan, dan tata niai yang dihayati di dalam masyarakat yang
bersangkutan. Dengan kata lain, kearifan lokal tersebut kemudian menjadi bagian
dari cara hidup mereka yang arif untuk memecahkan segala permasalahan hidup
yang mereka hadapi. Berkat kearifan lokal mereka dapat melangsungkan
hidupnya, bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan.
Sejalan dengan kearifan lokal, terdapat local genius. Menurut H.G Quaritch
(1948) local genius adalah kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi
7
pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan4.
Pengertian lain dari local genius oleh Hariyati Soebadio yang menyamakannya
dengan istilah cultural identity, yakni identitas atau kepribadian budaya bangsa
yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan
asing sesuai watak dan kemampuan sendiri.5 Di lain pihak, Mundardjito
mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena
telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya sebagai
berikut.6
a. Mampu bertahan terhadap budaya luar.
b. Memiliki kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya
asli.
c. Memiliki kemampuan mengakomodasir unsur-unsur budaya luar.
d. Mempunyai kemampuan mengendalikan.
e. Mampu memberikan arah pada perkembangan budaya.
Dengan demikian, baik kearifan lokal, pengetahuan lokal, maupun local
genius, pada dasarnya memiliki hakikat yang sama. Ketiga istilah tersebut
mendasari pemahaman bahwa kebudayaan itu telah dimiliki dan diturunkan secara
berkelanjutan dari generasi ke generasi selama ratusan bahkan ribuan tahun oleh
masyarakat setempat atau lokal. Kebudayaan yang telah kuat berakar itu tidak
mudah goyah dan terkontaminasi dengan pengaruh dari kebudayaan lain yang
masuk.
4 R. Cecep Eka Permana, Ibid, hlm. 95 Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa “Local Genius”. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hlm.
456 R. Cecep Eka Permana, Ibid, hlm. 10
8
2. Hakikat Masyarakat Baduy
Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan segala fungsi dan
potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami kelahiran,
pertumbuhan, perkembangan, mati, dan seterusnya. Masyarakat Baduy merupakan
proses perubahan dan perkembangan masyarakat dari yang masih bersahaja
menuju masyarakat yang kompleks. Masyarakat suku Baduy memiliki bentuk
kehidupan bersama di mana setiap anggota kelompoknya terikat oleh hubungan
batin dan bersifat alami serta bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa
cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Ferdinand Tonnies, tentang hubungan-hubungan positif antara
manusia selalu bersifat gemeinschaft (Paguyuban) dan gesellschaft
(Patembayan).7
Gemeinschaft adalah bentuk kehidupan bersama di mana setiap anggota-
anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat kekal. Dasar
hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah
dikodratkan. Bentuk gemeinschaft terutama akan dapat dijumpai di dalam
keluarga, kelompok kerabatan, rukun tetangga dan lain sebagainya.
Ferdinand Tonnies mengatakan bahwa gemeinschaft mempunyai beberapa
ciri pokok yaitu:8
a. Intimate, hubungan menyeluruh yang mesra.
b. Private, hubungan yang bersifat pribadi, yaitu khusus untuk beberapa orang
saja.
7 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1990), hlm.144
8 Soerjono Soekanto, Ibid, hlm 145
9
c. Exclusive, hubungan tersebut hanyalah untuk kita saja dan tidak untuk orang
lain di luar kita.
Masyarakat Baduy yang merupakan suatu gemeinschaft yang terdiri dari
orang-orang yang walaupun tak mempunyai hubungan darah ataupun mempunyai
hubungan darah, yang tempat tinggalnya tidak berdekatan ataupun yang bertempat
tinggal berdekatan, memiliki jiwa dan fikiran yang sama, dan ideologi yang sama.
Setiap suku pastinya memiliki pola dan karakteristik kebudayaan yang
berbeda beda. Tak terkecuali dengan masyarakat suku Baduy. Masyarakat suku
Baduy memiliki pola kebudayaan yang unik. Keunikan pola kebudayaan
masyarakat Baduy merupakan produk dari besarnya pengaruh alam terhadap
masyarakat yang hidupnya tergantung kepada alam. semakin tidak berdaya tetapi
di lain pihak semakin tergantung terhadap alam. Menurut Paul H Landis, sejauh
mana besar kecilnya pengaruh alam terhadap pola kebudayaan masyarakat desa
akan ditentukan oleh sejauh mana ketergantungan mereka terhadap pertanian,
tingkat teknologi mereka, dan sistem produksi yang diterapkan.9 Kebudayaan
tradisional akan tercipta apabila masyarakat amat tergantung kepada pertanian,
tingkat teknologinya rendah dan produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan
keluarga. Ciri-ciri kebudayaan yang ada pada masyarakat Baduy yang terbentuk
karena faktor alam adalah sebagai berikut:10
a. Sebagai konsekuensi dari ketidak berdayaan mereka terhadap alam, maka
masyarakat Baduy ini mengembangkan adaptasi yang kuat terhadap
lingkungan alamnya. Perladangan sangat tergantung kepada keadaan atau jenis
9 Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, (Yogyakarta: UGM Press. 2004) hlm.6510 Rahardjo, Ibid, hlm. 67
10
tanah, tingkat kelembaban, ketinggian tanah, topografi, banyaknya curah hujan,
dan lainnya. Lingkungan alam dengan elemen-elemen seperti itu cukup
bervariasi antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Maka masyarakat
Baduy mengembangkan tingkat dan bentuk adaptasi terhadap pelbagai
kekhususan lingkungan alam itu, sehingga dalam kaitan ini dapat dipahami
bahwa pola kebudayaan masyarakat Baduy terikat dan mengikuti karakteristik
khas lingkungan alamnya.
b. Pola adaptasi yang pasif terhadap lingkungan alam berkaitan dengan rendahnya
tingkat inovasi masyarakatnya. Masyarakat Baduy bekerja dengan alam.
Elemen-elemen alam yaitu jenis tanah, tingkat kelembaban, ketinggian tanah,
dan sebagainya, mengandung keajegan dan keteraturan. Dengan tingkat
kepastian yang cukup tinggi terhadap keajegan dan keteraturan alam tersebut,
maka mereka tidak terlalu memerlukan hal-hal yang baru. Semuanya serasa
telah diatur dan ditentukan oleh alam.
c. Faktor alam juga dapat mempengaruhi kepribadian masyarakat Baduy. Sebagai
akibat dari kedekatannya dengan alam, masyarakat Baduy mengembangkan
pedoman hidup yang organis. Yang dimaksud organis adalah mereka
cenderung memandang segala sesuatu sebagai suatu kesatuan. Pengaruh alam
juga terlihat pada pola kebiasaan hidup yang lamban. Kebiasaan hidup yang
lamban ini disebabkan karena mereka sangat dipengaruhi oleh irama alam yang
ajeg dan lamban. Tanaman yang tumbuh secara alami, semenjak tumbuh
hingga berbuah melewati proses-proses dan tahapan-tahapan yang ajeg.
Dengan cara tertentu orang dapat memperpendek usia tanaman dan
11
meningkatkan produktivitasnya, namun tetap ada batasnya. Orang tidak dapat
mempercepat proses pertumbuhan tanaman seperti memutar mesin. Maka
masyarakat Baduy sering dicap statis, bukan hanya karena mereka tidak
inovatif tetapi juga karena lamban.
d. Dominasi alam yang kuat terhadap masyarakat Baduy juga mengakibatkan
tebalnya kepercayaan mereka terhadap takhayul. Takhayul seperti ini
merupakan proyeksi dari ketakutan atau ketundukan mereka terhadap alam
yang disebabkan karena tidak dapat memahami dan mnguasai alam secara
benar.
e. Sikap yang pasif dan adaptif masyarakat Bduy terhadap alam juga nampak
dalam aspek kebudayaan material mereka yang relatif bersahaja.
Kebersahajaan itu nampak misalnya pada arsitektur rumah dan alat-alat
bercocok tanam.
f. Kebersamaan masyarakat Baduy terhadap alam juga menyebabkan rendahnya
kesadaran mereka akan waktu. Tanaman memiliki proses alami dengan paket
waktu tersendiri terlepas dari pengaturan dan campur tangan manusia. Orang
tinggal menanti proses yang alami itu. Akibatnya mereka tidak memiliki
kesadaran yang tinggi akan pentingnya waktu.
g. Besarnya pengaruh alam juga mengakibatkan masyarakat Baduy cenderung
bersifat praktis. Artinya, mereka tidak begitu mengindahkan segi keindahan.
Berkaitan dengan sifat praktis ini, masyarakat Baduy juga cenderung kurang
mengindahkan etika dalam pergaulan satu saa lain. Terlebih lagi karena mereka
hidup dalam kelompok yang selalu akrab dan sangat mengenal satu sama lain.
12
Dalam situasi seperti ini kurang memungkinkan mereka untuk
menyembunyikan sesuatu dari teman atau tetangga. Maka mereka tidak perlu
berbicara panjang lebar dan berbasa basi satu sama lain. Hal ini yang
mendorong masyarakat Baduy tumbuh dan berkembang sifat-sifat jujur, terus
terang dan suka bersahabat.
Demikianlah karakteristik-karakteristik kebudayaan masyarakat Baduy yang
terbentuk oleh pengaruh alam. sebagaimana dikemukakan di atas, besar kecilnya
pengaruh alam tergantung kepada sejauh mana ketergantungan mereka terhadap
alam, tingkat teknologi mereka, dan sistem produksi yang diterapkan. Pola
kebudayaan semacam ini akan menjadi semakin pudar seiring dengan kemajuan
teknologi, meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan alam, serta tujuan
produksi yang semakin berorientasi pada pencarian keuntungan.
Masyarakat Baduy memiliki mata pencaharian berburu dan meramu,
beternak, dan bercocok tanam di ladang atau bisa disebut food gathering
economic sebagai sumber kebutuhannya. Mata pencaharian ini merupakan suatu
mata pencaharian yang paling tua. Dalam hal ini, ketergantungan mereka terhadap
alam sangatlah tinggi. Sebagai contoh dalam bercocok tanam di ladang. Mereka
hanya mengandalkan air hujan sebagai sumber pengairan. Bentuk kegiatan
ekonomi masyarakat Baduy melalui barter atau tukar menukar barang. Dalam
pertukaran ini tidak melihat nilai barang, yang penting kebutuhan terpenuhi
Masyarakat Baduy merupakan masyarakat yang tidak pernah menerima
perubahan apapun. Aturan adat berperan penting dalam menjaga tatanan hidup
mereka. Sistem itu yang mengatur masyarakat Baduy sehingga dapat hidup
13
harmonis hingga saat ini. AGIL (Adaptation, Goal, Integration, Latency) yang
merupakan fungsi (function) adalah “kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah
pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem”. Menurut teori fungsional
struktural, masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-
bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam
keseimbangan.11 Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa
perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap
struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Teori struktural
fungsional memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara
menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.
Poloma (1979) menyatakan bahwa dalam teori struktural fungsional,
terdapat empat fungsi untuk semua sistem tindakan. Secara sederhana
fungsionalisme struktural adalah sebuah teori yang pemahamannya tentang
masyarakat didasarkan pada model sistem organik dalam ilmu biologi. Artinya,
fungsionalisme melihat masyarakat sebagai sebuah sistem dari beberapa bagian
yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Satu bagian tidak bisa dipahami
terpisah dari keseluruhan. Dengan demikian, dalam perspektif fungsionalisme ada
beberapa persyaratan atau kebutuhan fungsional yang harus dipenuhi agar sebuah
sistem sosial bisa bertahan. Parsons kemudian mengembangkan apa yang dikenal
sebagai imperatif-imperatif fungsional agar sebuah sistem bisa bertahan.
Imperatif-imperatif tersebut adalah: Adaptasi, Pencapaian Tujuan, Integrasi, dan
Latensi atau yang biasa disingkat AGIL (Adaptation, Goal Attainment,
11 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: 2013 Raja GrafindoPersada) hlm.21
14
Integration, Latency). Agar tetap bertahan (survive), suatu sistem harus memiliki
empat fungsi ini:12
a. Adaptation (Adaptasi): Sebuah sistem harus menangggulangi situasi eksternal
yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhanya.
b. Goal attainment (Pencapaian Tujuan): Sebuah sistem harus mendefinisikan dan
mencapai tujuan utamanya.
c. Integration (Integrasi): Sebuah sistem harus mengatur antarhubungan bagian-
bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola
antarhubungan ketiga fungsi penting lainya (A, G, L).
d. Latency (latensi atau pemeliharaan pola): Sebuah sistem harus melengkapi,
memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola
kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Skema AGIL (Adaptation, Goal, Integration, Latency) merupakan ciri
kehidupan masyarakat suku baduy, dimana masyarakat suku baduy itu yang
disebut sebuah sistem. Disini kita lihat Masyarakat baduy bila ditinjau dari konsep
AGIL :
a. Adaptation (Adaptasi)
Masyarakat Baduy beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya dengan cara
menjaga keharmonisan antara lingkungan dan tempat mereka melakukan
aktivitas.
b. Goal (Pencapaian Tujuan)
12 George Ritzer & Goodman J.Douglas, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media Group.2010), hlm. 123
15
Masyarakat Baduy harus memelihara apa yang sudah diwariskan dari
leluhurnya dan mewariskanya secara turun-temurun agar tercapai tujuan hidup
mereka.
c. Integration (Integrasi)
Masyarakat Baduy mempertahankan hubungan dari cara mereka beradaptasi,
mempertahankan tujuan hidup, dan mempertahankan warisan leluhur.
d. Latency (Pemeliharaan Pola)
Pola kehidupan masyarakat yang tak pernah berubah. Masyarakat Baduy selalu
memlihara warisan yang telah diberikan leluhurnya demi menjaga
keharmonisan kehidupan mereka. Bagi mereka, menjaga warisan yang telah
diberikan merupakan salah satu bentuk pengabdian mereka kepada leluhur
Skema Parsons (1935) ini mengajukan teori evolusioner yang menjelaskan
gerakan masyarakat dari primitif ke modern melalui empat proses perubahan
struktural utama, yaitu diferensiasi, adaptif upgrading, inkluisi, dan generalisasi
nilai-nilai. Adapun proses diferensiasi struktural dan perkembangan-
perkembangan yang berkaitan dengannya mempengaruhi proses evolusi, seperti
munculnya sistem stratifikasi sosial, organisasi birokratis, sistem uang, jaringan
pasar impersonal, dan pola-pola asosiasi demokratis, disebut universal
evolusioner, yang berperan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
adaptasi mereka.
Parsons mendesain skema AGIL (Adaptation, Goal, Integration, Latency)
ini untuk digunakan disemua tingkat dalam sistem teoritisnya. Dalam bahasan
tentang empat sistem tindakan dibawah, akan dicontohkan bagaimana cara
16
Parsons menggunakan skema AGIL Adaptation, Goal, Integration, Latency).
Organisme Perilaku adalah sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi
dengan menyesuaikan diri dengan dan mengubah lingkungan eksternal. Sistem
kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan
sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya. Sistem sosial
menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian yang
menjadi komponennya. Terakhir, sistem kultural melaksanakan fungsi
pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang
memotivasi mereka untuk bertindak.
Parsons menemukan jawaban problem didalam fungsionalisme struktural
dengan asumsi sebagai berikut:13
a. Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling
tergantung.
b. Sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan-diri atau
keseimbangan.
c. Sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.
d. Sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian
lain.
e. Sistem memelihara batas-batas dengan lingkunganya.
f. Alkasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk
memlihara keseimbangan sistem.
13 George Ritzer & Goodman J.Douglas, Ibid, hlm.124
17
g. Sistem cenderung menuju arah pemeliharaan keseimbangan-diri yang meliputi
pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan.
keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan
mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam.
Masyarakat suku Baduy memiliki keunikan dalam mengelola lingkunganya.
Mereka mengenal pandangan tanpa perubahan apapun. Tingkah laku yang sudah
menjadi kebiasaan yang diwariskan oleh leluhurnya membuat mereka bisa hidup
selaras dengan alam. Masyarakat suku Baduy menganggap alam merupakan
titipan yang Maha Kuasa yang apabila dijaga maka alam itu akan menjaga mereka
juga. Jadi masyarakat Baduy berdasarkan konsep AGIL (Adaptation, Goal,
Integration, Latency) yang dikemukakan oleh Talcott Parson sangat sesuai dengan
kenyataan yang ada.
3. Hakikat Etika Lingkungan
Lingkungan adalah suatu media dimana makhluk hidup tinggal, mencari
penghidupanya, dan memiliki karakter serta fungsi yang khas yang mana terkait
secara timbal balik dengan keberadaan makhluk hidup yang menempatinya,
terutama manusia yang memiliki peranan yang lebih kompleks dan riil. Di
Indonesia, etika lingkungan sebenarnya bukan barang baru. Nenek moyang kita
telah melakukan “kampanye” lingkungan melalui berbagai media seperti legenda,
mitos dan cerita rakyat. Jejak ini masih bisa di kenali dengan kental melalui
kearifan tradisional yang masih dipegang kuat oleh suku-suku di Indonesia. Salah
satunya Suku Baduy. Hampir semua filsuf moral yang berpandangan
18
antroposentris melihat etika lingkungan hidup sebagai sebuah disiplin filsafat
yang berbicara mengenai hubungan moral antara manusia dengan lingkungan atau
alam semesta, dan bagaimana perilaku manusia yang seharusnya terhadap
lingkungan hidup. Jadi, yang terutama menjadi fokus perhatian etika lingkungan
hidup, menurut pengertian ini, bagaimana manusia harus bertindak atau
bagaimana perilaku manusia yang seharusnya terhadap lingkungan hidup. Etika
lingkungan hidup disini dipahami sebagai disiplin yang mengatur perilaku
manusia dalam berhubungan dengan alam serta nilai dan prinsip moral yang
menjiwai perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam tersebut.14
Perkembangan baru dalam etika lingkungan hidup menuntut perluasan cara
pandang dan perilaku moral manusia dengan memasukkan lingkungan hidup atau
alam semesta sebagai bagian dari komunitas moral. Etika lingkungan hidup lalu
memasukkan pula semua makhluk nonmanusia ke dalam perhatian moral
manusia. Dengan kata lain, kendati bukan pelaku moral makhluk bukan manusia
pantas menjadi perhatian moral manusia karena mereka dipandang sebagai subyek
moral. sebagaimana dikatakan Schweitzer, “Kesalahan terbesar semua etika
sejauh ini adalah etika-etika tersebut hanya berbicara mengenai hubungan antara
manusia dengan manusia”.
Etika lingkungan hidup tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia
terhadap alam. Etika lingkungan hidup juga berbicara mengenai relasi antara
semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang
mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan makhluk hidup lain
14 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2010), hlm.40
19
atau alam secara keseluruhan. Termasuk didalamnya, berbagai kebijakan politik
dan ekonomi yang mempunyai dampak langsung atau tidak langsung terhadap
alam. Keraf mengatakan terdapat tiga model teori etika lingkungan, yakni yang
disebutnya sebagai Shallow Environtmental Ethics, Intermediate Environtmental
Ethics dan Deep Environtmental Ethics.15 Ketiga teori ini juga dikenal dengan
sebutan antroposentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme.
Antroposentrisme (Shallow Environtmental Ethics) Antroposentrisme
adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem
alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan
dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil berkaitan dengan
alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah kepentingan
manusia. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala
sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian
sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Biosentrisme adalah suatu
pandangan yang menempatkan alam sebagai yang mempunyai nilai dalam dirinya
sendiri, lepas dari kepentingan manusia. Dengan demikian, biosentrisme menolak
teori antroposentrisme yang menyatakan bahwa hanya manusialah yang memiliki
nilai dalam dirinya.
Teori biosentrisme berpandangan bahwa makhluk hidup bukan hanya
manusia. Ada banyak hal dan jenis makhluk yang memiliki kehidupan. Pandangan
biosentrisme mendasarkan moralitas pada keseluruhan kehidupan, entah pada
manusia atau pada makhluk hidup lainnya. Karena yang menjadi pusat perhatian
15A. Sonny Keraf, Ibid, hlm. 67
20
dan ingin dibela dalam teori ini adalah kehidupan. Dengan demikian, secara moral
berlaku prinsip bahwa setiap kehidupan di muka bumi ini mempunyai nilai moral
yang sama, sehingga harus dilindungi dan diselamatkan.
Ekosentrisme (Deep Environtmental Ethics) Ekosentrisme merupakan
kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme. Oleh karenanya teori ini
sering disamakan begitu saja karena terdapat banyak kesamaan. Yaitu pada
penekanannya atas pendobrakan cara pandang antroposentrisme yang membatasi
pemberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas
pemberlakuan etika untuk komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, konsep
etika dibatasi pada komunitas yang hidup (biotis), seperti tumbuhan dan hewan.
Sedang pada ekosentrisme, pemakaian etika diperluas untuk komunitas ekosistem
seluruhnya (biotis dan a-biotis).
Biosentrisme dan ekosentrisme, memandang manusia tidak hanya sebagai
makhluk sosial. Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis,
makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah,
tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling
tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik
semua makhluk dan memandang manusia tak lebih dari salah satu bagian dalam
jaringan kehidupan. Bagaimanapun keseluruhan organisme kehidupan di alam ini
layak dan harus dijaga. Ekosentrisme tidak menempatkan seluruh unsur di alam
ini dalam kedudukan yang hierarkis dan atau sub-ordinasi. Melainkan sebuah
kesatuan organis yang saling bergantung satu sama lain.
21
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini menggunakan konsep etika
lingkungan dan ekosentrisme karena apabila kita bicara pelestarian lingkungan,
tentu tidak akan terlepas oleh etika lingkungan. Maksud etika lingkungan disini
yaitu untuk menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungan dan bagaimana
seharusnya sikap manusia terhadap lingkungan. Manusia dan lingkungan tidak
bisa dilepaskan karena keduanya memiliki hubungan timbal balik. Lingkungan
menyediakan segala yang dibutuhkan manusia dan manusia harus bisa menjaga
lingkungan tersebut agar tetap terjaga. Etika lingkungan disini merupakan konsep
untuk memahami tindakan manusia dan lingkungan yang saling berkaitan.
22
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Cibeo Baduy Dalam. untuk
mencapai lokasi penelitian, diperlukan waktu kurang lebih 3 jam dikarenakan
akses menuju tempat penelitian itu hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki
melewati area perbukitan dan sungai. Jarak tempuh yang dilalui sekitar 13
kilometer dari pintu masuk menuju perkampungan Baduy. Sepanjang perjalanan
akan tersaji pemandangan hamparan sawah dilereng-lereng bukit, pohon-pohon
duren, pemukiman warga dan aren, serta terlihat juga hutan-hutan. Hutan yang
sunyi ditumbuhi dengan pohon-pohon yang tinggi menjulang. Pemandangan yang
indah terlihat dengan jelas di saat kita tepat berada di atas bukit. Alam yang selalu
terjaga dengan baik. Sungguh berbeda dengan pemandangan yang ditempat-
tempat indah yang lain.
Untuk mencapai perkampungan Suku Baduy, dibutuhkan waktu sekitar 90
menit lamanya dari kota Rangkasbitung. Desa kanekes adalah suatu daerah yang
hampir tanpa dataran dan semata-mata terdiri dari bukit-bukit serta lembah-
lembah yang curam dibeberapa tempat dan sungai-sungai yang menyebabkan
sulitnya mencapai kampung itu dalam waktu singkat. Dengan keadaan fisik yang
demikian ditambah dengan adat-istiadat yang dipatuhi masyarakat Baduy, apabila
dibandingkan dengan masyarakat sekelilingnya, maka masyarakat Baduy
diklasifikasikan sebagai masyarakat terasing khususnya di Jawa Barat.
22
23
Masyarakat Baduy dibagi menjadi dua yaitu masyarakat Baduy Tangtu
yang biasa disebut masyarakat Baduy Dalam dan masyarakat Baduy Panamping
yang biasa disebut masyarakat Baduy Luar. Yang membedakan masyarakat
Baduy Tangtu dengan Baduy Panamping yaitu dari cara pakaianya. Baduy Tangtu
berwarna putih, sedangkan Baduy Panamping berwarna hitam.
Hingga saat ini masyarakat Baduy masih terikat pada pikukuh (aturan adat)
yang diturunkan dari generasi ke generasi. Salah satu pikukuh itu berbunyi lojor
teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, yang berarti panjang
tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh sambung. Makna dari pikukuh itu antara
lain tidak mengubah sesuatu atau menerima apa yang sudah ada tanpa menambahi
atau mengurangi dari yang ada itu. Masyarakat Baduy yang melanggar pikukuh
akan memperoleh ganjaran adat dari puun (pimpinan adat tertinggi). Masyarakat
Baduy merupakan masyarakat tradisional bersahaja dan kaya akan sumber
kearifan yang dapat menjadi teladan atau panutan kita.
Pemukiman orang Baduy merupakan daerah berbukit yang makin kearah
selatan makin curam lereng-lerengnya. Tempat yang paling rendah dari daerah ini
berada pada ketinggian 200 meter dari permukaan laut, sedangkan tempat yang
paling tinggi merupakan puncak pegunungan kendeng terletak pada ketinggian
1.200 meter dari permukaan air laut. Hutan yang lebat di sekitar pegunungan
kendeng merupakan sumber air yang penting bagi daerah aliran sungai Ciujung di
sebelah hilir (Banten Utara).
24
B. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelititian yang menggunakan latar
alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan
dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Penelitian kualitatif
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
peelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan.,dan lain-lain secara
holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah.
Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara secara
mendalam. Pengamatan dalam kegiatan observasi dilakukan pada bangunan-
bangunan, permukiman dan lingkungannya, serta aktivitas di dalamnya, lahan
ladang dan lingkungannya, serta aktivitas bercocok tanam, sumber air, sungai dan
lingkungannya, hutan, gunung, serta aktivitas di dalamnya.
Sementara itu, kegiatan wawancara secara mendalam dilakukan kepada para
narasumber dan informan, yaitu pimpinan adat, pimpinan kampung (jaro,
kokolot), dan warga Baduy Dalam dan Baduy Luar yang terpilih sebagai informan
kunci. Informan kunci dipilih secara snowballing dimulai dari Jaro Pamarentah
Kanekes hingga warga masyarakat yang sangat mengetahui tentang topik tersebut.
Teknik snowballing adalah teknik pengambilan sampel sumber data, yang pada
25
awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar.16 Hal ini dilakukan karena
dari jumlah data yang sedikit itu belum mampu memberikan data yang
memuaskan, maka mencari informan lagi yang dapat digunakan sebagai sumber
data. Dengan demikian jumlah sampel sumber data akan semakin besar, seperti
bola salju yang menggelinding, lama-lama menjadi besar. Umumnya mereka
diwawancara 1-2 jam/orang di rumah (jika malam hari) dan atau di ladang (jika
siang hari). Informasi yang dikumpulkan meliputi :
1. Konsep budaya tentang pelestarian lingkungan, yaitu mengenai bercocok
tanam
2. Pengetahuan tradisional tentang bercocok tanam.
3. Cara tradisional dalam mengolah Sumber Daya Alam yang tersedia seperti
menanam padi, mengobati padi, dan memanen padi.
4. Pelestarian Sumber Daya Alam yaitu meliputi pengelolaan tanah dan
pengelolaan tumbuhan.
5. Mewariskan kearifan lokal ke generasi berikutnya dengan cara bercocok
tanam.
Data dan informasi yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan
analisis deskriptif kualitatif. Data yang dianalisis meliputi pikukuh (aturan adat)
dan ketentuan lokal di masyarakat Baduy, kearifan lokal dan tradisi perladangan,
dan kearifan lokal dan kelestarian hutan dan air.
16 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D (Bandung: 2010 Alfabeta)hlm.219
26
C. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini diperlukan teknik pengumpulan data yang sesuai agar
mendapatkan hasil yang sempurna, adapun teknik tersebut meliputi:
1. Teknik Observasi
Sutrisno Hadi mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses
yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan
psikologis.17 Observasi dilakukan melalui kegiatan keseharian yang dilakukan
informan dalam melakukan aktivitas bercocok tanam. Observasi adalah dasar
semua ilmu pengetahuan. Melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku dan
makna dari perilaku tersebut. Dengan adanya observasi di lapangan, peneliti akan
lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, jadi akan
dapat diperoleh pandangan yang holistik atau menyeluruh. Peneliti dapat melihat
hal-hal yang kurang atau tidak diamati orang lain, khususnya orang yang berada
dalam lingkungan itu, karena telah dianggap biasa dan karena itu tidak akan
terungkapkan dalam waawancara.
2. Teknik Wawancara
Wawancara adalah sebuah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara
dengan responden atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa
menggunakan pedoman wawancara.18 Data dikumpulkan dengan melakukan tanya
jawab secara langsung terhadap narasumber. Narasumber diwawancara pada saat
mereka tidak melakukan aktivitas. Supaya hasil wawancara dapat terekam dengan
17 Iskandar Indranata, Ibid, hal. 12518 Iskandar Indranata, Ibid, hal. 119
27
baik, dan peneliti memiliki bukti telah melakukan wawancara kepada informan
atau sumber data, maka diperlukan bantuan alat-alat seperti, buku catatan yang
berfungsi untuk mencatat semua percakapan dengan sumber data dan kamera
yang digunakan untuk memotret agar dapat meningkatkan keabsahan penelitian.
3. Teknik Dokumentasi
Dokumentasi adalah pengumpulan data dengan meneliti catatan-catatan
penting yang sangat erat hubungannya dengan obyek penelitian. Teknik ini
dilakukan untuk memperoleh data yang bersifat administrasi dan kegiatan yang
terekomendasikan. Mencatat dan mengumpulkan data yang diperoleh dari
pengamatan terkait obyek yang diteliti.
4. Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan
dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada.
D. Teknik Kalibrasi Keabsahan Data
Guna mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian dan ketercapaian
tujuan yang diinginkan, maka peneliti perlu melakukan kalibrasi tentang
keabsahan data yaitu dengan cara:
1. Memelihara Catatan Lapangan
Membuat catatan dan komentar terhadap catatan mentah dilapangan yang
tidak lepas dari fokus permasalahan. Catatan ini dibuat dengan urutan nomor
catatan lapangan, tanggal pengamatan, deskripsi partisipasi, deskripsi bialogis dan
deskripsi lingkungan fisik. Dalam meneliti Baduy Dalam, catatan lapangan
28
disesuaikan dengan kondisi dimana kita berada. Hal ini dikarenakan ada sebagian
wilayah-wilayah yang tak boleh menggunakan teknologi modern sesuai peraturan
adat yang ditetapkan.
2. Melakukan Diskusi dengan Informan dan Key-Informan
Dalam memperkaya penelitian perlu diaadakannya diskusi dengan informan
yaitu Jaro suku Baduy dan masyarakat suku Baduy agar memperoleh masukan
dan penjelasan tentang permasalahan yang diteliti. Diskusi dilakukan pada saat
masyarakat Baduy selesai ataupun sebelum melakukan aktivitas berladang. Agar
lebih mendalami, dilakukan pengamatan dengan cara mengikuti setiap kegiatan
informan pada saat aktivitas bercocok tanam.
3. Kegiatan Pengumpulan Sumber Data
Dalam melakukan penelitian perlu diadakannya pengumpulan sumber data
untuk memperoleh data yang nantinya akan dianalisis. Sumber data dilakukan
untuk memenuhi dan memperjelas penelitian ini.
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis dan penafsiran data dalam penelitian ini mengikuti
langkah-langkah dengan penelaahan, kategorisasi, melakukan tabulasi data dan
atau mengkombinasikan bukti untuk menjawab pertanyaan penelitian. Prosedur
ini senada dengan prosedur yang direkomendasikan, bahwa proses analisis data
dimulai dengan :
1. Menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, dalam hal ini adalah
dari hasil wawancara, kuesioner, maupun analisis dokumen.
29
2. Setelah ditelaah maka langkah selanjutnya adalah mengadakan apa yang
dinamakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat rangkuman
yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan kunci yang perlu dijaga agar tetap
berada didalamnya.
3. Langkah berikutnya adalah menyusunnya kedalam satuan-satuan untuk
kemudian dikategorisasikan.
4. Melakukan pemeriksaan keabsahan data dengan teknik tertentu
5. Diakhiri dengan penafsiran data.
Cara lain dilakukan dengan teknik analisis pencocokan pola (pattern-
matching), yaitu membandingkan antara pola-pola yang diperoleh secara empirik
dengan pola yang diprediksikan. Terakhir adalah teknik analitis (explanation
building), yaitu cara menganalisis data studi kasus dengan membangun penjelasan
tentang kasus tersebut.
30
BAB III
HASIL TEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Masyarakat Baduy
Masyarakat Baduy sejak awal kelahiran dengan salah satu tugas pikukuh
karuhun “Ngasuh Ratu Ngajayak Menak” sudah sangat menyadari bahwa dalam
menjalankan kehidupan adatnya erat sekali hubungannya dengan yang namanya
raja atau pejabat negara. Masyarakat Baduy sangat respon dan peduli terhadap
situasi, perkembangan dan keberadaan pemerintah sekitar yang menaunginnya.
Dalam hal ini mulai dari pemerintah tingkat Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Provinsi Banten, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukti adanya
respon dan kepedulian tersebut sangat jelas terlihat dengan diadakannya secara
rutin di kegiatan acara adat masyarakat Baduy untuk melakukan acara seba setiap
tahun. Seba adalah acara persembahan hasil panen kepada para pemimpin yang
berkuasa di kabupaten Lebak. Makna acara seba ini adalah menjalin silaturahmi
untuk saling mengingatkan, mendoakan, dan saling menitipkan agar kesukuan
mereka, pemerintah, bangsa dan negara selalu aman dan tentram, terhindar dari
berbagai bencana alam, sehingga tercipta kemakmuran dan keadilan.
1. Latar Belakang Masyarakat Baduy
Masyarakat Baduy merupakan sebutan yang diberikan bagi masyarakat
Sunda yang hidupnya mengasingkan diri dari keramaian di Desa Kanekes,
Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Sebutan lainya adalah orang
Rawayan, orang Kanekes, atau asal kampung mereka seperti Cibeo, urang Tangtu.
30
31
Masyarakat Baduy terbagi atas dua wilayah adat, yaitu Urang Tangtu (Baduy-
Dalam) yang bertempat tinggal di tiga kampung inti yaitu Kampung Cikeusik,
Kampung Cibeo, dan Kampung Cikartawarna, dan Urang Panamping (Baduy-
Luar) yang tinggal dikampung-kampung di luar ketiga daerah inti, seperti
kampung Cipaler, Cikadu, Cigula, Cihandam, Cikadu, Gajeboh, Karahkal, dan
kampung Baduy-Luar lainnya.19 Selanjutnya, menurut definisi yang diberikan
oleh beberapa dongeng dan cerita rakyat di Banten, Baduy datang dari nama
sebuah tempat yang dijadikan tempat huniannya.
Berdasarkan pengakuan orang Baduy Dalam, masyarakat Baduy merupakan
keturunan langsung dari manusia pertama yang diciptakan Tuhan di muka bumi
ini yang bernama Adam Tunggal.
“Baduy itu masyarakat yang mempunyai tugas melindungi alam ini. Kamimerupakan keturunan langsung dari Adam Tunggal. Kami ada didunia iniuntuk melindungi alam ini”.20
Mereka meyakini bahwa suku-suku bangsa lain di dunia ini adalah bagian
atau keturunan-keturunan lanjutan dari masa lalu mereka yang mengemban tugas
berbeda-beda sesuai dengan hasil musyawarah awal di waktu penciptaan dunia
ini.
Menurut sejarahnya orang Baduy pindah di daerah Gunung Kendeng pada
abad 16, bersamaan dengan runtunya Kerajaan Pajajaran. Duhulu sebelum Islam
masuk ke Indonesia dan Jawa, pengaruh agama Hindu dan Budha sangat kuat,
termasuk Kerajaan Pajajaran. Pada tahun 1579 masuklah Islam untuk
19 Senoaji, G. 2005. Pemanfaatan Hutan dan Lingkungan oleh Masyarakat Baduy dalammengelola Hutan dan Lingkngannya. Thesis Pasca Sarjana Universitas Gadjah MadaYogyakarta.
20 Wawancara dengan SM (Warga Desa Cibeo) tanggal 17 Maret 2015
32
menghancurkan Kerajaan Pajajaran dan masyarakat disana berpindah ke agama
Islam. Ada sekelompok masyarakat yang menolak untuk masuk Islam, kemudian
mereka berpindah tempat untuk mengasingkan diri. Kelompok tersebut yang
kemudian dinamakan Suku Baduy.
Ada beberapa versi mengenai kata Baduy, salah satunya adalah nama
tersebut diambil dari sebuah suku di negara Arab yang bernama Badawi yang
hidup secara nomaden di gurun pasir.21 Orang-orang Belanda yang berada di
Indonesia pada waktu itu memberi nama itu kepada kelompok ini. Ada pula yang
mengaikan bahwa kaum Badwi di Arab pada zaman Nabi Muhammad merupakan
suku yang tidak mau masuk agama Islam. Dikaitkan dengan keberadaan Baduy di
Indonesia pada waktu itu yang menola untuk masuk Islam, maka muncul istilah
Baduy. Versi lain menjelaskan bahwa nama Baduy diambil dari nama bukit yang
berada di selatan Desa Kanekes tempat mereka tinggal. Masyarakat Baduy sendiri
menyebut dirinya dengan sebutan orang Kanekes yang berarti orang Sunda,
sehingga sampai saat ini desa yang mereka tempati disebut Desa Kanekes. Seperti
yang dikatakan salah satu informan:
“Kanekes itu nama Desa, Baduy nama masyarakatnya. Selain dari ituberarti sebutan yang diciptakan oleh orang luar Baduy”.22
Masyarakat Baduy tak peduli dengan sebutan yang banyak diberikan
kepadanya. Mereka enggan berkomentar banyak tentang nama-nama sebutan yang
diberikan orang luar kepadanya.
21 Para pemangku adat masyarakat Baduy menolak nama Baduy diambil dari istilah “Badawi”yang ada di daerah Arab. Menurut mereka, istilah Badawi atau Badui merupakan penyebutanyang dilakukan oleh orang Belanda terhadap mereka dengan tujuan untuk merendahkan merekasebagai orang bodoh dan terbelakang.
22 Wawancara dengan DN, (tokoh masyarakat Baduy Luar) Tanggal 15 Maret 2015
33
2. Geografi Desa Kanekes
Wilayah Baduy itu berdasarkan lokasi geografinya terletak kira-kira pada
60 27’ 27”- 60 30’ Lintang Utara dan 1080 3’ 9” - 1060 4’ 55” Bujur Timur.
Wilayahnya berbukit-bukit, tersusun oleh sambung menyambung bukit. Wilayah
hutan yang luas dengan bentuk daratan yang berbukit-bukit dari mulai desa Baduy
Luar hingga Desa Baduy Dalam diperkirakan mempunyai luas wilayah 5.136,58
hektar.23 Pemukiman biasanya berada pada daerah-daerah datar dekat sumber air
dibawah lembah. Suasana yang sejuk dan indah tersaji diatas dataran-dataran
tinggi. Air sungaiyang mengalir jernih melintasi rumah-rumah masyarakat
Baduy. Sungai yang mengalir diwilayah ini adalah sungai Ciujung, yang hulunya
berasal dari daerah-daerah hutan di bagian selatan wilayah Baduy dalam.
sedangkan aliran airnya mengalir kebagian hilir melewati daerah-daerah Baduy,
terus keluar melintasi ibu kota kabupaten, di Rangkasbitung dan bermuara
dipantai utara laut Jawa dekat wilayah Jakarta.
3. Administrasi Desa Kanekes
Wilayah Baduy atau biasa disebut wilayah Kanekes, berdasarkan
administrasi pemerintahan masuk kedalam desa Kanekes, kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Jarak dari ibu kota kabupaten di
Rangkasbitung ke kecamatan Leuwidamar lebih kurang 37 km. Jumlah penduduk
masyarakat Baduy sendiri sekitar 11.620 jiwa.24 Perjalanan menuju wilayah
kecamatan ini dari ibukota kabupaten dapat ditempuh dengan kendaraan motor
23 BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kabupaten Lebak, tahun 200924 BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Lebak, tahun 2015
34
ataupun mobil dengan cukup lancar, kecuali pada beberapa tempat jalanya kurang
bagus, khususnya diwaktu-waktu yang lampau. Sedangkan untuk menuju wilayah
Baduy, dari kecamatan Leuwidamar, dapat menggunakan motor ataupun mobil
dengan melintasi dua jalur perjalanan, yaitu melewati desa Cisemeut atau
Cibungur sampai ke daerah perbatasan Baduy di Ciboleger. Pada lintasan yang
pertama, jalannya datar lebih pendek, tetapi harus menyeberangi Sungai
Cisemeut. Pada musim kemarau air dangkal, sehingga mobil bisa melintasi sungai
itu. Akan tetapi bila musim hujan, air sungai Cisemeut deras, kendaraan mobil
tidak bisa melintasi wilayah ini, hanya sampai ditepi sungai saja. Sedangkan
kendaraan motor ataupun pejalan kaki dapat melanjutkan perjalanan melintasi
jembatan gantung dari kayu. Sedangkan pada lintasan pertama, melintasi jalan
desa berbatu-batu, jaraknya agak jauh dan melintasi daerah-daerah perbukitan
yang agak curam, tetapi walaupun musim hujan, mobil masih dapat melintasi
daerah ini.
Masyarakat Baduy secara umum dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu
masyarakat Baduy Luar dan Masyarakat Baduy Dalam. masyarakat Baduy Luar
bisa pula disebut masyarakat panamping. Hal ini karena mereka bermukim di
bagian luar wilayah Baduy atau yang mendampingi wilayah Baduy Dalam.
sedangkan masyarakat Baduy Dalam biasa pula disebut masyarakat kajeroan atau
masyarakat “girang” (hulu). Daerah pemukiman Baduy berdasrkan sejarahnya
telah dikenal sejak lama. Bahkan dulu sebelum adanya akses jalan menuju kesana,
masyarakat luar sudah mengenal masyarakat Baduy. Wilayahnya terbentang
mencakup dari mulai daerah yang berbatasan dengan sungai Cisiemut di bagian
35
Utara agak ke Timur sampai sungai Kendeng di bagian Selatan. Di luar wilayah
Baduy atau desa Kanekes, masih terdapat wilayah Baduy yang biasa disebut
daerah Dangka. Daerah Dangka merupakan bagian masyarakat Baduy yang
memilih tinggal ditempat di luar daerah Baduy untuk alasan-alasan seperti
perkawinan, mata pencaharian, dan lain sebagainya.
4. Sistem Pemerintahan
Berbagai referensi telah banyak mengupas tentang kedudukan, tugas, dan
wewenang puun sebagai pucuk pimpinan adat Baduy suku Baduy. akan tetapi,
menurut perspektif adat Baduy belum secara holistik atau paripurna, sehingga
penjelasan-penjelasan tersebut masih menjadi misteri.
Masyarakat Baduy mengenal organisasi sosial dalam kehidupan
bermasyarakat. Mereka mengakui adanya hierarki kepemimpinan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bagi mereka kedudukan para pemimpin puncak
sifatnya kekal serta memiliki peranan dan kekuasaan luas terhadap keseluruhan
sistem sosial budayanya. Wewenang dan kedudukan itu sudah ditentukan oleh
aturan nenek moyangnya yang disebut karuhun.
Dalam hal sistem pemerintahan yang berlaku di masyarakat Baduy
mengenal dua sistem, yakni struktur pemerintahan adat dan struktur pemerintahan
desa. Kedua struktur ini sangat berbeda alur kerja dan kekuatan hukumnya.
Strktur pemerintahan Adat lebih banyak memiliki peran penting dibandingkan
struktur pemerintahan Desa. Hal ini yang banyak menyebabkan bertahanya
kebudayaan-kebudayaan yang ada di masyarakat Baduy ini. Kebudayaan itu
36
meliputi pengetahuan mereka terhadap aturan-aturan adat yang tak pernah
berubah dan terus di aati oleh masyarakat Baduy.
e
Struktur Lembaga Adat Baduy
(sumber: Feri Prihantoro, 2006:7)
PUUN
Jaro Tangtu Girang Seurat
Baresan Salapan
Perangkat Palawari Adat
Tanggungan Dua BelasTangkesan
Jaro Tujuh
Jaro Pamerentah Kokolotan
Sekdes/Carik
Pangiwa Pangiwa Pangiwa
37
Pemimpin tertinggi struktur pemerintahan adat dipegang oleh tiga Puun
atau bisa dibilang raja yaitu Puun Cibeo, Puun Cikartawarna, dan Puun Cikeusik.
Puun adalah dpimpinan yang mengurus seala urusan amanat secara batiniah untuk
mendoakan keselamatan alam, lingkungan dan kehidupan seluruh umat manusia
termasuk bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Puun tidak langsung
mengurus atau memimpin semua kegiatan kemasyarakatan secara operasional.
Ketiga Puun ini mempunyai tugas yang berbeda. Ruang lingkup dan gerak
kehidupan Puun lebih sederhana dan terbatas dibanding dengan kehidupan
anggota masyarakatnya. Kehidupan puun lebih mendekati pada kehidupan
seorang begawan yang jauh dari nafsu kematerian.
Jaro Tangtu adalah wakil Puun yang memiliki amanat untuk melaksanakan
pemerintahan dan segala amanat hukum adat. Istilah tangtu sendiri memiliki
pengertian.
“Yang memastikan terhadap suatu masalah, yang menentukan suatukeputusan atau kepastian. Yang harus dilaksanakan.25
Jaro Tangtu memiliki kedudukan sebagai tangan kanan Puun yang
berkaitan dengan pelaksanaan seluruh aspek kehidupan, baik yang berhubungan
dengan sosial kemasyarakatan, pelaksanaan dan penerapan hukum adat beserta
penerapan sanksi, penentuan dan pengaturan waktu kegiatan upacara-upacara
adat, sosialisasi seputar tatanan hukum adat pada masyarakat Baduy, dan penataan
keamanan dan ketertiban. Jaro tangtu merupakan pusat pemecahan masalah dan
berkewajiban untuk mengambil sikap demi terjaminnya pelaksanaan hukum adat
25 Wawancara dengan AM (Warga desa Cibeo) Tanggal 14 Februari 2015
38
dan keselamatan masyarakat Baduy. Jaro tangtu berhak mengambil keputusan
untuk menugaskan jajaran tokoh adat baik jajaran tokoh adat Baduy Dalam,
maupun jajaran tokoh adat Baduy Luar. Jaro tangtu berkewajiban mengawasi
secara umum tentang pelanggaran pelaksanaan hukum adat di masyarakat Baduy
Dalam maupun Baduy Luar.
Dalam struktur lembaga hukum adat Baduy posisi girang seurat sejajar
dengan jaro tangtu, tetapi girang seurat memiliki tugas khusus yang spesifik yaitu
sebagai pendahulu dalam menentukan waktu pelaksanaan acara ngaseuk huma
serang dari awal pembukaan nyacar, nuaran, ngaduruk, ngaseuk, ngored,
ngubaran huma sampai pada proses panen. Girang seurat tidak memiliki
kewenangan dan hak seperti jaro tangtu dalam pengambilan keputusan hukum
adat, tetapi dalam setiap acara musyawarah adat, girang seurat selalu hadir
menyaksikan termasuk memberikan saran atau nasihat.
Tangkesan adalah salah satu pemangku adat Baduy yang berasal dari
warga Baduy Luar berkedudukan di kampung cicatang, tangkesan ini memiliki
kharisma, wibawa yang cukup tinggi bahkan disegani oleh seluruh warga Baduy
Dalam maupun Baduy Luar termasuk dihormati oleh para pemimpin adat Baduy.
Kewibawaan itu timbul karena tugas dan wewenang tangkesan cukup besar,
termasuk salah pada puun-puun dalam hal adat. Tangkesan adalah tokoh adat
yang memiliki pengaruh kuat dalam mengangkat, melantik, dan memberhentikan
para petugas adat yang berada di Baduy Luar, tetapi tidak untuk pemangku adat
Baduy Dalam, tangkesan juga memiliki kelebihan dan kemampuan berdoa dalam
39
hal keselamatan bumi alam, bangsa dan negara juga bagi warga atau masyarakat
yang tertimpa masalah termasuk mendoakan tentang masalah yang dihadapi puun.
Dalam struktur lembaga adat kedudukan jaro tanggungan dua belas sejajar
dengan tangkesan dan sama-sama merupakan pimpinan dari jaro tujuh. Tangkesan
bertindak sebagai bapaknya jaro tujuh sedangkan tanggungan dua belas lebih
berfungsi sebagai saksi jaro tujuh. Tugas utama jaro tanggungan dua belas adalah
mengurus bidang keamanan dengan memberikan perlindungan dan tindakan
hukum kepada seluruh masyarakat Baduy atas segala bentuk tindakan pelanggaran
adat baik di wilayah Baduy Dalam maupun Baduy Luar.
5. Aktivitas Perekonomian
Orang Baduy tak bisa dipisahkan dari padi yang dilambangkan sebagai
Nyi Pohaci Sanghyang Asri yang harus ditanam menurut ketentuan-ketentuan
karuhun, yaitu seperti bagaimana para nenek moyang mereka menanam padi. Padi
ditanam dilahan kering dan tidak boleh ditanam di hutan larangan.
Mata pencaharian masyarakat Baduy lebih mengutamakan sistem tertutup,
artinya aktifitas ekonomi dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
dan diproduksi serta dikonsumsi di lingkungan Baduy sendiri. Begitu juga
pakaian, sandal dan peralatan pertanian mereka buat sendiri dengan menggunakan
bahan-bahan yang ada di lingkungan mereka. Hanya sebagian kecil kebutuhan
didapatkan dari wilayah sekitar Baduy. Pertanian merupakan aktivitas ekonomi
utama dan penting, sedangkan aktivitas tambahan berupa kerajinan seperti sarung,
baju, dan membuat gula aren. Dengan prinsip bahwa aktivitas ekonomi hanya
40
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bukan memperkaya diri, maka tidak
banyak aktivitas jenis ekonomi yang dilakukan mereka seperti masyarakat modern
pada umumnya.
Seluruh masyarakat Baduy belajar untuk bekerja di pertanian sesuai
dengan aturan yang telah ditentukan. Di Baduy terdapat aturan pertanian yang
diikuti oleh masyarakatnya. Ada waktu dimana mereka harus mengolah tana,
menanam, maupun memanen hasil pertaniannya. Sistem pertanian disana adalah
dengan sistem berladang dan berkebun. Pada masa dimana mereka tidak sedang
bekerja di ladang, Baduy laki-laki bekerja di hutan untuk berburu dan memanen
madu, sementara Baduy wanita bekerja memasak atau merawat anaknya yang
masih bayi ataupun membuat kerajinan tangan dari kulit pohon.
Hasil dari aktivitas ekonomi ini oleh mereka diutamakan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari dan untuk upacara-upacara, sedangkan sisanya mereka jual
ke daerah luar untuk dibarter dengan kebutuhan yang tidak mereka hasilkan
seperti garam, minyak, serta bumbu-bumbu. Madu Baduy sangat terkenal di
daerah Banten karena tidak dicampur dengan bahan lainnya, sehingga sering
disebut madu asli. Mereka menjual madu dan hasil kerajinan lainnya sampai
kekota. Saat pergi ke kota untuk menjual madu, masyarakat Baduy Dalam tidak
menggunakan alat transportasi seperti yang kita gunakan sehari-hari. Mereka
hanya berjalan kaki menyelusuri jalanan hingga sampai ditujuan yang mereka
inginkan.
41
6. Religi dan Adat
Sistem religi yang dianut masyarakat suku Baduy adalah penghormatan
ruh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa, Batara Tunggal.
Keyakinan mereka itu dsebut Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan. Konsep-
konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya ditujukan kepada pikukuh
Baduy untuk bekerja menurut alur itu dalam mensejahterahkan kehidupan Baduy
dan dunia ramai. Seperti yang dikatakan salah satu informan.
“Agama nu diagen ku masyrakat Baduy ngarana Agama Sunda Wiwitan,nabina Adam Tunggal. Dina keyakinan Sunda Wiwitan kami mah teukabagean parentah shalat seperti dulur-dulur sabab wiwitan Adamtugasna memelihara kasaimbangan ieu alam, teu ngabogaan kitabna daajarana neurap jeung alam. Makana agama Slam Sunda Wiwitan nganukur keur urang Baduy”.26
Masyarakat Baduy percaya, bahwa mereka adalah orang yang pertama kali
diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi. Segala
gerak laku masyarakat Baduy harus berpedoman kepada buyut karuhun (ketentuan
adat) yang telah ditentukan dalam bentuk pikukuh karuhun (larangan adat).
Seseorang tidak berhak dan tidak boleh melanggar dan mengubah tatanan
kehidupan yang telah ada dan sudah berlaku turun menurun. Dalam
kehidupannya, puun sebagai pimpinan tertinggi adat Baduy adalah keturunan
batara serta dianggap sebagai penguasa agama sunda wiwitan yang harus ditaati
segala perintah dan perkataannya. Rukun agama sunda wiwitan yang terdiri dari :
ngukus, ngawalu, muja, ngalaksa, ngalanjak, ngapundayan, dan ngareksakeun
sasaka pusaka harus ditaati oleh seluruh masyarakat Baduy. Aturan dan tata cara
pelaksanaan rukun Baduy ini dipimpin oleh puun sebagai ketua adat masyarakat
26 Wawancara dengan AM (warga desa Cibeo) Tanggal 14 Februari 2015
42
Baduy. Kedudukan para pimpinan adat memiliki peranan dan kekuasaan luas
terhadap keseluruhan sistem sosial budayanya. Wewenang dan kedudukan itu
sudah ditentukan oleh karuhun dengan maksud untuk menyelamatkan taneuh
titipan yang merupakan intinya jagat. Jika taneuh titipan ini hancur dan rusak,
seluruh kehidupan di dunia akan rusak pula.
Pikukuh karuhun itu harus ditaati oleh masyarakat Baduy dan masyarakat
luar yang yang sedang berkunjung ke Baduy. Ketentuan-ketentuan itu diantaraya
sebagai berikut:27
a. Dilarang menggunakan pakaian sembarangan, yaitu keseragaman dalam
berpakaian. Baduy Dalam berpakaian putih-putih dengan ikat kepala putih dan
Baduy Luar berpakaian hitam dengan ikat kepala hitam.
b. Dilarang berladang sembarangan. Berladang harus sesuai dengan ketentuan
adat.
c. Dilarang memelihara hewan binatang ternak kaki empat, seperti kambing dan
kerbau.
d. Dilarang menanam tanaman budi daya perkebunan, seperti kopi, kakao,
cengkeh, kelapa sawit, dan sebagainya.
e. Dilarang menggunakan teknologi kimia, misalna menggunakan pupuk, obat
pemberantas hama penyakit, menggunakan minyak tanah, mandi menggunakan
sabun, menggosok gigi menggunakan pasta, dan meracun ikan.
27 Wawancara dengan SM (Jaro desa Cibeo) tanggal 14 Februari 2015
43
f. Dilarang mengubah bentuk tanah, misalnya menggali tanah untuk membuat
sumur, meratakan tanah untuk pemukiman, dan mencangkul tanah untuk
pertanian.
g. Dilarang masuk hutan larangan untuk menebang pohon, membuka ladang, atau
mengambil hasil hutan lainnya
h. Dilarang mengubah jalan air, misalnya membuat kolam ikan, mengatur
drainase, dan membuat irigrasi. Oleh karena itu, sistem pertanian padinya
adalah padi ladang, pertanian padi sawah dilarang dikomunitas masyarakat.
Masyarakat Baduy mempunyai struktur tatanan hukum adat yang tunduk
dan patuh kepada puun sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan adat dan
pimpinan keagamaan yang berada dikampung Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawarna.
Sistem struktur hukum adat di perkampungan masyarakat Baduy memegang
peranan penting dalam mengayomi semua lapisan warganya bak dalam bidang
kemasyarakatan ataupun dalam mengelola lingkungan alamnya. Tata cara
pengerjaanya diatur oleh adat dan dipatuhi dengan seksama sehingga dapat
berjalan penuh keseimbangan. Adat telah mengatur kelestarian alam sebagai
penopang hidup dan kehidupan, serta mampu mewujudkan keakraban manusia
dengan alam untuk hidup berdampingan dan berkesinambungan, sehingga alam
lingkungannya itu sendiri memberikan kesuburan yang berlimpah. Tatanan aturan
adat tersebut mengatur hubungan antara masyarakat Baduy dengan Tuhannya,
masyarakat Baduy sendiri, masyarakat Baduy dengan masyarakat luar, dan
masyarakat Baduy dengan lingkungan alamnya. Dalam mengelola lingkungannya,
secara garis besar aturan adat Baduy terbagi menjadi aturan tentang pengelolaan
44
lahan pertanian dan pelestarian lahan hutan. Oleh karena itu setiap kegiatannya
selalu diikuti oleh upacara-upacara adat.
B. Deskripsi Objek Penelitian
1. Keluarga AJ
Mang AJ, lelaki berusia 58 tahun adalah masyarakat yang tinggal di desa
Cibeo Baduy Dalam. Mang AJ adalah keluarga yang dianugerahi 6 orang anak.
Terdiri dari 5 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Bercocok tanam bagi keluarga
Mang AJ merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun selain
untuk memenuhi kebutuhan hidup, keluarga Mang AJ menganggap bercocok
tanam merupakan wujud kesetiaan mereka terhadap alam dan wujud syukur
mereka kepada Sang Pencipta. Dengan bercocok tanam, mereka dapat bertukar
pikiran dengan alam. Alam menyajikan sumber kehidupan yang tiada habisnya
untuk mereka. Bercocok tanam bagi Mang AJ berguna untuk melatih fisik mereka
dan menyatu dengan kondisi dimana mereka tinggal. Dengan jarak tempuh yang
jauh antara rumah dengan tempat mereka berladang dan tempat bercocok tanam
yang cukup membahayakan, menunjukkan betapa kuatnya fisik mereka.
Setiap pagi hari, keluarga Mang AJ bersama-sama pergi keladang untuk
melakukan aktivitas-aktivitas bercocok tanam. Terlihat jelas kekompakkan
mereka pada saat melakukan aktivitas bersama. Mang AJ mengajarkan kepada
setiap anaknya, agar selalu menjaga keindahan alam. Mang AJ menanamkan nilai-
nilai dan pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya kepada anaknya pada saat
berada diladang. Nilai-nilai yang diajarkan meliputi aspek-aspek pelestarian
45
lingkungan sedangkan pengetahuan yang diberikan meliputi cara-cara berladang.
Bila hari mulai gelap, hampir tidak ada aktivitas yang dilakukan di luar rumah.
Keluarga Mang AJ menghabiskan waktu untuk berkumpul dengan keluarganya.
Ladang milik Mang AJ, kurang lebih memiliki luas hingga 1 hektar dengan
jenis tanaman pokok padi dan tanaman-tanaman lainnya seperti pohon petai,
jengkol, dan duren. Karena ladang yang begitu luas, Mang AJ membagi tugas
kepada anaknya untuk mengontrol setiap bagian-bagian daerah ladang yang
sebelumnya sudah ditanami padi. Mereka harus mengontrol pada siang hari, agar
tanaman padi terhindar dari hama atau binatang liar.
Mang AJ selalu mengajarkan kepada anaknya, bahwa kita sebagai manusia
haruslah bersikap adil terhadap sesama. Bukan hanya sesama manusia, tetapi juga
sesama makhluk hidup. Kita ini hidup hanya menumpang di alam ini. Alam ini
punya yang Maha Kuasa. Apakah wajar kalau kita memperlakukan alam ini
dengan merusaknya.
Menurut AJ, daerah yang masih masuk kepunyaan masyarakat Baduy itu
luas. Tak seperti sekarang yang semakin hari menjadi semakin sempit. Lahan
kepunyaan Baduy itu mengalami banyak perubahan. Mulai dari tanaman yang
tumbuh di ladang hingga tanah yang menjadi kurang subur.
Mang AJ merupakan salah satu sosok masyarakat Baduy yang selalu patuh
terhadap aturan yang ditetapkan. Dalam melakukan aktivitas berladang, Mang AJ
selalu mengikuti apa yang telah diajarkan oleh leluhurnya. Seperti cara menanam,
menjaga, dan memanen sesuai dengan aturannya.
46
Didalam kehidupannya, Mang AJ merupakan sosok periang dan peladang
yang gigih. Kesehariannya di habiskan untuk berladang dan mengajarkan anak-
anaknya cara melestarikan alam lingkungan sekitarnya. Berladang dipagi hingga
sore hari tak pernah Mang AJ lewati. Keseharian yang Mang AJ lakukan
merupakan wujud kesetian mereka kepada aturan adat.
2. Keluarga AM
AM adalah lelaki berusia 49 tahun yang tinggal di desa Cibeo. Beliau adalah
anak tunggal laki-laki puun Jandol, salah seorang puun Baduy yang terkenal
semasa pemerintahan Soekarno. Beliau memiliki istri bernama Sani dan 4 orang
anak bernama Mursid, Misjaya, Arba, dan Arsunah. Beliau menjawab sebagai
wakil jaro tangtu Cibeo dan termasuk tokoh adat muda Baduy Dalam yang
disegani oleh berbagai kalangan.
Kehidupan keluarga AM, bisa dibilang lebih dari keluarga AJ. Rumahnya
puun terlihat lebih luas dibandingkan rumah AJ. Kehidupan sehari-hari AM selain
berladang adalah membantu jaro tangtu dalam mempersiapkan alat dan akomodasi
untuk pelaksanaan musyawarah adat terutama sekali dalam mempersiapkan alat
dan kebutuhan untuk upacara-upacara adat kawalu, ngalaksa, dan upacara
keagamaan lainnya. AM yang merupakan wakil jaro tangtu Cibeo memiliki tugas
dan beban yang lebih berat dibandingkan dengan wakil jaro lainnya mengingat
bahwa kepuunan Cibeo memiliki tugas dan wewenang dalam hal mengurus segi
pemerintahan dan pelayanan dengan masyarakat luar Baduy. Wakil jaro tangtu
bertugas mensosialisasikan hukum adat pada masyarakat termasuk memberikan
47
jawaban atau penjelasan pada para pengunjung tentang adat istiadat maupun hal
lain tentang Baduy dengan seizin jaro tangtu.
AM merupakan pekerja keras yang pintar dan ulet. Hal ini terbukti dari
jabatan beliau dan pekerjaan beliau. AM dapat membagi antara pekerjaan yang
biasa dilakukan yaitu berladang, dengan pekerjaanya sebagai wakil jaro tangtu.
Keseharian AM sama dengan masyarakat Baduy Dalam pada umumnya, namun
yang membedakannya adalah apabila ada urusan adat, beliau tidak pergi
berladang karena urusan adat lebih diutamakan.
Dalam hidupnya, AM telah mengenal berbagai macam perubahan yang
terjadi di masyarakat Baduy. Seperti cara memasak yang mulai menggunakan
kompor. Cara menanam dengan menggunakan pacul, dan lain sebagainya. Hal ini
membuat AM merasa resah dan takut nantinya kebudayaan yang ada di
masyarakatnya hilang seiring berjalanya waktu. AM merupakan tokoh adat yang
disegani karena kepintaran dan kegigihannya dalam menjaga aturan adat yang
diterapkan pada masyarakatnya. AM selalu bersosialisasi bersama masyarakat
Baduy lainnya di lapangan Desa Cibeo, tempat dimana kegiatan upacara sering
dilaksanakan.
AM selalu mengajarkan kepada penduduk luar yang datang bahwa kita
sebagai manusia haruslah tunduk kepada Yang Kuasa. Cara kita tunduk itu
dengan menghormati apa yang telah diberikan dan menjaganya. Alam ini
merupakan titip Yang Kuasa yang harus kita jaga dengan sebaik-baiknya.
Berbaiklah dengan alam karena alam merupakan bagian dari hidup kita. Alam
menyediakan segalanya buat kita. Tanpa alam kita tak akan ada disini.
48
C. Hasil Temuan dan Pembahasan
1. Aktivitas Bercocok Tanam Masyarakat Baduy
Sistem pertanian di Indonesia maupun dibeberapa negara pertanian di dunia
sangat jarang sekali menggunakan sistem berladang. Dengan jumlah penduduk
yang terus bertambah dan membutuhkan lahan, maka sistem berladang menjadi
tidak efektif dan cenderung merusak lingkungan. Masyarakat Baduy hanya
mengenal istilah berladang dalam bercocok tanam.
Menurut masyarakat Baduy berladang yang mereka kerjakan sesuai dengan
kepercayaan dan prinsip hidup mereka, yaitu untuk tidak membuat perubahan
secara besar-besaran pada alam, karena justru akan menimbulkan
ketidakseimbangan alam. Dengan sistem berladang mereka tidak melakukan
perubahan bentuk alam, karena mereka menanam mengikuti alam yang ada.
Mereka menanam padi dan tumbuhan lainnya sesuai dengan lereng disana,
mereka tidak membuat terasiring. Sistem pengairan disana tidak menggunakan
irigasi teknis, tetapi hanya memanfaatkan hujan yang ada. Ada larangan
pengggunaan air sungai atau mata air untuk mengairi sawah. Seperti yang
dikatakan salah seorang informan:
“Jangan sekali-kali membelokkan aliran air untuk keladang. Nanti bisangerobah bentuk tanah dan bisa menimbulkan kerusakan pada tanah”.28
Mereka memiliki keyakinan bahwa dengan membelokkan arah aliran air
sungai maupun mata air untuk pertanian akan mengubah bentuk alam dan dapat
28 Wawancara dengan AJ (Warga Desa Cibeo) Tanggal 16 Maret 2015
49
menimbulkan ketidakseimbangan alam dan menimbulkan kerusakan alam. Semua
masyarakat Baduy Dalam dalam kesehariannya selalu melakukan aktivitas
berladang, mulai dari pagi hari hingga menjelang sore. Baik suami, istri maupun
anaknya, semua melakukan aktivitas ini.
Kegiatan masyarakat Baduy dalam setiap bulanya dalam satu tahun, telah
mengikuti pola umum, yang diatur oleh adat. Kegiatan bercocok tanam atau
kegiatan-kegiatan lainnya di luar bercocok tanam bagi segenap masyarakat Baduy
senantiasa mengikuti kalender atau penanggalan yang telah mereka buat sendiri.
Adapun jumlah bulan dalam penanggalan Baduy terdiri dari 12 bulan. Namun
jumlah hari hanya dihitung 360 hari. Jumlah hari hanya dihitung 360 hari,
dikarenakan sisa hari yang berjumlah 4 sampai 5 hari itu digunakan untuk
menentukan perhitungan penanggalan berikutnya. Waktu luang tersebut tidak
dihitung kedalam jumlah hari pada tahun sebelumnya atau tahun yang baru
ditinggalkan. Dasar pemikiran adanya waktu luang tersebut ditetapkan menjelang
akhir tahun. Salah satu informan menjelaskan apa saja tanggalan yang ada di
Baduy:
“Di Baduy itu ada penanggalan, penanggalannya hampir sama dengantanggalan urang-urang yang bukan urang Baduy. terdiri dari 12 bulan dan360 hari. Kalau dipenanggalan kalender kalian 365 hari, di Baduy sisa 5harinya dipakai buat menentukan penanggalan berikutnya. Nama-namabulannya pun beda, awal bulan itu namanya Kasa, lalu karo, katiga, safar,kalima, kanem, kapitu, kadalapan, kasalapan, kasapuluh, hapit lemah dan namanya hapitkayu”.29
Berikut ini adalah penanggalan yang menjadi patokan kehidupan
masyarakat Baduy:
29 Wawancara dengan DN (Tokoh adat Baduy Luar) tanggal 15 Maret 2015
50
a. Kasa (Januari/Februari)
Panen di huma serang, sedangkan dihuma Puun dan huma masyarakat padi
telah mulai besar. Pada bulan ini diadakan acara Kawalu. Kawalu itu sendiri
menurut AM adalah:
“Kawalu adalah upacara dalam rangka kembalinya padi dari ladang kelumbung. Kawalu itu, dilakukan sebanyak tiga kali, masing-masing sekalidalam tiap-tiap bulan kawalu. Pada bulan ini ada upacara kawaluteumbeuy atau kawalu mitembeuy. Kawalu ini melakukan puasa sehari didalam sebulan. Di daerah Cieukesik dan Cikartawarna tanggal 18 danCibeo tanggal 19.30
Kawalu merupakan upacara adat yang dilakukan pada bulan-bulan tertentu.
Pada masyarakat Baduy Dalam harus mengikuti sesuai dengan tanggal yang telah
ditetapkan. Sedangkan pada masyarakat Baduy luar dapat memilih puasa satu hari
tanggal tersebut diatas, tergantung mau mengikuti pemimpin yang mana. Tiap-tiap
keluarga masyarakat Baduy luar memilih di antara dua waktu itu.
“Umumnya, masyarakat Baduy Luar mengikuti pemimpin dari desaCikeusik yang dianggap pemimpin yang mengatur urusan adat.31
Menurut penuturan informan diatas, terlihat jelas ada perbedaan antara
masyarakat Baduy Dalam dan Luar. Masyarakat Baduy Dalam harus benar-benar
mengikuti pemimpin desa dimana mereka tinggal. Sedangkan penduduk desa
Baduy luar diperbolehkan memilih diantara kedua tanggalan tersebut.
30 Wawancara demgan AM (warga desa Cibeo) Tanggal 14 Februari 201531 Wawancara dengan SM (jaro desa Cibeo) Tanggal 14 Februari 2015
51
b. Karo (Februari/Maret)
Huma serang selesai panen, huma Puun mulai panen, sedangkan huma
masyarakat padi sedang menguning. Pada bulan ini dilakukan kawalu tengah yaitu
melakukan puasa seperti bulan pertama hanya tanggalnya berbeda. Di Cikeusik
dan Cikartawarna tanggal 18, 19, sedangkan di Cibeo tanggal 20. Masyarakat
Baduy luar dapat memilih dari dua tanggal itu, tergantung mau ikut ke pemimpin
yang mana.
c. Katiga (Maret/April)
Di huma serang tidak ada aktivitas, di huma Puun selesai panen, huma
masyarakat sedang panen. Pada bulan ini diadakan acara kawalu akhir atau
kawalu tutug yaitu melakukan puasa seperti bulan yang sebelumnya. Di Cikeusik
dan Cikartawarna tanggal 17, sedangkan di Cibeo tanggal 18. Masyarakat Baduy
luar dapat memilih dari dua tanggalan tersebut. Pada saat kawalu akhir
berlangsung, semua masyarakat Baduy Dalam menjalankan puasa. Tidak
terkecuali anak-anak usia muda. Mereka sangat mentaati aturan adat yang telah
ditetapkan.
d. Safar (April/Mei)
Huma serang, huma Puun dan huma masyarakat selesai panen. Pada bulan
ini dilakukan acara seba, mengirim hasil-hasil pertanian, seperti beras, tepung
beras, kue dari tepung, petai, durian, gula, talas dan lain-lain ke Rangkasbitung
dan Keresidenan di Serang. Di dalam dua tahun sekali, seba besar, selain
mengirim hasil-hasil pertanian juga perabotan seperti kukusan, dulang, cukil, dan
lain-lain. Pada bulan ini juga diadakan acara Ngalaksa. Acara Ngalaksa ini
52
dilakukan untuk mengakhiri tahun yang telah berlalu dan menyambut tahun yang
akan datang. Ngalaksa ini memiliki fungsi seperti yang dituturkan AM yaitu:
“Ngalaksa di Baduy adalah berdoa dalam rangka mengakhiri tahun yanglalu dan menyambut tahun yang akan datang. Harapannya agar pada tahunyang akan datang seluruh warga Baduy mendapat keselamatan,kesejahteraan hidup, rukun dan damai, serta memohon perlindungan darisang Maha Pencipta alam raya ini”.32
Dalam Ngalaksa, biasanya masyarakat Baduy membuat kue dan laksa dari
tepung beras, membuat tumbak-tumbakan lambang laki-laki, serta membuat orok-
orokan (bayi), lambang wanita yang dibuat dari daun aren. Pada setiap keluarga
membuat sebanyak sejumlah jiwa yang ada di keluarga tersebut. Bahan-bahan tadi
dibuang sebagai pelambang pengabdian, penenang jiwa agar kehidupannya
selamat.
e. Kalima (Mei/Juni)
Di huma serang mulai nyacar. Nyacar adalah kegiatan menebas tumbuhan
semak belukar. Hal ini dilakukan untuk membersihkan lahan ladang tidak
terganggu dari tanaman yang dapat merusak lahan garapan nantinya. Pada huma
puun dan huma masyarakat belum ada aktivitas pengerjaan ladang. Pimpinan adat
atau puun pergi ke daerah hutan saka domas, biasanya pada tanggal 16, 17 dan
18. Terdapat kegiatan pada saat penanggalan seperti dijelakan oleh AM:
“Pada tanggal 16,17, dan 18 pada bulan kalima, semua puun pergi ke sakadomas untuk berdoa kepada Sang Pencipta agar diberikan kelancarandalam berladang. Biasanya ada perwakilan dari masyarakat Baduy yangikut menemaninya”.33
32 Wawancara dengan AM (warga desa Cibeo) Tanggal 14 Februari 201533 Wawancara dengan AM (warga desa Cibeo) Tanggal 14 Februari 2015
53
Masyarakat, baik masyarakat Baduy luar atau masyarakat Baduy dalam
dapat ikut atas izin Puun. Pada bulan ini juga biasanya dilakukan acara hajatan
keluarga seperti kawinan. Perkawinan di Baduy Dalam memiliki tiga tahapan,
yaitu lamaran pertama, lamaran kedua, dan lamaran ketiga.
f. Kanem (Juni/Juli)
Di huma serang menebang atau nuar pepohonan untuk persiapan ladang. Di
huma Puun dan huma masyarakat belum ada kegiatan berladang. Tiap dua tahun
sekali pada bulan ini biasanya diadakan acara sunatan anak. Sunatan sendiri pada
masyarakat Baduy disebut nyelamkeum. Pelaksanaan sunatan di Baduy tidak
sembarangan hari atau bebas sekehendak warganya. Sunatan harus sesuai dengan
jadwal adat, seperti yang dijelaskan oleh AJ.
”Sunatan tidak boleh dilaksanakan pada hari Jumat dan Minggu, karenahari tersebut bersifat panas. Hal yang paling baik untuk melaksanakansunatan adalah hari Selasa dan Kamis”.34
Alasan sunatan tidak boleh dilaksanakan pada hari Jumat dan Minggu
adalah karena kedua hari itu merupakan hari yang suci bagi Masyarakat Baduy.
g. Kapitu (Juli/Agustus)
Di huma serang ngahuru, ngaduruk dan tanam padi. Tanam padi di Cikeusik
tanggal 18, Cibeo tanggal 22 dan Cikartawarna tanggal 23. Di huma puun nuar
dan huma masyarakat membersihkan semak-semak atau disebut nyacar.
h. Kadalapan (Agustus/September)
Pada Bulan ini, di huma serang sedang ngabadagan. Ngabadagan adalah
aktivitas membersihkan rumput-rumput dengan cara dicabut oleh tangan. Di huma
34 Wawancara dengan AJ (warga desa Cibeo) tanggal 16 Maret 2015
54
puun mengerjakan ngaduruk, ngahuru dan tanam padi. Ngahuru dan ngaduruk
adalah kegiatan membakar serasah. Ngahuru adalah kegiatan kegiatan
pembakaran pertama, sedangkan ngaduruk adalah kegiatan pembakaran
selanjutnya, untuk membersihkan sisa-sisa serasah yang tertinggal. Disaat
bersamaan, huma masyarakat umum mengerjakan nuar. Nuar adalah aktivitas
menebang pohon yang berada disekitar huma. Tujuannya agar lahan garapan
bersih dari segala jenis tanaman penganggu.
i. Kasalapan (Sepetember/Oktober)
Di huma serang menyiangi atau ngored.35 Di Huma Puun ngored
ngarambas. Ngored ngarambas dilakukan pada saat tanaman padi berumur 3
bulan. Pada saat ngored ngarambas biasanya padi sudah mulai akan berbuah. Pada
saat itu juga dilakukan juga ngubaran pare dengan cara menaburkan ramuan-
ramuan yang telah dibacai mantra melalui upacara adat mantun. Di huma
masyarakat ngahuru, ngaduruk dan tanam padi (ngaseuk).
j. Kasapuluh (Oktober/November)
Di huma serang padi telah besar dan seluruh masyarakat Baduy menjaga
agar padi di huma serang terhindar dari hama. Di huma Puun ngored kedua. Di
huma masyarakat ngored kesatu.
k. Hapit lemah (November/Desember)
Di huma serang dan huma Puun musim padi besar. Di huma masyarakat
ngored kedua dan mengobati padi. Mengobati padi disini adalah agar padi tumbuh
35 Huma serang adalah huma milik bersama adanya di Baduy Dalam. Ladang khusus ditanamipadi, hasilnya untuk keperluan bersama masyarakat, seperti seba, kawalu dan lain-lain.Penggarapan ladang dikerjakan secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat Baduy Dalam danBaduy Luar. Benih padi yang digunakan berasal dari Cikeusik 7 ikat, Cikartawarna 3 ikat, danCibeo 5 ikat.
55
subur dan terhindar dari hama penganggu. Obat yang digunakan dibuat dari
berbagai bahan yang sudah didoakan melalui dongeng-dongeng yang diceritakan
oleh seorang yang dianggap punya ilmu gaib.
l. Hapit kayu (Desember/Januari)
Di huma serang, huma Puun dan huma masyarakat musim padi besar. Pada
saat ini, masyarakat Baduy sangat menjaga huma agar tetap terhindar dari hama
pengganggu.
(Penanggalan Baduy dan aktivitas masyarakat Baduy pada setiap bulan)
Bulan KegiatanKasa (Januari/Februari)
Panen di ladang serang, sedangkan diladang Puun dan ladang masyarakatpadi telah mulai besa
Kawalu teumbeuy, melakukan puasasehari dalam sebulan.
Karo (Februari/Maret)Ladang serang selesai panen, ladangPuun mulai panen, sedangkan di ladangmasyarakat padi sedang menguning
Kawalu tengah, melakukan puasaseperti bulan pertama, hanya bulanyasaja yang berbeda
Katiga (Maret/April)Di ladang serang tidak ada aktivitas, diladang Puun selesai panen, dan diladang masyarakat sedang panen.
Kawalu tutug, melakukan puasa sepertibulan sebelumnya.Ngalaksa, Acara mengakhiri tahun yangberlalu dan menyambut tahun yangakan datang. Membuat kue dari tepungberas, membuat tumbak-tumbakanlambang laki-laki, serta orok-orokan(bayi).
Safar (April/Mei)Di ladang serang tidak ada aktivitas, diladang Puun selesai panen, ladangmasyarakat sedang panen
Seba atau mengirim hasil-hasilpertanian ke Rangkasbitung danKeresidenan di Serang.
Kalima (Mei/Juni)Di ladang serang mulai nyacar, diladang Puun dan ladang masyarakatbelum ada aktivitas pengerjaan ladang.
Pimpinan adat atau puun pergi jiarah kesaka domas. Masyarakat Baduy Dalamatau masyarakat Baduy Luar dapat ikutjiarah atas izin puun.
Kanem (Juni/Juli)Di ladang serang melakukan nuar. Di Acara hajatan keluarga seperti
56
ladang Puun dan ladang masyarakatbelum ada aktivitas berladang.
pernikahan. Tiap dua tahun sekali adaacara sunatan anak
Kapitu (Juli/Agustus)Di ladang serang ngahuru, ngadurukdan tanam padi. Di ladang Puunmelakukan nuar dan di ladangmasyarakat melakukan nyacarKadalapan (Agustus/September)Di ladang serang ngabadagan. Diladang Puun mengerjakan ngahuru,ngaduruk dan tanam padi. Di ladangmasyarakat mengerjakan nuar.
Kasalapan (September/Oktober)Di ladang serang ngored. Di ladangPuun ngored 1. Di ladang masyarakatngahuru, ngaduruk, dan ngaseuk.
Kasapuluh (Oktober/November)Di ladang serang padi telah besar. Diladang Puun ngored 2. Di ladangmasyarakat ngored 1.Hapit Lemah (November/Desember)Di ladang serang dan ladang Puunmusim padi besar. Di ladangmasyarakat ngored 2 dan mengobatipadi.
Hapit Kayu (Desember/Januari)Di ladang serang, ladang Puun danladang masyarakat musim padi besar.
Walaupun waktu pengerjaan tiap-tiap tahapan itu dikerjakan pada waktu
yang telah ditentukan yang merupakan daur pengerjaan ladang dalam setahun,
pada umumnya masyarakat Baduy dalam menentukan penanggalan dan waktu-
waktu kegiatan untuk berladang didasarkan atau mengambil patokan pada
perputaran bintang. Misalnya seperti yang dikatakan beberapa penduduk desa
Cibeo yang menyatakan berladang dilakukan setahun sekali mengambil patokan
pada bintang.
“Di Baduy ini, menentukan tanggalan itu patokannya dari Bintang. Ada duabintang yang dikenal, bintang kidang dan bintang kartika. Bintang itu kami
57
tuangkan dalam ungkapan-ungkapan untuk mempermudah menentukanpenanggalan.36.
Di masyarakat Baduy mengenal dua macam bintang yang biasa dijadikan
patokan didalam berladang. Yaitu bintang kidang atau ditempat lain disebut
bintang wuluku dan bintang kartika atau gumarang. Untuk bintang kidang
biasanya berbentuk ngeoroyok tiga. Untuk bintang kartika biasanya muncul lebih
awal dari bintang kidang dengan selisih waktu kurang lebih dua minggu.
Penggunaaan pertanda-pertanda pada bintang di masyarakat Baduy biasanya
dituangkan dalam ungkapan-ungkapan. Misalnya dikenal ungkapan tanggal
kidang turun kujang. Hal ini berarti di ladang harus melakukan kegiatan nyacar
dan nuar. Kearifan lokal dalam hal ini adalah sebagai penentu waktu untuk
memulai kegiatan berladang.
Menurut orang Baduy biasanya tanggal kidang bertepatan dengan tanggal
kapitu dan kadalapan pada tanggalan Baduy. Ungkapan lain adalah “kidang
ngarangsang kudu ngahuru”.
“Ngarangsang adalah istilah untuk menyatakan posisi matahari sebelumtengah hari. Jadi kidang ngarangsang, dapat berarti bintang kidang padaposisi matahari pagi. Aktifitas diladang yang harus dilakukan adalah“ngahuru” atau membakar sisa-sisa tebangan. Kidang ngarangsangbiasanya bertepatan pada bulan kasalapan pada tanggalan Baduy”.37
Masyarakat Baduy telah lama mengenal cara melihat bintang sebagai
patokan dalam bercocok tanam dan melakukan aktivitas-aktivitas lainnya. Hal itu
diwariskan secara turun temurun kegenerasi berikutnya. Kearifan dalam hal ini
adalah sebagai waktu yang tepat untuk menentukan bercocok tanam yang baik.
36 Wawancara dengan AM (warga desa Cibeo) Tanggal 14 Februari 201537 Catatan Lapangan No 6
58
2. Lahan Bercocok Tanam Masyarakat Baduy
Berbicara mengenai hal-hal yang berhubungan dengan sistem perladangan
masyarakat Baduy, tentu merupakan suatu rangkaian dan uraian yang amat
panjang dan luas. Huma di Baduy dapat dihubungkan dengan perladangan.
Ladang di Baduy bagi penduduk Sunda merupakan sistem pertanian yang
dilakukan di dalam hutan dan lereng-lereng bukit. Hutan yang dimaksudkan
sebagai daerah perladangan masyarakat Baduy itu terletak jauh dari
pemukimannya. Menurut keterangan seorang penduduk Rangkasbitung yang
dahulu merupakan masyarakat Baduy yang pernah melakukan kegiatan berladang:
“Jarak ladang dengan rumah membutuhkan waktu antara setengah jamsampai satu setengah jam. Hal itu sudah menjadi kebiasaan dari dulu danwujud penghormatan pada Dewi Padi. Saya tidak mengeluh bila berladang,karena dulu belum ada pekerjaan lain seperti sekarang ini. Begitulahsekilas gambaran tentang berladang di Baduy”.38
Penduduk jaman dahulu telah memanfaatkan sumber daya alam sebaik
mungkin. Ditinjau dari segi ilmiah sistem perladangan jaman dahulu yang mereka
lakukan mempunyai arti ekologi yang cukup dalam, bahkan tersirat di dalamnya
prinsip-prinsip pelestarian alam.
Masyarakat Baduy yakin bahwa dirinya diciptakan untuk menjaga tanah
larangan yang merupakan pusat bumi. Mereka dituntut untuk menyelamatkan
hutan titipan dengan menerapkan pola hidup seadanya yang diatur oleh norma
adat. Oleh karena itu, kegiatan utama masyarakat Baduy Dalam pada hakikatnya
terdiri atas pengelolaan lahan untuk pertanian atau ngahuma dan pengeolaan serta
pemeliharaan hutan untuk perlindungan lingkungan. Klasifikasi ruang seperti itu
38 Catatan Lapangan No 2
59
menyebabkan adanya daerah atau tanah yang hanya dikerjakan oleh para
penghuninya, sedangkan orang lain tidak boleh karena dianggap kurang sakral.
Orang Baduy mengemukakan bahwa tanah huma merupakan sumber penting bagi
kehidupan; karena itu, bagi masyarakat Baduy ngahuma atau menanam padi
diladang merupakan pekerjaan wajib yang harus dilaksanakan.
Tata guna lahan di Baduy dapat dibedakan menjadi lahan pemukiman,
pertananian, dan hutan tetap. Lahan pertanian adalah lahan yang digunakan untuk
berladang dan berkebun, serta lahan-lahan yang diberakan. Hutan tetap adalah
hutan-hutan yang dilindungi adat, seperti hutan lindung atau leuweung kolot, dan
hutan lindungan kampung atau hutan lindungan lembur yang terletak disekitar
mata air atau gunung yang dikeramatkan, seperti hutan yang terletak di Gunung
Baduy, Jatake, Cikadu, Bulangit, dan Pagelaran. Hutan tetap ini merupakan hutan
yang selalu akan dipertahankan keberadaanya. Ladang atau huma diwilayah
Baduy berdasarkan kepemilikannya digolongkan menjadi 3 bagian yaitu ladang
(huma) serang, ladang (huma) pimpinan adat, dan huma keluarga masyarakat
Baduy. seperti yang diceritakan salah seorang informan yang merupakan
penduduk Baduy Dalam:
“Berladang itu sudah ada aturan pembagian lahan dan prosespengerjaannya. Sebelum saya dan seluruh warga desa Cibeo ini menggarapladang kepunyaan sendiri, terlebih dahulu kami lakukan pengerjaan humaserang, lalu huma pimpinan adat, setelah itu baru huma kita masing-masing”.39
Ladang (huma) serang merupakan huma adat dan merupakan kepunyaan
bersama. Untuk penggarapan huma serang ini dilakukan secara bersama-sama
39 Wawancara dengan AJ (warga desa Cibeo) Tanggal 16 Maret 2015
60
oleh segenap masyarakat Baduy, baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam dengan
dipimpin oleh pimpinan adat. Hal ini dilakukan agar menghemat waktu. Pada
waktu mengerjakan huma serang ini juga banyak dilakukan upacara adat.
Pengerjaan ladang (huma) serang ini dilakukan paling awal mendahului
pengerjaan ladang pimpinan adat dan ladang umum pemilik masing-masing
keluarga masyarakat Baduy. Ladang (huma) serang ini hanya ada di Baduy Dalam
yaitu daerah Cibeo, Cikartawarna, dan Cikeusik. Ladang (huma) pimpinan adat
adalah ladang kepunyaan pimpinan adat. Di dalam pengerjaanya juga banyak
dibantu oleh masyarakat, namun secara terbatas, tidak seperti mengerjakan ladang
(huma) serang, dikerjakan oleh seluruh masyarakat Baduy dengan mengadakan
upacara-upacara adat secara besar-besaran. Ladang pimpinan adat juga hanya ada
didaerah Baduy Dalam yaitu Cibeo, Cikartawarna, dan Cikeusik. Ladang (huma)
masyarakat adalah ladang kepunyaan masing-masing keluarga Baduy. Penetapan
lahan (huma) untuk masyarakat Baduy Dalam ditentukan berdasrkan musyawarah
bersama warga yang dipimpin oleh puun. Pada umumnya, setiap warga sudah
mempunyai calon lahan yang akan dibuka dan secara informal akan disampaikan
pada saat santai atau ngobrol pada sore hari, sehingga diantara mereka sudah
mengetahui rencana lahannya masing-masing. Keputusan akhir tentang lokasi
penggarapan lahan untuk masing-masing kepala keluarga ditentukan pada saat
musyawarah. Sebelum menentukan lahan yang akan digarap, mereka akan
mencari dan melihat kondisi lahannya. Jika lahan huma telah ditentukan, pada
tempat itu diberi tanda yang disebut pupuhunan, yakni tanah dengan luas kurang
61
lebih 1 meter yang ditanami tanaman hanjuang, sereh, babalak, ari goreng dan
tamiang pugur. Dari pupuhunan inilah mulai dilakukan kegiatan penanaman padi.
Pekerjaan wajib yang harus dilakukan oleh seluruh masyarakat Baduy
Dalam adalah ngahuma (bertanam pada lahan kering). Pekerjaan ini bukan hanya
sekedar mata pencaharian, tetapi juga merupakan ibadah yang merupakan salah
satu rukun Baduy. Oleh karena itu, kegiatan sehari-hari masyarakat Baduy adalah
menangani setiap ladangnya. Tetapi ada hari-hari yang diperbolehkan untuk libur
ke ladang.
“Waktu libur ke ladang hanya pada hari Jum’at dan Minggu yang biasanyadigunakan untuk kegiatan sosial disetiap kampungnya. Terkadang hariJum’at juga digunakan untuk membeli kebutuhan dipasar yang berada didaerah luar Baduy ”.40
Kegiatan berladang ini dianggap kegiatan yang suci karena mengawinkan
dewi padi atau Nyi Pohaci Sanghyang Asri. Kegiatan berladang akan selalu
diikuti upacara-upacara keagamaan yang dipimpin oleh ketua adat.
3. Menetapan Lahan Garapan
Masyarakat Baduy berpendapat bahwa dirinya diciptakan untuk
menjaga tanah larangan yang merupakan pusatnya bumi. Mereka dituntut untuk
menyelamatkan hutan titipannya dengan menerapkan pola hidup seadanya yang
diatur oleh norma adat. Oleh karena itu, kegiatan utama masyarakat Baduy, pada
hakekatnya terdiri dari pengelolaan lahan untuk kegiatan pertanian (ngahuma) dan
pengelolaan serta pemeliharaan hutan untuk perlindungan lingkungan. Tata guna
lahan di Baduy dapat dibedakan menjadi lahan pemukiman, pertanian, dan hutan
40 Catatan Lapangan No 3
62
tetap. Lahan pertanian adalah lahan yang digunakan untuk berladang dan
berkebun, serta lahan-lahan yang diberakan. Hutan tetap adalah hutan-hutan yang
dilindungi oleh adat, seperti hutan lindung (leuweung kolot/titipan), dan hutan
lindungan kampung (hutan lindungan lembur) yang terletak di sekitar mata air
atau gunung yang dikeramatkan. Hutan tetap ini merupakan hutan yang selalu
akan dipertahankan keberadaannya.
Pekerjaan wajib yang harus dilakukan oleh seluruh masayarakat Baduy
adalah ngahuma (bertanam padi lahan kering). Pekerjaan ini bukan hanya sekedar
mata pencaharian, tetapi juga merupakan ibadah yang merupakan salah satu rukun
Baduy. Seperti yang dituturkan oleh AJ tentang berladang:
“Ngahuma itu pekerjaan wajib bagi saya. Ngahuma dikerjakan tiap hari.Saya, istri dan anak-anak saya ikut semua keladang. Ini semua yang biasadilakukan oleh seluruh keluarga dikampung ini. Sekalipun ada libur, itu puncuma hari Jumat dan Minggu.”41
Oleh karena itu kegiatan sehari-hari masyarakat Baduy adalah mengangani
setiap ladangnya. Waktu libur ke ladang hanya pada hari Jumat dan Minggu, yang
biasanya digunakan untuk kegiatan sosial di setiap kampungnya. Kegiatan
berladang ini dianggap kegiatan yang suci, karena mengawinkan dewi padi
atau Nyi Pohaci Sanghyang Asri. Kegiatan berladangnya akan selalu diikuti
dengan upacara-upacara keagamaan yang dipimpin oleh ketua adat.
“Tanah tidak boleh dibalik, karena tanah bisa rusak. Tak boleh pakai pupukdari luar, nanti bisa gagal panen. Tak boleh memasuki hutan titipan,banyak penunggunya. Adat harus dipatuhi, karena saya hidup disini”.42
41 Wawancara dengan AJ (warga desa Cibeo) Tanggal 16 Maret 201542 Wawancara dengan SM (jaro desa Cibeo) Tanggal 14 Februari2015
63
Dari penuturan salah satu informan, peneliti mengerti maksud dari beberapa
larangan dalam proses kegiatan berladang bagi masyarakat Baduy tersebut
diantaranya adalah:
a. Tanah tidak boleh dibalik, maksudnya dalam kegiatan penanaman dilarang
mencangkul, tetapi cukup dinunggal atau dibuat lubang kecil
b. Dilarang menggunakan pupuk dan obat-obat kimia
c. Dilarang membuka ladang di leuweng titipan (hutan tua) atau leuweng
lindungan lembur (hutan kampung)
d. Waktu pengerjaan harus sesuai ketentuan, tidak saling mendahului.
Ketentuan dan tata cara berladang sifatnya mutlak, ditentukan secara
musyawarah oleh ketua adat di Baduy Dalam berdasarkan pikukuh karuhun serta
berlaku untuk semua warga Baduy. Penetapan lahan bercocok tanam untuk
masyarakat Baduy Dalam ditentukan berdasarkan musyawarah bersama warga
yang dipimpin oleh puun. Pada umumnya, setiap warga sudah punya calon lahan
yang akan dibuka dan secara informal akan disampaikan pada saat santai atau
ngobrol pada sore hari, sehingga di antara mereka sudah mengetahui rencana
lahannya masing-masing. Keputusan akhir tentang lokasi penggarapan lahan
untuk masing-masing kepala keluarga ditentukan pada saat musyawarah. Sebelum
menentukan lahan yang akan digarap, mereka akan mencari dan melihat kondisi
lahannya. Jika lahan bercocok tanam telah ditentukan, pada tempat itu diberi tanda
yang disebut pupuhunan, yakni tanah dengan luasan sekitar satu meter persegi
yang ditanami tanaman hanjuang, sereh, babalak, ari goreng, dan tamiang pugur.
Seperti diungkapkan oleh AJ:
64
“Kalau saya sudah dapat lahan yang ditentukan adat, saya beri tanda pakaipupuhunan. Pupuhan itu bisa dibilang pohon obat seperti pohon sereh.Maksud diberi tanda gitu agar masyarakat Baduy lain tidak berebut dantau, kalau lahan itu sudah ada yang menempati”.43
Pada setiap tahun, masyarakat Baduy yang akan menggarap lahan baru,
sebelum bila waktunya mulai bercocok tanam, mereka harus mempersiapkannya
yaitu antara lain mencari lahan-lahan hutan untuk dibuka atau ditebang. Pekerjaan
mencari lahan hutan itu disebut narawas. Narawas dilakukan pada bulan kapitu.
Lahan yang bekas ladang terdahulu yang telah diberakan cukup lama yaitu rata-
rata lebih dari 3 tahun.
Kearifan lokal masyarakat Baduy, terlihat dari tata cara pengelolaan lahan
garapan yang disesuaikan melalui pengaruh kearifan lokal penanggalan-
penanggalan. Selain itu, kearifan lokal juga terlihat dari pembagian lahan garapan
yang melalui kearifan lokal yaitu musyawarah terlebih dahulu. Semua yang
berhubungan dengan kearifan lokal itu dilakukan demi terjaganya keharmonisan
antar masyarakat Baduy dan keharmonisan hidup bersama alam.
4. Menyiapkan Lahan Garapan
Pada saat menyiapkan lahan garapan, yang pertama kali dilakukan
masyarakat Baduy adalah nyacar. Nyacar adalah kegiatan menebang tumbuhan
semak-semak belukar. Selanjutnya melakukan nuar. Nuar adalah kegiatan
memangkas ranting-ranting dan cabang-cabang pohon yang besar, termasuk
tanaman buah-buahan, serta menebang pilih jenis-jenis pohon tertentu saja. Pada
saat nyacar dan nuar ini dilakukan tebang piih secara seksama. Tidak semua
43 Wawancara dengan AJ (warga desa Cibeo) Tanggal 16 Maret 2015
65
tumbuhan atau pepohonan yang ada dihutan ditebang. Pada saat nyacar dan nuar
ini juga sekalian dilakukan penyiangan terhadap tumbuhan-tumbuhan pengganggu
yang tumbuh disekeliling tumbuhan buah-buahan. Masyarakat Baduy tidak
melakukan penebangan sembarangan. Sekiranya mereka memilah terlebih dahulu,
tanaman mana yang akan mengganggu tanaman buah-buahan. Ada hal yang selalu
diperhatikan oleh masyarakat Baduy pada saat nyacar. Yaitu adanya hewan buas
seperti ular sanca. Ular sanca yang bisa berukuran paha lelaki biasa, biasanya
menjadi pengganggu dalam melakukan kegiatan nyacar. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh AJ:
“Saya sering ketemu ular kalau lagi nyacar. Bila mengganggu langsungsaya bacok. kalau enggak mengganggu ya saya diamkan saja”.44
Sebelum melakukan nuar biasanya didahului dengan acara nukuh. Pada
acara nukuh, tata caranya hampir sama dengan narawas yaitu menyimpan batu
dan tanaman koneng atau kunir. Dalam melakukan acara nukuh ini, masyarakat
Baduy tidak sembarangan melakukanya. Mereka melakukannya dengan tata cara
yang sesuai agar semuanya berjalan dengan baik.
“Nukuh itu punya fungsi untuk mengusir makhluk halus di ladang. nukuh itumembaca mantra-mantra dan menebarkan ramuan yang diberikan olehpuun”.45
Menurut pendapat masyarakat Baduy, kegiatan nukuh ini dimaksudkan
untuk mengusir makhluk halus yang menempati lahan hutan itu. Dengan
melakukan kegiatan nukuh ini diharapkan segala sesuatunya didalam membuka
lahan itu akan berjalan dengan lancar dan selamat.
44 Wawancara dengan AJ (penduduk desa Cibeo) Tanggal 16 Maret 201545 Wawancara dengan AJ (penduduk desa Cibeo) Tanggal 16 Maret 2015
66
Bahan-bahan sisa tebangan hasil nyacar dan nuar ini dibiarkan selama
kurang lebih satu bulan, sehingga bahan-bahan itu menjadi kering dan mudah
nantinya untuk dibakar. Isitlah membiarkan sisa tebangan itu menjadi kering
disebut ngaganggang. Selanjutnya bahan-bahan sisa yang telah cukup kering
dikumpulkan menjadi beberapa tumpukan atau onggokan lalu dibakar atau
istilahnya disebut ngahuru. Selesai acara ngahuru, biasanya bahan-bahan tebangan
itu tidak habis semuanya terbakar, tetapi masih ditemukan sisa-sisa tebangan yang
belum terbakar. Lalu semua bahan-bahan sisa pembakaran itu dikumpulkan lagi,
sambil para peladang itu juga membersihkan tunas-tunas tumbuhan pengganggu
yang tumbuh dibawah onggokan sisa-sisa pembakaran, biasanya yang lebih
dominan adalah tunas alang-alang. Kegiatan menyiangi tumbuhan penganggu
ditempat sisa-sisa pembakaran ini disebutnya nyasap.
Kegiatan-kegiatan ini merupakan bentuk pengetahuan yang diwariskan
secara turun-temurun. Cara mewariskan pengetahuan ini dengan mengajak anak-
anak untuk turut serta melakukan kegiatan berladang. Kearifan lokal dalam hal ini
adalah untuk menjaga kesuburan tanah dan kesuburan tanaman yang akan
ditanam.
5. Masa Tanam
Pada saat berladang, tanaman yang paling awal ditanam adalah pisang.
Pisang ditanam pada saat ngaganggang. Ngaganggang adalah pekerjaan
mengeringkan sisa-sisa tebangan. Cara menanam pohon pisang menggunakan
suatu aturan khusus, terutama yang diperhatikan antara lain adalah tentang jarak
67
tanam. Misalnya pada suatu lahan yang direncanakan hanya akan digarap satu
tahun saja, jarak tanam pisang agak rapat. Namun sebaliknya, bila lahan itu
direncanakan akan digarap ulang atau digarap dua tahun berturut-turut, jarak
tanamannya lebih jarang. Pengaturan jarak tanaman pisang itu dimaksudkan
nantinya bila pisang itu telah tumbuh dengan besar, tajuk daunya tidak akan
menaungi jenis-jenis tanaman lain yang ditanam dibawahnya, terutama pada saat
penggarapan ulang atau nyami.
Pada saat ngaduruk, pisang yang sudah ditanam itu ditimbun (disaeur) oleh
bahan-bahan sisa pembakaran, sehingga pohon pisang akan tumbuh makin subur.
Pada saat pembakaran lahan itu, pohon-pohon pisang yan telah ditanam tidak
terganggu oleh adanya pembakaran tersebut. Walaupun adakalanya bagian daun-
daun pisang yang terbakar, tetapi bagian pangkal batang masih tetap baik.
Setelah selesai tanaman pisang ditanam, selanjutnya tanaman padi ditanam.
Cara menanam tanaman padi adalah dengan menggunakan alat tugal yang disebut
aseukan. Aseukan merupakan tongkat kayu yang memiliki panjang kira-kira 1
meter dengan diameter 50 cm dan salah satu ujungnya berbentuk runcing.
“Aseukan itu nama lainnya adalah gejlig. Fungsinya untuk buat lubangyang nantinya ditaruh bibit padi. Padi yang dimasukan cuma 5 butir, kalaukebanyakan, mungkin bisa jadi pohonnya jelek. Saat menanam padi, jugadilakukan penanaman tanaman sereh dan kunyit.46
Kaum lelaki berjalan didepan menugal tanah, sedangkan kaum perempuan
mengikuti dibelakangnya memasukkan benih padi dan benih dan benih lainnya
pada lubang yang telah dibuat tadi. Biji padi yang dimasukkan pada setiap lubang
46 Wawancara dengan AJ (warga desa Cibeo) Tanggal 16 Maret 2015
68
jumlahnya 5 butir. Bibit padi yang digunakan didapat dari hasil memanen dari
tahun sebelumnya.
Pada saat bersamaan dengan tanaman padi, ditanam pula jenis-jenis tanaman
lainya seperti kacang penyut, hiris, cengek, hanjeli, kunyit, terong, mentimun,
kepes, kacang jerami, kacang belendung, roay, ubi manis, kumili, talas dan labu.
Hiris dan kacang penyut ditanam satu lubang dengan padi. Jenis-jenis tanaman
merambat, seperti ubi manis biasanya ditanam dekat pohon. Hal ini dimaksudkan
agar jenis-jenis tanaman merambat itu nantinya dapat tumbuh merambat naik
kepohon sekitarnya. Tanaman hanjeli ditanam dibagian-bagian pinggir atau batas
ladang. Ada tanaman-tanaman tertentu yang tidak boleh ditanam oleh masyrakat
Baduy Dalam. Tanaman itu diantarannya jahe, kunyit, dan kumis kucing.
Banyak tanaman yang dilarang pada masyarakat Baduy Dalam. Hal ini
dikarenakan untuk menjaga keasrian dan kelestarian tanaman yang sudah ada dari
dahulu kala. Kearifan lokal dalam hal ini adalah strategi untuk menjaga agar tanah
tidak rusak.
6. Masa Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman yang utama di ladang adalah menyiangi tumbuhan
pengganggu berupa rumput-rumput liar yang tumbuh diladang. Menyiangi
tumbuhan pengganggu biasanya dilakukan dua kali. Menyiangi tahap pertama
dilakukan pada saat umur padi lebih kurang satu bulan. Pada saat itu biasanya
tumbuhan pengganggu telah cukup banyak. Sedangkan pada umur padi kurang
lebih dua bulan, tumbuhan pengganggu mulai tumbuh banyak lagi, maka
69
dilakukan penyiangan tahap dua. Pada saat ini biasanya dilakukan pula kegiatan
mengobati padi, caranya dengan menaburkan ramuan terdiri dari abu sisa-sisa
pembakaran, daun mengkudu, kulit jeruk dan lain-lain. Ramuan itu pada malam
hari sebelumnya telah diberi mantera-mantera dengan cara diadakan acara
dongengan tentang dewi padi oleh seorang yang dianggap mahir mengisahkan
cerita itu. Seperti yang diceritakanoleh AJ:
“Di Baduy ada ramuan khusus untuk mengobati padi, ramuannya itu sayabuat dari sisa-sisa abu pembakaran, bisa dari daun mengkudu, bisa darikulit jeruk, bisa dari daun pisang, pokoknya macam-macam”. Ramuan itudimantera-mantera sama bengkong atau orang luar bilang dukun. Ramuanitu dimantera melalui kisah cerita-cerita tentang dewi padi.47
Penduduk lainnya menghadiri acara kisah itu, sambil masing-masing
membawa ramuan obat tersebut yang selama mendengar kisah itu, masing-masing
bungkusan ramuannya dikumpulkan bersama. Berdasarkan informasi dari
beberapa penduduk kampung Cibeo, beberapa gangguan hama dan penyakit yang
biasa mengganggu tanaman di ladang antara lain adalah hama ganjur dan daun
padi berwarna kuning.
Memelihara tanaman adalah suatu aktivitas yang biasa dilakukan pada saat
padi berumur satu bulan. Kegunaan dari pemeliharaan ini adalah agar padi
tumbuh dengan subur, tanpa ada gangguan dari penyakit apapun. Kearifan lokal
dalam hal ini adalah strategi untuk menjaga kesuburan tanaman padi.
47 Wawancara dengan AJ (warga desa Cibeo) Tanggal 16 Maret 2015
70
7. Masa Panen
Panen padi adalah hari-hari yang sangat dinantikan oleh semua masyarakat
Baduy. Pada bulan panen, sekitar tiga bulan, kawasan Baduy tertutup bagi
masyarakat luar. Bersamaan dengan bulan ini, dilakukan upacara besar
masyarakat Baduy, yaitu upacara kawalu akhir.
“Sifat gotong royong sayang terlihat disini, pada saat memanen ladangmilik pimpinan adat. Semua masyarakat yang ada di desa Cibeo inibersiap-siap untuk memanen ladang milik pimpinan adat yang sangat luasini. Tak terkecuali istri dan anak kecil yang masih belum bisa berjalan”.48
Bulan pertama yang dipanen adalah huma serang, bulan kedua adalah huma
pimpinan adat, sedangkan bulan ketiga adalah huma masyarakat. Sebelum panen
padi juga dilakukan dulu suatu upacara khusus yang disebut acara mipit pare.
Pada upacara ini dilakukan pemotongan padi induk. Padi induk adalah padi yang
paling awal ditanam di ladang, yaitu padi ditanam pertama oleh kepala keluarga
peladang atau peladang atau oleh orang lain yang khusus mampu
mengerjakannya, ditanam ditempat tersendiri mendahului acara tanam padi
ngaseuk di ladang.
Cara menuai padi dilakukan secara tradisional menggunakan etem.
Potongan-potongan tangkai padi diikat menggunakan tali bambu. Sedangkan
tangkai-tangkai padi yang tercecer jatuh di tanah dikumpulkan pada keranjang
kecil dari bambu yang diikatkan di pinggang. Satu ikat padi itu dinamakan satu
pocong. Pocongan-pocongan padi dikumpulkan dan selanjutnya disimpan pada
lantayan. Lantayan adalah tempat untuk mengeringkan padi sementara. Lantayan
terbuat dari galah bambu dengan menggunakan tiang-tiang dari cabang atau
48 Catatan Lapangan No 4
71
batang kayu yang bercagak. Pada bagian atas lantayan ini ditutupi oleh daun kiray
yang telah dirangkai dengan tusukan-tusukan bambu seperti yang biasa
digunakan untuk atap rumah atau dangau. Hal ini menjaga padi agar tidak basah
saat turun hujan. Lantayan ini biasa diletakkan di pinggir-pinggir dangau atau
ditempat-tempat lainnya disekitar ladang. Untuk hasil panen yang lain seperti
kunyit, kencur, pisang biasanya dilakukan sebelum atau setelah tanaman padi
selesai dipanen.
Padi yang telah kering kemudian disimpan pada lumbung padi di sekitar
pemukiman. Kegiatan membawa padi dari lantayan ke leuit disebut nunjal.
Pengangkutan padi dilakukan oleh semua anggota keluarga mulai dari suami, istri,
dan anak-anaknya. Lumbung padi masyarakat Baduy pintunya diatas. Karena itu
memasukkan atau mengambil padi harus menggunakan tangga. Padi-padi hasil
panen sebelumnya, jika tidak habis, akan tertimbun oleh padi-padi baru. Selian
untuk menyimpan padi, lumbung padi juga digunakan untuk menyimpan bibit-
bibit unggul untuk ditanam pada tahun berikutnya. Lumbung padi ditutup rapat
untuk mencegah padi dari hama atau hewan lainnya.
Masyarakat Baduy tidak bisa seenaknya membuka lumbung, tetapi harus
mendapatkan izin dari pemimpin kampung. Kebutuhan padi untuk hidup sehari-
hari, maupun untuk upacara-upacara telah direncanakan bersama sehingga tidak
ada keluarga yang kekurangan maupun kelebihan persediaan padi dirumah.
Kearifan lokal dalam bercocok tanam terlihat pada saat memanen padi.
Sebagai contoh alat yang digunakan untuk memanen, berbeda dengan alat-alat
yang digunakan pada umumnya. Selain itu cara mengikat dan menjemur padi juga
72
berbeda dengan masyarakat luar Baduy. Tempat penyimpanan padi pun atau leuit
berbeda dengan tempat penyimpanan padi pada umumnya.
8. Konsumsi Makanan
Pola makan masyarakat Baduy, khususnya Baduy Dalam, mereka
mempunyai kebiasaan makan 3 kali dalam sehari, seperti yang diungkapkan oleh
AJ:
“Biasanya kami dalam sehari makan 3 kali. Yaitu madang isuk, madangsiang, dan madang sore”49
Komposisi makanan yang utama bagi masyarakat Baduy setiap harinya,
khususnya Baduy Dalam antara lain adalah nasi, ikan asin, petai, rebus rebung,
dan lalapan. Selain itu, mereka juga mempunyai kebiasaan ngopi dan makanan
ringan.
Pada masyarakat Baduy Dalam, merokok tidak diperkenankan, yang boleh
hanyalah makan sirih, baik untuk perempuan juga bagi kaum laki-laki. Sedangkan
pada masyarakat Baduy Luar, merokok sudah umum. Tidak ada larangan bagi
masyarakat Baduy Luar untuk merokok.
9. Pola Becocok Tanam Masyarakat Baduy
Kegiatan utama masyarakat Baduy adalah untuk menyelamatkan dan
menjaga tanah larangan yang telah dititipkan oleh leluhurnya. Oleh karena itu,
perilaku masyarakat Baduy selalu diarahkan pada pengelolaan lahan untuk
kegiatan pertanian. Kegiatan pengelolaan lahannya dilakukan dengan
49 Wawancara dengan AJ (warga desa Cibeo) Tanggal 16 Maret 2015
73
menggunakan sistem perladangan padi kering yang lahannya di berakan (di
diamkan). Setiap tahapan perladangannya diatur oleh ketentuan adat yang wajib
ditaati seluruh masyarakat Baduy.
Bercocok tanam di ladang pada masyarakat Baduy merupakan suatu bentuk
mata pencaharian manusia yang lambat laun juga akan hilang, diganti dengan
bercocok tanam menetap. Cara bercocok tanam di ladang, yaitu membuka
sebidang tanah dengan memotong semak belukar, dan menebang pohon-pohon,
kemudian dahan-dahan dan batang-batang yang jatuh bertebaran dibakar setelah
kering. Ladang-ladang yang dibuka dengan cara itu kemudian ditanami dengan
pengolahan yang minimum dan tanpa irigrasi. Sesudah dua atau tiga kali
memungut hasilnya, tanah yang sudah kehilangan kesuburan itu ditinggalkan.
Sebuah ladang baru dibuka dengan cara yang sama, yaitu dengan menebang dan
membakar pohon-pohonnya. Setelah 3 hingga 5 tahun, masyarakat Baduy akan
membuka kembali lagi ladang pertama yang sudah tertutup dengan hutan.
Perladangan yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Baduy
adalah kegiatan perladangan utamanya menanam padi. Selain sebagai makanan
pokok, padi juga merupakan tanaman yang dianggap mulia atau dikultuskan
berkenaan kepercayaan atau keyakinan perilaku yang mempengaruhi sikap
terhadap perilaku.50 Hal ini telah peneliti telusuri mengenai tanaman padi sebagai
keyakinan perilaku terhadap perladangan untuk menanam padi. Masyarakat
Baduy sangat menghormati padi karena diyakini sebagai penjelmaan Nyi Sri atau
Nyi Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Padi. Penghormatan kepada padi terlihat
50 J. Garna, Nyi Pohaci Sanghyang Asri Dalam Orang Baduy Inti Jagad, (Yogyakarta: 1998,Budhi Dharma Pradesa), hlm. 23
74
sepanjang proses perladangan, panen, hingga pasca panen. Tradisi penghormatan
kepada padi tersebut merupakan kearifan lokal yang tetap harus dipelihara dan
dijaga sebagai upaya memperhatiannya sebagai makanan pokok.
Perladangan pada masyarakat Baduy yang diikuti dengan aturan-aturan adat
membuat perladangan pada masyarakat Baduy memiliki nilai-nilai luhur yang
membuat lingkungan sekitarnya menjadi harmonis. Semisalnya cara mereka
menanam dengan menggunakan tugal tidak dengan pacul akan membuat tekstur
tanah tidak hancur. Lalu tidak menggunakan pupuk kimia karena dapat merusak
tanah dan tanaman secara tidak langsung. Kearifan lokal dalam hal ini adalah
untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Kesuburan lahan di daerah Baduy, secara umum sangat tergantung sekali
pada kondisi hutan. Hal ini karena sistem pertanian di daerah Baduy belum dan
bahkan mereka menolak dan menghindari penggunaan pupuk kimia, khususnya
pada pertanian ladang. Kesuburan tanah pada masyarakat Baduy, hanya diperoleh
dari hasil pembakaran tanaman-tanaman yang sudah tak terpakai dan pembusukan
sereseh atau humus. Oleh karena itu sangat memperhatikan masa bera lahan.
Lahan ladang, secara umum ada kecenderungan dari tahun ke tahun kesuburan
tanahnya makin menurun. Hal ini dapat dimengerti, karena penduduk yang
tambah pesat dapat mengakibatkan luas lahan hutan yang makin sempit dan masa
bera lahan yang makin pendek, sehingga jauh dapat mengakibatkan kesuburan
lahan ladang makin turun.
Menurut pengetahuan yang turun-temurun dari sejumlah informan dan
narasumber diketahui bahwa pemilihan lahan ladang atau huma didasarkan atas
75
jenis tanah, kandungan humus, dan kemiringan lereng. Dari inilah masyarakat
Baduy memilih tempat yang nantinya akan digunakan untuk lahan bercocok
tanam. Berikut ini adalah beberapa cara yang dapat digunakan untuk menentukan
lahan bercocok tanam baru yaitu:
a. Macam-macam Tanah
Masyarakat Baduy telah memiliki kemampuan mengenal macam-macam
tanah dan karakteristiknya untuk lahan bercocok tanam. Macam-macam tanah itu
diberi nama khusus berdasarkan warna, kandungan air dan kandungan batu.
Berdasarkan warna, lahan bercocok tanam menurut masyarakat Baduy dapat
dibedakan menjadi 3 macam yaitu tanah merah (tanah beureum), karakteristiknya
kurang subur, tanah putih (tanah bodas), karakteristiknya cukup subur dan tanah
hitam (tanah hideung), karakteristiknya subur, sebab tanah itu biasanya banyak
mengandung humus.
Berdasarkan kandungan air yang ada pada tanah, jenis-jenis tanah dibedakan
menjadi dua macam, yaitu Taneuh liket dan taneuh bear. Taneuh liket adalah
tanah yang lengket dan mempunyai karakteristik kurang baik. Sedangkan taneuh
bear adalah tanah tidak lengket dan mempunyai karakteristik cukup baik.
Masyarakat Baduy mengenal kandungan batu dalam tanah disuatu lahan
untuk bercocok tanam. Menurut masyarakat Baduy kandungan batu didalam tanah
itu dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu Tanah berbatu-batu (taneuh
karang), lahan itu memiliki karakteristik kurang baik atau kurang subur. Tanah
tidak berbatu-batu (taneuh henteu aya batuna), memiliki karakteristik cukup baik
atau subur untuk bercocok tanam.
76
b. Kandungan Humus
Humus menurut istilah masyarakat Baduy disebut surubuk. Sedangkan
daun-daun kering yang jatuh atau seresah disebut koleang. Menurut masyarakat
Baduy lahan yang baik untuk dijadikan lahan bercocok tanam adalah lahan yang
memiliki banyak koleang (seresah) dan surubuk (humus). Hal ini dapat dimengerti
karena koleang dan surubuk merupakan bahan pupuk organik yang diperlukan
oleh tanaman nantinya dilahan bercocok tanam. Seperti diketahui, masyarakat
Baduy tidak dalam bercocok tanam tidak menggunakan pupuk kandang atau
pupuk kimia. Ada aturan adat yang melarangnya. Lahan yang memiliki koleang
dan surubuk tinggi, biasanya lahan hutan yang telah ditinggalkan atau tidak
digarap dalam waktu yang cukup lama.
c. Kemiringan Lereng
Berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan, lahan yang digunakan
untuk bercocok tanam pada masyarakat Baduy dibagi menjadi dua yaitu lahan
gedeng atau lahan ditempat yang miring atau curam dan lahan cepak atau lahan
ditempat datar.
d. Jenis-jenis Tumbuhan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat beberapa jenis tumbuhan di
daerah yang akan dijadikan ladang dapat digunakan sebagai indikator atau
petunjuk tentang kesuburannya. Misalnya suatau lahan bakal bercocok tanam
diperkirakan subur, bila pada lahan itu ditemukan banyak tumbuhan seperti
keseureuh, mara, dan bintinu. Sedangkan lahan diperkirakan kurang subur, bila di
lahan itu banyak ditemukan jenis-jenis tumbuhan seperti hamirung, reungkay dan
77
seuhang. Kearifan lokal dalam hal adalah jaminan bahwa lahan ladang yang
dipilih baik dan subur.
Konsep perladangan masyarakat Baduy yaitu menetapkan lahan garapan,
menyiapkan lahan garapan, menanam, memelihara, menjaga, dan memanen.
Menetapkan lahan garapan ditentukan dari kualitas tanah dan kemiringan lereng
bukit. Setelah memilih tempat yang dirasa sudah cocok, barulah menyiapkan
lahan garapan. Menyiapkan lahan garapan dilakukan dengan penebasan tanaman-
tanaman liar seperti rumput dan semak belukar. Selanjutnya dilakukan
penebangan ranting-ranting dan pohon-pohon yang bisa menganggu tanaman
yang nantinya akan ditanam.
Dalam menyiapkan lahan garapan, hampir dari semua jenis pepohonan yang
tumbuh di sekitar ladang yang dibuka akan mereka potong. Pemotongan atau
penebangan pohon ini bertujuan agar ladang yang dibuka dapat dengan bebas
menerima sinar matahari. Meskipun penebangan pohon sebagai daerah
perladangan yang sangat penting, tetapi tidak semua pepohonan akan mereka
tebang. Pohon–pohon yang tidak mereka yaitu, terutama pohon–pohon berukuran
besar yang di pandang memerlukan waktu banyak untuk ditebang. Umumnya
dalam mengatasi hal ini, perladangan hanya melakukan pemotongan pada ranting-
ranting pohon itu saja. Selain penebangan tidak dilakukan pada pohon–pohon
berukuran besar, penebangan juga tidak akan mereka lakukan pada pohon yang
dianggap amgker ‘kramat’. Pohon-pohon yang dianggap angker itu biasanya
tumbuh di sekitar mata air atau di atas kuburan ‘makam’.
78
Menurut kepercayaan mereka, pohon yang ditebang oleh orang akan
menimbulkan kemarahan bagi penghuninya (maksudnya roh halus yang tinggal di
dalam pohon). Kemarahan dari roh–roh itu mungkin akan terwujud dalam bentuk
wabah penyakit atau kematian bagi orang yang menebang pohon itu. Setelah
perpohonan mereka terbang, tahap berikutnya adalah pembersihan dari tempat itu
sendiri. Kotoran tumbuhan-tumbuhan itu sendiri. Kotoran tumbuhan-tumbuhan
yang berupa daun-daun, ranting-ranting dan cabang-cabang kayu dikeringkan
yang kemudian dibakar. Sedangkan potongan potongan kayu yang besar dalah
tahap ini tidak mereka ikut sertakan dibakar. Potongan-potongan kayu akan
mereka pergunakan sebagai pematangan dari ladang yang dibukanya. Tujuan
pembuatan pematangan dari kayu, dimaksudkan untuk mencegah agar sisa-sisa
abu pembakaran tidak segera lenyap sebagai akibat turunnya hujan.
Pembakaran bahan berkayu seperti di atas, merupakan suatu hal yang
penting bagi kehidupan masyarakat Baduy. Pembakaran akan mempercepat proses
pembusukan dan sekali gus mengarahkan proses itu sedemikian rupa, sehingga zat
makanan yang dilepaskan tersalur sebanyak sebanyak mungkin ke dalam
tanaman. Proporsinya cukup besar dari energi mineral untuk dapat menghidupi
tanaman yang di tanam lebih banyak dari abu pembakaran dari pada tanah itu
sendiri. Keadaan semacam itu telah di sadari oleh kebanyakan ladang jaman
dahulu, karena itu mereka berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai
keberhasilan dalam tahap pembakaran. Keberhasilan suatu pembakaran akan
tergantung pada keringnya udara selama masa tebang tanam. Suhu udara yang
relatif rendah maupun sering turun hujan, maka pembakaran disini tidak dapat
79
dilakukan secara sempurna. untuk menghindari ketidaksempurnaan dalam
pembakaran seperti tersebut, masyarakat Baduy menggunakan kalender adat.
Siklus perladangan masyarakat Baduy setelah tahap pembakaran selanjutnya
adalah menanam. Jenis tanaman yang mereka tanam terutama tanaman pangan
yaitu tanaman padi. Penanaman padi mereka lakukan dengan membuat lubang-
lubang dalam tanah lebih kurang sedalam 5 cm dengan menggunakan gejlig
tongkat tugal yang mereka gunakan untuk membuat lobang tersebut dibuat dari
lobangan kayu di bagian ujung runcing. Umumnya besar potongan kayu yang
diambil untuk dijadikan gejlig kira-kira segenggam tangan orang dewasa atau
berdimeter sekitar 7 cm. Adapun cara menggunakannya alat itu dengan dipegang
ditangan kanan atau di kedua tangannya untuk diangkat dan diturunkan ke tanah
pekerjaan semacam ini akan menghasilkan berbagai banyak lubang.
10. Hubungan Masyarakat Baduy dengan Lingkungannya
Seperti telah dikemukakan diatas, masyarakat Baduy dalam bercocok tanam
dari waktu ke waktu senantiasa mengadakan interaksi dengan alam lingkungan
sekitarnya. Masyarakat Baduy Dalam mempengaruhi alam sekitarnya dan
masyarakat Baduy juga terkena pengaruh alam sekitarnya. Hubungan timbal balik
antara masyarakat Baduy dengan alam lingkungannya dalam bercocok tanam ini
telah membentuk suatu interaksi antara masyarakat Baduy dengan berbagai
komponen di alam, misalnya masyarakat Baduy mengetahui berbagai macam
jenis tumbuhan dengan segala fungsi dan cara merawatnya, masyarakat Baduy
mengetahui tanah yang baik untuk digunakan, dan tanah yang tidak baik untuk
80
digunakan, dan masyarakat Baduy mengetahui cara merawat sungai agar tetap
jernih.
Kearifan lokal dalam hal ini merupakan strategi untuk bercocok tanam yang
baik karena mempertimbangkan aspek-aspek tertentu, dengan melihat kondisi
alam dan masyarakat. Komponen utama yang menyusun sistem bercocok tanam
pada masyarakat Baduy itu adalah penduduk atau masyarakat, makanan, lahan
pertanian dan hutan, hasil pertanian dan kesuburan lahan. Semua komponen itu
saling berinteraksi membentuk satu kesatuan. Interaksi antara masyarakat Baduy
dengan lingkungannya dalam praktek bercocok tanam adalah abstraksasi atau
penyederhanaan dari hubungan yang kompleks dan rumit dari keadaan
sesungguhnya yang terjadi di alam wilayah Baduy itu. Berubahnya salah satu
komponennya, maka akan menyebabkan perubahan pada komponen-komponen
lainnya.
11. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy dalam Bercocok Tanam.
Kearifan lokal masyarakat Baduy merupakan suatu bentuk warisan budaya
Indonesia yang telah berkembang sejak lama. Kearifan lokal masyarakat Baduy
lahir dari pemikiran dan nilai yang diyakini suatu masyarakat Baduy terhadap
alam dan lingkungannya. Di dalam kearifan lokal masyarakat Baduy tentuunya
terkandung nilai-nilai, norma-norma, sistem kepercayaan, dan ide-ide masyarakat
setempat. Kearifan lokal pada masyarakat Baduy berkaitan erat dengan
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang fungsinya untuk konservasi
dan pelestarian alam.
81
Masyarakat Baduy tidak sembarangan dalam memulai ataupun
melaksanakan kegiatan bercocok tanam. Masyarakat Baduy memiliki kearifan
lokal sendiri dalam menentukan waktu untuk memulai kegiatan bercocok tanam.
Munculnya bintang kidang merupakan pertanda bagi masyarakat Baduy untuk
bersiap-siap turun ke ladang.
Tata cara tahapan-tahapan pengerjaan ladang di daerah Baduy dimulai dari
narawas yaitu mencari daerah hutan untuk ladang. Setelah narawas, kemudian
menyiapkan lahan dengan cara nyacar atau menebang semak belukar, nukuh atau
mengusir makhluk pengganggu hutan, nuar atau memangkas rangting-ranting dan
cabang pohon, nyasap atau membersihkan rumput dan tunas-tunas tumbuhan
penganggu di lahan bekas nyacar, ngahuru atau membakar sisa-sisa tebangan,
ngaduruk atau membakar sisa-sisa tebangan. Lalu memulai menanam dengan cara
ngaseuk atau tanam padi dan tanaman lainnya. Selanjutnya pemeliharaan dengan
cara ngored 1 atau menyiangi tumbuhan pengganggu tahap pertama, ngored 2 atau
menyiangi tumbuhan pengganggu tahap kedua, ngubaran pare atau mengobati
padi dari serangan hama dan penyakit. Tahap terakhir memanen dan menyimpan
hasil dengan cara dibuat atau panen padi di ladang, dielep atau menyimpan dan
menyusun padi di dangau, dan nunjal atau mengangkut padi ke leuit di kampung.
Kearifan lokal masyarakat Baduy mengklasifikasikan lima jenis huma yaitu
huma serang, huma puun, huma tangtu, huma tuladan dan huma panamping.
Berdasarkan penelitian yang saya lakukan, huma serang dibuka dan ditanam
terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan huma puun, huma tangtu, lalu huma
panamping. Jenis-jenis huma tersebut merupakan strategi ketahanan pangan yang
82
dihasilkan terutama untuk keperluan adat dan keperluan sehari-hari, serta tidak
boleh diperjualbelikan. Hasil padi panamping untuk upacara adat diwilayah
panamping. Jika terjadi gagal panen di huma serang, maka padi upacara diambil
dari huma panamping. Jika keduanya gagal panen, maka padi diambil dari huma
tangtu dan huma panamping. Strategi ini merupakan cara untuk mengatasi
kegagalan panen misalnya akibat cuaca yang tidak menentu dan serangan hama.
Dengan membuka ladang pada tempat yang berbeda dan tidak bersamaan, maka
kegagalan panen dapat dihindari. Kearifan lokal masyarakat Baduy dalam tradisi
perladangan ini berdampak pada ketahanan pangan masyarakat Baduy.
Masyarakat Baduy akan menggunakan sumber daya lokal sesuai dengan
kebutuhannya dan tidak akan mengeksploitasi secara besar-besar atau di
komersialkan. Sumber daya lokal ini sudah dibagi peruntukannya seperti hutan,
kebun, sumber air, lahan pertanian, dan permukiman. Kepemilikan sumber daya
lokal ini biasanya bersifat kolektif. Kolektif disini adalah untuk mencegah
pengurangan lahan Baduy. Kearifan lokal yang berada pada masyarakat Baduy
dalam pengelolaan lahan bercocok tanam yaitu berladang adalah cerminan dari
perilaku ramah lingkungan yang bertujuan untuk keberlanjutan dan kelestarian
lingkungan. Perilaku ramah lingkungan ini dilakukan untuk menjaga keadaan
alam yang telah mereka andalkan untuk bertahan hidup. Kondisi lingkungan
menyediakan segala kebutuhan mereka. Semua itu mereka lakukan sebagai bentuk
balas budi, karena alam menyediakan segala sesuatu yang mereka butuhkan.
Daerah Baduy memiliki lingkungan yang menarik, baik lingkungan sosial
budaya, maupun lingkungan fisik. Lingkungan sosial budaya mereka sangat kuat
83
dalam memegang adat istiadat secara turun-temurun. Berdasarkan budaya mereka
banyak memiliki pantangan-pantangan. Diantara pantangan-pantangan itu banyak
diantarannya ditunjukkan untuk suatu pengelolaan lingkungan demi keterlanjutan
kehidupan mereka. Lingkungan keadaan fisik wilayah Baduy berbukit-bukit,
dengan model umumnya dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu bentuk pertama di daerah
kaki bukit, berupa daerah datar tempat pemukiman, yang dikelilingi oleh hutan
kampung. Bentuk kedua, berupa daerah di atas bentuk pertama, pada lereng bukit.
Tempat ini diperuntukkan bagi lahan berladang. Bentuk ketiga, terletak di puncak-
puncak bukit, berupa hutan yang tidak boleh digunakan untuk dijadikan lahan.
Daerah Baduy karena lokasinya yang berbukit-bukit dan terisolasi dimana
masyarakat Baduy menjauhkan diri ketempat terpencil, serta masyarakatnya
memiliki konsep perlindungan dengan cara tradisional terhadap wilayah-wilayah
tertentu, membuat daerah Baduy masih memiliki keanekaragaman hayati yang
cukup tinggi. Adanya keanekaragaman hayati ini memiliki berbagai keuntungan,
baik untuk kualitas lingkungan ataupun fungsi sosial ekonomi penduduk.
12. Mewariskan Kearifan Lokal
Masyarakat adat Baduy termasuk masyarakat adat yang terisolasi yang
menjaga tradisi nenek moyang dari pengaruh luar. Pendekatan pendidikan di
Baduy Dalam adalah secara informal yang dilakukan didalam keluarga.
Sedangkan pendekatan pendidikan di Baduy Luar adalah dilakukan dirumah-
rumah maupun di lapangan secara langsung. Tidak ada pendidikan formal disana,
meskipun demikian sebagian masyarakatnya dapat membaca dan menulis.
84
Selain menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari, masyarakat
Baduy juga dapat berbicara dalam bahasa Indonesia. Mereka memiliki sistem
pendidikan sendiri, dimana bagi anak-anak sebelum usia 10 tahun mereka
dibimbing oleh orang tua masing-masing. Setelah usia 10 tahun, mereka belajar
norma dan aturan yang berlaku di Baduy dengan berkelompok kecil. Kelompok-
kelompok tersebut didasarkan pada kedekatan rumah mereka, dibimbing oleh
seorang pemimpin yang ada di lingkungan dekat mereka. Umumnya tempat
belajar mereka di rumah pemimpin mereka yang memiliki tempat luas, selain itu
juga pelajaran lebih banyak dilakukan di alam secara langsung. Bagi mereka
proses belajar dilakukan terus menerus dan tidak lagi dibatasi umur, siapa saja
dapat datang kepada pemimpinnya atau belajar dengan orang lain yang lebih
pintar kapan saja mereka membutuhkan. Materi atau substanasi pendidikan yang
diajarkan mereka secara turun temurun pada dasarnya adalah sesuai dengan
kebutuhan hidup saja. Aspek aturan hidup, ekonomi, sosial, serta lingkungan
merupakan materi pelajaran yang diajarkan bagi semua masyarakat.
Belajar aturan hidup merupakan dasar pelajaran yang harus diketahui semua
masyarakat. Hal-hal yang baik dan buruk menurut mereka diajarkan secara turun
temurun. Aturan hidup merupakan payung dari seuruh aktifitas. Aspek ekonomi
yang diajarkan hanya sederhana, yaitu belajar bercocok tanam dengan tetap
menjaga keseimbangan alam. Semua anak laki-laki dan perempuan Baduy bisa
bercocok tanam sesuai dengan cara bercocok tanam mereka. Khusus untuk
perempuan Baduy belajar cara bermasak dan membuat kerajinan tangan dari kulit
pohon. Pengetahuan sosial masyarakat diberikan untuk memehami struktur adat
85
serta ritual-ritual yang harus dijalankan. Pelajaran mengenai menjaga kelestarian
lingkungan ditujukan untuk tetap menjaga keutuhan bentuk alam. Mereka paham
titik-titik mana yang tidak boleh dimanfaatkan dan tempat mana yang bisa
dimanfaatkan. Untuk menjaga kelestarian air sungai, bahkan mereka diajarkan
untuk tidak menggunakan sabun serta pasta gigi, karena dapat mencemari air
sungai. Untuk menjaga kebersihan mereka menggunakan bahan-bahan alami dari
tumbuhan sebagai pengganti sabun dan pasta gigi.
Cara mewariskan kearifan lokal diajarkan sangat sederhana sekali, hanya
untuk memenuhi kebutuhan hidup saja. Dituturkan oleh pimpinan adat bahwa kita
mendidik masyarakatnya bukan untuk menjadi pintar tetapi untuk menjadi jujur.
Mereka berpikir bahwa orang pintar identik dengan modern, sehingga orang pintar
berkeinginan untuk melakukan perubahan di lingkungan Baduy, sedangkan orang
jujur lebih bisa mematuhi aturan yang ada dikalangan Baduy dan cenderung
mengikuti aturan tersebut. Kearifan lokal dalam hal ini adalah sebagai bentuk
kesadaran akan budaya yang mereka miliki dan untuk mencegah masuknya
budaya-budaya luar yang dapat merusak kehidupan masyarakat Baduy.
13. Nilai-Nilai Luhur dalam Kearifan Lokal Suku Baduy
Kearifan lokal masyarakat Baduy berproses panjang sehingga akhirnya
terbukti, hal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka. Sampai batas
tertentu ada nilai-nilai yang berakar kuat pada setiap aspek lokalitas budaya.
Dalam bingkai kearifan lokal inilah, masyarakat bereksistensi dan berkonsistensi
antara satu dan lainnya.
86
Disamping berfungsi sebagai pembentuk dan penguat identitas kesukuan,
kearifan lokal masyarakat suku Baduy juga bisa digunakan sebagai penyaring bagi
nilai-nilai yang berasal dari luar, dan dapat juga dijadikan pijakan dalam
pengembangan nilai-nilai luhur yang hendak diinternalisasikan dalam pendidikan
karakter.
Beberapa nilai-nilai luhur dalam kearifan lokal masyarakat Suku Baduy
yang dapat ditransmisikan kepada peserta didik atau siswa maupun anak-anak kita
nantinya dalam rangka membentuk karakternya. Nilai-nilai luhur yang ada dalam
masyarakat Baduy adalah:
a. Peduli Lingkungan
Masyarakat baduy adalah sosok masyarakat yang dari waktu ke waktu, dari
generasi ke generasi selalu patuh terhadap amanat leluhurnya, terutama dalam
memelihara keharmonisan dan keseimbangan alam semesta.51 Mereka
memandang bahwa tugas utama mereka dilahirkan ke dunia ini adalah unuk
bertapa. Yang dimaksud bertapa disini bukan berarti tidak makan, tidak minum,
atau tidak tidur, tetapi bertapa dalam bentuk tidak mengubah dan merusak alam
agar tetap terjaga keseimbangan fungsi dan manfaatnya demi kesejahteraan dan
keharmonisan kehidupan seluruh manusia. Sebagai contoh cara mereka bercocok
tanam dengan menggunakan peralatan sederhana dan pengetahuan yang dimiliki.
Menurut keyakinan mereka, menjaga dan memelihara alam adalah sebuah
kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jika kewajiban itu tidak dipatuhi
51 Ada sejumlah praktik pendidikan tradisional (etnodidaktik) yang terbukti ampuh, seperti padamasyarakat adat Kampung Naga dan Baduy dalam melestarikan lingkungan. Lihat Alwasilah,Etnopedagogi, hlm. 50
87
maka mereka akan dicap sebagai makhluk pendosa karena sudah melanggar
petuah leluhur dan juga ajaran Sunda Wiwitan.
Kepedulian masyarakat Baduy dalam menjaga kelestarian alam terlihat jelas
dalam Amanat Buyut berikut yang disampaikan oleh AM:
“Buyut nu nitipkeun ka puun, nagara satelung puluh telu, bangan sawidaklima, pancer salawe nagara, gunung teu meunang dilebur, lebak teumeunang dirusak, larangan teu meunang dirempak, buyut teu meunangdirobah, lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, nulan kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkan, nu enya kudu dienyakeun”.52
Artinya, buyut yang dititpkan ke puun, negara tiga puluh tiga, sungai enam
puluh lima, pusat dua puluh lima, gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak
boleh dirusak, larangan tidak boleh dilanggar, buyut tidak boleh diubah, panjang
tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung, yang bukan harus
ditiadakan, yang jangan harus dinafikan, dan yang benar harus dibenarkan.
b. Suka bekerjasama
Tolong menolong atau kerjasama adalah bagian yang terpisahkan dari ciri
khas masyarakat Baduy. Hampir setiap kegiatan kemasyarakatan atau kebutuhan
individu selalu dikerjakan dengan semangat gotong royong saling membantu,
yang dalam bahasa mereka diistilahkan rereongan. Misalnya pada saat pembuatan
rumah, saat nyacar huma serang, saat menanam padi (ngaseuk), acara sunatan,
acara perkawinan, acara kawalu, acara ngalaksa, acara seba, dan pembuatan dan
perbaikan jalan atau jembatan dan sebagainya. Dan uniknya adalah mengenal
jabatan ataupun status ekonomi, mereka bersatu padu antara pimpinan adat
dengan anggota masyarakat, laki-laki dan perempuan serta anak-anak yang
52 Wawancara dengan AM (warga desa Cibeo) Tanggal 14 Februari 2015
88
termasuk masyarakat Baduy, semua berpartisipasi secara bersama-sama dan
kompak.
c. Taat pada hukum
Keikhlasan dan ketaatan masyarakat Baduy dalam menerapkan hukum adat
dalam kehidupan sehari-harinya betul-betul telah mengakar dan mengikat
batinnya, sehingga hukum adat bagi mereka bukanlah suatu teori atau pendapat
untuk diperdebatkan. Namun, hukum merupakan aturan hidup yang harus ditaati
dan sekaligus untuk diaplikasikan dalam setiap aspek kehidupan mereka sehingga
hukum adat merupakan hiasan dan pakaian yang melekat erat dalam kehidupan
sehari-hari mereka tanpa terkecuali. Singkat kata, mereka sangat meyakini bahwa
hukum adat harus ditaati dan dilaksanakan, apalagi hukum itu dilanggar mereka
akan mendapatkan kutukan dari Sang Pencipta dan Guriang leluhur, dan akibatnya
mereka akan hidup dalam kenestapaan. Sebagai contoh kearifan lokal mereka
pada saat bercocok tanam. Mereka melaksanakan setiap kegiatan yang ada
didalamnya dan mengikuti segala tata cara yang diajarkan adat.
d. Sederhana dan Mandiri
Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang menganut pola hidup sederhana
yang secara mandiri berusaha memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Kebutuhan
pangan mereka penuhi dengan dua cara. Pertama, dengan menanam padi di ladang
setahun sekali, hasilnya tidak untuk diperjualbelikan, tetapi disimpan di Leuit
masing-masing sebagai cadangan atau persiapan bila suatu saat terjadi bencana
alam yang mengakibatkan kekurangan pangan. Kedua, untuk memenuhi
kebutuhan pangan/makan sehari-hari, mereka berusaha sekuat tenaga membeli
89
kebutuhan yang diperlukan dari para pedagang disekitar pemukiman mereka.
Kesederhanaan mereka lebih lanjut dapat dilihat dari pola hidup mereka terutama
dalam hal pakaian dan rumah. Sedangkan kemandirian mereka lebih tampak dari
cara mereka menyikapi sesuatu dari “luar” dan memberdayakan apa yang ada di
“dalam”. masyarakat Baduy tidak pernah meminta-minta apalagi sampai
mengajukan proposal ke Pemerintah Lebak atau lainnya untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Hal itu pantang mereka lakukan Namun demikian,
mereka tidak pernah menolak bantuan pembangunan dari pemerintah pusat
maupun daerah. Hanya saja bagi mereka, hidup sudah cukup dengan mensyukuri
yang ada dan menjalani hidup apa adanya, yang terpenting bagi mereka Tuhan
ridha, semesta terpelihara, dan luluhur bahagia.
e. Demokratis
Kepatuhan masyarakat Suku Baduy dalam melaksanakan amat leluhurnya
sangat kuat, ketat, serta tegas, tetapi tidak sifat pemaksaan kehendak. ini terbukti
dengan filosofi hidup yan gbegitu arif dan berwawasan jauh kedepan serta sikap
waspada yang luar biasa dari para leluhur mereka. Hal ini dibuktikan dengan
dibentuknya dua komunitas generasi penerus kesukuan mereka sekaligus aturan
hukum adatnya masing-masing yang sarat dengan ciri khas dan perbedaan, namun
mampu mengikat menjadi satu kesatuan Baduy yang utuh. Nuansa demokratis di
masyrakat suku Baduy alan lebih tampak lagi dari cara mereka mentradisikan
bermusyawarah dalam kehidupan sehari-hari seperti saat menentukan pemimpin
atau tokoh adat suku Baduy. Musyawarah adalah pilar pokok dari demokrasi,
tidak ada demokrasi tanpa musyawarah. Inti musyawarah adalah saling memberi
90
hak untuk menyatakan pendapat, dan saling mengakui adanya kewajiban
mendengar pendapat. Intisari proses dan pelaksanaan pemilihan tokoh adat atau
pemimpin adat di Suku Baduy diawali dengan pemenuhan syarat atau kriteria
pemimpin secara lahiriah dan diakhiri dengan tata cara pemilihan secara batiniah
dengan proses tertentu yang dilaksanakan melalui musyawarah lembaga adat
tangtu tilu jaro tujuh dengan tahapan-tahapan sampai akhirnya tokoh adat dapat
terpilih.
f. Suka bekerja keras
Berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan, masyarakat Baduy dikenal
sebagai masyarakat pekerja keras. Hari-harinya mereka lalui dengan berbagai
aktivitas super padat, baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Di sana, kita
tidak akan menemukan pemuda Baduy Dalam yang nganggur dan remaja Baduy
Dalam yang hobi nongkrong ataupun menghabiskan waktu untuk berfoya-foya.
Semua berusaha memenuhi kebutuhan hidup dengan bekerja keras. Di pagi hari
sampai sore mayoritas mereka ke ladang untuk bercocok tanam. Ternyata,
perilaku kerja keras juga terlihat ketika mereka melakukan aktivitas dirumah.
Sambil duduk serambi di rumah, para perempuan Baduy menjahit seadannya dan
membuat kerajinan tangan lainnya. Masyarakat Baduy termasuk masyarakat yang
produktif, dalam arti selalu memanfaatkan waktu dengan diisi oleh kegiatan-
kegiatan yang menghasilkan dan bermanfaat.
g. Jujur
Bagi masyarakat Baduy kejujuran adalah harga diri. Artinya, seseorang
dihargai dan dihormati oleh masyarakat karena kejujurannya. Orang tidak jujur
91
tidak ada harga dirinya. Oleh karena itu, orang Baduy dalam kehidupan sehari-
hari bicara apa adanya, tegas, ringkas, tidak samar-samar, tidak dikurangi dan
tidak pula ditambahkan, jujur, dan menghindari konflik dengan siapa pun.
Sebagaimana dikatakan oleh AM mengenai filsafat orang Baduy.
“Jadi pemimpin itu jangan berbicara tidak terukur, jangan bicara tanpadipikir terlebih dahulu, jangan berkata seenaknya, yang benar katakanbenar, yang dilarang katakan dilarang, jangan menipu dan jangan bohong,tapi juga jadi pemimpin itu harus bijaksana dalam memutuskan, harusmemiliki sifat toleran, harus menolong kepada yang membutuhkan,memberi kepada yang kesusahan, harus memandu kepada yang ketakutan,dan menerangi kepada yang kebingungan”.53
Singkat kata, kejujuran telah menjadi semacam penuntun dan pedoman
hidup mereka dan itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari sejak nenek moyang
mereka lahir sampai pada anak cucunya sekarang.
53 Wawancara dengan AM (warga desa Cibeo) Tanggal 14 Februari 2015
92
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang saya lakukan, kesimpulan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Cara masyarakat Baduy untuk mempertahankan kearifan lokalnya dari budaya
luar adalah dengan terus menjaga amanat leluhur yang diajarkan secara turun-
temurun kepada setiap anggota masyarakatnya. Amanat leluhur ini diturunkan
dari generasi ke generasi melalui peran lembaga adat yang didalamnya terdapat
nilai-nilai luhur yaitu tentang cara menjaga alam, merawat alam, dan hidup
harmonis selaras dengan alam. Dengan aturan adat ini, masyarakat Baduy
dapat mempertahankan kearifan lokalnya dari pengaruh budaya luar.
2. Cara masyarakat Baduy menjaga kearifan lokalnya dari segi bercocok tanam
adalah dengan menerapkan sistem perladangan. Perladangan yang dilakukan
masyarakat Baduy mengikuti penanggalan-penanggalan yang ditentukan oleh
adat. Dalam aktivitas perladangan masyarakat Baduy, terdapat kearifan-
kearifan lokal sebagai strategi ketahanan mereka dari pengaruh budaya luar
yang mengancam. Hal ini yang membuat masyarakat Baduy mampu
mempertahankan kearifan lokalnya. Berladang bagi masyarakat Baduy
merupakan cara penghormatan mereka terhadap leluhur. Bentuk kearifan lokal
92
93
dari bercocok tanam ini merupakan strategi untuk bertahan dari masuknya
pengaruh budaya luar.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka saran dari peneliti adalah
sebagai berikut:
1. Dinamika kearifan lokal semakin berubah secara signifikan sehingga perlu
kebijakan pemerintah untuk memberikan solusi terkait faktor ekonomi yang
menjadi faktor utama perubahan kearifan lokal tersebut. Pemerintah
diharapkan mampu menjaga kearifan-kearifan lokal yang ada di Indonesia
khususnya di wilayah Baduy.
2. Persepsi masyarakat menjadi pola pikir yang cepat berubah seperti pola tanam
monokultur sehingga perlu program pemerintah untuk mengantisipasi pola
tanam tersebut sebelum dampak pola tanam menyebar terhadap masyarakat
sekitar hutan Baduy.
3. Kearifan lokal masyarakat Baduy diharapkan digunakan untuk kajian ilmu
pendidikan dalam bidang antropologi, sosiologi, geografi, dan lingkungan.
94
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Chaidar, dkk, 2009, Etnopedagogi :Landasan Praktek Pendidikan dan
Pendidikan Guru, Bandung, Penerbit Kiblat.
Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa “Local Genius”. Jakarta,
Penerbit Pustaka Jaya.
Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Lebak.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lebak.
Garna, J, 1998. Nyi Pohaci Sanghyang Asri dalam Orang Baduy dari Inti Jagad.
Yogyakarta, Penerbit Bentara Budaya, Harian Kompas, Etnodata
Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Pradesa.
Indranata, Iskandar. 2008. Pendekatan Kualitatif untuk Pengendalian Kualitas.
Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Iskandar, Johan, 1992. Ekologi Perladangan di Indonesia, Jakarta, Penerbit
Djambatan.
Keraf A Sonny, 2010, Etika Lingkungan Hidup, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.
Koentjaningrat, 1965, Pengantar Antropologi, Jakarta, Penerbit Universitas.
Kurnia, Asep dan Ahmad Sihabudin, 2010, Saatnya Baduy Bicara, Jakarta,
Penerbit Bumi Aksara
Permana, R Cecep Eka, 2010, Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Dalam Mitigasi
Bencana, Jakarta, Penerbit Wedatama Widya Sastra.
Rahardjo, 2004, Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta, Penerbit UGM
Press.
95
Ritzer, George, 2013, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta,
Penerbit PT Raja Grafindo Persada.
Ritzer, George & Douglas J.Goodman, 2010, Teori Sosiologi Modern, Jakarta,
Penerbit Prenada Media Group.
Soekanto, Soerjono, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Penerbit PT. Raja
Grafindo Persada.
Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D, Bandung,
Penerbit Alfabeta.
97
Lampiran 1
PEDOMAN OBSERVASI
No Tempat Key Informan/Informan
Hal yang diamati
1. BaduyDalam
1. Jaro/Pimpinan
desa Cibeo
(Key Informan)
1. Mengetahui Pikukuh Adat masyarakat
Baduy.
2. Mengetahui jumlah penduduk Baduy Dalam
3. Mengetahui batas letak antar desa
4. Mengetahui kepercayaan masyarakat Baduy
5. Mengetahui sistem perkawinan masyarakat
Baduy
6. Mengetahui aturan-aturan yang harus
dipatuhi oleh masyarakat Baduy
7. Mengetahui pandangan masyarakat Baduy
terhadap lingkungan.
8. Mengetahui jumlah masyarakat yang ada di
Baduy Dalam.
9. Mengetahui sejauh mana konsep AGIL
berlaku
2. BaduyDalam
1. Masyarakat
desa Baduy
(informan)
1. Mengetahui keseharian tingkah laku
masyarakat Baduy saat bercocok tanam.
98
3. BaduyLuar
1. Masyarakat
Baduy
(informan)
1. Mengetahui berjalannya pikukuh adat
didaerah Baduy Luar
4. Ladang 1. Warga desa
(informan)
1. Mengetahui apa saja yang dilakukan
masyarakat Baduy pada saat berladang.
2. Mengetahui bagaimana proses menanam
hingga memanen
5. Sungai 1. Warga desa
(informan)
1. Mengetaui aktivitas masyarakat Baduy pada
saat disungai
6. Hutan 1. Warga desa
(informan)
1. Mengetahui apa saja tumbuhan yang hidup di
hutan
2. Mengetahui tanaman apa saja yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari
7. PemukimanBaduy
1. Warga desa
(informan)
1. Mengetahui cara mereka bersosialisasi.
2. Mengetahui keseharian masyarakat Baduy
saat di desa.
99
Lampiran 2
WAWANCARA 1
Nama : Ayah SM
Usia : 59 Tahun
Tanggal : 14 Februari 2015
Jabatan : Jaro Tangtu Desa Cibeo
Alamat : Desa Cibeo, Baduy Dalam
1. Bagaimana pandangan anda melihat pandangan orang luar tekait kesukuan
masyarakat anda?
Jawaban: Kalau hierarki atau tahapan struktur lembaga adat diputarbalikkan
yang di atas jadi di bawah, yang di bawah menjadi di atas maka
hukum di wiwitan akan jadi kacau balau tidak berkesinambungan,
padahal tatanan hukum adat dilaksanakan sejelas-jelasnya, jangan
ditambah atau dikurangi.
2. Apa keyakinan atau agama yang dianut orang Baduy?
Jawaban: Agama nu diagen ku masyrakat Baduy ngarana Agama Sunda
Wiwitan, nabina Adam Tunggal. Dina keyakinan Sunda Wiwitan
kami mah teu kabagean parentah shalat seperti dulur-dulur sabab
wiwitan Adam tugasna memelihara kasaimbangan ieu alam, teu
ngabogaan kitabna da ajarana neurap jeung alam.Makana agama
Slam Sunda Wiwitan ngan ukur keur urang Baduy. Aya juga
100
perintah dari Buyut yaitu jadi pemimpin itu jangan berbicara tidak
terukur, jangan bicara tanpa dipikir terlebih dahulu, jangan berkata
seenaknya, yang benar katakan benar, yang dilarang katakan
dilarang, jangan menipu dan jangan bohong, tapi juga jadi
pemimpin itu harus bijaksana dalam memutuskan, harus memiliki
sifat toleran, harus menolong kepada yang membutuhkan, memberi
kepada yang kesusahan, harus memandu kepada yang ketakutan,
dan menerangi kepada yang kebingungan.
3. Bagaimana cara masyarakat Baduy menjaga lingkungan sekitar rumahnya?
Jawaban: Baduy itu masyarakat yang mempunyai tugas melindungi alam ini.
Kami merupakan keturunan langsung dari Adam Tunggal. Kami
ada didunia ini untuk melindungi alam ini. Masyarakat Baduy
menjaga lingkungannya dengan cara mentaati aturan adat secara
turun temurun. Sejak awal kami selalu waspada dan menyadari
bahwa zaman pasti berubah, tantangan buat masyarakat Baduy
semakin hari semakin berat, dari berbagai perkampungan
perbatasan sudah tidak terbendung lagi oleh kemajuan pola dan
gaya hidup, tetapi kami tetap teguh patuh untuk melaksanakan
amanat wiwitan”. Lojor teu beunag dipotong, pondok teu beunang
disambung. Gede teu beunang dicokot, leutik teu beunang
ditambah. Mipit kudu amit, ngala kudu menta, ngagedig kudu
bewara, mun neukteuk kudu sateukna, mun nilas kudu sapasna,
mun ngadek kudu saclekna, nu lain dilainkeun, nu enya
101
dienyakeun, ulah gorok ulah linyok. Misalnya dalam tata cara
pengelolaan ladang, kami mengikuti tanggalan yang sudah
ditetapkan oleh lembaga adat. Selain itu agar lingkungan aman dan
tenteram, kami juga harus waspada terhadap segala perubahan yang
dapat merusak amanat leluhur.
4. Apa sajakah hal-hal yang harus diperhatikan pada saat bercocok tanam?
Jawaban: Hal-hal yang berhubungan dengan bercocok tanam itu sudah diatur
oleh adat, seperti kapan mulai menanam dan kapan mulai
memanen. Dalam bercocok tanam kami tidak menggunakan pupuk
yang berasal dari luar. Pupuk dari luar banyak mengandung bahan
kimia yang bisa merusak kesuburan tanah kami.
5. Bagaimana cara bercocok tanam yang baik?
Jawaban: Cara bercocok tanam yang baik adalah mengikuti cara adat. Selama
kami mengikuti cara adat, hampir tak pernah mengalami gagal
panen.
6. Tanaman apa saja yang biasa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari?
Jawaban: Tanaman yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari yaitu daun
kristulang, daun ini kami gunakan untuk minuman. Kalau orang
luar biasa menyebutnya dengan teh. Tanaman ini kami dapatkan
dari hutan.
7. Bagaimana cara merawat daerah aliran sungai agar tetap bersih terjaga?
Jawaban: Cara menjaga aliran sungai Cibeo ini dengan melarang pengunjung
luar ataupun masyarakat Cibeo sendiri menggunakan sabun atau
102
bahan kimia lainnya. Selain itu kami juga membatasi daerah-daerah
aliran sungai yang akan digunakan untuk kegiatan sehari-hari.
8. Jenis tanaman apa saja yang tumbuh disekitar rumah?
Jawaban: Jenis tanaman yang tumbuh disekitar desa Cibeo ini biasanya jenis
tanaman obat. Biasanya kumis kucing dan kunyit.
9. Jenis tanaman apa yang tumbuh disekitar hutan dan perbukitan?
Jawaban: Tanaman yang kami tanam didaerah garapan atau ladang tanaman
pokoknya adalah padi, selain itu ada pohon pisang, jahe, kunyit,
kunir, jengkol, petai, dan duren.
10. Bagaimana cara masyarakat Baduy menghindari penebangan hutan yang
berlebihan?
Jawaban: Kami melakukan kerjasama dengan orang luar, untuk
menindaklanjuti bila ada penebangan hutan secara liar, biasanya
dilakukan oleh orang bukan masyarakat Baduy. Apabila ada yag
ketahuan melakukan hal tersebut, kami laporkan kelembaga adat
dan selanjutnya lembaga adat melaporkannya kepada pihak yang
berwajib. Untuk masyarakat Baduy sendiri sangat mematuhi adat,
sehingga tidak pernah melakukan tindakan pengrusakan hutan.
11. Bagaimana pola pertanian masyarakat Baduy pada zaman dahulu?
Jawaban: Pola pertanian masyarakat Baduy zaman dahulu masih sama dengan
sekarang. Tidak ada perbedaanya.
12. Adakah aturan-aturan tertentu dalam mengolah tanah untuk bercocok tanam?
103
Jawaban: Tidak ada aturan yang melarang menanam diwaktu-waktu tertentu.
Karena semua sudah ada patokanya. Silakan menanam tanaman
yang boleh ditanam, jangan menanam tanaman yang dilarang
ditanam disini. Aturan-aturan itu sudah dijelaskan dalam
penanggalan Baduy. Mulai dari menanam, memupuk, melakukan
acara adat, sampai memanen. “Di Baduy ini, menentukan tanggalan
itu patokannya dari Bintang. Ada dua bintang yang dikenal, bintang
kidang dan bintang kartika. Bintang itu kami tuangkan dalam
ungkapan-ungkapan untuk mempermudah menentukan
penanggalan.
13. Peralatan apa saja yang digunakan untuk menanam?
Jawaban: Peralatan yang kami gunakan adalah golok, tugal atau aseukan, dan
etem.
14. Adakah upacara-upacara yang dilakukan sebelum memulai menanam?
Jawaban: Sebelum menanam biasanya ada upacara kawinan dan sunatan.
Tidak ada upacara lain untuk mulai berladang.
15. Hal apa yang harus diperhatikan pada saat bercocok tanam?
Jawaban: Hal yang harus diperhatikan pada saat berladang itu pada saat
menjaga, karena bila tidak dijaga bisa gagal panen. Apalagi kalau
ada hama pengganggu seperti belalang dan babi hutan.
16. Waktu-waktu apa saja yang baik untuk bercocok tanam?
104
Jawaban: Waktu yang baik untuk mulai berladang adalah sesuai dengan
tanggalan adat. Tanggalan yang menentukan kapan kami harus
mulai menanam.
17. Dibutuhkan waktu berapa lama, dari mulai menanam hingga memanen?
Jawaban: Dibutuhkan waktu 6 bulan dari saat menanam sampai memanen.
Biasanya pada saat memanen, ada upacara kawalu. Upacara kawalu
dilakukan 3 tahap. Yaitu pada bulan kasa, karo, dan katiga. Pada
bulan kasa disebutnya kawalu tembeuy, bulan karo disebutnya
kawalu tengah dan bulan katiga disebutnya kawalu tutug. “ kawalu
menurut keyakinan Baduy adalah bulan suci, bulan kebahagiaan,
dan bulan kemuliaan yang isisnnya kegiatan-kegiatan berdoa untuk
keselamatan alam dan manusia serta isisnya, beribadah, memohon
ampunan dosa dari berbagai kesalahan terutama kesalahan
pengrusakan lingkungan alam atau mencemari/mengotori alam,
bersyukur atas keselamatan, kesehatan dan keberhasilan,
melaksanakan berbagai rukun ibadah agama sunda wiwitan dan
amanat-amanat leluhur. “Kawalu adalah upacara dalam rangka
kembalinya padi dari ladang ke lumbung. Kawalu itu, dilakukan
sebanyak tiga kali, masing-masing sekali dalam tiap-tiap bulan
kawalu. Pada bulan ini ada upacara kawalu teumbeuy atau kawalu
mitembeuy. Kawalu ini melakukan puasa sehari di dalam sebulan.
Di daerah Cieukesik dan Cikartawarna tanggal 18 dan Cibeo
tanggal 19. Pernah ada program pemberian bibit unggul dari
105
pemerintah, tapi kami menolaknya. Alasanya kami karena ada
larangan adat yang mengaturnya. Lagipula kami sudah merasa
cukup dengan apa yang ada. Bibit kami juga tak kalah bagusnya
dengan bibit dari luar.
18. Bagaimana cara masyarakat Baduy menjaga lahan pertaniannya dari
gangguan hama atau binatang perusak lainya?
Jawaban: Cara kami menjaga ladang itu dengan ramuan-ramuan yang telah
dimantera-mantera.
19. Kesulitan apa yang biasanya dialami masyarakat Baduy pada saat bercocok
tanam?
Jawaban: Kami tidak merasa sulit dalam melakukan perladangan. Mungkin
hal ini karena kami memang memegang teguh terhadap adat.
Selama kami mematuhi adat dan cara berladang yang diajarkan dari
dulu, kami tidak merasa sulit melakukannya.
20. Apakah ada teknik khusus masyarakat Baduy untuk bercocok tanam?
Jawaban: Urang rasa tak ada teknik khusus yang digunakan pada masyarakat
Baduy dalam berladang. Urang hanya mengikuti apa yang telah
diajarkan. Selain itu juga urang tidak tau bagaimana cara berladang
pada urang luar yang bukan urang Baduy
21. Sebelum melakukan penanaman, apakah ada hal-hal tertentu yang dilakukan
oleh masyarakat Baduy?
Jawaban: Sebelum menanam biasanya kami melakukan nyacar. Nyacar itu
kegiatan menebang tumbuhan semak belukar. Setelah nyacar
106
dilakukan kegiatan nukuh. Nukuh itu dilakukan untuk mengusir
makhluk halus yang ada di lahan hutan yang akan kami garap.
Selanjutnya ada acara nuar. Nuar adalah kegiatan memangkas
ranting-ranting dan cabang-cabang pohon yang besar. setelah nuar
kita biasa ngaganggang. Yaitu pembakaran dari dari sisa tebangan
hasil nyacar dan nuar.
22. Dari mana masyarakat Baduy mendapatkan bibit untuk melakukan kegiatan
bercocok tanam?
Jawaban: Kami tidak menggunakan bibit dari luar. Itu semua karena adat
yang melarang. Kami menggunakan bibit milik sendiri, yang sudah
dipilih sebelumnya dari hasil panen tahun sebelumnya.
23. Tanah seperti apa yang cocok ditanami tanaman padi?
Jawaban: Kami mengenal 3 macam tanah, yaitu tanah beureum, tanah bodas,
dan tanah hideung. Tanah yang biasa kami pakai untuk berladang
adalah tanah hideung karena banyak mengandung surubuk.
24. Bagaimanakah cara menjaga tanaman agar dapat tumbuh subur?
Jawaban: Tanaman agar tetap tumbuh subur harus sering diberi ramuan-
ramuan atau urang luar bilang pupuk. Pupuk yang digunakan
berasal dari sisa-sisa ngaganggang.
25. Apa perbedaan cara bercocok tanam pada masyarakat Baduy dengan
masyarakat lain pada umumnya?
Jawaban: Yang saya tau perbedaanya kalau urang luar ladangnya ada saluran
air, di kami tidak. Kami juga hanya menggunakan peralatan
107
sederhana yang sudah ada. Selain itu kami berladang dilereng bukit
tanpa ada aliran air. Kami hanya mengandalkan hujan untuk
mengairi ladang kami.
26. Apakah ada ritual-ritual yang dilakukan sebelum melakukan kegiatan
bercocok tanam?
Jawaban: Tak ada ritual-ritual khusus untuk memulai berladang. Yang ada
hanya aktivitas-aktivitas seperti yang saya jelaskan tadi.
27. Apakah ada ritual-ritual yang dilakukan sesudah melakukan kegiatan
bercocok tanam?
Jawaban: Kalau sesudah memanen biasanya kita mengadakan acara seba.
Seba itu acara adat yang diwariskan secara turun-temurun untuk
menghadap pemerintah dengan tujuan utama menjalin silaturahmi,
melaporkan situasi di lingkungan Baduy, dan menyampaikan
aspirasi kami dengan harapan terjalin kerjasama untuk saling
mendoakan dan saling melindungi. Selain itu ada acara ngalaksa.
Ngalaksa di Baduy adalah berdoa dalam rangka mengakhiri tahun
yang lalu dan menyambut tahun yang akan datang. Harapannya
agar pada tahun yang akan datang seluruh warga Baduy mendapat
keselamatan, kesejahteraan hidup, rukun dan damai, serta
memohon perlindungan dari sang Maha Pencipta alam raya ini.
28. Menurut Anda, kedudukan Jaro Tangtu itu seperti apa?
Jawaban: Yang memastikan terhadap suatu masalah, yang menentukan suatu
keputusan atau kepastian yang harus dilaksanakan.
108
WAWANCARA 2
Nama : Ayah AM
Usia : 49 Tahun
Tanggal : 14 Februari 2015
Jabatan : Wakil Jaro Tangtu Desa Cibeo
Alamat : Desa Cibeo, Baduy Dalam
1. Apa pikukuh adat yang ada di daerah Baduy?
Jawaban: Pikukuh adat Baduy itu “lojor teu meunang dipotong, pondok teu
meunang disambung. Gunung teu meunang dilebur, lebak teu
meunang dirusak. Buyut teu meunang dirobah”. Pikukuh ini
menjelaskan aturan tanpa perubahan apapun.
2. Bagaimanakah asal-usul masyarakat Baduy?
Jawaban: Ada banyak versi yang bercerita tentang kami. Ada yang bilang
kami orang pelarian, ada juga yang bilang kami ini keturunan orang
arab. Tapi yang kami tau, kami ini merupakan keturunan langsung
dari manusia pertama yang diciptakan Tuhan di muka bumi ini
yang bernama Adam Tunggal.
3. Menurut anda, apa saja aturan adat yang harus dipatuhi masyarakat Baduy?
Jawaban: Tidak ada milih-memilih dalam aturan adat. Semuanya harus
dipatuhi. Semua itu kan sudah ditetapkan secara turun temurun.
109
4. Hal apa yang membuat orang Baduy mampu bertahan pada pesatnya arus
Globalisasi?
Jawaban: Kami selalu patuh pada aturan adat. Karena itulah tujuan kami
diciptakan didunia ini. Kami diperintahkan untuk selalu menjaga
lingkungan kami. “Buyut nu nitipkeun ka puun, nagara satelung
puluh telu, bangan sawidak lima, pancer salawe nagara, gunung teu
meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, larangan teu
meunang dirempak, buyut teu meunang dirobah, lojor teu meunang
dipotong, pondok teu meunang disambung, nu lan kudu dilainkeun,
nu ulah kudu diulahkan, nu enya kudu dienyakeun”.Amanat buyut
ini yang telah dititipkan kepada kami itu yang membuat kami
bertahan sampai sekarang ini.
5. Bagaimana masyarakat Baduy menyesuaikan diri dengan lingkungannya?
Jawaban: Kami itu sudah terlahir di alam dengan kondisi yang seperti ini.
Kalian lihat sendiri dimana-mana hutan dan pegunungan. Disinilah
kami lahir, disini pula kami beradaptasi dengan segala pengetahuan
yang kami miliki.
6. Bagaimana masyarakat Baduy menyesuaikan lingkungan dengan
kebutuhanya?
Jawaban: Masalah kebutuhan, urang Baduy kalau makan gak pilih-pilih, kami
ini hidup seadanya. Andaikan ada keperluan lain seperti ikan asin,
baru kami beli diluar daerah Baduy.
7. Bagaimana cara anda mengatur hubungan antar masyarakat Baduy?
110
Jawaban: Kalau ngatur antara Baduy luar dan Baduy Dalam itu sudah ada
tugasnya masing-masing. Yang penting kami harus saling menjaga
sopan santun terhadap sesama masyarakat Baduy.
8. Bagaimana cara anda menyampaikan suatu kebijakan baru kepada seluruh
masyarakat Baduy?
Jawaban: Kebijakan itu diputuskan bersama, tidak saya sendiri. Biasanya
kami lakukan musyawarah dahulu untuk melakukan suatu
keputusan. Setelah ada keputusan, baru nanti ada petugas adat yang
menyampaikannya. Petugasnya itu bernama AM yang menjabat
sebagai wakil jaro tangtu Cibeo.
9. Bagaimana cara masyarakat Baduy memelihara hubungan dengan masyarakat
luar?
Jawaban: Cara menjaga silaturahmi dengan orang luar itu dengan cara tetap
memperbolehkan orang luar yang mau silaturahmi ke Baduy ini.
Asalkan mereka menghormati juga larangan-larangan yang tak
boleh dilanggar di Baduy ini.
10. Bagaimana cara masyarakat Baduy menjaga kerukunan antar masyarakat?
Jawaban: Kami dari dulu sudah rukun, kami saling membagi saling
membantu dan saling memberi ditambah lagi kepatuhan kami
terhadap buyut. Semisalnya ada yang ribut, itupun langsung
diselesaikan secara adat. Hal itulah yang saya rasa membuat hidup
kami tetap harmonis.
11. Bagaimana cara masyarakat Baduy bertahan dari kebudayaan luar?
111
Jawaban: Cara kami bertahan dari masuknya budaya luar itu dengan cara
tetap mematuhi dan menjalankan apa yang sudah diwariskan oleh
leluhur kami.
12. Apakah pikukuh yang dilaksanakan sudah berjalan dengan baik?
Jawaban: Kalau bicara pikukuh, pasti bicara tentang isinya. Banyak diantara
urang Baduy yang tak mau mengikuti amanah pikukuh adat dan hal
itu kami maklumi. Tapi kalau bicara sudah berjalan dengan baik
apa belum itu tergantung dari mereka yang menjalankan. Saya tak
mungkin bisa tau keseharian mereka semua, apakah mereka
menjalankan sesuatu sesuai adat apa tidak.
13. Bagaimana masyarakat Baduy menerapkan pikukuh adat?
Jawaban: Masyarakat Baduy dalam kesehariaanya mengikuti dan menerapkan
pikukuh adat. Tapi terkadang ada kalanya aya orang yang tidak
mengikuti pikukuh adat. Nah cara menerapkan pikukuh adat pada
kami yaitu dengan menjalankan amanah yang ditinggalkan kepada
kami. Misalnya kami tidak memakai teknologi seperti hp. Itu kan
berarti kami juga sudah menerapkan pikukuh adat.
14. Bagaimana cara pemilihan ketua adat?
Jawaban: Cara pemilihan puun itu secara garis keturunan. Anak laki-laki
puun sudah pasti menjadi puun juga.
15. Bagaimana sikap masyarakat Baduy terhadap kebudayaan luar?
112
Jawaban: Sikap kami terhadap kebudayaan luar adalah hanya sekedar
mengetahui saja. Tidak kami ikuti karena kebudayaan mereka
bertentangan dengan kebudayaan kami.
16. Apakah ada perbedaan masyarakat Baduy dahulu dengan sekarang?
Jawaban: Kalau dulu masyarakat Baduy hanya ada disini. Tidak ada istilah
Baduy luar atau pun Dalam. Semuanya menjadi satu kesatuan atas
nama Baduy. Selain itu perbedaan antara masyarakat Baduy dahulu
dengan sekarang itu dapat dilihat dari cara memenuhi kebutuhan.
Lihat saja pada Baduy luar, banyak diantara mereka yang lebih
memilih hidup di kota.
17. Bagaimana sistem pemerintahan masyarakat Baduy?
Jawaban: Sistem pemerintahan masyarakat Baduy itu dari pemimpin
tertingginya adalah puun, setelah puun ada jaro tangtu, lalu ada
wakil jaro tangtu, girang seurat, baresan salapan, perangkat
palawari adat, tangkesan, tanggungan dua belas, jaro tujuh, jaro
pamerentah, kokolotan, sekdes/carik, dan pangiwa. Masing-masing
dari mereka mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban masing-
masing.
18. Bagaimana sikap masyarakat Baduy apabila pikukuh adat yang selama ini
dijalankan menghilang?
Jawaban: Kami tidak mengharapkan hilangnya pikukuh adat yang ada
dimasyarakat kami ini. Kami selalu mengajarkan kepada anak-anak
kami agar terus mentaati dan menjaga amanat buyut, agar hidup
113
kami tentram. Tak hanya mengajarkan selama dirumah.
Mewariskan pikukuh adat ini dengan kegiatan-kegiatan juga seperti
saat berladang, berburu, membangun rumah, dan macam-macam.
19. Apakah ada acara-acara adat pada masyarakat Baduy?
Jawaban: Acara yang biasa kami lakukan adalah kawalu, ngalaksa, dan seba.
Untuk acara Kawalu, umumnya masyarakat Baduy Luar mengikuti
pemimpin dari desa Cikeusik yang dianggap pemimpin yang
mengatur urusan adat.
20. Bagaimana cara masyarakat Baduy menanggulangi bencana?
Jawaban: Dengan kami mematuhi aturan adat dan dengan menjalankan apa
yang sudah diajarkan nenek moyang kami, sampai saat ini tidak
pernah kami mengalami bencana. Apabila ada bencana, itupun
karena ulah kami yang tidak bisa menjaga amanat buyut.
21. Apa ada jimat-jimat yang dipakai untuk masyarakat Baduy?
Jawaban: Jimat-jimat yang dipakai hanyalah gelang-gelang yang terbuat dari
kulit pohon. Gelang itu sudah dimantera-manterai yang berfungsi
sebagai keselamatan hidup bagi orang Baduy.
22. Apa ciri yang membedakan masyarakat Baduy Dalam dengan Baduy Luar?
Jawaban: Ciri yang membedakan masyarakat Baduy Dalam dan Baduy luar,
terlihat dari cara berpakaian. Kalau di Baduy dalam berpakaian
putih hitam, kalau Baduy luar berpakaian hitam-hitam. Selain itu
juga, ikat kepala berwarna putih juga menandakan orang Baduy
114
Dalam sedangkan ikat kepala dengan warna biru menandakan
orang Baduy Luar.
23. Apa mata pencaharian masyarakat Baduy Dalam pada umumnya?
Jawaban: Mata pencaharian utama kami itu berladang. Sesuai dengan yang
diajarkan leluhur kami dan tugas kami sebagai penjaga alam. Ada
juga larangan-larangan untuk berladang yaitu tanah tidak boleh
dibalik, karena tanah bisa rusak. Tak boleh pakai pupuk dari luar,
nanti bisa gagal panen. Tak boleh memasuki hutan titipan, banyak
penunggunya. Adat harus dipatuhi, karena saya hidup disini”.
24. Bagaimana pembagian wilayah lahan garapan untuk masyarakat Baduy?
Jawaban: Berladang itu sudah ada aturan pembagian lahan dan proses
pengerjaannya. Sebelum saya dan seluruh warga desa Cibeo ini
menggarap ladang kepunyaan sendiri, terlebih dahulu kami lakukan
pengerjaan huma serang, lalu huma pimpinan adat, setelah itu baru
huma kita masing-masing.
25. Apa ada tanaman yang dilarang untuk ditanam oleh masyarakat Baduy?
Jawaban: Di Baduy Dalam, ada tanaman singkong, ubi, dan jagung dilarang
untuk ditanam. Sedangkan di masyarakat Baduy Luar, tanaman
tersebut boleh ditanam.
26. Apakah ada daerah-daerah yang tidak boleh digunakan untuk bercocok
tanam?
Jawaban: Aya daerah yang tidak boleh dipergunakan masyarakat Baduy
untuk bercocok tanam, yaitu hutan titipan atau hutan adat.
115
WAWANCARA 3
Nama : Ayah AJ
Usia : 58 Tahun
Tanggal : 16 Maret 2015
Jabatan : -
Alamat : Desa Cibeo, Baduy Dalam
1. Bagaimana cara masyarakat Baduy menjaga lingkungan sekitar rumahnya?
Jawaban: Kalau masyarakat Baduy disini sendiri, punya cara tersendiri untuk
menjaga lingkungan sekitar desa ini. Tiap-tiap keluarga mengikuti
aturan-aturan yang sudah ditetapkan adat. Misalnya tiap rumah
harus ada tempat sampahnya yang terbuat dari bambu.
2. Apa sajakah hal-hal yang harus diperhatikan pada saat bercocok tanam?
Jawaban: Kalau bicara bercocok tanam, hal-hal yang harus diperhatikan itu
tanah tak boleh dirusak.
3. Bagaimana cara bercocok tanam yang baik?
Jawaban: Kalau bercocok tanam yang baik menurut versi saya itu dengan
mengikuti ajaran yang sudah ada.
4. Bagaimana cara merawat daerah aliran sungai agar tetap bersih terjaga?
Jawaban: Cara kami merawat aliran sungai ini dengan pemberian batas-batas
pada aliran sungai yang dipakai.
5. Jenis tanaman apa saja yang tumbuh disekitar rumah?
116
Jawaban: Itu bisa dilihat, ada kumis kucing sama tanaman obat yang lain.
6. Jenis tanaman apa yang tumbuh disekitar hutan dan perbukitan?
Jawaban: Kalau dihutan itu biasanya tumbuh pohon kayu. Orang luar bilang
pohon mahoni. Selain itu juga ada pohon liar seperti beringin dan
lain sebagainya.
7. Tanaman obat apa saja yang tumbuh didaerah Baduy?
Jawaban: Macem-macem tanaman obat yang tumbuh disini.
8. Tanaman apa yang ada didaerah garapan masyarakat suku Baduy?
Jawaban: Kalau di ladang sih ada pohon padi sama pisang. Selain itu juga ada
pohon petai sama jengkol.
9. Bagaimana cara masyarakat Baduy menghindari penebangan hutan yang
berlebihan?
Jawaban: Kalau ada yang mencoba menebang hutan didaerah Baduy ini
silakan saja. Tapi terima sendiri akibatnya.
10. Untuk menanam padi, dibutuhkan waktu berapa lama sampai tiba waktu
memanen?
Jawaban: Kira-kira 6 bulan
11. Bagaimana pola pertanian masyarakat Baduy pada zaman dahulu?
Jawaban: Kalau zaman dahulu, sedikit sekali pembukaan lahan ladang disini
12. Bagaimana pola pertanian masyarakat Baduy pada zaman sekarang?
Jawaban: Kalau zaman sekarang, lahan ladang sudah semakin luas.
13. Adakah aturan-aturan tertentu dalam mengolah tanah untuk bercocok tanam?
117
Jawaban: Berladang itu sudah ada aturan dan proses pengerjaannya. Sebelum
saya dan seluruh warga desa Cibeo ini menggarap ladang
kepunyaan sendiri, terlebih dahulu kami lakukan pengerjaan huma
serang, lalu huma pimpinan adat, setelah itu baru huma kita
masing-masing.
14. Peralatan apa saja yang digunakan untuk menanam?
Jawaban: Peralatan yang dipakai masyarakat disini ya Cuma Etem sama
golok.
15. Adakah upacara-upacara yang dilakukan sebelum memulai menanam?
Jawaban: Biasanya sebelum kita menanam padi, ada acara upacara sunatan
dan upacara kawinan. Sunatan tidak boleh dilaksanakan pada hari
Jumat dan Minggu, karena hari tersebut bersifat panas. Hal yang
paling baik untuk melaksanakan sunatan adalah hari Selasa dan
Kamis.
16. Hal apa yang harus diperhatikan pada saat bercocok tanam?
Jawaban: Dalam bercocok tanam itu kita harus mengikuti penanggalan adat,
agar semua berjalan dengan baik.
17. Waktu-waktu apa saja yang baik untuk bercocok tanam?
Jawaban: Kalau waktu yang baik sih, kita berpatokan sama penanggalan adat.
18. Dibutuhkan waktu berapa lama, dari mulai menanam hingga memanen?
Jawaban: Kalau dihitung dari penanggalan kami sih kurang lebih sekitar 6
bulan.
19. Apa yang biasa dilakukan masyarakat Baduy pada saat memanen?
118
Jawaban: Saat memanem, ada acara kawalu. Setelah memanen ada acara
ngalaksa, setelah ngalaksa, ada acara seba.
20. Adakah campur tangan pihak luar terkait pegelolaan lahan garapan
masyarakat suku Baduy?
Jawaban: Tidak ada.
21. Bagaimana cara masyarakat Baduy menjaga lahan pertaniannya dari
gangguan hama atau binatang perusak lainya?
Jawaban: Kami memberikan ramuan-ramuan yang sudah dimantera-mantera
melalui cerita tentang dewi pare.
22. Kesulitan apa yang biasanya dialami masyarakat Baduy pada saat bercocok
tanam?
Jawaban: Palingan kalau ada hama belalang.
23. Apakah ada teknik khusus masyarakat Baduy untuk bercocok tanam?
Jawaban: Urang rasa gak ada teknik khusus berladang. Urang hanya ngikutin
apa yang diajarkan orang tua urang dahulu.
24. Sebelum melakukan penanaman, apakah ada hal-hal tertentu yang dilakukan
oleh masyarakat Baduy?
Jawaban: Kalau disini sebelum ladang urang ditanam, kita bareng-bareng
menanam diladang serang dulu, terus ladang pimpinan, baru ladang
urang.
25. Dari mana masyarakat Baduy mendapatkan bibit untuk melakukan kegiatan
bercocok tanam?
Jawaban: Bibitnya udah disiapkan dari hasil panen tahun lalu.
119
26. Tanah seperti apa yang cocok ditanami tanaman padi?
Jawaban: Tanah yang cocok itu tanah yang ada banyak surubuk. Atau orang
luar bilang tanah humus.
27. Bagaimanakah cara menjaga tanaman agar dapat tumbuh subur?
Jawaban: Ya urang lakukan sesuai yang sudah diajarkan orang tua urang. “Di
Baduy itu aya ramuan khusus untuk mengobati padi, ramuannya itu
saya buat dari sisa-sisa abu pembakaran, bisa dari daun mengkudu,
bisa dari kulit jeruk, bisa dari daun pisang, pokoknya macam-
macam”. Ramuan itu dimantera-matera sama bengkong atau orang
luar bilang dukun. Ramuan itu dimantera melalui kisah cerita-cerita
tentang dewi padi.
28. Apa perbedaan cara bercocok tanam pada masyarakat Baduy dengan
masyarakat lain pada umumnya?
Jawaban: Urang gak ngerti perbedaanya dimana. Palingan Cuma bedanya
kalau disini gak dibajak. Diluar dibajak.
29. Apakah ada ritual-ritual yang dilakukan sebelum melakukan kegiatan
bercocok tanam?
Jawaban: Tak aya ritual-ritual yang dilakukan sebelum menggarap ladang.
30. Dalam sehari, berapa kali mang AJ makan?
Jawaban: Biasanya kami dalam sehari makan 3 kali. Yaitu madang isuk,
madang siang, dan madang sore.
120
WAWANCARA 4
Nama : DN
Usia : 57 Tahun
Tanggal : 16 Maret 2015
Jabatan : Jaro Pamerintah
Alamat : Desa Kaduketug, Baduy Luar
1. Bagaimana cara masyarakat Baduy menjaga lingkungan sekitar rumahnya?
Jawaban: Bagi masyarakat Baduy, menjaga lingkungan adalah suatu
kewajiban yang harus dilakukan karena sesuai dengan perintah
Buyut.
2. Menurut anda, darimana sebutan Kanenekes atau Baduy itu berasal?
Jawaban: Kanekes itu nama Desa, Baduy nama masyarakatnya. Selain dari itu
berarti sebutan yang diciptakan oleh orang luar Baduy. intinya
kalau ngomongin sejarah tentang Baduy tak akan cukup sehari
ataupun sebulan.
3. Bagaimana cara bercocok tanam yang baik?
Jawaban: Cara bercocok tanam yang baik itu ditentukan dari bagaimana kita
merawat dan menjaga ladang kita agar bebas dari hama dan
penyakit padi. Cara bercocok tanam yang baik itu dengan
menggunakan tata cara sesuai dengan yang telah diajarkan dan
dipraktekkan oleh orang tua kami.
121
4. Tanaman apa saja yang biasa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari?
Jawaban: Kalau saya sendiri biasa mengambil daun singkong untuk
kebutuhan sehari-hari.
5. Bagaimana cara merawat daerah aliran sungai agar tetap bersih terjaga?
Jawaban: Di Baduy itu ada batasan-batasan untuk menggunakan air sungai.
Ada daerah-daerah aliran sungai yang tidak boleh digunakan.
6. Jenis tanaman apa yang tumbuh disekitar hutan dan perbukitan?
Jawaban: Kalau di ladang banyak macem-macem tanaman yang tumbuh. Ada
pohon pisang, jagung, cabe, padi, pokoknya banyak.
7. Bagaimana cara masyarakat Baduy menghindari penebangan hutan yang
berlebihan?
Jawaban: Kita semua sudah bekerjasama dengan polisi hutan. Kalau ada
orang luar yang melakukan itu dan ketawan oleh kami, kami
tangkap dan kami bawa kekantor polisi. Kalau polisi hutan yang
menemukan, mungkin bisa langsung ditembak.
8. Untuk menanam padi, dibutuhkan waktu berapa lama sampai tiba waktu
memanen?
Jawaban: Sekitar 6 bulan.
9. Bagaimana pola pertanian masyarakat Baduy pada zaman dahulu?
Jawaban: Kalau zaman dahulu, wilayah kami ini sangat luas. Bila berladang
juga enak. Sejak perkembangan zaman ini, lama-lama wilayah
kami banyak yang diambil orang luar.
10. Bagaimana pola pertanian masyarakat Baduy pada zaman sekarang?
122
Jawaban: Kalau zaman sekarang itu, kalau saya bleh jujur, berladang itu tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan saya sekeluarga.
11. Apakah ada tanaman yang tak boleh ditanam diwaktu-waktu tertentu?
Jawaban: Di Baduy Luar mah bebas mau menanam tanaman apa saja. Lain
halnya dengan di Baduy Dalam.
12. Adakah aturan-aturan tertentu dalam mengolah tanah untuk bercocok tanam
Jawaban: Aturan-aturan yang terus dipegang teguh dan ditaati adalah pikukuh
adat mengenai pengelolaan alam.
13. Hal apa yang harus diperhatikan pada saat bercocok tanam?
Jawaban: Yang harus diperhatikan dalam berladang itu yang pertama adalah
bagaimana cara menanam, dan yang kedua bagaimana cara
menjaga. Cara menanam harus diperhatikan mulai dari kedalaman
tanah, kandungunan surubuknya, bibit padinya, dan kandungan
airnya. Kalau menjaga ladang itu yang harus diperhatikan adalah
tanaman pengganggu yang tumbuh disekitar ladang.
14. Waktu-waktu apa saja yang baik untuk bercocok tanam?
Jawaban: Waktu yang baik untuk berladang itu sesuai dengan yang ada di
penanggalan Baduy.
15. Dibutuhkan waktu berapa lama, dari mulai menanam hingga memanen?
Jawaban: Kurang lebih sekitar 6 bulan.
16. Bagaimana cara masyarakat Baduy mengelola pekarangan rumahnya?
Jawaban: Disini itu ada aturan yang mengatur tentang kebersihan lingkungan.
Misalnya dengan tidak membuang sampah dikali.
123
17. Apa yang biasa dilakukan masyarakat Baduy pada saat memanen?
Jawaban: Biasanya ada upacara yang dilakukan sebelum memulai memanen.
Acara itu adalah upacara kawalu. Upacara kawalu dibagi 3 bagian.
Yang pertama disebut kawalu tembeuy, yang kedua disebut kawalu
tengah, yang ketiga disebut kawalu tutug.
18. Adakah campur tangan pihak luar terkait pegelolaan lahan garapan
masyarakat suku Baduy?
Jawaban: Tidak ada yang mencampuri urusan urang Baduy dalam hal
berladang.
19. Bagaimana cara masyarakat Baduy menjaga lahan pertaniannya dari
gangguan hama atau binatang perusak lainya?
Jawaban: Dengan menggunakan ramuan-ramuan yang telah dimantera-
mantera oleh seorang dukun, melalui cerita-cerita tentang nenek
moyang urang Baduy.
20. Kesulitan apa yang biasanya dialami masyarakat Baduy pada saat bercocok
tanam?
Jawaban: Palingan mah cuma masalah waktu
21. Apakah ada teknik khusus masyarakat Baduy untuk bercocok tanam?
Jawaban: Saya rasa tak aya. Semua mengikuti apa yang diajarkan nenek
moyang kami.
22. Sebelum melakukan penanaman, apakah ada hal-hal tertentu yang dilakukan
oleh masyarakat Baduy?
124
Jawaban: Biasanya sebelum menanam, ada kegiatan-kegiatan seperti narawas,
nyacar, nukuh, dan ngaganggang.
23. Dari mana masyarakat Baduy mendapatkan bibit untuk melakukan kegiatan
bercocok tanam?
Jawaban: Bibit disini kami dapat dari hasil panen tahun lalu. Biasanya urang
sudah nyiapkan bibit yang akan ditanam dari tahun sebelumnya.
24. Tanah seperti apa yang cocok ditanami tanamn padi?
Jawaban: Tanah yang banyak mengandur surubuk atau urang luar bilang
tanah humus.
25. Bagaimanakah cara menjaga tanaman agar dapat tumbuh subur?
Jawaban: Dengan perawatan yang baik serta mengikuti apa yang diajarkan
adat, Insya Allah tanaman akan tumbuh subur.
26. Dibutuhkan waktu berapa lama dari saat menanam hingga memanen pada
tanaman padi?
Jawaban: Sekitar 6 bulan.
27. Jenis tanaman buah-buahan apa saja yang terdapat didaerah Baduy?
Jawaban: Macem-macem. Ada durian, rambutan, duku, jambu, dan lain-lain.
28. Apa perbedaan cara bercocok tanam pada masyarakat Baduy dengan
masyarakat lain pada umumnya?
Jawaban: Perbedaan yang mencolok adalah di Baduy itu kan tidak ada sistem
irigrasi, sedangkan diluar kan pada pakai sistem pengairan irigrasi.
29. Apakah ada ritual-ritual yang dilakukan sebelum melakukan kegiatan
bercocok tanam?
125
Jawaban: Tidak ada ritual-ritual. Palingan cuma ada acara nikahan dan
sunatan.
30. Apakah ada ritual-ritual yang dilakukan sesudah melakukan kegiatan
bercocok tanam?
Jawaban: Sesudah melakukan perladangan itu berarti akhir tahun kan ya? Di
akhir tahun kami, biasanya ada acara ngalaksa dan seba. Tetapi
sebelum melakukan acara seba, ada acara penetapan tanggal
kalender kami.
126
Lampiran 3
CATATAN LAPANGAN
Catatan Lapangan No 1
Waktu : Tanggal 14 Februari 2015
Pukul : 16 : 00
Tempat :
Catatan Deskriptif
Lokasi Masyakarat Suku Baduy berada dikaki gunung kaki pegunungan
Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-
Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. peneliti
melakukan penelitian disepanjang jalan menuju desa Cibeo (Baduy Dalam)
dengan ditemani oleh penduduk desa Cibeo. Jaro merupakan seorang pemimpin
yang dipercaya untuk memimin desa dan sebagai penghubung untuk dapat
memasuki baduy dalam. Peneliti melakukan perjalanan dari desa ciboleger sejauh
13 kilometer untuk mencapai lokasi. Jalan yang ditempuh cukup sulit,
dikarenakan banyaknya jurang-jurang dan hanya jalan setapak yang ada disana.
Sepanjang perjalanan, terlihat hamparan sawah dilereng-lereng bukit,
pohon-pohon duren dan aren, serta terlihat juga hutan-hutan. Hutan yang sunyi
ditumbuhi dengan pohon-pohon yang tinggi menjulang sempat memudarkan niat
saya untuk mencapai lokasi. Pemandangan yang indah terlihat dengan jelas disaat
kita tepat berada diatas bukit. Alam yang selalu terjaga dengan baik. Sungguh
berbeda dengan pemandangan yang peneliti lihat selama ini. Setiap melewati
hutan dan lereng-lereng gunung, terdapat perkampungan-perkampungan.
127
Perkampungan itu memiliki rumah yang berbentuk sama dengan ukuran yang
sama yaitu 4x5 meter. Rumah-rumah yang terlihat tertata dengan rapi.
Peneliti terus berjalan, terus mendaki bukit-bukit yang beberapa
diantaranya cukup tinggi, menuruni lembah yang curam, menyusuri jalan setapak,
dan juga menyeberang sungai. Diantara sungai yang diseberangi terdapat
jembatan, baik yang terbuat dari bambu, atau bahkan ada jembatan unik yang
terjalin dari akar pohon. Tetapi, sering pula melewati sungai tanpa jembatan
sehingga dengan terpaksa menyeberang ditengah arus. Air sungai yang saya
lewati begitu jernihnya. Sampai-sampai peneliti masukkan kedalam botol
minuman untuk digunakan apabila saya merasa haus. Dalam perjalanan menuju
kesana, terlihat masyarakat suku baduy bekerja diladang bersama istri dan anak-
anaknya. sesekali peneliti beristirahat di perkampungan-perkampungan yang
dilewati. Tak banyak dijumpai warga suku baduy yang terlihat diperkampungan
yang saya singgahi untuk istirahat.
Catatan Reflektif
Oleh karena tak banyak masyarakat saya jumpai selama beristirahat,
peneliti merasa penasaran dengan semua itu. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan
yang telintas di dalam pikiran peneliti. Peneliti merasa ini merupakan sesuatu
yang unik. Terlintas dipikiranku dimana mereka melakukan aktifitas setiap hari
dan bagaimana tingkah laku mereka dalam kehidupan sehari-hari.
128
Catatan Deskriptif
Setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh, akhirnya peneliti tiba
didesa Cibeo Baduy Dalam. Untuk masuk ke desa Cibeo (Baduy Dalam), peneliti
harus menunggu dulu untuk mendapatkan persetujuan dari kepala adat yang
berwenang dari desa tersebut. Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya
saya diperbolehkan masuk ke Desa Cibeo (Baduy Dalam). Setelah menyebrang
jembatan bambu yang menjadi pembatas desa, kurasakan suasana sakral yang
begitu mencekam. Hatiku berdebar-debar dan ada sedikit rasa takut yang
kujumpai. Lain hal nya dengan desa-desa yang kujumpai disepanjang jalan tadi,
didesa Cibeo ini masyarakat berkumpul di tengah-tengah desa. Mereka sedang
asik merebus teh dengan menggunakan peralatan yang tradisional. Ada perbedaan
lain yang mencolok antara Baduy Luar dan Baduy Dalam yaitu apabila
masyarakat Baduy Luar menggunakan pakaian putih-putih sedangkan Baduy
Dalam mengenakan pakaian putih-hitam. Yang sama kujumpai hanyalah model
bentuk rumah.
Catatan Reflektif
Peneliti heran melihat rumah-rumah yang kurasa terbuat dari kayu-kayu
hutan yang atapnya seperti dari daun-daun kelapa. Hal ini membuat peneliti
tertarik karena hutan-hutan yang ada masih terlihat alami. Terfikir bagaimana
mereka bisa membuat rumah yang kokoh berdiri ini. Selain itu terfikir juga
bagaimana cara mereka membangun rumah.
129
Catatan Deskriptif
Setelah hampir satu jam saya berada di Desa Cibeo Baduy Dalam, peneliti
akhirnya kembali ke Baduy Luar. Kali ini peneliti melewati jalan yang berbeda.
Untuk keluar dari Desa Cibeo Baduy Dalam, kali ini peneliti harus melewati
“tanjakan cinta” dan “jembatan cinta” yang menurut keyakinan orang suku Baduy
merupakan jembatan yang istimewa. Jembatan itu terbuat dari gabungan akar-akar
pohon ataupun bahan lainya yang tidak peneliti ketahui. Yang pasti jembatan itu
tidak memakai bahan dasar modern seperti dikota-kota. Banyak cerita tersendiri
mengenai jembatan cinta itu. Konon katanya apabila kita melewati jembatan
tersebut dan kita menyebutkan nama seseorang yang kita cintai sebanyak tiga kali,
maka orang yang kita cintai itu akan mencintai kita juga.
Tak lama melewati jembatan, kulihat keawan dan ternyata awan gelap
menandakan mau turun hujan dan tak lama kemudian turunlah hujan yang deras
disertai petir yang menggelegar. Peneliti pun basah kuyup karena berada dijalan
yang sekelilingnya terdapat banyak tanaman padi dan singkong. Daripada
meneduh, peneliti melanjutkan perjalanan menuju Baduy Luar dengan berhujan-
hujanan karena tanggung sudah basah kuyup. Jalan yang dilewati kini semakin
sulit karena hujan yang deras membuat jalan setapak yang kuinjak menjadi licin.
Catatan Reflektif
Ada hal yang berbeda dari yang ditemukan pada saat melakukan
perjalanan ke Baduy Dalam tadi yaitu apabila sewaktu perjalanan menuju Baduy
Dalam peneliti tak banyak menjumpai masyakarat-masyarakat desa, kali ini
130
kujumpai banyak masyarakat desa. Mungkin ini semua karena hujan. Masyarakat
yang tadinya bekerja disawah harus berteduh kembali kerumah. Mungkin mereka
tak mau melawan alam.
Catatan Deskriptif
Hari mulai gelap dan saya masih dalam perjalanan menuju Baduy Luar.
Peneliti takut bila hari gelap saya akan tersesat karena peneliti tidak membawa
senter untuk menerangi jalan saya. Tak disangka saya sudah mulai memasuki
perkampungan-perkampungan Baduy Luar. Ternyata banyak orang yang bukan
berasal dari suku Baduy lalu lalang yang tak peneliti ketahui tujuanya. Kaki mulai
terasa sangat pegal karena melakukan perjalanan jauh. Setelah melakukan
perjalanan yang begitu lama. Tak lama kemudian, peneliti pun tiba di desa tempat
penginapan yaitu desa baduy luar didekat pintu masuk menuju perkampungan
suku Baduy. Peneliti tiba ditempat ini pukul 06.30. Bila dibandingkan dengan
perjalanan peneliti menuju Baduy Dalam, rasanya lebih jauh perjalanan peneliti
kembali ke Baduy Luar. Hal ini disebabkan karena jalan yang peneliti ambil
memang jalan memutar.
Malam mulai semakin malam. Gelap mulai semakin gelap. Itulah kondisi
perkampungan desa Baduy. Mereka tak mau menggunakan listrik untuk
penerangan. Bahkan pada malam hari tak pernah ada penerangan. Hanya gelap
dan gelap yang ada. Mungkin ini semua cara mereka mempertahankan cara hidup
yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.
131
Sepanjang malam, peneliti kaget melihat orang-orang suku Baduy Dalam
lalu lalang menuju ke Baduy Dalam. aku tahu mereka berasal dari Baduy Dalam
karena mereka menggunakan Baju putih-hitam. Mereka berjalan tanpa
menggunakan penerangan apapun. Kurasa mereka hanya mengandalkan
pengalaman yang telah lama terbentuk. Kurasa mereka (orang baduy) memiliki
keterkaitan dengan alam. Sepertinya mereka mampu bersahabat dengan alam
sehingga alam membantu mereka dalam menjalani hidup.
Catatan Reflektif
Masyarakat suku Baduy memiliki keunikan tersendiri. Mereka mampu
merawat lingkungan sekitarnya dengan baik. Itu terlihat dari sepanjang perjalanan
yang saya lakukan. Tak pernah saya temui tumpukan sampah ataupun sampah
berserakan disekitar jalan setapak yang saya lalui. Dari perjalanan tadi ada hal
yang harus dibutuhkan pendalaman tersendiri yaitu :
1. Tingkah laku masyarakat Baduy terhadap lingkungan
2. Interaksi masyarakat Baduy terhadap masyarakat Baduy lainya
3. Kehidupan sederhana masyarakat Baduy dalam kehidupan sehari-hari
4. Cara masyarakat Baduy bercocok tanam
132
Catatan Lapangan No 2
Waktu : Tanggal 15 Maret 2015
Pukul : 16.00
Tempat : Sepanjang perjalanan menuju Baduy
Catatan Deskriptif
Peneliti melakukan perjalanan menuju Desa Kanekes. Peeliti melakukan
perjalanan dengan menggunakan jasa kereta api lokal tujuan Muara Angke-
Rangkasbitung sekitar pukul 15.30 dari stasiun Sudimara. Cukup lama terasa
perjalanan ini, hingga membuatku bertanya-tanya sampai jam berapa ini
disana.Sampai di stasiun Rangkasbitung kira-kira pukul 17.15. Dari stasiun
peneliti lanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sampai alun-alun
Rangkasbitung.
Catatan Reflektif
Nampak ramai sekali alun-alun rangkasbitung. Ada banyak wahana
bermain anak-anak. Ada juga jejeran jajanan batu akik. Banyak orang tua yang
sedang asik berjalan-jalan dan bermain wahana disini. Tak ketinggalan juga para
pemuda dan pemudi yang sedang asik berpacaran.
Catatan Deskriptif
Peneliti menunggu bis ke arah Ciboleger disana. Setelah menunggu lama,
tak satupun bisa yang lewat. Hampir 3 jam peneliti berada di aln-alun. Akhirnya
peneliti memutuskan untuk bermalam di Rumah Sakit Umum dekat alun-alun
133
Rangkasbitung. Dengan bermodalkan sebuah majalah yang saya beli dari
supermarket didepan rumah sakit, peneliti berusaha untuk merebahkan diri.
Catatan Reflektif
Suasana rumah sakit yang ramai membuatku tak bisa tidur. Ditambah lagi
adanya suara bising dari kendaraan bermotor. Entah kenapa kendaraan bermotor
itu bersuara seperti bunyi senapan. Yang pasti tak ada keheningan dirumah sakit
ini.
Catatan Deskriptif
Tak lama ada seorang lelaki tua menghampiri peneliti, sebut saja namanya
AR. Wajahnya terlihat murung, memikirkan nasib anaknya yang terkena penyakit
demam berdarah. AR merupakan orang Rangkasbitung. Anaknya sudah dirawat
selama 10 hari namun tak kunjung baik. Panjang lebar peneliti mengobrol dengan
AR kira-kira sekitar 1 jam. Ternyata dulunya dia orang Baduy Luar yang
bertempat tinggal di desa Cicakal. Dengan wajah tuanya AR bercerita sedikit
tentang masyarakat Baduy. beliau berpendapat bahwa jarak ladang dengan rumah
membutuhkan waktu antara setengah jam sampai satu setengah jam. Hal itu sudah
menjadi kebiasaan dari dulu dan wujud penghormatan pada Dewi Padi. Saya tidak
mengeluh bila berladang, karena dulu belum ada pekerjaan lain seperti sekarang
ini, begitu kata AR. Waktu beranjak pagi jam menunjukkan pukul 02.00. AR pun
masuk ke dalam rumah sakit untuk menengok keadaan anaknya. Saya merebahkan
diri diatas lembaran majalah yang belum saya baca semua.
134
Catatan Lapangan No 3
Waktu : Tanggal 16 Maret 2015
Pukul : 07 : 00
Tempat : Sepanjang perjalanan menuju Baduy
Catatan Deskriptif
Pagi pun tiba, nampak orang lalu lalang diantara celah-celah pedagang.
Saya melanjutkan perjalanan menuju kampung Ciboleger. Setelah berjalan
menelusuri trotoar. Terdengar teriakan yang keras dari arah belakang.
“Ciboleger”, “Ciboleger”. Akhirnya angkutan yang saya tunggu datang juga. Saya
pun naik angkutan tersebut.
Catatan Reflektif
Angkutan yang penuh sesak dengan manusia dan segala belanjaan yang
dibelinya, membuat saya harus naik ke atap mobil. Belanjaan yang dibeli dari
pasar itu mungkin nantinya yang akan dijual kembali didesa. Belanjaan itu berupa
sayur mayur, ikan asin, daging ayam, dan lain sebagainya.
Catatan Deskriptif
Setelah menempuh perjalan kurang lebih selama 2 jam, akhirnya peneliti
tiba didesa Ciboleger. Sebelum memasuki desa Ciboleger, peneliti menyempatkan
diri untuk berbelanja kebutuhan pokok yang nantinya akan saya bawa menuju
lokasi penelitian saya. Setelah berbelanja, saya mampir kewarung nasi uduk
ditangga pintu masuk wisata suku Baduy. Harga nasi uduk ini murah, dengan
135
mengeluarkan uang sebesar 4 ribu rupiah saya dapat membeli nasi uduk dengan
gorengan. Maskud peneliti mampir ke tempat nasi uduk ini juga untuk menunggu
kenalan peneliti yang merupakan penduduk desa Cibeo Baduy Dalam. Di rumah
dan diladang beliaulah yang nantinya akan saya jadikan tempat penelitian.
Setelah menunggu kurang lebih 1 jam akhirnya orang yang peneliti
tunggu-tunggu datang juga. Dialah AJ, lelaki berusia 58 tahun ini adalah kenalan
saya dari dosen UNJ. Orangnya baik, ramah, dan siap menerima peneliti untuk
melakukan penelitian diladangnya. AJ datang dengan anaknya yang bernama DM.
Anaknya masih berusia 11 tahun.
Sebelum peneliti memulai perjalanan menuju rumah AJ, peneliti melapor
dahulu ke Jaro pamerintah. Jaro pamerintah itu terletak didesa kaduketug.
Namanya DN dan bila mau mengunjungi masyarakat Baduy terlebih dahulu
melapor kepada beliau. Pada saat melapor, peneliti juga menyempatkan diri untuk
bertanya-tanya tentang sejarah dan apa saja yang terkait dengan tema yang akan
saya teliti. Saya mengobrol kurang lebih selama 1 jam dengan DN. Setelah
mewawancarai beliau. Saya lanjutkan perjalanan menuju Baduy Dalam.
Sepanjang perjalanan, peneliti menemukan kejanggalan-kejanggalan,
hampir tidak ada sampah yang berserakan sembarangan. Jalanan yang peneliti
lewati benar-benar bersih dari sampah. Selain itu juga jarang sekali terlihat
perkampungan warga. Jalan yang peneliti lalui untuk mencapai tujuan memiliki
jarak tempuh kurang lebih 13 kilometer.
136
Catatan Reflektif
Aku terkesan dengan perjalanan ini, jalan yang kulalui berbeda dengan
jalan yang sebelumnya pernah aku lalui. Tidak ada sampah yang berserakan
dijalan ini. Semuanya nampak bersih asri. Akupun mulai bertanya-tanya, apa yang
masyarakat Baduy lakukan sehingga jalan setapak ini bisa bersih tanpa adanya
sampah. Jalan setapak ini tidak melewati banyak kampung. Tidak seperti jalan
yang dulu kulalui. Banyak terbentang hamparan pohon-pohon besar dan
rerumputan disepanjang jalan. Pemandangan yang elok terpampang jelas dimata.
Burung-burung berkicau merdunya menemani perjalanan peneliti.
Catatan Deskriptif
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama 3 jam, akhirnya
peneliti sampai diladang milik AJ. Di ladang ini terdapat bangunan seperti gubuk.
Ternyata bangunan ini adalah tempat istirahat atau bisa disebut saung. Ladang AJ
ini sudah berada diwilayah Baduy Dalam. Disini peneliti bertanya-tanya,
seberapakah luaskah ladang milik AJ ini. Sambil beristirahat di Saung, akhirnya
peneliti memutuskan untuk bertanya perihal penelitian mengenai bercocok tanam
kepada AJ.
Peneliti : Mang, kira-kira berapa luas ladang mang AJ ini?
AJ : Luas ladang saya itu kalau ditanya kira-kira ya sekitar 1.5 hektar.
Peneliti : Ooh segitu ya mang, terus tanaman apa aja yang ada diladang ini mang?
137
AJ : Ada padi, pisang, lengkuas, kunyit, kunir, duren, petai, jengkol, dukuh,
dan macam-macam
Peneliti : kok keluarganya ada disini semua mang?
AJ : ya semua keluarga saya, memang membantu berladang
Peneliti : mang, kenapa semua masyarakat Baduy pasti berladang?
AJ : berladang itu sudah menjadi rukun Baduy.
Peneliti : masksudnya mang?
AJ : dengan kita berladang kita bisa menjalankan amanat buyut dan
menerapkan segala pikukuh adat yang berlaku disini
Peneliti : oooh begitu ya mang.
Peneliti : Kalau diladang ada liburnya gak mang?
AJ: aya, hari Jum’at sama hari Minggu
Catatan Reflektif
“Waktu libur ke ladang hanya pada hari Jum’at dan Minggu yang biasanya
digunakan untuk kegiatan sosial disetiap kampungnya. Terkadang hari Jum’at
juga digunakan untuk membeli kebutuhan dipasar yang berada di daerah luar
Baduy ”.
Catatan Deskriptif
Setelah lama peneliti beristirahat kurang lebih selama satu jam. Peneliti
melanjutkan perjalanan menuju desa Cibeo. Dari ladang menuju rumah AJ yang
terletak di desa Cibeo Baduy Dalam, dibutuhkan waktu kurang lebih 1 jam dengan
138
melewati jalan yang mendaki dan menuruni bukit. Disini peneliti lagi-lagi merasa
heran, sekuat apakah masyarakat Baduy ini. Apalagi mereka setiap hari
menempuh jarak jauh untuk melakukan aktivitas berladang.
Sesampainya di desa Cibeo, semua peralatan yang bisa menyebabkan
peneliti melanggar aturan adat yang ada seperti handphone, kamera, dan jam
tangan peneliti tidak gunakan. Peneliti takut bila khilaf dan menggunakan
peralatan-peralatan tersebut. Banyak terlihat anak-anak Baduy Dalam sedang asik
bermain. Ada yang bermain disungai, dan ada juga yang bermain di lapangan
desa. Peneliti menghampiri salah seorang anak yang sedang bermain dilapangan
dan menanyakan permainan apa yang sedang mereka mainkan. Tadinya peneliti
khawatir kalau anak itu tidak bisa berbahasa Indonesia dan ternyata anak itu
mengerti apa yang peneliti tanyakan. Anak itu kemudian menjawab, ini permainan
wek-wekan.
Catatan Reflektif
Peneliti rasa permainan wek-wekan hampir sama dengan permainan
benteng. Hanya saja permainan ini bebas dilakukan atau tidak ada batasan wilayah
yang dilalui untuk mencapai tempat benteng musuh. Teriakan girang senang
gembira terdengar dari mulut para anak-anak desa ini.
Catatan Deskriptif
Sesampainya dirumah AJ, peneliti menyempatkan diri untuk berkeliling
desa. Tadinya peneliti rasa warga desa ini pendiam dan penutup. Ternyata setelah
139
berkeliling desa, peneliti mengetahui bahwa orang didesa ini sangat ramah dan
sopan. Semua itu terlihat dari cara mereka menegur peneliti saat berjalan.
Warga Desa : Mau kemana a?
Peneliti : Mau keliling Desa Mang
Warga Desa : ooh sok a
Peneliti : mangga mang
140
Catatan Lapangan No 4
Waktu : Tanggal 20 Maret 2015
Pukul : 19:00
Tempat : Sepanjang perjalanan menuju ladang
Catatan Deskriptif
Hari ini pagi tak biasa seperti biasanya, awan gelap menyelimuti hari ini.
Semua masyarakat bersiap berangkat menuju ladang kepunyaan pimpinan adat
untuk memanen. Namun AJ tidak ikut dalam memanen padi diladang kepunyaan
pimpinan adat, hanya kedua anaknya yang ikut.
Meskipun awan gelap, kami tetap melakukan aktivitas seperti biasa yaitu
berladang. Setengah perjalanan kami lalui, tiba-tiba turunlah hujan. Kami pun
segera menebang daun pisang untuk dijadikan payung. Kondisi hujan yang begitu
lebat membuat peneliti sulit mendaki jalan setapak karena tanah sangat licin.
Licinya jalan membuat peneliti terpleset dijalan.
Sesampainya di saung yang berada diladang, kami masih menunggu hujan
berhenti. Hampir selama 1 jam kami menunggu hujan berhenti. Setelah hujan
berhenti kami juga tidak langsung melakukan kegiatan seperti biasanya. Hal itu
menurut AJ dikarenakan “Tanah masih licin, nanti kita bisa terpeleset.”
Catatan Reflektif
Kulihat mentari mulai muncul disela-sela pepohonan yang menandakan
telah berhentinya hujan dipagi ini. Burung-burung mulai berkicau bersenandung
saling beriringan. Sungguh lestari tempat ini. Penuh dengan keasrian dan
141
keharmonisan makhluk hidup. “Sifat gotong royong sayang terlihat disini, pada
saat memanen ladang milik pimpinan adat. Semua masyarakat yang ada di desa
Cibeo ini bersiap-siap untuk memanen ladang milik pimpinan adat yang sangat
luas ini. Tak terkecuali istri dan anak kecil yang masih belum bisa berjalan.
Catatan Deskriptif
Sekitar pukul 10 siang, kami baru melakukan kegiatan seperti biasanya.
Kali ini yang kami lakukan adalah membuat atap-atap saung dari daun pohon
kirai. Peneliti menunggu dibawah, sedangkan AJ memanjat pohon sagu untuk
diambil daunnya. Pohon sagu yang diambil daunnya adalah pohon sagu yang
sudah tidak menghasilkan lagi. Dan daun yang diambil adalah daun yang sudah
agak tua. AJ dengan lihai memanjat pohon aren tanpa terpeleset. Sangat lihainya
sampai-sampai peneliti terkagum-kagum melihatnya. Peneliti beranggapan,
jangan-jangan AJ memiliki kesaktian-kesaktian tertentu. Sungguh aksi yang
begitu luar biasa yang dilakukan AJ. Dia memanjat bagaikan seekor kera. Cepat
dan tak ada rasa takut sama sekali. Bahkan teknik menebas pohon yang dilakukan
AJ itu sangat lihai. Setelah selesai menebang, daun-daun yang sudah ditebas
peneliti kumpulkan dan dibawa ke saung. Disaung daun-daun itu dipisahkan
antara batang dan daunnya. Selesai dipisahkan, daun kemudian dijemur selama
satu hari.
Sesudah melakukan kegiatan itu, kami menuju kehutan. Kami menuju
kehutan untuk mencari kristulang. Kristulang adalah daun yang biasa digunakan
untuk bahan minuman seperti teh oleh masyarakat Baduy Dalam. Kristulang
142
hanya bisa diperoleh didalam hutan. Untuk apa daun tanaman ini. apakah
memiliki fungsi apa hanya sekedar minuman biasa. Disini peneliti merasa heran.
Baru pertama kalinya peneliti memasuki hutan yang lebat hanya untuk mencari
daun kristulang ini.
Hampir 2 jam kami mencari daun kristulang ini. Hanya seikat daun yang
kami dapatkan. Memang menurut AJ daun ini sulit ditemukan. Sesampainya di
saung, daun kristulang hasil pencarian tadi digodok diatas kayu bakar hingga air
godokan mendidih. Setelah itu peneliti dan keluarga AJ meminum hasil godokan
daun kristulang tersebut.
Catatan Reflektif
Sungguh nikmat rasanya minuman ini. Rasanya mirip-mirip dengan teh. Tapi ada
perbedaan yang mencolok yaitu pada warna yang dihasilkan dari godokan daun
kristulang ini. Bila teh pada umumnya berwarna coklat, godokan daun kristulang
ini menghasilkan warna hijau kecoklatan-coklatan.
143
Catatan Lapangan No 5
Waktu : Tanggal 27 April 2015
Pukul : 07:00
Tempat : Ladang
Catatan Deskriptif
Sudah satu minggu peneliti menginap di ladang kepunyaan AJ. Tidur di saung
beralaskan anyaman rotan. Kicau burung terdengar merdu berirama mengelilingi
saung ini. Sekarang tiba waktunya untuk memanen. Sebelum memanen kami
menyiapkan peralatan. Segenap anggota keluarga berkumpul untuk melakukan
aktivitas memanen ini. Peneliti berkesempatan ikut serta dalam proses memanen
padi ini.
Catatan Reflektif
Sifat gotong royong sayang terlihat disini, pada saat memanen ladang milikAJ.
Semua anggota keluarga bersiap-siap untuk memanen ladang. Tak terkecuali istri
dan anak kecil yang masih belum bisa berjalan.
Catatan Deskriptif
Memanen di daerah lereng bukanlah hal yang mudah, berkali-kali peneliti
terpeleset pada saat ingin memotong padi. Setelah selesai memotong padi, padi
kemudian diikat dengan tali bambu dan ditempatkan di atas palang bambu dekat
saung. Setelah selesai memanen, padi tersebut kami bawa menuju leuit atau
tempat penyimpanan padi.
144
Catatan Lapangan No 6
Waktu : Tanggal 13 April 2015
Pukul : 17:00
Tempat : Saung atau dangau di ladang
Catatan Deskriptif
Pagi hari menjelma, sang mentari muncul menerangi seluruh isi desa. Ya,
desa Cibeo ini memang terletak di tengah hutan. Kondisinya pun sangat Asri.
Aliran sungai yang mengalir mengelilingi desa ini sangat jernih. Setelah kira-kira
jam 7 pagi, AJ mengajak peneliti untuk melakukan aktivitas berladang, AJ ingin
mengajarkan peneliti tentang bagaimana cara berladang pada masyarakat Baduy.
Catatan Reflektif
Peneliti sangat bersemangat untuk melakukan apa yang mereka lakukan.
Terlebih peneliti ingin bisa menjadi mandiri dan kuat seperti mereka dengan
pengetahuan yang mereka miliki. Bayangkan bila peneliti bisa kuat dan menguasi
pengetahuan seperti mereka, pasti peneliti akan menjadi orang yang bermanfaat
bagi banyak orang.
Catatan Deskriptif
Sesampainya di ladang, yang pertama dilakukan adalah membuang sisa-
sisa hasil memanen. Cara melakukannya dengan membakar habis sisa-sisa hasil
memanen. Semua anggota keluarga AJ ikut melakukan kegiatan ini. Bersamaan
dengan itu, peneliti juga melakukan kegiatan menebang batang pohon dan
145
menebas semak belukar. Kurang lebih selama 3 jam peneliti melakukan kegiatan
itu. Setelah kegiatan itu selesai, peneliti istirahat sejenak di saung bersama dengan
keluarga AJ. Dipojok saung saya melihat benda yang aneh. Setelah saya mendekat
dan memegang alat itu. Rasa penasaran saya semakin menjadi. Akhirnya saya
tanyakan kepada AJ, sebenarnya benda apa itu. AJ pun menjawab kalau itu alat
yang digunakan untuk membuat lubang untuk menanam padi.
Catatan Reflektif
Aseukan itu nama lainnya gejlig. Fungsinya untuk buat lubang yang nantinya
ditaruh bibit padi. Padi yang dimasukan cuma 5 butir, kalau kebanyakan, mungkin
bisa jadi pohonnya jelek. Saat menanam padi, juga dilakukan penanaman tanaman
sereh dan kunyit.
Catatan Deskriptif
Tak terasa hari sudah menjelang malam. Malam begitu hening dan hanya
ada suara jangkrik dan binatang malam. Nampak bintang-bintang berjejer indah
menghiasi sang bulan. Angin malam dan kabut menyelimuti tubuh ini. Dingin,
dingin terasa menusuk tulang. Tidak ada penerangan selain hanya obor kecil yang
menerangi. Saya menyempatkan diri untuk mengobrol dengan AJ.
Terdapat istilah menarik dalam pengetahuan berladang. Istilah itu disebut
ngarangsang. Ngarangsang adalah istilah untuk menyatakan posisi matahari
sebelum tengah hari. Jadi kidang ngarangsang, dapat berarti bintang kidang pada
posisi matahari pagi. Aktifitas diladang yang harus dilakukan adalah “ngahuru”
146
atau membakar sisa-sisa tebangan. Kidang ngarangsang biasanya bertepatan pada
bulan kasalapan pada tanggalan Baduy.
Malam semakin dingin, saya dan AJ pun menghentikan obrolan dan
bersiap untuk menyambut hari esok. Rasa dingin medekat saat angin berhembus
dari celah-celah bilik bambu. Bermodalkan sarung peneliti mencoba
menghangatkan diri hingga akhirnya peneliti tertidur pulas.
147
Catatan Lapangan No 7
Waktu : Tanggal 28 April 2015
Pukul : 08:00
Tempat : Rumah Mang Arja
Catatan Deskriptif
Hari ini, adalah hari perpisahan peneliti dengan AJ. Suasana harus
menyelimuti hati. Segala kebaikan yang mereka berikan walaupun hanya sekedar
senyum sapa, membuat hati ini tak kuasa untuk meninggalkan semua ini.
Waktu kira-kira menunjukkan pukul 8 pagi. Peneliti sudah siap untuk
berpamitan dengan keluarga AJ. Segala barang sudah dirapihkan. Berat rasa untuk
meninggalkan. Tapi ini adalah demi cita-cita yang peneliti perjuangkan. Tak
terasa sudah hampir 2 bulan peneliti tinggal bersama masyarakat terasing ini.
Segala bentuk pengetahuan yang mereka ajarkan sudah sebagian peneliti kuasai.
Peneliti mengerti bagaimana rasanya hidup harmonis. Hal ini yang tidak pernah
peneliti rasakan selama hidup di kota.
Setelah berpamitan dan Baduy Luar, saya melihat banyak pohon aren yang sering
di panen dan pohon durian yang sedang berbuah namun belum layak panen, serta
pisang yang menjadi salah satu nilai jual mereka.
Saya juga melihat perempuan berumur sepuluh tahunan menggendong
batang-batang kayu hingga jalan membungkuk, dan saya yakin sayapun belum
tentu kuat mengangkatnya dari hutan turun menuju rumah. Juga nak kecil berusia
5 tahunan membawa ember ditangan kanan dan kirinya penuh air dan berjalan
terhuyung-huyung. Itu semua adalah bentuk belajar non formal warga baduy yang
148
mulai dilakukan sejak kecil. Bahkan pengenalan atau pembelajaran awal adalah
diajak kehutan dan sawah sejak balita.
Setelah berjalan jauh, akhirnya saya tiba di kampung Gajebo Baduy Luar.
Setibanya di kampung Gajebo saya menemui nenek yang agak kurang
pendengarannya, karena ia bilang sendiri ia ‘torek’ dan tidak begitu mengerti
bahasa isyarat pada umumnya seperti warna putih dengan menunjukan benda
yang berwarna putih. Ia malah mengenalkan bahasa simboliknya seperti
menunduk artinya pergi ke huma. Kalau ngomong dengan dia harus berteriak agar
komunikasi berjalan dua arah. Ketika pertama kali datang saya dikira adalah
pembeli kain-kain hasil tenunnannya dan terus berkata “tilu puluh rebu bae”, serta
sesekali ia menjelaskan tentang pesanan-pesanan tenunannya dari seseorang
didapati karena ia hanya membuat kain berwarna putih atau biru.
Setelah dari Gajebo, peneliti menuju ke arah Ciboleger untuk melanjutkan
perjalanan menuju Jakarta. Sesampainya di Ciboleger, peneliti menaiki mobil
angkutan helb yang berisi hasil panen pisang.
149
Lampiran 4
DAFTAR ISTILAH
Aseukan : Alat pembuat lubang pada tanah
Baduy : Sebutan salah satu suku terasing di Pulau Jawa
Batara : Orang-orang suci
Batara Tunggal : Tuhan Yang Maha Esa
Buyut : Larangan
Dangka : Kampung diluar desa Kanekes
Dielep : Menyimpan dan menyusun padi di dangau
Etem : Alat untuk memotong padi
Girang Seurat : Penasehat Adat
Hateup : Atap dari dan kirai
Huma : Ladang
Jaro 12 : Saksi untuk semua acara dan ritual adat Baduy
Jaro Dangka : Tokoh Adat
Jaro Tangtu : Pembantu puun atau wakil puun
Karuhun : Nenek Moyang
Kawalu : Kegiatan melakukan puasa
Kawalu Teumbey : Kawalu pertama
Kawalu Tengah : Kawalu kedua
Kawalu Tutug : Kawalu ketiga
Kirai : Pohon Sagu
150
Kolot : Tua
Kored : alat pembersih rumput
Lantayan : Batang-batang bambu atau kayu untuk menjemur padi
Leuit : Lumbung Padi, tempat menyimpan hasil panen
Lisung : Alat tempat menumbuk padi
Mipit : Menuai padi pertama
Narawas : Kegiatan mencari dan menentukan lahan ladang
Ngabuat : Memanen Padi
Ngaduruk : Membakar sisa-sisa serasah atau batang-batang kayu
Ngahuma : kegiatan berladang
Ngahuru : Membakar serasah, semak belukar
Ngalaksa : Acara mengakhiri tahun yang berlalu dan menyambut
tahun yang akan datang
Ngalanjak : Berburu hewan
Ngaseuk : Menanam padi di ladang
Ngored : Kegiatan membersihkan rumput
Ngupi : Kegiatan minum kopi bersama dipelataran rumah
Nuar : Menebang pohon
Nugal : Membuat lobang tanam
Nukuh : Acara untuk mengusir binatang buas, makhluk halus, dll.
Nunjal : Membawa padi hasil panen ke lumbung
Nyacar : Menebas semak belukar
Nyasap : Membersihkan rumput.
151
Palupuh : Lantai dari bambu
Pamoean : Penjemuran
Panamping : Sebutan untuk orang Baduy Luar
Panghulu : Dukun khusus ritual kematian
Pare : Padi
Pikukuh : Ketentun mutlak yang harus dilakukan
Pupuhunan : Bagian ladang Baduy yang menjadi pusat ladang
Puun : Jabatan ketua adat tertinggi orang Baduy
Ranggeong : Ikatan padi sebesar lingkarang ibujari dengan telunjuk
Saung : Gubuk
Saung lisung : Bangunan untuk menumbuk padi
Seba : Acara mengantarkan hasil panen ke pemerintah kota
Sunda Wiwitan : Kepercayaan atau Agama orang Baduy
Taneuh titipan : Tanah yang dititipkan
Tangkesan : Penasehat sekaligus paranormal urusan adat
Tangtu : Sebutan bagi orang Baduy Dalam
Wek Wekan : Permainan semacam benteng-bentengan
152
Lampiran 5
Gambar 1 Gambar 2(Pintu Masuk Baduy) (Ladang masyarakat Baduy)
Gambar 3 Gambar 4(Memanen Pare di ladang) (Saung di ladang)
153
Gambar 5 Gambar 6(Menaruh Pare di Lantayan) (Ngored di ladang)
Gambar 7 Gambar 8(Kegiatan Nuar di ladang) (Kegiatan Ngaseuk di ladang)
154
Gambar 9 Gambar 10(Mengikat padi di ladang) (Seorang anak memasak di saung)
Gambar 11 Gambar 12(Batas Baduy Dalam & Baduy Luar) (Anak suku Baduy Dalam)
155
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Mu’iz Lidinillah, lahir di Jakarta
29 April 1993 merupakan anak kedua dari dua bersaudara.
Penulis lahir dari pasangan Bapak Suparman dan Ibu Siti
Aminah. Penulis sekarang bertempat tinggal di JL. Bunga
Rampai 10 No. 44 Kelurahan Malaka Jaya, Kecamatan
Duren Sawit, Perumnas Klender, Jakarta Timur. Penulis
menyelesaikan pendidikan di TK Islam Al-Magfirah pada tahun 1998,
menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 10 Pagi Jakarta Timur pada tahun
2005, kemudian menyelesaikan pendidikan menengah di SMP Negeri 213 Jakarta
Timur pada tahun 2008, selanjutnya menyelesaikan pendidikan di SMK Negeri 5
Jakarta Timur pada tahun 2011, dan menyelesaikan pendidikan di Perguruan
Tinggi Negeri Universitas Negeri Jakarta jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial pada
tahun 2015. Pengalaman organisasi, menjadi anggota perkumpulan Rumah
Singgah Bunga Rampai, kemudian pernah menjabat sebagai ketua biro aspirasi di
Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial periode 2012-2013, dan
hingga saat ini menjadi anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.