saatnya baduy bicara

29
saatnya baduy bicara sebelumnya maap gan n sista, ane baru masuk forum book review tuk pertamax nih.. ane mau ngenalin buku tentang baduy yang judulnya "Saatnya Badu Bicara". ane pertama x liad nih buku waktu lagi nongkrong di PKM (yang kebetulan ane mahasiswa UNTIRTA). buku ini di resmikan oleh Gubernur banten dan Rektor Untirta. ane cuma ngasih tau aja, mungkin setelah agan" membaca buku ini, persepsi agan" tentang baduy akan lurus, dan bisa berkunjung ke baduy (kalo bisa ke kampus ane juga gan.. ) ini dia bukunya Suku Baduy Dalam angkat bicara. Mereka menjawab segala hal yang menjadi pertanyaan berulang selama bertahun-tahun. Jawaban suku Baduy Dalam dikemas dalam sebuah buku berjudul “Saatnya Baduy Bicara”. Buku yang digagas oleh Ayah Mursyid, seorang wakil Jaro Tangtu Cibeo itu ditulis oleh Asep Kurnia dan Ahmad Sihabudin. Pada 9 Oktober 2010, buku tersebut diluncurkan di sela-sela acara Indonesia Book Fair 2010 di ruang Anggrek Istora Senayan, Jakarta. Ayah Mursyid, menyatakan bahwa lebih dari 10 tahun para tamu yang datang ke Baduy Dalam, khususnya Cibeo selalu mempertanyakan hal- hal yang juga ditanyakan oleh tamu lainnya. Pertanyaan mereka umumnya bersumber dari anggapan yang kurang tepat tentang adat dan budaya Baduy Dalam. Buku Saatnya Baduy Bicara diharapkan bisa menjadi jawaban utuh bagi semua orang yang masih bertanya soal Baduy Dalam. Asep Kurnia, salah seorang penulis buku ini telah melakukan

Upload: seni-wangi

Post on 04-Jul-2015

204 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: saatnya baduy bicara

saatnya baduy bicara

sebelumnya maap gan n sista, ane baru masuk forum book review tuk pertamax nih..ane mau ngenalin buku tentang baduy yang judulnya "Saatnya Badu Bicara".ane pertama x liad nih buku waktu lagi nongkrong di PKM (yang kebetulan ane mahasiswa UNTIRTA). buku ini di resmikan oleh Gubernur banten dan Rektor Untirta. ane cuma ngasih tau aja, mungkin setelah agan" membaca buku ini, persepsi agan" tentang baduy akan lurus, dan bisa

berkunjung ke baduy (kalo bisa ke kampus ane juga gan.. )

ini dia bukunya

Suku Baduy Dalam angkat bicara. Mereka menjawab segala hal yang menjadi pertanyaan berulang selama bertahun-tahun. Jawaban suku Baduy Dalam dikemas dalam sebuah buku berjudul “Saatnya Baduy Bicara”. Buku yang digagas oleh Ayah Mursyid, seorang wakil Jaro Tangtu Cibeo itu ditulis oleh Asep Kurnia dan Ahmad Sihabudin. Pada 9 Oktober 2010, buku tersebut diluncurkan di sela-sela acara Indonesia Book Fair 2010 di ruang Anggrek Istora Senayan, Jakarta.

Ayah Mursyid, menyatakan bahwa lebih dari 10 tahun para tamu yang datang ke Baduy Dalam, khususnya Cibeo selalu mempertanyakan hal-hal yang juga ditanyakan oleh tamu lainnya. Pertanyaan mereka umumnya bersumber dari anggapan yang kurang tepat tentang adat dan budaya Baduy Dalam. Buku Saatnya Baduy Bicara diharapkan bisa menjadi jawaban utuh bagi semua orang yang masih bertanya soal Baduy Dalam.

Asep Kurnia, salah seorang penulis buku ini telah melakukan penelitian selama 13 tahun. Selama –dan hingga kini, bahkan selamanya- ia akan tetap hidup berdampingan dengan suku Baduy Dalam. Bersama istrinya, Bidan Eros, pak Asep Kurnia melakukan penyuluhan di bidang pendidikan dasar dan kesehatan ibu dan anak.

Penulisan buku ini melibatkan pula kalangan akademisi dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang. Dr. Ahmad Sihabudin, membantu Asep Kurnia menjadikan buku ini menjadi buku yang pantas dijadikan hasil penelitian ilmiah tentang Baduy Dalam. Dengan buku ini pula, Dr. Ahmad Sihabudin mendapatkan gelar Guru Besar dari Untirta.

Buku ini berisi tuturan para pemuka adat Baduy Dalam, yang meluruskan kesalahan pemahaman sebagian masyarakat tentang siapa sebenarnya Baduy. Asal-usul Baduy diungkap secara gamblang. Mereka menyatakan bahwa orang-orang Baduy bukanlah pelarian prajurit kerajaan Pajajaaran karena dakwah Sunang Gunung Djati. Baduy juga bukan orang-orang yang menghindar dari kekuasaan kesultanan Banten yang berpusat di Banten Lama. Mereka juga

Page 2: saatnya baduy bicara

bukan para punggawa kerajaan pajajaran yang dipimpin oleh Panglima Pucuk Umun di Banten Girang, yang konon ditugaskan untuk menjaga sumber air di Gunung Kendeng. Lalu siapakah mereka, bagaimana asal-usulnya, bagaimana pula filsafat keberagamaan mereka, dan bagaimana sikap mereka terhadap pluralisme dan sistem pemerintahan di Indonesia? Semua itu terjawab melalui buku yang disusun selama 4 tahun ini.

It's downright impossible to be fair in any commentary on Asia. The basic fabric of society is so different that imposing any western values is not only pretty hopeless, it's foolhardy. As a part of the ongoing education that happens to all travellers, I formulated a number of important points that might help when trying to cope with travelling in Indonesia.

1. Always stay cool. If you lose your cool, you've lost the game: the bus might be massively delayed, the man behind you in the bemo might be blowing cigarette smoke right into your face (when he's not coughing up half a lung, that is), but complaining or getting stressed is totally counter-productive. Not only will it increase your personal frustration level, it won't achieve anything, and will simply bemuse those who are used to life being a piece of shit.

2. Accept that you will be ripped off. Some Indonesians (but by no means all) are out to make a buck at all costs. As a tourist – a fact that is rather hard to conceal unless you have local blood in you – you will be charged more, will be harangued constantly while locals slip through the melee, will be told outright lies ('No, that hotel has burned down, you must stay at mine'; 'This is the cheapest and best deal you will find'; 'Yes, this bus is going to Senaru'; 'No, we have no bread, so you can't have toast'... and five minutes later someone else gets served hot, buttered toast) and will be subjected to constant sniggering and hassle from a people who are so fascinated by foreigners that being one can feel like being an animal in the zoo. If you know you'll always be stung, it helps. Which leads nicely to number three.

3. If you have already paid for something, never, ever ask anyone else how much they paid. You will invariably be horrified to find that they paid half what you did for the same thing, which will, in turn, make you feel inadequate and a little miffed. If you have yet to buy something, then asking another tourist at least gives you a ceiling price, but I've found nothing but distress when talking prices with anyone other than obvious package tourists (who really pay through the nose when they buy tours from home or from tourist centres like Kuta). In this case, ignorance is bliss.

4. Just eat it. All the advice is to be very careful about what you eat – always peel fruit, never eat reheated food, don't drink the water – and most of it, such as be careful with the water, is good advice indeed. However, you can take it too far, and paranoia is often more depressing than a bout of dodgy guts, so I say mellow out and try that fruit, eat at that squalid looking warung, and immerse yourself in the whole experience. Hell, if it's good enough for the cockroaches, it's good enough for you.

5. Remember the golden rule: if things get really bad, you can always fly home, a prospect far more daunting than having to make more small talk with an Indonesian with little English and nothing in common with you. As Stewart Copeland once wrote, 'Life was easy/When it was boring,' and the converse is true: good travel is often hard work, and the lows come thick and fast. Then again, so do the highs, and before you know it things are going well again, the world

Page 3: saatnya baduy bicara

is rolling by as you march on to the next destination, and life is looking good. Still, knowing you have a safety net is a great asset.

6. Never, ever drive in Asia. Not unless you habitually carry five pints of A+ blood around in your backpack, or you're one of those nutters who drive from London to Sydney every year (in which case hats off to you!).

7. Get off the beaten track, and accept that you'll still bump into Gunta and Friedrich from München on the way. Ignorant tourists suck the life blood out of any society – watching people complain in public is a pet hobby of mine, but all it does is enforce the attitude of the locals that, as Asterix put it, 'These foreigners are crazy,' (tap side of head with finger) – and getting away from them is all part of the experience. However, the further you get from the infiltration of the paleface, the more of a centre of attention you will be, and the Hello Mister cult will become a way of life. How much this is worth the effort is up to you: personally, sometimes I'd trade all the amazing views and cultural isolation in the world for a peaceful spot under a tree somewhere in civilisation, and sometimes I can't get enough of the insanity and amphetamine pace of life in Asia. That's the contradiction of travel here: on one hand it's invigorating, and on the other it's just incredibly wearing.

8. But do come back to the beaten track every now and then. Without a fairly regular taste of life as we know it – beer, Pizza Hut, McDonald's, beaches, good music, English conversation – you will go quite, quite mad. And that rather spoils the travelling, if you ask me: immersing yourself in Australian culture is somewhat different to losing your bearings in the Asian quagmire.

9. Don't believe your guidebook. Most people travel with guidebooks that are a couple of years old, and in Asia this means everything will be totally inaccurate. For example, paying for a bemo is easy if you know the price – just hand the readies over – but if you don't know the fare and ask how much it is, you will be told a fictitious figure that's at least double what it should be. I have a formula: take the price in the guidebook, if there is one, add about 20 per cent, and hand that over. If it's too much, look expectant for change; if it's not enough, he'll demand more. You'll probably still get ripped off – see rule two – but at least you'll be in the right ballpark.

10. Detach yourself. I find that viewing life as if it was a movie is very handy in Asia. There's no way you're ever going to get really involved in the culture – even westerners who spend whole lifetimes in Asia can still find the ideas and attitudes alien – so just accept you're a tourist and go with the flow. In Australia and New Zealand I felt I fitted in, even to the point of being mistaken for a local on a few memorable occasions, but that can never happen in Asia. It's an experience, but nothing like the travelling I've already done: there'll be no whingeing about the bus and hostel option here, because it's pretty much the only way to travel.

11. Never believe times that you're given, both in terms of specifics and durations. On the ferry from Sumbawa to Flores I heard four different possibilities for the length of the voyage: six hours, seven hours, eight hours and ten hours (it turned out to be six and a half). And our bus to Bima in Sumbawa should have arrived at 2am, but turned up at 4.30am. This, apparently, is perfectly normal, and comes as no surprise when you look at the crappy watches the hawkers try to off-load onto unsuspecting tourists in Kuta.

Page 4: saatnya baduy bicara

12. Plan your plan to fall apart. Nobody who lives their lives by timetables and strict pricing will survive beyond the first night in Indonesia. If your plan is 'Go from point A to point B', rephrase it as 'Go from point A to point C, which may or may not be somewhere near point B, and then make up a new plan'. If you don't, you'll lose your hair quicker than Sampson as you tear it out by the roots in frustrated clumps...

Follow these simple guidelines and your Indonesian trip will still prove to be as unpredictable and strenuous as a triple bypass operation. But at least you won't be surprised when, yet again, you find yourself wondering how Indonesia manages to survive as a nation, and you might even get into it. I do hope so... it's always worth the hassle.

06.00 WIB merupakan waktu yang disepakati untuk berkumpul di Kantor Badan Kesbangpol Banten sebagai tempoat meeting point pemberangkatan Touring d'Baduy. Touring ini merupakan tour perdana para biker yang bekerja pada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Banten. Ajang ini juga sekaligus sebagai ajang silaturahim dan refreshing Pegawai, lepas dari rutinitas kerja sehari-hari dan menikmati suasana keakraban di luar kedinasan.

Page 6: saatnya baduy bicara

Berdoa untuk keselamatan dan kesehatan, serta persiapan akhir pemberangkatan

06.30 WIB persiapan akhir pemberangkatan pun dilakukan, diawali dengan do'a bersama agar diberi keselamatan dan kesehatan dari berangkat sampai kembali nantinya. Dan tak lupa berpose bersama dulu.

Page 8: saatnya baduy bicara

Keberangkatan ditemani dengan rintik hujan yang terus jatuh dari atas langit, tetapi karena penuh semangat, para biker tak gentar dan terus melanjutkan perjalanan. Rute yang dilalui, dari Kantor (KP3B) menuju Perempatan Boru Curug menuju jalur Petir - Tunjung Teja - Warung Gunung - Cibadak - Rangkasbitung (melewati alun-alun Raskasbitung).

Dalam perjalanan ini kekuatan rombongan bertambah di Petir dan Warunggunung (tidak ikut berkumpul di kantor dengan alasan efesiensi waktu). Pada saat di Cibadak hujan turun dengan derasnya sehingga menghentikan rombongan untuk mengenakan jas hujan dan perjalanan pun dilanjutkan (biker tidak takut hujan).

Kondisi jalan dari Kota Rangkasbitung hingga Ciboleger secara umum cukup baik, terdapat selang seling jalan bagus dan kurang bagus (berlubang dan rusak) sehingga perlu perhatian dan kehati-hatian.

Page 9: saatnya baduy bicara

Suasana perkampungan Ciboleger dan Tugu Selamat Datang

10.30 WIB Rombongan tiba di Ciboleger, atau juga yang dikenal dengan Terminal Ciboleger. Ini

Page 10: saatnya baduy bicara

merupakan salah satu pintu masuk menuju perkampungan baduy. Ciboleger juga sebenarnya sudah termasuk Baduy Luar. Hujan tiada henti-hentinya terus mengguyur sesampainya di perkampungan ini, dan pemandangan orang baduy pun sudah terdapat disini. Sebagai tempat starting point, lokasi ini sudah terbilang bagus/baik, terdapat warung makan, pusat souvenir, dan toilet, sehingga para wisatawan tidak perlu khawatir setibanya disini (juga terdapat toko swalayan salah satu waralaba terkenal). Efektif perjalanan yang ditempuh dari Serang - Ciboleger selama 3,5 jam atau kurang lebih sejauh 72 km.

Page 12: saatnya baduy bicara

Setelah parkir kendaraan R.2-nya (dengan biaya Rp3.000,00) yang dijaga oleh penduduk setempat. Rest dulu setelah menempuh perjalanan sambil menikmati gorengan, kopi dan teh di warung makan starting point untuk tracking menuju perkampungan baduy luar. Tidak lama disini, 15 menit juga sudah cukup dan perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki alias tracking menuju Kampung Gajeboh (salah satu perkampungan baduy luar).

Hujan yang masih turun, walau rintik-rintik cukup merepotkan selama perjalanan yang berlumpur, licin, mendaki dan turunan, itu yang dihadapi selama perjalanan ini. Tetapi dengan tetap semangat, tenaga yang telah terkuras pun tetap memberikan dorongan untuk terus melangkah. Beberapa kejadian anggota rombongan yang terjatuh karena licinnya jalan (tanah dan batu) menjadi semacam "hiburan" di tengah keletihan, sekaligus tampak kebersamaan dan canda tawa yang selalu menemani perjalanan. Beberapa orang bahkan harus dibantu ditarik untuk track yang mendaki, seperti gandengan kaleee .... ;-)

Page 14: saatnya baduy bicara

Beginilah suasana selama perjalanan Ciboleger - Gajeboh, licin-mendaki-turunan-hujan menjadi teman setia perjalanan, tetapi tidak lupa juga untuk pengabadian.

Page 15: saatnya baduy bicara

11.30 WIB kami pun sampai di Kampung Gajeboh setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam dari Ciboleger. Suasana asri perkampungan Baduy Luar ini sangat terasa, Kampung Gajeboh terletak di pinggir Sungai Ciujung yang terlihat deras air mengalirnya. Sebelum memasuki perkampungan ini bila dilihat dari kejauhan sunguh sangat indah pesonanya. Warga baduy pada umumnya hidup dengan pertanian dan perkebunan, selain itu untuk para wanitanya sehari-hari disibukkan dengan bertenun (tenun ikat).

Page 17: saatnya baduy bicara

Perlu diketahui bahwa, untuk berwisata di perkampungan baduy ini kita memerlukan guide sebagai petunjuk orang setempat sekaligus memfasilitasi segala kebutuhan yang diperlukan selama berkunjung ini (untuk guide ini dibayar sekitar Rp200.000,00 - Rp300.000,00). Sesampainya di Kampung Gajeboh ini, disediakan tempat rest bagi rombongan yang merupakan rumah kepala desa yang berbentuk panggung besar. Hal ini memang diperuntukkan bagi para wisatawan yang berkunjung, tempat ini pula bisa digunakan tempat untuk menginap sehingga tidak menempati/mengannggu rumah warga lainnya. Rumah besar ini juga sudah tersedia MCK yang memadai.

Seharusnya, sesampainya di rumah besar ini langsung menyantap makan siang, sesuai rencana awal kami kepada guide tadi. Tetapi karena kedatangan yang lebih cepat sehingga hidangan belum siap, akhirnya waktu ini sambil menunggu hidangan makan siang digunakan untuk berkeliling di sekitar perkampungan. Salah satu tempat terfavorit bagi pengunjung ke perkampungan baduy adalah Jembatan Bambu di Gajeboh. Jembatan bambu ini merupakan tapal batas dan penghubung antara Baduy Luar dan Baduy Dalam. Dari Gajeboh (baduy luar) menuju Cibeo (baduy dalam) diperlukan waktu kurang lebih dengan berjalan kaki selama 4 jam (kurang lebih 9 km lagi). Jembatan bambu ini ditopang oleh pohon besar yang tentunya sudah berumur ratusan tahun, hal ini dapat dilihat dari batang pohon yang besar dan tua. Oh ya, biasanya bagi para wisatawan yang akan berkunjung ke Cibeo (Baduy Dalam) akan menginap di Gajeboh ini dulu, selanjutnya pagi-pagi melanjutkan perjalanan ke Cibeo.

Page 21: saatnya baduy bicara

12.15 WIB rombongan sudah berkumpul kembali di rumah besar untuk menyantap makan siang, walau dengan menu ikan asin, peda asin, ikan mas goreng, sambel terasi dan non terasi, serta lalapan, sungguh nikmat terasa. Keletihan selama perjalanan menuju Gajeboh terasa hilang dengan suasana yang tenang, asri, indah dan alami disini. Santapan pun mengalir begitu saja memasuki rongga perut untuk mengisi energi kembali.

Page 23: saatnya baduy bicara

13.30 WIB merupakan waktu yang disepakati untuk kembali menempuh perjalanan tracking menuju Ciboleger, waktunya pulang. Setelah sholat zhuhur (dijamak ashar juga), rombongan pun akhirnya meninggalkan perkampungan Gajeboh ini dengan sejuta kenangan dan pengalaman. Perjalanan kembali menyusuri jalan licin, tetapi sudah tidak hujan kembali.

Berpose bersama Warga Baduy Dalam yang sedang dalam perjalanan menuju Cibeo (Baduy Dalam) setelah 'berdagang' kerajinan tangan.

Page 24: saatnya baduy bicara

Jalur tracking akan melewati beberapa sumber mata air yang jernih.

Page 26: saatnya baduy bicara

14.30 WIB rombongan pun sudah tiba di Ciboleger kembali. Setiba disini hujan turun kembali sebentar, dan dimanfaatkan untuk bebersih, istirahat, dan belanja oleh-oleh khas baduy. Oleh-oleh yang dapat diperoleh berupa bahan batik (baju) dan ikat kepala khas corak baduy (dalam gambar yang berwarna biru). Memang batik ini merupakan produksi pabrikan, tetapi yang khas adalah coraknya. Untuk ikat kepala dijual antara Rp10.000,00 sampai Rp15.000,00 (ada dua ukuran), sedangkan untuk bahan baju batik seharga Rp35.000,00. Selain itu juga ada kaos-kaos bermotif baduy dengan harga Rp20.000,00 - Rp30.000,00 tergantung ukuran. Terdapat juga gula aren khas produksi baduy, cinderamata khas baduy yang terbuat dari batok kelapa dan lain sebagainya.

15.00 WIB rombongan meluncur kembali menuju Serang, dan tidak ketinggalan hujan pun kembali menemani selama perjalan pulang ini. Artinya dari mulai keberangkatan hingga kepulangan hujan tiada berhenti untuk menyapa perjalanan ini, sungguh nikmat dan basah. Perjalanan ini terasa sangat cepat, berbeda dengan keberangkatan. Jam 17.30 WIB rombongan ini sudah sampai di Petir dan rest dulu untuk menghangatkan badan dengan makan mie ayam di dekat Kantor Kecamatan Petir Serang. Dan setelah itu, rombongan pun dibubarkan secara resmi untuk kembali pulang kerumah masing2 pada jam 18.00 WIB.