dinamika politik islam sasak; tuan guru dan politik …

99
DINAMIKA POLITIK ISLAM SASAK; TUAN GURU DAN POLITIK PASCA ORDE BARU Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos) Oleh MUH. SAMSUL ANWAR NIM: 105033201139 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2011 M

Upload: others

Post on 05-Apr-2022

14 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

DINAMIKA POLITIK ISLAM SASAK;

TUAN GURU DAN POLITIK PASCA ORDE BARU

Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh

MUH. SAMSUL ANWAR NIM: 105033201139

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1431 H / 2011 M

ABSTRAKSI

Muh. Samsul Anwar Dinamika Politik Islam Sasak; Tuan Guru dan Politik Pasca Orde Baru Skripsi yang berjudul “Dinamika Politik Islam Sasak; Tuan Guru dan Politik Pasca Orde Baru” ini membicarakan tentang bangkitnya Tuan Guru dalam kancah politik, setelah terjadinya reformasi politik atau pada masa pasca Orde Baru. Karena pada masa Orde Baru Tuan Guru hanya dijadikan sebagai juru kampaye atau sebagai lumbung suara pada hajatan lima tahunan. Pada tingkatan legislatife maupun eksekutif pun Tuan Guru tidak memiliki peran apa-apa. Post-post tersebut diisi oleh para kaum Menak. Tanpa memperoleh jabatan apapun Tuan Guru hanya sebagai legitimasi pada tataran keagamaan.

Munculnya reformasi politik pada pasca Orde Baru, memberikan ruang kepada Tuan Guru dalam terjun di dunia politik. Pada pasca Orde Baru ini kemudian memberikan dinamika baru dalam politik masyarakat Sasak dan juga bangkitnya politik Islam, yang diwakili oleh para Tuan Guru.

Pencalonan Tuan Guru “Bajang” pada Pilkada 2008 di Nusa Tenggara Barat memberikan bukti bahwa tokoh agama tidak hanya sebagai pemimpin keagamaan, melainkan juga dapat memimpin pemerintahan. Dalam pencalonan Tuan Guru “Bajang” ini juga memberikan warna pada dinamika politik pada masyarakat Sasak yang sebelumnya selalu dikuasai oleh golongan Menak.

Kemenangan Tuan Guru Bajang ini bukan hanya dikarenakan faktor ketokohan yang dimilikinya, melainkan juga memiliki modal sosial yang cukup, memiliki masa yang jelas dan momentum yang tetap. Karena dari semua calon yang ada memiliki keterlibatan korusi. Sehingga Tuan Guru Bajang adalah calon alternatife yang paling bersih dari calon-calon yang ada.

Skripsi ini, memperkuat temuan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2010, yang dilakukan di Lombok Timur. Yaitu tentang pergeseran peran Tuan Guru yang dulunya sebagai pendakwah kemudian bergeser pada pasca Orde Baru menjadi politisi.

Skripsi menggunakan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang menggunakan latar alamiyah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan cara melibatkan berbagai metode yang ada dengan pendekatan deskriptif analisis. Deskriptif artinya memaparkan fenomena sosial dengan apa adanya. Sedangkan analisisnya, memberikan interpretasi terhadap fenomena sosial tersebut. Dalam mempermudah kajian ini, penulis menggunakan pendekatan historis analisis dengan teori kharismatik Max Weber. Historis analisis adalah memaparkan data-data sejarah yang ada kemudian dianalisis. Sedangkan teori kharisma Weber (1864-1920), yaitu dengan karisma yang dimiliki oleh seorang dan mempunyai daya tarik serta karakter pribadi yang memberikan inspirasi pada mereka yang bakal menjadi pengikutnya. Untuk itu dibutuhkan kajian pustaka (library reseach). Penelitian ini mengandalkan data dari dokumen-dokumen baik primer maupun sekunder; seperti buku, jurnal, arsip dokumen dan tulisan-tulisan yang terkait dengan tema tersebut. Dan juga skripsi ini menggunakan teknik wawancara dengan mengumpulkan data dan informasi melalui tanya jawab.

KATA PENGANTAR

Al Hamdulillahi rabbil ‘alamin. Segala puja dan puji syukur kepada Allah

Subhanahu wa ta’ala atas karunia dan kesempatan mengembangkan potensi diri

dan keilmuan, sehingga skripsi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)

Prodi Ilmu Politik ini, selesai dengan baik, walaupun melalui proses yang

panjang. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan keharibaan

junjungan alam Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam atas syafaat-Nya.

Selanjutnya berkaitan dengan penyelesaian Skripsi ini, penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh sivitas

akademika, instansi baik lembaga maupun perorangan yang telah membantu

dalam proses penyelesaian skripsi ini. Ucapan trima kasih penulis kepada :

Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berserta jajarannya.

Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak

Dr. Hendro Prasetyo, selaku Wakil Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ibunda Dra. Hj. Wiwi Siti Sajaroh, M. Ag., selaku Pembantu Dekan (Pudek).

Bapak Ali Munhanif, Ph.D selaku Ketua Jurusan Ilmu Politik sekaligus Pakar

Politik Islam Timur Tengah. dan Bapak M. Zaki Mubarok M.Si, selaku Sekretaris

Jurusan sekaligus Pengamat Politik. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik (FISIP) yang telah memberikan senjata inspirasi, desir angin

bathiniah, dan deru debu akumulasi pengetahuan kepada penulis.

Secara khusus terima kasih saya haturkan kepada pembimbing skripsi saya

Bapak Ahmad Bakir Ihsan, M. Si, yang sedang dalam proses penyelesaian studi

S3 di UI, senantiasa mengoreksi, sabar dan menunggu penulis dalam penyelesaian

skripsi ini. Semoga sukses pak.

Kedua orang tua penulis yang salalu sabar dalam setiap pengkabaran

keadaan selalu menanyakan kepada penulis kapan penulis wisuda. Adik-adik

penulis yang setiap kali menelpon memberikan suport dan semangat untuk segera

menyelesaikan study.

Gubernur Nusa Tenggara Barat, Tuan Guru ” Bajang”, Dr. Zainul Majdi,

M.A, yang sekaligus Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (NW) yang

memberikan pendidikan di Aliyah sehingga memberikan watak dan karakter yang

tangguh. Dan tidak lupa Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) NW Pancar

berserta para Tuan Guru, Ustaz dan Ustazah; TGH Abdul Hamdi, Ust Amin, Ust

Abdul Hadi, Ust Anshari, Ustzh Zakiya,Ustzh Ella dan kawan-kawan alumni

MAK NW Pancor terwadah dalam FORKOMA (Forum Komunikasi Alumni

MAK NW Pancor).

Sahabat-sahabat penulis dan seluruh aktivis Pergerakan Mahasiswa

Islam Indonesia (PMII) Cabang Ciputat. Seluruh senior, alumni dan keluarga

besar PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Perguruan Tinggi Umum

(KOMFUSPERTUM); PMII Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (KOMFISIP),

FORUM KAJIAN CIPUTAT SCHOOL (Revolusi Kesadaran); Imam Muslim,

Gus Jamal, Ust. Shoffi, , Januari A ”Tuyul”, Bimbim, Habib Ahyat, Alysiah, Luna

Aini Erdian, Tya, Ochiet dll. Forum Kajian KORIDOR 168; Mas Gad, Mas Heru,

Cak Kholid, Mas Lum’an, Mas Syamsuddin, Putro (gitas fortuna band), Fajar,

Yudha, Iby, Piyan, Yasir, Johan, Adriayansah (presiden sosiologi). Mahasiswa

Ilmu Politik Angkatan 2005 (FUF-FISIP). Dan saudara-saudaraku sedaerah yang

terkumpul dalam Ikatan Mahasiswa Sasak (IMSAK) Jakarta; Amid, Daut, Muid,

Akib, Zuh, Lina, Uyi, Enong, Fauzan, Tina, Maria dan teman-teman IMSAK di

Madinatunnajah, Darunnah, Ibnu Kholdun, STT, Surabaya, Yogyakarta, Bandung

dan Bogor.

Akhirnya, kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, penulis memohon semoga

mereka semua mendapat balasan yang mulia dan pahala yang berlipat ganda di

sisi-Nya. Terakhir semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi kontribusi

bagi khazanah keilmuan politik Islam, serta menjadi amal shalih di hadapan Allah

Ta’ala. Amiin ya rabbal ’alamin.

DAFTAR ISI ABSTRAKSI …………………………………………………………………….. i KATA PENGANTAR ………………………………………………………....... ii DAFTAR ISI ……………………………………………………………………... iv

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………….. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………………….. 12

C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………..... 12

D. Metode Penelitian ……………………………………………………… 13

E. Kajian Terdahulu yang Relevan ……….……………………………..... 14

F. Sistematika Penulisan ………………………………………………….. 16

BAB II : TUAN GURU DAN POLITIK

A. Agama dan Politik …………………………………………………….. 17

B. Tuan Guru sebagai Elit Lokal ………………………………………..… 23

C. Tuan Guru dan Politik ………………………………………………..... 30

BAB III : SEJARAH SOSIAL-POLITIK LOMBOK

A. Sosio-kultural dan Religiusitas Masyarakat Sasak Lombok …………... 36

B. Tuan Guru dan Konstelasi Politik Orde Baru ………………………….. 44

C. Dinamika Politik Islam Pasca Orde Baru ……………………………… 49

BAB IV : PERAN POLITIK TUAN GURU PASCA ORDE BARU

A. NW dan Pusaran Perubahan Politik …………………………………….55

B. Tuan Guru dan Pemilu-Pemilu Pasca Orde Baru …………………........ 62

C. Tuan Guru dan Pilkada :

1. Kemenangan Tuan Guru “Bajang” dalam Pemilihan Gubernur NTB

pada 2008 …………………………………………………………... 67

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………………..… 72

B. Saran …………………………………………………………………... 73

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………........... 74

LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………………………………………….......... 78

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama1 apapun yang datang ke dunia ini, tidak memasuki ruang vakum

budaya2. Katolik datang ke Timur Tengah dan kemudian berkembang di wilayah

Barat juga setelah adanya budaya lokal setempat. Protestan berkembang di

wilayah Barat, juga ada Katolik yang establish di daerah itu. Agama Hindu yang

berkembang di Anak Benua India, juga sudah terdapat keyakinan local yang kuat.

Agama Budha berkembang di Anak Benua India, juga sudah ada agama Hindu

yang sudah mengakar. Demikian juga, Islam datang ke wilayah Jazirah Arab,

maka sudah mengakar dan berkembang keyakinan-keyakinan agama dari para

Nabi sebelumnya3.

Ketika Islam datang ke tanah Arab, maka keyakinan-keyakinan lokal atau

agama-agama lokal (tribal religion) sudah mengakar dan berbudaya, baik yang

1Dalam bahasa Arab agama disebut dengan din, dan religi dalam bahasa Eropa. Agama

berasal dari kata Sankrit. Ada pendapat mengatakan bahwa agama terdiri dari dua kata, yaitu a artinya tidak dan gama artinya pergi. Jadi artinya tidak pergi, tetap di tempat, tidak diwarisi turun-temurun. Untuk itu agama memiliki sifat yang demikian. Ada juga pendapat mengatakan agama adalah teks atau kitab karena agama-agama memang memiliki kitab-kitab suci. Selanjutnya ada juga yang berpendapat bahwa agama adalah tuntunan. Karena memang agama mengandung ajaran-ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya. Religi berasal dari bahasa Latin. Satu pendapat berasal dari kata relegere yang mengandung arti mengumpulkan, membaca. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan. Ini terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain, berasal dari kata religare yang artinya mengikat. Artinya bahwa agama pun mengikat manusia dengan Tuhan. Lihat Harun Nasutian, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, ( Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985), cet I, h. 1

2 Komaruddin Hidayat, Ketika Agama Menyerah, dikutip oleh Nur Syam dalam “Pengantar”, M. Ahyar Fadly, Islam Lokal; Akulturasi Islam di Bumi Sasak, (Nusa Tenggara Barat; STAIIQH, 2008), cet. I, h. xiii

3Nur Syam dalam “Pengantar”, M. Ahyar Fadly, Islam Lokal; Akulturasi Islam di Bumi Sasak, (Nusa Tenggara Barat; STAIIQH, 2008), cet. I, h. xiii

2

barbasis pada agama Yahudi, Majusi, atau Masehi4. Oleh karena itu agama yang

baru datang harus berdialog dengan budaya lokal setempat. Dan perjumpaan ini

nantinya yang akan saling mempengaruhi dan bahkan juga berujung pada

ketegangan; agama yang baru akan mempengaruhi budaya lokal (keyakinan

lokal), atau begitu juga sebaliknya budaya lokal mempengaruhi agama yang baru

datang.

Hal ini juga terjadi kepada agama-agama yang ada di Nusantara. Ketika

agama Hindu datang ke Nusantara pada abad 55, maka sudah ada bertebaran ke

berbagai wilayah dengan macam kepercayaan dan budaya dalam corak yang

animistik6 dan dinamistik7. Ketika agama Budha datang ke Nusantara dan tempat

lain di belahan Timur, maka agama Hindu dan kebudayaan lokal sudah mengakar

kuat. Hampir-hampir tidak dijumpai ruang hampa budaya dalam kehidupan

manusia8. Dan bisa dipastikan bahwa agama-agama yang mengalami perjumpaan

4M. Ahyar Fadly, Islam Lokal; Akulturasi Islam di Bumi Sasak, h. xiv 5Bahkan ada yang berpendapat bahwa sebelum abad 5 sudah ada agama lokal yang

dipercayai di Nusantara ini. Agama local itu bernama Kapitaya, Sang Yang Tu. Yaitu agama yang meyakini adanya kekuata yang berada di luar manusia, tetapi belum berwujud atau termanifestasikan dalam bentuk benda. Dalam agama ini terdapat dua kekuatan besar. Pertama kekuatan baik yang kemudian disebut dengan Tu. Misalnya Tumpeng, Tuhan, dan lain-lainnya yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Kedua, kekuatan jahat yang kemudian dinamakan Han, yang kemudian termanifestasikan menjadi Hantu. Yaitu kekuatan gaib jahat. Hasil diskusi yang disampaikan oleh Agus Sunyoto, yang diselenggarakan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia di Situ Gintung pada Jum’at sampai Sabtu, 15-17 April 2007.

6Animistik adalah agama yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa, mempunyai roh. Roh dalam masyarakat primitif belum berbentuk roh dalam paham masyarakat yang lebih maju. Roh bagi masyarakat primitif tesusun dari materi halus sekali yang dekat menyerupai uap. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek,( Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985), cet I, h. 4

7 Dinamistik adalah kepercayaan pada kekuatan gaib yang misterius. Yaitu kekuatan gaib yang mempengaruhi kehidupan manusia. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek,( Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985), cet I, h. 1

8 M. Ahyar Fadly, Islam Lokal; Akulturasi Islam di Bumi Sasak, (Nusa Tenggara Barat; STAIIQH, 2008), cet. I, h. xiv

3

dengan budaya lokal atau kepercayaan lokal di mana ia berpijak ini yang

kemudian disebut dengan integrasi kultural.

Begitu pula ketika agama Islam datang ke Nusantara ini9, maka agama

Hindu, Budha dan agama-agama lokal sudah ada, mengakar dan berkembang ke

seluruh penjuru Nusantara. Sehingga perjumpaan agama Islam dengan budaya

Nusantara memunculkan apa yang disebut dengan singkretisme dan akulturasi10

yang menjadi “pembeda” dengan Islam dari daerah aslinya, Mekkah dan

Madinah. Islam di Nusantara disebut dengan – meminjam istilah Azyumardi Azra

– sebagai Islamique peripheque (“Islam pinggiran”) bahkan disebut juga “Islam

yang tidak murni”. Sedangkan Islam di Timur Tengah disebut Islamic core (Islam

pusat, inti). Atau ada juga menyebut Islam di Timur Tengah (Mekkah dan

Madinah) sebagai great tradition (tradisi besar) dan Islam di Nusantara disebut

little tradition (tradisi kecil)11.

Datangnya agama Islam ke Nusantara ini nyaris tanpa ketegangan. Oleh

para ahli ditengarai bahwa gelombang pertama transmisi Islam ke Nusantara

melalui para pendakwah sufi yang datang ke tanah air untuk kepentingan

berdakwah dan berdagang. Pola sufistik ini dijadikan pintu masuk untuk

menyebaran agama di tengah-tengah masyarakat. Dengan pendekatan sufistik

9 Sejarah masuknya Islam ke Nusantara ada beberapa teori. Yaitu teori dari India, teori

dari Arab, teori dari Persia dan teori dari Cina. Lebih lengkapnya lihat Noor Huda, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, ( Yogyakata; Ar-Ruzz Media, 2007); Azyumardi Azra, Jaringan Ulama; Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & VIII, ( Jakarta; Kencana Media, 2007), cet. III

10Singkretisme dipakai untuk menggambarkan berbagai upaya untuk memadukan berbagai unsur di dalam agama menjadi satu kesatuan. Sedangkan akulturasi terjadi ketika menghasilkan pola baru yang khas. Dikutip dalam Nur Syam, Islam Pesisir, ( Yogyakarta; LKiS, 2005), cet. I, h. 11

11Bambang Pranowo, Islam Aktual; Antara Tradisi dan Relasi Kuasa, (Yogyakarta; Adicita Karya Nusa, 1999), cet. II

4

inilah, pesan-pesan yang dibawa oleh para pendakwah saat itu menemukan

tempatnya di kalangan masyarakat lokal12. Artinya bahwa masyarakat tetap bisa

menjadi Islam tanpa harus kehilangan identitas lokalnya. Misalnya Islam yang

bernegosiasi dengan budaya local Sunda, Jawa, Sasak, Batak, Dayak dan lain-lain.

Mereka akan tetap dengan tradisi yang dianut dan menjadi Islam dengan pesona

budaya lokalnya masing-masing.

Agama apapun bahkan tak terkecuali Islam ketika berdialog dengan

budaya local, maka ia akan menjadi agama yang singkretis dan akulturatis.

Singkretis dan akulturatis, hingga tingkat tertentu, berfungsi membuat agama

memiliki makna spiritual dan bernilai social13.

Begitu juga ketika Islam datang ke Lombok14, dengan bentuk budaya lokal

atau keyakinan lokal (agama lokal)15 yang sudah mentradisi kuat di masyarakat

Sasak16, maka ia akan berbentuk Islam Sasak yang kemudian berfarian Islam

Waktu Lima dan Islam Wetu Telu17.

12 A. Fawaid Sjadzili, Temu Tengkar Agama dan Tradisi Lokal, dalam Jurnal Refleksi

Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, “Tashwirul Afkar”, edisi nomer 23 tahun 2007, h. 2 13 Asnawi, Respon Kultural Masyarakat Sasak terhadap Islam, dalam Jurnal Studi Islam

dan Masyarakat, “Ulumuna”, volume IX, edisi 15 nomer I, 2005, h. v 14 Ada yang berpendapat bahwa Lombok berasal dari kata Lomboq, yang artinya lurus.

Nama Lombok ini juga dijumpai dalam Negarakertagama, dengan menyebut Lombok Mirah untuk Lombok Barat da Sasak Adi untuk Lombok Timur. Lihat Fawaizul Umam, Dari Terma ke Stigma; Geneologi Islam Waktu Telu Lombok Nusa Tenggara Barat, dalam Jurnal Penelitian Direktorat Perguruan Tinggi Islam, “ISTiQRO’, volume 4, nomor 01, 2005, h. 280

15Agama asli bangsa Sasak sebelum datangnya pengaruh asing ke Lombok, yaitu agama Boda. Yaitu kepercayaan kepada animism dan politeisme. Penyebutannya mirip dengan Budha, akan tetapi mereka bukan penganut Budhisme, karena mereka tidak mengakui Sidharta Gautama sebagai figure pemujaan. Lihat Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta; LKiS, 2005), cet I, h. 8

16Sasak adalah nama suku dan penduduk asli masyarakat Lombok. Dinamakan pulau Sasak, karena pada pulau ini, pada zaman dahulu ditumbuhi hutan belantara yang sangat rapat yang menyerupai dinding. Secara etomologi Sasak berasal dari bahasa Sansekerta, yang terdiri dari Sak, yang artinya pergi dan Saka artinya asal. Jadi orang Sasak adalah orang yang pergi dari negeri asalnya dengan memakai rakit sebagai kendaraannya, pergi dari Jawa dan berkumpul di Lombok. Ada juga yang berpendapat bahwa Sasak adalah penduduk asli pulau ini yang memakai kain tembasaq (kauin putuh). Perulangan dari kata tembasaq menjadi saqsaq atau Sasak. Pendapat

5

Wetu Telu adalah orang Sasak yang meski mengaku sebagai muslim, tetapi

terus memuja roh para leluhur, berbagai dewa roh dan lain-lain. Dalam

kehiduapan sehari-hari mereka cenderung kepada budayaan. Tidak ada

penggarisan batas yang jelas-tegas antara agama dan adat. Sehingga anatsir adat

bercampur-baur dengan agama dalam sistem kepercayaan mereka18. Berbeda

dengan Waktu Lima sebagai lawan dari Waktu Telu. Islam Waktu Lima memiliki

komitmen yang begitu tinggi pada syari’ah Islam sehingga ketaatan kepada

aturan-aturan adat lokal menipis dan bahkan ditinggalkan19.

Inilah yang kemudian disebut dengan bagian dari Islam Indonesia. Yaitu

Islam yang mengakomodir, bernegosiasi, berdialog dan bahkan berdialektika

dengan budaya lokal setempat. Sehingga coraknya akan berbeda antara daerah

yang satu dengan daerah yang lain, tergantung letak geografis, budaya, etnik dan

bahasanya.

Dari sinilah muncul akar-akar geneologis hubungan Islam dan politik di

Indonesia. Yaitu pertama kali diperkenalkan dan disebarkan di Indonesia ini

dengan dialog yang bermakna dengan realitas sosio-kultural dan politik setempat,

lain juga mengatakan bahwa nama Sasak adalah nama kerajaan yang pertama-tama ada di pulau Lombok. Tempatnya di bagian barat daya dari pulau Lombok. Lebih lengkapnya lihat Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pecatatan 1977/1978, h. 7-8

17 Dalam bahasa Sasak, Wetu atinya waktu dan telu artinya tiga. Jadi waktu tiga. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Wetu berasal dari kata metu, artinya lahir (reproduksi), telu artinya tiga. Jadi wetu telu artinya tiga macam terjadinya reproduksi, yaitu melahirkan (menganak), seperti manusia dan hewan mamalia; bertelur (menteluk), seperti burung; berkembang biak dari benih atau buah (mentiuk), seperti biji-bijian, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Lihat Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, (Jakarta; PT Logos Wacana Ilmu, 2004), cet. I, h. 98-99; Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta; LKiS, 2005), cet I, h. 8

18 Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta; LKiS, 2005), cet I, h. 7-8

19Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, h. 8

6

terlibat dalam politik. Dapat dikatakan bahwa Islam, sepanjang perkembangannya

di Indonesia, telah menjadi bagian yang inheren dari sejarah politik negeri ini20.

Serikat Islam (SI) misalnya, adalah partai massa yang pertama di

Indonesia yang didirikan pada tahun 1912. Walaupun ketika itu SI tidak dianggap

sebagai partai politik karena peraturan yang berlaku pada saat itu, Hindia Belanda,

- walaupun pada 1919 peraturan itu dicabut. Serikat Islam inilah adalah partai

pertama yang secara ideologis dan sosiologis menyediakan wadah bagi

pergerakan politik secara nasional, yang merangkul sejauh mungkin anak negeri

di Hindia Benda21.

Begitu juga di Lombok, pada masa penjajahan Hindia Belanda (1897),

para Tuan Guru mengadakan pemberontakan dan berperang melawan Belanda -

walaupun corak Islam pada waktu itu adalah tariqat (sufi) – seperti misalnya Tuan

Guru Haji Bangkol di Praya, Tuan Guru Haji Muahammad Amin di Pejeruk, Tuan

Guru Haji Muhammad Sidiq di Karang Kelok, Tuan Guru Haji Arsyad di Gtap,

Tuan Guru Haji Munawar di Gebang, Tuan Guru Haji Munir di Karang Badil,

Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid di Pancor dan lainnya22.

Begitu juga pasca kemerdekaan, politik Islam mempunyai peran yang

urgent dalam membangun negeri ini. Pembentukan Badan Penyelidikan Usaha-

usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beberapa anggotanya

adalah para aktivis politik Islam atau Kyai atau Tuan Guru, bertugas merumuskan

20Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transportasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam

di Indonesia, diterjemahkan oleh Ihsan Ali Fauzi, (Jakarta; Paramadina, 1998), cet. I, h. 21-22 21 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat; Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta;

LP3ES, 1996), cet. II, h. 1-2 22Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan

Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, (Jakarta; PT Logos Wacana Ilmu, 2004), cet. I, h. 89-93

7

ideologi dan konstitusi Negara, adalah bukti dari keterlibatan mereka. Dan juga

para aktivis politik Islam ini juga “dipakai” oleh Angkatan Darat sebagai

penyeimbang dan bahkan melawan Soekarno dan Partai Komunis Indonesia

(PKI).

Pada masa Orde Baru, politik Islam menjadi kekuatan yang dianggap

“berbahaya” oleh pemerintahan Orde Baru. Sehingga politik Islam tidak diberikan

ruang dan dipersempit ruang geraknya. Pemerintah Orde Baru memberlakukan

beberapa kebijakan dalam mempersempit ruang gerak aktifitas politik Islam,

diantaranya, setiap organisasi kemasyarakatan (ormas) atau partai politik harus

berasaskan ideologI tunggal, yaitu Pancasila. Ini yang kemudian disebut oleh

Bahtiar Effendy dengan kebijakan depolitisasi Islam23. Akan tetapi ini yang

membuat Islam Politik berubah menjadi apa yang disebut dengan Islam Kultural.

Islam kultural mengandung pengertian bahwa sosialisasi dan institusosialisasi

ajaran Islam dilakukan dalam upaya-upaya yang menekankan pada perubahan

kesadaran dan tingkah laku umat tanpa campur tangan Negara dan tanpa

perubahan sistem nasional menjadi sistem Islami24. Islam kultural itu sendiri pada

dasarnya bukan konsep yang apolitis, melaikan mengandung dimensi dan muatan

politis. Hanya saja dalam Islam kultural dimensi dan muatan politiknya tidaklah

diartikulasikan dengan siapa mendapat apa (who gets what) dalam meraih

23 Menurut Bahtiar Effendy, depolitisasi Islam yang dimaksud adalah depolitisasi politik

bukan Islam. Akan tetapi karena Islam bagian dari kehidupan politik nasional, berimbas sebagai grand design politik Orde Baru. Lihat Bahtiar Effendi, (Re) Politisasi Islam; Pernahkan Islam Berhenti Berpolitik, (Bandung; Mizan Media Utama, 2000), cet. I, h. 108

24Ahmad Al-Fajri, Delima Islam Kultural, dalam Jurnal Politik Islam, volume II, 2007, Laboratorium Politik Islam (LPI) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta, h. 38; lihat juga M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Pasca Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), cet. I; Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama, Masyarakat dan Negara Demokrasi, (Jakarta; The Wahid Institute, 2006), cet. I

8

kekuasaan. Atau dalam bahasa lain dimensi dan muatan politiknya tidak terputus

pada bentuk politik praktis yang bersifat temporer, instrumental dan partisan

melaikan melalui apa yang David Easton sebut dengan politik alokatif. Yaitu

alokasi otoritatif nilai-nilai tertentu dalam suatu masyarakat untuk kepentingan

masyarakat tersebut secara menyeluruh25.

Pasca Orde Baru atau disebut juga dengan reformasi politik pada tahun

1998 di Indonesia ditandai oleh tiga hal, yaitu demokrasi yang berlangsung cepat

dan dinamis; civil society yang tumbuh sebagai kekuatan penyeimbang Negara;

dan proses integrasi masyarakat Indonesia ke dalam kapitalis dunia seraca

massif26. Setelah lengsernya rezim otoriter Orde Baru, berdampak pada dinamika

politik lokal yang melahirkan aktor, inisiator, dan budaya lokal dalam memainkan

peranan di dalam politik lokal27. Ini yang kemudian disebut dengan desentralisasi

dari kekuasaan pusat ke daerah, yang dibarengi dengan tuntutan otonomi daerah

maupun otonomi khusus yang memberi kesempatan pada daerah mengelola

nasibnya sendiri. Dan pasca Orde Baru juga memperlihatkan fenomena

menguatnya gejala politik identitas yang berwujud dengan kekerasan komunal

serta rivalitas politik kekuasaan di daerah-daerah28. Tentu, ini memberikan ruang

kesempatan kepada elit baru lokal (masyarakat biasa, elit tradisional, Tuan Guru,

25Ahmad Al-Fajri, Delima Islam Kultural, dalam Jurnal Politik Islam, volume II, 2007,

Laboratorium Politik Islam (LPI) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta, h. 38 26Irene Hiraswati, dkk, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi

Kasus Pergeseran Peran Tuan Guru di Lombok Timur, dalam Ringkasan Laporan Penelitian Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Politik, 2010, h. 1

27Anis Baswedan, “Pengantar”, dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken, Politik Lokal di Indonesia, (Jakarta: KITLV dan YOI, 2007), cet. I, h. Ix-x

28 Irene Hiraswati, dkk, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Pergeseran Peran Tuan Guru di Lombok Timur, dalam Ringkasan Laporan Penelitian Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Politik, 2010, h. 1

9

dan lain-lain) duduk dalam posisi-posisi politik yang selama ini dinikmati kaum

manak (bangsawan).

Secara psikologis dan kultural, tipologi masyarakat Sasak cenderung

bersifat paternalistik. Di mana figur atau tokoh kharismatik historis menjadi

kemestian mutlak sebagai tempat menyandarkan masalah-masalah sosial dan

agama. Tokoh ini menjadi sentral dan tempat lahir serta bergeraknya ide, wacana

dan agenda perubahan dan pembangunan sosial, bahkan pembentukan mental-

kognitif dan spiritual masyarakat disandarkan pada tokoh-tokoh kharismatik

tersebut29.

Dalam bidang politik, terdapat tokoh-tokoh yang mewarisi darah biru

politik kerajaan, sehingga ditemukan beberapa istilah gelar keturunan, seperti

Datu, Raden, Lalu, Baiq30. Dan pada saat setelah diberlakukannya otonomi daerah

oleh pemerintah pusat, mereka tampil sebagai pemimpin daerah. Mereka inilah

yang menjadi harapan masyarakat untuk melakukan perubahan dan pembangunan

dalam kehidupan sosial dalam segala aspek, baik ekonomi, pendidikan, budaya

dan lain sebagainya. Harapan tersebut terbukti dengan didominasi jabatan

29Fahurrozi, Desertasi 2010, Dakwah Tuan Guru dan Transposmasi Sosial di Nusa

Tenggara Barat. Desertasi ini membahas peran Tuan Guru dalam perubahan sosial, ekonomi, politik dan budaya dalam masyarakat Lombok Timur, h.

30 Dalam stratifikasi sosial masyarakat Sasak terdapat : pertama, golongan menak tinggi. Yaitu golongan keluarga inti kerajaan yang disebut Datu. Dalam garis keturunannya digelari dengan Raden untuk laki-laki dan Dende untuk anak perempuan. Kedua, golongan Menak menegah atau pruwangsa, yaitu golongan ini timbul karena akibat perkawinan campuran antara menak tinggi dari laki-laki dan wanita dari golongan rendah. Gelarnya kemudian disebut dengan Lalu untuk laki-laki dan Baiq untuk perempuan. Ketiga, golongan Jajarkarang. Yaitu warga masyarakat biasa yang merdeka. Keempat, orang budak (panjak). Yaitu orang-orang yang menjadi tawanan perang. Tapi golongan ini pada masa sekarang sudah tidak ada. Lihat, Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan; Artikulasi Nilai-nilai Islam dalam Budaya Sasak, (Yogyakarta; Adab Press, 2006), cet. h. 229-235

10

pemerintah oleh para Lalu (kaum menak) mulai dari Gubernur, Bupati, Kepala

Desa, dan jabatan birokrat lainnya.

Dalam bidang keagamaan terdapat Tuan Guru31 yang memainkan peran

sebagai pelaksana masalah suprastruktur masyarakat. Dari Tuan Guru ini lahir

kebijakan dan pemahaman agama yang dikomsumsi oleh masyarakat Sasak dalam

menjalankan ajaran Islam. Dalam perkembangannya sebagai umat Islam,

masyarakat Sasak kemudian menjadi masyarakat yang paternalistik, fanatik dan

memiliki kultus yang tinggi terhadap Tuan Guru secara dogmatis, eksklusif apatis,

fanatik dan militan. Semua yang dikatakan Tuan Guru dianggap sebagai ajaran

Islam itu sendiri secara an sich. Semua yang dipeintahkan Tuan Guru menjadi

kemestian yang harus dijalani, sebab jika tidak, berarti tidak mematuhi ajaran

Islam32. Dengan demikian sikap masyarakat Sasak yang demikian telah dibentuk

oleh para figur historis secara doktrinal dan kultural. Tuan Guru menjadi figur

yang disegani dan diagung-agungkan. Hal ini disebabkan oleh mitos kekeramatan

yang dimiliki Tuan Guru, yang sengaja disebarluaskan untuk membius dan

menghegemoni masyarakat, sehingga status ketuanan gurunya menjadi abadi.

Hegemoni terhadap masyarakat Sasak dimulai dari hegemoni teologis sampai

pada hegemoni kehidupan sosial-politik.

31Tuan Guru (bahasa Jawa: Kyai), terdiri dari kata Tuan artinya ia sudah menunaikan

ibadah haji; dan Guru adalah seorang yang memiliki kapasitas ilmu yang luas dan mengajarkannya kepada masyarakat. Jadi Tuan Guru adalah sebutan yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kapasitas ilmu pengetahuan agama yang luas. Dalam istilah Azyumardi Azra disebut sebagai fungsionaris agama, yakni orang-orang yang menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan agama, memimpin dan mengarahkan pemeluk agama, seperti masalah keimanan , ibadah, ritual dan lain sebagainya, baik secara individual maupun kolektif. Tapi sering kali bukan hanya dalam urusan agama (sakral), akan tetapi juga dalam urusan keduniawian (propan). Lihat, Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), cet. I, h. 56 32

11

Terjunnya Tuan Guru dalam politik praktis menjadi bukti bahwa

hegemoni teologis berujung pada hegemoni sosial-politik. Dikarenakan bahwa

dalam dunia politik penuh dengan kebohongan dan kemunafikan. Sedangkan

wilayah Tuan Guru (Kyai) adalah wilayah sakral. Dimensinya adalah gerakan

moral yang penuh dengan nilai-nilai keikhlasan, tanpa tendensi dan ambisi serta

menjadi milik semua golongan dan umat. Jika Tuan Guru berpolitik praktis dan

menjadi juru kampanye yang banyak mengumbar janji yang tidak pasti, maka

akibatnya para Tuan Guru tejebak pada logika politik (the logic of politic)33. Hal

ini sering memanipulasi umat atau masyarakat, yang pada gilirannya menggiring

ke arah logika kekuasaan (the logic of power). Dan akibatnya, kekuatan logika

politik (the power of logic politic) ini pada akhirnya mempengaruhi logika

moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian terhadap masyarakat34.

Terbukti bahwa dominasi Tuan Guru berpengaruh besar pada sosial-

politik, ketika misalnya pelaksanaan pemilu daerah (PILKADA) di Nusa

Tenggara Barat (NTB) yang digelar pada tahun 2008 yang lalu, yang kemudian

memunculkan seorang Tuan Guru sebagai Gubernur NTB dan sebagaian Tuan

Guru lainnya menjadi anggota parlemenm baik di tingkat Propinsi maupun

Kabupaten yang banyak lakangan menganggap bahwa Tuan Guru melakukan

penggiringan jama’ahnya ke dalam kekuasaan.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisis

Dinamika Politik Islam Sasak; Tuan Guru dan Politik Pasca Orde Baru, yang

33 Nasri Anggara, Politik Tuan Guru; Sketsa Biografi TGH Lalu Muhammad Faisal dan

Peranannya Mengembangkan NU di Lombok, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), cet. I, h. 5 34Nasri Anggara, Politik Tuan Guru; Sketsa Biografi TGH Lalu Muhammad Faisal dan

Peranannya Mengembangkan NU di Lombok, h. 5

12

terutama kedua tokoh tradisional karismatik ini, yang dalam sosiologi-politik

golongan Menak (bangsawan) selalu mendominasi pada tingkatan birokrasi

pemerintahan dan kancah politik, dan para Tuan Guru yang hanya pada ranah

sosial-keagamaan bergeser ke ranah politik praktis.

B. Batasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis hanya

membatasinya pada kajian Dinamika Politik Islam Sasak, yang berkaitan dengan

Tuan Guru dalam Politik Masyarakat Sasak pada Pasca Orde Baru. Agar

pembahasan ini lebih terfokus, maka penulis merumuskan masalahnya pada:

1. Bagaimana peran politik Tuan Guru dalam masyarakat Sasak Pasca

Orde Baru?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian skripsi ini adalah penulis ingin memeberikan kontribusi

– berupa karya tulis ilmiyah dengan mengkaji kedaerahan- kepada daerah tempat

penulis dilahirkan dan dibersarkan; tulisan ini adalah sebagai tugas akhir untuk

mendapatkan gelar keserjanaan; penulis ingin menambah pengetahuan dan

mengetahui dinamika politik Islam Sasak; Tuan Guru dan Politik Paca Orde Baru.

D. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif,

yaitu penelitian yang menggunakan latar alamiyah (natural), dengan maksud

13

menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan cara melibatkan

berbagai metode yang ada35. Sehingga dalam memerlukan penelitian ini

memerlukan pendekatan deskriptif analisis. Deskriptif artinya memaparkan

fenomena sosial dengan apa adanya. Sedangkan analisisnya, memberikan

interpretasi terhadap fenomena sosial tersebut36. Dalam mempermudah kajian ini,

penulis mengunakan pendekatan historis analisis dengan teori kharismatik Max

Weber. Historis analisis adalah memaparkan data-data sejarah yang ada kemudian

dianalisis. Sedangkan teori kharisma Weber (1864-1920), yaitu sesuatu yang luar

biasa yang dimiliki oleh seorang dan mempunyai daya tarik serta karakter pribadi

yang memberikan inspirasi pada mereka yang bakal menjadi pengikutnya37.

Untuk itu dibutuhkan kajian pustaka (library reseach). Penelitian ini

mengandalkan data dari dokumen-dokumen baik primer maupun skunder; seperti

buku, jurnal, arsip dokumen dan tulisan-tulisan yang terkait dengan tema tersebut.

Dan penulis juga menggunakan teknik wawancara untuk mendapatkan

data dan informasi melalui tanya jawab, dengan mengajukan beberapa pertanyaan

kepada nara sumber atau responden. Teknik wawancara ini memberikan informasi

secara langsung dari nara sumber atau responden yang berkompeten dalam

bidangnya.

Adapun pedoman penulisan ini, penulis menggunakan panduan buku yang

diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu

35Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2007, cet. X, h. 5 36Makalah Metodelogi Penelitian yang ditulis oleh Anas Saidi Machfus (Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia), h. 39 37 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, diterjemahkan oleh Robert M.

Z Lawang, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, jilid I, cet. III, 1994, h. 229

14

Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis, Desertasi) oleh Center for

Development Assurance (CEQDA) terbitan tahun 2007.

E. Kajian Terdahulu yang Relevan

Dalam membahas tema ini, ada beberapa buku yang pernah ditulis atau

berkaitan dengan tema yang penulis bahas antara lain :

1. Nasri Anggara, Politik Tuan Guru; Sketsa Biografi TGH Lalu

Muhammad Faisal dan Peranannya Mengembangkan NU di Lombok.

Buku ini membahas seorang peran Tuan Guru bernama Tuan Guru

Haji Lalu Muhammad Faisal dalam politik pasca kemerdekaan dan

peranannya dalam mengembangkan NU di Lombok.

2. Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan

Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid

1904-1997. Buku ini membahas tokoh Tuan Guru Haji Muhammad

Zainuddin Abdul Madjid dalam peranannya melakukan transformasi sosial

dalam bidang pendidikan dan dakwah dengan organisasi Nahdatul Wathan

(NW) yang didirikannya di Pancor.

3. Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima. Buku ini

mambahas Islam yang berartikulasi dengan budaya Sasak sehingga

menimbulkan Islam Waktu Telu.

4. Fahurrozi, Dakwah Tuan Guru dan Transposmasi Sosial di Nusa Tenggara

Barat, Desertasi, 2009 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Desertasi ini

membahas peran Tuan Guru dalam perubahan sosial, ekonomi, politik dan

budaya dalam masyarakat Lombok Timur

15

5. Zulkarain, Tuan Guru Bajang; Berpolitik dengan Dakwah dan Bedakwah

dengan Politik. Buku ini membahas tentang visi dan misi Tuan Guru Bajang

dalam menghadapi pemilihan gurubernur di NTB pada tahun 2008.

6. Irene Hiraswati, dkk, 2009, Dinamika Peran Elit Lokal di Pedesaan Pasca

Orde Baru; Studi Kasus Pergeseran Peran Tuan Guru di Lombok Timur. Ini

adalah laporan hasil penelitian dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dilakukan di Lombok Timur yang

meneliti pergeseran peran Tuan Guru yang dulunya sebagai pendakwah yang

kemudian bergeser pada pasca orde baru menjadi politisi atau para Tuan

Guru terjun dalam politik praktis.

Perbedaan skripsi ini dari kajian yang terdahulu yaitu terdapat

pembahasan-pembahasan yang masih menyangkut biografi atau ketokohan.

Misalnya kajian yang ditulis oleh Nasir Anggara yang mengkaji tentang

perlawanan seorang tokoh NU bernama Tuan Guru Muhammad Faisal dalam

melawan penjajahan Belanda di Lombok. Muhammad Noor dan dkk, mengkaji

refleksi pemikiran kebangsaan Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Madjid,

yang masih focus terhadap biografi. Berbeda dengan Erni Budiwanti yang

membahas Lombok tetapi melihat dari segi teologisnya. Fahrurrozi, desertasi yang

mengkaji Tuan Guru dalam trasformasian sosial melalui dakwah. Dan Zulkarnain,

mengkaji sekitar visi dan misi Tuan Guru “Bajang” dalam menjelang Pilkada.

Sedangkan penelitian Irene Hiraswati, dkk, melihat pergeseran peran Tuan Guru

sebagai pendakwah beralih menjadi politisi pada masa pasca Orde Baru. Dan

peran ini dianggap sebagai hal yang baru.

16

Dalam skripsi ini, yang menjadikannya berbeda dengan kejian terdahulu

tersebut yaitu sktipsi ini mengambil posisi pada aspek sejarah, yang kemudian

menjabarkan peran Tuan Guru tidak hanya dimulai pada masa pasca Orde Baru,

melainkan juga sudah sejak lama sebelum bangsa ini merdeka. Sehingga

kehadiran Tuan Guru dalam politik praktis adalah sebuah keniscayaan, bukan

merupakan hal yang baru.

F. Sistematika Penulisan

Bab pertama, merupakan bab pendahlu yang membahas tentang gambaran

awal dalam kajian penelitian skripsi ini. Isinya terdiri atas latar belakang yang

menggambarkan secara umum penulisan skripsi ini, kemudian dilanjutkan dengan

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan

kajian terdahulu yang relevan dan sistematika penulisan.

Bab kedua, membahas kerangka teoritis yang digunakan dalam menelaah

keterkaitan antara agama dan politik, tuan guru sebagai elit lokal, dan tuan guru

dalam politik .

Bab ketiga, membahas tentang dinamika sosial politik masyarakat sasak

yang kemudian mengelaborasi sosio-kultural masyarakat sasak lombok, dan

pergulatan tuan guru dalam konstelasi politik pada Orde Baru, dan dinamika

politik Islam Pasca Orde Baru secara umum.

Bab keempat, mambahas tentang dinamika politik Islam Sasak dengan

melihat peran politik tuan guru pasca Orde Baru. Peran sosial politik tuan guru

telah mengalami pergeseran dalam pemilu-pemilu Pasca Orde Baru, dengan

17

keterlibatannya di dalam berbagai partai politik termasuk dalam Pemilihan

Gubernur NTB pada tahun 2008.

Bab kelima, penutup yang berisikan penjabaran subtansif dalam bentuk

kesimpulan dan saran.

18

BAB II

TUAN GURU DAN POLITIK

A. Agama dan Politik

Zoon politicon, manusia adalah binatang politik. Arti dari konsep ini

adalah manusia berbeda dengan binatang yang memiliki peralatan ilmiah untuk

mengorganisir diri guna mencapai hidup yang adil1. Inilah politik. Miriam

Budiarjo, mendefinisikan politik sebagai usaha menggapai kehidupan yang lebih

baik2. Sehingga pada zaman Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles

menamakannya dengan en dam onia atau the good life. Hidup lebih baik.

Berbeda perspektif yang lebih luas, Ramlan Surbakti melihat politik tidak

hanya usaha-usaha warga negara untuk memperoleh kebaikan bersama,

melainkan lebih luas lagi, yaitu segala hal yang berkaitan dengan

penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Politik sebagai kegiatan yang

berkaitan dengan mempertahankan kekuasaan dan masyarakat; Politik sebagai

kegiatan perumusan kebijakan umum; dan politik sebagai konflik dalam

mempertahankan atau mencari sumber-sumber yang dianggap penting3.

Namun demikian, ada juga pengertian yang dianggap “pragmatis” dalam

mengartikan politik. Harold D. Laswell, misalnya mengartikan politik dengan

1Robertus Robert dan Ronny Agustunis (ed), Kembalinya Politik;Pemikiran Politik

Kontemporer dari Arendt sampai Zizek, Jakarta: Buku Kita, cet I, 2008, h. viii-ix 2 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia Pusaka Utama, cet

III, 2008, h. 13 3 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia Widiasarana

Indonesia, cet. IV, 1999, h. 1-2

19

who get what and when, siapa mendapat apa dan bagaimana4. Artinya bahwa

dalam berpolitik atau untuk memperoleh kekuasaan, akan membutuhkan

transaksi oleh siapa mendapat apa setelah itu bagaimana?

Secara etimologis, politik berasal dari bahasa Yunani, polis yang artinya

kota atau negara kota. Kemudian berkembang menjadi polites yang berarti

warganegara; politea yang berarti semua yang berhubungan dengan negara;

politika yaitu pemerintahan Negara; dan politikos ialah kewarganegaraan5.

Dalam bahasa Arab, politik disebut dengan siyasah, yang berasal dari kata

sasa – yasusu – siyasatan, artinya mengatur, memerintah dan mengurusi atau

bisa juga pemerintahan dan politik atau pembuat kebijakan 6.

Dalam kontek hubungan politik dan agama, masih terdapat banyak

perdebatan yang tak kunjung selesai sampai sekarang. Bahkan masih

diperbincangkan baik di Indonesia maupun di Dunia Islam sendiri (Timur

Tengah).

Di Indonesia, hubungan antara agama dan politik memiliki tradisi yang

panjang. Akar geneologisnya bisa dilihat pada akhir abad ke-13 dan awal ke- 14,

ketika Islam disebarkan di Nusantara ini.7

Kemunculan Islam di Nusantara dengan berdialog dengan realitas sosial,

memunculkan kesan Islam di Indonesia terintegrasi dengan politik. Bisa terlihat

4Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia,

cet. IV, 1999, h. 7 5 Nasri Anggara, Politik Tuan Guru; Sketsa Biografi TGH Lalu Muhammad Faisal dan

Peranannya Mengembangkan NU di Lombok, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), cet. I, h. 133 6Hamid Fahmy Zarkasyi, Identitas dan Problem Politik Islam, dalam Jurnal Pemikiran

dan Peradaban Islam ISLAMIA, Volume V No. 2, h. 6; Inu Kencana, Al-Qur’an dan Ilmu Politik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996, h. 74

7Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina,1998, h. 21

20

beberapa kerajaan Muslim misalnya yang ada di Jawa, Sumatra, Maluku,

Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan di beberapa tempat lainnya.

Kerajaan-kerajaan ini adalah bangunan politik dengan penguasa-penguasa

muslim sejak akhir abad ke-13. Itu dikarenakan bahwa, kerajaan ini punya

kedaulatan masing-masing, tanpa satu ikatan federasi atau otonom8.

Agama, seperti banyak orang katakan, menuruh Robert N. Bellah, yang

dikutip oleh Bahtiar Effendy, sebagai instrumen Ilahi yang dipakai untuk

memahami dunia9. Islam adalah agama yang sesuai dengan premis ini. Karena,

sifat Islam yang hadir di mana-mana (omnipresence)10. Artinya bahwa Islam

memilihi nilai-nilai, aturan-aturan sebagai panduan moral dalam segala kehidupan

manusia.

Secara teologis, Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang besifat ilahi

sekaligus transenden. Tetapi, secara sosiologis, Islam merupakan fenomena

peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia11. Oleh karen itu,

Islam tidak hanya sejumlah doktrin yang bersifat ilahiah yang universal

melainkan juga terejawantahkan dalam institusi sosial yang dipengaruhi oleh

kondisi-sosial, ruang dan waktu12. Itu sebabnya Islam tidak menjadi tunggal,

8Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik; Upaya Membingkai Peradaban, Cirebon:

Pustaka Dinamika, 1999, cet I, h. 63 9 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam

di Indonesia, h. 6 10Bahtiar Effendy, “Kata Pengantar” dalam Islam dan Politik; Pada Era Orde Baru,

Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2001, h. xi; Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 6

11Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta : Paramadina, 1996, cet. I, h. i

12Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta : Paramadina, 1996, cet. I, h. i

21

bahkan memiliki multiinterpretatif dalam kaitannya Islam dengan realitas sosial

atau Islam berkaitan dengan politik (Negara).

Dalam kaitan hubungan antara Islam dengan realitas sosial, yaitu politik,

tentu akan menimbulkan beragam argumentasi dan corak pemikiran yang

berbeda-beda. Salah satunya misalnya argumentasi bahwa Islam adalah sebuah

totalitas yang padu. Sehingga Islam tidak hanya mengenal ritual atau ritus bahkan

lebih khusus lagi, Islam tidak mengenal dinding pemisah antara yang bersifat

spiritual dan temporal. Sebaliknya Islam memberikan panduan bagi setiap aspek

kehidupan13. Atau dalam bahasa lainnya, dengan istilah tiga “d”, Islam adalah din

(agama), dunya (dunia) dan daulah (pemerintahan). Sebagaimana Nazir Ayubi

katakan,

A sizeable group believes in the complete and holistic nature of revealed Islam so that, according to them, it encompasses the three famous “Ds” (din, religion; dunya, life and dawla, state)……….

Typical of the first trend is, for exemple, the distinguished Islamic writer Yusuf al-Qardawi. He maintains that Islam is an integrated totality that offers a solution to all problems of life. Is has to be accepted in its entirety, and to be applied to the family, to the economy and to politics..14

Bagi sebagian besar kalangan muslim menganggap bahwa pemikiran

tentang agama yang terintegralkan dengan kehidupan bukanlah hal yang luar

13Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam

di Indonesia, dalam Jurnal Prisma, No.5-1995, h. 6 14Nazih N. Ayubi, Political Islam Religion and Politics in the Arab World, London and

New York: Routledge, 1991, 63-64. Menjelaskan bahwa Cukup besar golongan yang percaya bahwa Islam itu diungkapkan secara komplet dan mencakup keseluruahan, menurut mereka, Islam itu meliputi tiga d yang terkenal ( agama, dunnya dan Negara)………… Tren pertama adalah, tokohnya adalah Yusuf al-Qardawi. Dia berpendapat bahwa Islam adalah totalitas terpadu yang menawarkan solusi untuk semua masalah hidup. itu harus diterima secara keseluruhan, dan diterapkan untuk keluarga, untuk ekonomi dan politik. kepadanya, selanjutnya, realisasi sebuah masyarakat Islam didasarkan pada pembentukan Negara Islam, yaitu sebuah "negara ideologis" berdasarkan ajaran Islam yang komprehensif

22

biasa, melainkan itu adalah kalaziman yang dimandatkan oleh Tuhan. Bahkan

tidak ada dikotomi tajam antara yang profan dengan yang sakral15.

Tetapi pandangan ini dikomentari oleh Arkoun dengan mangakatan bahwa

gagasan ini tetap terpenjara dalam suasana kedaerahan dan etnografis, terbelenggu

oleh pendapat-pendapat klasik yang tidak memadai dan artikulasi mereka lebih

didominasi oleh kebutuhan ideologis untuk melegitimasi rezim masyarakat Islam

dewasa ini16.

Ali Abd Al-Raziq (1888-1966) dalam bukunya, Al-Islam wa Ushul Al-

Hukm (Islam dan Akar pemerintahan), yang dikatakan oleh Eickelman dan James,

banyak memicu kontroversi pada 1952, mengatakan bahwa kekuasaan agama dan

administratif Nabi terpisah. Pemerintahan Nabi Muhammad atas komunitas

muslim Madinah bukanlah bagian dari misi kenabiannya, dan penerusnya para

khalifah, hanyalah meneruskan kekuasaan temporalnya17. Penulis Pakistan,

Qomaruddin Khan tutur Eickelman dan James, berpendapat bahwa teori politik

Islam bukanlah berasal dari al-Qur’an, melainkan berasal dari keadaan dan

pembembentukan Negara, bukanlah dipaksakan dari Ilahi ataupun dibutuhkan

sebagai sebuah institusi sosial18. Dan menegaskan bahwa tidak ada ketentuan atau

ketetapan yang mencampur adukkan agama dan politik19. Qomaruddin Khan

mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Eickelman dan James :

15John L. Esposito, Islam Warna Warni; Rragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus (al Shirat

al-Mustaqim),diterjemahkan oleh Arif Matuhin, Jakarta: Paramadina, cet. I, 2004, h. 197 16Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam

di Indonesia, h. 6 17Dele F. Eickelman dan James Pascatori, Ekspresipi Politik Muslim, diterjemahkan oleh

Rofik Suhud, Bandung: Mizan, 1998, cet. I, h. 67 18 Dele F. Eickelman dan James Pascatori, Ekspresipi Politik Muslim, h. 67 19 Dele F. Eickelman dan James Pascatori, Ekspresipi Politik Muslim, diterjemahkan oleh

Rofik Suhud, h. 67

23

“Klaim bahwa Islam merupakan sebuah paduan agama dan politik yang harmonis adalah sebuah slogan modern, yang jejaknya tidak dapat ditemukan dalam sejarah masa lalu Islam. Istilah “Negara Islam” tidak pernah digunakan di dalam teori atau praktik ilmu politik Muslim sebelum abad ke-20. Juga, seandainaya tiga puluh tahun pertama Islam dikecualikan, perilaku Negara-negara Muslim di dalam sejarah hampir tidak dapat dibedakan dari perilaku Negara-negara lainya dalam sejarah dunia”20.

Perdebatan ini tidak kunjung selesai hingga saat ini, antara kelompok yang

mengitegrasikan Agama (Islam) dan politk dan pemisahan antara Agama dan

politik. Ini bukan disebabkan karena kompleksitasnya hubungan Islam dan politik,

bukan juga oleh tingkat kesalehan umat Islam, melaikan karena Islam tidak

mungkin diterjemahkan dalam bentuk tunggal atau bersifat multiinterpretatif21.

Akan tetapi, dalam pengaitan atau hubungan antara agama dan politik paling tidak

bisa digolongkan dalam tiga golongan besar, seperti yang digagas oleh Bahtiar

Effendy.

Pertama, golongan yang mengatakan bahwa antara Islam dan politik tidak

terpisahkan atau terintegrasi. Bagi golongan ini, Islam mencakup segala sesuatu,

termasuk persoalan Negara dan politik. “inna al-Islam din wa dawlah” adalah

salah satu jargon dalam aliran ini. Dan merujuk padaa Negara Madinah pada masa

Nabi Muhammad sebagai pengalaman dan par excellence. Kedua, golongan yang

bisa dikatan dari kebalikan dari golongan yang pertama. Bahwa Islam dan politik

adalah dua entitas yang berbeda, karenanya dipisahkan atau sering disebut dengan

sekularisme. Bagi mereka Islam adalah sistem keagamaan dan tidak mengatur hal-

hal yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Islam tidak mempunyai

20 Dele F. Eickelman dan James Pascatori, Ekspresipi Politik Muslim, , h. 67-68 21 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam

di Indonesia, h. 61

24

system politik dan pengalaman Nabi pada masanya bukanlah disebut sebagai

pengalaman pemerintahan Islam klasik. Ketiga, bisa dikatakan sebagai sintesa

kedua golongan ini. Bahwa meskipun persoalan agama dan politik adalah

persoalan yang berbeda. Tetapi tidak meski harus dipisahkan atau digabungkan.

Secara legal-formal dan simbolik, keterkaitan antara Islam dan politik tidak bisa

diterima. Akan tetapi, secara subtansi keduanya sulit untuk dipisahkan22.

Dari tiga arus besar argumentasi itu, Indonesia pada masa Orde Baru,

dianggap mewakili argumentasi golongan ketiga berkaitan dengan hubugan antara

Islam dan politik. Sehingga sampai sekarang, hubungan Islam dan politik dalam

argument golongan ketiga, dianggap paling cocok dengan Indonesia. Itu

sebabnya, Indonesia adalah bukan negara teokrasi dan juga bukan negara sekuler.

Akan tetapi pemerintah Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-

nilai agama, terbukti dengan Indonesia tidak hanya memperbolehkan warga

negaranya menjalankan ajaran agama mereka masing-masing, melainkan juga

difasilitasi kehidupan keagamaan warga negaranya dan pembentukan Departemen

Agama23.

Oleh karena itu, praktek yang dijalankan Indonesia saat ini dalam

kaitannya hubungan Islam dan politik adalah hubungan yang pada tataran

simbolik dan formal tidak bisa diterima, sedangkan pada tataran subtansial saling

terkait satu dengan yang lainya.

22Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam; Kaitan Islam dan Negara yang Tidak

Mudah, Jakarta: Ushul Press, 2005,cet. 1, h. 7-10 23 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam; Kaitan Islam dan Negara yang Tidak

Mudah, h. 10

25

B. Tuan Guru sebagai Elit Lokal

Pada tahun 1950-an, ada kecenderungan pandangan bahwa aspirasi lokal

berseberangan dengan pemerintah pusat. Aspirasi local dianggap tidak nasionalis

dan bertentangan dengan aspirasi nasional, karena itu perlu dikesampingkan.

Kebudayaan local akhirnya menjadi terkubur dan memunculkan keseragaman

symbol dan kebudayaan atas nama persatuan dan kesatuan24.

Setelah pasca Orde Baru, pada tahun 1998, dinamika politik di daerah

memulai babak baru. Aktor, institusi, dan budaya lokal bermunculan kembali dan

memainkan peranannya di dalam panggung politik lokal25.

Inilah yang kemudian disebut dengan desentralisasi, yang mana kekuasaan

tidak lagi terpusat tetapi sudah menyebar. Desentralisasi dari tangan lembaga

presiden kepada lembaga-lembaga tinggi Negara lainnya. Desentralisasi otoritas

politik dan administrasi dari pusat kepada daerah.

Untuk itu studi-studi mengenai politik lokal, peran elit sangat penting. Elit

menempati posisi yang sangat penting dalam pembangunan maupun politik. Di

masa Orde Baru elit dijadikan sebagai distributor program pemerintah dari pusat.

Pada masa Orde Baru pula, nampaknya pemerintah mengadopsi Negara

neokolonialisme, di mana memanfaatkan peran-peran elit lokal ketika melakukan

alokasi atau distribusi sumber-sumber lokal termasuk ekonomi dan politik kepada

24Anies Baswedan, “Kata Pengantar”, Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken

(eds), Politik Lokal di Indonesia, diterjemahkan oleh Yayasan Obor, Jakarta: Yayasan Obor dan KITLV, 2007, cet. I, h. x

25 Anies Baswedan, “Kata Penantar”, Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (eds), Politik Lokal di Indonesia, h. x

26

masyarakat. Selain itu juga elit lokal, dijadikan aset politik dalam perayaan lima

tahunan seperti pemilu26.

Pada pasca Orde Baru juga, para elit tidak lagi dikekang atau berpatron

kepada pemerintah pusat. Ini disebabkan oleh akibat dari kebijakan desentralisasi.

Elit local ini kemudian menyebar di berbagai kelompok masyarakat atau birokrasi,

sehingga mereka berpeluang melakukan bermacam peran dalam sector ekonomi

maupun politik. Di samping itu juga, karena status sosial elit yang tingggi

memberikan mereka peluang manakala menjadi bagian dari perubahan sosial yang

memobilisasi sumber daya lokal27. Dalam aspek politik lokal, kemunculan elit-elit

baru ini memperlihatkan rivalitas di antara mereka ketika terjadi alokasi sumber-

sumber kekuasaan terutama dengan adanya pilkada yang mengisyaratkan transfer

kekuasaan dari aktor atau elit pusat ke aktor atau elit daerah28.

Dalam teori politik, Elit didefinisikan oleh Pareto (1848-1923) adalah

sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan kehadirannya

untuk mendapatkan kekuasaan sosial politik29. Sedangkan Gaetano Mosca (

1858-1941), mengartikan elit dengan seorang yang cakap dalam memimpin dan

menjalankan control sosial30. Robert D. Putman, mendefinisikan elit dengan

26Irine Hiraswari dkk, dalam Ringkasan Laporan Penelitian, Dinamika Peran Elit Lokal

di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Peran Tuan Guru di Lombok Timur oleh LIPI, h. 2 27Irine Hiraswari dkk, dalam Ringkasan Laporan Penelitian, Dinamika Peran Elit Lokal

di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Peran Tuan Guru di Lombok Timur oleh LIPI, h. 2 28Irine Hiraswari dkk, dalam Ringkasan Laporan Penelitian, Dinamika Peran Elit Lokal

di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Peran Tuan Guru di Lombok Timur, h. 2 29SP. Varma, Teori Politik Modern, diterjemahkan oleh Yohanes Kristianto, Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2007, h. 198 30SP. Varma, Teori Politik Modern, h. 202

27

beberapa orang yang memiliki lebih banyak kekuasaan politik daripada yang

lain31

Dalam sejarah kemunculan elit di Nusa Tenggara Barat, yang terdiri dari

dua pulau, yaitu Pulau Sumbawa dan pulau Lombok memiliki tipografi yang

berbeda. Sehingga, tentu saja kedua pulau ini juga memiliki tipologi elit yang

berbeda. Ini disebabkan karena perbedaan setting dan kondisi yang pada awalnya

berbeda. Sebagaimana dikutip dalam Ringkasan Laporan Penelitian yang

dilakukan oleh LIPI yang mewawancarai Dr. Rosiyadi Sayuti, Kepala Bappeda

Propensi Nusa Tenggara Barat yang mengatakan :

“Di Pulau Lombok bisa dikatan tumpuan pada pimpinan informal lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Sumbawa, sehingga tokoh-tokoh semacam Tuan Guru, pimpinan pondok pesantren banyak tampil menjadi pimpinan partai politik bahkan menjadi anggota dewan. Sementara di Pulau Sumbawa fenomena seperti itu relative tidak ada, karena pengkaderan lebih berada pada di jalur formal bukan informal. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan kultur yang berkembang di kedua wilayah tersebut. Kondisi dan setting awalnya memang sudah seperti itu. Secara sejarah kerajaan-kerajaan yang hidup di Lombok memang mungkin sudah ditopang oleh organisasi-organisasi seperti itu sehingga ketika kerajaan-kerajaan itu hilang dan muncul ke republic ini, organisasi dan eksistensi para pimpinan informal tetap masih bisa dikatakan ada. Berbeda dengan di Sumbawa dimana organisasi semacam itu tidak ada, maka jalur yang ada dalam kepemimpinannya lebih pada jalur formal. Maka kategori elit sendiri bisa dipisahkan menjadi dua, formal dan informal. Formal tentu saja tergambarkan pada jabatan politik formal semacam gubernur, bupati dan posisi-posisi lainnya. Sedangkan informal terepresentasikan di dalam sosok Tuan Guru atau tokoh agama yang memiliki jamaah. Bisa dikatakan semakin besar jamaah yang dimilikinya, maka semakin besar pula ketokohannya yang dia miliki. Sebagai contoh Nahdlatul Wathan yang merupakan lembaga sosial kemasyarakatan yang memiliki lembaga pendidikan yang terbesar di hampir seluruh desa di Nusa Tenggara Barat, sehingga tidak heran jika elitnya menjadi tokoh masyarakat yang memiliki

31Mohtar Mas’oed dan Colin McAndrews (eds), Perbandingan Sistem Politik,

Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995, cet. XIII, h. 80

28

banyak pengikut. Posisi ini menjadi penting dan berbeda dibandingkan dengan posisi elit-elit yang lain”32.

Oleh karena itu, dalam konteks Nusa Tenggara Barat pada umumnya dan

Lombok pada khususnya mempunyai dua kategori elit, yaitu elit formal dan elit

informal. Dan direpresentasikan dalam kaum bangsawan (menak) dari elit formal

dan kaum agamawan (Tuan Guru atau Kyiai) dari elit informal.

Elit formal adalah seseorang yang dipilih melalui mekanisme legal-formal

atau melalaui mekanisme Pemilu atau Pilkada. Elit formal ini termasuk menjadi

gubernur, bupati, camat dan anggota dewan.

Sedangkan Elit informal didapat bukan melalaui proses melainkan

pengakuan. Pengakuan diberikan berdasarkan pada tradisi dan kharisma yang

dimilikinya. Biasanya elit ini memiliki kharisma yang membuat orang percaya

bahwa kekuasaan yang dimiliki adalah sah adanya. Sehingga Tuan Guru sebagai

elit lokal juga mempunyai posisi yang penting dalam perubahan sosial.

Dalam tradisi sejarah Islam, istilah tuan guru, kiai, ajengan, bendere, buya

dan lainnya tidaklah dikenal, melainkan mengggunakan istilah yang baku untuk

penyebutan tersebut, seperti alim, ustadz, syekh, dan wali. Bahkan dalam perintis

penyebaran agama Islam di Indonesia disebut dengan syeh, wali, dan sunan33.

Istilah Tuan Guru dalam masyarakat Sasak, Kyai dalam masyarakat Jawa,

Ajengan untuk masyarakat Sunda, Bendere untuk masyarakat Madura, Buya untuk

masyarakat Sumatra Barat, Topanrita untuk masyarakat Sulawesi Selatan dan

32Irine Hiraswari dkk, dalam Ringkasan Laporan Penelitian, Dinamika Peran Elit Lokal di

Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Peran Tuan Guru di Lombok Timur, h.6-7 33Imam Suprayogo, Kyai dan Politik; Membaca Citra Politik Kyai, Malang: UIN Malang

Press, 2009, cet. II, h. 27-28

29

lainnya. Secara etnografis merupakan istilah lokal, tetapi secara terminologis dan

kultural sama sebagai sebutan ulama34. Istilah lokal ini muncul, ada yang

mengatakan bahwa strategi Belanda pada waktu penjajahan, dengan tujuan

menjadikan Islam sebagai fenomena budaya local yang menyatu dengan tradisi

kerajaan. Dengan strategi itu, peyebaran agama Islam dapat diisolasi dan ditutup

kemungkinannya untuk menjadi gerakan Islam secara nasional35.

Menurut Hasan Basri Marwah, istilah Tuan Guru bisa ditelusuri sampai

abad ke 18 ketika tiga orang alim ini menggunakannya pertama kali. Pertama

Tuan Guru Umar Kelayu, Tuan Guru Abdul Hamid Presak Pagutan dan Tuan

Guru Sekar Bela36. Konon mereka bertiga sangat harmonis dan sangat tinggi

tingkat toleransinya dalam perbedaan pandangan. Mereka bertiga cukup lama

tinggal di Hizaj untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menimba ilmu37.

Dalam masyarakat Sasak, Untuk menjadi tokoh yang mendapat gelar

sebagai Tuan Guru, sebagai orang yang berpengaruh di masyarakat Sasak, ada

beberpa syarat, meskipun antara daerah yang satu dengan daerah yang lain

memiliki persamaan, akan tetapi ada beberapa hal yang perbedaan. Syarat-Syarat

tersebut adalah telah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah, menguasai

kitab suci Al-Qur’an, Hadis dan kitab kuning, mengenyam pendidikan di Timur

Tengah, biasanya memiliki pondok pesantren dan jamaan yang terwadahi dalam

34Imam Suprayogo, Kyai dan Politik; Membaca Citra Politik Kyai, h. 28 35Imam Suprayogo, Kyai dan Politik; Membaca Citra Politik Kyai, h. 28 36 Hasan Basri Munawar, Tuan Guru dan Politik di Gumi Sasak , artikel di situs

Sasak.Org, diakses pada tanggal 24/1/2011 37Hasan Basri Munawar, Tuan Guru dan Politik di Gumi Sasak , artikel di situs

Sasak.Org, diakses pada tanggal 24/1/2011

30

pesantren yang dimilikinyam dan mendapat pengakuan dari jama’ahnya maupun

dari jama’ah di luarnya38.

Masyarakat Sasak memandang sosok Tuan Guru sebagai seorang yang

“serba bisa”, “mampu”, dan berpengaruh39. Itu karena kemampuan seorang Tuan

Guru (Kyai) dalam pengetahuannya tentang ajaran-ajaran Islam, sehingga

seringkali dilihat sebagai orang yang mampu memahami keagungan Tuahan dan

rahasia alam, dan mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau,

terutama oleh kebanyakan orang awam40. Biasanya gelar Tuan Guru (Kyai)

diberikan kepada golongan ulama dari golongan Islam tradisional41.

Tuan Guru, dalam masyarakat Sasak diakui sebagai pemimpin yang

kharismatik, pemimpin yang memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain

dengan kelebihan-kelebihan tertentu. Seorang dikatakan sebagai pemimpin yang

kharismatik, apabila kepemimpinannya bersumber dari kekuatan yang luar biasa,

yang diistilahkan dengan charismatic authority42. Kepemimpinan jenis ini lebih

didasarkan pada identifikasi psikologis. Makna identifikasi adalah keterlibatan

emosional individu dengan individu lain yang akhirnya nasib orang sendiri

38 Irine Hiraswari dkk, dalam Ringkasan Laporan Penelitian, Dinamika Peran Elit Lokal

di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Peran Tuan Guru di Lombok Timur, h.8-9 39Jamaluddin, Tuan Guru dan Dinamika Politik Kharisma dalam Masyarakat Sasak

Lombok, dalam Buku Dialektika Teks Suci Agama; Strukturasi Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat, Yogyakarta: Sekolah Pascaserjana UGM, 2008, cet. I, h. 138

40 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982, cet. I, h. 56

41Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, h. 56 42Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, diterjemahkan oleh Robert M.

Z Lawang, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, jilid I, cet. III, 1994, h. 229

31

berkaitan degan orang lain. Bagi para pengikut, pemimpin adalah harapan untuk

membawa ke arah yang lebih baik, penyelamat, pelindung43.

Kharisma dan status Tuan Guru makin berkembang ketika jama’ah atau

santri yang mengikuti pengajian semakin banyak. Pengajian-pengajian yang

dilakukan selain di rumah Tuan Guru juga di desa-desa yang dilakukan setiap

seminggu sekali atau bahkan sebulan sekali. Selain itu, Tuan Guru juga biasanya

diundang dalam perayaan-perayaan hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, hari

besar Islam, Isra’ Mi’raj atau acara-acara selamatan44.

Oleh karena itu, dalam masyarakat Sasak, khusunya Tuan Guru sebagai

elit local terlihat memiliki peran ganda dalam masyarakat. Pertama sebagai elit

agama atau pemimpin spiritual yang memperikan pencerahan atau bahkan

memberikan solusi-solusi terhadap permasalahan-permasalahan agama yang di

hadapi masyarakat. Kedua sebagai aktifis politik yang langsung terlibat dalam

perpolitikan nasional maupun local dan bahkan ikut dalam pencalonan gubernur,

bupati dan dewan perwakilan rakyat.

C. Tuan Guru dan Politik

Persoalan Tuan Guru dalam Politik sebenarnya bukan hal yang baru. Jauh

sebelumnya juga terjadi perdebatan baik dikalangan politisi, intelektual maupun

agamawan. Persoalan ini kemudian memunculkan pro dan kontra terhadapa Tuan

43Jamaluddin, Tuan Guru dan Dinamika Politik Kharisma dalam Masyarakat Sasak

Lombok, dalam Buku Dialektika Teks Suci Agama; Strukturasi Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat, h. 138

44 Jamaluddin, Tuan Guru dan Dinamika Politik Kharisma dalam Masyarakat Sasak Lombok, dalam Buku Dialektika Teks Suci Agama; Strukturasi Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat, h. 138

32

Guru dalam Politik. Yang Pro misalnya beranggapan bahwa politik adalah ladang

dakwah. Di mana dakwah memasuku kekuasaan lebih efektif, karena jangkauan

dan otoritasnya yang besar. Sedangkan yang kontra beranggapan bahwa wilayah

agama dan politik adalah dua domain yang berbeda dan harus dipisahkan.

Dalam sejarah Islam mencatat bahwa, keterlibatan pemimpin agama/tokoh

agama dalam politik merujuk kepada masa Nabi Muhammad SAW. Di mana Nabi

Muhammad saw tidak hanya sebagai tokoh spiritual, tokoh agama; yaitu di mana

tempat orang menyandarkan segala persoalan kehidupan sehari-hari; dan juga

tokoh pemerintahan; yaitu pemimpin Negara yang mengurusi kepemerintahan

dengan berbagai banyak suku-suku Arab. Sehingga Montgomery Watt45 menyebut

Nabi Muhammad sebagai Nabi pembawa ajaran agama dan juga negarawan.

Ketika Nabi Muhammad wafat, digantikan dengan empat khalifah ar

Rasyidin, Abu Bakar as-Siddinq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali

bin Abi Thalib, pada waktu itu tidak ada pemisahan antara agama dan politik.

Keempat khalifah ini masih memegang kepemimpinan agama dan kenegaraan.

Karena kualitas individu mereka dan melihat kualifikasi keagamaan yang tidak

diragukan lagi. Mereka sangat berkompeten sebagai pemimpin agama sekaligus

45 W. Montgomery Watt, Nabi dan Negarawan, diterjemahkan oleh Djohan Effendi,

Jakarta: Mushaf, 2006, cet. I. Dalam Kajian Kritis Pemikiran Montogomery Watt, Alwi Sihab mengatakan bahwaWatt mengatakan bahwa Nabi Muhammad Sw tidak menerima wahyu yang berasal dari luar dirinya, melaikan itu adalah imajinasi kreatif bawah sadarnya Nabi untuk membuat alQur’an. Sehingga lanjut Alwi Sihab, Watt meragukan kenabian Nabi Muhammad di tempat lain dan mengakui kenabian Nabi Muhammad di tempat lain juga. Sehingga Alwi Sihab menganggap Watt tidaklah konsisten dan jujur. Alwi Sihab, Kajian Kritis Pemikiran Montgomery Watt, dalam buku W. Montgomery Watt, Nabi dan Negarawan, diterjemahkan oleh Djohan Effendi, Jakarta: Mushaf, 2006, cet. I, h. 342-343

33

penguasa politik46. Tetapi, sejak masa kebangkitan Dinasti Umayyah, kebanyakan

penguasa pada masa tersebut mengklaim diri mereka sebagai khilafah yang tidak

dikenal ke alimannya (memahami dan menguasai agama) dan juga tidak

mempunyai otoritas keagamaan. Bahkan sebaliknya banyak diantara mereka tidak

peduli dengan agama. Contohnya adalah Yazid bin Mu’awiyah yang dikenal

sebagai seorang pemimpin yang mempunyai tabiat buruk. Dari sinilah mulai

terjadi dikotomi atau pemisahan antara penguasa politik dengan pemimpin

agama47.

Keterlibatan tokoh agama (Tuan Guru) dalam politik juga bukan hanya

kekuatan birokrasi. Keterlibatan mereka tak jarang terjadi kerena sukarela atau

atas dasar logika aliran agama (doktrin). Misalnya Ulama Sunni yang mengatakan

bahwa keamanan, ketentraman dan stabilitas politik lebih diutamakan daripada

keadaannya kacau atau khaos. Karena kekacauan politik hanya mengakibatkan

ketidak tentraman beribadah. Oleh karena itu kekuasaan yang tidak adil sekalipun

dapat mereka tolerir sejauh bisa menjamin kestabilitasan tersebut. Dari sinilah

kemudian ulama bersekutu dan memberikan legitimasi kepada penguasa,

walaupun kekuasaan itu tidak didapat secara sah48.

Dalam perjalanan sejarah perjuangan Indonesia juga keterlibatan tokoh

agama/Ulama memainkan peran dalam melawan penjajah. KH. Zainal Mustafa di

Singaparna dekat Tasikmalaya, yang menentang kebijakan pemerintah militer

46Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut Kerukunan

antarumat, Jakarta: Penertbit Buku Kompas, 2002, cet. I, h.121 47Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut Kerukunan

antarumat, h. 121 48 Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut Kerukunan

antarumat, h.120

34

Jepang yang repsesif; perlawanan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Zainul

Arifin, Kiai Masykur, Kiai Abdul Wahab Hasbullah dan kiai NU lainnya

mengambil peran dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya menghadapi

tentara Nica (Inggris)49. Selain perlawan fisik, keterlibatan tokoh

agama/ulama/kiai/Tuan Guru memainkan peran dalam bentuk diplomasi,

misalnya KH. Agus Salim, KH. Mas Mansyur, KH. Hasyim Asy’ari, KH. A.

Wachid, KH. Masykur, KH. Abdul Halim, Abikoesno Tjokrosoejoso, A. Kahar

Moezadzakir50.

Keterlibatan tokoh agama (Ulama, Kiai, Tuan Guru, dan lain-lain) dalam

politik pada awal perjuangan Indonesia dikomentari oleh Henry J. Benda (1972)

yang dikutip oleh Aziz Mushaffa dengan mengatakan bahwa kolonial Belanda

tidak mudah berhubungan dengan Islam Indonesia. Seringkali ekspansi kekuasaan

mereka selalu dihalangi oleh kekuatan-kekuatan lokal yang diilhami oleh Islam

baik itu yang dipimpin oleh pemimpin-pemimpin Indonesia yang telah mengikuti

Islam maupun di tingkat desa oleh para ulama51.

Dalam tesis Gur Dur yang dikutip oleh Hasan Basri Munawar mengatakan

bahwa Kiai-kiai dari pesantren tua, terutama yang berasal dari Jawa Timur, pada

dasarnya adalah bagian integral dari kekuasan pusat Jawa, Kraton-kraton Jawa

Tengah dan Cirebon. Seiring dengan dinamika kekuasan itu kemudian kiai

49Faisal Ismail, Nu, Gusdurisme dan Politik Kiai, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,

1999, cet I, h. 22-23 50 Aziz Mushoffa (ed), Kiprah Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, cet. I, h. 8 51 Aziz Mushoffa (ed), Kiprah Islam, h. 8

35

menempati daerah yang tadinya pada posisi peripheral kemudian menuju sentral

kekuasan Jawa52.

Di Nusa Tengga Barat (NTB) pun khususnya di Pulau Lombok, para tokoh

masyarakat atau Tuan Guru melakukan perlawannanya terhadap kolonial Belanda,

walaupun corok keberislaman pada waktu itu adalah tarekat53. Perlawan yang

dilakukan oleh Tuan Guru Haji Ali Batu mulai pada tahun 1891-1982 melawan

Anak Agung Ngurah Ketut Karang Asem. Walaupun pada akhirnya Tuan Guru

Haji Ali Batu tewas di dalam pertempuran. Kemudian dilanjutkan oleh Guru

Bangkol54.

Perlawanan para Tuan Guru melawan tentara NICA di markasnya pada 7

Juni 1946 di kota Selong yang dipimpin oleh Tuan Guru Haji Muhammad Faisal

dengan bantu oleh Tuan Guru Muhammad Zainul Madjid dan didukung oleh para

santrinya, yaitu Ahmad Nursaid, Dahmuruddin, Mursyid, Sayyid Saleh, Umar, M.

Thoyyib, Saparul Khair serta kekuatan rakyat Pringgesela. Yang dalam

pertempuran menewaskan Tuan Guru Muhammad Faisal sendiri55.

Selain itu juga, pergerakan yang dilakukan oleh para Tuan Guru melalui

kultural, dengan membangun halaqah-halaqah majelis zikir, seperti Tuan Guru

Haji Muhammad Amin di Pejeruk, Tuan Guru Haji Muhammad Sidik di Karang

52Hasan Basri Munawar, Tuan Guru dan Politik di Gumi Sasak , artikel di situs

Sasak.Org, diakses pada tanggal 24/1/2011 53 Tarekat adalah melakukan segala yang diperintahkan Allah dengan sengaja demi untuk

mendekatkan diri kepada-Nya. Buku panduan Tareqat 54Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan

Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, (Jakarta; PT Logos Wacana Ilmu, 2004), cet. I, h. 89-91

55 Ahmad Nursaid, Peran Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dalam Perjuangan Revolusi Kemerdekaan di Pulau Lombok, dalam buku Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 400

36

Kelok, Tuan Guru Haji Muhammad Arsyad di Getap, Tuan Guru Haji Munawar

di Gebang, Tuan Guru Haji Muhammad Munir di Karang Bedil dan lain

sebagainya56.

Fakta-fakta sejarah ini memberikan bukti bahwa keterlibatan tokoh elit

agama, Ulama, Kiai atau Tuan Guru tidak bisa dipisahkan dalam kegiatan politik

dalam memperjuangkan masyarakat Indonesia yang tertindas.

Oleh karena itu peran tokoh elit local agama atau tokoh agama, kyai dan

Tuan Guru memperlihatkan bahwa keterlibatannya dalam perjalanan politik di

Indonesia memiliki akar sejarah yan panjang. Sehingga tidak mengherankan

bahwa keterlibatan Tuan Guru dalam politik sudah biasa dan sebuah keniscayaan.

56Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan

Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997,h. 92

37

BAB III

SEJARAH SOSIAL-POLITIK LOMBOK

A. Sosio-Kultural dan Religiusitas Masyarakat Lombok

Dalam sejarah Nusantara, Pulau Lombok1 sudah lama dikenal pada abad-

abad silam yang lalu. Di dalam kitab Negarakertagama, sebuah kitab yang

memuat tentang kekuasaan dan pemerintahan Majapahit, adalah karya Pujangga

Jawa terkenal di abad ke-14 Mpu Prapanca (1365), nama pulau Lombok sudah

disebut didalam Pupuh XIV, Bait 3 dan 4 sebagai Lombok Mirah dan Sasak Adi2.

Penyebutan Lombok Mirah untuk Lombok Barat dan Sasak Adi untuk Lombok

Timur. Penyebebutan Lombok Timu atau Sasak Adi dikarenakan pada zaman itu

dahulu ditumbuhi hutan belantara yang lebat sekali sampai sesak, sehingga dari

sinilah asal mula nama Sasak, dari Saksak3.

Dan kini, tergabung dalam Nusa Tenggara Barat yang memiliki dua pulau,

yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa yang luas wilayah 20.153,15 km2,

dengan luas Pulau Lombok 738,70 km2 dan Pulau Sumbawa memiliki luas 15.

414,37 km2, yang terletak antara 115° 46' - 119° 5' Bujur Timur dan 8° 10' - 9 °g

5' Lintang Selatan4.

1Kata Lombok dalam bahasa Kawi berarti lurus atau jujur, ada juga mengatakan bahwa

kata Lombok berasal dari bahasa Sasak yaitu lombo’ yang artinya lurus. Lihat Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 16

2Departemen dan Kebudayaan NTB, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, Program Penelitian dan Pencatatan Daerah, Mataram, 1977/1978

3 Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 16

4http://www.ntbprov.go.id, diakses pada tanggal 30/4/2011

38

Pulau Lombok terletak diantar Pulau Bali di sebelah Barat dan Pulau

Sumbawa di sebelah Timur. Perbatasan Pulau Lombok dan Pulau Bali diantarai

oleh selat Lombok dan Pulau Sumbawa oleh selat Sumbawa. Sedangkan di bagian

Utara berbatasan dengan laut Jawa dan di bagian selatan dengan samudra

Indonesia5.

Secara administratif Pulau Lombok terdiri dari empat kabupaten/kota,

yaitu kabupaten Lombok Barat dengan ibu kota Mataram; kabupaten Lombok

Tengah dengan ibukota Praya; kabupaten Lombok Timur dengan ibukota Selong;

dan kota Mataram dengan ibukota Mataram. Semuanya ini adalah merupakan

bagian dari Nusa Tenggara Barat (NTB)6.

Dalam kesejarahan wilayah Indonesia, Pulau Lombok setelah

kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 9 Agustus 1945 termasuk dalam wilayah

propinsi Sunda Kecil, yang meliputi Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Timor,

Rote, Sumba dan Sawu dengan ibukotanya di Singaraja, Bali. Kemudian pada

tanggal 14 Agustus 1958, propinsi Sunda Kecil dibagi menjadi tiga propinsi; Bali,

Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Bali dengan

menjadi propinsi sendiri dengan Ibukota Denpasar. Pulau Lombok dan Sumbawa

dijadikan satu propinsi menjadi propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan

Mataram sebagai ibukotanya. Dan pulau-pulau kawasan Timur, mulai dari pulau

5http://www.ntbprov.go.id, diakses pada tanggal 30/4/2011 6http://www.ntbprov.go.id. Baru-baru ini pemekaran wilayah terjadi dengan adanya

Lombok Utara dengan Tanjung sebagai Ibu Kotanya diakses pada tanggal pada tanggal 30/4/2011.

39

Flores, Timor, Rote, Sumba dan Sawu, menjadi propinsi Nusa Tenggara Timur

(NTT) dengan ibukotanya Kupang7.

Sasak8 adalah penduduk asli Lombok dan kelompok etnik mayoritas

Lombok. Mereka lebih dari 90% dari keseluruhan kependudukan Lombok. Etnik

lain misalnya seperti Bali, Sumbawa, Jawa, Arab dan Cina adalah pendatang.

Diantara etnik pendatang ini, Bali adalah etnik yang terbesar dengan 3% dari

jumlah penduduk. Orang Bali terutama tinggal di daerah Lombok Barat dan

Lombok Tengah dan memiliki tanah sendiri. Kepemilikian tanah sendiri berasal

dari penaklukan Lombok pada abab ke-17 yang datang dari Karangasem9.

Orang-orang Sumbawa terdapat di bagian Lombok Timur, dan orang-

orang Arab di Ampenan. Permukiman orang-orang Arab di Ampenan disebut

sebagai kampung Arab Ampenan. Orang-orang Cina adalah mayoritas pedagang

yang tinggal di pusat-pusat pasar seperti Cakra dan Ampenan. Sedangkan orang

Bugis, kebanyakan menjadi nelayan di daerah pantai Tanjung Ringgit dan

Tanjung Luar di Lombok Timur10.

7Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan

Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, (Jakarta; PT Logos Wacana Ilmu, 2004), cet. I, h. 77

8 Dalam Babat Tanah Lombok, bahwa sebutan Sasak pada etnik asli Lombok berlatar belakang legenda rakyat. Karean kondisi pada waktu itu daerah lombok yang berupa hutan yang rapat sehingga seolah-olah seperti benteng kokoh. Orang pun lalu menyebutnya “sesek” (penuh sesak) untuk menunjuk daerah ini. Selanjutnya daerah dan penduduknya kawasan ini dikenal dengan nama sasak atau tanah sasak.

Sumber lain, Sasak berasal dari Sangsekerta, yakni Sak artinya pegi, dan Saka, artinya asal. Jadi Sasak adalah orang yang pergi dari negeri asalnya dengan menggunakan rakit berlayar sehingga terdampar di pulau ini. Diduga mereka adalah berasal dari Jawa dan menetap secara turun temurun. Lihat Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 17

9Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta; LKiS, 2005), cet I, h. 6

10Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, h. 7

40

Disamping berbagai etnik, Lombok juga tedapat berbagai bahasa,

kebudayaan dan keagamaan. Masing-masing etnik berbicata dengan bahasa

mereka sendiri. Orang Sasak, Bugis, Arab, mayoritas beragama Islam. Orang Bali

beragama Hindu, sedangkan orang Cina pada umumnya beragama Kristen11.

Beragamnya etnik dan keragaman budaya dan agama dipengaruhi oleh

silih bergantinya dominasi di Pulau Lombok. Ada empat yang paling signifikan

mendominasi pulau Lombok, yaitu pengaruh Hindu Jawa; pengaruh Hindu Bali;

pengaruh Islam; dan pengaruh kolonial Belanda dan Jepang12. Kekuatan asing

yang menaklukkan Lombok selama berabad-abad mempengaruhi cara orang

Sasak menyerap pengaruh-pengaruh luar tersebut.

Kerajaan Hindu Majapahit dari Jawa Timur menguasai Lombok pada abad

ke-7 dan memperkenalkan agama Hindu-Budhisme ke orang Sasak. Setelah

runtuhnya Kerajaan Hindu Majapahit dari Jawa Timur, kemudian agama Islam

dibawa pertama kali pada abad ke-13 oleh raja Jawa Muslim13 ke kalangan orang

Sasak dengan ajaran sufisme Jawa yang penuh mistikisme atau singkretis14.

11 Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, h. 7 12Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas

Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 19 13 Proses masuknya Islam ke Lombok belum dapat diketahui secara pasti. Ada yang

mengatakan penyebar Islam berasal dari Jawa. Ada juga yang mengatakan dari pedagan Islam dari dari Arab. Akan tetapi salah satu sumber tantang masuknya Islam ke Pulau Lombok adalah dari Jawa, yaitu Babad Lombok. Di dalamnya antara lain disebutkan bahwa Raden Paku atau Sunan Ratu Giri dari Gersik, Surabaya, memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam di seluruh Nusantara. Dilembu Manku Rat dikirim bersama bala tentara ke Banjarmasin, Datu Bandan dikirim ke Makasar, Tidore, Seram, dan Galeier, dan Putra Susuhunan, Pangeran Prapen ke Bali, Lombok dan Sumbawa. Oleh karena itu dicatat juga oleh John Ryan Bartholomew dengan mengutip Cedereoth (1981:32) dalam bukunya Alif Lam Mim, Kearifan Masyarakat Sasak, mengatakan Sunan Giri, salah satu dari sembilan wali (Wali Songo), bertanggung jawab atas diperkenalkannya Islam ke Lombok pada tahun 1545. Lihat John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim, Kearifan Masyarakat Sasak, doterjemahkan Imron Rosyidi, Yogyakarta: Tiara Wacana,2001, h. 94; Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap

41

Sementara orang Makasar datang ke Lombok Timur pada abad ke-16 dan

berhasil menguasai kerajaan selaparang, kerajaan asli orang Sasak. Berhasil

menyebarkan agama Islam yang bercorak Sunni dan hampir seluruh komunitas

Sasak memeluk agama Islam15.

Sedangkan kerajaan Hindu Bali dari Karangasem datang ke Lombok dan

mengkonsolidasikan kekuasaannya hampir ke seluruh wilayah Lombok setelah

berhasil mengalahkan kerajaan Makasar pada tahun 174016.

Tapi kerajaan Hindu Bali cukup toleran terhadap yang dianut oleh orang

Sasak. Akan tetapi, tidak menyurutkan perlawanan para bangsawan Sasak

(menak) dan Tuan Guru untuk melawannya. Tetap saja perlawan mereka

dipatahkan. Kekalahan ini mendorong mereka untuk meminta bantuan kepada

militer Belanda untuk membantu melawan kerajaan Hindu Bali17. Kerajaan Hindu

Bali pun kalah. Alih-alih Belanda mengembalikan kekuasaan mereka, malah

justru orang-orang Belanda menjajah dan merampas tanah yang sebelumnya di

kuasai oleh kerajaan Hindu Bali. Dan memberlakukan pajak tinggi bagi

penduduk18.

Masa-masa ini yang menandai awal penjajahan Belanda di Lombok hingga

berabad-abad kemudian. Sampai hingga Jepang datang menjajah Lombok hingga Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 25-26

14 Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, h. 20

15 Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, h. 20

16 Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, h. 20

17Alfons van der Krant, PEnaklukan, Penjajahan dan Keterbelakangan 1870-1940, Mataram: Lengger, 2009, cet. I, h. 39

18 Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta; LKiS, 2005), cet I, h. 9

42

rentan waktu yang singkat, yaitu 1942-194519. Akan tetapi kedua kolonial ini

tidak merubah sama sekali tatanan keagamaan antara Hindu dan Islam yang sudah

mapan di pulau Lombok.

Oleh karena itu, kedatangan berbagai agama yang datang ke Lombok

mulai dari Hindu Majapahit, kemudian Islam Jawa, dilanjutkan dengan Islam

Makasar dan Hindu Bali, sedikit banyak mempengaruhi corak, bentuk

keberagaman keagamaan yang penuh warna. Kemudian ditambah dengan penjajah

oleh kolonial Belanda dan Jepang. Tetapi tetap saja bentuk penghayatan

keberislaman masyarakat Sasak menjadi banyak kategori dan beragam corak.

Secara umum wajah keberislaman masyarakat Sasak Lombok dapat dikategorikan

ke dalam dua varian, yaitu Islam Wetu Telu dan Islam Waktu Lima.

Islam Wetu Telu20 adalah orang Sasak yang meskipun mengaku sebagai

muslim, masih saja memuja roh para leluhur, berbagai dewa-dewa dalam lokalitas

mereka. Dalam kehidupannya sehari-hari mereka cenderung mengabaikan praktik

wajib yang dijalankan oleh kalangan Islam Waktu Lima. Bagi penganut wetu telu,

adat memainkan peran yang dominan, dan kadangkala praktiknya berseberangan

19 Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, h. 20-21

20Dalam bahasa Sasak, wetu artinya waktu dan telu artinya tiga. Sehingga sering desebut sebagai waktu tiga, yang mana interpretasinya bahwa para penganut wetu telu mengurangi dan meringkas hampir semua pribadatan Islam menjadi tiga. Misalnya wetu tiga hanya menjalankan tiga rukun Islam saja, yaitu syahadat, Shalat, dan puasa. Zakat dan Haji tidak dilaksanakan. Ada juga pendapat lain mengatakan bahwa penganut wetu lima hanya menjalankan tiga waktu shalat, yaitu shalat subuh, magrib dan Isya’. Dzuhur dan ashar tidak dilaksanakan. Akan tatapi pandangan semua itu ditolak. Seorang pemangku adat Karangsalah, Raden Gedarip dan Amaq Itrawasih mengatakan bahwa penyebutan Islam wetu itu itu keliru, wetu telu itu bukan agama, melainkan adat. Istilah wetu telu pun sebelum kedatangan Belanda tidak dikenal. Dan sejarah terbentuknya Islam wetu telu masih menjadi perdebatan. Kapan dan siapa yang menamakannya pertama kali. Ada yang menganggap bahwa Islam wetu telu berasal dari penjajah Belanda yang menjalankan politik devide et et impera, untuk memecah belah kekuatan Islam dengan melakukan dikotomi Islam wetu telu versus waktu lima. Lihat Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 62-63

43

dengan Islam. Misalnya penghormatan roh para leluhur dan pemujaan dewa-dewa

adalah hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Akan tetapi bagi mereka, itu

adalah bagian dari pemeliharaan tradisi keagamaan mereka. Wetu telu tidak

menggariskan suatu batas yang jelas antara adat dan agama, karena adat sangat

bercampur-aduk dengan agama lokal (agama Boda)21.

Penganut Islam wetu telu biasanya berada di tempat-tempat terpencil di

pedesaan, lereng gunung, di sekitar hutan lebat atau di tepi aliran sungai22. Hal ini

selaras dengan kepercayaan mereka yang lebih menganut kepercayaan animisme,

dinamisme, antropomorfisme dan panteis. Sehingga dalam praktik peribadatannya

tidak secara menyeluruh mencerminkan praktik ajaran Islam yang sebenarnya.

Masih kuatnya penggunaan sesajen-sesajen di tempat-tempat yang mereka anggap

suci atau dianggap keramat merupakan cerminan hal tersebut23.

Sedangkan Islam Waktu Lima adalah sebutan bagi komunitas Islam yang

mendasarkan praktik dan ritual ibadahnya pada ketentuan rukun Islam yang lima,

yaitu syahadat; shalat lima waktu; puasa bulan Ramadhan; membayar zakat;

menunaikan ibada haji ke Mekkah bagi yang mampu. Kecintaan yang tinggi

mereka terhadap praktik-praktik ibadah dan terhadap syari’ah, membuat

komitmen mereka terhadap adat menipis. Bagi mereka, adat yang bertentangan

21 Erni Budiwati, Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta; LKiS, 2005),

cet I, h. 7-8; M. Akhyar Fadly, Islam Lokal; Akulturasi Islam di Bumu Sasak, Nusa Tenggara Barat; STAIIQ Press, 2008, h. 38; Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan isKomunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 55

22 Kamarudin Zaelani, Satu Agama Banyak Tuhan; Melacak Akar Sejarah Teologi Waktu Telu, Mataram: Media Presindo, 2007, cet. I, h 117

23 M. Akhyar Fadly, Islam Lokal; Akulturasi Islam di Bumu Sasak, Nusa Tenggara Barat; STAIIQ Press, 2008, h. 33

44

dengan Islam sudah lama mereka tinggalkan dan hanya ritual adat yang tidak

bertentangan dengan Islam yang mereka jalani24.

Islam Wetu Lima adalah Islam yang banyak dianut oleh masyarakat Sasak.

Istilah Islam Waktu Lima, muncul sebagai tandingan dari lahirnya Islam Wetu

Telu25. Varian Islam inilah yang menjalankan ajaran agama sesuai Al-Qur’an dan

Hadis Nabi terutama dalam masalah akidah, syari’ah, mu’amalah dan akhlak.

Dan penganut Islam Waktu Lima mayoritas merupakan anggota msyarakat yang

tergabung dalam organisasi keagamaan, Nahdlatul Wathan (NW) dan Nadlatul

Ulama (NU), yang sama-sama menganut Ahlu Sunnah wal Jama’ah26.

Dengan demikian, masyarakat lombok memiliki beragam kultur dan etnik

bahkan keberagaman religusitas. Mulai yang berasal dari kerajaan Hindu

Majapahit, Islam Jawa, Islam Makasar, Hindu Bali, Belanda dan Jepang yang

kemudian berakulturasi dengan adat komuniatas Sasak.

B. Tuan Guru dan Konstelasi Politik Orde Baru

Perjuangan merebut kemerdekaan dan perlawanan terhadap penjajah, tentu

peran para tokoh agama (Ulama, Kyai, Tuan Guru,dll) tidak bisa dibaikan begitu

saja dalam sejarah bangsa ini, sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu.

Pada masa setelah kemerdekaan, setelah melawan kolonialisme, posisi

kelompok Islam semakin kuat. Ini terlihat ketika Masyumi, gabungan ormas-

24 Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Terhadap Pola Keberagamaan Komunitas

Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, h. 55-56 25Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan; Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam

Budaya Sasak, Yogyakarta: Adab Press, 2006, cet. I, h. 135-136 26 Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan; Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam

Budaya Sasak, h. 136

45

oramas atau kelompok Islam ini tampil sebagai partai terbesar dengan menduduki

kursi parlemen tebanyak. Pada masa ini hubungan politik antara Islam dan Negara

masih harmonis, akan tetapi tidak berlangsung lama. Baru terjadi ketegangan

ketika Presiden Soekarno berpidato di Amuntai, Kalimantan Timur pada tanggal

27 Januari 1953. Secara eksplisit Ia mengingatkan akan pentingnya

mempertahankan Indonesia sebagai kesatuan nasional. “Negara yang kita

inginkan adalah sebuah negara nasional yang mencakup seluruh Indonesia,

tuturnya, Jika kita mendirikan negara yang berdasarkan atas Islam, maka wilayah

yang penduduknya bukan muslim, seperti Maluku, Flores, Timor, Kepulauan Kei,

dan sebagian Sulawesi akan memisahkan diri”27.

Pernyataan Soekarno dalam pidato itu membuat kelompok Islam

tersinggung. Menurut mereka, Soekarno tidak demokratis dan melampaui batas-

batas konstitusinya dalam kapasitasnya sebagai kepala negara yang membela

kelompok ideologi tertentu28.

Di pihak lain, yaitu PNI, mandukung pidato Soekarno. Menurut Harbert

Faith yang dikutip oleh Mohammad Noor, bahwa apa yang dilakukan oleh PNI

dalam mendukung pidato Soekarno adalah sebuah tindakan presiden Soekarno

yang didasarkan kepada hak prerogatifnya sebagai pemimpin revolusi, untuk

27 Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan

Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, (Jakarta; PT Logos Wacana Ilmu, 2004), cet. I, h. 51-55

28 Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-199, h. 54

46

memberikan arahan bagi seluruh rakyatnya, juga sebagai kepala negara yang

konstitusianal29.

Perdebatan ini yang kemudian memunculkan perdebatan ideologis-politis

antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis. Di mana kelompok Islam

menginginkan negara Indonesia berdasarkan pada Islam, ini dipelopori oleh

Masyumi dan kelompok Islam lainya. Sedangkan kelompok nasionalis

menginginkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Berdasarkan perdebatan politik itu, kemudian presiden Soekarno

menguluarkan dekrit dengan didukung oleh tentara, yang menyatakan kembali ke

UUD 194530.

Dari sinilah kelompok Islam secara simbolik berhasil dikalahkan. Di balik

kekalahan simbolik kelompok Islam ini, selama masa demokrasi terpimpin di

bawah Soekarno, artikulasi legalistik formalistik gagasan dan praktik politik Islam

mulai dicurigai apalagi dengan gagasan Islam sebagai ideologi negara31.

Setelah tumbangnya Orde Lama, kemudian munculnya Orde Baru yang

didahului oleh tragedi G 30 S/PKI, banyak pemimpin politik Islam menaruh

harapan besar. Karena langkah pertama yang dilakukan oleh pemerintah Orde

Baru yaitu membebaskan para tahanan pemimpin Masyumi yang ditahan pada

masa Soekarno32.

29Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan

Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 54 30Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan

Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 54 31 Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan

Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 56-57 32Mohammad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan

Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 58

47

Harapan ini menyusut dikarenakan apa yang dilakukan oleh Orde Baru

adalah melakukan birokrasi politik. Yaitu besarnya campur tangan pemerintah

dalam kehidupan politik. Misalnya, ketika Partai Muslim Indonesia (PARMUSI)

lahir pada tahun 1968, yang sebagaian besar pengurusnya mantan penguruh

Masyumi kemudian mengundurkan diri karena tidak diterima oleh pemerintah

Orde Baru33.

Keberatan pemerintah Orde Baru dalam kembalinya pemimpin Masyumi

ke arena politik dikarenakan ketakutan-ketakutan yang akan kemudian akan

terulang kembali sejarah politik Indonesia pada silam34. Sehingga banyak strategi

yang dimainkan oleh Orde Baru. Diantaranya birokrasi politik atau fusi partai

Islam menjadi satu partai; atau melakukan depolitisasi Islam35, yaitu melemahkan

atau mempersempit gerak dalam aktivitas politik Islam; atau mengharuskan

kepada semua organisasi-organisasi kemasyarakatan berasaskan tunggal, yaitu

pancasila.

Ini semua dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk dapat mengontrol

semua aktivial para kelompok Islam. Bahkan semua kativitas politik masyarakat

yang dilakukan oleh para Kiai atau Tuan Guru dibatasi bahkan dicurigai. Untuk

mempermudah kontral terhadap aktivitas Kiai atau Tuan Guru, pemerintah

membentuk Majlis Ulama Indonesia (MUI), sebagai wadah gerakan para Kiai atau

33 Sudirman Tebba, Islam Orde Baru; Perubahan Politik dan Keagamaan, Yogyakarta:

Tiara Wacana Yogya, 1993, cet. I, h. 4 34 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, cet. I, h. 38 35 Menurut Bahtiar Effendy, depolitisasi Islam yang dimaksud adalah depolitisasi politik

bukan Islam. Akan tetapi karena Islam bagian dari kehidupan politik nasional, berimbas sebagai grand desigs politik Orde Baru. Lihat Bahtiar Effendi, (Re) Politisasi Islam; Pernahkan Islam Berhenti Berpolitik, (Bandung; Mizan Media Utama, 2000), cet. I, h. 108

48

Tuan Guru36. Orientasi pembentukan ini adalalah tidak lain membatasi dan

mengontrol gerakan para Kiai atau Tuan Guru.

Kondisi sentralistik yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru berimplikasi

juga ke daerah-daerah tak kecuali di Pulau Lombok, NTB. Di mana tidak adanya

kekuatan politik yang independen, kuatnya birokrasi dalam pengambilan

keputusan, ekspansi dan keterlibatan pemerintah pusat dalam hampir seluruh

kekuatan sosial37. Sehingga Tuan Guru hanya dijadikan sebagai legitimasi

terhadap kekuasaan pemerintah Orde Baru. Di mana pada masa itu Tuan Guru

adalah figur central masyarakat atau sebagai patron.

Terkontrolnya para Tuan Guru dilihat ketika kedekatan Soeharto dengan

para Tuan Guru yang erat serta meminta para Tuan Guru untuk menggalang

dukungan untuk Golkar pada pemilu 197138. Dan salah satu Tuan Guru yaitu

Tuan Guru Haji Abdul Madjid, yang pada waktu itu adalah pendiri sekaligus

ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan, menyetujui tawaran itu dan

beliau terus menjadi manajer juru kampaye Golkar di Lombok Timur untuk

36Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren dalam Partai Politik, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2007, cet. I, h. 171-172 37M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, cet. I, h. 65 38 Keberpihakan para Tuan Guru pada waktu itu karena salah satunya adalah trima

kasihnya kepada Soeharto atas perannya menumpas PKI. Disamping itu juga, pihak militer dan pejabat pemerintah membantu Tuan Guru dalam mendakwahkan komunitas Wetu Telu. Karena Wetu Telu dianggap mereka membahayakan Islam dikarenakan ritualisme mereka yang unik, merupakan kombinasi ritualisme Sasak dengan para kiai Islam yang kontra dengan reformis. John M. MacDougall, Kriminalitas dan Ekonomi Politik Keamanan di Lombok dalam buku Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (eds), Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, cet. II, h. 379

49

pemilahan anggota DPR tahun 1971 dan 1977 39. Golakar pun memenangkan dan

mayoritas dalam kedua pemilu tersebut.

Tuan Guru Haji Abdul Madjid pun mewakili Propinsi Nusa Tenggara

Barat sebagai anggota MPR RI dari Golkar. Tetapi pada tahun 1982, ketika semua

muslim tidak lagi menyukai kebikan pemerintah Orde Baru, Tuan Guru Haji

Abdul Madjid pun mengumumkan kepada pengikutnya (jam’ah), yang terhimpun

dalam organisasi Nahdlatul Wathan (NW), untuk bebas memilih partai pilihan

mereka sendiri40.

Dengan kebijakan yang diambil oleh Tuan Guru Haji Abdul Madjid untuk

membebaskan para pengikutnya memilih partai apapun, membuat pengikutnya

ditangkap dan diancam serta bantuan-bantuan untuk sekaloh NW pun dihentikan.

Sehingga pada 1987, Tuan Guru Haji Abdul Madjid kembali ke Golkar karena

paksaan militer41.

Oleh karena itu, kondisi pada masa Orde Baru di pemerintahan pusat tidak

jauh berbeda dengan kondisinya di daerah. Di mana segala aktivitas para Tuan

Guru di batasi, dikontrol dengan didirikannya sebuah wadah organisasi untuk para

Tuan Guru yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) oleh pemerintah Orde Baru.

Dengan adanya MUI, pemerintah Orde Baru tidak hanya bisa mengontrol,

membatasi melainkan juga mengiterpensi dan bahkan sebagai legitimasi apa yang

dilakukan pemerintah Orde Baru.

39 John M. MacDougall, Kriminalitas dan Ekonomi Politik Keamanan di Lombok dalam buku Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (eds), Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, cet. II, h. 379-380

40 John M. MacDougall, Kriminalitas dan Ekonomi Politik Keamanan di Lombok, h. 380 41 John M. MacDougall, Kriminalitas dan Ekonomi Politik Keamanan di Lombok, h. 380

50

C. Dinamika Politik Islam Pasca Orde Baru

Mundurnya Presiden Soeharto dari puncak kepemimpinan pada tanggal 21

Mei 1998 menandai berakhirnya masa Orde Baru, dan lahirnya era baru yang

disebut dengan reformasi, tapi penulis menggunakan istilah pasca Orde Baru

sebagai sebuah kosistensi dalam judul ini.

Munculnya pasca Orde Baru memberikan relaksasi dan liberalisasi

politik42. Perkembangan ini juga memunculnya banyak partai, tidak terkecuali

munculnya partai-partai Islam yang dasar-dasarnya sudah diletakkan pada

dasawarsa awal 1960-an.

Di antara organisasi-organisasi politik yang muncul adalah partai-partai

politik yang menggunakan sosial origin Islam. Sebagai dari kelanjutan itu, ada

juga yang menegaskan dirinya sebagai partai Islam. Terlihat dari simbol-simbol

yang digukan partai tersebut. Ada juga partai yang tidak menegaskan dirinya

menggunakan Islam. Tapi tetap saja publik melihanya sebagai politik Islam.

Semuanya itu adalah kemunitas Islam43.

Kemunculan partai-partai politik Islam ini, memunculkan banyak

spekulasi. Ada yang mengganggap bahwa kembalinya Islam dalam panggung

politik. Ada juga yang mengatakan dengan nada alarmis, meminjam istilah Oliver

Roy dengan imajinasi politik, yaitu ketidak terpisahan agama dengan hukum,

ekonomi, dan politik44.

42 Bahtiar Effendy, (Re)Politisasi Islam; Pernahkanh Islam Berhenti Berpolitik?,

Bandung: Mizan, 2002, cet. I, h. 205 43Bahtiar Effendy, (Re)Politisasi Islam; Pernahkanh Islam Berhenti Berpolitik?, h. 205 44Bahtiar Effendy, (Re)Politisasi Islam; Pernahkanh Islam Berhenti Berpolitik?, h. 205-

206

51

Banyaknya partai Islam bermunculan pasca Orde Baru, Sudirman Tebba

menggapnya sebagai bangkitnya kembali Islam Politik. Yaitu Islam yang

berkembang sebagai lembaga politik45. Dari 48 partai politik pada pemilu 1999,

ada 19 partai yang dikategorikan sebagai politik Islam. Suatu partai dikatakan

partai Islam lanjut Sudirman Tebba, bila nama atau asasnya atau lambangnya

mengandung unsur Islam46. Nama-nama partai politik Islam itu yaitu : Partai

Indonesia Baru (PIB), Partai Kebangkitan Muslim Indonesia (KAMI), Partai

Umat Islam (PUI), Partai Kebangkitan Ummat (PKU), Paratai Masyumi Baru,

Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),

Partai Abul Yatama, Partai Syarikat Islam Indonesia 1905, Partai Politik Islam

Indonesia Masyumi, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), Partai

Nahdlatul Ummat (PNU), Partai Islam Demokrat (PID), Partai Persatuaan (PP),

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Cinta Damai (PCD), Partai Solidaritas

Uni Nasional Indonesia (SUNI), Partai Umat Muslim Indonesia (PUMI)47.

Disamping itu juga, organisasi-organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam

pun ikut berkembang dan bermunculan pada pasca Orde Baru. Seperti Hizbu

Tahrir, Fort Pembela Islam (FPI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), serta

organsasi besar Islam, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dan lainya,

yang taleh melakukan raker/muktamar/kongres dan menyiapkan program baru

dalam menghadapi pasca Orde Baru48.

45Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru, Yogyakrta: Tiara Wacana Yogya, 2001, cet.I,

h. 55 46 Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru, h. xiii 47 Sudirman Tebba, Islam Menuju Era Reformasi, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,

2001, cet. I h. xix-xx 48 Sudirman Tebba, Islam Pasca Orde Baru, h. xiv

52

Azyumardi Azra memandang bertebarnya politik Islam pasca Orde Baru,

lebih disebabakan dan pertimbangan motif-motif politik bukan religius.

Azyumardi Azra melihatnya, kebangkitan poltik Islam secara faktual pada

umumnya hampir tidak ada kaitannya dengan Islam atau dengan keutuhan dan

kesatuan kaum muslim itu sendiri, melainkan erat kaitannya dengan kekuasaan

(power) dan persaingan pengaruh di antara elit pemimpin Islam49.

Ini releven dengan kerangka Fazlur Rahman dalam menganalisi politik

Islam pasca Orde Baru, lanjut Azyumardi Azra, bahwa ketika politik dimasukkan

ke dalam ranah agama, maka agama bersifat destruktif. Bahwa ajaran Islam

memang harus mengatur politik, tapi yang sering terjadi ekploitasi konsep dan

kelembagaan Islam oleh kelompok dan elit yang mendirikan partai tersebut.

Sehingga Islam hanya digunakan dan dimanfaatkan untuk memenuhi tujuan sesaat

belaka bagi partai-partai politik Islam dan pemimpinnya50.

Bagi Zainal Abidin Amir, banyaknya partai-partai yang berbasiskan Islam

pasca Orde Baru menjadi menarik karena terkait dengan lima hal. Pertama, selain

menimbulkan perdebatan yang sengit, dan juga antusias dan gairah politik umat

Islam yang ditumpahkan dengan mendirikan partai politik berbasiskan Islam yang

merupakan pilihan politik yang mengingkari logika format baru Islam Politik

yang berlangsung selama dua dekade. Kedua, partai Islam membuat ketertarikan

banyak cendikiawan dan tokoh akademisi untuk aktif di dalamnya. Dengan cara

memfasilitasi, duduk di pengurusan elitnya atau menduduki puncuk pimpinan

49 Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut Kerukunan

Antarumat, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002, cet. I, h. 111-112 50 Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut Kerukunan

Antarumat, h. 112

53

partainya. Sepertai Abdurrahman Wahid, Yusril Ihza Mahendra, Th. Sumartana,

Alwi Shihab, Nur Mahmudi Ismail, dan lain sebagainya. Ketiga, politik Islam

adalah ekspresi nyata dari kelompok Islam yang memainkan peran baru sebagai

kelompok penentu dalam kancah politik. Keempat, terjadinya polarisasi politik

Islam pasca Orde Baru yang bercerai-berai. Akan tatapi pada garis besarnya

terdapat tiga arus besar. Pertama, kelompok Islam yang tergabung dalam Ikatan

Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Walaupun ICMI bukan partai, akan

tetapi ICMI adalah inti kekuasaan dalam pemerintahan transisi Habibie, dan

disinyalir banyak partai-partai Islam terbentuk dibelakangnya; kedua, kelompok

yang mempunyai jaringan (network) yang sangat kuat dan mengandalinnya di

berbagai posisi strategis, seperti birokrasi, bisnis, dan masyarakat. Mereka ini

aktivis Himpunan Mahasiwa Islam (HMI) dan Korps Alumni Himpunan

Mahasiswa Islam (KAHMI); ketiga, kelompok masa NU dan Muhammadiwah

yang sebagain besar massanya menengah ke bawah. Kelompok ini disuarakan

oleh Abdurrahaman Wahid (NU) dan Amin Rais (Muhammadiyah).

Kelima, dari segi sejarah, politik Islam memiliki akar sejarah yang cukup

beragam. Pertama partai Islam pada masa 1955-an, seperti NU, Partai Syarikat

Islam Indonesia (PSII) dan Masyumi. NU memunculkan Partai Kebangkitan

Bangsa (PKB), Partai Nahdlatul Ummah (PNU), Partai Kebangkitan Ummat

(PKU) dan Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). PSII melahirkan

54

PSII dan PSII 1905. Dan Masyumi mencuatkan Partai Masyarakat Baru (PMB),

Partai Politik Islam Masyumi (PPIM), dan Partai Bulan Bintang (PBB)51.

Oleh karena itu, dinamika yang terjadi pada politik Islam pada masa Orde

Baru memiliki antagonistis terhadap negara. Sehingga negara mempersempit

bahkan “menyegel” rapat-rapa politik Islam dengan melakukan grand design

penggunaan ideologi tunggal, Pancasila terhadap semua organisasi

kemasyarakatan, keagamaanan, sosial dan politik. Baru setelah reformasi atau

pasca Orde Baru, memunculkan relaksasi dan liberalisasi dari kalangan muslim

yang terejawantahkan dalam partai politik, baik yang berasaskan Islam maupun

tidak berasaskan Islam.

51 Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2003,

cet. I, h. 7-9

55

BAB IV

PERAN POLITIK TUAN GURU PASCA ORDE BARU

A. Nahdlatul Wathan dan Pusaran Perubahan Politik

Nahdlatul Wathan1, yang kemudian disingkat dengan NW didirikan oleh

Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid pada hari Ahad tanggal, 15

Jumadil Akhir 1372 H atau bertepatan pada tanggal 1 Maret 1953 M di Pancor

Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. NW adalah sebuah organisasi sosial

kemasyarakatan yang bergerak pada bidang pendidikan, sosial dan dakwah

Islamiyah2.

Organisasi ini merupakan organisasi sosial, pendidikan dan dakwah yang

dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangganya (AD/ART) pasal 2

berasaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,

Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan / perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; dan

beraqidah Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah Ala Mazhab Imam Syafi’i RA3.

Pada awalnya NW adalah sebuah pesantren4 bernama al-Muhajirin yang

didirikan oleh Tuan Guru Haji Zainuddin Abdul Madjid setalah meyelesaikan

1 Nahdlatul Wathan secara etimologis, yaitu Nahdlah, berarti perjuangan, kebangkitan,

dan pergerakan. Wathan, berarti tanah air, bangsa dan negara. Sehingga Nahdlatul Wathan artinya kebangkitanTanah Air atau bangsa atau negara.

2Jamaluddin Abd Aziz, Hamzanwadi dan NW, Pancor; MDQH NW, h. 31 3 Webset Resmi NW : http//www.hamzanwadi.ac.id, diakses pada tanggal 1/4/2011 4Pesantren adalah institusi pendidikan yang dianggap asli yang dimiliki Indonesia.

Pesantren adalah penyebutan dalam bahasa Jawa, Dayah dalam bahasa Aceh, Surau dalam Minangkabau, sedangkan Madrasah adalah pembaharuan pendidikan Islam yang mulai pada abad ke-20 M. Lihat Masnun, Tuan Guru KH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid; Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam di Nusa Tenggara Barat, Jakarta: Pusaka Al-Miqdad, cet I, 2007, h. 40

56

studinya di Salatiyah, Mekkah pada tahun 19345. Seiring dengan pesatnya jumlah

santri yang belajar di pesantren al-Muhajirin, kemudian didirikanlah sebuah

madrasah sebagai lembaga pendidikan bernama Nahdlatul Wathan Diniah

Islamiyah (NWDI). Dan setelah suksen mendirikan NWDI kemudian mendirikan

madrasah Nahdlatul Banat Diniah Islamiyah (NBDI), yang dikhususkan untuk

pendidikan kaum perempuan6.

Pesatnya perkembangan kedua madrasah tersebut yaitu NWDI dan NBDI

dengan mempunyai beberapa cabang-cabang di berbagai wilayah dan desa, yang

melatar belakangi diperlukan sebuah wadah organisasi yang berfungsi sebagai

koordinator, pembimbing dan pengayom bagi ke dua madrasah tersebut.

Diambillah kata Nahdlatul Wathan (NW) dari nama madrasah tersebut sebagai

nama organisasi itu7.

Organisasi NW berkembang secara cepat. Secara organisatoris, dalam

waktu yang singkat NW sudah memiliki struktur pengurus, mulai dari penguru

ranting tingkat Dusun, pengurus anak cabang di tingkat Desa, pengurus cabang di

tingkat Kecamatan, pengurus daerah di Kabupaten/Kotamadya, penguruh wilayah

tingakat Profinsi dan Pengurus Besar di Pancor, tersebar hampir di setiap daerah

Pulau Lombok8.

Benar bahwa kondisi sosial-politik mempengaruhi lahirnya NW. Di mana

NW didirikan sebagai simbol perlawan terhadap hegemoni kolonial di Pulau

Lombok. Pada titik ini penamaan Nahdlatul Wathan (dalam bahasa Indonesia

5Baharuddin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Genta Press, 2007, h. 110

6 Baharuddin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, h. 114-115 7 Webset Resmi NW : http//www.hamzanwadi.ac.id, diakses pada tanggal 1/4/2011 8 Baharuddin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, h. 126

57

kebangkitan bangsa) dalam kontek perlawanan terhadap penjajahan adalah sebuah

kesadaran historis atas perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat Sasak pada

masa lampau, seperti Tuan Guru Haji Ali Batu dan Tuan Guru Haji Bangkol

dalam perlawanannya melawan penjajah9. Akan tetapi, menurut Baharuddin motif

keagamaan yang demikian kuat yang mewarnai kelahiran NW10. Karena awal dari

kegiatan yang di lakukan NW, lebih banyak melakukan dalam rangka menjaga

kemurnian keyakinannya, menyebarluaskan pandangan-pandangan yang mereka

yakini benar, mengambil bagian dalam mengembangkan masyarakat di bidang

pendidikan, sosial, dan dakwah Islamiyah, melalui madrasah NW yang

dimilikinya11. Sebagai gerakan pemurnian ajaran Islam yang meliputi kepercayaan

(aqidah) dan praktik ritual (ibadah), NW mendapat serangan dari masyarakat

sekitar, khususnya dari masyarakat Islam Wetu Telu12.

Dalam pusaran perubahan politik yang dialamai oleh NW, memiliki

kebijakan yang berbeda-beda. Pada awal kebijakannya NW pada tahun 1953-1955

menerapkan kebijakan “politik bebas”. Artinya bahwa NW tidak berafiliasi

dengan kekuatan-kekuatan partai politik manapun pada saat itu. Sehingga pada

NW merestui berdirinya Partai Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Tarbiyah

Islamiyah (PERTI), dan PSSI di Lombok pada tahun 1953 dan 1954. Akan tetapi

pada tahun 1955 NW berafiliasi dengan partai Masyumi, sehingga mengantarkan

9Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan

Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 302 10 Baharuddin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, h. 126 11 Baharuddin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, h. 126 12Baharuddin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, h. 127

58

pendiri NW, Tuan Guru Haji Zainuddin Abdul Madjid sebagai anggota

Konstituante periode 1955-1959 pada pemilu pertama tahun 195513.

Setelah partai Masyumi dibubarkan, khususnya di Lombok, NW adalah

ormas Islam yang pertama yang mendukung terbentuknya Parmusi. Itu

dikarenakan bahwa Parmusi adalah duplikat dari Masyumi14. Mengingat bahwa

NW pada awalnya termasuk dalam salah satu ormas Islam yang bergabung dalam

Masyumi. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, NW keluar dari Parmusi. Ini

dikarenakan bahwa aspirasi NW sebagai ormas Islam yang memiliki konstituen

terbesar di pulau Lombok tidak diakomodir15.

Keluarnya NW dari Parmusi, kemudian mengubah haluan politiknya

dengan berafiliasi kepada Sekretaris Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar),

suatu organisai yang dibentuk atas gagasan Jendral A. H. Nasution16. Dukungan

yang diberikan NW kepada Sekber Golkar didasati atas pertimbangan politik.

Pertama, Golkar dinilai berhasil dalam menumpas gerakan 30 S/PKI, yang mana

keberhasilan ini dianggap mambawa kemaslahatan bagi kaum muslim. Kedua,

terakomodirnya aspirasi NW dibandingkan dengan partai-partai politik lain.17

Pada tahun 1970 NW resmi bergabung dengan Golkar. Sehingga pada

pemilihan umum tahun 1971 dan 1977, TGH. Zainuddin Abdul Madjid terpilih

13Fahrurrozi, Dakwah Tuan Guru dan Transformasi Sosial di Lombok Nusa Tenggara

Barat, Deseertasi di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; 2009, h. 191-192 14Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan

Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, (Jakarta; PT Logos Wacana Ilmu, 2004), cet. I, h. 246

15Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 246

16Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 246

17 Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 246

59

sebagai MPR RI dari Gorkar dan anggota MPR RI Fraksi utusan daerah tahun

198218.

Bergabungnya NW ke Golkar adalah awal mulai dari konflik internal di

tubuh NW. karena ada beberapa kadernya yang berafiliasi ke PPP yang notabene

partai Islam. Konflik ini terus berkepanjangan sampai pada pemilu 1977 sehingga

berimplikasi pada mundurnya sejumlah pengurus NW diberbagai tingkatan.

Kondisi ini melatar belakangi diadakannya Muktamar Kilat dengan hasil yaitu

pengurus yang tidak sejalan dengan NW akan disingkirkan dari pengurus19.

Pada tahun 1982 konflik itu tetap berlangsung dan menjelang pemilihan

umum, NW yang dipimpin oleh Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul

Madjid menerapkan “tutup mulut” 20. Artinya tidak terlibat dalam pendukung

partai tertentu. Sikap ini yang membawa NW kepada khittahnya yaitu

berkonsentrasi pada gerakan kultural, pendidikan, sosial, dan dakwah. Dan akibat

dari politik diamnya NW itu membuat kekalahan telak bagi partai Golkar pada

tahun198221.

Perubahan peta politik NW pun berubah secara dramatis setalah

sepeninggalan pimpinannya, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul

Madjid pada tahun 1997. Ada yang tetap pada partai Golkar dan ada pula yang

berafiliasi kepada partai-partai yang dibentuk pada masa reformasi. Dan

18 Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan

Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 247 19 Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan

Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 247 20 Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan Perjuangan

Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997, h. 248 21 Fahrurrozi, Dakwah Tuan Guru dan Transformasi Sosial di Lombok Nusa Tenggara

Barat, Deseertasi, Jakarta; 2009, h. 193

60

mengingat kondisi internal NW sepeninggalan Tuan Guru Haji Muhammad

Zainuddin Abdul Madjid menjadi konflik diantara kedua putri Tuan Guru Haji

Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, yaitu Hj. Rauhun (putri sulung) dan Hj.

Raihanun, dalam konflik ini juga berimbas kepada afiliasi politik kedua putri

beliau22.

Terpecahnya NW menjadi dua kubu, yaitu kubu Pengurus Besar NW yang

berpusat di Anjani. Kubu ini adalah hasil muktamar yang ke- 10, Juli 1998 di

Praya, Lombok Tengah, yang diketuai oleh Hj. Siti Raihanun Abdul Madjid.

Kubu ke dua yaitu kubu Pengurus Besar NW Reformasi yang dimotori oleh Hj.

Siti Rauhun Abdul Madjid, kakak kandung dari Hj. Siti Raihanun. Pengurus Besar

NW Reformasi ini dikenal dengan NW Pancor yang di ketuai oleh Tuan Guru

Haji Zainul Majdi, purta dari Hj Siti Rauhun, cucu langsug pendiri NW23.

Pada pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden 2004

semakin mempertajam perbedaan dari ke dua kubu tersebut. Kubu NW Anjani

menyatakan mendukung Partai Bintang Reformasi (PBR), pimpinan KH

Zainuddin MZ, dan kubu NW Pancor menyatakan aspirasi politiknya disalurkan

ke Partai Bulan Bintang (PBB), pimpinan Yusril Ihza Mahendra24.

Tidak mengherankan bahwa tuduhan oportunis, kemampuan pemahaman

politik yang tidak bermoral, berpandangan tradisional merupakan tuduhan yang

kerapkali dilemparkan kepada NW. Ini dikarenakan kebijakan NW yang berubah-

22 Fahrurrozi, Dakwah Tuan Guru dan Transformasi Sosial di Lombok Nusa Tenggara

Barat, h. 193 23 Asrori S. Karni (ed), Hajatan Demokrasi; Potret Jurnalistik Pemilu Langsung Simpul

Islam Indonesia dari Moderat Hingga Garis Keras, Jakarta: PT Era Media Informasi, cet. I, 2006, h. 60

24 Asrori S. Karni (ed), Hajatan Demokrasi; Potret Jurnalistik Pemilu Langsung Simpul Islam Indonesia dari Moderat Hingga Garis Keras, h. 61

61

ubah kerap kali untuk mencari pertahanan, keselamatan diri dan menjaga

eksistensinya di dalam lingkaran kekuasaan.

Apa yang dilakukan oleh NW ini tentu berdasarkan pertimbangan-

pertimbangan yang dimilikinya. Prilaku politik merupakan cerminan dari ideologi

keagamaan yang dianutnya. Dasar formal ideologi NW adalah yurisprudensi

Islam yang berasal dari politik Suni pada abad pertengahan. Seperti para ulama

fiqih seperti al-Mawardi (974-1058), al-Ghazali (1058-1111), Ibnu Taimiyah (w.

1328) dan lainnya25.

Dalam teori politik Suni mengungkapkan karakter penting dalam

pemikiran politiknya, yaitu keluwesan. Sehingga politik Suni memang bukan blue

print untuk masa depan, melainkan lebih merupakan pembenaran post eventum

atas kejadian dalam sejarah26. Hal itu, oleh Gibb sebagaimana yang dikutip oleh

Greg Fealy, merupakan sumber inti yang disebutnya kejenuisan beradaptasi

masyarakt Sunni27.

Sehingga menurut Greg, karaktristik ini kemudian diwarisi dan

dipertahankan oleh tokoh-tokoh dan organisasi-oganisasi tradisional di berbagai

belahan dunia Islam, dalam menjelaskan dan membenarkan atas prilaku

politiknya28, misalnya mengenai sikap memilih diam, berdamai, realistis dan sikap

akomodatif seperti yang dilakukan oleh NW.

B. Tuan Guru dan Pemilu-pemilu Pasca Orde Baru

25Greg Fealy, Ijtiahad Politik Ulam; Sejarah NU 1952-1967, (terj) oleh Farid Wajidi, Yogyakarta: LKIS, cet. IV, 2009, h. 62

26Greg Fealy, Ijtiahad Politik Ulam; Sejarah NU 1952-1967, h. 63 27Greg Fealy, Ijtiahad Politik Ulam; Sejarah NU 1952-1967, h. 63-64 28 Greg Fealy, Ijtiahad Politik Ulam; Sejarah NU 1952-1967, h. 65

62

Pada masa Orde Baru, Tuan Guru dijadikan sebagai “promotor

pembangunan”, di mana berperan sebagai aktor penyampai program pemerintah

dan sekaligus sebagai aset partai politik ketika berlangsungnya ritual politik

tahunan seperti pemilu29. Akan tetapi pasca Orde Baru yang membawa relaksasi

dan liberalisasi politik menjadikan Tuan Guru menjadi aktor dalam pemilu seperti

mencalonkan diri sebagai Dewan Perwakilan Rakyat baik ditingkatan daerah

maupun nasional, bahkan mencalonkan diri sebagai Gubernur.

Pada hakikatnya Pemilu adalah penegasan terhadap kesetian-kesetian

primordialisme politik, kerenanya bisa juga disebut sebagai pengejawantahan

politik partisan. Oleh karena itu baik pada tataran konseptual dan praktis, politik

partisan tidak sesuai (incompatible) dengan Ulama (Tuan Guru) yang seharusnya

berdiri pada semua golongan30. Artinya bahwa para Tuan Guru terjun dalam

politik praktis nantinya akan memperburuk keadaan dalam umat Islam kerena

perbedaan paham dan aliran keagamaan.

Akan tetapi melihat peran yang dimainkan oleh para Tuan Guru begitu

urgen dalam memperjuangkan umat, dengan melibatkan dirinya dalam politik

praktis. Keterlibatan Tuan Guru dalam politik praktis mempunyai beberapa

artikulasi, bisa bersifat ekspresif dan instrumental31. Artikulasi politik Tuan Guru

bersifat ekspresif artinya apabila aktivitas yang dilakukan oleh Tuan Guru dengan

melakukan eksploitasi atau memanipulsi simbol-simbol keagamaan serta

29 Irine Hiraswari dkk, dalam Ringkasan Laporan Penelitian, Dinamika Peran Elit Lokal

di Pedesaan Pasca Orde Baru; Studi Kasus Peran Tuan Guru di Lombok Timur oleh LIPI, h. 2 30Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut Kerukunan

Antarumat, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, cet I, 2002, h. 79 31Imam Suprayogo, Kyiai dan Politik; Membaca Citra Politik Kyiai, Malang: UIN-

Malang Press, cet. II, 2009, h. 47

63

penggalangan masa. Sedangkan instumental adalah artikulasi politik yang

menitik beratkan pada efektifitas untuk mempengaruhi proses pengambilan

keputusan secara langsung32. Azyumardi Azra menyarankan dalam keterlibatan

Tuan Guru dalam politik mengambil kerangka high politics, politik moral yang

independen, yang mengatasi low politics yang dalam praktiknya tidak jarang

sesuai dengan ajaran Islam33.

Dalam hal ini, keterlibatan Tuan Guru dalam politik lebih sebagai bentuk

artikulasi politik instrumental yang memfokuskan efektivitas dalam

mempengaruhi atau ikut terlibat dalam mengambil kebijakan secara langsung, dan

mengambil kerangka high politics dalam kehidupan politik sehari-hari. Sehingga

Tuan Guru diharapkan tidak hanya sebagai pendakwah moral dalam memajuakan

dan kesejahteraan masyarakat dan bangsa, akan tetapi juga ikut terlibat besama-

sama dalam mewujudkan kesejahteraan dan berjuang bersama masyarakat, seperti

meminjam istilah Antonio Gramsci (1891-1937) Tuan Guru diharapkan sebagai

intelektual organik.

Dalam politik yang diperankan oleh Tuan Guru sama seperti praktik para

politisi lainnya. Misalnya berkampaye, memiliki program-program untuk

kesejahteraan rakyat, mensosialisasikan diri mereka untuk dipilih sebagai anggota

dewan dan lainnya. Akan tetapi, ada satu hal yang membedakannya dengan politik

yang non Tuan Guru atau Menak, yaitu legitimasi religius. Yaitu apa yang

dilakukan oleh Tuan Guru merupakan perintah Tuhan, sebagai menegakkan amar

makruf nahi mungkar. Dan dalam kampaye mereka menggunakan majlis-majlis

32Imam Suprayogo, Kyiai dan Politik; Membaca Citra Politik Kyiai, h. 47 33Azyumardi Azra, Islam dan Reformasi; Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, cet I, 1999, h. 44

64

taklim atau dalam bahasa lomboknya pengajian-pengajaian mingguan yang rutin

dilakukan. Atau dengan memberikan ultimatum dan memerintahkan kepada

jama’ahnya untuk memilih Tuan Guru dalam calon legislatif maupun eksekutif.

Pada pemilihan umum (Pemilu) pada tahun 2004, terdapat sejumlah Tuan

Guru yang berperan langsung sebagai calon legislatif, baik pada tingkatan

kabupaten, propinsi maupun nasional. Misalnya Tuan Guru Haji Junaidi Rasyidi

Ahmad, LC calon dari Partai Bulan Bintang (PBB), Tuan Guru Haji Mahsup dari

Partai Bulan Bintang (PBB), Tuan Guru Haji Nasruddin dari Partai Bintang

Reformasi (PBR), Tuan Guru Haji Musta’rif dari Partai Bintang Reformasi (PBR)

adalah calon Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kabupaten Lombok Timur.

Tuan Guru Haji Drs. M. Syafi’i Ahmad, M.A dari PBB, Tuan Guru Haji Bahaudin

Nur Badarul Islami dari PKB, Drs. Tuan Guru Haji Abdul Hayyi Nu’man dari

PBR adalah calon DPRD Propinsi Nusa Tenggara Barat. Tuan Guru Haji

Muhammad Zainul Majdi, M.A dari PBB, Tuan Guru Haji Muahammad Anwar

MZ dari PPP, Tuan Guru Haji Abdul Rahim Adjrun dari PPP, Tuan Guru Haji

Salehuddin, LC dari PBR adalah calon DPR RI. Tuan Guru Haji Muslih Ibrahim,

dan Drs. Tuan Guru Haji Munajib, adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah

(DPD) 34.

Pada Pemilu 2009 juga ada beberapa Tuan Guru yang berhasil menjadi

anggota legislatif baik di tingkat kabupaten, propinsi, dan pusat. Diantaranya Drs.

Tuan Guru Haji Hazmi Hamzar dari PPP, Tuan Guru Haji Husnud Du’at dari

PBB, dan Drs. Tuan Guru Haji Abdul Hayyi Nu’man, M.Pd.I dari PBR, semuanya

34 Sumber Data : KPU Kabupaten Lombok Tumur tahun 2005

65

adalah calon anggota DPRD Proponsi Nusa Tenggara Barat. Pada tinggkatan

Dewan Perwakilan Daerah ada Tuan Guru Haji Lalu Abdul Muhyi Abidin, M.A35.

Keterlibatan Tuan Guru ini dalam politik bisa dilihat dalam dua hal.

Pertama, pemahaman Tuan Guru tentang hubungan antara Islam dan Politik.

Kedua, berkaitan dengan sikap Tuan Guru terhadap format politik yang ada36.

Dalam teori politik Islam klasik maupun modern, hubungan antara Islam

dan Politik mempunyai banyak pandangan. Tetapi pada dasarnya dikelompokkan

dalam tiga pandangan seperti yang di paparkan oleh Bahtiar Effendy dalam

bukunya Jalan Tengah Politik Islam. Pertama, bahwa Islam tidak hanya

menyangkut ibadah ritual saja, melaikan juga Islam memiliki konsep ekonomi,

politik, sosial, ketatanegaraan dan sebagainya. Oleh karena itu, Islam tidak perlu

lagi meniru sistem ketatanegaraan Barat. Islam adalah satu padu yang membahas

semua persoalan di dunia dan di akhirat. Tokoh-tokoh ulama aliran ini antara lain

syaikh Hasan al Banna, Sayyid Quthub, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dan

Abu A’la Al-Maududi.

Kedua, bahwa Islam hanya mengurusi urusan ibadah saja dan tidak

mengatur hal-hal duniawi. Menurut aliran ini Nabi Muhammad diutus hanya

untuk mengatur moral manusia dan tidak diutus untuk sebagai pemimpin di

Madinah. Tokoh aliran ini antara lain Ali Abdul al-Raziq dan Dr. Tholhah Husain

35 http://kpud-tbprov.go.id, diakses pada tanggal 30/4/2011 36Ini adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Asfar dalam meneliti

pergeseran Otoritas Kepemimpinan Politik Kiai di dua lingkungan pesantren di Jawa Timur, yaitu di Jombang, Pesantren Bahrul Ulum dan Pesantren Barul Ulum. Walaupun sebenarnya penelitian ini dilakukan pada tahun 1999, penulis beranggapan bahwa teori yang dikemukaan relevan dengan kondisi di daerah penulis. Lihat Muhammad Asfar, Pergeseran Otoritas Kepemimpinan Politik Kiai, Prisma, N0. 5 Tahun XXIV Mei 1995, h.32-34

66

Ketiga, aliran ini menolak bahwa Islam adalah suatu agama yang lengkap

dan menolak Islam hanya menguri hal ibadah saja. Aliran ini berpendirian bahwa

Islam tidak memiliki sistem kenegaraan, tetapi terdapat tata nilai dan etika bagi

kehidupan kenegaraan. Diantara tokoh ini Dr. Muhammad Husain Haikal.

Dalam hal ini Tuan Guru memandang hubungan Islam dan Politik sebagai

sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Ini sesuai dengan pandangan yang pertama,

bahwa Islam tidak hanya mengurusi soal ukhrawi saja akan tetapi juga mengurusi

urusan keduniaan.

Keterlibatan Tuan Guru juga berkaitan sikapnya terhadap format politik

yang ada. Terlihat bahwa Tuan Guru meyakini sistem format politik yang ada ini,

sudah cukup baik. Ini bisa dilihat dari keaktifan Tuan Guru dalam keterlibatannya

dalam politik yang ada dan mencalonkan dirinya sebagai calon, baik di legislatif

maupun di eksekutif.

Secara teoritis bahwa keterlibatan atau keaktifan seseorang disebabkan

oleh tingginya kepercayaan seseorang terhadap sistem tersebut. Dan

ketidakaktifan seseorang dapat ditafsirkan sebagai rendahnya kepercayaan

seorang terhadap sistem tersebut37.

C. Tuan Guru dan Pemilukada

Apa yang dipaparkan sebelumnya bahwa keterlibatan Tuan Guru dalam

politik, yang salah satunya melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah

(Pemilukada), ada dua argumentasi. Pertama, karena pemahaman Tuan Guru

37 Muhammad Asfar, Pergeseran Otoritas Kepemimpinan Politik Kiai, Prisma, N0. 5

Tahun XXIV Mei 1995, h.34-35

67

tentang hubungan Islam dan Politik, yaitu Islam bersifat integralistik, tidak ada

pemisahan antara Islam dan politik. Kedua, Tuan Guru menyakini bahwa format

politik yang sudah ada ini cukup baik. Terbukti dengan keterlibatan Tuan Guru

“Bajang”, Tuan Guru Haji Muhammad Zainul Majdi, MA yang mencalonkan diri

sebagai Guberntur Nusa Tenggara Bara (NTB) dan memenangkannya pada

Pemilukada NTB 2008.

1. Kemenangan Tuan Guru “Bajang” dalam Pemilihan Gubernur NTB pada 2008

Tuan Guru “Bajang”, dalam bahasa Indonesia yaitu Tuan Guru Muda,

dilahirkan di Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 31 Mei

1972. Tuan Guru Muhammad Zainul Majdi atau lebih dikenal dengan Tuan Guru

“Bajang” adalah putra ke tiga dari Hj. Siti Rauhin dan H. M. Jalaluddin. Yang

juga merupakan salah satu cucu dari pendiri Nahdlatul Wathan, Tuan Guru

Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (1904-1997), Tuan Guru “Bajang” lahir

dan dibesarkan dalam kondisi lingkungan religius, tentu saja berpengaruh besar

terhadap perkembangan pemikiran Tuan Guru “Bajang” yang kemudian dianggap

mewarisi bakat Kakeknya, sebagai Ulama dan sekaligus politisi.

Tuan Guru “Bajang” tidak lepas dari pesantren. Pendidikan menengah

yang ditempuh di Pondok Pesantren Darul Nahdlatain Nahdatul Wathan pada

tahun 1991. Kemudian pada tahun 1995, beliau mendapatkan gelar serjana S1

(Lc) di Jurusan Tafsir Hadits dan Ilmu Al-Qur’an Fakultas Ushuluddin

Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Kemudian menyelesaikan Program Pasca

68

Sarjana di Jurusan yang sama di Universitas Al-Azhar pada tahun 199938. Dan

baru saja meraih geral doktor di tempat yang sama juga pada tahun 2010.

Tentunya latar belakang pemikiran Tuan Guru “Bajang” tidak lepas dari

latar belakang dari pesantren. Oleh karenanya dalam pemilikiran politiknya Tuan

Guru “Bajang” mengatakan bahwa politik dan agama adalah dua saudara kembar

atau dua sisi dari mata uang. Seperti yang dijelaskan oleh Imam al_Ghazali, lanjut

Tuan Guru “Bajang”, agama dan negara (daulah) adalah dua saudara kembar, di

mana agama adalah pondasi sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Segala

sesuatu yang tidak berpondasi akan runtuh, adapun ada yang menganggap agama

dan politik itu terpisah, bukanlah pendapat yang shahih atau muktabarah

(credible). Dan penolakan politik Islam jelas bukan merujuk pada norma dan

pengalaman sejarah umat islam, melainkan lebih merujuk pada norma dan sejarah

masyarakat Eropa39.

Awal karirnya menjadi politisi pada tahun 2004 yaitu menjadi anggota

DPR RI mewakili daerah NTB melalui PBB atas permintaan Yusril Ihza

Mahendra40. Kemudian atas dialog yang dilakukan oleh dan restu dewan Syura

PBB, Tuan Guru “Bajang” berani mencalonkan diri sebagai Gubernur NTB.

Seperti apa yang dikatakan Yusril dalam blognya :

38Zulkarnain, Tuan Guru Bajang; Berpolitik dengan Dakwah dan Berdakwah dengan

Politik, Jawa Timur: Penerbit Kaisamedia, 2009, cet II, h. 1-2 39TGH. Zainul Majdi, dalam “Pengantar”, Tuan Guru Bajang; Berpolitik dengan Dakwah

dan Berdakwah dengan Politik, Jawa Timur: Penerbit Kaisamedia, 2009, cet II, h. vi 40http://yusril.ihzamahendra.com/2008/07/09/tuan-guru-bajang, diakses pada tanggal

30/4/2011. Kedekatan Yusril dengan Tuan Guru “Bajang” adalah karena pada masa lalu Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Majdid (kakeknya) mempunyai kedekatan yang erat dengan Masyumi. Oleh karena itu Tuan Guru “Bajang” sekarang menyambungkan hubungan silaturahmi itu.

69

“Dua tahun yang lalu, Tuan Guru ngobrol dengan saya mengenai kepemimpinan daerah di NTB. Tuan Guru bercerita, ada yang menawarinya menjadi Wakil Gubernur. Saya katakan padanya, mengapa bukan Tuan Guru sendiri yang maju ke pencalonan gubernur? Tuan Guru hanya tertawa dan mengatakan “saya kurang pengalaman Bang”. Saya katakan “pengalaman bisa dicari. Ilmu bisa didapatkan. Kami semua akan membantu Tuan Guru”. Lalu dia berkata “wah, kalau begitu saya perlu minta fatwa Ketua Majelis Syuro”. Saya katakan, karena saya Ketua Majelis Syuro itu, maka fatwanya saya keluarkan sekarang, Tuan Guru maju saja ke pencalonan. Kami akan dukung beramai-ramai”. Tuan Guru nampak tercengang. Di wajahnya nampak perasaan ragu-ragu. Saya katakan padanya “Bismillah saja Tuan Guru. Jangan ragu-ragu41”.

Dari suport dan dukungan yang diberikan oleh Yusril yang kemudian Tuan

Guru “Bajang” mencalonkan dirinya sebagai seorang nomer satu di NTB dan

memenangkan Pemilukada yang digelar pada tahun 200842, yang

mengantarkannya menjadi Gubernur termuda di Indonesia.

Kemenangan Tuan Guru “Bajang” dalam Pemilukada di NTB lebih

didominasi oleh faktor figur dibandingkan dengan mesin politik43. Artinya bahwa

tidak ada korelasi jumlah suara partai politik yang mendukung pada Pilkada

dengan jumlah suara yang diraih oleh calon yang diusung oleh partai. Dengan ke-

Tuan Guru-annya mampu meraih suara mayoritas dengan mengalahkan calon dari

partai-partai lainya.

41 http://yusril.ihzamahendra.com/2008/07/09/tuan-guru-bajang, diakses pada tanggal

30/4/2011 42Dalam pemilukada NTB ada tiga pasangan calon Gubernur NTB. Yaitu pertama, Ir. H.

Nanang Samudra, KA. Msc dan Muhammad Jabir, S. H, M. H; kedua, TGH. Muhammad Zainul Majdi, M.A dan Ir. H. Badrul Munir; ketiga, Drs. H. L. Serinata dan H. Muhammad Husni Djabir, BSC; dan keempat Drs. H. Zaini Arony, M.Pd dan Nurudin Ranggabranis, S.H, M.H. Pada pada pasangan pertama memperoleh suara 379.919 (16,99%), pada pasangan kedua memperoleh suara 847.976 (38,84%) suara, pada pasangan ketiga memperoleh 576.123 (26,39%) suara dan pasangan keempat 387.875 (17,77%) suara. Dengan total suara 3.004.902 suara dan jumlah suara sah 2.182.893 suara dan tingkat partisipasinya 72,75%. Sumber Data: Koran Lombok Post, Minggu 13 Juli 2008

43http://female.kompas.co/read/xml/2009/03/06/08335922/menelusuri.jejak.penguasaan.tokoh, diakses pada tanggal 30/4/2011

70

Karena dalam ketokohan ke- Tuan Guru- an Tuan Guru “Bajang” terdapat

apa yang disebut oleh Max Webber (1864-1920) dengan karisma. Karisma adalah

seseuatu yang luar biasa yang dimiliki oleh seorang dan mempunyai daya tarik

serta karakter pribadi yang memberikan inspirasi pada mereka yang bakal menjadi

pengikutnya44.

Kemenangan Tuan Guru “Bajang” juga dalam Pemilukada di NTB

diidentikkan oleh kekuasaan Ulama dalam politik lokal45. Karena dalam sejarah

aristokrat di NTB, kaum bangsawan, menak Sasak (Lalu, Baiq, Lale,dan lain-lain)

memainkan peran dalam setiap kehidupan dan sebagai rujukan masyarakat.

Burhan Magenda, guru besar Ilmu Politik UI yang bersal dari Dompu, NTB,

mengungkapkan bahwa aristokrat dan tokoh agama bersaing di Lombok. Tuan

Guru dan Lalu. Jaringan Tuan Guru dan Bangsawan masih mengakar di NTB.

Sehingga, lanjut Magenda, sistem patro-klin Tuan Guru dengan jama’ahnya dan

kaum Menak dengan kaumnya masih kuat. Ini yang kemudian kerapkali menjadi

ajang kontestasi lokal di NTB46.

Memang, banyak yang mengakui bahwa kemenagan Tuan Guru “Bajang”

juga bukan saja ke-tokoh-annya melainakan juga momentum dimana Tuan Guru

“Bajang” diuntungkan oleh momentum kerena calon-calon yang ada bermasalah,

misalnya terlibat korupsi dan lain-lain. Selain itu, Tuan Guru “Banjang” bukan

pemimpin yang karbitan, artinya dia mempunyai modal sosial, misalnya pernah

44Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, diterjemahkan oleh Robert M. Z Lawang, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, jilid I, cet. III, 1994, h. 229

45http://female.kompas.com/read/xml/2009/03/06/08335922/menelusuri.jejak.penguasaan.tokoh, diakses pada tanggal 30/4/2011

46http://female.kompas.com/read/xml/2009/03/06/08335922/menelusuri.jejak.penguasaan.tokoh diakses pada tanggal 30/4/2011

71

menjadi anggota DPR RI Komisi IX, kemudian berdakwah di berbagai penjuru di

NTB sehingga dikenal di masyarakat NTB khususnya dan Lombok khusunya.

Dan itu adalah modal yang cukup untuk menjadi pemenangan dan sebagai

Gubernur NTB47.

47 Wawancara pribadi dengan Abdul Hadi, Lombok Timur, 7 September 2010

72

BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Perdebatan hubungan antara agama dan politik memiliki perdebatan yang

cukup panjang baik di kalangan intektual muslim yang berada di Timur Tengah

maupun di Indonesia. Dalam perdebatan itu, paling tidak bermuara pada tiga

argumen besar. Argumentasi pertama, agama dan politik teringralistik. Artinya

agama (Islam) sudah memiliki konsep atau ajaran seluruh kehidupan kita, baik

pada bidang sosial, politik, ekonomi maupun kenegaraan. Kedua, agama dan

politik harus dipisahkan. Karena keduanya dua entitas yang berbeda. Islam adalah

sistem keagamaan yang tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan

pemerintahan atau keduniawian dan bersifat sakral. Sedangkan politik adalah

urusan keduniawian yang bersifat profane. Ketiga, Agama dan politik adalah dua

entitas berbeda, akan tetapi, dalam hal subtansi akan selalu menyatu.

Di Indonesia, hubungan antara Islam dan politik memiliki sejarah yang

cukup panjang. Akar geneologisnya bisa dilacak pada akhir abad ke 13 dan

permulaan abad ke 14. Yaitu ketika Islam disebarluaskan dan diperkenlkan ke

Nusantara ini. Sehingga Islam telah menjadi inheren dalam politik.

Sehingga keterlibatan tokoh Guru dalam politik adalah sebuah

keniscayaan dan memiliki peranan penting dalam sejarah Indonesia. Baru ketika

pada masa Orde Baru politik Islam Sasak atau yang di komandoi oleh para Tuan

73

Guru dikekang, diawasi dan dikontrol dalam sebuah wadah Majlis Ulama

Indonesia (MUI).

Pasca Orde Baru, Tuan Guru memainkan perannya kembali dalam politik

peraktis. Praktik yang diprktikkan oleh Tuan Guru adalah praktik politik dalam

bentuk politik instrumentasl. Yaitu Politik yang memfokiskan efektifitas dalam

mempengaruhi atau ikut terlibat dalam pengambilan kebijakan serta di tambahkan

dengan legitimasi keagaamaan yang dimilikinya.

Kemenangan Tuan Guru Bajang sebagai Gubernur NTB dalam Pilkada

pada 2008, tidak hanya dikarenakan ketokohannya yang memiliki kharisma dan

ke-Tuan Guru-annya dengan memiliki jama’ah di berbagai daerah di NTB,

melainkan juga dikarenakan momentum yang tepat. Karena, semua calon yang

ada adalah calon lama yang terlibat korupsi sehingga Tuan Guru Bajang adalah

satu-satunya calon alternatif, yang bersih untuk dipilih oleh masyarakat NTB,

khususnya Lombok.

B. Saran

Pada akhir tulisan skripsi ini, akan memberikan saran kapada peneliti yang

concern dalam kajian politik Islam untuk melakukan pengkajian yang lebih

mendetail dan mendalam dalam ranah politik Islam.

Oleh karenanya, untuk sampai pada sebuah kajian yang komprehensif,

maka perlu kiranya melakukan pendekatan antropologi politik untuk mendapatkan

hasil yang komprehensif.

74

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, 1996. Islam dan Masyarakat; Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta; LP3ES, cet. II

Abullah, Irwan dkk, 2008. Dialektika Teks Suci Agama; Strukturasi Makna

Agama dalam Kehidupan Masyarakat, Yogyakarta: Sekolah Pascaserjana UGM, cet. I

Amir, Zainal Abidin, 2003. Peta Islam Politik Pasca Soeharto. Jakarta: Pustaka

LP3ES, cet. I Anggara, Nasri, 2008. Politik Tuan Guru; Sketsa Biografi TGH Lalu Muhammad

Faisal dan Peranannya Mengembangkan NU di Lombok. Yogyakarta: Genta Press, cet. I

Ayubi, Nazih N, 1991. Political Islam Religion and Politics in the Arab World,

London and New York: Routledge Aziz, Jamaluddin Abd. Hamzanwadi dan NW, Pancor; MDQH NW Azra, Azyumardi, 1999. Islam dan Reformasi; Dinamika Intelektual dan

Gerakan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet I ----------------------, 2007. Jaringan Ulama; Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII & VIII. Jakarta; Kencana Media, cet. III ----------------------, 1996. Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme,

Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta : Paramadina, cet. I ----------------------, 1999. Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman Islam,

(Jakarta: Paramadina, cet. I ----------------------, 2002. Reposisi Hubungan Agama dan Negara; Merajut

Kerukunan antarumat, Jakarta: Penertbit Buku Kompas, cet. I Budiwati, Erni, 2005. Islam Sasak; Wetu Telu versus Wetu Lima. Yogyakarta;

LKiS, cet I Budiarjo, Miriam, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pusaka

Utama, cet III, Baharuddin, 2007. Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Genta

Press

75

Departemen dan Kebudayaan NTB, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat,

Program Penelitian dan Pencatatan Daerah, Mataram, 1977/1978 Dhofier, Zamakhsyari, 1982. Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup

Kyai, Jakarta: LP3ES, cet. I Effendy, Bahtiar, 1998. Islam dan Negara; Transportasi Pemikiran dan Praktik

Politik Islam di Indonesia, diterjemahkan oleh Ihsan Ali Fauzi. Jakarta; Paramadina, cet. I

----------------------, 2000. (Re) Politisasi Islam; Pernahkan Islam Berhenti Berpolitik?. Bandung; Mizan Media Utama, cet. I

----------------------, 2005. Jalan Tengah Politik Islam; Kaitan Islam dan Negara

yang Tidak Mudah. Jakarta: Ushul Press, cet. I Esposito, John L, 2004. Islam Warna Warni; Rragam Ekspresi Menuju Jalan

Lurus (al Shirat al-Mustaqim). diterjemahkan oleh Arif Matuhin, Jakarta: Paramadina, cet. I

Eickelman, Dele F. dan James Pascatori, 1998. Ekspresipi Politik Muslim.

diterjemahkan oleh Rofik Suhud, Bandung: Mizan, cet. I Fahrurrozi, 2009. Dakwah Tuan Guru dan Transformasi Sosial di Lombok Nusa

Tenggara Barat, Deseertasi, UIN Jakarta Fealy, Greg, 2009. Ijtiahad Politik Ulam; Sejarah NU 1952-1967, (terj) oleh Farid

Wajidi, Yogyakarta: LKIS, cet. IV Huda, Noor, 2007. Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di

Indonesia. Yogyakata; Ar-Ruzz Media Ismail, Faisal, 1999. Nu, Gusdurisme dan Politik Kiai. Yogyakarta: Tiara Wacana

Yogya, cet I Johnson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, diterjemahkan oleh

Robert M. Z Lawang, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, jilid I, cet. III Karni, Asrori S (ed), 2006. Hajatan Demokrasi; Potret Jurnalistik Pemilu

Langsung Simpul Islam Indonesia dari Moderat Hingga Garis Keras. Jakarta: PT Era Media Informasi, cet. I,

Maarif, Ahmad Syafii, 1999. Islam dan Politik; Upaya Membingkai Peradaban,

Cirebon: Pustaka Dinamika, cet I

76

Mas’oed, Mohtar dan Colin McAndrews (eds), 1995. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, cet. XIII

Masnun, 2007. Tuan Guru KH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid; Gagasan

dan Gerakan Pembaharuan Islam di Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Pusaka Al-Miqdad, cet I

Mushoffa, Aziz (ed), 2002. Kiprah Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I Montgomery, W. Watt, 2006. Nabi dan Negarawan, diterjemahkan oleh Djohan

Effendi, Jakarta: Mushaf, cet. I Nasutian, Harun Islam, 1985. Ditinjau dari Berbagai Aspek. Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia, cet I Noor, Mohammad dkk, 2004. Visi Kebangsaan Religius; Refleksi Pemikiran dan

Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid 1904-1997. Jakarta; PT Logos Wacana Ilmu, cet. I

Nordholt, Henk Schulte dan Gerry Van Klinken, 2007. Politik Lokal di Indonesia.

Jakarta: KITLV dan YOI, cet. I Pranowo, Bambang, 1999. Islam Aktual; Antara Tradisi dan Relasi Kuasa.

Yogyakarta; Adicita Karya Nusa, cet. II Patoni, Achmad, 2007. Peran Kiai Pesantren dalam Partai Politik. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, cet. I Robert, Robertus dan Ronny Agustunis (ed), 2008. Kembalinya Politik;Pemikiran

Politik Kontemporer dari Arendt sampai Zizek, Jakarta: Buku Kita, cet I, Syakur, Ahmad Abd, 2006. Islam dan Kebudayaan; Artikulasi Nilai-nilai Islam

dalam Budaya Sasak. Yogyakarta; Adab Press, Syamsuddin, M. Din 2001. Islam dan Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: Logos,

cet. I Syam, Nur, 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta; LkiS, cet. I Suprayogo, Imam, 2009. Kyai dan Politik; Membaca Citra Politik Kyai. Malang:

UIN Malang Press, cet. II Subakti, Ramlan, 1999. Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia

widiasarana Indonesia, cet. IV Tebba, Sudirman, 1993. Islam Orde Baru; Perubahan Politik dan Keagamaan.

Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, cet. I

77

----------------------, 2001. Islam Pasca Orde Baru. Yogyakrta: Tiara Wacana Yogya, cet.I

----------------------, 2001. Islam Menuju Era Reformasi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, cet. I

Varma, S.P, 2007. Teori Politik Modern. diterjemahkan oleh Yohanes Kristianto, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Wahid, Abdurrahman, 2006. Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama,

Masyarakat dan Negara Demokrasi. Jakarta; The Wahid Institute, cet. I Zuhdi, Muhammad Harfin, 2009. Parokialitas Adat Terhadap Pola

Keberagamaan Komunitas Islam Wetu Telu di Bayan Lombok, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta,

Zulkarnain, 2009. Tuan Guru Bajang; Berpolitik dengan Dakwah dan Berdakwah

dengan Politik, Jawa Timur: Penerbit Kaisamedia, cet II

Media Elektronik

http://yusril.ihzamahendra.com/2008/07/09/tuan-guru-bajang.

http://female.kompas.co/read/xml/2009/03/06/08335922/menelusuri.jejak.penguas

aan.tokoh

http://kpud-tbprov.go.id

http//www.hamzanwadi.ac.id

http://www.ntbprov.go.id/

Jurnal

Jurnal Prisma, N0. 5 Tahun XXIV Mei 1995

Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, “Tashwiul Afkar”, edisi

nomer 23 tahun 2007

Jurnal Studi Islam dan Masyarakat, “Ulumuna”, volume IX, edisi 15 nomer I,

2005

Jurnal Penelitian Direktorat Perguruan Tinggi Islam, “ISTiQRO’, volume 4,

nomor 01, 2005

78

Jurnal Politik Islam, volume II, 2007, Laboratorium Politik Islam (LPI) Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta

Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Volume V No. 2

Makalah

Laporan Penelitian Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Politik, 2010

Makalah Metodelogi Penelitian yang ditulis oleh Anas Saidi Machfus (Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia)

Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pecatatan

1977/1978

79

Wawanca TGH. Drs. Abdul Hamid, pada 3 September 2010

Secara pandangan dasar NW itu tidak berpolitik,tapi kenyataannya tidak bisa lepas daripada kegiatan politik. karena kegiatan politik adalah ;peristiwa negara. Dikarenakan NW itu adalah organisasi pendidikan sosial dan dakwah. tetapi tetap tidak disebutkan dalam pandangan dasar organisasi bahwa NW itu politik.

Itu dimusyawarahkan apakah akan maju atau tidak

Secara kegiatan NW itu tidak bisa lepas dari kegiatan politk sekalipun NW itu bukan organisasi politik. Dan secara kenyataannya NW itu bergabung dengan organisasi politik sesuai dengan kesepakatan oleh petinggi-petinggi NW serta orang-orang NW. secara terus-terang NW itu berpolitik secara sekunder, politik itu adalah sekunder dan selalu Nw berfikir mengenai pengembangan organisasinya. NW itu berkembang dimana-mana dan insyaAllah masih memerlukan suatu pemikirian-pemikiran untuk bagaimana NW itu hubungannya dengan politik itu betul-betul bisa saling menguntungkan

TUAN GURU MASUK POLITIK? BAGAIMANA??

Menurut al-maghfyrah maulana syeikh,kalau masuk bergabung dengan organisasi politik rupa-rupanya beliau ingin memagari kegiatan-kegiatan didalam organisasi nahdlatun wathan .

APA MOTIFASI TUAN GURU MENJADI CALEG??

Menurut saya, apapun yang kita lakukan menjodohkan NW dengan politik ini didalamnya adalah pemeliharaan organisasi itu, menjalankan dakwah dan politik dua-duanya.politik itu rupa-rupanya dimasukan dalam unsur dakwah, seolah-olah politik itu sebagian daripada dakwah. yang jelas, pemikiran keagamaan itulah yang paling pokok karena NW itu adalah organisasi yang bergerak dibidang keagamaan jadi disebutkan dalam kitab wasi’at saya tidak ingat jadi politik itu, masuk siasat syar’iah artinya, secara terus-terang saya tidak bisa menjelaskan apa itu siasat syar’iah tetapi bahagian daripada menghidupkan syari’at islam

TERPILIHNYA TUAN GURU BAJANG MENJADI GUBERNUR KIRA-KIRA AKAN SEPERTI APA ??

Sebenarnya secara terus-terang dengan terpilihnya tuan guru bajang ini sepertinya efek-efek negataif daripada pemeliharaan negara itu dapat dikurangi

Lampiran I

80

atau bila perlu dihapus sama-sekali korupsi, nepotisme, polusi, kebocoran-kebocoran unag negara , penempatan orang-orang yang kuran tepat pada tempatnya.yang jelas NW jauh sebelum kemerdekaan sudah memberikan andil kontribusi kepada bangsa dan negara. Contohnya, mencerdaskan kehidupan bangsa, memelihara anak yatim, semua itu tugas-tugas negara, pondok-pondok pesantren,

NW SEPERTI APA DALAM LINGKUNGAN MASYARAKAT SASAK-LOMBOK??

Kalau saya menganggap NW adalah pembaharu dalam perkembangan islam masyarakat sasak kalaupun islam itu dikembangkan oleh para tuan guru tetapi NW itu menempuh cara pembaharuan didalam pengembangan masyarkat islam. Misalnya dengan mendirikan madrasah-madrasah, membuat majlis-majlis ta’lim, artinya setidak-tidaknya pembetulan faham-faham keagamaan itu dikoreksilah oleh NW

DALAM BIDANG SOSIAL NW BERGERAK DIBIDANG APA??

Dalam bidang sosial NW it mendirikan asuhan-asuhan keluarga , pemeliharaan-pemeliharaan anak yatim, yang terakhir ini adalah turut membantu pemerintah dalam melaksanakan mengurus soal-soal haji

APAKAH ADA SEBUAH PERTANDA SETELAH MENYATUNYA ANJANI DAN PANCOR??

Ini suatu menandakan perkembangan dinamikan dari satu organisasi.saya tidak sependapat dengan unsur-unsur politik tetapi perpecahan membawa hikmah, perpecahan bagi saya membawa suatu hukmah perluasan perkembangan NW didalam masyarakat

BAGAIMANA SEJARAH BERDIRINYA NW??

Jadi al-magfurloh itu setiap perkembangan dinamika islam itu, selalu turun apakah dengan masuknya NO,PSII, apalagi MASUMI jadi al-magfurlah itu tujuannya, islam. Walaupun islam itu di bungkus dengan NO , dibungkus dengan PSII, dibungkus dengan GOLKAR, dan sebagiany-sebagianya iya pokoknya islam itu merata dengan kehidupan masyarakat terutama masyarakat sasak-lombok

BAGAIMANA DENGAN SLOGAN POKOK NW IMAN DAN TAKWA???

Iya itulah dasarkarena itu semacam kesimpulan atau mungkin renungan magfurloh maulana syekh karena setiap orang islam itukan pokoknya iman, itulah apalagi orang NW yang bergerak dibidang pendidikan sosial dakwah.

81

BAGAIMANA PERKEMBANGAN TERKINI NW??

Kita optimis bahwa akhirnya itu kita merupakan motor penggerak daripada lembaga-lembaga keislaman untuk mengektifkan ajaran islam ini dimana saja.

82

Hasil Wawancara dengan Abdul Hadi, 7 September 2010

Semua fenomena sosial atau fakta sosial itu berangkat dari konteknya. Kondisi sosial politik mempengaruhi perjalanan sebuah lembaga. salah satunya adalah NW. Misalnya apa yang dilakukan oleh Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (ed: Tuan Guru) sendiri mengambil tindakan pragmatis, ketika berhadapan dengan kondisi sosial-politik, yaitu ketika tuan guru mendukung pemerintah Orde Baru. Alasannya karena Orde Baru di bawah Soeharto itu telah berhasil menumpas PKI. Selain itu juga orde baru juga memberikan kesempatan yang luas untuk organisasi semacam NW dan sejenisnya melakukan Islamisasi di daerah-daerah yang dianggap singkretis (Islam singkretis) atau Islam Waktu Telu. Tetapi ini tidak pernah diakui oleh para tuan guru di Lombok. Dalam sebuah buku (buku yang menulis tetang Islam Sasak karya Erni Budiwanti) misalnya mengatakan bahwa ABRI ketika itu memberikan ruang yang sangat luas bagi orang-orang Islam Waktu Lima untuk melakukan penetrasi. Bahkan tindakan kekerasan juga dilakukan oleh militer atau ABRI untuk penyebaran Islamisasi. Jadi militer berkolaborasi dengan lembaga-lemabaga kemasyarakatan tidak hanya NW tapi juga banyak ormas-oramas lain. Seperti tuan guru safwan hakim dengan pesantrennya melakukan penetrasi Islamisasi ke daerah yang dianggap Islam sinkretis di Lombok Utara.

Setelah kemerdekaan pun NW tetap harus di liat dalam cakupannya social dan politik. Setiap gerak politik bahkan dakwah NW itu tidak lepas dari konteks sosial politik nasional dan local. Misalnya kebijakan netral yang dilakukan oleh tuan guru ketika itu. Karena pada waktu itu pemerintah Orde Baru tidak ada yang berani menentangnya. Jadi bisa dikatakan bahwa kebijakan itu berupa keterpaksaan karena NW bisa dikebiri. Jadi pada masa orde Baru semua politik Islam di tahan.

Secara umum kita sekarang ini telah mengalami tidak hanya transisi demokrasi tapi sudah demokratisasi yang menuju arah kebebasan pers, ada pergantian kekuasaan, keterbukaan, kebebasan berkompetisi. Begitu juga NW, misalnya kebijakan netral, atau misalnya banyaknya pemecatan terhadap kader NW karena melanggar kebijakan tertinggi. Atau pada tahun 1982, NW tidak mendukung partai tapi banyak kadernya tidak mengikuti kebijakan itu. Kalau dilihat bahwa difinisi NW adalah NW adalah organisasi sosial, pendidikan dan dakwah tapi tidak bisa lepas dari politik. Karena politik itu keharusan dan sebagai pendukung sebagai social dan dakwah. Tapi tetap saja politik menjadi bagian yang penting.

Lampiran II

83

Apa yang dilakukan NW dalam politik sudah operload. Apa yang dulakukan oleh NW selalu di expose. Di mana ada adagium di NTB disebutkan NW Government. Di nama di Lombok Timur, Barat, Mataram dan Gubernur adalah orang NW. sehingga NW menjadi kerkembang dan ini dianggap oleh sebagian orang sebagai wasiat maulana syaikh. Dalam sebuah pencapai kita semua senang, tapi seberapa jauh efektifitas pemerintahan NW itu?

Pemeritatah itu yang penting adalah how to delifer, bagaimana mendengar aspirasi rakyat. Bagaimana dengan kebijakan gubernur? Atau bagaimana oang NW berkuasa? Kalau kemudain tidak ada perubahan maka, tidak ada bedanya dengan selain NW. Kalau kita melihat sementara ini beberapa tahun ini misalnya selalu mengurusi hal-hal yang tidak perlu yang kemudian seharusnya mengurusi hal-hal dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat, seperti listrik yang terus-terusan mati di Lombok.

Semua kehidupan untuk dakwah. Tapi yang penting bagaimana taktisnya? Lengkah strategis bagaimana? Bagainaman langkah konkrintnya? Sehingga orang tidak bosen mendengarnya. Jargon semua kehidupan berdakwah itu kita setujui.

Tuan guru sebagai patron klean. Patronasi terbentuk sejak NW berdirinya. Klean membutuhkan patron untuk mencari hidup dan patron membutuhkan klean untuk karisma. Terbentuklah patron klean saling menguntungkan. Dan hubungan itu selalu terjadi dalam jabatan karena kalau ada masalah misalnya di NW selalu disandarkan pada seseorang, ada ummi.

Semua tindakan NW itu tidak murni NW tindakan murni sosial, pendidikan dan dakwah. Semua kegiatannya itu dipengaruhi oleh politik dan itu yang paling utama. Misalnya keberhasilan NW sebagai organisasi terbesar di NTB adalah tidak lepas dari politik yang dijalankan oleh ketuanya. Coba kalau NW ini resistensi terhadap pemerintahan orde baru, tidak mungkin akan berkembang. Jadi NW berkembang karena maulana syaikh adalah sebuah fakta tapi itu bukan merupakan factor utama, melainkan kepintaran beliau. Artinya Maulana Syaikh pintar melihat kondisi dan situasi, kondisi sosial politik. Apalagi sekarang, NW sangat politis. Organisai yang bertujaun pada bidang sosial, politik dan dakwah adalah pendukung. Selain mendukung berkembangnya NW itu adalah karena karisma Maulana Syaikh dan juga politik yang dijalankan. Misalnya Hultah yang dilakukan setiap tahunnya, tentu akan mengundang tokoh-tokoh politik yang diundang. Hultah adalah miniatu ekspresi suos forcenya NW sepanjang sejarahnya. Terlepas bahwa berhasil atau tidak yang dilakukan NW dalam mengundang tokoh-tokoh agama itu.

84

Dalam melihat kenyataan sosial itu jangan melihat apa yang diomongkan melaikan apa yang dikerjakan. Misalnya kita meneliti NW dengan slogan Organisasi pendidikan, dakwah dan sosial, tidak berpolitik, itu tidak benar malainkan harus melihat apa yang sedang dilakukan oleh NW.

Apa penyebab NW terpecah? Penyebabnya karena misalnya dalam teori karisma Geertz bahwa karisma Maulana Syaikh berlum terutinisasi dalam satu orang. Masing-masing pihak mengklaim. Dan bahkan konflik ini sebenarnya sudah lama terjadi, ini adalah letusan gungung es dari masa lalau. Misalnya konflik dalam kedua anaknya yang selalu bersaing dari dulu. Konflik Lalu Gede dengan keluarganya H. Jalal. konflik ini adalah perselisihan keluarga yang membawa gerbong besar yang mengakibatkan banyak terlibat. Dalam Inggris ada namanya sibling rifalding, jadi ada dua orang kembar, akan tetapi tidak pernah akur. Akurnya itu konfliknya. Penyebab utamanya adalah meninggalnya pendiri NW, kemudian adanya muktamar di Praya yang berbuntut pada adanya Muktama Reformasi yang dilaksanakan di Selong.

Kemenangan Tuan Guru “Bajang” apakah faktor kepribadian? Iya memang kemenangan Tuan Guru “Bajang” adalah faktor pribadi, akan tetapi juga karena momentum dimana Tuan Guru “bajang” diuntungkan oleh adanya calon-calon yang ada bermasalah, misalnya terlibat korupsi. Dan memang Tuan Guru “Banjang” tuga tidak pemimpin yang karbitan, artinya dia mempunyai modal sosial, misalnya pernah menjadi anggota dewan, bedakwah di berbagai penjuru NTB sehingga dikenal di masyarakat NTB khususnya dan Lombok umumnya. Dan itu adalah modal yang cukup untuk menjadi kemenangan Gubernur. Dan juga dia juga karismatik atau rutinisasi dari kakeknya.

85

DATA-DATA ANGGOTA TUAN GURU DPRD KABUPATEN LOMBOK TIMUR DALAM PEMILIHAN TAHUN 2004

A. NAMA CALON ANGGOTA DPRD KABUPATEN LOMBOK TIMUR 2004

1. TGH. JUNAIDI RASYIDI AHMAD, LC = PARTAI BULAN BINTANG (PBB)

2. TGH MAHSUP = PARTAI BULAN BINTANG (PBB) 3. TGH NASRUDDIN = PARTAI BINTANG REFORMASI (PBR) 4. TGH MUSTA’RIF = PARTAI BINTANG REFORMASI (PBR)

B. NAMA TGH YANG DI DPR RI 2004 1. TGH MUHAMMAD ZAINUL MAJDI, MA = PBB/DPR RI 2. TGH MUAHAMMAD ANWAR MZ = PPP/DPR 3. TGH ABDUL RAHIM ADJRUN =PPP/DPR 4. TGH SALEHUDDIN, LC = PBR/DPR RI

C. NAMA TGH DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) 2004 1. TGH MUSLIH IBRAHIM = ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN

DAERAH (DPD) 2. DRS. TGH MUNAJIB = DPD

D. NAMA TGH DPRD PROPINSI NTB 2004 1. TGH. DRS. M. SYAFI’I AHMAD,MA = PBB 2. TGH. BAHAUDIN NUR BADARUL ISLAMI = PKB 3. DRS. TGH ABDUL HAYYI NU’MAN = PBR

DATA NAMA-NAMA CALON DPRD KAB. LOMBOK TIMUR 2009-2014

1. TGH MUHANAN = PKS 2. TGH NADRI HAMZAH = PKS

Sumber dara : KPU KABUPATEN LOMBOK TUMUR TAHUN 2005

Lampiran III

86

Hasil Pemilihan Kepala Daerah NTB Tahun 2008 di Tingkat Provinsi

Total Suara Sah : 2.187.893

Total Suara Tidak Sah : 84.235

Sumber Data : www.kpud-ntbprov.go.id

Lampiran IV

87

Anggota DPRD Tingkat I Provinsi NTB Tahun 2009 - 2014

DAPIL 1

Istiningsih, S. Ag

Ir. H. Misbach Mulyadi

Drs. H. Muzihir

Ir. Made Slamet,

MM

M. Mahsar

DAPIL 2

Suharto, ST., MM

H.M. Adnan Kasogi,

SH

H. Musleh Kholil,

SIP

M. Hadi Sulthon,

S.Sos

Drs. H. Lalu

Sujirman

Dra. H.

Wartiah, M.Pd

H. A. Isror Idris, SH

Dra. Endang Yuliati

Moh. Maliki M. Intihan

DAPIL 3

H. Burhanudin, S.Sos., MM

Patompo, LC

H. Moh. Suhaili Fadil

Thohir, SH

H. Lalu Wireginawang

Baiq Indah Puspitasari,

SE

88

H. Lalu Moh.

Syamsir, SH

Drs. Ruslan

Turmudzi

Drs. H. Abd.

Rahman Fajri,

M.Pd.I

L. Abd. Halik Iskandar alias Mamiq Alex

Drs. H. Marinah Hardy

DAPIL 4

H. Rumaksi SJ, SH

H. Machsun

Ridwainny S.Sos., MBA

M. Sakduddin,

SH

H. Abdul Hadi

Rizali Hadi, S.Pd

H.

Najamudin Mustafa

Ardany Zulfiqar,

SH

Drs. H. Sahafari Asy’ari

Drs. TGH. Hazmi

Hamzar

TGH. Husnud Du’at

Lale Yaqutun

Nafis, S.Pd

Drs. TGH. Abdul Hayyi

Nu’man, M.Pd.I

Romani H.

Bustam, SH

DAPIL 5

89

Johan Rosihan

H. Edy Muchtar,

S.Sos

Muh. Amin, SH

Nurdin Ranggabarani,

SH., MH

H. M. Husni

Djibril, B.Sc

M. Said Ahmad

DAPIL 6

Ahmad, SH

Drs. Noerdin

HM. Yacub

Mori Hanafi,

SE., M.Comm

Suryadi JP, ST

Drs. H. Ali Ahmad,

SH

Drs. A. Hafid

H. Wahiddin HM. Noer,

SE

Zulkarnain, SE., MM

H. Supardi, SH., M.Si

Drs. Sulaiman Hamzah