teori hegemoni sebuah teori kebudayaan kontemporer

21
Teori Hegemoni Sebuah Teori Kebudayaan Kontemporer Oleh: Saptono (dosen PS Seni Karawitan) Teori hegemoni merupakan sebuah teori politik paling penting abad XX. Teori ini dikemukakan oleh Antonio Gramci (1891-1937). Antonio Gramci dapat dipandang sebagai pemikir politik terpenting setelah Marx. Gagasanya yang cemerlang tentang hegemoni, yang banyak dipengeruhi oleh filsafat hukum Hegel, dianggap merupakan landasan paradigma alternatif terhadap teori Marxis tradisional mengenai paradigma base-superstructure (basis-suprastruktur). Teori- teorinya muncul sebagai kritik dan alternatif bagi pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya yang didominasi oleh determinisme kelas dan ekonomi Marxisme tradisional. Teori hegemoni sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi tradisi Marxis. Menurut Femia pengertian semacam itu sudah dikenal oleh orang Marxis lain sebelum Gramci, seperti; Karl Marx, Sigmund Freud, Sigmund Simmel. Yang membedakan teori hegemoni Gramci dengan penggunaan istilah serupa itu sebelumnya adalah; Pertama, ia menerapkan konsep itu lebih luas bagi supremasi satu kelompok atau lebih atas lainnya dalam setiap hubungan sosial, sedangkan pemekaian iistilah itu sebelumnya hanya menunjuk pada relasi antara proletariat dan kelompok lainnya. Kedua, Gramci juga mengkarakterisasikan hegemoni dalam istilah “pengaruh kultural”, tidak hanya “kepemimpinan politik dalam sebuah sistem aliansi” sebagaimana dipahami generasi Marxis terdahulu (Femia, 1983). Teori hegemoni dari Gramci yang sebenarnya merupakan hasil pemikiran Gramci ketika dipenjara yang akhirnya dibukukan dengan judul “Selection from The Prissons Notebook” yang banyak dijadikan acuan atau diperbandingkan khususnya dalam mengkritik pembangunan. Dalam perkembangan selanjutnya teori hegemoni ini dikritisi oleh kelompok yang dikenal dengan nama “New Gramcian”. Teori hegemoni dibangun di atas preis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Menurut Gramci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai

Upload: cakmatt

Post on 22-Nov-2015

103 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Tulisan Antonio Gramsci tentang Teori Hegemoni

TRANSCRIPT

TEORI HEGEMONI

Teori Hegemoni Sebuah Teori Kebudayaan Kontemporer Oleh: Saptono (dosen PS Seni Karawitan)Teori hegemoni merupakan sebuah teori politik paling penting abad XX. Teori ini dikemukakan oleh Antonio Gramci (1891-1937). Antonio Gramci dapat dipandang sebagai pemikir politik terpenting setelah Marx. Gagasanya yang cemerlang tentang hegemoni, yang banyak dipengeruhi oleh filsafat hukum Hegel, dianggap merupakan landasan paradigma alternatif terhadap teori Marxis tradisional mengenai paradigma base-superstructure (basis-suprastruktur). Teori-teorinya muncul sebagai kritik dan alternatif bagi pendekatan dan teori perubahan sosial sebelumnya yang didominasi oleh determinisme kelas dan ekonomi Marxisme tradisional.Teori hegemoni sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi tradisi Marxis. Menurut Femia pengertian semacam itu sudah dikenal oleh orang Marxis lain sebelum Gramci, seperti; Karl Marx, Sigmund Freud, Sigmund Simmel. Yang membedakan teori hegemoni Gramci dengan penggunaan istilah serupa itu sebelumnya adalah; Pertama, ia menerapkan konsep itu lebih luas bagi supremasi satu kelompok atau lebih atas lainnya dalam setiap hubungan sosial, sedangkan pemekaian iistilah itu sebelumnya hanya menunjuk pada relasi antara proletariat dan kelompok lainnya. Kedua, Gramci juga mengkarakterisasikan hegemoni dalam istilah pengaruh kultural, tidak hanya kepemimpinan politik dalam sebuah sistem aliansi sebagaimana dipahami generasi Marxis terdahulu (Femia, 1983).

Teori hegemoni dari Gramci yang sebenarnya merupakan hasil pemikiran Gramci ketika dipenjara yang akhirnya dibukukan dengan judul Selection from The Prissons Notebook yang banyak dijadikan acuan atau diperbandingkan khususnya dalam mengkritik pembangunan. Dalam perkembangan selanjutnya teori hegemoni ini dikritisi oleh kelompok yang dikenal dengan nama New Gramcian.

Teori hegemoni dibangun di atas preis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Menurut Gramci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramci dengan hegemoni atau menguasai dengan kepemimpinan moral dan intelektual secara konsensual. Dalam kontek ini, Gramci secara berlawanan mendudukan hegemoni, sebagai satu bentuk supermasi satu kelompok atau beberapa kelompok atas yang lainnya, dengan bentuk supermasi lain yang ia namakan dominasi yaitu kekuasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik (Sugiono, 1999:31).Melalui konsep hegemoni, Gramsci beragumentasi bahwa kekuasaan agar dapat abadi dan langgeng membutuhkan paling tidak dua perangkat kerja. Pertama, adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa atau dengan kata lain kekuasaan membutuhkan perangkat kerja yang bernuansa law enforcemant. Perangkat kerja yang pertama ini biasanya dilakukan oleh pranata negara (state) melalui lembaga-lembaga seperti hukum, militer, polisi dan bahkan penjara. Kedua, adalah perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga keluarga (Heryanto, 1997). Perangkat karja ini biasanya dilakukan oleh pranata masyarakat sipil (civil society) melailui lembaga-lembaga masyarakat seperti LSM, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban-paguyuban dan kelompok-kelompok kepentingan (interest groups). Kedua level ini pada satu sisi berkaitan dengan fungsi hegemoni dimana kelompok dominan menangani keseluruhan masyarakat dan disisi lain berkaitan dengan dominasi langsung atau perintah yang dilaksanakan diseluruh negara dan pemerintahan yuridis (Gramsci, 1971). Pembedaan yang dibuat Gramsci antara masyarakat sipil dan masyarakat politik, sesungguhnya tidak jelas terlihat, pembedaan itu dibuat hanya untuk kepentingan analisis semata. Kedua suprastruktur itu, pada kenyataannya, sangat diperlukan, satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Bahwa kedua level itu sangat diperlukan bisa dilihat dengan gamblang dalam konsepsi Gramsci tentang negara yang lebih luas, dimana ia tunjuk sebagai negara integral meliputi tidak hanya masyarakat sipil tetapi juga msyarakat politik yang didefinisikan negara = masyarakat politik + masyarakat sipil, dengan kata lain hegemoni dilindungi oleh baju besi koersi (Gramsci, 1971). Gramsci juga mengkarakterisasikan apa yang dimaksud dengan negara integral sebagai sebuah kombinasi kompleks antara kediktatoran dan hegemoni atau seluruh kompleks aktivitas praktis dan teoritis dimana kelas berkuasa tidak hanya menjustifikasi dan menjaga dominannya, tetapi juga berupaya memenangkan persetujuan aktif dari mereka yang dikuasai. Jadi negara adalah aparatus koersif pemerintah sekaligus aparatus hegemonik institusi swadta. Definisi ini memungkinkan Gramsci untuk menghidarkan diri dari pandangan instrumentalis tentang negara memandang negara sebagai sistem politik pemerintah belaka dalam teori politik liberal atau teori lainnya seperti institusi koersif kelas berkuasa dalam teori politik Marxis klasik. Kelebihan konsepsi Gramsci tentang negara integral adalah karena konsepsi itu memungkinkan dirinya memandang hegemoni dalam batasan dialektik yang meliputi masyarakat sipil atau masyarakat politik (Sugiono, 1999).Lebih jauh dikatakan Gramsci bahwa bila kekuasaan hanya dicapai dengan mengandalkan kekuasaan memaksa, hasil nyata yang berhasil dicapai dinamakan dominasi. Stabilitas dan keamanan memang tercapai, sementara gejolak perlawanan tidak terlihat karena rakyat memang tidak berdaya. Namun hal ini tidak dapat berlangsung secara terus menerus, sehingga para penguasa yang benar-benar sangat ingin melestarikan kekuasaannya dengan menyadari keadaan ini akan melengkapi dominasi (bahkan secara perlahan-lahan kalau perlu menggantikannya) dengan perangkat kerja yang kedua, yang hasil akhirnya lebih dikenal dengan sebutan hegemoni. Dengan demikian supermasi kelompok (penguasa) atau kelas sosial tampil dalam dua cara yaitu dominasi atau penindasan dan kepemimpinan intelektual dan moral. Tipe kepemimpinan yang terakhir inilah yang merupakan hegemoni (Hendarto, 1993:74). Dengan demikian kekuasaan hegemoni lebih merupakan kekuasaan melalui persetujuan (konsensus), yang mencakup beberapa jenis penerimaan intelektual atau emosional atas tatanan sosial politik yang ada.

Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme konsensus (consenso) dari pada melalui penindasan terhadap kelas sosial lain. Ada berbagai cara yang dipakai, misalnya melalui yang ada di masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak langsung struktur-struktur kognitif dari masyarakat iu. Itulah sebabnya hegemoni pada hakekatnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan (Gramsci, 1976:244). Dalam konteks tersebut, Gramsci lebih menekankan pada aspek kultural (ideologis). Melalui produk-produknya, hegemoni menjadi satu-satunya penentu dari sesuatu yang dipandang benar baik secara moral maupun intelektual. Hegemoni kultural tidak hanya terjadi dalam relasi antar negara tetapi dapat juga terjadi dalam hubungan antar berbagai kelas sosial yang ada dalam suatu negara.

Ada tiga tingkatan yang dikemukakan oleh Gramsci, yaitu hegemoni total (integral), hegemini yang merosot (decadent) dan hegemino yang minimum (Femia, 1981). Dalam konteks ini dapat dirumuskan bahwa konsep hegemoni merujuk pada pengertian tentang situasi sosial politik. Dalam terminologinya momen filsafat dan praktek sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang, dominasi merupakan lembaga dan manifestasi perorangan. Pengaruh roh ini membentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik, dan semua relasi sosial, terutama dari intelektual dan hal-hal yang menunjuk pada moral.

Konsep hegemoni terkait dengan tiga bidang, yaitu ekonomi (economic), negara (state), dan rakyat (civil society) (Bocock, 1986). Ruang ekonomi menjadi fundamental. Namun, dunia politik yang menjadi arena dari hegemoni, juga menampilkan momen perkembangan tertinggi dari sejarah sebuah kelas. Dalam hal ini, pencapaian kekuasaan negara, konsekwensi yang dibawanya bagi kemungkinan perluasan dan pengembangan penuh dari hegemoni iitu telah muncul secara parsial, memiliki sebuah signifikasi yang khusus. Negara dengan segala aspeknya, yang diperluas mencakup wilayah hegemoni, memberikan kepada kelas yang mendirikannya baik prestise maupun tampilan kesatuan sejarah kelas penguasa dalam bentuk konkret, yang dihasilkan dari hubungan organik antara negara atau masyarakat politik dan civil society.

Pendek kata, hegemoni satu kelompok atas kelompok-kelompok lainnya dalam pengertian Gramscian bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Hegemoni itu harus diraih melalui upaya-upaya politis, kultural dan intelektual guna menciptakan pandangan dunia bersama bagi seluruh masyarakat. Teori politik Gramsci penjelasan bagaimana ide-ide atau ideologi menjadi sebuah instrumen dominasi yang memberikan pada kelompok penguasa legitimasi untuk berkuasa (Sugiono, 1999). Rangkuman buku Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni

1.Konsep hegemoni terkait pengembangannya terhadap filsafat praxis

Filsafat Praxis adalah suatu istilah yang dipakai oleh Gramsci untuk menyebut marxisme. Hal itu terjadi karena di dalam penjara, aktivitas Gramsci sebagai seorang pemberontak pada masa Mussolini terus disorot, dikontrol dan diawasi secara ketat. Tentunya kita perlu mengulas balik tentang poin-poin penting teori Marxian dan yang akhirnya menjadi titik keberangkatan teori-teori Gramsci.

Dalam marxisme terdapat dua hal penting yang dicetuskan oleh Marx dan Engels terkait mereka hidup pada masa dan situasi feodalisme dan kapitalisme yang konyol, yaitu materialisme dialektis dan materialisme historis. Materialisme dialektis lebih berkonsentrasi kepada masalah kontemplasi spiritual tentang pencarian asal-usul manusia dan dunia. Dialektis dalam hal ini lebih berarti satuan atau kumpulan perdebatan dan pertentangan. Dalam teori marxis hanya yang berwujud materi dan bersifat empiris yang dapat dipercaya, hal yang tidak kasat mata pun dianggap tidak ada. Sedangkan materialisme historis lebih mengarah atau terkonsentrasi pada masalah ekonomi yang akhirnya memuai ke arah sosial masyarakat. Dalam Das Kapital, Marx mencoba membagi kelompok masyarakat menjadi dua, yaitu kaum borjuasi dan proletarian. Jika pada masa feodalisme terdapat dua kelompok yaitu kelas pemilik tanah atau kelas feodal dan kelas penggarap tanah, pada masa kapitalisme kelas pemilik modal atau pemilik alat produksi disebut kaum borjuasi dan kelas pekerja disebut kaum proletarian. Pada masa kapitalisme, tenaga kerja dieksploitasi secara kejam dan tidak adil oleh pemilik modal (dalam teori Marxian disebut nilai lebih absolut). Pada fakta sejarah abad 19, buruh wanita dan anak-anak dipaksa bekerja selama 7-8 jam sehari tanpa diperhatikan kesehatan dan kesejahteraan mereka dan hanya diberi upah yang minim. Hal ini melahirkan sesuatu yang disebut determinisme ekonomi dimana Marx meyakini bahwa masyarakat digerakkan dan didorong oleh kekuatan-kekuatan produksi distribusi ekonomi dan untuk mempertahankan dan melegitimasi kekuasaannya dari tindakan-tindakan revolusioner arus bawah, kelas borjuasi menciptakan dan menggunakan Negara sebagai alat pertahanan.

Ada beberapa perbedaan antara teori marxisme klasik dan marxisme yang dicoba dikembangkan Gramsci. Dalam marxisme klasik, Marx meletakkan masyarakat sipil pada tingkat structure yang merupakan pondasi bagi tingkat superstructure atau Negara. Masyarakat sipil sendiri digerakkan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi. Bagi Gramsci, masyarakat sipil sebenarnya berada pada tingkat superstructure yang berarti berperan sebagai pelaku Negara. Bersama kelas-kelas berkuasa masyarakat sipil secara tidak sadar telah sepakat untuk melakukan penindasan terhadap kelas bawah. Perbedaan lainnya yang paling signifikan adalah masalah etos kerja atau metode perjuangan yang coba dilakukan untuk menghapus kekejaman kapitalisme dan mendirikan Negara sosialis. Seperti sudah dijelaskan di awal, bagi Gramsci Negara merupakan alat untuk mempertahankan dan melegitimasi kedudukan dan posisi kelas berkuasa secara moral dan konfensional. Maka dari itu, kita terlebih dahulu harus menyerang ideologi yang tidak kita sadari sudah mensucikan tindakan mereka terlebih dahulu ketimbang menyerang aparatus Negara secara frontal. Perjuangan ini dapat berjalan dengan baik jika kita dapat menyeragamkan dan menggiring kerangka berpikir dan tujuan masyarakat ke dalam suatu tujuan yang sama dan telah ditentukan. Agar penggiringan ini dapat berjalan dengan baik dan konfensional tanpa paksaan, menurut Gramsci perlu adanya sebuah wadah atau yang disebutnya dengan partai yang dipimpin oleh seseorang yang berkompeten dan telah disepakati pula (intelektual organik).

Dari pemaparan di atas, dapat kita tarik sebuah maksud dari teori hegemoni Gramsci sebagai alat perjuangan. Dengan hegemoni (penguasaan) terhadap sekelompok massa atau masyarakat secara bijaksana, kita tidak bermaksud bertindak totaliter dan semena-mena tetapi sekedar sebagai usaha untuk memanajemen sebuah pemberontakan agar lebih rapi dan terorganisir. Dengan demikian, kita dapat menghancurkan hegemoni Negara selama ini yang terselubung dan tidak kita sadari.

2.Jenis-jenis Hegemoni

a.Hegemoni total

Hegemoni yang secara efektif bekerja menyeluruh ke semua aspek kehidupan masyarakat sehingga mematikan inisiatif pemberontakan.

b.Hegemoni merosot

Hegemoni yang tidak cukup efektif dan tidak berhasil melumpuhkan kepatuhan seluruh masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat sebenarnya melihat banyak ketimpangan dan dalam diri mereka terdapat danyak ketidaksetujuan dan ketidaksepakatan namun tidak disertai dengan tindakan atau pemberontakan yang kongkret (passive resistance).

c.Hegemoni minimum

Hegemoni yang gagal ditanamkan ke masyarakat dan ditangapi dengan perlawanan dan pemberontakan.

3.Tiga jenis Taylorisme

Untuk mencoba menelaah dan memahami bagaimana cara kerja Negara sebagai alat hegemoni oleh kelas berkuasa, kita mencoba menilik kembali sejarah dimana hegemoni telah tercipta dan lahir di dalam lingkup pabrik Amerika pada abad-20. Seorang pengusaha Amerika sebagai pemilik pabrik mempunyai metode-metode hegemoni untuk mengamankan posisinya dan menghindari ketidakpuasan para buruhnya yang dikenal dengan nama Taylorisme.

a.Tiap buruh hanya bekerja pada bagian atau bidang masing-masing.

b.penyeragaman pikiran dan watak buruh agar bekerja secara otomatis-mekanis

c.Jika ada seorang buruh yang merasa tidak nyaman terhadap situasi kondisi sebenarnya dan berniat mengadakan pemberontakan, pihak pabrik akan menyuapnya dengan uang. Hal ini dapat dengan telak mematikan inisiatif perlawanan buruh tersebut.

4.Tiga batasan konseptual Gramsci untuk memisahkan masyarakat sipil dan masyarakat politik/ Negara.

a.Ekonomi

Dengan melihat keadaan ekonomi yang berbeda dari tiap-tiap individu, akan dapat digolongkan dan diklasifikasi penempatan dan tingkat kelas orang tersebut.

b.Negara

Tempat munculnya praktek-praktek kekerasan dalam dominasi Negara oleh apparatus Negara, misalnya polisi, tentara dan lain-lain untuk menegakkan sebuah birokrasi Negara.

c.Masyarakat sipil

Menunjukkan wilayah di luar masyarakat sebagai pelaku kegiatan ekonomi namun tidak berada dalam wilayah aparatus Negara, misalnya organisasi-organisasi masyarakat, lembaga agama dan lain-lain.

5.Dua jenis intelektual

Menurut Gramsci ada dua jenis intelektual atau pemimpin, yaitu intelektual organik dan intelektual tradisional. Intelektual organik adalah seseorang yang dapat memberikan kesadaran homogenitas bagi kelompoknya dan kelompok lain. Seorang intelektual organik harus merupakan seorang pioner, organisator, dan pejuang militan yang dapat membaca kompleksitas sebuah sistem produksi, berwibawa dan dapat membaur dalam partai atau dalam masyarakat. Sedangkan intelektual tradisional adalah seseorang yang sebenarnya berkompeten dan berpotensi untuk menjadi intelektual organik namun lebih memilih merdeka dan berotonomi atas dirinya sendiri atau tidak peduli.

6.Proses pencapaian Negara sosialis

Menurut siasat dan taktik revolusioner Gramsci, kita harus menyerang dan menggulingkan pemimpin Negara dan kelas berkuasa pada momen yang tepat. Ada saat yang dinamakan dengan nama krisis hegemoni dimana masyarakat kehilangan sosok kepemimpinan seorang pemimpin yang tidak dapat menyelesaikan problematika di masyarakat, khususnya di bidang sosial dan ekonomi. Setelah suasana yang labil dan tidak menentu mulai terjadi, dilakukanlah yang disebut perang posisi dimana kandidat pemimpin atau intelektual yang baru mulai dikedepankan untuk menyaingi pemimpin yang lama. Tentu saja pihak kelas yang berkuasa tidak begitu saja mau menyerahkan kekuasaan dan kedudukannya dan akhirnya menggunakan aparatus Negara dan cara-cara kekerasan untuk bertahan. Dalam teori Gramscian ada yang dinamakan dengan survei yang tepat dimana tiap Negara mempunyai siasat dan taktiknya masing-masing untuk mendirikan Negara sosialisme karena sistem politik dan keadaan ekonomi di tiap Negara berbeda-beda. Tentu saja hal ini berlawanan dengan yang diyakini oleh Marx dan Lenin dimana untuk melakukan kudeta kekuasaan, para buruh sedunia dan kaum bawah harus bersatu untuk melawan angkatan bersenjata milik Negara secara frontal. Menurut Gramsci, cita-cita kaum buruh sedunia untuk menciptakan atmosfer sosialisme secara universal tidak akan tercapai jika kaum buruh di Negara masing-masing tidak mampu membangun budaya sosialisme di negaranya sendiri terlebih dahulu. Perlu diingat, cara kerja produksi dan taktik kapitalisme di tiap Negara berbeda-beda, untuk itu cara perlawanannya pun berbeda-beda. Hal yang dapat dilakukan adalah membangun budaya proletarian di sekitar masyarakat dan Negara diikuti dengan perang siasat (war of maneuver) atau cara-cara kekerasan bersifat koersif jika pihak yang berkuasa tidak mau menyerahkan kekuasaannya.

Tetapi perlu diingat, setelah sosialisme mulai terwujud, intelektual dari partai harus tetap memimpin Negara. Jika pihak borjuasi yang kalah ingin membalas dendam dan merebut kembali kekuasaan, kaum sosialis dapat menggunakan cara kekerasan pula untuk mempertahankan kekuasaan.

7.aplikasi teori hegemoni Gramsci di Indonesia

Seringkali teori Gramsci disalahartikan oleh kaum-kaum bawah yang terpinggirkan di Indonesia sebagai alat perjuangan. Masyarakat tidak mencoba mengaitkan latar belakang lahirnya teori Gramsci dengan keadaan kapitalisme di Italia pada waktu itu. Perlu diingat bahwa kapitalisme di Italia pada masa itu adalah kapitalisme monopoli sehingga mampu menghegemoni seluruh aspek kehidupan masyarakat termasuk di bidang politik dan sosial, sedangkan di Indonesia hegemoni dari pihak berkuasa terutama pada masa orde baru bukanlah hegemoni total disertai kesepakatan dari masyarakatnya melainkan banyak disertai dengan tindakan-tindakan koersif dan pemaksaan-pemaksaan menggunakan kekerasan.Rangkuman Teori Strukturasi Antony Giddens

1.Strukturasi adalah sebuah dualitas bukan dualisme

Giddens berangkat dari kritiknya terhadap dualisme, beberapa contoh dualisme adalah Subjektivisme dan objektivisme, voluntarisme dan determinisme. Subjektivisme dan voluntarisme adalah suatu tendensi sudut pandang yang memprioritaskan tindakan atau pengalaman individu di atas gejala keseluruhan, sedangkan objektivisme dan determinisme sebaliknya yang memprioritaskan gejala keseluruhan di atas tindakan atau pengalaman individu. Bagi Giddens, kita tidak boleh terpelanting ke dalam salah satunya, kita harus tetap memperhatikan keterkaitan antara pelaku dan struktur. Inilah salah satu poros pemikiran utama Giddens. Selain itu dalil penting kedua dari Giddens adalah sentralitas ruang dan waktu. Untuk memahami pentingnya Giddens menyoroti masalah keterkaitan antara pelaku dan struktur, akan dikemukakan sedikit tentang kritiknya terhadap ilmu-ilmu fungsionalisme dan strukturalisme.

2.Kritik Giddens terhadap fungsionalisme

Salah satu contoh ilmu fungsionalisme adalah Marxisme Louis Althusser. Bagi Giddens, fungsionalisme memiliki tiga kelemahan atau cacat utama. Yang pertama bahwa kita sebagai anggota masyarakat bukan orang-orang dungu atau robot yang bertindak atau berfungsi sesuai dengan peran atau naskah. Yang kedua, bukan sistem sosial yang kebutuhannya harus terpenuhi, sistem sosial tidak memiliki kebutuhan, yang memiliki kebutuhan adalah para pelaku. Yang ketiga, fungsionalisme sering menafikkan atau menisbikan aspek ruang dan waktu. Hal ini berimplikasi kepada satu contoh yaitu kritik Giddens terhadap Marxisme klasik. Dalam marxisme, keterkaitan antara bagian-bagian (the parts) dengan keseluruhan (the whole) karena kebutuhan sistem kapitalis. Menurut Giddens, proses strukturasi dalam bentuk atau rupa praktik sosial terjadi karena proses interaksi yang terulang oleh pelaku konkrit dalam dimensi ruang dan waktu.

3.Kritik Giddens terhadap strukturalisme dan post-strukturalisme

Dalam strukturalisme, proses pemaknaan atau pencarian hakikat makna dari suatu kata bersifat manasuka (arbitrer). Misalnya untuk mengetahui arti kata presiden, orang boleh langsung mengaitkannya atau menafsirkannya dengan makna orang yang menjabat atau menduduki sebagai kepala pemerintahan. Tetapi orang juga boleh mengartikannya sebagai berikut : presiden berarti adalah bukan camat, lurah, bupati dan lain-lain. Atau dalam hal ini, orang boleh menafsirkannya dengan cara mengaitkannya dengan hal-hal lain.

Dalam post-strukturalisme, strukturalisme lebih diorientasikan ke dalam ilmu-ilmu sosial seperti yang dilakukan oleh Levi-Strauss. Baginya, untuk mencari sesuatu harus menemukan kode-kode tersembunyi di balik hal tersebut. Misalnya, untuk mengetahui gejala-gejala sistem kapitalisme dalam masyarakat, kita tidak meneliti para pelakunya tetapi sirkulasi modal yang berakumulasi di belakang masyarakat.

4.Persamaan antara fungsionalisme dan strukturalisme

Dari eksplanasi dua bab terakhir di atas, dapat kita ketahui terdapat kesejajaran atau persamaan antara fungsionalisme dan strukturalisme yaitu mengebawahkan subjek atau pelaku.

5.Teori Strukturasi Antonio Giddens

Bagi Giddens, pelaku dan struktur tidak dapat dipisahkan. Namun keterkaitan itu merupakan hubungan dualitas (timbal balik) bukan hubungan dualisme (pertentangan). Bagi Giddens, struktur adalah aturan (rules) dan sumber daya (sources) yang dibentuk dari dan akhirnya menghasilkan praktik sosial. Struktur juga tidak bisa dilepaskan dari aspek ruang dan waktu. Jika menurut Marx, pembagian masyarakat adalah berdasarkan cara produksi ekonomi dari tiap kelas masyarakat, Bagi Giddens adalah bagaimana tiap lapisan masyarakat menciptakan dimensi ruang dan waktu. Salah satu contohnya adalah modernitas dan globalisasi.

Menurut Giddens, aturan yang dimaksud tidak bersifat mengekang malah memberdayakan (enable). Itulah kenapa disebut Giddens sebagai sumber daya dan mediasi. Salah satu contohnya adalah ketika kita sedang mengendarai motor, saat kita akan belok kiri kita akan menyalakan lampu sen kiri. Orang di belakang kita akan mengerti bahwa kita akan berbelok ke kiri, itulah yang dinamakan dengan struktur.

Menurut Giddens, ada tiga gugus struktur besar yang ada dalam masyarakat, yaitu :

a.Struktur signifikansi, yaitu sebuah struktur yang mendasarkan pada pemaknaan. Struktur signifikansi dapat terlihat dari beberapa ilustrasi sehari-hari. Saat kita memaknai bahwa lampu merah adalah berhenti dan kita menghentikan kendaraan kita. Atau saat kita menyebut pengajar kita dengan guru adalah sebuah contoh signifikansi.

b.Struktur dominasi, dapat berupa dominasi ekonomi maupun politik

c.Struktur legitimasi, terlihat dari kepatuhan kita kepada polisi. Jabatan dan label polisi tersebut melegitimasi kekuasaan mereka terhadap masyarakat.

Ada juga penelitian dari aspek psikologis mengenai kognisi pikiran dan kepatuhan masyarakat terhadap struktur tersebut. Menurut Giddens ada tiga jenis kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat, yaitu :

a.Motif tak sadar, yaitu saat kita melakukan sebuah kepatuhan tanpa adanya sebuah pergumulan atau dialektika. Misalnya saat pegawai negeri pada masa orde baru memakai pakaian KORPRI setiap hari.

b.Kesadaran Diskursif, kesadaran ini terlihat ketika seumpama pegawai negeri tersebut ditanya mengapa dia memakai baju KORPRI. Apabila dia menjawab dia memakai baju KORPRI karena dia tahu bahwa hal itu adalah suatu bentuk pendukungan terhadap korporasi orde baru dan kalau dia tidak menurut akan mendapat resiko yang besar, maka itu adalah sebuah kesadaran diskursif.

c.Kesadaran praktis adalah sebuah kesadaran yang memberikan rasa aman. Dia tahu peraturan bahwa setiap tanggal 17 harus memakai baju KORPRI. Dia diam saat memasuki tempat ibadah. Melalui pengetahuan praktis ini kita tahu bagaimana melangsungkan hidup sehari-hari tanpa harus mempertanyakan terus menerus apa yang terjadi dan apa yang akan dilakukan. Kita tidak harus bertanya mengapa menghidupkan kompor ketika kita akan memasak atau mengapa menghentikan motor saat lampu merah. Rutinitas hidup personal dan sosial terbentuk dari kinerja gugus kesadaran ini. Kesadaran praktis ini merupakan kunci untuk memahami bagaimana praktik sosial kita lambat laun menjadi sebuah struktur. Reproduksi sosial tercipta lewat keterulangan praktik sosial yang jarang kita pertanyakan. Sama seperti rutinitas dan keterulangan praktik sosial dalam berlalu lintas yang menjadi struktur, praktik suap menyuap yang terus berulang di Indonesia akhirnya menjadi sebuah struktur KKN. Sehingga dalam menyelesaikan suatu masalah tidak bisa tidak masyarakat Indonesia selalu menggunakan cara-cara suap menyuap karena struktur tersebut sudah merasuk ke dalam tindakan dan praktik sosial kita.

Telah disinggung sebelumnya bahwa sentralitas ruang dan waktu atau dalam teori strukturasi disebut dengan perentangan ruang dan waktu merupakan elemen penting dalam pemikiran Giddens. Hubungan antara ruang-waktu dan tindakan merupakan sebuah hubungan ontologis. Hubungan keduanya bersifat kodrati dan menyangkut makna serta hakikat tindakan tersebut. Lugasnya, tanpa waktu dan ruang, tidak ada tindakan. Menonton film di bioskop (ruang) jarang disebut sebagai bekerja. Ataupun berada dalam sebuah pabrik (ruang) di sebelah mesin pengepakkan dari Jam 8 pagi sampai jam 4 sore (waktu) tidak bisa disebut sebagai berlibur.

Menurut Giddens, kooordinasi waktu dan ruang merupakan faktor sentral bagi keberadaan masyarakat ketimbang melihat cara-cara produksinya seperti dipaparkan oleh Marx. Berikut akan diberikan beberapa contoh dan ilustrasi tentang perbedaan antara masyarakat tradisional yang masih menggunakan aksis kesatuan ruang dan waktu dengan masyarakat modern yang sudah melakukan pemisahan atau pencabutan waktu dari ruang.

a.Pada zaman dahuku, orang berjualan harus bertemu pembeli pada waktu dan tempat yang sama. Pada zaman modern, orang bisa melakukan transaksi jual beli dalam hitungan menit (lewat telepon, internet, dll). Hal ini merupakan pencabutan waktu dari ruang.

b.Dalam Negara modern, kapasitas Negara atau pemerintah untuk memata-matai warganya sudah semakin tinggi. Presiden dapat memonitor dan mengintai kegiatan diskusi mahasiswa di suatu tempat yang berbeda dalam hitungan menit lewat BAKIN. Melalui kamera pengintai apa yang diperbuat buruh di pabrik dapat diketahui oleh supervisor yang berada 100 meter jauhnya.

c.Pelarian modal saat krisis finansial tahun 1997 dilakukan dngan cara memindah seluruh isi rekening bank di Indonesia ke bank di Swiss, Singapura, Australia dan Nauru dalam tempo atau hitungan menit bahkan detik.

Memang benar bahwa pencabutan waktu dari ruang bergantung pada teknologi. hal ini oleh Giddens disebut dengan industrialisme. Namun industrialisme hanyalah salah satu dari beberapa dimensi refleksivitas-institusional modernitas. Ada empat penyangga atau refleksivitas-institusional dari sebuah modernitas, yaitu :

a.kapitalisme

b.Negara-bangsa

c.Militer

d.IndustrialismeIlusi Yang Lebih Benar Daripada Kebenaran

Masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat penonton atau pemirsa televisi, saat ini sedang kecanduan salah satu jenis acara yang namanya reality show. Hampir semua stasiun televisi swasta khususnya Trans TV, SCTV, RCTI, ANTV, dan mungkin juga yang lainnya memiliki acara reality show andalannya masing-masing. Trans TV memiliki reality show yang menurut saya paling laris ditonton masyarakat, yaitu Termehek-mehek, dan sekarang yang juga sedang digandrungi adalah Realigi. SCTV juga sekarang memiliki program reality show yang sedang booming yaitu Tukar Nasib. Selain itu, SCTV juga sejak dahulu menjadi gudangnya program reality show yang masyarakat konsumennya adalah kalangan anak muda macam Backstreet, Mak Comblang, Pacar Pertama, dan Kontak Jodoh. ANTV memiliki reality show HTS (Hubungan Tanpa Status), dan stasiun-stasiun televisi swasta yang lain mungkin juga memiliki acara reality show yang semacam itu.

Sepertinya tidak hanya saat ini saja atau baru dimulai tahun 2008 atau 2009 saja acara-acara reality show mulai menjamur di stasiun-stasiun televisi. Belum lama ini masih segar di ingatan kita terdapat beberapa acara reality show yang menjual pengalaman-pengalaman mistis kliennya macam Dunia Lain di TRANS TV, Uka-Uka di TPI, Fenomena Alam Gaib di Lativi (sekarang TV One), dan sebagainya.

Yang jadi masalah adalah produser-produser acara tersebut dan pihak stasiun televisi yang bersangkutan berani menggunakan label atau kedok kata reality untuk menyebut acara mereka sebagai reality show. Reality Show menurut saya mempunyai arti sebuah program acara di televisi yang mendokumentasikan realitas dan kejadian nyata dari pengalaman hidup seseorang yang kemudian dipertontonkan kepada masyarakat secara benar dan objektif. Karena Reality berarti realita maka di dalamnya jelas harus terkandung unsur kebenaran. Realita berbeda dengan fakta. Realita mempunyai signifikansi kejadian atau peristiwa yang sebenarnya atau apa adanya, sedangkan fakta adalah versi pemaparan atau versi penceritaan yang berbeda-beda dari tiap orang atau tiap narasumber yang berbeda pula. Fakta dapat berbeda-beda karena tanggapan dan kemampuan resepsi orang juga berbeda-beda tergantung dari latar sosial yang membentuk karakternya.

Selain karena sudah tidak adanya transparansi serta penjelasan yang menyertai acara-acara reality show tersebut untuk mengesposisikan bahwa dokumentasi tersebut sudah dibumbui adegan-adegan yang hiperbolis agar kisahnya semakin menarik, bumbu-bumbu cerita tersebut sekarang terkesan tidak mendidik dan pihak produser beserta tim kreatif hanya mementingkan sisi komersialitas belaka. Bagaimana tidak? Setiap reality show yang biasanya tema dan alur naratifnya selalu monoton ( bisa dipastikan temanya berkutat masalah pencarian orang hilang, entah anggota keluarganya, pacarnya, orang ketiga yang mengganggu hubungan asmaranya, dll) pasti selalu dibumbui dengan kekerasan dan kebencian. Wajar saja jika para generasi muda sekarang semakin tidak bisa rasional dan tidak dapat bertindak secara bijaksana tetapi hanya mengedepankan emosi kalau sedang menghadapi masalah. Masyarakat kita tiap hari selalu dicekoki tayangan-tayangan televisi yang berpotensi menanamkan bibit-bibit kebencian dan kedengkian.

Media pertelevisian di Indonesia saat ini semakin kehilangan fungsi dan tanggung jawabnya yang seharusnya bertujuan untuk memajukan budaya dan daya pikir sumber daya manusianya, malah berubah menjadi alat pembodohan. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Atau lebih tepatnya lagi, mengapa hal tersebut dibiarkan terjadi? Jawabannya lagi-lagi adalah : uang. Akumulasi uang dalam sistem globalisasi memang mengubah peran alat komunikasi dan teknologi informasi serta merevolusinya dengan sangat cepat. Seperti kata Giddens, Revolusi komunikasi dan penyebaran teknologi informasi sangat erat kaitannya dengan proses-proses globalisasi ( Giddens, 2002 : 35).

Melalui reality show, para kapital penguasa media elektronik tersebut menjual kisah dan pengalaman hidup seseorang yang akan ditambahi dan dibumbui dengan adegan-adegan kekerasan yang tentu saja telah menjadi selera masyarakat Indonesia karena masyarakat Indonesia juga semakin hari semakin termanjakan oleh unsur-unsur negatif seperti itu. Fenomena ini dinamakan Erich Fromm dengan watak pasar (marketing character), karena ia didasarkan atas pengalaman diri sendiri sebagai barang dagangan, dan atas pengalaman nilai seseorang bukan sebagai nilai guna melainkan sebagai nilai tukar. Mahkluk hidup menjadi barang dagangan di pasar kepribadian (Fromm, 1988 : 79).

Dan lihatlah, betapa liciknya para pengusaha dunia pertelivisian tersebut memanipulasi common sense atau pikiran awam masyarakat Indonesia yang polos dan lugu (atau mungkin bebal) dengan dalih-dalih sosial dan kemanusiaan. Ada reality show yang berdalih mencari anggota keluarga kliennya yang hilang, ada pula reality show yang suka mengeksploitasi kemiskinan dan penderitaan rakyat kecil demi mempertinggi tingkat rating tayangan mereka. Masalah lain lagi muncul namun tidak kita sadari. Saya menangkap fenomena ini dari dua tayangan reality show, yaitu Tukar Nasib di SCTV dan Duit Kaget (dulu Uang Kaget) di RCTI.

Jika memang kedua acara tersebut memang tanpa manipulasi dan rekayasa, sungguh betapa tidak mendidiknya kedua acara tersebut. Menurut hemat saya, program Tukar Nasib malah akan membuat pihak keluarga yang miskin menjadi malas dan berleha-leha dengan kekayaan sesaat mereka yang merupakan hasil pertukaran nasib selama beberapa hari dengan pihak keluarga kaya. Kecenderungan lain kadang muncul dalam acara Tukar Nasib. Pihak keluarga miskin kadang malah memiliki tanggapan yang sebaliknya terhadap kekayaan dan fasilitas mewah baru mereka. Mereka tidak terbiasa dengan rutinitas ala pengusaha dan tidak terbiasa hidup dengan lifestyle dan fasilitas yang serba mewah. Oleh karena itu, pihak keluarga miskin tersebut lebih memilih untuk kembali ke kehidupan miskin mereka, mensyukuri kemiskinan mereka ( yang bisa jadi disebabkan oleh kemalasan mereka atau pun sangat mungkin disebabkan oleh tidak sehatnya perekonomian Indonesia yang menyebabkan banyak rakyat kecil kalah dan tersingkirkan oleh dominasi pengusaha Indonesia yang memiliki banyak akses dan kuasa) tanpa mau mencoba berusaha mengubahnya.

Dalam acara Duit Kaget juga terjadi hal serupa. Jika memang benar Helmi Yahya sang raja reality show ingin menolong orang-orang miskin, sepertinya cara membagi-bagikan uang dengan nominal tertentu secara tiba-tiba lalu menyuruh mereka membelanjakannya dalam batas waktu tertentu sangatlah tidak baik dan tolol. Kecenderungan pertama adalah ketidakefisienan dan ketidakefektifan pembelanjaan uang karena kapasitas waktu berpikir yang sangat terbatas. Jumlah uang yang bisa dikatakan sangat banyak bagi orang miskin tersebut kadang digunakan untuk membeli barang-barang yang remeh-temeh dan tidak prinsipil serta tidak sesuai dengan kebutuhan mereka, padahal kadang barang-barang remeh-temeh dan tidak prinsipil tersebut harganya cukup mahal. Kecenderungan kedua adalah tidak adanya sisi positif dengan cara membelanjakan uang secara tiba-tiba seperti itu, atau dengan kata lain adalah tidak adanya sisi pemberdayaan (empowerment). Alangkah lebih baik jika prosedur acara tersebut diubah. Instruksi terhadap pihak penerima uang tersebut harus diubah menjadi : uang tersebut harus digunakan untuk usaha atau bisnis yang dapat memberikan keuntungan bagi mereka, dapat memberdayakan tenaga mereka, serta dapat melatih keterampilan dan potensi mereka. Dan kepada mereka sebelumnya diberikan penyuluhan dan pelatihan tentang pengembangan usaha mikro. Maka dari itu, yang akan akan dipertontonkan dan disiarkan dan menjadi bagian dari reality show ini adalah jalannya usaha atau bisnis yang mulai dijalankan oleh pihak penerima uang selama beberapa hari permulaan.

Tetapi tentu saja, dalam bisnis di dunia tayangan televisi, Helmi Yahya dan para sejenisnyalah yang menjadi pakar dan rajanya. Tentu saja mereka akan berpikir seribu kali untuk melakukan tindakan altruis atau perbuatan baik seperti itu. Tujuan utama mereka adalah uang, dan kalaupun mereka ingin memberikan kebaikan kepada orang lain, harus yang berdasarkan asas simbiosis mutualisme atau sama-sama menguntungkan ( kamu dapat duit, saya dapat duit lebih banyak). Jadi mungkin bagi mereka, acara-acara amal secara instan di televisi tanpa aspek pemberdayaan (empowerment) dirasa lebih komersil dan menghasilkan uang daripada bentuk acara reality show yang saya sarankan dan eksplanasikan di atas.

Reality show, jika kita akan menganalogikannya dengan sebuah film, tidak jauh beda dengan film dokumenter. Para penggagas dan para pekerja di dalamnya adalah orang-orang yang ahli dan mengerti strategi pasar. Seperti kata Vivian Idris, seorang co-produser film dokumenter bahwa membuat film dokumenter memang tak mudah. Film dokumenter sama saja dengan mengungkapkan dan meminjam hidup orang lain untuk ditonton khalayak ramai. Seluruh tim produksi harus turun langsung ke lapangan ( Hemawati dalam Gong. No 106 tahun 2009 : 39).

Dengan berat hati saya juga mengatakan bahwa para pekerja dalam program-program reality show juga bisa disebut sebagai seniman karena mereka memiliki konsepsi yang unik mengenai realita atau kebenaran itu. Bagi mereka, kebenaran subyektif dalam kesadaran seniman ini, dengan sendirinya harus diwujudkan secara obyektif publik. Di sinilah kecerdasan seniman diuji. Ia harus menyusun pola atau struktur bagi temuan kebenarannya itu. Metode seni semacam itu juga lah yang akhirnya menghasilkan aktor-aktor dan aktris-aktris dalam termehek-mehek dan sebagainya yang memainkan peran masing-masing. Aktor dan aktris ini tidak mau tampak membohongi publiknya. Ia tahu betul setiap gerak, ekspresi mimik, gestur, cara berbicara, cara berpakaian, dan lain-lain sehingga aktingnya benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah ( Sumardjo dalam Gong. No 85 tahun 2006 : 29).

Telah sangat sedikit kita membahas tentang aspek produksi acara reality show serta latar belakang dan motivasi yang melingkupinya, sekarang kita akan kembali lagi ke aspek konsumen. Bagaimana dengan kita? Apakah kita hanya bertindak sebagai masyarakat konsumen? Masyarakat yang hanya pasif menerima tayangan-tayangan dari televisi? Masyarakat yang mau-mau saja disuapi ilusi-ilusi yang ditawarkan oleh Termehek-mehek dan kawan-kawannya. Masyarakat yang merasa terhibur ketika uang dihambur-hamburkan untuk pelegitimasian sebuah eksploitasi kemiskinan sementara uang tersebut tidak efektif larinya ke mana. Sementara para pengusaha-pengusaha tayangan televisi yang mendapat keuntungan, malah kita yang terhibur dan semakin terhibur.

Atau mungkin benar kata Baudrillard, bahwa kita memang masyarakat konsumen yang di dalamnya tidak pernah ada tontonan atau tayangan televisi yang cabul karena kecabulan dimulai ketika tidak ada lagi tontonan, tidak ada lagi panggung, teater, ilusi, ketika segala sesuatunya menjadi tembus pandang, dapat dilihat, diekspos dalam informasi dan komunikasi yang mentah dan tidak dapat dielakkan ( Baudrillard, 2006 : 12 ).

Ya, kita benar-benar masyarakat konsumen yang tolol dan bebal jika sudah tak dapat lagi membedakan antara cabul dan tidak cabul. Kita adalah masyarakat konsumen jIka sudah tidak dapat lagi menyadari kalau terdapat pertunjukkan teater di atas panggung yang besar dalam acara Termehek-mehek dan kawan-kawannya. Kita adalah masyarakat konsumen jika sudah tidak dapat lagi membedakan antara ilusi dan kebenaran. Lebih parah lagi kalau ilusi itu kita rasakan lebih benar daripada kebenaran itu sendiri.

Daftar Pustaka

Baudrillard, Jean. 2006. Ekstasi Komunikasi. Yogyakarta : Kreasi Wacana

Fromm, Erich. 1988. Memiliki dan Menjadi : Tentang Dua Modus Eksistensi. Jakarta : LP3ES

Giddens, Anthony. 2002. The third Way : Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Jacob Sumardjo dalam Gong No. 85 tahun 2006 : 29

Retno Hemawati dalam Gong No. 106 tahun 2009 : 39