hegemoni dan kontra hegemoni penguasaan cendana di kabupaten
TRANSCRIPT
220
BAB VII
DAMPAK HEGEMONI DAN KONTRA HEGEMONI
PENGUASAAN CENDANA
Hegemoni dan kontra hegemoni sebagai sebuah ekspresi legalitas kekuasaan
pihak penguasa atau pemerintah dan reaksi ketidaksetujuan masyarakat memunculkan
berbagai dampak terhadap cendana, masyarakat, dan pemerintah. Apapun bentuk-
bentuk dan faktor-faktor yang menyebabkan hegemoni dan kontra hegemoni
dipastikan memunculkan berbagai dampak. Dampak-dampak akibat hegemoni dan
kontra hegemoni tidak dapat dihindarkan dalam aktivitas penguasaan cendana di
Kabupaten Timor Tengah Selatan. Di satu sisi hegemoni pemerintah dan kontra
hegemoni masyarakat memunculkan dampak yang cenderung bersifat negatif,
khususnya terhadap cendana selaku media hegemoni maupun kontra hegemoni,
terhadap pemerintah selaku penghegemoni, maupun masyarakat selaku pihak yang
dihegemoni dan melakukan kontra hegemoni. Namun di sisi lain juga memunculkan
berbagai dampak yang relatif membawa manfaat positif bagi perkembangan cendana,
pemerintah, maupun masyarakat.
7.1 Dampak Hegemoni Pemerintah
Hegemoni pemerintah yang menguasai cendana secara sepihak tanpa memberi
peluang memadai kepada masyarakat memunculkan perlawanan masyarakat yang
dilakukan secara manifes maupun simbolik. Bentuk perlawanan (kontra hegemoni)
221
yang dilakukan cenderung berupa reaksi yang menyasar langsung kepada tanaman
cendana sebagai objek sasaran. Masyarakat tidak mampu melakukan perlawanan
secara terbuka karena adanya legitimasi kekuasaan yang dimiliki pemerintah. Melalui
keabsahan (legitimacy) dan kekuasaan (power), pemerintah dapat melakukan tindak
kekerasan (coercion) terhadap masyarakat yang melakukan penentangan secara
manifes. Di samping itu, sisa-sisa feodalisme masa lampau telah membentuk karakter
masyarakat yang taat pada pemimpin. Ketaatan pada pemimpin menghambat
perlawanan masyarakat terhadap pemerintah secara terbuka. Jadi, hegemoni
pemerintah menbawa berbagai dampak baik negatif maupun positif terhadap tanaman
cendana, masyarakat, dan pemerintah. Identifikasi dampak hegemoni pemerintah
diuraikan dalam sub bab berikut.
7.1.l Terhadap Cendana
Dampak hegemoni pemerintah dalam penguasaan cendana tampak jelas
adanya keterlibatan pemerintah dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan
keberadaan cendana. Kelangkaan populasi cendana mendorong pemerintah
melakukan proteksi hegemonis melalui beberapa bentuk peraturan pemerintah. Sejak
tahun 2005, setelah peraturan pemerintah memberi peluang hak penguasaan kepada
masyarakat tampaknya memberi angin segar yang berdampak positif terhadap
keberadaan cendana. Hal ini tampak jelas dari adanya kerjasama pemerintah dengan
berbagai komponen masyarakat terkait upaya pelestraian cendana. Pengawasan
222
terhadap cendana semakin efektif, cendana semakin diperhatikan, dan strategi
pelestarian dan pengembangan cendana semakin jelas.
7.1.l.1 Pengawasan Cendana Semakin Efektif
Hegemoni pemerintah dalam penguasaan cendana memungkinkan aparatus
pemerintah melakukan observasi dan pengawasan secara menyeluruh melalui
peraturan pemerintah yang telah terlegitimasi secara hukum. Legalitas hukum
mempertahankan otoritas pemerintah melakukan kontrol terhadap keberadaan
cendana maupun aktivitas masyarakat. Termasuk kekuasaan mengontrol, menangkap,
dan menghukum anggota masyarakat yang mengambil cendana tanpa izin
pemerintah. Di sini, terjadi proses pembentukan disiplin manusia sebagai individu-
individu dan anggota masyarakat yang taat dan patuh pada aturan yang dikonstruksi
oleh badan-badan pengawasan pemerintah. Pengawasan didukung aparatus hukum
yang bergerak melakukan pemaksaan aktif berupa sangsi denda maupun hukuman
kurungan atau penjara. Hukuman kurungan (penjara) dan denda sejumlah uang
dijatuhkan bagi pelanggar adalah bentuk kekuasaan hegemoni represif yang
diterapkan dalam penguasaan cendana.
Dampak hegemoni pemerintah dalam penguasaan cendana tampak jelas
adanya pengawasan pemerintah terhadap keberadaan cendana. Khususnya
pengawasan terhadap cendana yang tumbuh di tanah-tanah milik negara dan sebagian
kecil di kawasan tanah ulayat adat. Pengawasan pemerintah terhadap cendana
dijalankan dalam aktivitas berikut.
223
1) Pemerintah melakukan registrasi cendana. Melalui registrasi, setiap tanaman
cendana yang ada di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan dicatat dan
diketahui jumlahnya secara pasti. Keberhasilan regestrasi memudahkan
pemerintah melakukan pengawasan dan menelusuri keberadaannya apabila
cendana itu hilang.
2) Pemerintah melakukan pengawasan secara berkala. Cendana yang sudah
diregistrasi kemudian diawasi secara berkala. Pengawasan bermanfaat untuk
mengetahui perkembangan kondisi cendana, mengetahui cendana sudah layak
ditebang, terkena penyakit, atau hilang Apabila cendana sudah layak ditebang
segera disiapkan waktu penebangan yang tepat, jika mengalami tanda-tanda
penyakit segera dicatat dan dilaporkan untuk melakukan tindakan pencegahan.,
apabila hilang segera ditelusuri untuk mengetahui pencuri dan membawanya ke
jalur hukum yang berlaku.
7.1.l.2 Cendana Mulai Diperhatikan
Setelah sekian lama cendana menjadi ajang pertarungan kekuasaan,
pemerintah dan beberapa kalangan masyarakat mulai menaruh perhatian terhadap
cendana. Banyak kalangan berupaya melestarikan cendana dan mengembalikan
kejayaan cendana seperti masa lampau. Mereka umumnya sangat mengkhawatirkan
cendana akan punah dari habitatnya kemudian melakukan berbagai kegiatan terkait
upaya pelestarian dan pengembangan cendana. Perhatian terhadap cendana dilakukan
berbagai pihak dengan dengan berbagai aktivitas berikut.
224
1) Simposium dan seminar
Simposium dan seminar merupakan ajang mencari masukan dan solusi mengatasi
permasalahan penguasaan cendana. Beberapa diskusi dan seminar telah
diselenggarakan dan berhasil mempresentasikan beberapa permasalah cendana.
Seminar penting dalam rangka mendukung perekonomian pemerintah otonomi
daerah, telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Litbang
Departemen Kehutanan Nusa Tenggara, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI). Seminar ini bertujuan menghimpun berbagai informasi tentang
cendana untuk mencari peluang-peluang baru pengembangan cendana yang dapat
dimanfaatkan sebagai komoditas utama perekonomian daerah otonomi di Nusa
Tenggara Timur. Seminar-tersebut melibatkan berbagai komponen masyarakat
membahas peran cendana sebagai komoditi utama perekonomian menuju
peningkatan ekonomi masyarakat dalam bingkai otonomi daerah.
2) Keterlibatan lembaga swasta dalam pengembangan cendana.
Keterlibatan lembaga swasta direalisasikan dalam pembentukan lembaga-lembaga
swadaya masyarakat dan yayasan yang melakukan pengembangan dan budidaya
cendana. Misalnya, lembaga swadaya masyarakat yang berada di bawah
perusahaan milik Bob Hasan melakukan pengembangan cendana namun
mengalami kendala terkait pembebasan tanah adat. Yayasan Masyarakat Sejahtera
(YMS) ikut terlibat dalam budidaya cendana ialah mendampingi dan membina
masyarakat mengembangkan cendana. Yayasan ini juga memprogramkan
pengembangan cendana melalui pengadan benih cendana dan melakukan usaha
225
pembenihan. Di samping itu beberapa perusahaan yang berderak di bidang
penyulingan minyak cendana berupaya membudidayakan beberapa tanaman
cendana di areal lokasi perusahaan. Misalnya, perusahaan penyulingan minyak
cendana di Desa Supul, telah menanam beberapa tanaman cendana di areal tanah
milik perusahaan bersangkutan.
3) Terbitnya buku tentang cendana
Selain tindakan nyata yang dilakukan pemerintah maupunlembaga swasta,
beberapa kalangan memperhatikan cendana dengan menerbitkan buku terkait
keberadaan cendana. Buku-buku tersebut umumnya mengupas permasalahan
cendana mulai dari perjalanan sejarah, penguasaan, komoditas, namun yang
paling sering dibahas adalah solusi dan rekomendasi mengatasi permasalah
cendana. Di antaranya, berjudul Cendana (Santalum Album L.) Sumber Daya
Daerah Otonomi Nusa Tenggara Timur Jurnal Ilmiah Berita Biologi Volume 5
Nomor 5 Agustus 2001; Cendana, Deregulasi, dan Strategi Pengembangannya ;
Agroforestry Berbasisi Cendana Sebuah Paradigma Konservasi Flora Berpotensi
di Lahan Kering NTT.
7.1.l.3 Strategi Pelestarian dan Pengembangan Cendana Semakin Jelas
Perhatian berbagai pihak terhadap pengembangan cendana tampak dengan
dibentuknya beberapa strategi pengembangan dan pelestarian cendana. Pihak-pihak
yang telibat dalam usaha pelestarian dan pengembangan meliputi pemerintah sebagai
pemangku kepentingan utama dalam upaya pelestarian dan pengembangan cendana.
226
Lembaga swasta, seperti LSM dan yayasan berperan memberi dukungan bagi
keberhasilan kegiatan pelestarian dan pengembangan budidaya cendana. Masyarakat,
khususnya petani cendana merupakan pelaksana teknis kegiatan pelestarian dan
pengembangan cendana.
Beberapa dampak hegemoni dan kontra hegemoni terhadap cendana yang
telah digagas meliputi beberapa strategi berikut.
1) Strategi Perlindungan dan Pelestarian Cendana
Beberapa kalangan, khususnya para peneliti dan akademisi mengusulkan strategi
pengembangan dan pelestarian cendana dengan menyempurnakan teknik
budidaya dan pengembangan model-model budidaya intensif. Penyempurnaan
teknik budidaya dilakukan melalui penetapan teknologi, sedangkan budidaya
intensif dilakukan melalui strategi pengembangan dan pelestarian cendana secara
in situ (pengembangan cendana di habitatnya atau pun di hutan dan tanah negara)
maupun ex situ (pengembangan cendana di luar habitatnya atau di lahan-lahan
milik masyarakat).
2) Strategi Pemanfaatan
Cendana merupakan komoditas unggulan yang diperdagangkan lintas daerah
bahkan lintas negara maka dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai ekonomi
cendana sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Strategi
pemanfaatan cendana berlangsung optimal apabila didukung upaya peningkatan
produksi cendana berkelanjutan pembangunan hutan tanaman cendana.
227
3). Strategi Pemasaran
Pelaksanaan tata niaga cendana masih dirasakan adanya praktek-praktek yang
merugikan petani cendana. Misalnya, Bupati Timor Tengah Selatan menetapkan
harga dasar penjualan kayu cendana yang menjadi acuan pemerintah untuk
menentukan jumlah pemungutan iuran hasil cendana, tetapi harga jual di pasaran
jauh lebih tinggi dari harga yang ditetapkan pemerintah. Beberapa kalangan
menginginkan strategi perdagangan cendana diserahkan pada mekanisme pasar
dengan kembalikan hak-hak rakyat yang telah dirampas oleh pemerintah pada
cendana masa lalu. Strategi peningkatan pemasaran cendana meliputi peningkatan
kualitas produk cendana, pengembangan pasar cendana, dan peningkatan
intensitas promosi produk cendana.
7.1.2 Terhadap Pemerintah
Pemerintah selaku lembaga negara memiliki peran penting mengatur
mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik pemerintahan negara. Kekuasaan
negara dan pemerintah meliputi seluruh kehidupan sosial dan ditemukan dalam
berbagai bidang kehidupan manusia sebagi individu maupun masyarakat. Dalam
kaitan ini pemerintah selaku aparatus negara memiliki hak legal dan kekuasaan
hegemonis untuk mengatur masyarakat. Kekuasaan hegemonis dan hak legal
mengatur kehidupan masyarakat diperkuat kekuatan hukum. Dengan demikian,
negara dan pemerintah adalah pusat radiasi hegemoni (Patria dan Arif, 2003:7).
228
7.1.2.1 Pemerintah Memiliki Otoritas Menguasai Cendana
Sejalan dengan tanggung jawab pemerintah terkait pengelolaan sumber daya
alam yang mengedepankan keadilan dan keselarasan hubungan manusia dengan alam,
maka pengelolaan alam sepatutnya memperhatikan aspek pelestarian. Komitmen
pemerintah melestarikan alam merupakan suatu keharusan sebagai pemegang otoritas
kekuasaan. Selaku penguasa wilayah, pemerintah telah menguasai cendana untuk
meningkatkan pendapatan daerah. Pedapatan daerah tersebut nantinya digunakan
untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang secara tidak langsung memenuhi
kebutuhan prasarana masyarakat secara maksimal dan bermuara pada upaya
kesejahteraan masyarakat. Namun dalam beberapa hal, peraturan pemerintah tidak
dapat diterima atau ditentang masyarakat karena dianggap gagal mengakomodir
kepentingan masyarakat dan tidak memberi kontribusi kesejahteraan ekonomi
masyarakat itu sendiri. Meskipun demikian, hegemoni pemerintah melalui peraturan
yang ditetapkan, memungkinkan pemerintah memiliki hak otoritas menguasai
cendana terutama cendana yang tumbuh di lahan milik negara.
Strategi pengembangan dan pelestarian cendana yang ditempuh pemerintah
ditempuh sebagai berikut.
1) Program penanaman cendana di kantor pemerintah. Penanaman cendana di
halaman kantor pemerintah merupakan salah satu upaya melestarikan cendana di
Pulau Timor. Program ini telah dimulai sekitar tahun 1990-an yang
mengharapkan semua kantor di tingkat provinsi maupun kabupaten menanam
minibal satu pohon cendana di halaman kantor. Program ini relatif berhasil,
229
hampir sebagian besar kantor pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur di
Kupang terdapat pohon cendana. Program penanaman cendana juga berlanjut
sampai ke tingkat kabupaten, misalnya halaman kantor Bupati Timor Tengah
Selatan dan kantor Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan.
2) Program penamanan cendana melibatkan masyarakat. Program pengembagan dan
pelestarian cendana di beberapa desa dengan melibatkan masyarakat sudah mulai
dirintis. Program ini adalah salah satu progran Pemda NTT untuk mengembalikan
NTT sebagai provinsi cendana. Pemda NTT menargetkan hutan cendana seluas
3.500 hektar dalam periode tahun 2009-2014, dengan melakukan pengembangan
dan penanaman cendana sebanyak 4,75 pohon selama lima tahun. Terkait
program tersebut, Dinas Kehutanan Kabupaten TTS mencanangkan penanaman
pohon cendana di beberapa desa antara lain di Desa Ponain, Nule, Polen, Bu’at,
Ajaobaki. Di desa-desa tersebut pemerintah membangun areal hutan cendana
sekaligus melakukan pembibitan dan penanaman. Upaya penanaman tersebut
menjadi momentum kerjasama pemerintah dengan masyarakat dalam rangka
mendorong pengembalian kejayaan cendana di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
khususnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
7.1.2.2 Pemerintah Menggalakkan Pelestarian Cendana
Sejalan dengan tanggung jawab pemerintah tentang pengelolaan sumber daya
alam yang mengedepankan keadilan dan keselarasan hubungan manusia dengan alam,
maka pengelolaan alam sepatutnya memperhatikan aspek pelestarian. Dalam kaitan
230
ini, komitmen pemerintah untuk melestarikan alam merupakan suatu keharusan
sebagai pemegang otoritas kekuasaan. Perlawanan masyarakat dan kekhawatiran
berbagai kalangan tampaknya telah menggugah nurani pemerintah untuk
melestarikan cendana. Beberapa strategi pengembangan dan pelestarian cendana yang
sudah ditempuh sebagai berikut.
1) Program Penanaman Cendana di Kantor Pemerintah
Penanaman cendana di halaman kantor pemerintah merupakan salah satu upaya
melestarikan cendana di Pulau Timor. Program ini telah dimulai sekitar tahun
1990-an yang mengharapkan semua kantor di tingkat provinsi maupun kabupaten
menanam minibal satu pohon cendana di halaman kantor. Program ini relatif
berhasil, hampir sebagian besar kantor pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur
di Kupang terdapat pohon cendana. Program penanaman cendana juga berlanjut
sampai ke tingkat kabupaten, misalnya halaman kantor Bupati Timor Tengah
Selatan dan kantor Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan.
2) Program Penamanan Cendana Melibatkan Masyarakat.
Program pengembagan dan pelestarian cendana di beberapa desa dengan
melibatkan masyarakat sudah mulai dirintis. Program ini adalah salah satu
progran Pemda NTT untuk mengembalikan NTT sebagai provinsi cendana.
Pemda NTT menargetkan hutan cendana seluas 3.500 hektar dalam periode tahun
2009-20014, dengan melakukan pengembangan dan penanaman cendana
sebanyak 4,75 pohon selama lima tahun. Terkait program tersebut, Dinas
Kehutanan Kabupaten TTS mencanangkan penanaman pohon cendana di
231
beberapa desa antara lain di Desa Ponain, Nule, Polen, Bu’at, Ajaobaki. Di desa-
desa tersebut pemerintah membangun areal hutan cendana sekaligus melakukan
pembibitan dan penanaman. Upaya penanaman tersebut menjadi momen
kerjasama pemerintah dengan masyarakat dalam mendorong pengembalian
kejayaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
7.1.2.3 Pemerintah Mulai Memperhatikan Aspirasi Masyarakat
Hegemoni pemerintah dan kontara hegemoni masyarakat dalam penguasaan
cendana mengharuskan pemerintah memperhatikan aspirasi masyarakat. Terlebih-
lebih setelah pemerintahan otomi daerah berlaku penuh di tingkat kabupaten,
masing-masing pemerintah kabupaten diberi hak mengelola semua potensi daerah
sesuai aspirasi masyarakat. Hak mandiri untuk mengelola wilayah mengharuskan
pemerintah mengkaji ulang peraturan penguasaan cendana yang telah ditetapkan. Era
reformasi dan otonomi daerah, cendana masih di bawah kontrol pemerintah
kabupaten, namun telah mulai memberi peluang penguasaan kepada masyarakat,
khususnya pada tanaman cendana yang tumbuh di lahan-lahan milik masyarakat.
Pemerintah berkomitmen memajukan kesejahteraan masyarakat dan memperhatikan
kepentingan masyarakat, meskipun belum sepenuhnya terwujud. Beberapa tindakan
pemerintah yang mulai memperhatikan aspirasi masyarakat sebagai berikut.
1) Pemerintah Merevisi Peraturan Penguasaan Cendana
Hegemoni pemerintah yang memunculkan perlawanan masyarakat membawa
dampak positif terhadap peraturan pemerintah, khususnya peraturan pemerintah
232
dalam penguasaan cendana. Peraturan tentang penguasaan cendana yang tidak
sejalan dengan aspirasi masyarakat mulai dikaji ulang dan direvisi. Sejak
penyerahan penguasaan cendana kepada pemerintah kabupaten, pemerintah
Kabupaten Timor Tengah Selatan telah melakukan revisi peraturan daerah terkait
penguasaan cendana seperti tabel 7.1.
Tabel 7.1
Revisi Peraturan Pemerintah dalam Penguasaan Cendana
No Peraturan Cakupan Materi
1 Peraturan
Daerah
Kabupaten
Timor Tengah
Selatan Nomor
25 tahun 2001
Mengatur
Penguasaan
Cendana di
Kabupaten Timor
Tengah Selatan
Cendana yang tumbuh di atas tanah negara
menjadi milik pemerintah Kabupaten TTS.
Cendana yang tumbuh di tanah milik
masyarakat menjadi hak milik pemilik tanah
dengan pembagian 90 % untuk pemilik
cendana dan 10 % pemerintah
2 Keputusan
Bupati Timor
Tengah Selatan
Nomor 8
Tahun 2002
penetapan harga
dasar penjualan
kayu cendana
Harga jual kayu teras kelas A (kelas bagus
dan wangi) mimimal Rp 2.500 perkilogram
Kayu gubal (kayu kelas rendah) minimal Rp
800 perkilogram
3 Peraturan
Bupati Timor
Tengah Selatan
Nomor 12
Tahun 2005
Mekanisme dan
sistem
pemungutan hasil
hutan cendana
pada lahan milik
masyarakat
Setiap orang atau badan usaha yang
melakukan pemungutan cendana pada lahan
miliknya harus memiliki izin dari Bupati
melalu Dinas Kehutanan.
Pemerolehan izin harus melalui Kepala
Desa, Camat, Dinas Kehutanan, dan Bupati.
Setiap orang dan atau badan usaha yang
menyimpan, menimbun cendana wajib
dilengkapi surat keterangan sahnya hasil
hutan (SKSHH) dari Dinas Kehutanan.
2) Pemerintah Berhati-Hati Menetapkan Peraturan
Belajar dari pengalaman masa lalu, peraturan penguasaan cendana dapat berhasil
apabila didukung oleh tertib hukum yang tidak merugikan masyarakat. Dengan
demikian pemerintah mulai berhati-hati menerapkan peraturan. Pemerintah mulai
233
memperhatikan kepentingan masyarakat. Kehati-hatian pemerintah menetapkan
peraturan terkait penguasaan cendana tampak dalam upaya pemerintah
mengembalikan kepemilikan cendana kepada masyarakat. Peraturan Pemerintah
Kabupaten Timor Tengah Selatan menetapkan langkah-langkah pembagian
kepemilikan cendana yang dianggap ideal dengan pembagian 90 %-10 % sejak
tahun 2005. Konsekuensi yang harus dipikul pemerintah adalah berkurangnya
kontribusi cendana terhadap pendapatan daerah.
7.1.3 Terhadap Masyarakat
Keterlibatan masyarakat dalam penguasaan cendana telah terjadi sejak zaman
pemerintahan lokal sampai dengan masa kolonial. Pada masa ini kerajaan lokal
cendana dikuasai oleh usif, namun usif juga memberi hak penguasaan kepada
pemimpin-pemimpin klen yang memiliki kekuasaan atas wilayah adat. Pasa masa
kolonial penguasaan cendana tetap berada di tangan usif, tetapi masih dalam
pengawasan pemerintah kolonial. Penjualan produksi cendana dikuasa oleh
pemerintah kolonial, dan para usif diwajibkan menjual cendana hanya kepada
pemerintah kolonial. Dampak positif hegemoni dan kontra hegemoni penguasaan
cendana terhadap masyarakat.
7.1.3.1 Memotivasi Minat Masyarakat Mengembangkan Cendana
Hegemoni pemerintah dalam penguasaan cendana, mengharuskan pemerintah
melakukan penanaman cendana di beberapa tempat. Upaya demikian diharapkan
234
dapat memotivasi masyarakat menanam cendana secara mandiri. Perhatian
masyarakat terhadap cendana mulai tumbuh setelah pemerintah daerah menetapkan
aturan yang memberi peluang hak penguasaan cendana kepada masyarakat.
Ditetapkannya peraturan tersebut, tampaknya cendana memberi angin segar bagi
pengembangan dan kelestarian tanaman cendana. Perlahan-lahan, sedikit-demi sedikit
minat masyarakat mengembangkan cendana mulai tumbuh. Di beberapa desa telah
ada usaha masyarakat mengembangkan cendana, misalnya di Amarasi Kupang
ditanam 550 pohon cendan berusia 3-4 tahun hasil penanaman sejak tahun 2007.
Cendana itu milik 110 keluarga yang tergabung dalam 11 kelompok petani cendana
(Suara Pembaruan, Jumat 27 Februari 2009 : 28).
Di desa Nule dan Desa Polen beberapa masyarakat mengembangkan usaha
penanaman dan pembibitan cendana untuk dijual kepada masyarakat umum. Bahkan
beberapa anggota masyarakat mulai mengurus izin awal penanaman cendana di
Kantor Dinas Kehutanan. Beberapa anggota masyarakat di Desa Polen, Supul, Nule,
dan Mnelalete mulai mencoba menanam cendana pada lahan-lahan miliknya terutama
lahan-lahan kosong yang tidak jauh dari pantauan si pemilik. Dengan harapan
beberapa puluh tahun ke depan hasil panen kayu cendana dapat digunakan sebagai
penunjang perekonomian keluarga.
Usaha-usaha pelestarian dan pemanfaatan telah dikembangkan pemerintah
untuk mengembalikan kejayaan kayu cendana mendapat respon positif dari
masyarakat. Sinergi antara pemerintah dengan masyarakat memungkinkan
pelaksanaan upaya konservasi cendana dan menepis kerisauan berbagai kalangan
235
menganggap cendana akan punah. Upaya pengembangan mengembalikan kejayaan
cendana yang dijalankan pemerintah dapat terlaksana jika ada toleransi dan kerjasama
antara pemerintah dengan masyarakat. Pengembangan cendana yang melibatkan
masyarakat bermanfaat untuk menepis anggapan bahwa wangi cendana kini hanya
tinggal cerita, dan berupaya mengharumkan kembali cendana Nusa Tenggara Timur
termasuk Kabupaten Timor Tengah Selatan (Kompas, Rabu, 16 Desember 2009 : 5).
7.1.3.2 Mendukung Peningkatan Peluang Ekonomi Masyarakat
Sejak zaman kolonial hingga Bangsa Indonesia merdeka, penguasaan dan
pengelolaan cendana berada di tangan pemerintah sedangkan masyarakat hanya
sebagai pemelihara dan juru tebang dengan imbalan tidak memadai. Penguasaan
cendana oleh pemerintah selama ini hanya dimanfaatkan untuk meningkakan
perekonomian pemerintah daerah. Hampir setengah atau 40 % pendapatan daerah
berasal dari produksi kayu cendana. Kontribusi ekonomi cendana yang relatif besar
terhadap pemerintah daerah, ternyata belum mampu memberi manfaat ekonomi
secara langsung kepada masyarakat. Tidak sedikit masyarakat merasa tidak
memperoleh manfaat bahkan dirugikan dengan pola-pola penguasaan demikian.
Belakangan ini, beberapa kalangan telah tahu bahwa cendana yang tumbuh di
lahan milik menjadi hak pemilik lahan. Beberapa anggota masyarakat mulai
menanaman dan membudidayakan cendana sebagai salah satu mata pencaharian
sampingan untuk meningkat perekonomian keluarga. Misalnya, Bapak Jamelan dari
236
Desa Polen membuka usaha pembibitan cendana untuk di jual kepada masyarakat
yang berminat. Biji cendana ia semai menjadi bibit dalam kantong plastik (polybag),
kemudian bibit cendana yang telah tumbuh dengan tinggi sekitar 5-10 centimeter
dijual dengan harga Rp. 2.500 perkantong.
Usaha serupa juga di lakukan oleh Bapak Agustinus Banantuan di Desa Nule
untuk menunjang ekonomi. Ia membudidayakan cendana untuk dijual kepada
masyarakat yang membutuhkan maupun kepada Dinas Kehutanan. Menurut
penuturan Bapak Agustinus Banantuan (Bapak Agus), Dinas kehutanan Kabupaten
Timor Tengah Selatan sering membeli anakan cendana untuk ditanam di hutan dan
tanah milik negara. Sama seperti Bapak Jamelan, Bapak Agus menjual cendana
dengan harga bervariasi tergantung besar kecilnya tanaman. Semakin besar dan
berkualitas tanaman tersebut maka harga semakin tinggi.
“Dinas sengaja beli bibit karena tidak mau tanggung resiko. Kita sengaja
tanam cendana untuk kita jual. Tapi tanam bibit cendana sulit, harus ada
tanaman lain untuk kasi makan. Pelihara susah kurang air dia
kering....sedikit ada hujan bibit busuk,......mati” (wawancara dengan
Agustinus Banantuan, tanggal 12 Agustus 2010).
Nilai ekonomi cendana yang tinggi memberi keuntungan besar kepada masyarakat
apabila dikelola dengan baik dan proses penguasaan atau regulasi berjalan secara adil
dan memberi porsi seimbang dan batas-batas kepemilikan yang jelas antara
masyarakat dan pemerintah. Sebab, cendana yang merupakan tanaman komoditas
unggulan, adalah salah satu hasil produksi kayu mewah yang dapat dijual dengan
takaran kilogram bukan gelondongan. Nilai ekonomi cendana yang tinggi dan
237
pengembalian hak epemilikan kepada masyarakat, tampaknya telah mendorong minat
masyarakat mulai tergerak menanam cendana seperti dikemukakan Johanes Huan
berikut.
“Di kampung saya tanam beberapa pohon cendana di belakang rumah,
agar dapat diawasi langsung, agar tidak hilang. Cendana saya tanam
sekitar tahun 1980-an untuk diambil daun dan batangnya sebagai obat.
Saat itu saya tidak berfikir nanti cendana itu diambil pemerintah atau
bukan, yang saya pikir hanya dapat bahan obat. Sekarang telah layak
panen dan pemerintah izinkan masyarakat punya cendana. Tapi saya tidak
tebang dan tidak jual itu cendana. Cendana sengaja saya simpan untuk
jual saat harga tinggi atau saat perlu uang. Sekarang saya punya empat
puluh pohon cendana tahun 2005 untuk topang ekonomi keluarga nanti”
(wawancara dengan Johanes Huan, pemilik cendana, tanggal 14 Agustus
2010).
Pernyataan di atas menunjukkan minat masyarakat menanam cendana mulai tumbuh
Meskipun hasil penanaman sekarang baru bisa dinikmati 20-40 tahun mendatang, itu
dianggap investasi untuk diwariskan kepada anak cucu. Seperti dikemukakan Bapak
Jonanes Huan salah seorang pegawai Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah
Selatan yang memiliki kebun cendana sengaja tidak menjual cendana yang dimiliki.
Sebab ia yakin nilai ekonomi cendana di masa-masa mendatang akan tetap tinggi dan
mampu meningkatkan perekonomian masyarakat.
7.2 Dampak Kontra Hegemoni Masyarakat
Sama halnya dengan hegemoni pemerintah, kontra hegemoni masyarakat
terkait penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan memunculkan
berbagai dampak terhadap cendana, masyarakat, maupun pemerintah. Kontra
238
hegemoni yang merupakan bentuk perlawanan masyarakat terhadap pemerintah
cenderung berupa perilaku negatif yang membawa dampak signifikan terhadap
terhadap populasi cendana, pemerintah, maupun masyarakat. Dampak perlawanan
masyarakat ternyata menarik perhatian berbagai pihak terhadap cendana, masyarakat,
maupun pemerintah. Kontra hegemoni masyarakat ternyata memicu upaya
pengembangan cendana yang melibatkan masyarakat, serta adanya kemauan
pemerintah merevisi peraturan yang tidak mendukung aspirasi masyarakat. berbagai
dampak kontra hegemoni masyarakat diuraiak dalam sub bab berikut.
7.2.1 Terhadap Cendana
Cendana sebagai produk unggulan Kabupaten Timor Tengah Selatan, menjadi
ajang hegemoni pemerintah dan kontra hegemoi masyarakat. Hegemoni pemerintah
dalam penguasaan cendana ditetapkan dalam berbagai bentuk peraturan pemerintah
yang cenderung bersifat menghegemoni masyarakat. Masyarakat pun melakukan
penentangan (kontra hegemoni) yang diekspresikan dengan berbagai bentuk perilaku
simbolik maupun secara manifes. Perilaku manifes maupun simbolik yang dilakukan
masyarakat membawa berbagai dampak terhadap cendana, masyarakat, maupun
pemerintah. Cendana mengalami dampak terparah karena cendana sebagai objek
hegemoni dan kontra hegemoni tidak mampu menentang kehendak manusia. Cendana
tidak mampu bertahan di antara dua kepentingan, yakni kepentingan pemerintah dan
kepentingan masyarakat. Beberapa dampak kontra hegemoni masyarakat terhadap
keberadaan cendana dapat diidentifikasi sebagai berikut.
239
7.2.1.1 Populasi Cendana Semakin Merosot
Penebangan cendana terus berlanjut dan memunculkan kekhawatiran akan
lenyapnya cendana dari Pulau Timor. Kemudian pemerintah menetapkan peraturan
yang bersifat menghegemoni dan menguasai semua aktivitas yang berhubungan
dengan keberadaan cendana. Ternyata, hegemoni penguasaan cendana oleh
pemerintah belum mampu menyelesaikan masalah kemerosotan populasi cendana.
Hegemoni pemerintah justru memunculkan beberapa permasalahan baru yang
merangsang masyarakat berperilaku negatif sebagai bentuk kontra hegemoni
masyarakat terhadap hegemoni pemerintah yang menguasai semua cendana.
Beberapa kontra hegemoni masyarakat yang menyebabkan kemerosotan populasi
cendana dapat diuraikan sebagai berikut.
1) Keengganan masyarakat mengembangkan cendana akibat kurangnya dukungan
pemerintah. Pemerintah dianggap tidak memberi peluang kepada masyarakat
untuk mengembangkan cendana, karena secara legalitas formal pemerintah
dianggap tidak menciptakan iklim yang kondusif. Peraturan pemerintah dianggap
telah mengkebiri hak masyarakat untuk mengembangkan cendana ke arah yang
bersifat komersial.
2) Pemusnahan anakan cendana, bermula dari peraturan pemerintah yang menguasai
cendana secara total tanpa memberi porsi memadai kepada masyarakat.
Pemusnahan anakan cendana yang tumbuh liar di lahan-lahan milik merupakan
jalan pintas yang ditempuh masyarakat guna menghindari kerugian material dan
menghindari permasalahan hukum dikemudian hari. Kekuatan hukum yang
240
menyertai peraturan pemerintah dapat menyeret pemilik lahan jika cendana
tersebut mati atau pun hilang.
3) Sikap apatis terhadap cendana, muncul berkaitan dengan anggapan masyarakat
bahwa kebijakan peraturan daerah tentang penguasaan kayu cendana tidak
menguntungkan masyarakat. Bahkan dianggap sebagai bentuk monopoli yang
semata-mata menguntungkan pemerintah. Sikap acuh masyarakat tampak dengan
adanya sikap tidak merasa ikut memiliki ketika menemukan cendana beserta
anakan-anakan cendana yang ada di lahan-lahan negara maupun yang tumbuh di
lahan masyarakat. Secara moral mereka merasa tidak ikut memiliki dan tidak
memiliki tanggung jawab untuk ikut serta menjaga dan memeliharanya.
4) Sikap pesimis, juga berawal dari peraturan pemerintah yang menguasai
keseluruhan cendana dan tidak memberi keleluasaan masyarakat untuk memiliki
tanaman cendana secara mandiri. Hal memunculkan perilaku apatis (tidak
mempunyai harapan baik) terhadap cendana, karena tidak merasakan keuntungan
ekonomi langsung dari keberadaan pohon cendana tersebut. Bahkan mereka
menganggap tidak menanam cendana adalah salah satu cara menjauhkan diri dari
permasalahan.
Keengganan masyarakat mengembangkan cendana yang direalisasikan
dengan pemusnahan anakan cendana, sikap apatis, maupun pesimis menghambat
perkembangan populasi cendana. Dalam perjalanan waktu, populasi cendana semakin
menyusut dan dikhawatirkan akan lenyap. Menurut catatan Penerintah Daerah
Kabupaten Timor Tengah Selatan, populasi pohon cendana tahun 1973 berjumlah
241
178.995 pohon. Tahun 1977 tercatat sekitar 92.939 pohon, dan tahun-tahun
selanjutnya diperkirakan menurun drastis. Pada tahun 1996 Kabupaten Timor Tengah
Selatan hanya mampu menghasilkan 1.744.161 kilogram kayu cendana. Tahun
berikutnya terus-menerus mengalami kemerosotan dan hanya mampu menghasilkan
sekitar 25.650 kilogram per tahun. Keadaan demikian memaksa penerintah melarang
penebangan cendana, namun peraturan itu ternyata belum mampu meningkatkan
populasi cendana secara optimal.
7.2.1.2 Munculnya Stigma Negatif Terhadap Cendana
Hegemoni pemerintah terkait penguasaan cendana memunculkan stigma
negatif terhadap sosok tanaman cendana. Stigma negatif muncul sejak berlakunya
peratuan pemerintah yang menguasai semua tanaman cendana. Terutma pasca
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 1986, maka sosok pohon cendana
semakin semakin dibenci. Cendana dianggap kayu milik istana, kayu milik
pemerintah, kayu setan, atau pun kayu yang mendatangkan permasalahan.
Sesungguhnya persengketaan penguasaan cendana untuk mencapai tujuan
tertentu telah ada sejak masa lampau, sejak dikenalnya cendana sebagai komoditas
perdagangan dunia. Perjalanan sejarah menmbuktikan bahwa cendana telah menebar
aroma kekuasaan dan konflik kepentingan sejak dulu hingga sekarang. Sejak masa
lampau potensi alam Timor seperti kayu cendana, madu, dan lilin menjadi ajang
pertarungan kekuasaan pihak-pihak yang ingin memperoleh keuntungan.
Persengketaan memperebutkan hak monopoli penguasaan cendana terus berlanjut
242
selama berabad-abad, dan bergerak mengikuti alur zaman. Penguasa atau raja-raja
lokal, pedagang asing, dan penguasa kolonial sangat berkepentingan dalam perebutan
kekuasaan tersebut. Masing-masing pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut
disertai tendensi tertentu sehingga keberadaan cendana menjadi selalu ajang
perebutan kekuasaan antara penguasa lokal, penguasa kapital, dan penguasa kolonial.
Sengketa penguasaan cendana yang berkepanjangan memunculkan stigma
negatif terhadap sosok pohon cendana itu sendiri. Cendana pun menjadi korban
akibat ketidaknyambungan pemikiran antara pemerintah dengan masyarakat. Maka,
cendana dianggap sebagai kayu istana, kayu milik pemerintah, kayu bermasalah, kayu
berkah, sekaligus kayu setan. Masing-masing stigma negatif terkait sosok cendana
dilatarbelakangi beberapa penyebab berikut.
1) Cendana sebagai kayu istana
Cendana sebagai kayu istana bermula dari strata masyarakat di Kabupaten Timor
Tengah Selatan masa lampau yang terkelompok menjadi kelompok-kelompok
tertentu. Golongan tertinggi adalah golongan usif terdiri atas para raja dan
keluarganya sebagai penguasa wilayah. Ia beserta keluarganya menempati rumah
disebut sonaf (istana) dan menjalankan pemerintahan dari dalam sonaf dibantu
beberapa orang kepercayaan. Usif (raja) dan sonaf (istana) memiliki posisi sosial
tertinggi dan memiliki hak absolut mengatur wilayah kekuasaannya termasuk
menguasai cendana di wilayah tersebut. Pola pemerintahan tradisional dan sistem
kepercayaan masyarakat memposisikan usif dan sonaf selaku penguasa wilayah
dan penguasa cendana. Hanya usif yang memiliki kuasa terhadap cendana, dan
243
setiap penebangan pohon cendana harus sepengetahuan usif. Dengan demikian
cendana pada masa lampau identik dengan puteri sonaf atau puteri rumah yang
tetap setia menjaga menopang dan menopang kebutuhan seisi rumah dan
menjadikan cendana sebagai tiang penyangga perekonomian sonaf.
2) Cendana sebagai kayu milik pemerintah
Stigma terkait anggapan cendana sebagai kayu milik pemerintah (hau plenat)
berangkat dari pola-pola penguasaan cendana yang memposisikan pihak penguasa
sebagai pemilik cendana. Pola-pola demikian telah berlangsung sejak zaman
kerajaan lokal, zaman kolonial, zaman kemerdekaan, bahkan sampai sekarang.
Pada masa lampau cendana dimonopoli oleh penguasa lokal (usif), pemerintah
kolonial (Portugis, Belanda, Jepang). Pada masa kemerdekaan dan Orde Baru
dikuasai oleh pemerintah, sehingga muncul sebutan kayu cendana sebagai hau
plenat (kayu milik pemerintah). Era reformasi dan otonomi daerah pun masih
menempatkan cendana di bawah kontrol pemerintah kabupaten. Setiap orang atau
badan usaha yang akan melakukan pemungutan cendana pada lahan miliknya
harus memiliki izin mulai dari tingkat desa camat, dinas kehutanan, dan terakhir
bupati sebagai pihak yang mengeluarkan izin. Pola-pola regulasi dan birokrasi
demikian tetap memposisikan cendana sebagai hau plenat (kayu milik
pemerintah).
3) Cendana sebagai kayu bermasalah
Cendana sebagai kayu bermasalah (hau malasi) bermula dari pemberian posisi
sosial relatif tinggi. Permasalahan terkait penguasaan cendana telah ada sejak
244
zaman kolonial sampai sekarang. Portugis maupun Belanda digunakan sebagai
ajang pengerukan keuntungan ekonomi sehingga memunculkan berbagai masalah.
Bahkan, pemerintah Belanda menetapkan denda dan hukuman penjara bagi orang
yang menyebabkan kayu cendana mati, terbakar, penebangan liar, dan mencuri
kayu cendana. Pola-pola demikian tetap berlangsung setelah masa kemerdekaan
sampai dengan masa reformasi. Bahwa pemerintah menguasai semua cendana
berupa tanaman hidup atau pun telah mati di dalam daerah Timor. Bagi orang
yang menebang, merusak, memiliki, memperdagangkan, dan menyangkut kayu
cendana tanpa izin diancam hukuman kurungan atau denda
4) Cendana sebagai kayu setan
Stigma yang menganggap cendana sebagai kayu setan (hau nitu), merupakan
bentuk kontradisksi peran cendana sebagai kayu berkah dan memiliki kekuatan
magis (hau meni). Sebagai kayu berkah yang memiliki kekuatan magis, cendana
digunakan sebagai salah satu bahan persembahan kepada uis neno dan uis pah.
Bahkan aroma wangi cendana diyakini dapat mengusir roh jahat. Di samping itu,
di balik sosok cendana berkembang mitos bahwa cendana merupakan penjelmaan
roh atau arwah Puteri Sonba’i yang sengaja dibunuh dan dikorbankan dalam
upacara tertentu untuk menghindarkan rakyat dari derita kelaparan akibat
kemarau panjang dan kegagalan panen. Cendana sebagai kayu berkah pun
dipertentangkan menjadi hau nitu (kayu setan). Stigma hau nitu muncul sejalan
dengan perubahan keyakinan masyarakat dan sosok cendana yang seringkali
memunculkan kesengsaraan atau penderitaan hidup. Cendana yang semula
245
dipercaya mempunyai kekuatan magis dan mendatangkan kebahagianan, justru
mendatangkan kesengsaraan hidup. Masyarakat yang memiliki cendana tanpa izin
pemerintah dipastikan akan mengalami kesusahan yakni mendapat ganjaran
hukuman atau denda. Berdasarkan kondisi demikian, cendana yang semula
dianggap kayu berkah (hau meni) berubah menjadi kayu setan (hau nitu).
7.2.2 Terhadap Pemerintah
Pemerintah selaku lembaga negara memiliki peran penting mengatur
mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik pemerintahan negara. Kekuasaan
negara dan pemerintah meliputi seluruh kehidupan sosial dan ditemukan dalam
berbagai bidang kehidupan manusia sebagi individu maupun masyarakat Dalam
kaitan ini pemerintah selaku aparatus negara memiliki hak legal dan kekuasaan
hegemonis untuk mengatur masyarakat. Kekuasaan hegemonis dan hak legal
mengatur kehidupan masyarakat diperkuat kekuatan hukum. Dengan demikian,
negara dan pemerintah adalah pusat radiasi hegemoni (Patria dan Arif, 2003:7).
Negara dan pemerintah selaku pusat hegemoni memiliki wewenang mengatur
kehidupan masyarakat melalui berbagai bentuk peraturan pemerintah yang harus
ditaati masyarakat. Termasuk peraturan pemerintah terkait penguasaan cendana di
Kabupaten Timor Tengah Selatan. Pemerintah menggunakan kekuasaannya untuk
mempengaruhi, bahkan memaksa masyarakat mematuhi peraturan yang telah
ditetapkan. Hal ini menjadi akar kontra hegemoni di kalangan masyarakat sebagai
246
pihak yang dikuasai dan memunculkan stigma negatif terhadap kinerja pemerintah,
yang didentifikasi sebagai berikut.
7.2.2.1 Pemerintah Dianggap Tidak Adil dalam Penguasaan Cendana
Hegemoni pemerintah atau penguasa terhadap cendana sesuangguhnya telah
berlangsung sejak berabad-abad lampau, sejak berkembangnya masa keusifan
(kerajaan) sampai dengan masa reformasi dan otonomi daerah sekarang ini. Praktek
hegemoni menonjol era tahun 1980-an setelah penguasaan cendana berada di tangan
pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hegemoni kepemilikan cendana tertuang
dalam Peraturan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 16 tahun 1986
yang menetapkan bahwa semua cendana yang berada di wilayah Provinsi Nusa
Tenggara Timur menjadi hak milik pemerintah yang digunakan untuk meningkatkan
pendapatan daerah. Pemerintah menguasai semua tanaman cendana yang ada di
dalam maupun di luar kawasan hutan negara termasuk penanaman, pemeliharaan,
perlindungan, pemungutan hasil, ekploitasi, pengangkutan, penjualan, dan penelitian
diatur oleh pemerintah.
Sesuai peraturan itu, masyarakat tidak memperoleh hak penguasaan cendana
meskipun cendana itu tumbuh di lahan milik masyarakat. Justru, cendana yang
tumbuh di lahan milik masyarakat harus dijaga dan dipelihara oleh pemilik lahan agar
tidak mati atau hilang. Apabila cendana itu hilang atau mati maka yang menanggung
resiko adalah pemilik lahan. Pemilik lahan dianggap lalai memelihara aset negara
atau pemerintah. Masyarakat yang lalai memelihara milik pemerintah hingga
247
menyebabkan cendana terpotong, hilang, atau mati dapat dijatuhi hukuman penjara
atau denda sejumlah uang sesuai peraturan yang berlaku.
Peraturan demikian sangat memberatkan masyarakat dan menganggap
pemerintah tidak berperilaku adil terhadap masyarakat. Melalui peraturan yang
diciptakan, pemerintah telah monopoli penguasaan cendana sedangkan masyarakat
tidak mendapat hak untuk mengambil bagian dalam penguasaan cendana tersebut.
Pemerintah dianggap mengambil keuntungan secara sepihak dan sebaliknya memberi
beban dan penderitaan kepada masyarakat. Ketidakadilan pemerintah dirasakan pula
ketika berlangsung operasi sahabat untuk mendata jumlah kayu cendana yang beredar
di masyarakat. Operasi sahabat dilakukan karena pemerintah memprediksi bahwa
produksi cendana yang ada di masyarakat cukup banyak dan tidak dilaporkan kepada
pemerintah. Dalam operasi sahabat itu, pemerintah berhak menyita kayu temuan
yang tidak dilaporkan oleh masyarakat.
Ketidakadilan pemerintah dengan memonopoli cendana dan menggelar
operasi sahabat, direspon secara negatif oleh masyarakat dengan melakukan
melakukan penebangan liar, perdagangan gelap, dan pemunahan anakan cendana
secara tersembunyi untuk menghindari jeratan hukum. Kondisi demikian berlangsung
dalam rentang waktu relatif lama, dan membawa dampak negatif terhadap populasi
cendana. Cendana pun semakin langka dan harga jual cendana melambung tinggi.
Akibatnya, cendana semakin diburu dan menimbulkan daya atraktif untuk menebang
cendana. Cendana muda yang belum berteras ditebang tergiur nilai ekonomi, apalagi
cendana yang tidak dijaga secara intensif dipastikan akan hilang tanpa bekas.
248
Kondisi rawan cendana dan rasa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat
secara perlahan-lahan dihapus dengan melakukan revisi peraturan pemerintah.
Peraturan Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan telah menetapkan pembagian
jelas antara cendana yang ada di lahan milik negara dengan cendana di lahan milik
masyarakat. Meskipun demikian, pemerintah tetap memegang kendali terkait
mekanisme dan sistem pemungutan hasil hutan cendana pada lahan milik masyarakat.
Unsur-unsur hegemoni pemerintah masih ada dalam peraturan Bupati Timor
Tengah Selatan Nomor 12 Tahun 2005, tentang mekanisme dan sistem pemungutan
hasil hutan cendana pada lahan milik masyarakat. Peraturan tersebut menetapkan
bahwa setiap orang atau badan usaha yang akan melakukan pemungutan hasil hutan
cendana pada lahan miliknya harus memiliki izin dari Dinas Kehutanan. Pemelohan
izin harus melalui kepala desa tempat kayu cendana itu tumbuh untuk mendapat surat
keterangan kepemilikan kayu cendana yang sah. Berdasarkan surat keterangan
tersebut kemudian dapat mengajukan izin kepada Dinas kehutanan yang kemudian
dilanjutkan kepada bupati. Selanjutnya, bupati menunjuk instansi terkait untuk
melakukan pemeriksaan lokasi dan layak atau tidaknya cendana ditebang. Setiap
orang dan atau badan usaha yang menyimpan, menimbun cendana wajib dilengkapi
surat keterangan dari Dinas Kehutanan.
7.2.2.2 Pemerintah Dianggap Belum Berhasil Melestarikan Cendana.
Pemberlakuan peraturan pemerintah yang menghegemoni pada dasarnya,
bertujuan menghindarkan cendana dari ambang kepunahan. Tetapi aplikasi ide-ide
249
tersebut bertolak belakang dengan ide-ide awal, justru hak penguasaan cendana
dimanfaatkan sebagai komoditas unggulan dalam rangka meningkatkan pendapatan
asli daerah tanpa memberi hak kepada masyarakat. Ini memunculkan berbagai bentuk
respon masyarakat yang cenderung bersifat negatif. Respon negatif tersebut justru
menyebabkan populasi cendana semakin punah sehingga dituntut untuk memperbaiki
regulasi penguasaan cendana yang sejalan dengan prinsip-prinsip pelestarian cendana.
Dalam konteks situasi sosial masyarakat lokal, peraturan pemerintah yang
menghegemoni tidak sejalan dengan prinsip-prinsip budaya lokal. Masyarakat selaku
pihak yang terhegemoni memandang ketetapan pemerintah hanya menguntungkan
pihak pemerintah semata dan merugikan masyarakat. Walaupun demikian,
pemerintah selaku pihak yang berkuasa cenderung menjadi dominan karena berkat
kekuasaan yang mereka miliki itu, mereka berada dalam posisi yang menguntungkan
untuk mendesak atau memaksa pihak lain (masyarakat) untuk menerima dan
mentaati peraturan pemerintah terkait penguasaan cendana
Meskipun telah menetapkan dan memberlakukan peraturan yang bersifat
menghegemoni dengan menguasai dan mengontrol aktivitas cendana, pemerintah
dianggap tidak mampu melestarikan populasi cendana sesuai tujuan awal untuk
melestarikan populasi cendana. Populasi cendana terus-menerus mengalami
kemesotan, antara tahun 1970-1997 menunjukkan bahwa kemerosotan populasi
cendana berlangsung signifikan. Hal ini disebabkan pemerintah kurang konsisten
menangani masalah cendana, khususnya setelah cendana menjadi urusan pemerintah
provinsi seperti dikemukakan Cornelis Tapatab.
250
“Pada masa itu ketika saya masih jabat bupati....ya..... sekitar tahun 1980-
an masalah cendana jadi urusan gubernur. Saat itu penebangan cendana
meningkat tajam, terjadi penebangan liar, pencurian didukung oknum-
oknum aparat keamanan. Gubernur lakukan operasi sahabat untuk cari
tahu jumlah cendana yang ada di masyarakat. Dalam operasi sahabat itu,
gubernur instruksikan penyitaan kayu cendana yang disimpan masyarakat
dan belum diregistrasi pemerintah. Pemerintah juga libatkan pengusaha
untuk beli kayu cendana sitaan. Naah....sejak itu pemerintah dengan
pengusaha terlibat jual beli cendana, penebangan semakin meningkat,
kayu yang belum punya isi (teras) juga mereka tebang. Situasi ini ancam
kelestarian cendana” (wawancara dengan Cornelis Tapatab di So’e tanggal
11 Agustus 2010).
Masa kejayaan cendana masa lampau telah berbalik, Kabupaten Timor
Tengah Selatan yang dikenal sebagai penghasil cendana terbesar telah mulai
menyusut. Pada tahun 1973 dicatat bahwa populasi kayu cendana di Kabupaten
Timor Tengah Selatan berjumlah 178.995 pohon terdiri dari pohon tua 45.192 pohon,
pohon muda 31.160, anakan 192.193 pohon. Pada tahun 1997 dicatat bahwa jumlah
ponon tua tersisa 3.170 pohon, pohon muda 13.796 pohon, semai 38,935 pohon, dan
sapihan 37.038 pohon. Seluruh populasi cendana itu tersebar di seluruh kecamatan
dengan jumlah yang berbeda-beda tiap kecamatan. Angka populasi tertinggi berada di
Kecamatan Amanuban Barat dengan jumlah 841 pohon tua (Oematan, 2006 : 21-22).
Kemerosotan populasi cendana yang berkepanjangan tanpa ada usaha-usaha
memadai guna memulihkannya menyebabkan kelangkaan cendana serta mahalnya
harga pasaran kayu cendana. Eksploitasi cendana semata-mata mengandalkan tegakan
pohon cendana alami tanpa diikuti upaya penanaman yang memadai. Pemerintah
sendiri tidak memiliki anggaran memadai untuk melaksanakan pembudidayaan. Ini
membuktikan bahwa pemerintah tidak mampu melestarikan ataupun meningkatkan
251
populasi cendana. Padahal pemerintah telah mengatur pelaksanaan kebijakan dan
pengawasan pemerintah mengelola semua aspek terkait dengan eksistensi kayu
cendana mulai dari penelitian, pembibitan, penanaman, pengawasan, perlindungan,
sampai dengan penjulan hasil tebangan. Bahkan pemerintah telah menetapkan
larangan penebangan cendana, dan upaya mutakhir pemerintah mengembalikan hak
penguasaan cendana kepada masyarakat.
Pelaksanaan kebijakan itu telah dituangkan dalam butir-butir peraturan, dan
didukung kegalitas kekuasaan serta kekuatan hukum, tetapi populasi cendana tidak
kunjung meningkat. justru mengalami penurunan terus-menerus. Data Dinas
Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur mencatat bahwa tahun 1987 jumlah
populasi cendana 544.952 pohon, tahun 1997 sebanyak 250.940 pohon. Data ini
menunjukkan dalam kurun waktu 10 tahun telah terjadi penyusutan populasi cendana
sebanyak 46.05 %. Berdasarkan catatan tersebut dapat disimpulkan bahwa
pemerintah belum mampu melestarikan cendana.
7.2.3 Terhadap Masyarakat
Hegemoni pemerintah yang kurang memberi rasa keadilan kepada masyarakat
lokal telah mendorong masyarakat melakukan kontra hegemoni. Kontra hegemoni
merupakan bentuk penenetangan masyarakat terhadap wewenang pemerintah yang
dianggap memonopoli dan tidak memberi hak memadai kepada masyarakat.
penentangan atau kontra hegemoni yang dilakukan berupa perlawnan secara nyata
maupun tidak nyata. Secara nyata (manifes) masyarakat melakukan penentangan
252
dengan melakukan aksi penerabasan anakan cendana maupun pemotongan cendana
tanpa izin. Sedangak secara tidak nyata cenderung bersifat acuh dan pesimis. Kontra
hegemoni demikian memunculkan dampak dan opini negatif berikut.
7.2.3.1 Masyarakat Dianggap Tidak Taat Peraturan.
Sesungguhnya karakteristik masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan
mengidikasikan karakter yang taat pada aturan adat dan patuh terhadap pemimpin.
Ketaatan pada adat dan kepatuhan pada pemimpin dipengaruhi konsep-konsep sisa-
sisa feodalisme masa lampau yang menganggap golongan usif sebagai golongan
masyarakat yang dihormati dan dijadikan panutan. Ketaatan pada adat tampak pula
ketika seorang mafefa (juru bicara adat) menjelaskan masalah adat harus
menggunakan bahasa daerah, mengenakan pakaian tradisional beserta segala
atributnya, didahului makan sirih pinang dan minum sofi (tuak). Ketika proses
pembicaraan adat itu berlangsung, harus didampingi kepala adat yang berasal dari
keluarga mantan usif selaku pengawas agar mafefa tidak sampai membuka aib adat.
Di samping itu, aturan adat menekankan bahwa masyarakat lokal merupakan
pemegang hak ulayat tanah adat. Masyarakat yang memiliki tanah sebatas wilayah
adatnya berhak memanfaatkan dan mengambil berbagai hasil alam di wilayah
tersebut. Termasuk mendapatkan bagian hasil cendana yang tumbuh di wilayah ulayat
adat tersebut. Mereka terlibat dalam ritual penebangan cendana dan berhak ikut
memperoleh hasil tebangan. Setelah zaman kemerdekaan hak ulayat itu diambil alih
pemerintah. Pengambilalihan tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat
253
lokal. Masyarakat tetap menganggap mereka punya hak terhadap tanah ulayat adat
dan berhak memperoleh hasil dari tanah ulayat tersebut. Mereka tetap memanfaatkan
sumberdaya hutan di wilayah adatnya karena masih menganggap “mengambil harta
dari negeri sendiri” yang menjadi haknya (Universitas Nusa Cendana, 2001: 69).
Sesuai pemahaman masyarakat, pengambilan cendana di tanah ulayat adat dianggap
perilaku wajar dan menjadi hak masyarakat pemilik ulayat adat tersebut. Perilaku
yang masih sering dilakukan sampai saat ini adalah mengambil kulit batang cendana
untuk dimanfaatkan sebagai obat dan campuran sirih pinang.
Pemerintah menganggap perilaku demikian sebagai pencurian atau tidak taat
pada peraturan. Berdasarkan peraturan pemerintah, pengambilan cendana dalam
bentuk apapun dianggap sebagai perilaku tidak taat pada aturan. Mereka dapat
didenda atau dijatuhi hukuman penjara walaupun sekedar memotong ranting cendana.
Perilaku masyarakat yang tidak taat terhadap peraturan muncul karena dua hal yakni;
1) Kebijakan pemerintah tidak memberi hak penguasaan cendana kepada masyarakat.
Pemerintah menguasai semua tanaman cendana baik di hutan milik negara
maupun di lahan masyarakat. Di Kabupaten Timor Tengah Selatan, sebagian
besar cendana tumbuh di lahan-lahan masyarakat yang menjadi tanah ulayat adat.
Sebagai tanah adat masyarakat merasa berhak mengambil cendana di kawasan
tanah adat, perilaku demikian dianggap tidak mentaati peraturan .
2) Peraturan pemerintah tidak sejalan dengan aturan adat.
Peraturan adat memberi peran kepada masyarakat lokal khususnya para amaf
selaku kepala klen untuk menguasai sumber daya alam di wilayah tertentu dan
254
memanfaatkannya untuk kesejahteraan seluruh anggota klennya. Sebaliknya,
peraturan pemerintah menganggap semua cendana di seluruh wilayah di Pulau
Timor adalah milik pemerintah. Ketidaksinkronan antara peraturan adat dengan
peraturan pemerintah memunculkan perilaku masyarakat yang memusnahkan
anakan cendana, menebang cendana tanpa izin pemerintah, tidak melaporkan
tegakan cendana yang tumbuh di tanah ulayat adat, sehingga masyarakat lokal
dianggap tidak taat pada peraturan.
7.2.3.2 Masyarakat Dianggap Tidak Peduli Terhadap Cendana
Stigma yang menganggap masyarakat tidak peduli terhadap cendana
dilatarbelakangi ketetapan pemerintah yang kurang mencerminkan rasa keadilan.
Usaha-usaha masyarakat untuk ikut menguasai dan memanfaatkan potensi alam
terhalang peraturan pemerintah yang menguasai semua cendana di semua wilayah,
baik di lahan milik negara maupun di lahan miliknya sendiri. Usaha masyarakat
untuk ikut menikmati keuntungan ekonomi dari potensi tanaman cendana yang
tumbuh di lahannya sendiri terhalang aturan pemerintah. Bahkan usaha-usaha
menanam cendana untuk kepentingan konsumsi masyarakat lokal tidak mendapat
penghargaan setimpal. Cendana yang tumbuh secara alami di lahan-lahan mereka,
telah dipelihara dengan susah payah selama bertahun-tahun, akhirnya menjadi milik
pemerintah tanpa imbalan memadai. Kondisi ini merugikan masyarakat, karena
keinginan beberapa masyarakat mengembangkan populasi cendana di lahan milik
untuk kepentingan komoditas belum didukung secara penuh oleh pemerintah.
255
Meskipun saat ini telah ditetapkan peraturan pemerintah yang memberi keleluasaan
penguasaan kepada masyarakat, masyarakat tetap tidak peduli dan tidak tergerak
untuk ikut mengembangkan cendana.
Ketidakpedulian masyarakat terhadap cendana merupakan dampak negatif
peraturan penguasaan cendana yangcenderung menghegemoni. Kebijakan pemerintah
dinilai tidak ada dampak positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.
Ketidakpedulian masyarakat terhadap cendana pada masa otonomi daerah tampak
jelas pada era tahun 1980-1990 terutama pasca pemberlakuan Perda Nomor 16 tahun
1986. Pada dasarnya, perda terbebut mempunyai tujuan menghindarkan cendana dari
ambang kepunahan. Tetapi aplikasi ide-ide tersebut tidak memihak masyarakat dan
bertolak belakang dengan ide-ide awal. Dampak dari kebijakan ini menyebabkan
masyarakat tidak bergairah menanam cendana. Bahkan merespon dengan perilaku
negatif. Diam-diam masyarakat memusnakan cendana yang tumbuh di kebun-kebun
miliknya agar tidak memunculkan masalah. Hal ini justru menyebabkan populasi
cendana semakin terancam punah.
Hegemoni penguasaan cendana oleh pemerintah telah menimbulkan tiga
dampak negatif terhadap pengembangan cendana yakni; (1) menghilangkan rasa ikut
memiliki cendana dikalangan masyarakat, (2) menyuburkan ketidakpedulian
masyarakat terhadap cendana, (3) meningkatkan kecenderungan masyarakat
melakukan pelanggaran norma hukum. Di samping itu, hegemoni pemerintah
memunculkan unsur traumatis dan kerumitan mengurus izin kepemilikan seperti
kutipan hasil wawancara berikut.
256
“Sekarang ada peraturan pemerintah yang mengembalikan kepemilikan
cendana kepada masyarakat. Pemerintah daerah hanya mengambil 10 %.
Itupun untuk surat izin kepemilikan cendana. Tetapi masyarakat enggan
mengurus surat izin cendana yang tumbuh di ladangnya yang hanya
masih satu atau dua batang saja, terlalu rumit. Jadinya kita jual kepada
pengumpul. Pengumpul ini yang urus izin. Jadinya ya.. sama saja
keuntungan sedikit dan birokrasi tetap rumit” (wawancara dengan
Johanes Huan, pemilik cendana, tanggal 14 Agustus 2010).
Hasil wawancara tersebut bahwa upaya pemerintah mengembalikan hak kepemilikan
cendana kepada masyarakat belum memperoleh respon positif. Masyarakat tetap
menganggap bahwa mengembangkan cendana tidak memperoleh keuntungan
memadai. Kepudulian masyarakat mengembangkan cendana relatis masih rendah,
sehingga masyarakat dianggap tidak peduli terhadap cendana.
7.3 Refleksi
Hegemoni pemerintah dan kontra hegemoni masyarakat terkait penguasaan
cendana di kabupaten Timor Tengah Selatan bermula dari perbedaan pemahaman
antara masyarakat dengan pemerintah. Masing-masing memiliki sudut pandang
berbeda terhadap posisi cendana. Pemerintah menilai kemerosotan populasi diduga
akibat perilaku masyarakat yang menebang kayu cendana secara serampangan untuk
dijual tanpa berupaya menanam kembali.
Pemerintah memandang perlu menetapkan peraturan untuk melindungi
populasi cendana dan memanfaatannya untuk pelestarian dan peningkatan pendapatan
daerah. Sedangkan masyarakat menganggap pemerintah telah menguasai semua
cendana tanpa memberi hak penguasaan kepada masyarakat dianggap telah
257
mengingkari aturan adat. Peraturan yang ditetapkan dianggap semata-mata
menguntungkan pihak pemerintah dan mengabaikan hak penguasaan masyarakat.
Bahkan pemerintah dianggap tidak adil dan merugikan kepentingan masyarakat,
sehingga memunculkan kontra hegemoni yang diwujudkan dalam berbagai perilaku
simbolik maupun manifes.
Secara manifes (verbal) masyarakat merespon dengan perilaku represif berupa
tindakan nyata yang menentang peraturan pemerintah, misalnya melakukan pencurian
dan penebangan liar. Secara simbolik (non verbal) masyarakat merespon dengan
beberapa perilaku tersembunyi misalnya sikap tidak peduli. Reaksi masyarakat
terhadap peraturan pemerintah yang dianggap memonopoli kepemilikan cendana
memunculkan istilah-istilah tertentu sesuai keadaan yang menyertainya. Masyarakat
Kabupaten Timor Tengah Selatan menyebut cendana dengan istilah hau meni (kayu
arwah), hau plenat (kayu milik pemerintah), hau mamalasi (kayu yang mendatangkan
masalah), dan hau nitu (kayu setan).
Sejak pelaksanaan pemerintahan otomoni daerah kepada pemerintah
kabupaten, pola-pola penguasaan cendana direvisi sesuai kondisi wilayah masing-
masing kabupaten. Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan mulai merevisi
mekanisme penguasaan cendana sejak tahun 2001. Peraturan tersebur telah memberi
porsi pengusaan yang cukup besar kepada masyarakat. Semua cendana yang tumbuh
di hutan dan di atas tanah negara di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan
menjadi milik pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sedangkan cendana
yang tumbuh di tanah milik masyarakat menjadi hak milik pemilik tanah
258
bersangkutan dengan pembagian 90 % untuk masyarakat pemilik cendana dan 10 %
sebagai retribusi kepada pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Meskipun kepemilikan cendana di lahan-lahan milik telah diserahkan
penguasaannya kepada masyarakat, hegemoni pemerintah masa lampau masih
menyisakan unsur traumatis dan kerumitan mengurus izin kepemilikan seperti
kutipan hasil wawancara berikut.
“Sekarang ada peraturan pemerintah yang kembalikan cendana pada
masyarakat. Pemerintah daerah hanya ambil 10 % untuk urus surat izin.
Tetapi masyarakat enggan mengurus surat izin cendana yang tumbuh di
ladangnya yang hanya masih satu atau dua batang saja, terlalu rumit. Jadi
kita jual pada pengumpul. Pengumpul ini yang urus izin. Jadi, ya.. sama
saja, untung sedikit, urus rumit...” (wawancara dengan Johanes Huan,
pemilik cendana, tanggal 14 Agustus 2010).
Traumatis masyarakat yang berdampak terhadap rendahnya minat masyarakat
mengembangkan cendana, juga didukung kurangnya pengetahuan pembudidayaan
berdasatkan teknologi tepat guna dan pandangan masyarakat bahwa cendana tidak
boleh dibudidayakan karena menentang kodrat alam. Pandangan dimikian sedikit-
demi sedikit memang sudah mulai bergeser, beberapa masyarakat sudah mulai
menanam tetapi belum melakukan pembudidayaan menerapkan ilmu pengetahuan
dan teknologi moderen. Mereka masih mengandalkan penanaman cendana secara
alami berdasarkan tradisi turun-temurun. Meskipun demikian, sebagian masyarakat
sudah ada yang berhasil menerapkan pengetahuan lokal dalam pengembangan
cendana, misalnya Ibu Katerina Koniki di Kabupaten Sumba Barat bahkan telah
mendapatkan penghargaan kalpataru dari pemerintah.
259
Selain diperlukan strategi komunikasi dan cara alih teknologi yang tepat,
maka masih banyak kegiatan penelitian cendana yang harus dilakukan untuk
memberikan sumbangan nyata bagi upaya pelestarian dan pengembangan cendana.
Faktor lingkungan ekstrim menyebabkan pengembangan cendana memerlukan
perlakuan dan perhatian khusus. Ancaman kebakaran, gangguan ternak dan ancaman
keamanan tanaman menjadi faktor eksternal yang sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan pengembangan cendana sehingga perlu menerapkan prinsip-prinsip
silvikultur intensif. Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) silvikultur intensif
cendana sebagian sudah banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian dan
menunjukan hasil yang signifikan. Hal yang perlu terus dikembangkan adalah
bagaimana IPTEK dapat dirakit menjadi tepat guna sehingga secara sosial mudah
diterapkan masyarakat dan tidak memerlukan biaya mahal.
Kebijakan mendasar yang perlu dilakukan adalah membangkitkan kembali
kesadaran masyarakat agar berpartisipasi aktif untuk menanam dan melestarikan
cendana yang tersisa. Partisipasi masyarakat menjadi kunci yang sangat penting
karena cendana merupakan jenis tanaman yang memerlukan perawatan yang intensif.
Populasi cendana yang terus menurun akan mengancam kelestarian cendana sehingga
perlu tindakan segera untuk meningkatkan populasinya baik melalui upaya konservasi
maupun pengembangan tanaman cendana. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan
cendana perlu segera dikaji dan diperbaiki untuk menjadi dasar hukum yang mampu
pelestarian dan pengembangan cendana secara operasional. Guna mencapai tujuan
pelestarian dan pengembangan potensi cendana ada beberapa program aksi dan
260
kegiatan yang dilaksanakan antara lain pemberdayaan peran tokoh agama, tokoh adat,
tokoh masyarakat, lembaga profesi, dan institusi lokal. Pemberdayaan peran media
cetak dan elektronik lokal dan nasional juga perlu dilaksanakan untuk
menyebarluaskan informasi dan dapat menggugah masyarakat lokal maupun nasional
untuk ikut berpaptisipasi mengembangkan dan melestarikan cendana.
Aspek penting yang perlu segera dijalankan dalam strategi perlindungan dan
pelestarian cendana adalah inventarisasi potensi dan sebaran cendana, pelestarian atau
konservasi cendana, dan kebun bibit rakyat. Selain inventarisasi potensi, sebaran, dan
konservasi, pembentukan kebun bibit rakyat merupakan program yang melibatkan
masyarakat secara langsung. Kebun bibit rakyat merupakan cara tepat untuk
mengatasi masalah kelangkaan bibit berkualitas, sehingga pembentukan kebun bibit
rakyat dilaksanakan semaksimal mungkin. Dalam hal ini, sebanyak mungkin dipilih
pohon induk milik masyarakat yang bijinya dimanfaatkan sebagai sumber bibit
berkualitas dengan pemberian kompensasi tertentu kepada pemilik pohon induk
bersangkutan. Apabila hasil pembudidayaan tidak memadai, Dinas Kehutanan
membeli dari orang yang memang sengaja membudidayakan cendana.
Satu hal yang tidak kalah penting adalah perluasan jangkauan pendidikan dan
pembinaan generasi muda tentang pelestarian cendana pada tingkat sekolah.
Pendidikan pada tingkat sekolah merupakan upaya penyadartahuan dan komunikasi
antara pemerintah sebagai otoritas penguasa wilayah dan masyarakat selaku habitat
pendukung kelestarian cendana. Keduanya memiliki tanggung jawab agar
pengelolaan cendana di masa yang akan datang dapat berjalan dengan baik
261
Pentingnya kesadaran bersama antara pemerintah dengan masyarakat dapat
mendorong pengelolaan cendana yang lebih bijak dan tidak merugikan masyarakat.
Aksi ini meliputi implementasi kegiatan pengembangan cendana di lahan masyarakat,
pemberian penghargaan kepada masyarakat yang memberikan kontribusi nyata
terhadap pelestarian dan pengembangan cendana, pembentukan kelompok tani
cendana, pembentukan forum cendana, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
kelompok tani cendana.