seminar perpajakan

25
MAKALAH PERENCANAAN PAJAK Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Seminar Perpajakan Semester VIII Disusun oleh: 1. Heri Iswanto 4307500480 2. Rina Septiani 4307500504 3. Moh. Sukron 4307500492 4. Tri Sukma Mudhita 4307500515 5. Trio Pahlevi 4307500 6. Wahidah Nurul F. 4307500518

Upload: didiet-cungkrink

Post on 04-Jul-2015

710 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Seminar Perpajakan

MAKALAH

PERENCANAAN PAJAK

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Seminar Perpajakan Semester VIII

Disusun oleh:

1. Heri Iswanto 43075004802. Rina Septiani 43075005043. Moh. Sukron 43075004924. Tri Sukma Mudhita 43075005155. Trio Pahlevi 43075006. Wahidah Nurul F. 4307500518

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL

2011

Page 2: Seminar Perpajakan

PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah dan rahmat-Nya

yang besar yang diberikan kepada penyusunan untuk menyelesaikan makalah seminar

perpajakan dengan judul “Perencanaan Pajak”.

Dalam usaha untuk menyususn makalh ini, penyususn menyadari bahwa baik isi

maupun bentuk penyajian makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penyusun

dengan hati terbuka akan menerima segala bentuk saran dan kritik yang membangun dari

pembaca guna kesempurnaan dari makalah ini.

Akhir kata, penyusun berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat

bagi seluruh pihak yang membutuhkan.

Tegal, Mei 2011

Penyusun

Page 3: Seminar Perpajakan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dari segi ekonomi, pajak merupakan pemindahan sumber daya dari sektor privat

(perusahaan) ke sektor publik. Pemendahan sumberdaya tersebut akan mempengaruhi

daya beli (purchasing power) atau kemampuan belanja (spending power) dari sektor

privat. Agar tidak terjadi gangguan yang serius terhadap jalannya perusahaan, maka

pemenuhan kewajiban perpajakan harus dikelola dengan baik.

Bagi negara, pajak adalah salah satu sumber penerimaan penting yang akan digunakan

untuk membiyayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran

pembangunan. Sebaliknya bagi perusahaan, pajak merupakan beban yang akan

mengurangi laba bersih.

Keputusan bisnis sebagian besar dipengaruhi oleh pajak, baik secara langsung

maupun tidak langsung. Keputusan bisnis yang baik jika berhubungan dengan pajak bisa

menjadi keputusan bisnis yang kurang baik, begitu juga sebaliknya.

Minimalisasi beban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari yang

masih berada dalam bingkai peraturan perpajakan sampai dengan yang melanggar

peraturan perpajakan. Upaya meminimnalkan pajak secara eufimisme sering disebut

dengan perencanaan pajak (tax planning) atau tax sheltering. Umumnya perencanaan pajak

merujuk pada proses merekayasa usaha dan transaksi Wajib Pajak supaya utang pajak

berada dalam jumlah yang minimal tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan.

Namun perencanaan pajak juga dapat berkonotasi positif sebagai perencana pemenuhan

kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, dan tepat waktu sehingga dapat menghindari

pemborosan sumber daya.

Dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan kepentingan antara Wajib Pajak dengan

pemerintah. Wajib Pajak berusaha untuk membayar pajak sekecil mungkin karena dengan

membayar pajak berarti mengurangi kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Dilain pihak,

pemerintah memerlukan dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, yang

sebagian besar berasal dari penerimaan pajak.

Page 4: Seminar Perpajakan

Perbedaan kepentingan ini menyebabkan Wajib Pajak cenderung untuk mengurangi

jumlah pembayaran pajak, baik secara legal maupun ilegal. Hal ini dimungkinkan jika ada

peluang yang dapat dimanfaatkan, baik karena kelemahan peraturan pajak maupoun

sumber daya manusia (fiskus).

Bebrapa faktor yang memotivasi Wajib Pajak untuk melakukan penghematan pajak

dengan ilegal, antara lain:

a. Jumlah pajak yang harus dibayar. Besarnya jumlah pajak yang harus dibayar oleh

Wajib Pajak. Semakin besar pajak yang harus dibayar, semakin besar pula

kecenderungan Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran.

b. Biaya untuk menyuap fiskus. Semakin kecil biaya untuk menyuap fiskus, semakin

besar kecenderungan Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran.

c. Kemungkinan untuk ketahuan. Semakin kecil kemungkinan suatu pelanggaran

terdeteksi, semakin besar kecenderungan Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran.

d. Besar sanksi. Semakin ringan sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran, semakin

besar kecenderungan Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran.

B. Pokok Permasalahan.

1. Bagaimanakah penyusutan bersadasarkan peraturan perpajakan?

2. Bagaimanakah revaluasi aset tetap berdasarkan undang-undang perpajakan?

3. Bagainakah perlakuan perpajakan untuk transaksi sewa guna usaha (lessing)?

Page 5: Seminar Perpajakan

BAB II

PEMBAHASAN

1. Penyusutan berdasarkan peraturan perpajakan

Penyusutan adalah lokasi jumlah suatu aset yang dapat disusutkan sepanjang masa

manfaat yang diestimasikan (PSAK 17). Penyusutan perlu dilakukan karena manfaat yang

diberikan dan nilai dari aset tersebut semakin berkurang. Pengurangan nilai aset

dibebankan secara bertahap.

Karakteristik dari aset yang dapat disusutkan

a. Dapat digunakan dalam kegiatan usaha.

Aset yang boleh disusutkan adalah aset yang dipakai dalam usaha atau menjalankan

usaha. Aset ini dapat dibebankan menjadi aset bisnis, aset campuran, dan aset pribadi.

Untuk aset bisnis dapat disusutkan semuanya, sedangkan untuk aset campuran boleh

disusutkan sebagian sesuai dengan yang digunakan dalam kegiatan usaha.

b. Nilai menurun secara bertahap.

Niali aset yang dapat disusutkan harus menurun secara bertahap, baik karena semakin

buruk fisiknya atau karena faktor kualitas. Kalau nilainya tidak menurun secara

bertahap maka tidak dapat disusutkan tetapi langsung dibiayakan. Adapun aset yang

tidak dapat disusutkan adalah tanah, aset pendanaan, barang dagangan dan persediaan.

c. Aset berwujud dan aset tidak berwujud.

Aset berwujud maupun aset tidak berwujud yang mempunyai manfaat lebih satu

periode dapat disusutkan. Untuk aset tidak berwujud penyusutannya disebut dengan

amortisasi.

d. Pihask yang berhak melakukan penyusutan.

Pihak uang berhak melakukan penyusutan adalah:

1) Pihak yang menggunakan aset tersebut dalam kegiatan usaha.

2) Pemilik, dapat dibagi menjadi legal owner dan beneficial owner.

e. Saat melakukan penyusutan.

Secara umum saat dilakukan penyusutan adalah saat digunakan, tetapi adakalanya

pada tahun perolehan.

Page 6: Seminar Perpajakan

f. Dasar untuk melakukan penyusutan.

1) Harga perolehan (historical cosh)

Termasuk didalamnya adalah harga, ongkos, dan pajak. Pajak yang dapat

dikreditkan, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dapat dikreditkan

dengan pajak keluaran tidak termasuk dalam harga perolehan.

2) Harga penggantian (replacement cosh)

Pada prinsipnya harga penggantian tidak diperkenenkan, karena untuk

kepentingan pencatatan menggunakan harga perolehan.

3) Revaluasi (revaluation)

Suatu aset yang telah direvaluasi biasanya disusutkan berdasarkan nilai

revaluasinya.

Sebagaimana telah diatur dalam pasal 9 ayat (2) UU PPh bahwa pengeluaran

untuk mendapatkan manfaat, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai

masa manfaat lebih dari satu tahun tidak boleh dibebankan sekaligus, melainkan

dibebankan melalui penyusutan. Hal ini sesuai dengan kelaziman dunia usaha dan selaras

dengan prinsip penandingan antara pengeluaran dan penerimaan (matching cosh againsts

revenue). Dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan

mempertahankan penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun tidak

dapat dikurangkan sebagai biaya sekaligus pada tahun pengeluarannya. Namun

demikian, dalam perhitungan dan penerapan tarif penyusutan untuk keperluan pajak,

perlu diperhatikan dasar hukum penyusutan fiskal, karena dapat berbeda dengan

penyusutan untuk akuntansi (komersial).

Mulai tahun 1995 ktentuan fiskal mengharuskan penyusutan harta tetap dilakukan

secara individual per aset, tidak lagi secara gabunagn (berdasarkan golongan) seperti

yang berlaku sebelumnya kecuali untuk alat-alat kecil (small tools) yang sama atau

sejenis masih boleh mengguanakan penyusutan secara golongan.

1.1 Saat Mulainya Penyusutan Fiskal

Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) secara khusus dan eksplisit

menetapkan saat dimulainya penyusutan fiskal adalah pada bulan perolehan.

Penyusutan fiskal harus dilakukan sebulan penuh. Pengecualian dari ketentuan ini

hanya dapat terjadi karena hal-hal berikut:

a. Harta/aset yang masih dalam proses pengerjaan.

b. Harta/aset dalam usaha sewa guna usaha (leasing).

Page 7: Seminar Perpajakan

c. Wajib Pajak yang mengajukkan permohonan kepada Dirjen Pajak.

1.2 Harta/aset dalam pengerjaan.

Untuk harta/aset tetap dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada

tahun selesainya pekerjaan tersebut. Jadi walaupun pada umumnya penyusutan atas

harta/aset dimulai pada tahi perolehan tetapi unyuk harta/aset yang pengerjaannya

memerlukan waktu lebih dari satu tahun, perhitungan penyusutan dimulai saat

selesainya harta/aset yang bersangkutan.

1.3 Harta/aset dalam usaha sewa guna usaha.

Penyusutan terhadap harta dalam usaha sewa huna usaha (leasing) khususnya

sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) dimulai pada bulan harta tersebut

disewagunausahakan.

1.4 Penyusutan Dirjen Pajak.

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Dirjen Pajak, apabila

tidak mengikuti prinsip umum penyusutan. Misalnya penyusutan baru dilakukan

pada tahun harta/aset tersebut menghasilkan.

1.5 Pengelompokkan harta berwujud.

Dalam sistem penyusutan menurut UU PPh, semua aset tetap berwujud yang

memenuhi syarat penyusutan fiskal harus dikelompokkan menjadi dua golongan:

a. Harta berwujud kelompok bukan bangunan.

b. Harta berwujud kelompok bangunan.

Harta berwujud bukan bangunan dikelompokkan menurut masa manfaatnya sebagai

berikut:

Kelompok bukan bangunan Masa manfaat

Kelompok 1

Kelompok 2

Kelompok 3

Kelompok 4

4 tahun

8 tahun

16 tahun

20 tahun

Page 8: Seminar Perpajakan

Harta berwujud bangunan dikelompokkan menurut masa manfaatnya sebagai berikut:

Kelompok bangunan Masa manfaat

Bangunan permanen

Bangunan tidak permanen

20 tahun

10 tahun

2. Revaluasi aset tetap berdasarkan undang-undang pajak.

Revaluasi aset tetap dalam akuntansi pada umumnya tidak diperkenankan

kecuali ditentukan berdasarkan peraturan pemerintah, misalnya peraturan pajak. Dalam

PSAK No.16 disebutkan bahwa penilaian kembali aset tetap pada umumnya tidak

diperkenankan karena standar akuntansi keuangan (SAK) menganut penilaian aset

berdasarkan harga perolehan/harga pertukaran. Selisi revaluasi dengan nilai buku (nilai

tercatat) aset tetap dibukukan dalam akun modal dengan nama “selisih penilaian

kembalin aset tetap.”

Berdasatkan keputusan menteri keuangan nomor 384/KMK.04/1998 Tanggal 14

Agustus 1998 dan surat edaran Dirjen Pajak Nomor 29/Pj.42/1998, menjelaskan bahwa:

a. Wajib Pajak yang dapat melakukan revaluasi adalah Wajib Pajak dalam negeri

yang terletak atau berada di Indonesia. Wajib Pajak dalam negeri adalah

sekumpulan orang dan modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan

usaha maupun yang tidak melakukan usahayang meliputi perseroan terbatas,

persatuan komanditer, perseroan lainnya, Badan usaha milik negara, atau Daerah

dengan nama dandalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,

persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,

atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan

lainnya.

b. Telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir

sebelum masa pajak dilaukannya penilaian kembali. Kewajiban pajak yang

dimaksud terdiri atas:

1) Pajak Penghasilan (PPh).

2) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas barang mewah

(PPnBM).

3) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Page 9: Seminar Perpajakan

4) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Aset tetap yang dapat direvaluasi adalah:

a. Aset tetap berwujud dalam bentuk tanah, kelompok bangunan dan bukan

bangunanyang tidak dimaksukan untuk dialihkan atau dijual.

b. Aset tersebut terletak atau berada di Wilayah Indonesia.

c. Penilaian kembali dapat dilakukan terhadap seluruh aset tetap (revaluasi total)

atau tewrhadap sebagian aset tetap (revaluasi parsial) yang dimiliki perusahaan.

d. Penilaian kembali aset tetap dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aset

tetap pada saat penilaian dilakukan, yang ditetapkan oleh perusahaan penilai atau

penilai yang diakui oleh pemerintah.

e. Dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan penilai

atau penilai yang diakui oleh pemerintah ternyata kemudian tidak mencerminkan

keadaan yang sebenarnya, maka Dirjen Pajak akan menetapkan kembali nilai

pasar atau nilai wajar yang bersangkutan.

f. Selisih antara nilai pasar atau nilai wajar dengan nilai buku fiskal aset tetap yang

dinilai kembali wajib dikompensasikan terlebih dahulu dengan kerugian fiskal

tahun berjalan dan sisa kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya yang masih dapat

dikompensasikan.

g. Selisih lebih karena penilaian kembali setelah dilakukan kompensasi kerugian

dikenakan kerugian dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final, sebesar 10%.

h. Bagi Wajib Pajak yang melakukan penggabungan usaha, pajak penghasilan yang

terutang sebesar 10% diatas, dapat dibayar dalam jangka waktu paling lama 5

(lima) tahun terhitung sejak tahun dilakukannya penilaian kembali aset tetap

perusahaan.

i. Pajak Penghasilan yang harus dilunasi untuk setiap tahun paling sedikit sebesar

20% dari jumlah pajak yang terutang, kecuaili pelunasan untuk tahun terakhir.

j. Apabila Wajin Pajak melakukan penilaian kembali aset tetap sebelum akhir tahun

pajak, maka kerugian fiskal pada tahun buku yang bersangkutan, diperhitungkan

sampai dengan dilakukannya revaluasi aset tetap tersebut.

k. Nilai pasar atau nilai wajar merupakan dasar penyusutan aset mulai tahun pajak

dilakukannya penilaian kembali aset tetap persebut. Penyusutan dilakukan sesuai

dengan pasal 11 Undang-Undang PPh.

Page 10: Seminar Perpajakan

l. Aset tetap yang telah dilakukan penilaian kembali dan telah dikenakan Pajak

Penghasilan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain sebelum lewat jangka waktu

5 tahun setal dilakukannya penilaian kembali.

m. Apabila Wajib Pajak mengalihkan aset tetap tersebut sebelum lewat jangka waktu

5 tahun, maka atas selisih penilaian aset tetap tersebut tetap dikenakan Pajak

Penghasilan yang teutang sebesar 10% dan tambahan pajak penghasilan yang

bersifat final sebesar 15%.

n. Dikecualikan dari jangka lima tahun jika asettetap tersebut dialihkan kepada

pemerintah atau dialihkan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau

pemekaran usaha.

Persyaratan Administrasi setelah revaluasi aset tetap

Setelah melakukan revaluasi aset tetap maka Wajib Pajak memberitahukan hasil penilaian

kembali dengan mengisi formulir yang telah disediakan kepada Dirjen Pajak cq. KPP tempat

Wajib Pajak terdaftar dengan melampirkan hal-hal sebagai berikut:

a. Laporan penilaian dari perusahaan penilai/penilai profesional yang diakui oleh

pemerintah.

b. Neraca penyesuaian yang telah diaudit oleh akuntan publik yang secara jelas terlihat

nilai aseet sebelum dan sesudah dilakukannya revaluasi aset tetap.

c. Perhitungan selisih lebih akibat revaluasi aset tetap dan perhitungan besarnya PPh

perutang.

d. Surat setoran pajak (SSP).

3. Pelakuan perpajakan untuk transaksi sewa guna usaha (leasing).

Sewa guna usaha (leasing) adalah suatu kontrak antara lessor (pemilik barang modal)

dengan lessee (pengguna barang modal). Sewa guna usaha (leasing) dibedakan menjadi

sewa guna usaha dengan hak opsi dan sewa guna usaha tanpa hak opsi.

Sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease/capital lease) adalah sewa guna usaha

dimana penyewa (lessee) pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli

obyek sewa guna usaha berdasarkan nilai sisa yang disepakati.

Sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) adalah sewa guna usaha dimana

penyewa (lessee) pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli objek

sewa guna usaha berdasarkan nilai sisa yang disepakati.

Page 11: Seminar Perpajakan

Dalam pasal 2,3, dan 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991

kegiatan sewa guna usaha dapat digolongkan sebagai finance lease (sewa guna usaha

dengan hak opsi) maupun dengan operating lease (sewa guna usaha tanpa hak opsi).

Sewa guna usaha digolongkan sebagai finance lease apabila memenuhi semua kriteria

berikut:

a. Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa guna sewa usaha pertama

ditambah dengan nilai sisa barang modal harus dapat menutup harga perolehan

barang modal dan keuntungan lessor.

b. Masa sewa guna usaha ditentukan sekurang-kurangnya dua tahun untuk barang nodal

golongan 1,3 (tiga) tahun untuk barang modal golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun

untuk golongan bangunan.

c. Perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

d. Dalam pasal 16 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 11698/KMK.01/1991

mengatur mengenai ketentuan perpajakan bagi lessee yang melakukan transaksi

finance lease sebagai berikut:

1) Lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang

disewagunausahakan sampai saat lessee membeli barang tersebut.

2) Setelah lessee menggunakan hak opsinya membeli barang modal yang

disewagunausahakan maka lessee boleh melakukan penyusutan dengan dasar

yaitu harga opsi barang modal yang bersangkutan.

3) Pembayaran sewa guna usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee, kecuali

pembrbanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari

penghasilan bruto lessee.

4) Dalam hal masa sewa guna usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan,

Dirjen Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya sewa guna usaha

tewrsebut dan memperlakukannya sebagai operating lease. Perubahan ini

tidak dilakukan apabila terjadi karena force majeur, gagal bayar (default),

maupun pertimbangan ekonomi tanpa motif menghindari pajak dan tidak ada

hubungan istimewa antara lesor dengan lessee.

5) Lessee tidak memotong pajak penghasilan pasal 23 atas pembayaran sewa

guna usaha.

Page 12: Seminar Perpajakan

Penjualan dan penyewaan kembali.

a. Untuk penjualan dan penyewaan kembali tanpa hak opsi, Pajak Pertambahan Nilai

(PPN) masukkan yang telah dikreditkan oleh lessee harus dibayar kembali.

b. Atas penyewaan kembali barang modal tersebut, maka lesoor harus memungut

Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

c. Pengalihan tanah dan bangunan sewa guna usaha:

1) Saat lessee menjual kepada lesor, lessee dikenakan PPh 5% dari nilai jual

(nilai akta) atau nilai jual objek pajak (NJOP) yang digunakan untuk

menghitung PBB jika nilai jual lebih rendah dari NJOP.

2) Saat lesor menjual kepada lessee, lesor dikenakan PPh 5% dari nilai opsi.

Perencanaan pajak untuk sewa guna usaha dapat digunakan untuk aset tetap

yang baru akan dibeli maupun aset tetap yang telah dimiliki. Untuk aset tetap yang

baru akan dibeli pertimbangannya adalah membeli secara langsung (tunai atau kredit)

atau dengan menyewa. Sedangkan untuk aset tetap yang telah dimiliki

pertimbangannya adalah mempertahankannya, melakukan revaluasi, atau dijual dan

disewagunausahakan kembali.

Page 13: Seminar Perpajakan

BAB III

KESIMPULAN

Bagi negara, pajak adalah salah satu sumber penerimaan penting yang akan digunakan

untuk membiyayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran

pembangunan. Sebaliknya bagi perusahaan, pajak merupakan beban yang akan mengurangi

laba bersih.

Dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan kepentingan antara Wajib Pajak dengan

pemerintah. Wajib Pajak berusaha untuk membayar pajak sekecil mungkin karena dengan

membayar pajak berarti mengurangi kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Dilain pihak,

pemerintah memerlukan dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, yang

sebagian besar berasal dari penerimaan pajak.

Perbedaan kepentingan ini menyebabkan Wajib Pajak cenderung untuk mengurangi

jumlah pembayaran pajak, baik secara legal maupun ilegal. Hal ini dimungkinkan jika ada

peluang yang dapat dimanfaatkan, baik karena kelemahan peraturan pajak maupoun sumber

daya manusia (fiskus).

Bebrapa faktor yang memotivasi Wajib Pajak untuk melakukan penghematan pajak dengan

ilegal, antara lain:

a. Jumlah pajak yang harus dibayar. Besarnya jumlah pajak yang harus dibayar oleh

Wajib Pajak. Semakin besar pajak yang harus dibayar, semakin besar pula

kecenderungan Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran.

b. Biaya untuk menyuap fiskus. Semakin kecil biaya untuk menyuap fiskus, semakin

besar kecenderungan Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran.

c. Kemungkinan untuk ketahuan. Semakin kecil kemungkinan suatu pelanggaran

terdeteksi, semakin besar kecenderungan Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran.

d. Besar sanksi. Semakin ringan sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran, semakin

besar kecenderungan Wajib Pajak untuk melakukan pelanggaran.

Page 14: Seminar Perpajakan

1. Penyusutan berdasarkan peraturan perpajakan

Penyusutan adalah lokasi jumlah suatu aset yang dapat disusutkan sepanjang masa

manfaat yang diestimasikan (PSAK 17). Penyusutan perlu dilakukan karena manfaat yang

diberikan dan nilai dari aset tersebut semakin berkurang. Pengurangan nilai aset

dibebankan secara bertahap

Mulai tahun 1995 ktentuan fiskal mengharuskan penyusutan harta tetap dilakukan

secara individual per aset, tidak lagi secara gabunagn (berdasarkan golongan) seperti yang

berlaku sebelumnya kecuali untuk alat-alat kecil (small tools) yang sama atau sejenis

masih boleh mengguanakan penyusutan secara golongan.

1. Saat Mulainya Penyusutan Fiskal

Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) secara khusus dan eksplisit menetapkan saat

dimulainya penyusutan fiskal adalah pada bulan perolehan. Penyusutan fiskal harus

dilakukan sebulan penuh. Pengecualian dari ketentuan ini hanya dapat terjadi karena

hal-hal berikut:

a. Harta/aset yang masih dalam proses pengerjaan.

b. Harta/aset dalam usaha sewa guna usaha (leasing).

c. Wajib {Pjak yang mengajukkan permohonan kepada Dirjen Pajak.

2. Harta/aset dalam pengerjaan.

Untuk harta/aset tetap dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada tahun

selesainya pekerjaan tersebut. Jadi walaupun pada umumnya penyusutan atas harta/aset

dimulai pada tahi perolehan tetapi unyuk harta/aset yang pengerjaannya memerlukan

waktu lebih dari satu tahun, perhitungan penyusutan dimulai saat selesainya harta/aset

yang bersangkutan.

3. Harta/aset dalam usaha sewa guna usaha.

Penyusutan terhadap harta dalam usaha sewa huna usaha (leasing) khususnya sewa

guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) dimulai pada bulan harta tersebut

disewagunausahakan.

4. Penyusutan Dirjen Pajak.

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Dirjen Pajak, apabila tidak

mengikuti prinsip umum penyusutan. Misalnya penyusutan baru dilakukan pada tahun

harta/aset tersebut menghasilkan.

5. Pengelompokkan harta berwujud.

Page 15: Seminar Perpajakan

Dalam sistem penyusutan menurut UU PPh, semua aset tetap berwujud yang memenuhi

syarat penyusutan fiskal harus dikelompokkan menjadi dua golongan:

a. Harta berwujud kelompok bukan bangunan.

b. Harta berwujud kelompok bangunan.

Harta berwujud bukan bangunan dikelompokkan menurut masa manfaatnya sebagai

berikut:

Kelompok bukan bangunan Masa manfaat

Kelompok 1

Kelompok 2

Kelompok 3

Kelompok 4

4 tahun

8 tahun

16 tahun

20 tahun

Harta berwujud bangunan dikelompokkan menurut masa manfaatnya sebagai berikut:

Kelompok bangunan Masa manfaat

Bangunan permanen

Bangunan tidak permanen

20 tahun

10 Ahun

2. Revaluasi aset tetap berdasarkan undang-undang pajak.

Revaluasi aset tetap dalam akuntansi pada umumnya tidak diperkenankan kecuali

ditentukan berdasarkan peraturan pemerintah, misalnya peraturan pajak. Dalam PSAK

No.16 disebutkan bahwa penilaian kembali aset tetap pada umumnya tidak diperkenankan

karena standar akuntansi keuangan (SAK) menganut penilaian aset berdasarkan harga

perolehan/harga pertukaran. Selisi revaluasi dengan nilai buku (nilai tercatat) aset tetap

dibukukan dalam akun modal dengan nama “selisih penilaian kembalin aset tetap.”

Aset tetap yang dapat direvaluasi adalah:

a. Aset tetap berwujud dalam bentuk tanah, kelompok bangunan dan bukan bangunanyang

tidak dimaksukan untuk dialihkan atau dijual.

b. Aset tersebut terletak atau berada di Wilayah Indonesia.

c. Penilaian kembali dapat dilakukan terhadap seluruh aset tetap (revaluasi total) atau

tewrhadap sebagian aset tetap (revaluasi parsial) yang dimiliki perusahaan.

Page 16: Seminar Perpajakan

d. Penilaian kembali aset tetap dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aset

tetap pada saat penilaian dilakukan, yang ditetapkan oleh perusahaan penilai atau

penilai yang diakui oleh pemerintah.

e. Dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan penilai atau

penilai yang diakui oleh pemerintah ternyata kemudian tidak mencerminkan keadaan

yang sebenarnya, maka Dirjen Pajak akan menetapkan kembali nilai pasar atau nilai

wajar yang bersangkutan.

f. Selisih antara nilai pasar atau nilai wajar dengan nilai buku fiskal aset tetap yang dinilai

kembali wajib dikompensasikan terlebih dahulu dengan kerugian fiskal tahun berjalan

dan sisa kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan.

g. Selisih lebih karena penilaian kembali setelah dilakukan kompensasi kerugian

dikenakan kerugian dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final, sebesar 10%.

h. Bagi Wajib Pajak yang melakukan penggabungan usaha, pajak penghasilan yang

terutang sebesar 10% diatas, dapat dibayar dalam jangka waktu paling lama 5 (lima)

tahun terhitung sejak tahun dilakukannya penilaian kembali aset tetap perusahaan.

i. Pajak Penghasilan yang harus dilunasi untuk setiap tahun paling sedikit sebesar 20%

dari jumlah pajak yang terutang, kecuaili pelunasan untuk tahun terakhir.

j. Apabila Wajin Pajak melakukan penilaian kembali aset tetap sebelum akhir tahun

pajak, maka kerugian fiskal pada tahun buku yang bersangkutan, diperhitungkan

sampai dengan dilakukannya revaluasi aset tetap tersebut.

k. Nilai pasar atau nilai wajar merupakan dasar penyusutan aset mulai tahun pajak

dilakukannya penilaian kembali aset tetap persebut. Penyusutan dilakukan sesuai

dengan pasal 11 Undang-Undang PPh.

l. Aset tetap yang telah dilakukan penilaian kembali dan telah dikenakan Pajak

Penghasilan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain sebelum lewat jangka waktu 5

tahun setal dilakukannya penilaian kembali.

m. Apabila Wajib Pajak mengalihkan aset tetap tersebut sebelum lewat jangka waktu 5

tahun, maka atas selisih penilaian aset tetap tersebut tetap dikenakan Pajak Penghasilan

yang teutang sebesar 10% dan tambahan pajak penghasilan yang bersifat final sebesar

15%.

n. Dikecualikan dari jangka lima tahun jika asettetap tersebut dialihkan kepada

pemerintah atau dialihkan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran

usaha.

Page 17: Seminar Perpajakan

3. Pelakuan perpajakan untuk transaksi sewa guna usaha (lessing).

Sewa guna usaha (leasing) adalah suatu kontrak antara lessor (pemilik barang modal)

dengan lessee (pengguna barang modal). Sewa guna usaha (leasing) dibedakan menjadi

sewa guna usaha dengan hak opsi dan sewa guna usaha tanpa hak opsi.

Penjualan dan penyewaan kembali.

a. Untuk penjualan dan penyewaan kembali tanpa hak opsi, Pajak Pertambahan Nilai

(PPN) masukkan yang telah dikreditkan oleh lessee harus dibayar kembali.

b. Atas penyewaan kembali barang modal tersebut, maka lesoor harus memungut Pajak

Pertambahan Nilai (PPN).

c. Pengalihan tanah dan bangunan sewa guna usaha

1) Saat lessee menjual kepada lesor, lessee dikenakan PPh 5% dari nilai jual (nilai akta)

atau nilai jual objek pajak (NJOP) yang digunakan untuk menghitung PBB jika nilai

jual lebih rendah dari NJOP.

2) Saat lesor menjual kepada lessee, lesor dikenakan PPh 5% dari nilai opsi.

Page 18: Seminar Perpajakan

DAFTAR PUSTAKA

Suandry, Erly. 2008. Perencanaan Pajak. Salemba empat. Jakarta.