modul perpajakan

155
MODUL “PERPAJAKAN” D3 KEUANGAN DAN PERBANKAN PENYUSUN : ADIYAS, SE.,MM. FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA Jl.RS. Fatmawati, Pondok Labu Jakarta Selatan 12450 021 – 7692856

Upload: adiyas-semm

Post on 22-Jun-2015

4.980 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Modul Perpajakan

MODUL

“PERPAJAKAN”

D3 KEUANGAN DAN PERBANKAN

PENYUSUN :

ADIYAS, SE.,MM.

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

Jl.RS. Fatmawati, Pondok Labu Jakarta Selatan 12450 021 – 7692856

2010

Page 2: Modul Perpajakan

MODUL

“PERPAJAKAN”

D3 KEUANGAN DAN PERBANKAN

PENYUSUN :

ADIYAS,SE,MM

Nama Mahasiswa :Nomor Pokok Mahasiswa :Semester / Kelas :Nama Dosen :

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

Jl.RS. Fatmawati, Pondok Labu Jakarta Selatan 12450 021 – 7692856

2010

Page 3: Modul Perpajakan

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha

Esa, atas Rahmat dan karunia-Nya penyusun dapat menyelesaikan Modul

Perkuliahan Perpajakan ini.

Modul Perkuliahan Perpajakan ini berisi ringkasan materi

perpajakan yang sudah disesuaikan dengan Satuan Acara Perkuliahan,

sehingga diharapkan dapat menunjang pencapaian kompetensi keahlian

yang diinginkan.

Penyusun menyadari bahwa modul ini belum sempurna, karena

itu saran dan kritikan dari semua pihak sangat diharapkan guna perbaikan

di masa mendatang.

Pada kesempatan ini penyusun menyampaikan banyak terima

kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu hingga

tersusunnya modul ini.

Terakhir penyusun berharap semoga modul ini bermanfaat bagi

mahasiswa Program D3 Keuangan dan Perbankan Fakultas Ekonomi

khususnya dan umumnya bagi paca pembaca sekalian.

Jakarta, Januari 2010

Penyusun

Adiyas, SE.,MM.

i

Page 4: Modul Perpajakan

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iDAFTAR ISI ii

Gambaran Umum UU PPh ……………………………………. 1

Kebijakan dan Teknis Pemotongan PPh Pasal 21 …………. 11

Kebijakan dan Teknis Pemotongan PPh Pasal 22 …………. 23

Kebijakan dan Teknis Pemotongan PPh Pasal 23 …………. 36

Kebijakan dan Teknis Pemotongan PPh Pasal 24 …………. 42

Kebijakan dan Teknis Perhitungan Penilaian Persediaan,

Penjualan dan Pengalihann Harta ......................…….....…. 47

Kebijakan dan Teknis Perhitungan Penyusutan,

dan Amortisasi Aktiva .........................................……….…. 61

Kebijakan dan Teknis Perhitungan Pajak yang Terutang

(khusus WP Orang Pribadi) ...................................…………. 67

Teknis Perhitungan PPN dan PPnBM .................................. 74

Kebijakan Umum Mengenai PBB ……………………………. 84

Kebijakan Umum Mengenai Bea ……………………………. 90

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan..................... 97

ii

Page 5: Modul Perpajakan

FAKULTAS EKONOMIUNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN” JAKARTA

POKOK BAHASANGAMBARAN UMUM UNDANG-UNDANG PPh

ADIYAS, SE, MM.

A. PENDAHULUAN

Pajak Penghasilan (PPh) merupakan salah satu sumber

penerimaan negara yang berasal dari penghasilan masyarakat. Dalam

proses pemungutan perlu diatur dengan UU agar dapat memberikan

kepastian hukum, sesuai dengan kehidupan dalam negara demokrasi

Pancasila. Dalam sistem peraturan perpajakan yang lama, pengenaan

pajak atas penghasilan diatur dalam beberapa UU, yaitu : Ordonansi

Pajak Perseroan 1925, Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, UU Pajak atas

bunga. Dividen dan Royalti 1970, UU No. 8 tahun 1967.

Sejak akhir tahun 1983 pemerintah mengadakan pembaharuan

peraturan perpajakan di Indonesia/Reformasi perpajakan Maksud dari

pembahuruan pajak itu adalah umtuk menyederhanakan struktur pajak,

seperti jenis-jenis pajak, tarif dan cara pemenuhan kewajiban pajak.

Sistem pemungutan pajak lebih banyak memberikan tanggung jawab

perpajakan pada diri wajib pajak (WP), dengan menganut simtem self-

assesment. UU Perpajakan itu meliputi: UU no. 7 tahun 1983 tentang

Pajak Penghasilan (PPh).

Dalam UU Pajak Penghasilan ini mengatur materi pengenaan

pajak yang pada dasarnya meliputi: subjek pajak (siapa yang akan

dikenakan ), objek pajak (apa yang dikenakan atau penyebab pengenaan

pajak) dan tarif pajak sebagai cara penentuan jumlah pajak.Tarif pajak

1

1

MODUL PERTEMUAN I

Perpajakan (3 SKS)

Page 6: Modul Perpajakan

ditetapkan secara wajar berdasarkan prinsip-prinsip pemerataan dalam

pamungutan pajak dan keadilan dalam pembebanan pajak. Struktur tarif

disederhanakan dan bersifat progresif, artinya semakin tinggi penghasilan

semakin tinggi pula persentase tarif pajak.Sedangkan tatacara

pungutannya diatur dalam UU tersendiri, yaitu dalam UU no.6 Tahun

1983. Tarif untuk orang Pribadi/Perseorangan sama dengan tarif untuk

Badan dengan tingkat tarif maksimal yang lebih rendah daripada tarif

lama.

B. KEBAIKAN-KEBAIKAN SISTEM PERPAJAKAN YANG BARU

Ada bebrapa kelebihan atau kebaikan pada penerapan sistem

perpajakan yang baru, antara lain :

a. Serderhana, bagi Wajib Pajak (WP) akan mudah melakukan

penghitungan jumlah pajak yang harus dibayarnya. Demikian juga bagi

Kantor Pajak, akan mudah menguji perhitungan pajak yang dilakukan

oleh WP.

b. Adil dan merta, tarf pajak diberlakukan sama terhadap tingkat

penghasilan yang sama dari manapun penghasilan itu diterima atau

diperoleh.

c. Meningkatkan kepatuhan wajib pajak, tarif marginal tertinggi adalah

35%. Hal ini akan meningkatkan kesediaan WP untuk membayar

pajak. Meningkatkan kerelaan membayar dan bertambah mudahnya

bagi administrasi pajak untuk menguji akan lebih meningkatkan

kepatuhan WP.

d. Mengurangi pengalihan penghasilan dari badan kepada perorangan

atau sebaliknya sebab pengalihan semacam itu tidak memberikan

manfaat kepada wajib pajak.

2

Page 7: Modul Perpajakan

C. PERBEDAAN SISTEM LAMA DAN SISTEM BARU

Adapun perbedaan sistem perpajakan lama dan sistem baru

mencakup hal-hal berikut ini :

No Bidang Sistem Lama Sistem Baru

1. Struktur peraturan a. peraturan pajak

sangat beraneka

ragam sehingga

membingungkan

wajib pajak.

b. adanya

pembebanan

pajak berganda.

c. ada beberapa

jenis pajak.

d. sudah

ketinggalan

jaman.

Hak & kewjiban

WP tidak jelas.

a. disederhanakan

dengan

memberlakukan

satu peraturan

PPh.

b. Mengeliminir

adanya pajak

berganda.

c. hanya ada satu

jenis pajak.

d. Untuk

menyesuaikan

dengan

perkembangan

zaman.

Hak & kewajiban

WP jelas.

2. Sistem pemungutan a. sangat

tergantung pada

aparat

perpajakan

b. Official

assessment.

a. ditentukan oleh

WP sendiri

b. self assessment.

3

Page 8: Modul Perpajakan

3. Tata cara pemungutan a. berbelit-belit

b. pengisian SPT

hanya sebagai

laporan

c. hasil pemungutan

pajak tidak

memadai

d. WP diperlukan

sebagai “objek”

a. lebih sederhana

b. pengisian SPT

sebagai tindakan

Hk

c. WP menghitung &

menyetorkan

pajak sendiri

WP diperlakukan

sebagai “subjek”

4. Tarif Pajak a. tarif pajak

berbeda antara

WP badan & WP

perseorangan

b. tarif pajak cukup

tinggi

c. ada berbagai

bentuk insentif

pajak

a. tarif pajak berlaku

untuk WP badan

& WP

perseorangan

b. tarif pajak

diturunkan

c. menghapus

segala bentuk

insentif pajak

D. DASAR-DASAR PERPAJAKAN

Definisi dan unsur pajak menurut Prof. Dr. Soemitro, SH. adalah

iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang

langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar

pengeluaran umum.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki

unsur :

4

Page 9: Modul Perpajakan

1. Iuran dari rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak hanya

negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).

2. Berdasarkan Undang-undang Pajak dipungut atau dengan kekuatan

Undang-undang, serta aturan pelaksanaannya.

3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara

langsung dapat ditunjukkan. Dalam pembayaran pajak tidak dapat

ditunjukan adanya kontraprestasi individual oleh Pemerintah.

4. Digunakan untuk membiayai Rumah Tangga Negara, yakni

pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Adapun fungsi pajak ada dua, yaitu :

1. Fungsi budgeter, pajak merupakan sumber dana bagi pemerintah

untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.

2. Fungsi regulerend (mengatur), pajak sebagai alat untuk mengatur

atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan

ekonomi.

Contoh :

a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras (label merah)

untuk mengurangi konsumsi minuman keras.

b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk

mengurangi gaya hidup mewah.

c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor

produksi Indonesia di pasaran dunia internasional.

Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau

perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai

berikut :

1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan) sesuai hukum.

2. Pemungutan pajak, berdasarkan Undang-undang (syarat yuridis). Di

Indonesia diatur dengan UUD 45, pasal 23 ayat 2 : memberi jabatan

hukum untuk menyatakan keadilan, baik negara dan warganya.

5

Page 10: Modul Perpajakan

3. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis).

4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansial).

5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana.

Sedangkan hukum perpajakan dapat dikelompokan menjadi

Hukum Pajak Materil dan Hukum Pajak Formil :

1. Hukum Pajak Materil (langsung), yaitu pajak yang dipikul sendiri oleh

WP dan tidak dapat dibebankan/dilimpahkan kepada orang lain,

seperti Pajak Penghasilan (PPh).

2. Hukum Pajak formil, memuat bentuk/tatacara untuk mewujudkan

hukum materil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak

materil).

E. PENGELOMPOKAN PAJAK

1. Menurut Golongannya :

a. Pajak langsung, yaitu pajak harus dipikul sendiri oleh WP dan

tidak dapat dibebankan/dilimpahkan kepada orang lain, seperti

Pajak Penghasilan (PPh).

b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat

dilimpahkan kepada orang lain, seperti Pajak Pertambahan Nilai

(PPN).

2. Menurut Sifatnya :

a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang bepangkal/berdasarkan pada

subjeknya dalam arti memperhatikan keadaan diri WP, seperti

PPh.

b. Pajak objektif, yaitu pajak yang bepangkal/berdasarkan pada

objeknya, tanpa memperhatikan kedaan diri WP, seperti PPN dan

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM).

3. Menurut Lembaga Pemungutannya :

6

Page 11: Modul Perpajakan

a. Pajak Pusat, dipungut oleh Pemerintah Pusat dan digunakan untuk

membiayai Rumah Tangga Negara, seperti PPN & PPnBM, PBB

dan Bea materai.

b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh PEMDA dan

digunakan untuk membiayai Rumah Tangga Daerah.

Pajak Daerah terdiri atas :

- Pajak DATI I (Propensi), seperti Pajak Kendaraan Bermotor

dan Bea Balik Nomor (BBN) Kendaraan Bermotor.

- Pajak DATI II (Kota Madya/Kabupaten), seperti Pajak

Pembangunan, Pajak Penerangan Jalan, dan Pajak Bangsa

Asing (WNA).

F. TATACARA PEMUNGUTAN PAJAK

1. Stelsel Pajak :

Pemungutan pajak dapat dilakukan atas 3 stelsel :

a. Stelsel nyata (riel stelsel).

Pengenaan pajak atas dasar objek (penghasilan yang nyata),

sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun

pajak.

b. Stelsel Anggapan (fictieve Stelsel).

Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur

oleh UU misal : penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan

tahun sebelumnya.

c. Stelsel Campuran.

Merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan anggapan, Pada

awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan,

kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan

keadaan yang sebenarnya.

7

Page 12: Modul Perpajakan

2. Azas Pemungutan Pajak :

a. Azas domilisi (azas tempat tinggal).

Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan WP yang

bertempat tinggal diwilayahnya.

b. Azas sumber.

Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang

bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal

WP.

c. Azas Kebangsaan.

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.

Missal : pajak bangsa asing (WNA). Atas azas ini berlaku WP luar

negeri.

3. Sistem Pemungutan Pajak :

a. Offcial Assessment system.

Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang

kepada Pemerintah (fiscus) untuk besarnya pajak yang terutang

oleh WP.

b. Self Assessment Syatem.

Adalah suatu sistem pemungutan pajak memberi wewenang

kepada WP untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang

terutang.

c. With Holding Syistem .

Adalah suatu sistem pemungutan pajak memberikan wewenang

kepada pihak ketiga (bukan fiscus dan bukan WP bersangkutan)

untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh WP.

8

Page 13: Modul Perpajakan

G. TIMBUL DAN HAPUSNYA HUTANG PAJAK

Ada 2 ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak :

1. Ajaran Formil, Utang pajak tibul kaena dikeluarkannya Surat

Keterangan Pajak (SKP) Oleh fiscus. Ajaran ini diterapkan kepada

official assessment system.

2. Ajaran Materil, Utang pajak timbul karena U.U seseorang dikenai

pajak karena keadaan dan perbuatannya. Ajaran ini diterapkan pada

seassessment System.

Sedangkan hapusnya utang pajak dapat disebabkan beberapa

hal, yaitu hambatan terhadap pemungutan pajak yang dikelompokan :

1. Perlawanan Pasif .

Masyarakat enggan (pasif ) membayar pajak, yang dapat disebabkan

antara lain :

a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.

b. Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat.

c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan / dilaksanakan dengan baik.

2. Perlawanan Aktif.

Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara

langsung ditujukan kepada fiscus dengan tujuan untuk menghindari

pajak, bentuknya antara lain :

a. Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak

melanggar undang-undang.

b. Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara yang

melanggar undang-undang. ( menggelapkan pajak ).

H. TARIF PAJAK

Ada 4 tarif pajak, yaitu :

1. Tarif sebanding/proporsional, dikenai pajak, sehingga besarnya

pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai

9

Page 14: Modul Perpajakan

pajak contoh : untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) didalam

daerah pajak akan dikenakan PPN sebesar 10%.

2. Tarif tetap, tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap

berapapun jumlah yang dikenai pajak yang terutang tetap.

Contoh : Besar tarif bea materai untuk cek dan bilyet giro dengan

nilai berapapun adalah Rp. 1.000,- sekarang naik sejak

tanggal 1 Mei 2000 menjadi Rp.3.000,- dan Rp.6.000,-

3. Tarif Progresif, persentase tarif yang digunakan semakin besar bila

jumlah yang dikenal pajak semakin besar.

Contoh : pasal 17 UU.PPh tahun 1995.

Lapisan penghasilan Kena Pajak (PKP) Tarif

- Sampai dengan Rp.25.000.000,- 10%

- Rp. 25.000.000,- – Rp.50.000.000,- 15%

- diatas Rp.50.000.000,- 30%

Menurut kenaikan persentase Tarif Progresif dibagi :

a. Tarif Progresif Progresif, kenaikan persentase semakin besar.

b. Tarif Progresif Tetap, kenaikan persentase tetap.

c. Tarif Progresif Degresif, kenaikan persentase semakin kecil.

Dengan demikian, tarif pajak menurut pasal 17 UU.PPh tersebut

diatas termasuk Tarif Progresif Progresif.

4. Tarif Degresif, persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila

jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

Referensi : UU. No.7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah menjadi

UU. No. 10 tahun 1994 dan diteruskan dengan UU. No. 26

tahun 2000

FAKULTAS EKONOMIUNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN” JAKARTA

10

2

MODUL PERTEMUAN II & III

Perpajakan (3 SKS)

Page 15: Modul Perpajakan

POKOK BAHASANKEBIJAKAN DAN TEKNIS PEMOTONGAN PPh PASAL 21

ADIYAS, SE, MM.

A. PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN (PPh)

Pajak Penghasilan (PPh) mengandung 2 pengertian. Pertama

mengenai arti pajak itu sendiri dan kedua arti penghasilan. Pengertian

pajak secara bebas sebagai suatu kewajiban kenegaraan berupa

pengabdian serta peran aktif Warga Negara dan anggota masyarakat

untuk membiayai keperluan Negara yang berupa Pembangunan Nasional

yang pelaksanaannya diatur dalam UU dan Peraturan-peraturan untuk

tujuan kesejahteraan bangsa dan negara.

Sedangkan Penghasilan adalah jumlah uang yang diterima atas

usaha yang dilakukan orang perorangan, badan dan bentuk usaha lainnya

yang dapat digunakan untuk aktivitas ekonomi seperti mengkonsumsikan

dan/atau menimbun serta menambah kekayaan.

Menurut Pasal 4 ayat 1 UU.PPh No.10 Tahun 1994, penghasilan

yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomi yang diterima/diperoleh oleh

wajib pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang

dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib

pajak (WP).

Jadi pengertian Pajak Penghasilan (PPh) adalah suatu pungutan

resmi yang ditunjukkan kepada masyarakat yang berpenghasilan

atau/atas penghasilan yang diterima diperoleh dalam tahun pajak untuk

kepentingan negara dan masyarakat dalam hidup berbangsa dan

bernegara sebagi suautu kewajiban yang harus dilaksanakannya.

11

Page 16: Modul Perpajakan

Dengan kata lain jika penghasilan yang diterima bukan

merupakan tambahan kemampuan ekonomis atau tidak dapat menambah

kekayaan WP, maka pengahasilan tersebut adalah penghasilan bukan

objek pajak.

B. SUBJEK PAJAK

Azas yang berkaitan dengan subjek pajak adalah :

1. Azas Domisili yaitu suatu azas pemungutan pajak berdasarkan

domisili/tempat tinggal subjek pajak.

2. Azas Sumber, yaitu azas pemungutan pajak berdasarkan sumber

penghasilan yang diperoleh oleh subjek pajak.

3. Azas Kebangsaan, yaitu azas pemungutan pajak berdasarkan

kewarganegaraan subjek pajak.

Pengertian Subjek Pajak menurut UU.No. 10 tahun 1994 pasal 2

ayat 1,2,3 dan 4, tentang PPh adalah orang pribadi, warisan yang belum

terbagi sebagai satu kesatuan, badan dan bentuk usaha tetap.

Kewajiban pajak subjektif orang pribadi/badan/ warisan dimulai

dan berakhir pada saat :

- Orang pribadi dilahirkan, berada atau berniat untuk bertempat tinggal

di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau

meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

- Badan didirikan atau berkedudukan di Indonesia dan berakhir pada

saat dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia.

- Timbulnya warisan dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai

dibagi.

Sedangkan yang tidak tergolong sebagai Subjek Pajak adalah :

12

Page 17: Modul Perpajakan

- Badan Perwakilan Negara Asing

- Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-

pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan

- Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri

Keuangan.

- Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan

oleh Menteri Keuangan.

C. OBJEK PAJAK

Secara teoritis objek pajak adalah keadaan-keadaan, peristiwa-

peristiwa atau perbuatan-perbuatan apa saja yang selayaknya dapat

dikenakan pajak.

Sedangkan objek pajak dalam undang-undang no.10 tahun 1994

pasal 4 ayat 1 dan 2, PPh adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis

yang diterima atau diperoleh WP, baik yang berasal dari Indonesia

maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau

untuk menambah kekayaan WP yang bersangkutan dengan nama dan

dalam bentuk apapun. Secara singkat dapat dikatakan bahwa objek pajak

tidak lain adalah penghasilan yang diterima oleh WP.

D. PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (PPh.21)

Sistem pemungutan pajak di Indonesia, khususnya pajak

penghasilan, sekarang berlaku sistem self assessment. Dalam sistem ini

masyarakat diberi kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar

untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri

besarnya jumlah pajak yang terutang. Yang termasuk dengan masyarakat

disini adalah mereka yang termasuk dalam kategori besar berikut :

13

Page 18: Modul Perpajakan

1. Kategori I adalah mereka yang wajib mengisi dan menyampaikan SPT

Tahunan PPh pasal 21 (form 1721).

2. Kategori II adalah mereka yang wajib mengisi dan menyampaikan

SPT Tahunan PPh WP Perseorangan (Form 1770).

3. Kategori III adalah mereka yang wajib mengisi dan menyampaikan

SPT Tahunan PPh WP Badan (Form 1771).

Disamping penghasilan yang terkena pemotongan PPh pasal 21

diatas, berikut ini adalah penghasilan yang tidak dipotong PPh pasal 21 :

a. Penerimaan dalam bentuk natura.

b. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang

pendiriannya disahkan Menkeu, dan penyelenggara Taspen serta

iuran tabungan hari tua atau tunjangan hari tua kepada badan

penyelenggara Taspen Jamsostek yang dibayar oleh pemberi

kerja.

c. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung pemberi kerja.

1. Tahapan Dan Istilah Dalam Menghitung PPh Pasal 21 :

Dalam melakukan perhitungan besarnya utang pajak PPh pasal 21,

berapa tahapan dan istilah berikut ini perlu dipahami dan dimengerti

dengan baik.

Penghasilan Bruto :

Yaitu seluruh penghasilan yang diterima oleh WP sebelum dikurangi

dengan pengurangan-pengurangan yang diperkenankan oleh UU,

berupa biaya jabatan, iuran pensiun dan Penghasilan Tidak Kena

Pajak (PTKP).

Contoh :

Diketahui seorang karyawan mendapatkan gaji pokok Rp. 750.000,-

tunjangan kesejahteraan keluarga Rp. 100.000,- tunjangan

14

Page 19: Modul Perpajakan

kemahalan Rp. 150.000,- tunjangan jabtan Rp. 100.000,- menempati

rumah berikut mobil dinas yang dinilai sebulannya Rp. 400.000,- dan

mendapatkan iuran asuransi kecelakaan dan asuransi kematian Rp.

25.000,-. Diketahui juga karyawan tersebut memiliki 1 orang anak

dan istrinya tidak bekerja. Maka penghasilan Bruto karyawan

tersebut dapat dihitung sebagai berikut :

- Gaji Rp. 750.000,-

- Tunjangan kesejahteraan Rp. 100.000,-

- Tunjangan kemahalan Rp. 150.000,-

- Tunjangan jabatan Rp. 100.000,-

- Iuran asuransi kecelakaan & kematian Rp. 25.000,-

Total Penghasilan Bruto Rp. 1.125.000,-

Catatan :

Nilai rumah dinas dan kenderaan tidak dimasukkan dalam

penghasilan bruto karyawan, karena disisi lain perusahaan tidak

memperlakukan natura tersebut sebagai salah satu unsur biaya

perusahaan, sehingga natura tersebut bagi karyawan yang

menerimanya bukan merupakan penghasilan.

Penghasilan Neto :

Penghasilan neto adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya

jabatan, iuran pensiun dan tunjangan hari tua. Ketetapan mengenai

besarnya Biaya Jabatan, Iuran Pensiun dan Tunjangan Hari Tua

diatur sebagai berikut :

- Biaya Jabatan ditetapkan 5% dari penghasilan bruto, dengan

setinggi-tingginya Rp. 648.000,- setahun atau Rp. 54.000,-

sebulan

- Iuran Pensiun ditetapkan 5% dari penghasilan bruto, dengan

setinggi-tingginya Rp. 216.000 setahun atau Rp. 18.000,-

sebulan.

15

Page 20: Modul Perpajakan

- Tunjangan Hari Tua pengaturannya sama dengan penetapan iuran

pensiun, namun demikian tidak tertutup kemungkinan bagi

pemberi kerja untuk menetapkan secara nominal, sepanjang tidak

melebihi nilai maksimum seperti yang ditetapkan untuk besarnya

Iuran Pensiun diatas.

- Khusus untuk penerima Pensiun, penetapn besarnya penghasilan

netonya dilakukan dengan cara penghasilan Bruto (PB) dikurangi

dengan iuran pensiun dengan ketetapan yang sama dengan yang

diatas.

Contoh

Dengan soal yang sama pada contoh diatas, maka untuk mencari

besarnya ppenghasilan neto (PN) adalah sebagai berikut :

- Gaji Rp. 750.000,-

- Tunjangan kesejahteraan Rp. 100.000,-

- Tunjangan kemahalan Rp. 150.000,-

- Tunjangan jabatan Rp. 100.000,-

- Iuran asuransi kecelakaan & kematian Rp. 25.000,-

Total Penghasilan Bruto Rp. 1.125.000,-

Pemotongan/Pengurangan :

- Biaya jabatan 5% x 1.125.000,- = Rp. 56.000,-

- Biaya jabatan yang diperkenankan = Rp. 54.000,-

- Iuran Pensiun yang diperkenankan = Rp. 18.000,-

- THT 1% x Rp. 750.000,- = Rp. 7.500,- +

Jumlah potongan = Rp. 79.000,

Penghasilan Neto (PN) = Rp. 1.045.500,-

16

Page 21: Modul Perpajakan

E. PENGHASILAN KENA PAJAK (PKP) DAN PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)

1. Penghasilan Kena Pajak untuk WP orang Pribadi :

Dalam rangkaian mencari besarnya utang pajak adalah penghasilan

kena pajak (PKP). Untuk mendapatkan besarnya Penghasilan Kena

Pajak (PKP) adalah dengan cara mengurangi Penghasilan Neto (PN)

dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Pengaturan

mengenai besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah

mengalami perubahan sebanyak empat kali, karena disesuaikan

dengan perubahan harga kebutuhan pokok yang meningkat,

sedangkan nilai uang menurun (inflasi). Untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada uraian berikut ini :

Departemen Keuangan Republik Indonesia

Direktorat Jenderal Pajak

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) :

I. s/d 1989 2. 1990-94 3.1995-98 4. 1999-04 5. 2005 6. 2006 7. 2009

- Diri WP Pribadi

- Tambahan WP kawin

- Tambahan seorang istri

yang penghasilan

digabung penghasilan

suami

- Tambahan untuk setiap

anggota keluarga

sedarah & keturunan,

anak angkat yang

tanggungan maksimal 3

anak.

960.000

480.000

960.000

480.000

1.440.000

720.000

1.440.000

720.000

1.728.000

864.000

1.728.000

864.000

2.880.000

1.440.000

2.880.000

1.440.000

12.000.0

00

1.200.00

0

12.000.0

00

1.200.00

0

13.000.000

1.200.000

13.200.000

1.200.000

15.840.000

1.320.000

15.840.000

1.320.000

17

Page 22: Modul Perpajakan

Penghasilan Kena Pajak (PKP) Pasal 17 :

Tarif Lama :

( Pasal 17, UU PPh 1983)

Tarif Baru :

( Ps. 17 UU no. 10,1994)

0 s/d Rp. 10 jt = 15 %

10 jt - Rp. 50 jt = 25 %

diatas Rp. 50 jt = 35 %

0 s/d Rp. 25 jt = 10 %

25 jt - Rp. 50 jt = 15 %

diatas Rp. 50 jt = 30 %

Cara Perhitungan Pajak Terutang :

Misalkan Pajak Terutang nilainya Rp. 80 juta

Tarif lama :

15 % x Rp. 10 juta = Rp. 1.000.000

25 % x Rp. 40 juta = Rp. 10.000.000

35 % x Rp. 30 juta = Rp. 10.500.000 +

Total = Rp. 22.000.000

Tarif Baru :

10 % x Rp. 25 juta = Rp. 2.500.000

15 % x Rp. 25 juta = Rp. 3.750.000

30 % x Rp. 30 juta = Rp. 9.900.000 +

Total = Rp. 15.250.000

2. Menghitung Pajak Terutang :

Langkah terakhir untuk mengetahui berapa besarnya utang pajak

adalah dengan cara mengalikan besarnya Penghasilan Kena Pajak

(PKP) dengan tarif pajak yang berlaku. Untuk memperjelas apa yang

sudah diuraikan diatas, maka berikut ini akan disusun kerangka

mengenai perhitungan PPh-21 khusus Wajib Pajak (WP) Orang

Pribadi sebagai berikut :

Penghasilan Bruto (PB) Rp. xxxx

Penghasilan lainnya yang tidak boleh

dikurangikan dari Penghasilan Bruto Rp. xxxx +

Jumlah Penghasilan Bruto (PB) Rp. xxxx

18

Page 23: Modul Perpajakan

Pengurangan-Pengurangan :

Biaya jabatan 5 % x PB maks. Rp. 648.000 (1.296.000)

Iuran Pensiun 5 % x PB maks Rp. 216.000 ( 432.000)

T.H.T. 5 % x PB maks Rp. 216.000 ( 432.000)

Jumlah pengurangan Rp xxxx

Penghasilan Neto (PN) Rp. xxxx

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) :

Diri WP ……….

Tambahan status kawin ....…….

Tambahan tanggungan ……….

Jumlah P T K P Rp. xxxx

Penghasilan Kena Pajak ( P K P ) Rp. xxxx

Hutang Pajak = PKP/tahun x tarif pajak PPh pasal 17 = Rp. xxxx

(Pajak Progressif)

0 s/d Rp. 25 jt x 10 % = Rp. xxxx

25 jt - Rp. 50 jt x 15 % = Rp. xxxx

diatas Rp. 50 jt x 30 % = Rp. xxxx +

Hutang Pajak PPh-21 = Rp. xxxx

Contoh :

Dengan soal yang sama pada contoh sebelumnya, maka untuk

mencari Penghasilan Kena Pajak, yaitu Total Penghasilan Bruto (PB)

dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Selanjutnya Pajak

terutang PPh-21 dapat dihitung :

Total Penghasilan Bruto (PB) = Rp. 1.125.000,-

Total Penghasilan Neto (PN) sebulan = Rp. 1.045.500,-

19

Page 24: Modul Perpajakan

Total Penghasilan Neto (PN) setahun = Rp. 12.546.000,-

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) :

Diri Wajib Pajak (WP) = Rp. 1.728.000

Tambahan status kawin = Rp. 864.000

Tambahan tanggungan = Rp. 864.000 +

Total PTKP = Rp. 3.465.000,-

Total Penghasilan Kena Pajak ( P K P ) = Rp. 9.090.000,-

Pajak Terutang PPh-21 /tahun = 10% x 9.090.000 = Rp. 909.000,-

Pajak Terutang PPh-21 /bulan = Rp. 909.000 = Rp. 75.741,67

12

Jadi Pajak Terutang PPh-21 /bulan = Rp. 75.742,-

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

Nomor : KEP-259/PJ/2001

Tentang

Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang diterima oleh

Pekerja sampai dengan sebesar Upah Minimum Propinsi (UMP)

Atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK)

Pengenaan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pekerja s.d. UMP atau UMK

Dipersamakan dengan Pengenaan PPh Pasal 21 atas Penghasilan

Pekerja

s.d. UMR yakni ditanggung Pemerintah

20

Berlaku 01 Januari 2001

Page 25: Modul Perpajakan

TARIF PAJAK ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK

BAGI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI

(UU RI Nomor 17 Tahun 2000)

PKP > 0 s.d. 25 juta Tarif 5 %PKP > 25 juta s.d. 50 juta Tarif 10%PKP > 50 juta s.d. 100 juta Tarif 15%PKP > 100 juta s.d. 200 juta Tarif 25%PKP > 200 juta Tarif 35%

Penghasilan tidak kena pajak untuk WP Dalam Negeri

Rp. 2.880.000,-

Contoh :

Penghitungan Pajak Terutang

Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi

Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp. 300.000.000,00

Pajak Penghasilan yang terutang :

5 % x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 1.250.000,00

10 % x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00

15 % x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 7.500.000,00

25 % x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 25.000.000,00

35 % x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 35.000.000,00 (+)

Rp. 71.250.000,00

21

Page 26: Modul Perpajakan

TARIF PAJAK ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK

BAGI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI DAN BUT

(UU RI Nomor 17 Tahun 2000)

PKP > 0 s.d. 50 juta Tarif 10 %PKP > 50 juta s.d. 100 juta Tarif 15 %PKP > 100 juta s.d. 200 juta Tarif 30 %

Tidak diberikan pengurangan PTKP

TARIF PAJAK PENGHASILAN (PPh) WP Pribadi (WP OP)

( UU NO.36 TAHUN 2008 )

(1)Tarif Pajak yang diterapkan atas PKP bagi :

a. WP Orang Pribadi dalam negeri adalah sbb :

NO LAPISAN PENGHASILAN KENA PAJAK TARIF PAJAK

1. 0 s.d Rp 50.000.000,- 5%

2. Diatas Rp 50 juta s.d Rp 250 juta 15%

3. Diatas Rp 250 juta s.d Rp 500 juta 25%

4. Diatas Rp 500 juta 30%

b. Pajak Badan dalam negeri dalam Bentuk Usaha Tetap (BUT)

adalah sebesar 28% (dua puluh delapan)

Referensi : Pasal 21 UU.PPh, Kep. Dirjen Pajak No.2 Tahun 199

22

Page 27: Modul Perpajakan

FAKULTAS EKONOMIUNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN” JAKARTA

POKOK BAHASANKEBIJAKAN DAN TEKNIS PEMOTONGAN PPh PASAL 22

ADIYAS, SE, MM.

A. PENDAHULUAN

PPh Pasal 22 merupakan pembayaran PPh dalam tahun berjalan

yang dipungut sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang

dan kegiatan usaha dibidang lain.

Dasar Hukum pemungutan PPh Pasal 22 :

- Pasal 22 UU No. 10 tahun 1994

- Keputusan Menkeu No. 599/KMK 04/1994, tanggal 21 Desember

1994.

Pemungutan PPh Pasal 22 :

a. Bank Devisa dan Dirjen Bea dan Cukai, atas impor barang

b. Dirjen anggaran, bendaharawan pemerintah (pusat dan daerah),

BUMN dan BUMD yang melakukan pembayaran atas pembelian

barang dan dananya berasal dari belanja negara dan/atau daerah

c. Badan usaha yang bergerak dibidang industri semen, rokok, kertas,

baja dan otomatif atas hasil penjualannya di dalam negeri, yang

ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Termasuk pemungut

PPh pasal 22 atas penjualan semen dalam negeri adalah : Distributor

Tunggal/Distributor Utama Semen Produksi : PT. Semen Cibinong, PT.

Semen Indocement, PT. Semen Nusantara.

23

3

MODUL PERTEMUAN IV

Perpajakan (3 SKS)

Page 28: Modul Perpajakan

d. Pertamina dan Badan Usaha selain Pertamina yang bergerak dibidang

BBM jenis Premix dan gas, atas penjualan hasil produksinya kepada

para penyalur dan agennya.

e. Badan urusan logistik (BULOG), atas penyerahan gula pasir dan

tepung terigu kepada para penyalur dan/atau agennya.

B. SUBJEK YANG DIKENAKAN PAJAK

Yang merupakan subjek dari pemungutan PPh 22 adalah :

a. Importir

b. Rekaman Pemerintah

c. Konsumen semen, rokok, kertas, baja dan otomatif

d. Para penyalur dan agen pertamina dan badan usaha selain pertamina

yang bergerak dibidang BBM jenis premix dan gas

e. Para penyalur dan agen BULOG.

C. OBJEK PEMUNGUTAN PAJAK

Yang merupakan objek pemungutan pajak adalah PPh 22 adalah:

a. Impor barang.

b. Penjualan hasl produksi atau penyerahan barang.

D. DASAR PEMUNGUTAN

a. Nilai Impor.

b. Harga jual lelang.

c. Harga pembelian.

24

Page 29: Modul Perpajakan

E. PENGECUALIAN PPh PASAL 22

Yang di kecualikan dari pemungutan PPh pasal 22 adalah :

a. Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk yang

dilakukan kedalam kawasan berikat dan Entrepot Produksi untuk

tujuan Ekspor(EPTE) berdasarkan ketentuan peraturan perundangan-

undangan yang berlaku.

b. Impor barang–barang untuk pameran atau keperluan lainnya yang

dipergunakan di Indonesia bersifat sementara dan setelah keperluan

barang dimaksud diekspor kembali, misalnya impor mobil untuk

pameran atau reli dan setelah pameran atau reli selesai, mobil

tersebut diekspor kembali.

c. Pembayaran atas penyerahan barang ( bukan merupakan jumlah

yang dipecah-pecah ) yang jumlahnya kurang dari Rp. 500.000,-.

d. Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang-barang yang

berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak terhutang. PPh

pengecualian ini harus dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas

Pajak PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak .

F. TARIF PEMUNGUTAN

a. Atas Impor

a. yang menggunakan Angka Pengenal Importer (API), tarif

pemungutannya sebesar 2,5 % dari nilai impor.

b. Yang tidak menggunakan API, tarif pemungutannya 7,5 % dari

nilai impor.

c. Yang tidak dikuasai, tarif pemungutannya sebesar 7,5 % dari

harga lelang.

b. Atas pemberian barang yang dibiayai dengan APBN atau APBD tarif

pemungutannya sebesar 1,5% dari harga pembelian.

25

Page 30: Modul Perpajakan

c. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang yang dilakukan

oleh:

a. Badan usaha yang bergerak dibidang industri semen, rokok, kerta

baja, dan otomotif, yang ditunjukan oleh Kepala Pelayanan Pajak.

b. Pertamina dan badan usaha selain pertamina yang bergerak

diubidang BBM jenis Premix dan gas.

c. Bulog. Tarif pemungutannya ditentukan berdasar ketentuan yang

ditetapkan pleh Dirjen Pajak ; Pemungutan PPh Pasal 22 atas

penyerahan barang atau penjualan hasil produksi dari Pertamina

dan badan usaha selain Pertamina yang bergerak dibidang BBM

jenis Premix dan gas dan BULOG bersifal final.

d. Atas Penjualan Premix :

0,25 % dari penjualan untuk SPBU Pertamina dan 0,3% dari

penjualan untuk SPBU swasta.

e. Atas Penyaluran gula pasir dan terigu dari Bulog :

1. Rp. 380,-/ kuintal untuk penjualan gula pasir kepada penyalur.

2. Rp. 270,-/ kuintal untuk penjualan gula pasir kepada grosir.

3. Rp. 650,-/ kuintal untuk penjualan gula pasir kepada pembeli lain.

4. Rp. 53,-/ kuintal untuk penjualan terigu kepada penyalur.

5. Rp. 38,-/ kuintal untuk penjualan kepada grosir.

6. Rp. 91,-/ kuintal untuk penjualan kepada pembeli lain.

f. Atas penjualan kendaraan bermotor, semen, rokok, kertas, besi beton

dan baja lembaran lapis seng :

a. 0,45 % x DPP, PPN, untuk penjualan kendaraan bermotor.

b. 0,25 % x DPP, PPN, untuk penjualan semen.

c. 0,1 % x DPP, PPN, untuk penjualan rokok.

d. 0,1 % x DPP, PPN, untuk penjualan kertas.

e. 0,3 % x DPP, PPN, untuk penjualan besi beton.

f. 0,2 % x DPP, PPN, untuk penjualan baja lembaran lapis seng.

26

Page 31: Modul Perpajakan

g. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang digunakan sebagai dasar

perhitungan bea masuk. Nilai impor dihitung sebagai berikut :

Nilai Impor : Cost Insurance and Freight (CIF + bea masuk +

pungutan pabean lainnya (kalau ada).

G. KEWAJIBAN PEMUNGUTAN PPh PASAL 22

Kewajiban-kewajiban pemungutan PPh pasal sebagai berikut :

1. Memungut PPh Pasal 22 :

a. Untuk impor barang yang tidak diberikan

penundaan/pembebasan bea masuk.

b. Untuk impor barang yang diberikan penundaan/pembebasan bea

masuk pada sat pembayaran penyelesaian impor untuk dipakai

(PIUD).

c. Untuk pembayaran barang yang dananya dari APBN/APBD pada

saat pembayaran.

d. Untuk penjualan hasil produksi Pertamina dan hasil produksi

badan-badan usaha penyediaan premix dan gas, serta

penyerahan gula pasir dan terigu oleh Bulog pada saat

penerbitan surat perintah pengeluaran barang (D.O).

e. Untuk penjualan semen oleh Distributor Utama/tunggal pada saat

penjualan.

2. Memberikan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 :

Dikecualikan dari kewajiban tersebut diatas adalah Pertamina, Bulog

dan badan Usaha lainnya penyedia Premix karena pemungutannya

bersifat final.

27

Page 32: Modul Perpajakan

3. Khusus dalam penjualan rokok, menerbitkan dan nota retur dalam

hal terjadi retur penjualan rokok dan atas retur tersebut tidak dapat

diganti dengan rokok yang sama baik fisik maupun jumlah harganya.

4. Menyetor PPh Pasal 22, selambat-lambatnya 20 hari setelah

berakhirnya masa pajak. Khusus untuk PPh Pasal 22 yang dipungut

Dirjen Bea dan Cukai selambat-lambatnya 1 hari setelah pemungutan

pajak dilakukan.

5. Melaporkan pemungutan PPh Pasal 22, selambat-lambatnya 20

hari setelah berakhirnya masa pajak. Khusus untuk PPh Pasal 22

yang dipungut Dirjen Bea dan Cukai dan Bendaharawan pelaporan

dilakukan selambat-lambatnya 7 hari setelah penyetoran pajak.

H. PPh PASAL 22 BENDAHARAWAN

Sebagai objek pemungutanPPh Pasal 22 adalah penyerahan

barang dan jasa yang dibiayai dari APBN/APBD, sepanjang tidak

termasuk sebagai penghasilan yang dikenakan pemotongan pasal 21, 23,

dan 26. WP yang masuk dalam kategori diatas dapat berupa Badan

maupun Perorangan yang pada prinsipnya merupakan Rekanan

Pemerintah yang menerima pembayaran untuk penyerahan barang dan

jasa yang dibiayai dari APBN/APBD.

1. Mekanisme Pemungutan :

a. Pemungutan PPh-22 Bendaharawan terjadi pada saat pembayaran

atau penyerahan barang dan jasa yang dilakukan oleh Dirjen

Anggaran, Bendaharawan rutin dan proyek baik pusat maupun

daerah, serta badan lain yang melakukan pembayaran untuk

barang dan jasa dari belanja negara maupun belanja daerah.

b. dasar pemungutan adalah Penghasilan Neto dari Penyerahan

barang dari/ atau jasa, dimana Penghasilan Neto dihitung

28

Page 33: Modul Perpajakan

berdasarkan norma Perhitungan yang besarnya 6 % dari harga

barang dan jasa.

c. Tarif pemungutan PPh-22 pada umumnya adalah 25 % dari

Penghasilan Neto, sehingga pemungutan dihitung sebagai

berikut:

25% X Penghasilan Neto, menjadi 25 % X 6 % X harga barang / jasa

atau

Tarif = 1,5% X Harga / Nilai Pembelian barang

d. Cara menghitung PPh-22 Bendahawan adalah sebagai berikut:

Jika dalam harga/nilai pembelian barang atau jasa sudah

termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan/atau Pajak

Penjualan barang Mewah (PPn BM), maka nilai PPN dan PPnBM

harus dikeluarkan terlebih dahulu. Dengan kata lain, untuk

menghitung PPh-22 Bendaharawan, harga/nilai pembelian

barang yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak adalah

harga/nilai barang sebelum PPN dan PPnBM, hal ini dilakukan

untuk menghindari pengenaan pajak berganda.

e. Hal-hal yang dikecualikan dalam pemungutan PPh-22 adalah :

- Untuk pembayaran atas penyerahan barang (bukan jumlah

yang dipecah-pecah) yang meliputi jumlah pembayaran kurang

dari nilai Rp 500.000,-

- Untuk pembayaran atas pembelian bahan bakar minyak, listrik,

gas, air minum, benda-benda Pos, telepon. Pengecualian ini

dinyatakan syah jika diterbitkan dalam Surat Keterangan Bebas

Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh Dirjen Pajak.

2. Contoh Soal PPh–22 Bendaharawan :

29

Page 34: Modul Perpajakan

PT. Politek melakukan penjualan kepada beberapa instansi

pemerintah, dengan nilai sebagai berikut :

a. Kepada Instansi Pemerintah A, harga barang sudah termasuk

PPh – 22 sebesar Rp.30 juta (pengertian soal ini sama dengan

jumlah uang yang diterima oleh PT. Polietk setelah dipotong

PPh-22 Rp.30 juta.

b. Kepada instansi Pemerintah B, harga barang dengan nilai sudah

termasuk PPN sebesar Rp.110 juta

c. Kepada Instansi Pemerintah C, harga barang dengan nilai sudah

termasuk PPN dan PPn BM tariff 35 % sebesar Rp.150 juta.

Jawaban 1 :

Harga barang /jasa termasuk PPh-22 = Rp. 30.000.000,00

PPh-22 = 1,5 x 30.000.000,- = Rp. 456.852,79 +

98,5

Harga barang sebelum PPh-22 = Rp. 30.456.852,79

Pembuktian :

Harga penyerahan barang = Rp. 30.456.852,79

Penghasilan neto 6% x 30.456.852,79 = Rp. 1.872.411,17

PPh-22. = 25% x 1.872 411,17 = Rp. 456.852,79 -

Jumlah uang yang diterima oleh PT.Politek = Rp. 30.000.000,00

Jawaban 2 :

Harga barang termasuk PPn = Rp. 110.000.000,00

PPn = 10/110 x Rp.110.000.000 = Rp. 10.000.000,00

Harga barang sebelum PPN = Rp. 100.000.000,00

PPh-22 = 1,5% x Rp.100.000.000 = Rp. 1.500.000,00

Jumlah uang yang diterima PT.Politek = Rp. 98.500.000,00

Jawaban 3 :

Harga barang termasuk PPh dan

PPnBM 35% = Rp. 150.000.000,00

30

Page 35: Modul Perpajakan

PPN = 10/145 x 150.000.000 = Rp. 10.344.827,59

PPn BM = 35/145 x 150.000.000 = Rp. 36.206.896,65 –

Harga barang sebelum PPN dan PPnBM = Rp. 103.448.275,90

PPh-22 = 1,5% x 103.448.275,90 = Rp. 1.551.724,10 –

Jumlah uang yang diterima oleh PT.Politek = Rp. 101.896.551,80

Keterangan :

PPh-22 dipungut pada saat pelaksanaan pembayaran oleh

Bendaharawan atau penyerahan barang rekanan. Penyetoran dapat

dilakukan di Bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan

Surat Setoran Pajak (SSP), yang sekaligus merupakan bukti

pemungutan PPh pasal 22.

I. PPh PASAL 22 IMPOR

Yang menjadi objek pemungutan PPh-22 Impor adalah

Penghasilan Netto dan pemasukan barang ke dalam daerah Pabean yang

dilakukan oleh :

- Importir yang memiliki Angka Pengenal Impor (API), Angka Pengenal

Impor Sementara (APIS) dan Angka Pengenal Impor Terbatas (APIT).

- Importir yang tidak memiliki Angka Pengenal Impor.

1. Mekanise Pemungutan :

a. Pemungutan PPh-22 Impor terjadi pada saat pembayaran bea

masuk.

b. Jika pembayaran bea masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh-

22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen

pemberitahuan impor untuk dipakai (PIUD).

c. Dasar perhitungan PPh-22 Impor adalah Pengenalan Neto dari

Pemasukan Barang atau Nilai Impor.

31

Page 36: Modul Perpajakan

d. Penghasilan Neto bagi pemegang Angka Pengenal Impor (API)

adalah 10% dari Nilai Impor dan Penghasilan Neto bagi yang tidak

memiliki Angka Pengenal Impor adalah 30% dari Nilai Impor.

e. Nilai Impor adalah nilai berupa uanng yang menjadi dasar

perhitungan bea masuk yaitu: Cost Insurance and Freight (CIF)

ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang `pabean

di bidang Impor.

f. Tarif PPh-22 pada umumnya adalah 25%, sehingga:

- Untuk Importir yang memiliki API: 25% x 10% x Nilai Impor.

- Untuk Importir yang tidak memiliki API: 25% x 30% x Nilai

Impor.

- Atas Impor yang tidak dikuasai: 25% x 30% x Harga Jual

Lelang.

2. Sekilas Tentang Kegiatan Impor dan Perdagangan Luar Negeri :

Impor adalah : Suatu kegiatan memasukan dari negara yang satu

kedaerah pabean negara lainnya dengan

memandang peraturan-peraturan yang berlaku bagi

negara yang saling berhubungan dalam kegiatan

perdagangan luar negeri. Pelaksanaan kegiatan

perdagangan yang memasukan barang dan jasa

kedalam negeri dinamakan Importir yang sudah

meiliki API dan Importir yang tidak memiliki API.

Disamping Importir yang sudah terdaftar sebagai Importir, ada juga

yang dikenal dengan sebutan Indentor, yaitu Badan atau perorangan

yang memiliki dana dan meminta jasa Importir untuk mengimporkan

barang yang diinginkan dengan fee yang akan diberikan kepada

Importir.

Pada dasarnya setiap orang dapat menjadi importir, asal memenuhi

syarat-syarat yang sudah ditetapkan, seperti berikut ini:

32

Page 37: Modul Perpajakan

a. Memiliki NPWP

b. Memiliki SIUPP

c. Memiliki rekening Koran (R/K) di Bank Devisa

d. Jika memungkinkan memiliki Angka Pengenal Impor (API)

e. Sebaiknya dapat menunjukkan bukti adanya hubungan dagang

dengan luar negeri.

3. Importir dan Angka Pengenal Impor (API) :

API tidak lain adalah Kartu pengenal atau identitas yang sebaiknya

dimiliki oleh setiap Perusahaan yang melakukan kegiatan Impor.

Importir yang sudah memenuhi syarat-syarat diatas, maka akan

mendapatkan APIS (Angka Pengenal Impor Sementara) yang

memiliki masa berlaku sampai 2 tahun.

Selama 2 tahun Importir sekurang-kurangnya dapat melakukan

kegiatan Impor sebanyak 4 kali dengan pencapaian nilai transaksi

sekurang-kurangnya US $100,000,- tanpa melakukan pembatalan

perjanjian Impor, kecuali dalam keadaan terpaksa.

Bagi Perusahaan Asing dibidang Industri yang didirikan dalam rangka

Penanaman Modal Asing (PMA) dan perusahaan asing domestik

dibidang produksi dapat memiliki Angka Pengenal Impor Terbatas

(APIT). Importir dengan APIT dapat melakukan kegiatan impor untuk

mesin-mesin, suku cadang, bahan/peralatan bangunan, bahan

baku/bahan penolong yang digunakan untuk proses produksi sendiri.

4. Contoh soal PPh-22 Impor :

Impor lampu hias dari Italia tiba di pelabuhan Tanjung Priok, dengan

nilai FOB = US $ 10,000 (kurs Rp.2400). Tarif Bea masuk dan Bea

masuk tambahan yang berlaku saat itu masing-masing 5% dan 1%.

33

Page 38: Modul Perpajakan

PPnBM 20%, PPN 10%, Biaya tambang asal Eropa sebesar 5%,

dengan asuransi = 0,5% Penegenal Impor (API) = 2,5%

Untuk mencari besarnya Nilai Impor (C&F/CIF + BM + BMT), terlebih

dahulu harus diketahui besarnya Bea Masuk, sebagai berikut :

Bea Masuk = 5% x (C&F/ /CIF)

Bea Masuk Tambahan = 1% x (C&F/ /CIF)

PPN = 10% x (C&F/CIF+BM+

BMT)

PPnBm = 20% x Nilai Impor

PPh pasal 22 = 2,5 % x Nilai Impor

Catatan :

- Persentase Bea Masuk, dapat dilihat dari buku tariff Bea Masuk

Indonesia.

- Persentase Bea Masuk Tambahan, dapat dilihat pada Surat

Keputusan Menkeu, RI yang berkenaan dengan Bea Masuk

Tambahan.

- C&F adlah kependekan dari Cost and Freight, yang digunakn

apabila asuransi dibayar di dalam negeri.

- CIF adalah kependekan dari Cost Insurance and Freight, yang

digunakan apabila asuransi dibayar di luar negeri.

- Persentase mengenai Biaya Tambang ( Freight ) dapat dilihat

pada Daftar Biaya Tambang.

- FOB adalah kependekan dari Freight on Board, yang sama

dengan harga berdasarkan nilai kurs dalam mata uang negara

pengimpor.

FOB = US $ 10.000

Nilai Kurs Rp 2.400 = Rp 24.000.000

Sehingga CIF = Rp 24.000.000

Freight asal Eropa = 5 % x FOB

34

Page 39: Modul Perpajakan

= 5 % x Rp 24.000.000

= Rp. 1.200.000

Insurance = 0,5% x C&F

= 0,5% x ( 24.000.000 +

1.200.000 )

= Rp 126.000

C I F = 24.000.000 + 1.200.000 + 126.000

= Rp. 25.326.000

Bea Masuk = 5 % x Rp 25.326.000 = Rp 1.266.300

Bea Masuk Tambahan = 1 % x Rp 25.326.000 = Rp 253.260

Nilai Impor = CIF + Bea Masuk + Bea Masuk Tambahan

= 25.326.000 + 1.266.300 + 253.260

= Rp 26.845.560

PPN = 10 % x Rp 26.845.560 = Rp 2.684.556

PPnBM = 20 % x Rp 26.845.560

PPh pasal 22 = 2,5% x Rp 26.845.560 = Rp 671.139

Yang dibayar di Bank Devisa :

Bea masuk = Rp 1.266.300

Bea Masuk Tambahan = Rp 253.260

PPN = Rp 2.684.556

PPn BM = Rp 5.369.112

PPh Pasal 22 = Rp 671.139 +

Jumlah yg dibayar = Rp 1

Referensi : UU No.10 tahun 1994 yang diperbaharui dengan UU No.30

tahun 2008 , Kep. Dirjen Pajak No.KEP-147/KMK.04/95

FAKULTAS EKONOMIUNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

35

4

Page 40: Modul Perpajakan

”VETERAN” JAKARTA

POKOK BAHASANKEBIJAKAN DAN TEKNIS PEMOTONGAN PPh PASAL 23

ADIYAS, SE, MM.

A. PENDAHULUAN

PPh-23 jika disimpulkan adalah pajak atas penghasilan

sehubungan dengan penghasilan dalam tahun takwim melalui

pemungutan pihak ketiga, berdasarkan tariff atau kalkulasi penetapan

pajak yang harus dibayar oleh WP. Yang dimaksud pihak ketiga adalah

setiap orang atau badan yang diwajibkan untuk memotong PPh-23,

seperti : Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah

(BUMD), Badan Pemerintah, WP Badan Dalam Negeri seperti PT, Firma,

CV dan Koperasi, Pemungut Pajak yang telah disetujui dari Dirjen Pajak.

Pemungutan atau Pemotongan PPh Pasal 23

Pemotong PPh-23 adalah pihak-pihak yang membayarkan

penghasilan yang terdiri atas :

1. Badan Pemerintah.

2. Subjek Pajak badan dalam negri.

3. Penyelenggara kegiatan.

4. Bentuk usaha tetap.

5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

6. Orang pribadi sebagai WP dalam negeri yang telah mendapat

penunjukkan dari Dirjen Pajak untuk memotong pajak PPh-23 sesuai

Keputusan DJP no. KEP-50/PJ/1994, maka WP orang pribadi dalam

negeri yang sebagai pemotong PPh-23 meliputi :

36

MODUL PERTEMUAN V

Perpajakan (3 SKS)

Page 41: Modul Perpajakan

a. Akuntan, arsitek, dokter, notaries, Pajak Pembuat Akta Tanah

(PPAT), kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara dan

konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas.

b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan

pembukuan.

B. SUBJEK PEMUNGUTAN PAJAK

Yang dikenakan pemungutan atau pemotongan adalah WP dalam

negeri atau bentuk usaha tetap yang memperoleh penghasilan yang

berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggara kegiatan selain

yang telah dipotong pajak sebagaimana dalam Pasal-23.

C. OBJEK PEMUNGUTAN PAJAK

Objek dari pemungutan PPh Pasal 23 adalah :

1. Dividen

2. Bunga, termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan

dengan jaminan pengembalian hutang.

3. Royalti

4. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak sebagai

mana dimaksud dalam pasal 21

5. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi

6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa

kontruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain yang telah dipotong

pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21

7. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

D. PENGECUALIAN PPh PASAL 23

37

Page 42: Modul Perpajakan

Yang tidak dikenakan pemungutan PPh Pasal 23 antara lain :

1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank

2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan denggan sewa

guna usaha dengan hak opsi

3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh PT sebagai

WP dalam negeri, koperasi, yayasan atau organisasi sejenis,

BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha

yang didirikan & bertempat kedudukan di Indonesia

4. Bunga obligasi yang diterima perusahaan reksadana

5. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal

adventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang

didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,

dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :

a. Merupakan perusahaan kecil, menengah atau menjalankan

kegiatan dalam sektor usaha yang ditetapkan Menkeu RI

b. Sahamnya tidak terdaftar di bursa efek di Indonesia

6. Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi yang dibayarkan oleh koperasi

kepada anggotanya

7. Bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan oleh

Menkeu yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya

berdasarkan Keputusan Menkeu No. 605/KMK 04/1994, batas

seluruh bunga simpanan yang tidak dipotong PPh-23 adalah

sebesar jumlah yang tidak melebihi Rp. 144.000 setiap bulannya

dan Kep. Menkeu No. 520/KMK.04/1998, Tgl 18 Desember 1998

adalah tidak melebihi Rp. 240.000,- setiap bul

E. DASAR PEMOTONGAN PPh PASAL 23

Ada 2 dasar pemotongan, yaitu :

1. Dari jumlah bruto, untuk penghasilan berupa :

a. Dividen

38

Page 43: Modul Perpajakan

b. Bunga, termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan

dengan jaminan pengembalian hutang

c. Royalti

d. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak

sebagaimana dimaksud dengan PPh-21

2. Dari perkiraan penghasilan neto, untuk penghasilan berupa :

a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan

harta

b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen,

jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain yang telah

dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam PPh-21.

F. TARIF PEMOTONGAN PPh PASAL 23

1. 15 % dari jumlah bruto atas penghasilan berupa :

a. Dividen

b. Bunga, termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan

dengan jaminan pengembalian hutang

c. Royalti

d. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak

sebagaimana dimaksud dengan PPh-21.

2. 15 % dari perkiraan penghasilan neto atas penghasilan berupa :

a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan

harta

b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa

konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain yang telah

dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam PPh-21.

G. PERHITUNGAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO

1. Sewa penggunaan harta bagi WP orang pribadi. Perkiraan

penghasilan neto sebesar 80 % dari jumlah bruto.

39

Page 44: Modul Perpajakan

2. Sewa penggunaan harta bagi WP Badan dan BUT. Perkiraan

penghasilan neto sebesar 40 % dari jumlah bruto.

3. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen dan jasa

konsultan. Perkiraan penghasilan neto sebesar 40 % dari jumlah

bruto.

4. Imbalan sehubungan dengan jasa perancang bangunan, interior

dan pertamanan, akuntansi dan pembukuan, pembersihan dan

pembasmian hama & penebangan hutan. Perkiraan penghasilan

neto sebesar 40 % dari jumlah bruto.

5. Imbalan sehubungan dengan jasa konstruksi atau pemborong

bangunan Perkiraan penghasilan neto sebesar 10 % dari jumlah

bruto.

Contoh Pembayaran Deviden :

Pada suatu kesempatan, Dodon membayarkan Rp. 2.000.000,- untuk

mobil perusahaan. Harga yang dibayarkan tersebut sesuai dengan

nilai sisanya, sedangkan harga pasar dari mobil tersebut Rp.

10.000.000,-.

Dodon merupakan pemegang saham pada perusahaan tersebut. Dari

kasus ini besarnya deviden terselubung adalah Rp. 8.000.000,

Perusahaan seharusnya memotong pajak penghasilan pasal 23 (PPh-

23) adalah sebagai berikut :

PPh-23 = 15% x Rp. 8.000.000,- = Rp. 1.200.000,-

H. PEMOTONGAN PPh PASAL 23 ATAS BUNGA DITETAPKAN SEBAGAI BERIKUT :

- Dipotong PPh sebesar 15 % dari jumlah bruto (final), atas bunga

dan diskonto yang terutang atau dibayarkan kepada penerima

penghasilan baik orang pribadi maupun badan dalam negeri dan

bentuk usaha tetap.

- Dipotong PPh sebesar 20 % dari jumlah bruto (final), atas sesuai

tarif yang ditetapkan dalam perjanjian penghindaran pajak

40

Page 45: Modul Perpajakan

berganda (tax treaty), atas bunga dan diskonto yang terutang atau

dibayarkan kepada WP luar negeri, baik orang pribadi maupun

badan selain bentuk usaha tetap.

Referensi : Kep. Dirjen Pajak No.KEP-50/PJ./1994; KEP-Menkeu

No.650/KMK.04/1994; UU.No.10 tahun 1994; Kep. Dirjen

Pajak No.KEP-10/PJ./95

FAKULTAS EKONOMIUNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN” JAKARTA

41

5

Page 46: Modul Perpajakan

POKOK BAHASANKEBIJAKAN DAN TEKNIS PEMOTONGAN PPh PASAL 24

ADIYAS, SE, MM.

A. PENDAHULUAN

Untuk mendapatkan penghasilan baik dari maupun luar negeri,

negara mengantisipasi bagaimana cara pemungutan pajak yang berkenan

dengan pengadilan yang diterima dari dalam maupun dari luar negeri oleh

WP dalam negeri. Dalam UU no. 7 tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan, yang telah diubah terakhir kalinya dengan UU No.10 tahun

1993, ditentukan bahwa WP dalam negeri dikenakan Pajak Penghasilan

atas seluruh penghasilan dimanapun penghasilan tersebut diterima atau

diperoleh, baik di Indonesia maupun penghasilan tersebut diterima di luar

Indonesia.

Dalam pelaksanaan pemungutannya harus dihindari masalah

terjadinya pemungutan pajak berganda. Karena seperti diketahui bahwa

setiap negara diluar Indonesia juga memiliki sistem pemungutan pajaknya

masing-masing, sehingga setiap WP dalam negeri yang juga menerima

penghasilan dan luar Indonesia, secara otomatis juga dipotong pajak

diluar Indonesia atas penghasilan yang diterimanya sesuai dengan

ketentuan dari masing-masing negara pemberi kerja.

Untuk mengatasi adanya pemungutan pajak berganda, maka

dalam pasal 24 ini diatur pemungutannya dengan menggunakan Metode

Kredit Terbatas (Ordinary Credit Method), yaitu dengan cara menetapkan

batas maksimum kedit pajak atas pajak yang sudah dibayarkan atau

terutang di luar negeri terhadap pajak terutang di Indonesia.

42

MODUL PERTEMUAN VI

Perpajakan (3 SKS)

Page 47: Modul Perpajakan

Mekanisme sederhana dalam pengenaan PPh-24 itu adalah

adanya penggabungan penghasilan yang diperoleh baik di dalam negeri

maupun luar negeri pada tahun pajak yang sama. Penggabungan

penghasilan tersebut adalah penggabungan antara Penghasilan Kena

Pajak (PKP) dari dalam negeri dan PKP dari luar negeri dan bukan

penghasilan kotornya, hal ini penting untuk menjaga agar tidak terjadi

salah pengertian dan perhitungan lebih lanjut.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemotongan

PPh Pasal 24, yaitu :

a. Jumlah pajak yang terutang atas penghasilan yang diperoleh diluar

negeri dapat dikreditkan terhadap pajak terutang atas seluruh

penghasilan dengan ketentuan dimana setinggi-tinggi sama dengan

jumlah pajak yang terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi

jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan darai

luar negeri terhadap seluruh PKP dikalikan dengan jumlah pajak yang

terutang pada seluruh PKP, atau dengan rumus :

Penghasilan Luar Negeri

X Pajak Terutang

Pengahsilan Kena Pajak

Catatan :

Besarnya PKP didapat dari menjumlahkan seluruh penghasilan baik

dari dalam negeri maupun luar negeri dan jumlah pajak terutang dapat

dicari dengan mengalihkan PKP dengan tarif progresif.

b. Jika usaha dalam negeri mengalami kerugian, maka setinggi-tingginya

pajak sama dengan pajak uang terutang atas seluruh PKP dalam hal

ini PKP lebih kecil dari penghasilan luar negeri.

c. Metode perhitungan diatas juga digunakan untuk menghitung pajak

yang penghasilannya bersumber dari beberapa negara.

d. Jika terjadi kerugian diluar negeri, kerugian ini tidak diperhitungkan

dalam menghitung besarnya PKP melainkan penghasilan dari luar

43

Page 48: Modul Perpajakan

negeri pada tahun-tahun berikutnya dapat dikonpensasikan dengan

kerugian tersebut.

e. Jika kredit pajak diluar negeri melebihi jumlah yang sudah ditetapkan,

maka untuk hal ini tidak ada restitusinya, dengan kata lain jumlah

kelebihan kredit pajak tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan

pajak penghasilan yang terutang dalam tahun berikutnya.

f. Pembetulan-pembetulan yang diperlukan oleh WP harus

menggunakan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) untuk tahun pajak

yang bersangkutan.

g. Penetapan PKP pada situasi dimana terjadi kerugian usaha didalam

negeri, maka kerugian tersebut langsung diperhitungkan untuk

menentukan besarnya PKP.

h. Besarnya kredit maksimum atas penghasilan luar negeri ditetapkan

dengan melihat perbandingan terkecil antara jumlah pajak yang

dibayarkan diluar negeri dengan hasil perhitungan menurut pada point

1 yang diatas.

Contoh Penerapan PPh- 24 :

1. Pada tahun pajak 1995, PT. Triasta di Jakarta menerima

penghasilan dari beberapa negara sebagai berikut :

- Dari Australia sebesar Rp. 2 M, dimana tarif pajak yang berlaku

sebesar 40% (Rp. 800 juta).

- Dari Philipina sebesar Rp. 1 M, dimana tarif pajak yang berlaku

sebesar 30% (Rp. 300 juta).

- Dari Singapura sebesar Rp. 2,5 M, dimana tarif pajak yang

berlaku sebesar 25% (Rp. 625 juta).

- Dari Indonesia sebesar Rp. 3,5 M.

44

Page 49: Modul Perpajakan

Penetapan kredit pajak dihitung dengan cara berikut :

Laba di Australia Rp. 2 M

Laba di Philipina Rp. 1 M

Laba di Singapura Rp. 2,5 M

Rugi di New Zealand Rp.(tidak ikompensasikan) +

Jumlah PKP luar negeri Rp. 5,5 M

PKP dalam negeri Rp. 3,5 M +

Jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp. 9 M

PPh terutang, menurut tarif pasal 17 :

10 % X Rp. 25.000.000 = Rp. 2.500.000

15 % X Rp. 25.000.000 = Rp. 3.750.000

30 % X Rp. 8.950.000.000 = Rp. 2.685.000.000 +

Jumlah PPh terutang = Rp. 2.691.250.000

Batas maksimum kredit yang diperkenankan untuk masing-masing

negara :

Untuk Australia :

Rp. 2 M

X Rp. 2.691.250.000 = Rp. 598.055.556 (Rp. 800 juta)

Rp. 9 M

Untuk Philipina :

Rp. 1 M

X Rp. 2.691.250.000 = Rp. 299.027.778 (Rp. 300 juta)

Rp. 9 M

Untuk Singapura :

Rp. 2,5 M

X Rp. 2.691.250.000 = Rp. 747.567.445 (Rp. 625 juta)

Rp. 9 M

45

Page 50: Modul Perpajakan

Jumlah kredit pajak terutang dengan memperhatikan ketetapan

mengenai Batas Kredit Maksimum, maka maksimum kredit pajak

yang dapat dikreditkan adalah sebesar perbandingan terkecilnya.

Untuk Australia Rp 598.055.556,- Philipina Rp 299.027.778 dan

Singapura yang terkecilnya Rp 625.000.000,-

Referensi : UU.No.10 tahun 1994; KEP-Menkeu No.640/KMK.04/1994;

diubah menjadi UU.No.36 tahun 2008

46

Page 51: Modul Perpajakan

FAKULTAS EKONOMIUNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN” JAKARTA

POKOK BAHASAN :KEBIJAKAN DAN TEKNIS PERHITUNGAN PENILAIAN PERSEDIAAN, PENJUALAN DAN PENGALIHAN HARTA

ADIYAS, SE, MM.

A. PENDAHULUAN

Persediaan adalah barang yang dimiliki  untuk dijual atau untuk

diproses selanjutnya dijual. Berdasarkan pengertian di atas maka

perusahaan jasa tidak memiliki persediaan, perusahaan dagang hanya

memiliki persediaan barang dagang sedang perusahaan industri memiliki

3 jenis persediaan yaitu persediaan bahan baku, persediaan barang

dalam proses dan persediaan barang jadi (siap untuk dijual).

Dalam laporan keuangan, persediaan merupakan hal yang

sangat penting karena baik laporan Rugi/Laba maupun Neraca tidak akan

dapat disusun tanpa mengetahui nilai persediaan. Kesalahan dalam

penilaian persediaan akan langsung berakibat kesalahan dalam laporan

Rugi/Laba maupun neraca. Dalam perhitungan Rugi/Laba nilai persediaan

(awal & akhir) mempengaruhi besarnya Harga Pokok Penjualan (HPP).

HPP = Persediaan awal + Pembelian bersih – Persediaan akhir

Dalam penilaian persediaan barang hanya diperbolehkan

menggunakan harga perolehan. Metode yang dapat dipergunakan untuk

melakukan penilaian persedian dan pemakaian persediaan dalam rangka

perhitungan harga pokok menurut pajak adalah :

- Metode rata-rata

- Metode FIFO (first-in first-out)

47

6

MODUL PERTEMUAN IX

Perpajakan (3 SKS)

Page 52: Modul Perpajakan

B. PENILAIAN PERSEDIAAN DAN PEMAKAIAN PERSEDIAAN

Penggunaan metode penilaian pemakaian persediaan harus

dilakukan secara taat azas, artinya apabila Wajib Pajak memilih salah satu

cara penilaian pemakaian persediaan untuk menghitung harga pokok

tersebut, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus digunakan cara yang

sama, hal ini juga dilakukan terhadap sekuritas.

Contoh Perhitungan :

- Persediaan awal = 100 unit (@ Rp. 9,-)

- Pembelian = 100 unit (@ Rp. 12,-)

- Pembelian = 100 unit (@ Rp. 11,25)

- Penjualan / dipakai = 100 unit

- Penjualan / dipakai = 100 unit

1. Perhitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan

metode rata-rata :

NO PEMBELIANPENJUALAN/ PEMAKAIAN

SISA/ PERSEDIAAN

1. 100 x 9,- = Rp. 900,-

2.100 x 12,- = Rp.1.200,-

200 x 10,5 = Rp.1.200,-

3.100 x 11,25 =

RP.1.125,-300 x 10,75 =

Rp.3.225,-

4.100 x 10,75 =

Rp.1.075,-200 x 10,75 =

Rp.2.150,-

5.100 x 10,75 =

Rp.1.075,-100 x 10,75 =

Rp.1.075

48

Page 53: Modul Perpajakan

2. Perhitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan

metode FIFO :

NO PEMBELIANPENJUALAN/ PEMAKAIAN

SISA/ PERSEDIAAN

1. 100 x 9,- = Rp. 900,-

2.100 x 12,- = Rp.1.200,-

100 x 9,- = Rp. 900,- 100 x 12,- = Rp.1.200,-

3.100 x 11,25 =

RP.1.125,-

100 x 9,- = Rp. 900,- 100 x 12,- = Rp.1.200,-100 x 11,25 = RP.1.125,-

4.100 x 9,- = Rp.900,-

100 x 12,- = Rp.1.200,-100 x 11,25 = RP.1.125,-

5.100 x 12,- = Rp.1.200,-

100 x 11,25 = RP.1.125,-

Pernilaian persediaan juga diberlakukan terhadap Wajip Pajak

pedagang Valuta Asing. Hal ini diatur dengan Surat Edaran Dirjen Pajak

No. SE-52/ PJ.42/1999 tanggal 17 November 1999 :

1. Sesuai SK Direksi Bank Indonesia No. 31/171/Kep/Dir Tanggal 17

Desember 1998, yaitu :

a. Pedagang Valuta Asing (PVA) adalah bank bukan bank devisa

atau perusahaan yang telah mendapat izin untuk melakukan jual

beli uang kertas asing (UKA) dan pembelian traveller’s cheque

(TC)

b. Penetapan kurs jual beli UKA diserahkan kepada PVA sesuai

dengan perkembangan pasar

c. PVA diwajibkan menyampaikan laporan bulanan, laporan tahunan

dan laporan khusus kepada Bank Indonesia

49

Page 54: Modul Perpajakan

2. Wajib Pajak badan yang bergerak di bidang usaha PVA wajib

menyelenggarakan pembukuan (Pasal 28 UU KUP)

3. Penilaian persediaan dan pemakaian persediaan untuk perhitungan

harga pokok valuta asing sebagai barang dagangan bagi Wajib Pajak

yang bergerak di bidang usaha PVA adalah berdasarkan harga

perolehan valuta asing tersebut yang dihitung secara rata-rata atau

FIFO dan harus dilakukan secara taat azas

C. PENJUALAN DAN PENGALIHAN HARTA

Untuk melakukan penilaian harta dalam rangka menghitung

penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta dalam perusahaan,

menghitung laba/rugi apabila terjadi penjualan atau pengalihan harta dan

penghitungan penghasilan dari penjualan barang dagangan dapat

dikelompokan menjadi :

- Harga perolehan / penjualan dalam hal terjadi jual beli

harta

- Harga perolehan / penjualan dalam hal terjadi tukar

menukar harta

- Harga perolehan / penjualan dalam hal terjadi pengalihan

hartadalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,

pemecahan atau pengambilalihan usaha

- Harga perolehan / penjualan dalam hal terjadi pengalihan

harta karena hibah, bantuan atau sumbangan dan warisan

- Harga perolehan / penjualan dalam hal terjadi pengalihan

harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai

pengganti penyertaan modal

1. Harga perolehan/penjualan dalam hal terjadi jual beli hartal

50

Page 55: Modul Perpajakan

Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta

ditentukan sebagai berikut :

Yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa

a. Bagi pihak pembeli, harga perolehan harta adalah harga

sesungguhnya yang dibayar, dalam hal ini termasuk harga beli

dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta

tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan biaya

pemasangan.

b. Bagi penjual, harga penjualan adalah harga sesungguhnya

diterima

Yang dipengaruhi hubungan istimewa

a. Bagi pihak pembeli, harga perolehan harta adalah harga jumlah

seharusnya yang dikeluarkan

b. Bagi pihak penjual, harga penjualan harta adalah harga yang

seharusnya diterima

2. Harga perolehan/penjualan dalam hal terjadi tukar menukar harta

Apabila terjadi transaksi tukar menukar harta dengan harta lain, maka

nilai perolehan atau nilai penjualan harta tersebut adalah :

a. Bagi pihak pembeli, harga perolehan harta adalah harga yang

seharusnya dikeluarkan berdasarkan harga pasar

b. Bagi pihak penjual, harga penjualan harta adalah harga yang

seharusnya diterima berdasarkan harga pasar (Pasal 10 ayat 2

UU.PPh)

Contoh :

PT. A PT.B(Harta X) (Harta Y)

51

Page 56: Modul Perpajakan

Nilai sisa buku Rp. 10.000.000,- Rp. 12.000.000,-

Harga Pasar Rp. 20.000.000,- Rp. 20.000.000,-

Antara PT.A dan PT. B terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak

terdapat realisasi pembayaran antara kedua pihak, tapi karena harga

pasar harta yang dipertukarkan adalah Rp. 20.000.000,- , Harga

tersebut merupakan nilai perolehan yang seharusnya dikeluarkan

atau nilai penjualan yang seharusnya diterima. Selisih antara harga

pasar dengan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan

keuntungan yang dikenakan PPh. PT. A memperoleh keuntungan

sebesar Rp. 10.000.000,- (Rp. 20.000.000 - Rp. 10.000.000) dan

PT.B memperoleh keuntungan sebesar Rp. 8.000.000,- (Rp.

20.000.000 – Rp. 12.000.000).

3. Harga perolehan/penjualan dalam hal terjadi pengalihan hartadalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha

Untuk memudahkan pemahaman tentang hal ini, perlu diketahui beberapa istilah berikut :

- Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badana tau

lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu

badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang

menggabung

- Peleburan adalah penggabungan dua badan usaha atau lebih

dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-

badan usaha yang bergabung tersebut

- Pemekaran usaha adalah pemisahan satu badan usaha menjadi

dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha

baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan

usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan

usaha yang lama

52

Page 57: Modul Perpajakan

Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan pada berbagai

perubahan badan usaha diatas adalah :

a. Jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima bedasarkan

harga pasar. Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku

harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan PPh.

Contoh :

PT. A dan PT. B melakukan peleburan dan membentuk badan

baru, yaitu PT. C. Nilai sisa buku dan harga pasar harta dari kedua

badan tersebut adalah sebagai berikut :

PT. A PT.B(Harta X) (Harta Y)

Nilai sisa buku Rp. 200.000.000,- Rp. 300.000.000,-

Harga Pasar Rp. 300.000.000,- Rp. 450.000.000,-

Pada dasarnya, penilaian harta yang diserahkan oleh PT. A dan

PT. B dalam rangka peleburan menjadi PT. C adalah harga pasar

dari harta. Dengan demikian PT. A mendapat keuntungan sebesar

Rp. 100.000.000,- sedangkan PT. B mendapat keuntungan

sebesar Rp. 150.000.000,-

Namun dalam rangka menyelaraskan dengan kebijakan di bidang

sosial, ekonomi, investasi, moneter dan kebijakan lainnya, Menteri

Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilai lain selain

harga pasar, yaitu atas dasar nilai sisa buku (“pooling of interest”).

Berarti PT. C membukukan penerimaan harta dari PT. A dan PT. B

sebesar : Rp. 500.000.000,- (200.000.000 + 300.000.000)

b. Penggunaan Nilai Buku

Secara umum penggabungan, peleburan, pemekaran usaha akan

melibatkan pihak yang mengalihkan harta dan pihak yang

memperoleh harta, sesuai akuntansi komersial metode yang

digunakan dalam konsolidasi yaitu :

53

Page 58: Modul Perpajakan

- Penyatuan kepentingan (pooling of interest)

- Pembelian (puchasing)

Dalam akuntansi perpajakan digunakan metode pembelian

(purchasing method) atau berdasarkan harga pasar, sedang

metode penyatuan kepentingan dapat digunakan berdasarkan

Keputusan Menteri Keuangan.

Keputusan Menteri Keuangan yang diacu yaitu KMK No.

422/KMK.04/1998 Tanggal 9 September 1998 yang telah diubah

dengan KMK No. 469/KMK 04/1998 Tanggal 30 Oktober 1998 dan

terakhir diubah dengan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE

21/PJ42/1999 Tanggal 26 Mei 1999. Pengaturan tersebut meliputi:

1) Wajib Pajak dapat menggunakan nilai buku dalam pengalihan

harta menurut Keputusan Menkeu diatas adalah :

Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam

rangka penggabungan atau peleburan usaha

Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam

rangka pemekaran usaha yang akan “Go Public” dengan

melakukan penawaran umum perdana (IPo) di bursa efek

2) Wajib Pajak yang menggunakan nilai buku dalam pengalihan

harta yaitu dalam penggabungan, peleburan atau pemekaran

usaha di atas wajib memenuhi syarat :

Mengajukan permohonan kepada Dirjen Pajak.

Permohonan izin diajukan kepada Kanwil DJP yang

membawahi KPP WP tersebut terdaftar selambat-

lambatnya 6 bulan sesudah proses penggabungan,

peleburan atau pemekaran usaha dilakukan dalam hal :

Penggabungan atau peleburan, diajukan oleh WP yang

menerima pengalihan harta

54

Page 59: Modul Perpajakan

Pemekaran usaha, diajukan oleh WP yang melakukan

pengalihan harta

WP yang terlambat mengajukan permohonan, tidak akan

dipertimbangkan. Sebaliknya bagi WP yang mengajukan

permohonannya telah memenuhi syarat akan menerima

surat keputusan persetujuan selambat-lambatnya satu

bulan sejak diterimanya permohonan secara lengkap.

Demikian halnya kemungkinan adanya penolakan yang

disertai pula alasan penolakan. Pihak yang memberikan

persetujuan yaitu kepala Kanwil atas nama Dirjen Pajak.

Telah melunasi seluruh utang pajak dari setiap badan

usaha yang terkait, termasuk cabang/perwakilan yang

terdaftar di KPP-KPP lokasi.

Laporan keuangan Wajib Pajak khususnya untuk tahun

pajak dilakukannya pengalihan harta harus diaudit oleh

Akuntan Publik.

3) Sisa Kerugian Fiskal

Bagi Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam

rangka penggabungan atau peleburan usaha dapat

mengalihkan kerugian/sisa kerugia fiskal, termasuk

kerugian selisih kurs badan usaha lama yang belum

dikompensasikan dengan syarat :

WP badan usaha lama harus melakukan revaluasi

aktiva tetap terlebih dahulu, menurut ketentuan yang

berlaku; dan

WP badan usaha yang lama dalam kondisi aktif

menjalankan kegiatan usahanya; dan

WP yang menerima pengalihan harta harus tetap aktif

menjalankan kegiatan usahanya sekurang-kurangnya

2 tahun setelah selesainyan proses penggabungan

atau peleburan usaha

55

Page 60: Modul Perpajakan

Revaluasi aktiva tetap di atas meliputi sebagian atau

seluruh aktiva tetap sesuai dengan keperluan untuk

menkompensasikan kerugian fiskal semaksimal mungkin

dengan selisih lebih revaluasi aktiva tetap yang dihasilkan.

Kemungkinan terjadi kompensasi timbal-balik (affset) utang

piutang diantara WP yang melakukan pengalihan harta

dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha, maka:

Penghapusan utang bagi pihak debitur bukan

merupakan penghasilan

Penghapusan piutang bagi pihak kreditur bukan

merupakan biaya

4) Persetujuan Dirjen Pajak

Pengalihan harta menggunakan nilai buku ternyata tidak

mendapat persetujuan Dirjen Pajak, sehingga pengalihan harta

harus dinilai dengan harga pasar dan atas keuntungan yang

diperolehnya dikenakan PPh. Demikian sebaliknya, ternyata

pengalihan harta dengan menggunakan nilai buku telah

mendapat persetujuan Dirjen Pajak, maka WP yang menerima

pengalihan harus mencatat nilai perolehannya sesuai dengan

nilai buku yang tercantum dalam pembukuan WP yang

melakukan pengalihan buku. WP yang sebelum

penggabungan, peleburan atau pemekaran telah melakukan

revaluasiaktiva tetap, maka nilai buku yang dictat adalah nilai

buku setelah dilakukan revaluasi.

5) Penyusutan dan Amortisasi

Dilakukan atas harta yang dialihkan untuk tahun buku saat itu

secara prorata (perhitungan bulanan) yang didasrkan pada

masa manfa’at yang tersisa sebagaimana tertera pada

56

Page 61: Modul Perpajakan

pembukuan WP yang melakukan pengalihan harta. Hal

tersebut dihitung sampai bulan dilakukannya pengalihan harta.

Sedangkan untuk pihak yang menerima pengalihan harta

dihitung sebanyak sisa bulan setelah pengalihan menggunakan

metode penyusutan dan amortisasi yang dianut WP yang

bersangkutan.

6) PPh Pasal 25

Kemungkinan pengalihan dilakukan dalam tahun pajak

berjalan, sehingga PPh Pasal 25 WP yang menerima

pengalihan setelah penggabungan atau peleburan usaha tidak

boleh lebih kecil dari penjumlahan PPh 25 dari seluruh WP

yang tergabung. Jika WP penerima pengalihan mengalami

penurunan usaha setelah peleburan, ia berhak mengajukan

pengurangan PPh 25.

7) Kewajiban menyampaikan SPT, baik masa atau tahunan bagi

WP yang melakukan pengalihan usaha dalam tahun berjalan

diatur sebagai berikut :

Kewajiban formal menyampaikan SPT masa atau tahunan

PPh bagi WP yang melakukan pengalihan berakhir sampai

masa pajak dilakukannya pengalihan

Kewajiban formal menyampaikan SPT masa atau tahunan

PPh bagi WP yang menerima pengalihan dimulai sejak WP

terdaftar di KPP setelah pendirian usaha baru

8) Surat Ketetapan Pajak

Pemeriksaan pajak dilakukan setelah pengalihan terhadap WP

yang melakukan pengalihan berkenaan dengan tahun pajak

sebelum pengalihan, karena itu Surat Ketetapan Pajak,

penagihan dan atau restitusinya diterbitkan atas nama dan

57

Page 62: Modul Perpajakan

NPWP badan usaha lama cq.nama dan NPWP badan usaha

baru yang menerima pengalihan.

9) Penjualan saham di BEJ

WP yang akan menjual saham di BEJ dalam rangka

pemekaran harus memenuhi ketentuan berikut :

Mengajukan pernyataan pendaftaran ke BAPEPAM dalam

rangka penawaran umum perdana (IPO) selambat-

lambatnya satu tahun setelah mendapat persetujuan

pengalihan harta dari Dirjen Pajak

Jangka waktu diatas dapat diperpanjang hingga dua tahun

karena keadaan di luar kekuasaan WP dengan persetujuan

Ka Kanwil DJP

Jika dalam waktu tiga tahun belum dapat melakukan

penawaran perdana, maka dapat diperpanjang setelah

mendapat persetujuan dari DJP

Apabila ketentuan di atas tidak dapat juga dipenuhi oleh

WP, maka nilai pengalihan yang dihitung berdasarkan nilai

buku harus dihitung ulang berdasarkan nilai pasar.

Sedangkan bagi pemegang saham badan usaha lama harus

memenuhi ketentuan berikut :

Apabila mereka menerima sejumlah saham baru sebagai

pengganti saham lama dari badan usaha yang menerima

pengalihan, mereka tidak terutang PPh dan nilai saham

baru tersebut dicatat senilai saham lama

Jika menerima saham baru dan sejumlah uang sebagai

pengganti saham lama, maka nilai uang tersebut dianggap

penghasilan yang dikenakan PPh dengan tarif umum

Tapi jika mereka menjual saham lamanya, maka :

Selisih harga jual dan harga perolehan merupakan

capital gain dan terutang PPh sesuai ketentuan

58

Page 63: Modul Perpajakan

Bila selisih tersebut kurang dari nilai perolehan, dapat

dibebankan sebagai biaya dengan syarat mereka

menyelenggarakan pembukuan

10) Pengecualian

WP tersebut dibebaskan dari utang PPh bila pengalihan harta

berupa tanah dan atau bangunan

4. Harga perolehan/penjualan dalam hal terjadi pengalihan harta karena hibah, bantuan atau sumbangan dan warisan

Bila terjadi pengalihan harta karena hibah yang diterima oleh keluarga

sedarah dalam garis keturunan lurus satu sederajat dan oleh badan

keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau

pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri

Keuangan dan bantuan atau sumbangan dengan syarat hibah,

sumbangan tersebut tidak ada kaitannya dengan usaha, pekerjaan,

kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak bersangkutan,

serta warisan, maka dasar penilaian atau nilai perolehan bagi pihak

yang menerima adalah :

a. Untuk WP yang menyelenggarakan pembukuan :

Bila memenuhi Pasal 4 ayat 3 huruf a dan b UU.PPh nilai

perolehan sama dengan nilai sisa buku. Tapi bila tidak memenuhi,

maka nilai perolehan sama dengan nilai pasar

b. Untuk WP yang tidak menyelenggarakan pembukuan :

Berarti nilai sisa buku harta tersebut tidak diketahui, maka nilai

perolehan adalah :

Bila harta berupa tanah dan atau bangunan dan tahun

pengalihannya diketahui, maka :

Pengalihan s/d tahun 1986, sama nilainya dengan NJOP

yang tercantum pada SPPT PBB tahun 1986, atau

Pengalihan diatas tahun 1986, sama nilainya dengan NJOP

SPPT PBB tahun pajak diperolehnya harta tersebut, atau

59

Page 64: Modul Perpajakan

Bila SPPT PBB tidak ada, nilai perolehan dihitung

berdasarkan SK Ka KPP PBB.

Bila tahun pengalihan tidak diketahui, maka nilai perolehan

sama dengan NJOP yang tercantum pada SPPT PBB tahun

pajak paling awal atas nama WP yang mengalihkan harta, jika

SPPT PBB juga tidak ada nilai perolehan dihitung berdasarkan

SK Ka KPP PBB.

Untuk harta selain tanah dan atau bangunan dan nilai

perolehan tidak diketahui, maka dihitung 60% dari harga pasar

wajar saat harta tersebut diterima.

Jika yang menerima hibah tidak tergolong salah satu dari ketentuan

diatas, maka nilai perolehan sama dengan nilai pasar harta tersebut.

5. Harga perolehan/penjualan dalam hal terjadi pengalihan harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti penyertaan modal

Nilai harta bagi badan penerima pengalihan untuk kategori ini sama

dengan nilai pasar dari harta tersebut.

Referensi : UU.No.10 tahun 1994; Kep. Dirjen Pajak No. KEP-249/

KMK.04/95; Kep. Dirjen Pajak No. KEP-11/PJ./95

60

Page 65: Modul Perpajakan

FAKULTAS EKONOMIUNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN” JAKARTA

POKOK BAHASANKEBIJAKAN DAN TEKNIS PERHITUNGAN PENYUSUTAN DAN AMORTISASI AKTIVA

ADIYAS, SE, MM.

A. PENDAHULUAN

Sebetulnya tidak berbeda satu dengan lainnya. Kedua-duanya

merupakan pembebanan/biaya dalam kaitannya dengan penurunan

kegunaan/manfaat secara berkala dari suatu harta tetap yang berwujud

(tangible assets) maupun yang tidak berwujud (intangible assets).

Yang masuk dalam kategori harta tetap adalah aktiva yang

secara relatif tetap atau bersifat permanen yang dibeli oleh perusahaan

dan bukan untuk dijual kembali dalam operasi perusahaan, seperti

peralatan, perabotan, perkakas, mesin-mesin, gedung dan tanah. Ciri

utama dari harta tetap adalah : selain berwujud juga memiliki masa

kegunaan lebih dari 1 tahun dan dapat dipakai berulang-ulang.

Khusus untuk harta tetap berupa tanah tidak dapat disusutkan,

kecuali tanah yang digunakan oleh perusahaan genteng atau

pertambangan yang jilainya semakin berkurang, karena digunakan

memperoleh penghasilan. Nilainya semakin berkurang, karena digunakan

memperoleh penghasilan.

61

7

MODUL PERTEMUAN X

Perpajakan (3 SKS)

Page 66: Modul Perpajakan

Yang masuk dalam kategori harta tak berwujud adalah suatu ktiva

yang umurnya panjang, yang berguna dalam operasi perusahaan, yang

dimiliki bukan untuk dijual kembali, tetapi tidak mempunyai bentuk fisik,

contohnya hak patent, hak cipta, dan goodwill.

Menurut UU Perpajakan Penghasilan, penyusutan harta tetap dan

amortisasi untuk harta tak berwujud dibedakan dalam beberapa kelompok

berikut :

Tabel : Masa Manfaat & Tarif Penyusutan Harta Berwujud :

Harta Berwujud Masa ManfaatTarif garis

Lurus

Tarif Saldo

Menurun

1

2

Bukan Bangunan :

Kelompok 1

Kelompok 2

Kelompok 3

Kelompok 4

Bangunan :

Permanen

Tidak permanen

4 tahun

8 tahun

16 tahun

20 tahun

20 tahun

10 tahun

25 %

12,5 %

6,25 %

5 %

5 %

10 %

50 %

25 %

12,5 %

10 %

-

-

Sumber : UU No. 10 tahun 1994, tentang Pajak penghasilan

Tabel : Masa Manfaat & Tarif Amortisasi Harta tak Berwujud :

Harta Tak Berwujud Masa Manfaat Tarif garis

Lurus

Tarif Saldo

Menurun

Kelompok 1

Kelompok 2

Kelompok 3

Kelompok 4

4 tahun

8 tahun

16 tahun

20 tahun

25 %

12,5 %

6,25 %

5 %

50 %

25 %

12,5 %

10 %

62

Page 67: Modul Perpajakan

B. SAAT BERLAKUNYA AMORTISASI :

1. Harta tetap pada umumnya mulai berlaku pada tahun

perolehannya.

2. Harta tetap yang masih dalam proses pengerjaan, saat berlakunya

dimulai pada tahun selesainya pengerjaan.

3. Harta tetap akibat usala leasing, saat berlakunya dimulai pada

tahun harta yang bersangkutan dileasingkan.

C. PENARIKAN HARTA TETAP DARI PEMAKAIAN :

Tidak selamanya harta tetap dalam suatu perusahaan dapat

digunakan. Hal ini karena dari harta itu yang sudah tidak dapat

dipertahankan lagi. Hal ini bisa dapat disebabkan karena bencana alam

atau perusahaan dengan sengaja menghentikan sebagian besar

produksinya karena sebab-sebab di luar kekuasaan perusahaan. Sebab-

sebab lainnya mengenai penarikan harta tetap ini adalah dijualnya harta

tersebut, karena sudah tidak efisien lagi dan akan diganti dengan yang

baru.

Dari alasan tersebut, maka penarikan harta tetap dari pemakai

menurut UU pajak penghasilan dibedakan dalam 2 bagian, yaitu :

a. Penarikan harta tetap sebab luar biasa, yang masuk dalam kategori

ini adalah penarikan yang diakibatkan oleh adanya bencana alam

dan hal-hal yang terjadi diluar kekuasaan perusahaan, seperti

penyitaan dan kebakaran. Yang dibebankan sebagian kerugian

dalam periode penarikan harta tersebut adalah sebesar harta sisa

63

Page 68: Modul Perpajakan

buku menurut UU perpajakan dari harta yang ditarik, sedangkan

hasil penjualan atau penggantian asuransinya merupakan

penghasilan dalam tahun yang bersangkutan.

b. Penarikan harta tetap karena sebab biasa; yang masuk dalam

kategori ini adalah penarikan karena harta tersebut dijual yang

disesuaikan dengan kebutuhan nilai ekonomis dari suatu harta.

Yang menjadi perhatian adalah penerimaan neto dari penjualan

harta tersebut, yaitu selisih antar harta penjualan dengan biaya

yang seharusnya dan benar-benar dikeluarkan berkenan dengan

penjualan tersebut.

D. REVOLUSI HARTA TETAP :

Masalah penyusutan tidak lepas dari masalah revolusi. Revolusi

adalah suatu penyesuaian yang berkenaan dengan adanya perubahan

nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang asing, yang bagi

perusahaan bertujuan untuk mencerminkan kemampuan dan nilai

perusahaan yang sebenarnya. Revolusi harta tetap dapat diartikan

sebagai penyesuaian harta atau nilai perolehan harta tetap berwujud yang

dimiliki dan digunakan dalam perusahaan yang berkenaan dengan adanya

perubahan nilai tukar mata uang asing (US$/USD) terhadap nilai mata

uang rupiah (Rp).

E. CONTOH-CONTOH PERHITUNGAN :

1. Dengan menggunakan Declining Balanced Method

(Metode Saldo yang semakin menurun)

Soal 1 :

64

Page 69: Modul Perpajakan

PT. Triasta pada tahun 1995 membeli sebuah mesin seharga Rp. 45

juta. Mesin tersebut memiliki masa manfaat tidak lebih dari 3 tahun,

dengan tarif penyusutan sebesar 25%. Berapa besarnya nilai buku dan

penyusutan dari mesin tersebut pada tahun 1997

Penyelesaian :

Tahun 1995, harga pembelian Rp 45.000.000

Penyusutan 25% x Rp 45. Juta Rp. 11.000.000 _

Dasar penyusutan Januari 1996 Rp 33.750.000

Tahun 1996, penyusutan 25% x Rp.33.750.000 Rp. 8.437.500 _

Dasar penyusutan Januari 1997 Rp 25.312.500

Tahun 1997, penyusutan 25% x Rp.25.312.500 Rp. 6.328.125 _

Nilai mesin pada tahun 1997 Rp. 18.984.375

Cara lain yang dapat ditempuh dalam menghitung besarnya nilai

bukun pada tahun “n” adalah dengan cara memasukkannya dalam

rumus :

Nb = (1 – Tp)n X Hb

dimana : Nb = Nilai buku

Tp = Tarif penyusutan

Hb = Harga beli (harga pokok)

n = tahun ke “n”

Sehingga untuk mengetahui besarnya penyusutan pada tahun 1997

tersebut adalah :

Nb = (1-0,25)3 x Rp.45.000.000,- = Rp. 18.984,375,-

Sedangkan untuk mencari besarnya nilai penyusutan pada tahun ke

“n” dapat digunakan rumus :

Dn = (Hb X 3n-1) (Tp)n

65

Page 70: Modul Perpajakan

(rumus ini hanya berlaku untuk tarif penyusutan 25%)

dimana : Dn = depresiasi tahun ke “n”

3n-1 = merupakan factor tarif 25%

Jadi :

Penyusutan 1995 = (45.000.000 X 32-1) (0,252) = Rp 8.437.500

Penyusutan 1996 = (45.000.000 X 33-1) (0,253) = Rp. 6.328.125

2. Dengan menggunakan Straight Line Method

(Metode garis lurus)

Sebuah mesin yang harga perolehnya Rp. 120 juta dengan masa

manfaat 20 tahun menurut metode garis lurus ini penyusutan setiap

tahunnya adalah sebagai berikut :

Rp. 120.000.000 : 20 = Rp. 6.000.000

Referensi : UU.No.10 tahun 1994; Kep. Dirjen Pajak No.

KEP-82/KMK.04/95

66

Page 71: Modul Perpajakan

FAKULTAS EKONOMIUNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN” JAKARTA

POKOK BAHASANKEBIJAKAN DAN TEKNIS PERHITUNGAN PAJAK YANG TERHUTANG (KHUSUS WP ORANG PRIBADI)

ADIYAS, SE, MM.

A. PENDAHULUAN

Pajak atau lebih tepatnya Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi

adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak (WP) orang pribadi

atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak

tertentu. Subjek pajak orang pribadi tersebut dikenakan pajak apabila

menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak orang pribadi yang

menerima atau memperoleh penghasilan disebut dengan Wajib Pajak

Orang Pribadi (WP OP).

WP OP dikenai pajak atas penghasilan yang diperoleh atau

diterimanya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk

penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak

subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.

Tahun pajak adalah tahun takwim, tetapi WP OP dapat

menggunakan tahun buku yang tidk sama dengan tahun takwim,

sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 bulan.

Wajib Pajak Orang Pribadi adalah orang pribadi yang menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk

67

8

MODUL PERTEMUAN XI

Perpajakan (3 SKS)

Page 72: Modul Perpajakan

melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan pajak dan

pemotongan pajak tertentu.

B. SUBJEK PAJAK ORANG PRIBADI

Subjek pajak orang pribadi dibedakan menjadi subjek pajak

dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak orang pribadi

dalam negeri menjadi WP apabila telah menerima atau memperoleh

penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Kena Pajak (PKP).

Sedangkan subjek pajak orang pribadi luar negeri menjadi WP karena

menerima dan atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari

Indonesia atau menerima dan atau memperoleh penghasilan yang

bersumber dari Indonesia melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di

Indonesia. Dengan perkataan lain WP adalah orang pribadi yang telah

memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan

pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), WP OP yang menerima

penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak wajib

mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

1. Subjek Pajak Dalam Negeri (WPDN)

Subjek pajak orang pribadi dalam negeri adalah orang pribadi yang

bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia selama lebih

dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau orang pribadi yang

dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat

untuk bertempat tinggal di Indonesia. Pada prinsipnya, orang pribadi

yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang

bertempat tinggal atau berada di Indonesia, termasuk mereka yang

mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan ditimbang

menurut keadaan.

Keberadaan di Indonesia selama lebih dari 183 hari tidak harus

berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari keberadaan orang

68

Page 73: Modul Perpajakan

tersebut dalam jangka waktu 12 bulan sejak kedatanggannya di

Indonesia. Kepada orang tersebut dikenakan PPh atas penghasilan

yang diterima atau diperoleh, baik dari Indonesia maupun dari luar

negeri (world wide income / azas domisili).

2. Subjek Pajak Luar Negeri (WPLN)

Subjek pajak orang pribadi luar negeri adalah orang pribadi yang tidak

bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia selama tidak

lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang menjalankan

usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia atau yang

menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan BUT di Indonesia. Atau

orang pribadi yang bertempat tinggal di luar Indonesia yang dapat

menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui

atau tidak melalui BUT.

Apabila WPLN menerima atau memperoleh penghasilan melalui BUT,

maka terhadapnya dikenakan pajak melalui BUT. Orang tersebut

tetap berstatus sebagai WPLN. Dengan demikian, dalam memenuhi

kewajiban perpajakannya di Indonesia, BUT tersebut menggantikan

orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri.

WPLN hanya dikenakan PPh atas penghasilan yang diterima atau

diperoleh dari Indonesia, baik melalui BUT maupun tanpa melalui

BUT di Indonesia (source principle).

3. Pengecualian Subjek Pajak Luar Negeri

Orang-orang pribadi yang sudah memenuhi syarat sebagai WPLN

tapi dikecualikan dari subjek pajak dan atas penghasilannya tidak

69

Page 74: Modul Perpajakan

dikenakan pajak di Indonesian adalah pejabat perwakilan diplomatik

dan pejabat organisasi internasional.

Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-

pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan

kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-

sama mereka, tidak termasuk subjek pajak di Indonesia, dengan

syarat sebagai berikut :

a. Bukan WNI

b. Di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar

jabatan atau pekerjaannya tersebut

c. Negara tersebut memberi perlakuan timbal balik

Jadi apabila pejabat perwakilan negara lain memperoleh penghasilan

lain di luar jabatannya, maka ia menjadi subjek pajak atas

penghasilan lain tersebut.

Yang termasuk pengecualian juga adalah pejabat-pejabat perwakilan

organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri

Keuangan dengan syarat sebagai berikut ;

a. Bukan WNI

b. Tidak menjalankan usaha, kegiatan atau pekerjaan lain untuk

mendapatkan penghasilan dari Indonesia

C. PENENTUAN PENGHASILAN KENA PAJAK

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi WP OP yang

memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dengan

menggunakan pembukuan adalah :

70

Page 75: Modul Perpajakan

PKP = penghasilan neto fiskal – zakat atas penghasilan –

kopensasi kerugian - PTKP

Sedangkan penghitungan PKP bagi WP yang memperoleh

penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dengan menggunakan

pencatatan dan bagi WP yang memperoleh penghasilan sehubungan

dengan pekerjaan adalah :

PKP = penghasilan neto fiskal – zakat atas penghasilan – PTKP

Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim

atau badan yang dimiliki oleh seorang muslim sesuai ketentuan agama

untuk diberikan kepada yang berhak.

Zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh WP OP

pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat (BAZNAS) atau lembaga

amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah sesuai dengan

bukti setoran yang sah (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat 3

UU No.38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat), dapat dikurangkan dari

PKP. Sedangkan bagi yang menerimanya tidak termasuk dalam

pengertian penghasilan yang dipotong PPh 21.

Contoh :

Tuan Abdullah adalah pegawai yang menerima gaji Rp.8.000.000,-

/bulan. Dia memiliki satu istri dan tiga orang anak. Maka perhitungan

yang harus dilakukan adalah :

Penghasilan bruto (12 x 8.000.000) Rp. 96.000.000,-Biaya jabatan (5% x 96.000.000) Rp. 1.296.000,- _

Penghasilan neto sebelum zakat Rp. 94.704.000,-Zakat (2,5% x 94.704.000) Rp. 2.367.600,- _

71

Page 76: Modul Perpajakan

Penghasilan neto setelah zakat Rp. 92.336.400,PTKP (K/3) Rp. 18.000.000,- _

PKP Rp. 74.336.400,- PPh terutang (15% x 74.336.400) Rp. 11.150.460

D. KOMPENSASI KERUGIAN1. Kompensasi Kerugian Horizontal

WP OP diperkenankan untuk memperhitungkan kerugian yang

diderita pada periode berjalan, antara lain berupa :

a. Kerugian penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan

digunakan orang pribadi atau yang dimiliki untuk mendapatkan,

menagih dan memelihara penghasilan;

b. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing

c. Kerugian yang diderita suatu unit atau cabang usahanya.

Kerugian (fiskal) yang diderita suatu unit atau cabang usaha bisa

dikompensasikan dengan laba (fiskal) dari cabang lain sesama di

Indonesia.

2. Kompensasi Kerugian Vertikal (Tax loss carry Forward)

Jika WP OP yang menggunakan pembukuan mengalami kerugian

dapat dikompensasikan dengan penghasilan (neto/laba fiscal) selama

maksimal 5 tahun setelah tahun pajak terjadinya kerugian tersebut.

Jika lewat dari 5 tahun, maka sisa kerugian yang belum

dikompensasikan dianggap daluwarsa. Kerugian tersebut adalah

kerugian menurut fiskal, yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan

biaya-biaya yang diperbolehk

E. PAJAK YANG TERUTANG Perhitungan pajak terutang bagi WP yang memperoleh penghasilan

dari usaha atau pekerjaan bebas dengan menggunakan pembukuan

maupun pencatatan dan Wp yang memperoleh penghasilan sehubungan

pekerjaan adalah :

PPhterutang=PKPx tarif PPh OP – PPh 24 yg telahdikreditkan.

Tarif PPh OP (Pasal 17 UU PPh)

Lapisan PKP Tarif PPh

72

Page 77: Modul Perpajakan

Sampai dengan Rp. 25.000.000,- 5%Di atas Rp. 25.000.000,- s/d Rp. 50.000.000,- 10%Di atas Rp. 50.000.000,- s/d Rp. 100.000.000,- 15%Di atas Rp. 100.000.000,- s/d Rp. 200.000.000,- 25%Di atas Rp. 200.000.000,- 35%

Untuk keperluan penerapan tarif pajak dalam menghitung PPh

terutang, maka PKP dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.

Mulai tahun pajak 2009 tarif Pasal 17 UU PPh berubah menjadi :

Lapisan PKP Tarif PPh

Sampai dengan Rp. 50.000.000,- 5%Di atas Rp. 50.000.000,- s/d Rp. 250.000.000,- 15%Di atas Rp. 250.000.000,- s/d Rp. 500.000.000,- 25%Di atas Rp. 500.000.000, 30%

F. PERHITUNGAN PAJAK YANG KURANG/LEBIH BAYAR

Perhitungan pajak akhir tahun dilakukan dengan mengurangkan

PPh terutang dengan kredit pajak yang telah dibayar oleh WP dalam

tahun berjalan, baik melalui pembayaran sendiri maupun melalui

pemotongan/pemungutan pihak lain.

Kurang bayar (PPh Pasal 29 UU PPh) adalah saat dimana PPh

terutang lebih besar daripada Kredit Pajak, sedangkan lebih bayar adalah

saat dimana PPh terutang lebih kecil dari Kredit Pajak yang harus dilunasi

paling lambat tanggal 25 bulan ketiga setelah tahun pajak berakhirnya dan

sebelum SPT tahunan disampaikan.. Perhitungan PPh Kurang/lebih bayar

dapat dilakukan dengan mempergunakan Form 1770 Induk bagian D.

Referensi : UU.No.10 tahun 1994; Kep. Dirjen Pajak No. KEP-03/PJ/95;

diperbaharui dengan UU No.36 Tahun 2008

73

Page 78: Modul Perpajakan

FAKULTAS EKONOMIUNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN” JAKARTA

POKOK BAHASANKEBIJAKAN DAN TEKNIS PERHITUNGAN PPN DAN PPnBM PPh

ADIYAS, SE, MM.

A. PENDAHULUAN

Undang-undang PPN Barang & Jasa PPnBM ( disingkat UU PPN)

mengatur pengenaan atas :

1. Pajak Pertambahan Nilai Barang & Jasa (PPN).

2. Pajak. Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM).

Pajak Pertambahan Nilai merupakan :

1. Pajak tidak langsung.

2. Pajak atas konsumsi dalam negeri.

Kelemahan PPN 1951 (UU. yang lama) antara lain :

1. Adanya pajak berganda.

2. Barmacam-macam tarif (ada 9 macam tarif ), sehingga menimbulkan

kesulitan pelaksanaannya.

3. Tidak mendorong ekspor.

4. Belum dapat mengatasi penyelundupan.

74

9

MODUL PERTEMUAN XII & XIII

Perpajakan (3 SKS)

Page 79: Modul Perpajakan

Kelebihan PPN 1984 (Undangan-undangan yang baru), antara

lain :

1. Menghilangkan pajak berganda

2. Tarif tunggal, sehingga memudahkan pelaksanaan.

3. Dapat menghindarkan penyelundupan (lebih mudah pengawasan).

4. Netral dalam persaingan dalam negeri.

5. Netral dalam perdagangan internasional.

6. Netral dalam pola konsumsi

7. Dapat mendorong ekspor.

B. DASAR HUKUM

Peraturan Perundang-undangan yang mengatur PPN dan PPnBM

adalah UU No.8 Tahun 1983, tentang PPN Barang & Jasa dan PPnBM

sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No.11 Tahun 1994.

Lahirnya sistem PPN dan PPnBM ini tentu saja membawa

dampak positif dalam pelaksanaannya, antara lain :

1. PPN dan PPnBM dalam pelaksanaannya bisa menghindari pengenaan

pajak berganda.

2. Dalam ekspor, diberikan pengembalian beban pajak yang melekat

pada waktu perolehan harga barang yang diekspor.

3. Dalam hal impor, jumlah pajak yang dipungut sama dengan jumlah

pajak yang dikenakan atas barang yang diproduksi di dalam negeri

pada tingkat harga yang sama, karena itu menciptakan persaingan

yang sehat untuk keuntungan konsumen.

4. Penerapan sistem tarif yang lebih sederhana atas PPn dan PPnBM

dapat dengan mudah melacak setiap bentuk penyelundupan pajak.

C. PENGERTIAN PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK

PERTAMBAHAN NILAI

75

Page 80: Modul Perpajakan

Yang dimaksud dengan pertambahan nilai adalah jumlah antara

biaya yang dikeluarkan dan tingkat laba yang diharapkan dalam suatu

proses produksi. Artinya proses pertambahan nilai selalu timbul karena

adanya biaya-biaya yang dikeluarkan mulai dari bahan baku siap dijual

dengan tingkat laba yang diharapkan.

Dalam proses produksi tentu saja tidak lepas dari faktor-faktor

produksi seperti:

- Harta tetap, dimana ada biaya penyusutan dari harta tetap tersebut.

- Modal, berkaitan dengan faktor bunga modal yang harus dibayarkan.

- Tenaga kerja, berkaitan dengan pembayaran upah dan gaji.

- Biaya-biaya kantor dan laba yang diharapkan.

Untuk menghitung PPN yang terutang, Pengusaha Kena Pajak

(PKP), harus menghitung selisih antara Pajak Keluaran dengan Pajak

Masukan yang secara sederhana dapat dirumuskan PPN = Pajak

Keluaran – Pajak Masukan. Jika Pajak Keluaran ternyata lebih kecil dari

Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan hak Pengusaha Kena Pajak

yang dapat diminta kembali atau dikompensasikan dengan Jumlah Pajak

yang terutang.

D. BEBERAPA HAL YANG BERKAITAN DENGAN PPN

1. Barang Kena Pajak (BKP) :

Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud yang menurut sifat

atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak

bergerak maupun barang tidak berwujud yang dikenakan pajak

berdasarkan Undang-Undang PPN.

2. Pengusaha Kena Pajak (PKP) :

76

Page 81: Modul Perpajakan

a. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun

yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya

menghasilkan barang melakukan usaha perdagangan,

memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean,

melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah

Pabean.

b. PKP adalah Pengusaha sebagaimana yang dimaksud pada no. 1

yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenakan

pajak berdasarkan UU.PPN, tidak termasuk Pengusaha Kecil (PK)

yang batasannya ditetapkan oleh Menkeu, PK yang memiliki untuk

dikukuhkan menjadi PKP.

3. Jasa Kena Pajak (JKP) :

Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan

berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang

menyebabkan suatu barang/fasilitas atau kemudahan atau hak

tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk

menghasilkan barang karena pemesan, yang dikenakan pajak

berdasarkan Undang-undang PPN.

E. CARA MENGHITUNG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

Ada 2 metode dalam menghitung PPN, yaitu :

1. Metode langsung (direct subtraction method) :

Diperoleh dari : Tarif x pertambahan nilai

Cara ini sulit dilaksanakan.

2. Metode tidak langsung (indirect subtraction method / tax invoice

method) :

Diperoleh dari : Pajak Keluaran – Pajak Masukan

77

Page 82: Modul Perpajakan

Dalam perhitungan tetap dibahas dengan menghitung PPn

dengan menggunakan metode yang kedua yaitu metode tidak langsung.

Untuk memahami besarnya pertambahan nilai dan besarnya PPN

yang harus dibayarkan, dapat diperhatikan contoh berikut.

Contoh :

1. Bahan baku yang dibeli oleh perusahaan garment berupa kain dan

bahan pembantu lainnya seharga Rp. 500,- Seandainya biaya-biaya

yang timbul dan keuntungan yang diharapkan akibat produksi tersebut

akan menjual hasil produksinya seharga Rp. 450,- maka perusahaan

garment tersebut akan menjual hasil produksinya seharha Rp. 950,-.

Dari contoh ini dapat diketahui bahwa besarnya Pertambahan Nilai

adalah Rp. 450,- yaitu semua biaya dan tingkat laba yang diharapkan

selama proses produksi dari bahan mentah sampai menjadi barang

jadi.

a. Jika diketahui tarif PPN 10%, maka kita dapat menghitung pula

besarnya PPN, yakni :

Beli Rp. 500 PPN 10 % = Rp. 50 (Pajak Masukan)

Jual Rp. 950 PPN 10% = Rp. 95 (Pajak Keluaran)

PPN yang harus dibayarkan = Pajak Keluaran – Pajak Masukan.

= Rp. 95 – Rp. 50

= Rp. 45,-

Nilai PPN diatas sama besarnya dengan 10% dari pertambahan

Nilai sebesar Rp. 450,- yaitu : 10% x Rp. 450,- = Rp. 45,-

b. Jika perusahaan garment tersebut hanya mampu menjual hasil

produksinya senilai Rp. 250,- maka perhitungannya adalah sebagai

berikut :

Beli Rp. 500,- PPN 10% = Rp. 50,- (Pajak Masukan)

Jual Rp. 250,- PPN 10% = Rp. 25,- (Pajak Keluaran)

78

Page 83: Modul Perpajakan

Maka terjadi kelebihan pembayaran PPN sebesar Rp. 25,- yang

merupakan hak dari pengusaha kena pajak (PKP) yang dapat

diminta kembali atau dikompensasikan untuk pajak yang terutang

untuk masa pajak berikutnya.

Seperti yang diuraikan sebelumnya sistem pemungutan Pajak

pertambahan Nilai (PPN) dilakukan secara bertahap sesuai dengan

tingkat produksi mulai dari bahan baku sampai barang jadi (multi-stages

system) . Berikut ini akan diuraikan penerapan multi-stages system dalam

PPN, sebagai berikut :

Tabel Multi – Stages

Tahap Harga beli Harga jual Pajak Pajak PPN

Produksi Masukan Keluaran

Kapas - 400 - 40 40

Benang 400 1.200 40 40 80

Kain 1.200 2.000 120 120 80

Baju 2.000 5.000 200 200 300

Total 3.600 8.600 360 860 500

Dari tabel diatas, petani kapas menjual kapasnya ke produsen

benang dengan harga Rp. 400,- ini menimbulkan pajak keluaran sebesar

Rp. 40,- (10% x Rp. 400) yang juga merupakan jumlah PPN-nya (PPN =

Pajak Keluaran (Rp. 40,-) - Pajak Masukan (Rp. 0,). Bahan baku berupa

kapas yang dibeli oleh produsen benang sebesar Rp. 400,- menimbulkan

pajak masukan sebesar Rp. 40,- (10% x Rp. 400), dari bahan baku

tersebut, ternyata setelah menjadi benang dibutuhkan oleh produsen kain.

Seandainya harga kain setelah jadi sebesar Rp. 2.000,- maka dari

keadaan itu dapat dihitung pajak masukannya sebesar Rp. 120,- dan

pajak keluarannya Rp. 200,- sehingga PPN yang harus dibayarkan pada

tingkat ini adalah sebesar Rp. 80,-. Selanjutnya produsen baju yang

membutuhkan kain sebagai bahan baku, akan membeli kain yang

79

Page 84: Modul Perpajakan

mengakibatkan timbulnya pajak masukan sebesar Rp. 200,-. Jika ternyata

dalam proses produksi harga baju akan dijual seharga Rp. 5.00,- maka

akan ada pajak keluaran sebesar Rp. 500,- yang juga merupakan PPN

yang dibayarkan oleh konsumen yang membeli baju tersebut.

Dari seluruh rangkaian proses produksi, mulai dari bahan baku

berupa kapas sampai menjadi baju yang siap dijual dipasaran, maka kita

dapat menghitung jumlah PPN yang dibayarkan dalam rangkaian tersebut,

yaitu Rp. 500,- yang merupakan penjumlahan atas PPN tahap pertama

sebesar Rp. 40,- ditambah PPN tahap kedua sebesar Rp. 80,- PPN tahap

ke 3 sebesar Rp. 40,- ditambah PPN tahap ke 4 sebesar Rp. 300,-

Pajak Masukan yang telah dibayarkan pada waktu perolehan

Barang Kena Pajak (BKP) yang langsung diekspor atau diserahkan

kepada Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak

Masukan yang dihitung dengan pedoman sebagai berikut :

a. Rumus yang dapat digunakan untuk menetapkan perkreditan pajak ini

adalah :

Penyerahan BKP kepada PKP X Jumlah Pajak Masukan

Nilai Peredaran Usaha

b. Besarnya perkreditan pajak tidak boleh lebih lebih besar dari Pajak

Masukan atau dapat juga dikatakan bahwa Pajak Masukan harus lebih

besar dari perkreditan pajak.

c. Pajak Masukan atas persediaan BKP yang masih tersedia dapat

dikompensasikan pada masa pajak berikutnya.

Contoh :

1. Dari suatu kegiatan usaha diketahui bahwa PT “X” :

a. Membeli BKP seharga Rp. 15.000.000

b. Ekspor BKP Rp. 5.000.000

c. Menjual BKP ke PKP Rp. 7.500.000

d. Menjual BKP ke bukan PKP Rp. 2.500.000

80

Page 85: Modul Perpajakan

Pajak Masukan :

10% x Rp. 15.000.000,- Rp. 1.500.000

Pajak Keluaran :

Atas Ekspor 0% Rp. –

Atas PKP 10% x Rp. 7.500.000,- Rp. 7.500.000

Kepada bukan PKP tidak dikenakan pajak Rp. –

Total Pajak Keluaran Rp. 750.000

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan :

a. Atas Ekspor :

Rp. 5.000.000

Rp. 15.000.000

b. Atas penjualan kepada PKP :

Rp. 7.500.000

Rp. 15.000.000

Total Pajak Masukan yang dapat dikreditkan :

= Rp. 500.000 + Rp. 750.000 = Rp.1.250.000,-

Jumlah Pajak yang lebih bayar atau harus disetorkan adalah :

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan = Rp. 1.250.000

Pajak Keluaran = Rp. 750.000

Pajak yang lebih dibayar = Rp. 550.000,-

F. TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

Ada dua cara yang dilakukan dalam pemungutan PPN, yaitu :

81

X Rp. 1.500.000,- = Rp. 500.000,-

X Rp. 1.500.000,- = Rp. 750.000,-

Page 86: Modul Perpajakan

1. Accrual basis, yaitu suatu prinsip pemungutan pajak dengan cara

memungut pajak terutang pada saat penyerahan barang/jasa kena

pajak, impor, meskipun belum diterima pembayarannya.

2. Cash basis, yaitu suatu prinsip pemungutan pajak dengan cara

memungut pajak terutang pada saat penerimaan pembayaran,

meskipun belum menerima barang/jasa kena pajak.

G. PENGERTIAN PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH (PPnBM)

PPnBM merupakan pungutan pelengkapan atas pengenaan PPN.

Dikatakan pelengkapan karena pengenaan PPnBM ini sifatnya adalah

pemungutan satu kali pada sumbernya atas pembeli atau konsumen

barang termasuk dalam kategori barang mewah. Barang mewah yang

dimaksud adalah : barang yang dianggap memiliki daya kemampuan lebih

tinggi sehingga wajar kalau dipungut pajak yang lebih tinggi.

Contoh Perhitungan PPN dan PPn BM :

PT “X” membeli barang dan jasa kena pajak (PKP) yang

tergolong mewah dengan harga penyerahannya Rp. 130.000.000,-

1. Jika diketahui bahwa barang mewah yang dimaksud diatas tergolong

tarif PPnBM 20%, berapa jumlah seluruhnya yang harus dibayarkan

oleh PT “X”

2. Jika diketahui bahwa harga BKP yang tergolong mewah tersebut

diatas sudah termasuk PPn10% dan PPnBM 20%, berapakah harga

barang tersebut yang merupakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) ?

Penyelesaian

4. Harga sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Rp. 130.000.000

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% Rp. 13.000.000

82

Page 87: Modul Perpajakan

Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn BM) 20% Rp. 26.000.000 +

Jumlah yang dibayar oleh PT “X” Rp. 169.000.000,-

5. Untuk kasus no.2 dapat diselesaikan sebagai berikut :

10PPN = x Rp. 130.000.000 = Rp. 10.000.000 100 + 10 + 20

20PPnBM = x Rp. 130.000.000 = Rp. 20.000.000 100 + 10 + 20

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) = Harga BKP – (PPN + PPnBM) DPP = Rp.130.000.000 – (Rp. 20.000.000 + Rp. 10.000.000) = Rp. 100.000.000,-

83

Page 88: Modul Perpajakan

Referensi : UU.No.11 tahun 1994

PP. No. 50 Tahun 1994

FAKULTAS EKONOMIUNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN” JAKARTA

POKOK BAHASANKEBIJAKAN UMUM MENGENAI PBB

ADIYAS, SE, MM.

A. PENDAHULUAN

Sesuai dengan UU No. 12 1994 dan peraturan serta keputusan

Penerapan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), seperti halnya dengan jenis-

jenis pajak lainnya, juga mengalami perubahan-perubahan yang

disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di Indonesia.

Perubahan-perubahan yang dilakukan pada dasarnya

penyederhanaan dari peraturan yang satu ke peraturan yang lainnya.

Penyederhanaan tersebut diatur dalam beberapa jenis pungutan atas

tanah dan bangunan yaitu :

1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908

2. Ordonansi Verponding Indonesia 1923

3. Ordonansi Verponding 1928

4. Ordonansi Pajak Kekayaan 1923

5. OrdonansiPajak Jalanan 1932

6. Pasal 14 huruf j, k dan l UU Darurat No. 11 tahun 1957 tentang

Peraturan Umum Pajak Daerah.

7. Peraturan Pemerintah pengganti UU No. 11 tahun 1959 tentang Pajak

Hasil Bumi (IPEDA) dan Peraturan perundang-undangan lain

84

10

MODUL PERTEMUAN XIV

Perpajakan (3 SKS)

Page 89: Modul Perpajakan

sepanjang mengenai tanah dan bangunan, dinyatakan tidak berlaku

lagi & diganti dengan pungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

B. OBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

Yang menjadi objek PBB adalah Bumi dan Bangunan. Yang

dimaksud dengan Bumi adalah Permukaan bumi meliputi tanah dan

perairan pedalaman laut wilayah Indonesai. Sedangkan yang dimaksud

dengan Bangunan adalah Konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan

secara tetap pada tanah dan/atau perairan, sehingga yang termasuk

dalam pengertian bangunan disini yaitu :

1. Jalan lingkungan yang terletak

2. Jalan tol.

3. Kolam renang.

4. Pagar mewah, taman mewah.

5. Tempat olah raga.

6. Galangan kapal/dermaga.

7. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak.

8. Fasilitas lain yang memberikan manfaat.

Sedangkan yang tidak tergolong objek PBB antara lain :

1. Yang semata-mata digunakan untuk melayani kepentingan umum

dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan

nasional yang tidak dimaksud untuk memperoleh keuntungan.

2. Untuk kuburan, peninggalan purbakala atau sejenisnya.

3. Hutan lindung, hutan suaka, hutan wisata, taman nasional, tanah

pengembalaan yang dikuasai oleh desa, tanah negara yang belum

dibebani suatu pajak.

4. Untuk perwakilan diplomatik, konsulat, berdasarkan azas perlakuan

timbal balik.

5. Untuk bafan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan

oleh Menteri Keuangan RI.

85

Page 90: Modul Perpajakan

6. Nilai Jual Pajak Tidak kena Pajak (NJO-PTKP) sebesar 8 juta.

(Th.2000 = Rp 12 juta).

Sebelum ditetapkan sebagai objek PBB, terlebih dahulu dilakukan

penelitian oleh pejabat yang berwenang menurut Undang-undang,

Penelitian Objek PBB dibagi 2 kategori, yaitu :

1. Penelitian tanah :

d. Penelitian objek tanah dilakukan dengan cara

menentukan/menilai harga tanah berdasarkan transaksi

jual beli tanah yang terjadi di wilayah tersebut dengan

mengambil harga jual rata-rata.

e. Untuk memudahkan penentuan harga tanah untuk

kepentingan penetapan PBB, maka sedikitnya setiap tahun

DitjenPajak cq. Kakanwil yang bersangkutan menerbitkan

Nilai Jual Objek Pajak sebagai pedoman.

f. Berdasarkan pennilaian/penentuan klasifikasi tanah

tersebut, petugas panilai mencatumkan kelas tanah pada

Surat Pemberitahuan Objek pajak tersebut.

2. Penelitian bangunan :

a. Penilaian objek bangunan dilakukan dengan cara menilai

konstruksi bangunan meliputi antara lain konstruksi landasan,

konstruksi atap, disamping juga memperhatikan segi kualitas

material bangunan dan luas bangunan.

b. Masing-masing konstruksi bangunan mempunyai cara-cara

penilaian tersendiri, dimana akhir penilaian tersebut merupakan

klasifikasi suatu bangunan yang akan dicantumkan pada SPOP

sebagai bahan penetapan Pajak Bumi & Bangunan (PBB).

86

Page 91: Modul Perpajakan

C. PENETAPAN NILAI PAJAK

Berdasarkan data objek PBB yang dihimpun dalam Surat

Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dan telah diadakan penilaian serta

penentuan klasifikasi tanah dan bangunan, maka diadakan perhitungan/

penetapan sebagai berikut ;

1. Besarnya tarif adalah 0,5% (lima per-seribu).

2. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

3. Dasar perhitungan pajak adalah 20 % dari nilai NJOP.

4. Batas Nilai Jual Bangunan Tidak Kena Pajak (NJP-TKP) adalah

Rp.8juta (Rp.10.000.000,- apabila seorang WP mempunyai beberapa

objek pajak, yang diberi NJOP-TKP).

Contoh, seperti dikutip dari Penjelasan UU. No 12 tahun 1994 ayat

3, sebagai berikut :

Seorang WP mempunyai 2 objek pajak berupa bumi dan bangunan

masing-masing di desa A dan desa B dengan nilai sebagai berikut :

Desa A :

Nilai jual Objek Pajak Bumi (NJOPB) Rp. 8.000.000

Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp. 5.000.000

Nilai Jual Objek Pajak untuk Perhitungan pajak :

Nilai Jual Objek Bumi Rp. 8.000.000

Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp. 5.000.000 +

NJOP sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Rp. 13.000.000

NJOP untuk Perhitungan pajak Rp. 8.000.000 _

NJOP-TKP Rp. 5.000.000

Desa B :

87

Page 92: Modul Perpajakan

Nilai jual Objek Pajak Bumi (NJO PB) Rp. 5.000.000

Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp. 3.000.000

Nilai Jual Objek Pajak untuk Perhitungan Pajak :

Nilai Jual Objek Bumi Rp. 5.000.000

Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp. 3.000.000 +

NJOP sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Rp. 8.000.000

NJOP untuk Perhitungan pajak Rp. - _

NJOP-TKP Rp. 8.000.000

Selanjutnya penetapan besarnya pajak yang terutang harus

diperhitungkan dengan cara, yaitu :

- Untuk tanah = 0,5% x 20% x nilai jual tanah

- Untuk bangunan = 0,5% x 20% x (NJ bangunan – NJB-TKP)

Atau

- Untuk tanah dan bangunan = 0,5% x 20% x NJOP sebagai Dasar

Pengenaan Pajak (DPP)

D. SUBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

Yang menjadi subjaek/WP PBB adalah orang atau badan yang

secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh

manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh

manfaat atas bangunan, antara lain pemilik, penghuni, pengontrak,

penggarap, pemakai dan penyewa.

Contoh Perhitungan :

Batara sebagai WP memiliki tanah seluas 1000 m2 persegi dengan nilai

jual Rp. 300.000/m2. dari tanah seluas 1000 m2 tersebut bediri sebuah

bangunan 400 m2 dengan nilai jual Rp. 350.000/ m2. Jika ternyata

88

Page 93: Modul Perpajakan

diketahui dalam lampiran klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai

jual bumi dan bangunan termasuk dalam kategori NJOP Bumi kelas 24

(dimana NJOP/ m2 antara 262.000 sampai dengan 308.000 atau menurut

ketentuan NJOP bumi adalah Rp. 285.000/ m2 dan NJOP bangunan kelas.

8, sebesar Rp. 365.000/m2, maka besar perhitungan pajak terutang

sebagai berikut :

Nilai Jual Tanah = 1000 m2 x Rp. 285.000 = Rp. 285.000.000

Nilai jual bangunan = 400 m2 x Rp. 265.000 = Rp. 146.000.000 +

Jumlah NJOP = Rp. 431.000.000

Nilai jual bangunan tidak kena pajak = Rp. 8.000.000 _

Jumlah NJOP = Rp. 423.000.000

PBB terutang = 0,5% x 20% x Rp. 423.000.000 = Rp. 423.000,-

89

Page 94: Modul Perpajakan

Referensi : UU.No.12 tahun

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAl

”VETERAN” JAKARTA

POKOK BAHASANKEBIJAKAN UMUM MENGENAI BEA METERAI

ADIYAS, SE, MM.

A. PENDAHULUAN

Objek Bea Materi dan tata cara pelunasannya yang sesuai

dengan ketentuan UU No. 13 tahun 1995 tentang Bea Meterai dan

Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1995 tentang Tarif Bea Meterai dan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 tahun 2000, tentang

Perubahan Tarif Bea Meterai dan besarnya Pengenaan harga nominal

yang dikenakan Bea Materi yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2000.

Bea Meterai adalah salah satu pajak yang dipungut dan dikelola

oleh negar. Pengertian Bea Materi itu sendiri sebenarnya adalah biaya

pengesahan/penguatan secara umum atas suatu dokumen berharga dan

pentingoleh negara. Bea Meterai dapat diartikan juga suatu pungutan atas

dokumen-dokumen berharga.

B. DOKUMEN-DOKUMEN YANG DIKENAKAN BEA MATERAI

90

MODUL PERTEMUAN XV

Perpajakan (3 SKS)

11

Page 95: Modul Perpajakan

Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 17 tentang Bea Meterai,

dokumen-dokumen berharga yang dikenakan Bea Meterai adalah

dokumen-dokumen sebagai berikut :

1. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat untuk digunakan

sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan kenyataan atau keadaan

yang bersifat perdata.

2. Akta-akta notaris termasuk salinannya

3. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

termasuk rangkapan-rangkapannya.

4. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari 1.000.000,-

- Yang menyebutkan penerimaan uang

- Menyatakan pembukuan uang atau penyimpan uang dalam

rekening bank (R/K)

- Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank

- Berisi pengakuan utang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi.

5. Surat berharga, seperti : Wesel, Promes dan aksep yang berharga

nominal lebih dari Rp. 1.000.000

6. Efek dengan nama dan alamat bentuk apapun, sepanjang harga

nominalnya lebih dari Rp. 1.000.000

7. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian dimuka

pengadilan :

- Surat-surat biasa dan surat ke rumah tanggaan,

- Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan

tujuannya, tapi kemudian digunakan untuk tujuan lain atau

digunakan oleh orang lain dengan maksud yang lain.

C. DOKUMEN-DOKUMEN YANG TIDAK DIKENAKAN BEA MATERAI

Sedangkan dokumen-dokumen yang tergolong tidak dikenakan

bea materai adalah :

1. Surat penyimpanan barang, konosemen, surat angkutan penumpang

dan barang, keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen,

91

Page 96: Modul Perpajakan

bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang, surat pengiriman

barang untuk dijual atas tanggunganpengirim dan surat-surat swejenis

lainnya.

2. Segala bentuk Ijazah

3. Berbagai bentuk tanda terima yang ada kaitannya dengan hubungan

kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan

pembayaran seperti : Gaji, Uang tunggu, Tunjangan dan pensiun.

4. Tanda bukti penerimaan uag negara dan kas negara dan kas negara,

kas pemerintah daerah dan bank

5. Kwitansi untuk semua jenis pajak dari kas negara, kas pemerintah

daerah dan bank

6. Tanda bukti penerimaan uang untuk keperluan intern organisasi

7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan

kepada penabung bank, koperasi dan badan-badan lainnya yang

bergerak dibidang tersebut

8. Surat gadai yang diberikan oleh perusahaan jawatan pengadaian

9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama

dan dalam bentuk apapun.

Pemungutan Bea Meterai yang berlaku sekarang adalah hasil

penyederhanaan dari peraturan Bea Meterai 1921 (ABM 1921) dirasakan

sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang, karena terlalu rumit.

Perbandingan antara ABM 1921 dengan UU No. 13 tahun 1985

tentang Bea Meterai adalah sebagai berikut :

- Pada ABM 1921, jenis-jenis pemeteraian terdiri dari Bea Meterai

Umum, Bea Meterai Luas Kertas, Bea Meterai Luar Biasa, Bea Meterai

Tetap dan Bea Meterai Sebanding dengan penetapan tarif atas Bea

Meterai sebanyak 167 macam.

- Pada UU No. 13 tahun 1985 tentang Be Meterai, jenis Bea Meterai

hanya ada satu, yankni, Bea Meterai Tetap dengan 2 macam tarif.

92

Page 97: Modul Perpajakan

- Pada UU No. 24 tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan

besarnya batas Pengenaan harga Nominal yang dikenakan Bea

Meterai dengan 2 macam tarif.

D. DASAR HUKUM PELAKSANAAN PEMUNGUTAN BEA MATERAI

Yang menjadi dasar hukum pemungutan Bea Meterai adalah :

1. Undang-Undang No. 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai

2. Paraturan Pemerintah No. 7 tahun 1995 tentang perubahan tarif Bea

Meterai

3. Keputusn Menkeu RI No. 182/KMK.04/1995 tentang pelaksanaan

peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1995 tentang Perubahan tarif Bea

Meterai

4. Peraturan Pemerintah RI No. 24 tahun 2000 tentang perubahan tarif

Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang

dikenakan Bea Meterai

E. TARIF BEA MATERAI

1. Tarif untuk seluruh dokumen berharga yang terutang Bea Meterai

dikenakan sebesar Rp.2000,-, sekarang Rp.6.000,- diatas

Rp.1.000.000,-.

2. Tarif untuk dokumen yang nilai nominalnya lebih dari Rp. 250.000,-

tetapi tidak lebih dari Rp. 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp. 1000

(Rp. 3.000) dan untuk dokumen yang nilai nominalnya dibawah

Rp.250.000,- tidak terutang Bea Meterai.

3. Bea Meterai atas cek dan bilyet giro ditetapkan tarif sebesar Rp.1.000,-

tanpa batas

4. Nominal dari cek dan bilyet giro tersebut (sekarang Rp.3.000,-).

93

Page 98: Modul Perpajakan

Selanjutnya lihat keterangan dalam lampiran Peraturan Pemerintah

No. 24 tahun 2000, yang berlaku pada tanggal 1 Mei 2000.

F. SAAT TERUTANG, TATA CARA PENGGUNAAN SERTA PELUNASANNYA

Saat terutangnya bea meterai adalah pada saat dokumen itu

diserahkan dari satu pihak,saat terutangnya adalah pada saat dokumen

itu selesai dibuat, untuk diluar negeri adalah pada saat digunakan di

Indonesia, pihak yang terutang adalah pihak yang mendapat manfaat dari

dokumen,kecuali pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.

Tata cara penggunaan dan pelunasannya bisa dilakukan dengan

menggunakan benda meterai (kertas meterai dan meterai tempel) atau

dengan cara lain seperti dengan cap lunas pada dokumen yang

bersangkutan,bisa juga denganmenggunakan mesin teraan meterai atau

alat lain. Cara menempelkan meterai tempel dan penggunaan kertas

Meterai dilakukan sebagai berikut :

1. Meterai tempel harus direkatkan seluruhnya pada tempat dimana

tanda tangan akan dibubuhkan dengan utuh/tidak rusak diatas

dokumen;

2. Ditanda tangani dengan tinta atau bahan sejenis, tanda tangan harus

mengenai baik Meterai tempel maupun kertas yang bersangkutan;

3. Tanggal, bulan dan tahun harus diisi pada Meterai tempel pada

saat/setelah ditanda tangani;

4. Jika digunakan lebih dari satu Meterai tempel, tanda tangan itu harus,

sebagian pada kertas dan sebagian lagi pada semua Meterai tempel

yang digunakan;

5. Jika syarat diatas tidak dipenuhi untuk keperluan pelunasan dengan

menggunakan Meterai tempel, sanksinya adalah dokumen itu

dianggap tidak berMeterai, dan itu berarti harus dilakukan pemeteraian

ulang ditambah denda 200%;

94

Page 99: Modul Perpajakan

6. Kertas Meterai hanya boleh digunkan sekali. Jika satu lembar kertas Meterai

tidak cukup untuk memuat seluruh isi dokumen, boleh ditambah dengan kertas

lain tanpa penerimaan Meterai lagi.

G. SYARAT PELUNASAN

Ada dua macam syarat pelunasan bea materai yang dapat dilakukan, yaitu :

1. Syarat Pelunasan Dengan Cap Lunas :

- Harus mendapat izin dari Dirjen Pajak cq. Direktur PPN/PTLL;

- Tempat pencentakannya secara lisan, belum ada surat edaran

khusus yang mengatur tentang hal ini ditetapkam di PERURI;

- Bea Materai terutang dibayar terlebih dahulu dengan nominal

sebesar jumlah yang ingin dicetak.

4. Syarat Pelunasan Dengan Mesin Teraan :

- Harus mendapat izin dari Dirjen pajak baik oleh direktur

PPN/PTLL maupun kantor Pelayanan Pajak (KPP) masing-

masing.

- Penggunaan dokumen minimal 50 lembar perhari.

- Harus melakukan pembayaran terlebih dahulu sebesar minimal

Rp. 5 juta.

- Mesin teraan harus dibeli sendiri, setelah Bea Meterai dibayar,

disegel oleh fiscus sampai jumlah depositnya.

- Bila telah habis sampai jumlah Bea Meterai yang disetor,

perpanjangan dapat diajukan dan syarat pembayaran terlebih

dahulu tetap berlaku.

95

Page 100: Modul Perpajakan

96

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

PUSAT PENYULUHAN PERPAJAKAN

PENGUMUMAN NOMOR : PENG-02/PJ.08/2000

Dengan ditetapkannya peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2000, dengan ini diumumkan bahwa mulai 1 Mei 2000 semua dokumen yang tentang Bea Materai harus sudah dilunasi dengan tarif Rp. 3000,00 (tiga ribu rupiah) atau Rp. 6.000,00 (enam ribu rupiah) dengan perincian sebagai berikut ;

1. Dokumen yang dikenakan Bea Materai dengan tarif Rp. 6.000,00Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat

pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;Akta-akta Notaris termasuk salinanyaAkta-akta yang dibuat oleh Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

termasuk rangkap-rangkapnya;Surat yang memuat jumlah uang yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000,0

(satu juta rupiah), yakni :1). Yang menyebutkan penerimaan uang;2). Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di

Bank3) Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di Bank ; atau4) Yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah

dilunasi atau diperhitungkan;Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp.

1.000.000,00 (satu juta rupiah);Dokumen yang digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan yaitu :

1). Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;2). Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea materai berdasarkan tujuannya; jika

digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari maksud semula;

Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah);

Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

2. Dokumen yang dikenakan Bea materai dengan tarif Rp. 3.000,00a. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf dan huruf c, di atas yang

mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah)

b. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf g dan huruf h diatas yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah);

c. Cek dan Bilyet Giro tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.3. Dokumen yang dikenakan Bea MeteraiDokumen sebagaimana dalam angka 1 huruf d dan huruf e diatas yang mempunyai harga nominal

sampai dengan Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), tidak dikenakan Bea Meterai.Selain Benda Meterai baru desain tahun 2000 yang akan segera dicetak dan diedarkan.

Benda Meterai cetak tindih tahun 2000 masih dapat digunakan untuk melunasi Bea Meterai yang terutang sesuai dengan tarif yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2000.

D Demikian untuk diindahkan.

Jakarta, 1 Mei 2000Kepala Pusat

ttdNono Hanafi

NIP 060027582

Page 101: Modul Perpajakan

Referensi : UU.No.13 tahun 1985

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAl ”VETERAN” JAKARTA

POKOK BAHASANBEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

ADIYAS, SE, MM.

A. PENDAHULUAN

Sesuai dengan Pasal 33 (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi,air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, maka sudah sewajarnya jika pemilik atau yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan (yang merupakan bagian dari bumi) menyerahkan sebagian nilai ekonomis dari perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pemungutan BPHTB tetap memperhatikan azas keadilan bagi masyarakat dengan golongan ekonomi lemah dan berpenghasilan rendah melalui nilai bangunan yang tidak dikenakan perolehan hak atas tanah dan bangunan pajak.

B, PENGERTIAN BPHTB

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas dan atau (BPHTB) adalah bangunan,yang selanjutnya disebut pajak. Dengan demikian ,objek pajak (BPHTB) adalah tanah ,bangunan serta tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan meliputi pemindahan hak atas tanah dan bangunan karena jual beli,tukar menukar,hibah,hibah wasiat,penyertaan modal dari orang pr\ibadi atau badan usaha kepada perseroan terbatas atau badan hukum lain yang berupa tanah atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama. Selain itu perolehan hak atas tanah dan atau bangunan juga bisa berasal dari pemindahan hak atas tanah dan

97

MODUL PERTEMUAN XVI

Perpajakan (3 SKS)

12

Page 102: Modul Perpajakan

bangunan,karena penunjukkan pembeli dalam lelang,pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap serta hadiah. Perolehan hak atas tanah dan bangunan selain beasal dari pemindahan bisa juga beasal dari pemberian hak baru Hak atas tanah dan bangunan meliputi hak milik,hak guna usaha,hak guna bangunan,hak pakai,hak milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan. Sedangkan perolehan hak atas tanah dan bangunan yang dikekecualikan dari BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh perwakilan diplomatik,konsulat berdasarkan azas perlakuan timabal balik,negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau perwakilan organisasi internasioal yang ditetapkan olleh Menteri serta orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama yang dikarenakan adanya wakaf,warisan dan untuk digunakan kepentingan ibadah.

C. TATA CARA PENGHITUNGAN BPHTB

Untuk menentukan besarnya BPHTB adalah : (Nilai Perolehan- Nilai Perolehan Tidak Kena Pajak) x Tarif Pajak. Nilai perolehan objek pajak ditentukan berdasarkan cara dimilikinya hak atas tanah dan bangunan. Jika hak atas tanah dan bangunan diperileh dari :

- jual beli maka nilai perolehannya adalah harga transaksi.- tukar menukar maka nilai perolehannya adalah nilai pasar objek pajak.- Hibah,nilai perolehannya adalah nilai pasar objek pajak.- pemasukkan dalam pereroan atau badan hukum lainnya nilai perolehan nya adalah nilai pasar objek pajak.- pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan maka nilai perolehan nya adalah nilai pasar objek pajak.- penunjukkan pembeli dalam lelang,nilai perolehannya adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.- peralihan hak kareana pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai Kekuatan hukum tetap,nilai perolehannya adalah nilai pasar objek Pajak.- pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, nilai perolehannya adalah nilai pasar objek pajak.- pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak,nilai perolehan nya adalah nilai pasar objek pajak.

98

Page 103: Modul Perpajakan

Nilai perolehan Objek Pajak diatas dapat diringkas sbb :

Tabel 12.1 Nilai Perolehan Objek Pajak. Nilai Perolehan Transaksi --------------------------------------------------------------------------------------------------- Harga Transaksi Jual beli Lelang

--------------------------------------------------------------------------------------------------

Nilai Pasar Tukar Menukar Hibah Pemasukan ke Perseroan Pemisahan Hak

Pemberian hak baru

Nilai perolehan objek pajak diatas harus disesuaikan dengan NJOP.Jika nilai jual objek pajak ternyata lebih besar dari nilai transaks maka yang digunakan tetap NJOP. Tetapi jika NJOP lebih rendah daripada nilai perolehan objek pajak maka yang digunakan adalah NJOP.

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Perlu menjadi catatan bahwa NJOPTKP sering mengalami penyesuaian. Tarif Pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen). Sebagai contoh,pada tgl 1 Maret 2003, Sdr Ahmad membeli sebidang tanah dengan bangunan yang memiliki nilai Rp 100.000.000,-.Maka besarnya BPHTB adalah :Nilai Perolehan Objek Pajak = Rp 100.000.000,-Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp 60.000.000,- -Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak = Rp 40.000.000,-Pajak terutang = 5% x Rp 40.000.000,- = Rp 2,000.000,-

Perolehan hak atas tanah dan bangunan sebesar Rp 100.000.000,-Akan dikenakan BPHTB sebesar Rp 2.000.000,-.

99

Page 104: Modul Perpajakan

D. PENGENAAN BPHTB ATAS PEROLEHAN HAK KARENA HIBAH WASIAT

Jika perolehan hak atas tanah dan bangunan atas dasar hibah wasiat dan hibah wasiat ini diterima oleh orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dan garis keturunan lurus satu derajat keatas dan kebawah termasuk suami/isteri dikenakan 0% dari bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang seharusnya terutang. Misalnya,tgl 1 Oktober 2003 Sdr Adrian memperoleh tanah dan bangunan yang berasal dari hibah wasiat. Nilai dari tanah dan bangunan adalah sebesar Rp 75.000.000,-Maka besarnya BPHTB adalah :Nilai Perolehan Objek Pajak = Rp 75.000.000,-Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOP-TKP) = Rp 60.000.000,- -Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NJOP-KP) = Rp 15.000.000,-Pajak terutang = 5% x Rp 15.000.000 = Rp 750.000,-

Jika tanah dan bangunan yangdiperoleh Sdr Adrian berasal dari satu keturunan lurus atau berasal dari istrinya maka atas perolehan tanah dan bamgunan tidak kena pajak.

Sedangkan jika Sdr Adrian menerima hibah wasiat bukan berasal dari keturunan lurus maka besarnya BPHTB yang harus dibayarkan adalah :Rp 375.000(50%x Rp 750.000).

E. PENGENAAN BPHTB PEROLEHAN HAK KARENA PEMBERIAN HAK PENGELOLAAN

Perolehan hak atas tanah dan bangunan atas dasar pemberian hak pengelolaan akan dikenakan tarif pajak sebesar 0% (nol persen) dari bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah atau bangunan yang seharusnya terutang, apabila penerima hak pengelolaan adalah departemen, Pemda Tingkat I dan Pemda Tingkat II, Lembaga Pemerintah lainnya dan Perusahaan Umum (Perum) Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas). Tetapi hal diatas dinyatakan berlaku jika dinyatakan dengan surat Keterengan Bebas BPHTB yang diterbitkan oleh Kepala BPHTB yang wilayah kerjanya meliputo letak tanah yang diberikan Hak Pengelolaan.

Sedangkan jika hak perolehan diberikan kepada selain Departemen, Pemda Tingkat I,Pemda Timgkat II.Lembaga Pemerintah lainnya dan Perumnas akan dikenakan tarif 25% (dua puluh lima persen)

Dari bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang seharusnya terutang.

100

Page 105: Modul Perpajakan

F. SAAT TERUTANG BPHTB

Saat terutang atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dibedakan atas dasar cara dimilikinya hak atas tanah dan bangunan jika hak atas tanah dan bangunan diperoleh dari :

- jual beli, maka sat terutang BPHTB adalah sejak tgl dibuat dan di tanda tangani akta - tukar menukar, maka saat terutang BPHTB adalah sejak tgl dibuat dan ditandatangani akta.- hibah, maka saat terutangBPHTG adalah sejak tgl dibuat dan ditanda tangani akta.- pemasukan dalam perseroan atau badan jhukum lainnya,maka saat ter- Utang BPHTB adalah sejak tgl dibuat dan ditandatangani akta.- pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, maka saat teutang BPHTB adalah sejak tgl dibuat dan ditandatangani akta.- Lelang, maka saat terutang BPHTB adalah sejak tgl penunjukkan. pemenang lelang.- putusan hakim,maka saat terutang BPHTB adalah sejak tgl putusan pe- Ngadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.- hibah wasiat, maka saat terutang BPHTB adaah sejak tgl yang ber- sangkutan mendatarkan peraliham haknya kekantor pertanahan.- Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, maka saat terutang BPHTB adalah sejak tgl diterbitkan surat keputus- an pemberian hak.- pemberian hak baru diluar pelepasan hak,maka saat terutang BPHTB adalah sejak tgl diterbitkannya surat keputusanpemberian hak.- hadiah,maka saat terutang BPHTB adalah sejak tgl dibuat dan ditanda- tanganinya akta.

Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak. Pajak yang terutang ini selanjutnya harus dilunasi di Bank Persepsi atau Kantor Pos atau tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan Surat Setoran BPHTB sebelim akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau notaris,risalah lelang untuk pembeli ditandatangani oleh Kepala Kantor Lelang atau Pejabat Lelang,dilakukan pendaftaran hak oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya dalam hal pemberian hak baru dan pemindahan hak karena pelaksanaan putusan hakim atau hibah wasiat.

101

Page 106: Modul Perpajakan

G. PERMOHONAN KEBERATAN,BANDING,PENGURANGAN DAN

PENGEMBALIAN BPHTB

Wajib pajak (WP) dapat mengajukan keberatan hanya kepada direktur Jenderal Pajak atas Suatu Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB),Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar (SKBLB). Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil (SKBN).

Pengajuan keberatan harus dilakukan dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan WP dengan disertai alasan-alasan yang jelas dan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima SKBKB atau SKBKBT atau SKBLB atau SKBN, kecuali apabila WP dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya. Tanda penerimaan surat Keberatan yang diberikan kekuasaannya. Tanda Penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Dirjen Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tsb bagi kepentingan wajib pajak.

Dirjen Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (duabelas) bulan sejak kebertan diterima,harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Keputusan Dirjen Pajak atas keberatan dapat berupa mengabul kan seluruhnya atau sebagian,menolak atau menambah besarnya jumlah pajak terutang. Apabila jangka waktu 12 (duabelas)bulan telah lewat dan dirjen Pajak tidak memberi suatu keputusan,keberatan yang diajukan tsb dianggap dikabulkan.

H. PERMOHONAN KEBERATAN, BANDING, PENGURANGAN DAN

PENGEMBALIAN BPHTB

WP dapat mengajukan keberatan hanya kepada Dirjen Pajak atas suatu Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil (SKBN).

Pengajuan keberatan harus dilakukan dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan WP dengan disertai alasan-alasan yang jelas dan paling lambat 3 (tiga ) bulan sejak tanggal diterimanya SKBKB atau menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya. Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Dirjen Pajak yang ditunjuk untuk itu atau bukti pengiriman Surat Keberatan

102

Page 107: Modul Perpajakan

memalui pos tercatat menjadi bukti penerimaan Surat Keberatan tsb bagi kepentingan WP.

Dirjen Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima,harus memberi keputusan atas keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Keputusan Dirjen Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian,menolak atau menambah besarnya jumlah pajak terutang. Apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat dan Dirjen Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tsb dianggap dikabulkan.

Jika terhadap keputusan keberatan , WP berhak untuk mengajukan banding. Banding hanya dapat diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP).

Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan untuk selama-lamanya 24 bulan.

WP juga memiliki hak atas pengurangan BPHTB, Pengurangan BPHTB dapat dilakukan atas permohonan WP jika perolehan BPHTB di pergunakan untuk kegiatan sosial dan pendidikan yang semata-mata tidak bertujuan mencari keuntungan. Pengurangan BPHTB atas dua hal diatas diberikan sebesar 50% dari pajak yang seharusnya terutang.

I. RANGKUMAN :

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah da atau bangiunan. Untuk menentukan besarnya BPHTB adalah (Nilai Perplehan-Nilai Perolehan Tidak Kena Pajak) x Tarif Pajak. Jika perolehan hak atas Tanah dan Bangunan atas dasar hibah wasiat dan hibah wasiat ini diterima oleh orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas dan kebawah termasuk suami/isteri dikenakan 0% dari bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang seharusnya terutang. Sedangkan jika yang menerima hibah wasiat adalah orang pribadi selain keturunan lurus dan badan hukum tertentu dikenakan sebesar 50% dari bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan yang seharusnya terutang.

Perolehan hak atas tanah dan bangunan atas dasar pemberian hak pengelolaan akan dikenakan tarif pajak sebesat 0% (nol persen) dan 25% (dua puluh lima persen).

103

Page 108: Modul Perpajakan

Daftar Pustaka

1. Casavera, Mudah Mengisi SPT tahunan PPh WP Orang Pribadi

Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta, 2008.

2. Dwi Wahyu Siswandi, Panduan Praktis Mengisi SPT Tahunan PPh,

Penerbit Sunray Books,Jakarta, 2008.

3. Diana Anastasia,Lilis setiawati, Pedoman Dan Cara Pengisian SPT

PPh Pasal 21, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2009

4. Erly Suardy, Perencanaan Pajak, Penerbit Salemba Empat, PT

Salemba Emban Patria, Jakarta, Jakarta, 2001

5. Muhammad Rusydi ,Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan,Penyetoran

&PelaporanPPh-21danPPh-26,SehubunganDengan

Pekerjaan, Jasa Dan Kegiatan Orang Pribadi,Penerbit PT

Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta, 2006

6. Meilani S. Yolina, Dasar-Dasar Akuntansi Perpajakan, Disertai

Contoh, Penerbit Tabora Media, Jakarta, 2009.

7. Supramono,SE,MBA,DBA, Theresia Damayanti,SE, Perpajakan

Indonesia Mekanisme dan Perhitungan,Penerbit Andi

Yogyakarta, 2005.

8. Waluyo, Perpajakan Indonesia, Buku I dan Buku II, Penerbit

Salemba Empat, Jakarta, 2002.

9. Yuda Aryanto, Mahir Mengisi SPT PPh Orang Pribadi, Penerbit

Salemba Mahir Mengisi Empat, Jakarta, 2009.

10. Siti Resmi, Perpajakan: Teori dan Kasus,Buku I,Edisi 5, Penerbit

Salemba Empat, Jakarta, 2009

104

Page 109: Modul Perpajakan

105