sebuah kecelakaan sucigaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/sebuah-kecelaka… ·...

88
Sebuah Kecelakaan Suci dan cerita pendek lainnya Gunawan Tri Atmodjo

Upload: others

Post on 27-May-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Sebuah Kecelakaan

Suci dan cerita pendek lainnya Gunawan Tri Atmodjo

iii

Sebuah Kecelakaan

Suci dan cerita pendek lainnya Gunawan Tri Atmodjo

iv

Sebuah Kecelakaan Suci© Gunawan Tri Atmodjo

Tata letak dan desain sampul:M. Fauzi Sukri

Cetakan 1: 2013

Penerbit Jagat AbjadJalan Kalingga Utara I No. 5, RT 06 RW 4, Kadipiro, SoloTelp. 0816427693 dan 085647121744E-mail: [email protected]

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)Sebuah Kecelakaan SuciAtmodjo, Gunawan TriSolo: Penerbit Jagat Abjadviii + 88 halaman, 13 cm x 20 cmISBN 9789791032865

v

untuk istri dan anakku

vii

Daftar Isi

Kapulaga dan Para Pengudap Duka

Romantika Dunia Maya

Terserah

Sebuah Kecelakaan Suci

Kado Sepatu Bayi

Buku Harian Kinan

Paloma

Perihal Perempuan Bertas Ungu, Cinta, dan Kereta

Istri Pengarang

Puteri yang Menikahi Kecoak

1

9

17

25

32

40

48

56

62

70

1

Kapulaga dan Para Pengudap Duka

SEBELUMNYA tak ada yang menyangka bahwa di desa kecil itu akan terlahir sebuah keajaiban kuliner. Sebuah desa pesisir yang seperawan dongeng masa kanak. Sebuah desa ganjil yang begitu memuliakan masakan dan kematian.

Tersebutlah di desa itu seorang lelaki juru masak bernama Kapulaga. Kapulaga adalah juru masak yang ditempa alam. Racikan bumbu sederhananya akan membuat setiap lidah yang mengecapnya bergetar oleh sensasi kelezatan yang asing dan purba. Menu yang dibuatnya tak pernah seragam dan selalu membuka cita rasa baru bagi dunia kuliner, seakan dengan masakannya dia ingin berkata bahwa lidah manusia adalah dunia yang selalu mungkin untuk dijelajahi perubahan.

Menu-menu racikan Kapulaga selalu tidak lazim. Saat orang-orang bergidik karena serangan ulat bulu, Kapulaga justru menjadikan makhluk menjijikkan itu sebagai hidangan yang eksotik berupa pepes ulat bulu. Filosofi memasak Kapulaga sebenarnya sederhana yaitu menganggap tak ada yang sia-sia

2

dari alam selagi manusia tahu cara memanfaatkannya. Demikian halnya dengan bahan makanan. Suatu bahan makanan mungkin sekali sudah ditahbiskan beracun dan tidak enak dimakan tapi jika si juru masak mengerti takaran, kombinasi bahan, dan cara memasaknya, maka yang beracun dan tidak enak itu dapat menjadi menu yang sehat dan lezat. Demikian pula sebaliknya, sebuah bahan makanan yang sudah dikenal sehat dan lezat dapat menjadi petaka jika luput takaran, kombinasi bahan, dan cara memasaknya. Maka di tangan Kapulaga, tidak ada bahan makanan yang mubazir. Bahkan hama macam tikus dan wereng pun, dapat disulap menjadi masakan yang lezat macam balado tikus dan rawon wereng.

Dengan sendirinya, penduduk desa kecil itu memiliki selera kuliner yang tinggi. Lidah mereka jadi begitu peka terhadap rasa sebuah masakan. Jika saja diberi kesempatan, seorang warga biasa dari desa itu dapat saja menjadi juri rasa dalam kontes masak berskala besar. Ini semua berkat kehebatan masakan Kapulaga yang memanjakan lidah mereka dengan kemukjizatan rasa. Tapi kemampuan mereka hanya sebatas mengecap, meski Kapulaga telah membagi resepnya tapi mereka tetap saja tidak mampu menghasilkan makanan selezat olahan Kapulaga. Tetap saja terasa ada yang kurang dan hambar pada masakan mereka. Ternyata sejumput garam di tangan mereka dan sejumput garam di tangan Kapulaga berbeda rasa dalam masakan. Bahkan ketika secara gestur mereka tiru secara persis gerak masak Kapulaga, tetap saja ada yang tak tergenapi dalam masakan mereka. Hal inilah yang membuat mereka secara sadar meyakini bahwa Kapulaga adalah sosok mesiah di dunia memasak.

Kapulaga memang terlahir untuk memasak tapi dia tidak memasak untuk sembarang orang. Meski dengan iming-iming

Kapulaga dan Pengudap Duka

3

imbalan sangat besar, dia akan menolak untuk menjadi juru masak sebuah resepsi pernikahan. Dia telah berjanji pada dirinya sendiri hanya akan memasak untuk perkabungan kematian. Memasak baginya adalah derma bagi yang mati. Dengan memasak untuk perkabungan, maka orang-orang yang melayat untuk si jenazah akan membludak, karena daya pikat menu baru yang akan dihidangkannya. Kapulaga merasa bahagia dan berguna ketika melihat begitu banyak manusia mengantar berpulangnya seseorang ke pemakaman. Bahkan jika orang yang meninggal itu hanya sosok tak berpunya yang keberadaannya di dunia hanya dipandang sebelah mata. Maka bukan pemandangan aneh di desa itu apabila jumlah pelayat jauh lebih banyak dibanding tamu sebuah resepsi pernikahan. Kapulaga menyebut para pelayat itu sebagai para pengudap duka.

Tapi tak ada tempat aman di dunia ini untuk menyembunyikan keajaiban. Seperti para penjajah yang bergerilya ke penjuru dunia untuk mencari rempah-rempah, seorang reporter acara kuliner menemukan Kapulaga dan menampilkan sosoknya di layar kaca. Lalu datang pena dan lensa berita lainnya ke desa itu untuk kian mengepulkan harum kaldu manusia bernama Kapulaga. Nama Kapulaga pun menjelma menjadi bumbu unik di dunia yang sedang dimabuk tren kuliner. Tak lama berselang desa kecil itu telah ramai oleh berbagai mobil berplat nomor luar daerah. Berbagai utusan dari restoran-restoran berkelas di penjuru negeri mendatangi Kapulaga untuk menariknya menjadi koki di restoran mereka. Nama Kapulaga seakan adalah lambang kebanggaan bagi restoran yang berhasil merekrutnya meski mereka belum pernah mencicipi masakannya. Mereka rela berjudi demi persetujuan Kapulaga. Tentu saja gelimang uang mereka tawarkan untuk membujuk Kapulaga. Tetapi Kapulaga bergeming. Dia menolak

Kapulaga dan Pengudap Duka

4

setiap tawaran dengan halus dan bijak. Semua kartu nama yang ditinggalkan disimpannya baik-baik meski ia tak pernah berniat menghubunginya.

Tapi selalu saja ada rasa penasaran yang perlu dilunaskan. Para utusan dari restoran itu bisa saja datang dan pulang dengan tangan hampa tapi beberapa di antara mereka ada yang tak rela jika belum mencicipi kelezatan masakan Kapulaga yang sudah jadi buah bibir itu. Tapi keinginan mereka ini lagi-lagi harus terbentur kenyataan pahit bahwa Kapulaga tidak setiap saat memasak. Dia hanya memasak saat ada kematian dan sejauh ini belum ada orang yang meninggal meski mereka telah cukup lama menunggunya. Sehari-hari Kapulaga memang hanya makan hasil bumi dari kebunnya sendiri seperti ubi, ketela, dan buah-buahan yang dapat dimakan tanpa dibumbui. Dari sinilah sebenarnya Kapulaga bertahan hidup. Dia tak pernah meminta imbalan dari jasa masaknya, dia juga tak punya keluarga yang perlu dihidupi semenjak kedua orang tuanya meninggal. Dan hingga usianya yang kini hampir setengah abad, dia cukup bahagia dengan menjalaninya sebagai lajang.

Setiap kesabaran ada batasnya. Para utusan itu sudah bosan menelan makanan cepat saji yang mereka bawa dari kota dan sudah mabuk dengan imaji kelezatan masakan Kapulaga. Entah mendapat ide gila dari mana, beberapa di antara mereka berniat menempuh jalan pintas untuk mencicipi masakan Kapulaga. Mereka ingin membunuh seorang warga desa karena hanya dengan kematian inilah masakan Kapulaga dapat mereka rasakan.

Dan rencana jahat itu benar-benar mereka jalankan. Desa itu sunyi di malam hari dan kebetulan ada warga yang melintas sendirian. Mereka pukul bagian belakang kepala warga itu dengan

Kapulaga dan Pengudap Duka

5

balok kayu lalu menenggelamkan mayatnya di pantai. Jadilah itu seperti kecelakaan dan tidak ada yang curiga. Esok paginya mayat warga itu ditemukan dan perkabungan segera digelar. Kapulaga memasak sup bulu babi untuk para pengudap duka. Bagi orang awam tentu saja akan bergidik ngeri menghadapi menu ini. Jangankan dimakan, bulu babi yang banyak hidup di pantai itu saja jika tersentuh kulit bisa membuat manusia demam dan kejang. Tapi bulu babi dalam piring itu seakan sudah bermetamorfosis, dia menyentuh lidah dengan lembut dan sedap serta menghangatkan lambung. Sebuah kelezatan aneh yang bikin ketagihan.

Ketagihan inilah yang mendorong para utusan itu untuk menyusun skenario-skenario gila pembunuhan lainnya. Mereka tak pernah puas mencicipi masakan Kapulaga. Meski telah memperoleh resep serupa dari Kapulaga dan di antara mereka juga adalah koki pilihan, tapi tetap saja mereka gagal meracik masakan dengan kelezatan serupa. Saban kali gagal menciptakan masakan lezat mereka berharap mendapat menu lain yang lebih mudah diolah untuk dibawa pulang dan dijadikan menu andalan di restoran mereka. Tapi mereka senantiasa gagal meski telah lima pembunuhan mereka lakukan dan sebanyak itu pula mereka merasakan resep baru nan aneh dari Kapulaga.

Kejadian tak biasa terjadi pada upacara kematian berurutan keenam. Kapulaga mengumumkan bahwa dia tak akan lagi memasak untuk perkabungan kematian yang tidak jelas penyebabnya. Para pengudap duka mendengarnya bagai petir di musim kemarau. Tapi ucapan Kapulaga membuat mereka berpikir dan kecurigaan mulai tumbuh dalam diri mereka akan keanehan-keanehan kematian tersebut. Kapulaga sendiri tidak mau memberi penjelasan lebih lanjut. Dia memilih bergegas

Kapulaga dan Pengudap Duka

6

pulang dengan kesadaran penuh bahwa sebentar lagi dia juga akan berurusan dengan maut.

***

PARA utusan yang merasa gelagat buruknya tercium mulai khawatir dan mereka sepakat bahwa Kapulaga mengetahui perbuatan keji mereka, entah dengan cara apa. Barangkali lewat cara gaib seperti saat dia menciptakan resep-resep ajaib seperti yang mereka curigakan selama ini. Mereka berniat membersihkan jejak agar tak terlacak. Mereka sepakat menghabisi Kapulaga. Sifat serakah mereka kian mendorong niat pembunuhan ini. Jika mereka tak dapat lagi menikmati masakan Kapulaga, maka orang lain juga tak berhak menikmatinya. Dan hal ini hanya bisa terjadi jika Kapulaga mati.

Maka di malam sunyi, mereka mengendap-endap memasuki rumah Kapulaga. Mereka melihat Kapulaga sedang bermeditasi di sebuah bilik yang remang. Wajah Kapulaga tampak begitu damai tapi sama sekali tak terpantik belas kasih di hati mereka oleh aura menentramkan itu. Sebilah pisau khusus sayat mereka goreskan ke leher Kapulaga yang berada di ambang sadar. Cukup satu sayatan di urat leher yang vital dan segalanya usai. Setelah memastikan Kapulaga mati, mereka menggeledah penjuru dapur untuk mencari buku resep masakan Kapulaga. Tapi meski seantero rumah digeledah tapi benda yang mereka cari tak juga ketemu. Mereka akhirnya menyerah dan pergi meninggalkan desa itu seakan tak pernah merambahnya seumur hidup.

***

Kapulaga dan Pengudap Duka

7

Pernahkah kau mendengar cerita tentang orang yang begitu dekat dengan Sang Pencipta yang mampu mengetahui kapan ajal menjemputnya?

KAPULAGA menjemput ajalnya dengan seulas senyum tak pernah tanggal dari wajahnya meski sebenarnya dia bisa melawan dengan mudah. Ya, sebuah kematian yang sebenarnya telah dia tahu dan tunggu. Kematian yang dibawa oleh orang-orang dari seberang seperti yang telah diwangsitkan di mimpinya beberapa waktu lalu dan tak ada cara yang lebih baik untuk menjemputnya selain dengan meditasi pada Yang Mahasuci. Sebuah pilihan kematian yang bijaksana menyerupai cara berpulangnya para santa. Kapulaga paham bahwa kemampuan memasaknya sempurna dan dunia akan lebih baik jika tanpa kesempurnaan. Dalam ketidaksempurnaan, orang-orang akan terus berusaha dan tidak berhenti belajar. Mereka tidak akan melihat lagi puncak kelezatan masakan pada dirinya dan lebih bahagia dengan apa yang mereka masak. Tidak ada lagi pembanding yang membuat masakan mereka selalu terasa kurang lezat. Kapulaga meyakini bahwa kematiannya ini adalah sebuah derma bagi dunia memasak. Kapulaga juga percaya karma, bahwa para pembunuh itu akan menuai pembalasan yang lebih kejam, baik cepat ataupun lambat.

***

TAPI selalu saja ada yang gagal memaknai pengorbanan. Keesokan harinya desa itu dan seluruh pelosok negeri gempar dan berduka atas kematian Kapulaga. Upacara perkabungan terbesar digelar di desa itu untuk melepas jenazah Kapulaga. Seluruh tangis pecah di mata para pengudap duka yang juga

Kapulaga dan Pengudap Duka

8

berdatangan dari jauh. Tangis yang terasa menyayat karena kehilangan orang yang dicintai sekaligus padamnya harapan untuk mengecap keajaiban kuliner lagi.

Mereka tahu Kapulaga tidak pernah mencatat resep-resep ajaibnya dan mereka hanya sempat mencatat tiruan resep itu dalam ingatan yang teramat lamat. Resep-resep itu akan segera punah bersamaan dengan masuknya jasad Kapulaga ke liang lahat. Tak akan ada lagi kelezatan sempurna, yang ada hanya turunan rasa lezat. Kapulaga dan menu-menu anehnya hanya akan jadi legenda. Kelezatan tak pernah lama tinggal di ruang kenangan dan terlalu sulit dibayangkan, apalagi diceritakan. Inilah kali pertama mereka mengudap duka dengan airmata yang tak henti-henti mengalir dari mata ke pipi, menuju bibir lalu menyentuh lidah mereka. Sebuah asin yang lama-kelamaan menjelma getir.

Sebuah rasa kehilangan yang terkecap sama di lidah keluarga para pembunuh yang tak pernah lagi menjumpai orang-orang yang dicintainya kembali ke rumah. Sebuah racikan kesedihan yang sukar dicari padanan katanya.

*

Solo, 2011-2012

Kapulaga dan Pengudap Duka

9

Romantika Dunia Maya

‘Tulislah sesuatu seakan besok tanganmu patah’.

KALIMAT itu ditulis delapan jam yang lalu di facebook. Baiklah, aku akan menulis karena aku percaya anjuran itu ditulis oleh seorang nabi. Segera kumatikan komputerku. Kuputus untuk sementara waktu kehidupan berjejaringku. Tak hanya menulis, aku juga hendak melukis. Kuambil pisau berujung tajam dari dapur berikut sarung tangan karet. Lalu kuhampiri sosok perempuan yang terbaring di lantai kamarku. Kubuka bajunya lalu kutelungkupkan tubuhnya. Dan aku mulai menulis puisi tentang keindahan alam, satu-satunya puisi yang kuhafal, di punggungnya dengan menggunakan ujung pisau. Aku juga melukis ilustrasi matahari di situ. Darah segera mengalir di punggung langsat itu menutupi gurat tulisanku yang tidak rapi dan kurang jelas, tapi perempuan itu tak lagi menangis atau menjerit sakit. Karena dia telah menjadi mayat sejak dua jam yang lalu. Aku sendiri yang mencekik perempuan itu karena berkali-kali melawan saat hendak kusetubuhi.

10

Sebuah karya seni hebat akan tercipta sebentar lagi dan akan kukagumi sendiri setiap hari. Aku telah menghafal puisi itu sejak lama, sejak masih kanak-kanak. Puisi tentang kebun, bunga, kupu-kupu, dan kasih sayang seorang ibu. Tinggal dua kata lagi yakni ‘aku’ dan ‘bahagia’ maka puisi ini sempurna tersalin di kulit manusia.

Aku tinggal membikin bingkai persegi untuk puisi itu. Kutancapkan ujung pisauku di empat sudut punggung perempuan itu. Aku membikin titik lalu menghubungkannya dengan garis sehingga terbentuklah persegi. Ternyata sulit juga membikin garis lurus dengan ujung pisau di punggung manusia. Garis yang kubuat sedikit bergelombang dan bahkan terpatah tak sampai titik sehingga aku harus mengulangnya. Lagi-lagi beberapa rembesan darah mengganggu. Warna merah itu menutupi garis dan titik yang telah kubuat sebelumnya. Aku mengambil baju perempuan itu lalu menyekanya hingga warna hijau baju itu kian meredup karena rembesan darah.

Kuselesaikan bingkai puisi itu dengan penuh perasaan. Kini aku tinggal mengelupasnya dari tubuh perempuan itu. Aku memulainya dari satu sudut. Kubikin sayatan kecil lalu melebar ke sudut lain. Setelah dua sudut atas terkelupas sebagian, aku tinggal menariknya pelan-pelan ke bawah. Tapi ternyata hal ini juga tidak mudah karena kadang ada kulit yang melekat erat pada daging sehingga harus kupotong rekatan itu dengan sayatan-sayatan ringan dengan posisi pisau agak mengambang. Akhirnya dengan sepenuh kesabaran, kuselesaikan juga mahakarya seniku ini. Aku merasakan kepuasan luar biasa setelah menuntaskannya. Sebuah kepuasan yang tak terbeli. Semacam orgasme dalam berkesenian. Inikah yang dinamakan katarsis? Begitu menyenangkan dan bikin ketagihan.

Romantika Dunia Maya

11

Kukeringkan puisiku itu di tali jemuran dalam rumah. Kujepit kedua ujungnya. Ada darah yang masih menetes. Setelah kering aku akan mengawetkannya dengan bahan kimia. Aku menatapnya sejenak. Puisiku tetap sulit dibaca. Semua yang tertera seperti rajah yang lahir dari rahim pisau. Ternyata begitu susah menulis huruf yang melengkung, tapi tak apalah toh puisi itu hanya untuk kunikmati sendiri. Mungkin dengan banyak berlatih, tulisanku di punggung manusia akan semakin baik. Tidak masalah. Aku manusia yang senang belajar.

Kini aku tinggal beres-beres kamar. Kumutilasi tubuh perempuan itu menjadi tiga belas bagian, karena aku sangat menyukai angka tiga belas, lalu kumasukkan semua potongannya ke dalam tas plastik besar sejumlah itu. Dini hari besok aku akan berkeliling ke beberapa kota dengan mobil tuaku dan akan kusebar potongan-potongan tubuh itu. Kurasa cara ini masih aman. Karena potongan itu berukuran kecil dan anjing-anjing yang berkerumun di tempat sampah akan menyantapnya dengan rakus. Lidah mereka akan membersihkan kejahatanku. Hanya bagian kepala yang tidak pernah kubuang. Aku menanamnya di belakang rumah.

Beberapa kali kulihat kasus penemuan potongan mayat di televisi. Dan aku sering merasa bahwa akulah pelakunya tapi tangan polisi tak pernah sampai menyentuhku. Karena mereka akan selalu menerka bahwa pelakunya adalah orang terdekat korban setelah sebelumnya setengah mati menemukan identitas potongan mayat. Mereka akan memburu orang-orang yang tak bersalah dan berusaha mencari motif kejahatannya. Aku sering terpingkal jika melihat hal ini. Padahal mungkin sekali ini kejahatan tanpa motif seperti yang kulakukan. Aku tak mengenal korban-korbanku yang hampir semuanya gadis muda. Aku hanya

Romantika Dunia Maya

12

beberapa kali mengawasi mereka bahkan kadang hanya sekali bertemu lalu menculiknya. Hanya ada satu motif bagiku ketika melakukan ini semua yaitu kebahagiaan yang aneh dan begitu mencandu.

Setelah semua beres, aku kembali menyalakan komputerku. Apa lagi yang ditulis seseorang yang kuanggap nabi itu? Sungguh hanya dialah yang kuanggap teman dan bisa kupercaya, aku tak mengenal akrab manusia lain. Kehidupan nyataku tak menyenangkan, aku sebatang kara dan terasing, baik di lingkungan rumah atau kerja. Mereka menganggap aku pendiam dan aneh. Bahkan untuk menyapaku pun mereka enggan. Kubalas mereka dengan perlakuan serupa. Yang terpenting tugas-tugasku selesai dan mereka tak menaruh kecurigaan apapun terhadapku.

Dan di facebook inilah aku menemukannya. Mungkin selain nabi, dia juga seorang penyair. Tulisannya begitu indah dan membekas. Kemarin dia menulis tentang duka cinta dan keinginan bersetubuh dengan perempuan, maka kuwakili keinginannya dengan menculik gadis itu dan menyetubuhinya. Kemudian dia menulis status tentang ajakan menulis dan kuwujudkan tulisan itu dengan menulis puisi juga di punggung gadis itu. Entah apalagi yang akan dia tulis, tak peduli meski aku tidak mengenalnya dan merasa tidak perlu bertatap muka dengannya, sebisa mungkin akan kulakukan. Karena aku merasakan kebahagiaan yang tak pernah kudapatkan setelah melakukan sabdanya. Seperti nama akunnya, Sang Pencerah, dia memang selalu mencerahkanku.

***

‘Tulislah sesuatu seakan besok kau amnesia’.

Romantika Dunia Maya

13

AKU membaca tulisan di layar ponselku itu dengan tersenyum. Ingatanku lantas melayang pada percakapan romantis di facebook kemarin malam dengan penulis kalimat itu. Saat itu kami sedang membicarakan tentang kegemaran menulis di buku harian saat masih remaja. Aku menduga, mungkin hal itu yang melatarinya menulis status ini. Menulis untuk melawan lupa, itu yang terus diulangnya dalam percakapan itu. Tapi bukan itu saja yang membahagiakanku. Aku larut dalam sangkaan yang mengasyikkan bahwa selama ini dia terus memikirkan aku. Sebagaimana aku yang selalu memikirkannya. Bukankah apa yang ditulis seseorang merupakan cerminan isi hati dan pikirannya? Karena aku juga melakukan hal itu. Status yang kutulis di facebook hanyalah perulangan atau hal-hal yang mengasyikkan dan berkesan dalam obrolan kami. Terkadang yang kutulis adalah kata-katanya, ucapannya yang terus menggaung dalam diriku. Mungkin inilah romantika di dunia maya. Kita akan mengabaikan keberadaan orang lain dan hanya terfokus pada satu orang. Dinding orang itu adalah tujuan utama yang terasa lebih berharga daripada dinding kita sendiri. Kita akan jadi pengintai setianya, yang tak berkedip menguntit segala polah-tingkahnya di dunia maya.

Segalanya berawal dari iseng. Secara tidak sengaja, aku mendapati kawan perempuanku berkomentar di statusnya. Dan kubaca statusnya sangat bagus dan bermakna. Kupikir dia tentu orang yang sudah biasa berurusan dengan kata dan sudah kenyang menyantap buku. Kuperiksa data dirinya dan tidak kutemukan apa-apa selain keyakinan bahwa sosoknya adalah laki-laki dan mungkin usianya tak terpaut jauh dariku. Lama kupandangi foto profilnya yang berupa siluet merah. Karena tertarik, aku mengajukan pertemanan kepadanya dan dia mengonfirmasiku. Terhubunglah pertemanan kami. Dan suatu ketika, saat sama-

Romantika Dunia Maya

14

sama online, kami membuka sebuah obrolan perkenalan yang ternyata berlanjut pada hal-hal yang menarik. Beberapa kali mengobrol, kami seperti merasakan sebuah pertautan yang menyenangkan dan tak jarang kami berkencan untuk obrolan berikutnya. Tapi kami belum berpikir untuk bertukar nomor ponsel karena kami hanya sepakat membangun relasi di dunia maya. Mungkin jika suatu saat ada sesuatu yang sangat hebat lahir, kami akan memupus komitmen ini dan saling bertukar nomor ponsel, bahkan mungkin juga akan kopi darat.

Begitulah, kami tampak seperti sepasang kekasih di dunia maya. Hampir pasti kami dapat menebak latar belakang dari status yang ditulis masing-masing. Dan dia kini menulis tentang amnesia, aku langsung mengacu pada buku harian yang sempat kami obrolkan. Tampaknya aku memang harus menulis lagi buku harian seperti yang pernah kulakukan dulu dan dia sarankan tempo hari. Aku bergegas menuju toko buku meski saat itu hujan turun begitu lebat dan jalanan sunyi. Seperti nama akunnya, Sang Pecinta, dia membuatku merasakan cinta dan cinta akan membuat kita melakukan apapun.

Aku membeli buku harian bersampul biru, warna yang kami sukai. Setelah membayarnya, aku keluar toko tapi hujan semakin deras. Kuabaikan hujan itu, aku ingin segera sampai rumah dan menghidupkan komputerku. Jika beruntung aku dapat segera mengobrol online dengannya tapi jika tidak, akan kutinggalkan pesan di kotak masuknya bahwa aku benar-benar melaksanakan keinginannya. Aku akan menulis buku harian. Tapi baru beberapa langkah keluar toko, kurasakan ada sosok yang mendekatiku. Aku belum sempat menoleh ketika kurasakan ada pukulan yang sangat keras di tengkukku yang membuat mataku berkunang. Aku tak sempat berteriak karena sosok itu mendekap mulutku dengan

Romantika Dunia Maya

15

sapu tangan yang telah diberi obat bius. Sebelum sepenuhnya tak sadarkan diri, kurasakan sosok itu menyeret tubuhku dan memasukkanku ke mobil.

***

AKU senang menulis. Terkadang tulisan itu kukirim ke koran dan majalah. Saat sedang beruntung tulisanku itu dimuat. Aku juga menulis di facebook dan aku tidak sembarang menulis di sini. Aku punya saringan kualitas saat menulis status. Terkadang aku menulis puisi atau hal-hal yang terlintas cepat dan menurutku menarik, serta beberapa kalimat penting dalam buku yang sedang kubaca.

Suatu ketika akun facebook-ku bermasalah dan aku membuat akun baru. Tapi beberapa saat kemudian ternyata masalah tersebut bisa diatasi. Jadilah aku memiliki dua akun yaitu Sang Pencerah untuk akun lama dan Sang Pecinta untuk akun baru. Aku tak menggunakan identitas asliku di dua akun itu karena merasa riskan dengan keterbukaan di dunia maya. Toh beberapa temanku juga sudah tahu siapa sebenarnya pemilik akun itu. Kedua akun itu kugunakan secara aktif. Tapi akun yang baru hanya dihuni beberapa kawan dan sifatnya lebih pribadi. Akun ini kusembunyikan dari pengetahuan istriku.

Soal menulis status, aku berusaha adil kepada dua akun ini meski sebisa mungkin tidak menulisnya sama persis. Seperti saat kutulis ‘Tulislah sesuatu seakan besok tanganmu patah’ di akun Sang Pencerah maka aku juga menulis ‘Tulislah sesuatu seakan besok kau amnesia’ di akun Sang Pecinta meski jarak waktunya terkadang berselang cukup lama. Memang tulisannya agak berbeda tapi esensinya sama.

Romantika Dunia Maya

16

Tapi akan halnya poligami maya, aku menemukan suatu petualangan baru di akun Sang Pecinta. Aku menemukan romantika tak terduga bersama seorang perempuan yang entah berada di mana sebenarnya. Kami membuka obrolan yang selalu menyenangkan dan menautkan perasaan. Kami bicarakan hal-hal sederhana yang kadang begitu kekanakan macam menulis buku harian dan sebagainya. Kian hari kami makin dekat dan aku mulai merasakan rindu padanya. Mungkin juga demikian yang dirasakannya.

Kini kurasakan rindu ini mulai menyakitiku karena sudah berhari-hari dia tidak online dan pesan yang kutinggalkan tidak juga dijawabnya. Hampir setiap menit aku membuka facebook dan memantau aktivitasnya tapi tidak juga ada perubahan. Jika begini terus aku bisa makin akut dirajam rindu. Aku bisa tersiksa oleh cinta yang tumbuh tak terkira. Maka kuniatkan sepenuh hati, jika sedang online dan kami mengobrol nanti, aku akan memberanikan diri meminta nomor ponselnya.

*

Solo, Maret 2012

Romantika Dunia Maya

17

Terserah

TERSERAH. Kata itu singkat dan sebenarnya bermakna menyenangkan karena memberi hak kepada lawan bicara untuk melakukan atau menentukan sesuatu. Dulu ketika masa pacaran aku tidak begitu mempermasalahkan kata yang kerap keluar dari bibir pacarku itu. Tapi kini setelah pacarku itu resmi menjadi istriku selama tiga tahun, kata itu mulai terasa menjengkelkan. Bahkan terkadang, pada kondisi tertentu, kata ‘terserah’ itu bisa membuatku marah.

Istriku memang sedikit aneh. Dia seperti tidak punya keinginan dan menyampirkan seluruh hidupnya di pundakku. Aku benar-benar seperti sopir dan dia adalah penumpang yang sangat pasrah dengan tiket sakti berbunyi ‘terserah’. Bayangkan saja dirinya saat mengucapkan kata ini. Mimik wajahnya akan berubah sayu, tatap matanya teduh, dan suaranya menyerupai buluh perindu. Kata ‘terserah’ itu akan diucapkannya dengan nada rendah, intonasi mengalah, dan agak mendesah. Jika kondisi mentalku sedang stabil aku akan mendengarnya sebagai suami yang tabah. Tapi jika sedang dalam kondisi lelah, pikiranku jadi tambah lungkrah oleh kata ini.

18

Kata ‘terserah’ paling sering keluar saat menentukan menu makan malam. Kami akan berboncengan naik motor menikmati suasana malam. Pasti aku akan bertanya padanya, “Ingin makan apa Dik?” dan dari belakangku dia akan berbisik “Terserah.” Lantas aku akan mengerucutkan pilihan lagi ke opsi paling sederhana, “Bakso atau nasi goreng?” Dan dengan nada yang sama, dia akan menjawab, “Terserah Mas saja.” Jawabannya memang lebih panjang tapi maknanya sama. Kadang bila agak kesal aku mendebat dan setengah memaksanya untuk menentukan pilihan. Tapi tindakanku ini bisa berimbas pertengkaran kecil dan mungkin berbuntut pada urusan ranjang yang tentu akan merugikan diriku sendiri. Jika sudah begitu lebih baik aku diam dan menentukan pilihan menu makan malam kami. Aku akan menghentikan motor di warung mi ayam. Sebuah pembalasan yang setimpal untuk kata ‘terserah’nya. Dan dia akan merajuk tiada henti sampai pulang nanti.

Kata ‘terserah’ ini kembali menjadi mantra andalannya ketika sampai di rumah. Saat berurusan di ranjang, sebelum bersebadan, aku punya ritual bertanya sesuatu padanya, “Ingin anak laki-laki atau perempuan Dik?” Tentu sudah dapat ditebak. Dia akan menjawab, “Terserah Mas.” Kali ini dengan mata lebih redup dan desah lebih basah. Dan lagi-lagi aku yang harus menjadi nahkoda di ranjang kami. Meski belum dikaruniai anak, kami sangat menikmati hubungan ranjang. Kami mempraktikkan apa yang pernah kami baca dalam sebuah buku tentang posisi senggama yang mungkin akan berpengaruh pada jenis kelamin bayi. Di saat-saat seperti itu, aku sering membayangkan diri sebagai instruktur senam privat dan istriku adalah pengikut yang taat.

Begitulah, banyak sekali keputusan yang harus kuambil

Terserah

19

yang sebenarnya di luar kemampuanku sebagai suami atau laki-laki. Bayangkan suatu ketika aku harus memilihkan baju untuk istriku itu beserta pakaian dalamnya. Istriku beralasan itu semua demi kebaikanku sendiri. Dia tidak berani memilih karena takut aku tidak menyukainya. Bila membeli baju pesta dia takut bila nanti tidak serasi denganku dan aku akan malu menggandeng tangannya. Padahal aku tak pernah peduli dengan hal itu. Alasan yang hampir serupa juga disampaikan saat membeli pakaian dalam. Dia takut salah pilih dan aku jadi kehilangan selera saat di ranjang. Padahal aku sering tak peduli dengan pakaian dalamnya, yang menjadi daya tarik bagiku adalah sesuatu yang ada di balik pakaian dalam itu. Dan betapa malunya aku jika harus masuk ke konter pakaian dalam wanita untuk menemaninya memilih.

Hal ini juga berlaku dalam pembelian kosmetik mulai dari warna lipstik, bedak, maskara, pensil alis, dan sebagainya. Aku benar-benar seperti pelukis yang menentukan rupa dan rona wajahnya. Jika hal-hal yang berurusan dengan kewanitaan saja aku yang memilihkan, sudah barang tentu hal-hal yang lebih umum macam warna cat rumah, furnitur, merk elektronik, dan sebagainya menjadi kuasaku.

Intinya, akulah yang menentukan hidupnya, dan walau kadang jengkel aku menerimanya karena aku mencintainya. Pernah suatu ketika aku bertanya padanya apakah aku seorang suami otoriter dan diktator rumah tangga. Tapi dia hanya menggeleng dan tersenyum lalu berkata bahwa aku adalah suami idamannya,yang bekerja keras untuk menafkahinya yang sehari-hari hanya jadi istri rumah tangga. Kurasakan senyumnya saat itu manis sekali. Dia benar-benar istri yang sumarah. Aku ingat dia dibesarkan dengan tradisi Jawa yang kental. Bapaknya yang berarti juga mertuaku masih setia menjadi abdi dalem keraton dengan penghasilan

Terserah

20

sangat minim tapi kaya dengan ketenangan batin, sedang ibunya adalah penjual bunga di pasar tradisional. Dia sendiri hanya tamat SMA. Dulu aku secara tidak sengaja mengenalnya saat mencari jajanan pasar untuk mengobati rasa rindu pada masa kanakku dan berlanjutlah perkenalan itu hingga dia menjadi istriku.

Kadang aku berandai-andai jika ada kompetisi untuk istri penurut tentu akan kudaftarkan istriku ini. Dia sangat berpeluang menjadi juara atau minimal menang di kategori istri penurut dengan penampilan paling kalem. Angan-angan ini muncul karena aku sering mendengar teman-temanku menceritakan perangai istrinya yang banyak permintaan dan susah diatur. Istri-istri mereka adalah orang-orang kota modern dengan kewajiban tampil keren dan nafsu bersaing yang tinggi. Dan suami merekalah yang sebenarnya secara materi dan perasaan menjadi korban dari ambisi mereka. Bayangkan saja, hanya dari segi ponsel, istri-istri mereka selalu berburu ponsel terbaru. Mereka rela mengeluarkan uang berjuta-juta hanya untuk ponsel yang beberapa minggu kemudian akan ketinggalan jaman lagi dan jatuh harganya. Karena, bagi mereka, tidak mengikuti tren adalah aib. Bayangkan dengan istriku yang sudah bahagia hanya dengan ponsel lawas berlayar monokrom yang hanya bisa untuk telepon dan SMS tanpa terhubung internet.

Telah kuhabiskan lima tahun dari hidupku untuk menikahi perempuan penurut itu. Kata ‘terserah’ telah menjadi makanan sehari-hari bagiku. Dan sebenarnya baru kusadari kini bahwa kehidupanku di masa itu sungguhlah bahagia. Tapi manusia juga dikaruniai kejenuhan dan cenderung ingin merasakan sesuatu yang baru. Inilah cobaan hidup yang gagal aku hadapi.

Di kantor aku mendapat promosi menjadi kepala bagian. Salah satu bawahanku bernama Kandi. Dia perempuan yang

Terserah

21

mandiri, sigap, dan tegas. Dia seorang perempuan berkarakter dan memegang teguh prinsip hidupnya. Kandi berusia tigapuluhan. Aku menebak mungkin latar kehidupannya yang keras yang menjadikannya masih melajang. Terus terang saja, aku agak kesulitan menjinakkannya dalam kerja tim. Dia sering berselisih dengan bawahanku lainnya. Jangankan mereka, denganku sebagai atasan pun kadang dia tidak menurut. Bahkan suatu ketika dia pernah membentakku sebagai protes karena merasa beban kerjanya terlalu berat. Tentu saja aku tersinggung tapi sama sekali tak berniat memberhentikannya karena itu berarti akan mematikan separuh kehidupannya. Justru aku menganggap dia adalah tantangan bagi kepemimpinanku yang baru seumur jagung. Aku harus menempuh pendekatan yang berbeda untuk menjinakkannya.

Cara yang kupilih adalah kelembutan dan sedikit perhatian lebih. Aku berusaha berbicara halus saat memberinya instruksi, menyapa lebih dulu saat bertemu, dan sesekali mengajaknya makan siang di kantin kantor. Lama-kelamaan sikap Kandi mulai berubah, dia menjadi lebih ramah padaku dan hubungannya dengan rekan kerja sedikit menghangat. Aku sendiri secara personal merasa kian dekat dengannya. Dia sedikit lebih menonjol dibanding rekan-rekannya dalam hal bersikap maka kupercaya dia jadi tangan kananku. Kepercayaanku pada Kandi berbuah manis. Dia seperti menjadi motor bagi tim yang membuat kami selalu dapat mencapai target.

Cinta bermula karena terbiasa. Tak bisa kupungkiri hubunganku dengan Kandi menjadi makin intim. Kurasakan sesuatu yang sangat kontras antara istriku dan Kandi. Istriku sangat penurut sedangkan Kandi tegas dan penuh inisiatif. Dia tidak sungkan menentukan menu makan bahkan memilihkanku

Terserah

22

saat makan bersama. Dia berani mengajakku jalan bersama sepulang kerja meski tahu aku sudah beristri. Aku menyukai ketegasan dan keberaniannya ini tapi aku tak tahu apa yang disuka Kandi dari diriku.

Hubungan kami terus berlanjut dan makin berbahaya. Aku sering pulang terlambat dengan alasan lembur atau masuk di hari libur semata agar bisa bersama dengan Kandi, menikmati keliaran Kandi yang terkadang juga berperasaan. Kandi kadang menanyakan istriku dan aku selalu menjawab istriku baik-baik saja di rumah.

Sejauh ini istriku memang masih setia dengan kata ‘terserah’. Dia tak pernah marah kepadaku meski kian sedikit meluangkan waktu untuknya. Dia teramat tabah dan kadang menjadikanku merasa bersalah. Tapi dosa ini terlalu indah bagi imanku yang lemah. Aku tak bisa membayangkan bagaimana semua ini akan berakhir.

Serapat-rapatnya menyembunyikan bangkai, pada akhirnya akan tercium juga kebusukannya. Kedekatan hubungan kami sudah tercium di kantor. Dan pihak yang iri dengan keberhasilanku dan timku menempuh cara kotor. Mereka mengirimiku surat kaleng memintaku menggagalkan target bulan ini, jika tidak maka perselingkuhanku akan dibocorkan pada istriku. Mereka mengaku memiliki foto-foto mesraku dengan Kandi dan siap mengirimnya pada istriku. Tapi kutertawakan saja ancaman surat kaleng itu karena yakin istriku akan bergeming. Istriku hanya percaya padaku. Aku tak peduli apakah orang itu benar mewujudkan ancamannya atau hanya gertak sambal saja, yang pasti sukses tim harus berlanjut.

Dan sejauh ini tak ada perubahan berarti dalam sikap istriku. Aku merasa dia tetap seperti dulu. Aku tetaplah pilot di kabin

Terserah

23

rumah tangga yang kian makmur dan sejahtera ini. Dan anugerah yang telah lama kami tunggu itu hadir juga, istriku hamil.

Tapi kehamilan ini tak juga menghentikan perselingkuhanku. Kami kian menggila. Tapi memang ada saat di mana semua harus berhenti atau terlambat sama sekali. Banyak sekali jejak perselingkuhan dan mungkin sekali aku terlewat menghapusnya. Aku sudah dua tahun menjalin cinta terlarang dengan Kandi dan belum juga ada tanda-tanda harus diakhiri sebelum peristiwa menyesakkan itu terjadi.

Ponselku tertinggal di rumah karena terburu-buru berangkat kantor. Kandi meneleponku dan istriku mengangkatnya. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi ketika aku kembali untuk mengambilnya, istriku sudah berada di kamar dengan mata sembap. Ada beberapa fotoku bersama Kandi terserak di meja. Itu foto yang diambil secara sembunyi-sembunyi. Rupanya pengirim surat kaleng itu mewujudkan ancamannya. Tentu selain berbicara langsung dengan Kandi, istriku pastilah juga membaca rekaman pesan singkatku dengan Kandi yang selalu mesra. Wajahku mendadak pucat pasi dan jantungku berdetak kencang seperti ingin keluar dari dadaku.

Kami diam bertatapan. Lama sekali. Dia menangis tanpa suara tapi air matanya terus meleleh, tangannya terus mengelus janin kami yang sudah berusia tujuh bulan. Keheningan ini sangat menyiksaku.

“Lalu bagaimana?” tanyaku memecah sunyi. Baru kali ini aku benar-benar berharap dia akan menjawab dengan kata “terserah” dan aku akan meminta maaf padanya, melupakan Kandi, dan memperbaiki hidup kami yang telah kurusak.

“Kita bercerai.” ucapnya pendek dan tegas. Kalimat itu diucapkannya dengan keyakinan terpenuh sepanjang

Terserah

24

pendengaranku atas suaranya. Inilah kali pertama selama mengenalnya dia menjawab pertanyaanku tidak dengan kata ‘terserah’. Sebuah jawaban teryakin yang tak pernah ingin kudengar seumur hidupku.

*Solo, April 2012

Terserah

25

Sebuah Kecelakaan Suci

LAGI-LAGI Maun mendesah kecewa. Dia teringat persembahannya yang tidak diterima. Sayuran segar dari kebunnya hanya membusuk di atas batu besar di gunung itu. Padahal demi persembahan itu dia rela tidak mendapat nafkah selama tiga hari karena sayuran segar yang mestinya dijual ke pasar harus dipersembahkannya kepada Penguasa Gunung.

Di tempat lain, Salim gembira luar biasa. Persembahannya yang berupa daging kambing diterima oleh Penguasa Gunung. Batu besar telah kosong dan daging kambing itu habis tanpa sisa. Kekosongan yang terasa suci dan berpahala, seakan menghina tumpukan sayur Maun yang telah layu di atas batu besar di sampingnya.

Begitulah, sejak terserang wabah misterius desa di kaki gunung itu menjadi lebih religius. Mereka percaya bahwa penjaga keselamatan dan kesejahteraan desa yang berasal dari alam gaib sedang murka dan menegur kelalaian mereka. Banyak ternak yang tiba-tiba mati tanpa penyebab pasti. Panen yang sudah di depan mata tiba-tiba puso karena serangan wereng. Ini semua adalah bencana tak tertangani. Mereka tak bisa berbuat banyak. Semua

26

ini berada di luar jangkauan nalar mereka yang sederhana lalu hal mistislah yang akhirnya mereka anggap sebagai penyebabnya.

Maka rembug desa pun digelar untuk mengatasi bencana ini. Kepala desa dan para tetua desa memimpin salah satu rapat terbesar dalam sejarah desa itu. Semua warga hanya manggut-manggut setuju saat Mbah Rekso, tetua tersepuh di desa itu memfatwakan agar warga desa rutin mengirim persembahan pada Penunggu Gunung yang menjaga desa tersebut. Dan mulailah ritual itu digelar. Setiap empat puluh hari sekali warga desa secara bergiliran memberikan persembahan kepada Penunggu Gunung berupa sayuran dan daging segar sebagai upaya penolak bala.

Tempat persembahan itu berada di sisi yang sulit dijangkau dari gunung itu. Di sana terdapat gua yang dalam dan tak seorang pun pernah memasukinya. Gua itu dikenal angker dan wingit. Ada dua batu besar berjajar yang tertata secara alamiah sekitar lima puluh meter dari mulut gua. Dua batu besar itu landai, agak pipih, dan tidak terlalu tinggi sehingga dapat digunakan untuk meletakkan sesuatu. Bentuk fisik dan posisi kedua batu inilah yang mungkin dipercaya Mbah Reso, orang yang pertama kali menemukannya, memiliki aura kesakralan layaknya sebuah tempat persembahan beserta altar sucinya.

Dan memang persembahan itu dirasakan membawa tuah. Sejak digelar pertama kali dengan Maun dan Salim sebagai pemersembah, desa itu seakan terhindar kembali dari musibah. Hewan ternak tidak ada lagi yang mati mendadak dan mencurigakan, justru sehat dan terasa tumbuh lebih cepat. Rerumputan dan pakan ternak lainnya tumbuh subur. Tanaman sayur dan buah juga demikian. Segala biji yang ditanam di bumi desa itu tumbuh dan bersemi, memberikan hasil yang menyenangkan hati. Bencana seakan raib dengan gaib.

Sebuah Kecelakaan Suci

27

Tapi sejauh ini keanehan selalu terjadi pada ritual persembahan. Dari tiga kali ritual, Penunggu Gunung hanya mengambil daging segar saja sedangkan sayuran segar yang ditinggalkan setelah diperiksa pada persembahan berikutnya hanya teronggok layu. Dan mulai lahirlah kasak-kusuk di antara warga desa mengenai keikhlasan berkorban. Kemudian berhembuslah buah bibir serupa dogma bahwa di desa itu seorang peternak kemungkinan lebih jujur dan mulia hatinya dibanding petani kebun.

***

INI adalah ritual persembahan yang ketujuh. Berdasarkan meditasi Mbah Reso, giliran Seto dan Tanu yang harus memberikan persembahan. Seto harus memberi persembahan daging sedangkan Tanu mempersembahkan sayuran.

Tanu pulang dengan beban berat terpanggul di pundaknya. Sejak ritual persembahan digelar, sayuran selalu utuh tak tersentuh. Penunggu Gunung seakan enggan menjamahnya. Sangkaan kekurangikhlasan kadung melekat pada pemersembah sayuran. Beban itu kini beralih padanya. Tapi Tanu bertekad memutus rantai itu. Dia akan mempersembahkan sayuran terbaik dari kebunnya karena dia juga ingin menjaga namanya yang telah harum sebagai penjual sayuran terbaik di pasar desa. Tanu juga menambah ritual keikhlasan itu dengan menjalankan laku puasa beberapa hari sebelum persembahan untuk membersihkan hatinya dari segala pamrih.

Sedang Seto keluar pendapa balai desa dengan perasaan datar. Seto adalah warga desa yang cukup berada. Dia memiliki ternak cukup banyak dan sebenarnya juga memiliki kebun yang luas dan subur. Seto taat pada peraturan desa tapi tidak begitu percaya pada

Sebuah Kecelakaan Suci

28

hal yang gaib dan menganggapnya sebatas takhayul. Setibanya di rumah, Seto segera melihat kambingnya yang gemuk-gemuk dan sehat. Tapi ada satu kambing yang kelihatan sakit dan tampaknya umurnya tak akan panjang. Otak pedagang Seto segera mengembuskan bisikan jahat, membujuknya menjadikan kambing itu sebagai persembahan. Dan Seto mewujudkan bujukan itu. Seto berpikir toh juga hampir tak ada beda antara daging kambing sekarat dan sehat setelah disembelih.

Saat ritual persembahan tiba. Tepat tengah malam dengan diiringi para sesepuh desa, Tanu dan Seto membawa persembahan mereka pada Penunggu Gunung. Setelah menempuh perjalanan yang sulit akhirnya mereka sampai. Lagi-lagi tampak sayuran layu yang masih utuh di batu persembahan sedangkan batu persembahan di sebelahnya tampak kosong. Mereka segera membersihkan kedua batu persembahan itu. Aneka ritus gaib segera digelar sesepuh desa. Tanu begitu khusyuk mengikuti ritual itu hingga air matanya menetes saat meletakkan sayuran terbaik dari kebunnya di batu persembahan. Sedangkan wajah Seto tegang karena terselip juga perasaan was-was di hatinya atas kambing sekarat yang dikorbankannya. Aura mistis di tempat itulah yang menggentarkan hati Seto. Tangannya gemetar saat meletakkan daging kambing ke batu persembahan. Mereka meninggalkan tempat wingit itu dengan langkah seorang pendoa yang telah menunaikan ibadahnya. Mereka akan mendatangi tempat itu lagi empat puluh hari kemudian.

Dan empat puluh hari kemudian ketika mereka mendatangi tempat yang sama untuk melakukan hal serupa, panorama tak berbeda mereka temui. Batu persembahan daging bersih sedangkan sayuran layu seperti tumpukan doa yang sia-sia di atas batu.

Sebuah Kecelakaan Suci

29

Seperti biasa berita ini segera menyebar. Keikhlasan berkorban kian menjadi isu yang santer dibicarakan. Keikhlasan seakan telah jadi perhiasan yang bisa menambah kehormatan seseorang. Tanu sedih bukan kepalang. Dia mengurung diri berhari-hari di rumah, dan mempertanyakan keikhlasannya sendiri. Dia jadi jarang berjualan sayur di pasar desa dan orang-orang sering melihatnya berbicara sendiri. Sedangkan Seto semakin terpandang dan terpercaya. Orang-orang yang ingin membeli ternak pilih berduyun mendatanginya. Pundi-pundi kekayaannya kian menumpuk. Di mata warga desa Seto adalah jaminan kejujuran dan keikhlasan.

***

JATUH cinta dapat membuat seseorang gila dan nekat melakukan apa saja demi mendapatkan hati orang yang dicintai. Hal inilah yang sedang dialami oleh Suman, anak Tanu. Jika Tanu hampir gila karena persembahannya ditolak maka Suman hampir gila karena mencintai Farida, anak Seto. Mereka berteman sejak kanak, tumbuh dewasa bersama, tapi perasaan yang berkembang di antara mereka berlainan. Suman mencintai Farida layaknya seorang kekasih sedangkan Farida hanya menganggap Suman sebagai teman. Aneka cara dan pendekatan telah dilakukan Suman namun tetap miskin hasil. Farida tidak menghendaki hubungan yang lebih jauh.

Hingga suatu ketika, Suman mendapat bisikan dalam mimpinya. Dia harus bertapa di tempat paling keramat agar mendapat kesaktian untuk meluluhkan hati Farida. Dia terjaga dengan ingatan penuh akan mimpinya dan memercayainya. Mungkin itulah jalan satu-satunya untuk menaklukkan hati Farida

Sebuah Kecelakaan Suci

30

setelah segala upaya kandas. Dan tak ada tempat yang lebih keramat di desa ini selain tempat

persembahan di gunung itu. Semula dia gentar melakukannya tapi wajah Farida kembali membayang dan tumbuhlah nyalinya. Suman memutuskan bertapa di sana. Dia akan menuju tempat itu bersamaan dengan ritual persembahan yang akan dilakukan oleh penduduk desa.

Rencana itu dilaksanakannya. Suman mengendap-endap di belakang rombongan itu. Dia menunggu sejenak dengan bersembunyi di semak-semak. Begitu mereka mereka beranjak dan sepi sempurna, Suman langsung mengambil tempat bertapa di antara dua batu persembahan itu. Suman bertelanjang dada lalu duduk bersila, berusaha setengah mati berkonsentrasi dan mengosongkan pikiran.

Malam begitu sunyi. Angin dingin menusuk pori-porinya. Rupanya dia kesulitan berkonsentrasi, bayangan Farida senantiasa menghantui, juga bayangan bapaknya yang hampir gila gara-gara persembahannya ditolak di tempat ini. Di tengah usahanya, tiba-tiba dia mendengarkan langkah kaki. Suara rumput yang terinjak tersadap telinganya. Suman merinding. Langkah itu mendekatinya. Dia membayangkan hantu atau Penguasa Gunung itu. Suman bergidik tapi ternyata langkah itu menuju batu persembahan tempat daging segar diletakkan. Lalu dalam keadaan masih memejamkan mata, Suman mendengar suara makan yang sangat gaduh kemudian telinganya dikejutkan oleh auman yang menggelegar.

Suman beranikan diri membuka mata. Dan alangkah terkejutnya dia, di bawah temaram cahaya bulan dia melihat sosok seekor harimau besar sedang menyantap daging persembahan. Harimau itu menatapnya tajam dengan bola mata berkilat. Mata

Sebuah Kecelakaan Suci

31

mereka beradu. Suman menggigil ketakutan dan terjengkang ke belakang, lalu bergerak mundur hingga punggungnya membentur batu besar tempat diletakkan persembahan sayuran.

Harimau itu mendekati Suman. Suman kian ketakutan hingga terkencing di celana. Entah kenapa terlintas doa pendek di benak Suman saat itu. Suman ingin sekali dapat berubah wujud menjadi sayuran seperti yang tertata di batu belakangnya karena dia masih sempat berpikir sehat bahwa seekor harimau tak akan doyan makan sayuran. Tapi sebelum doa itu terapal, Suman keburu pingsan.

*

Solo, Maret 2012

*Terinspirasi kisah Habil dan Qabil, anak Nabi Adam as.

Sebuah Kecelakaan Suci

32

Kado Sepatu Bayi

ANAK pertama kami lahir dengan sehat dan lengkap. Jenis kelaminnya laki-laki tapi parasnya lebih mirip ibunya. Kami merayakan kelahirannya dengan sederhana. Banyak saudara dan kerabat ikut bersuka ria karena kami cukup lama menanti kehadiran buah hati kami ini. Kami menantinya hampir empat tahun semenjak menikah. Kami menerima banyak kado dari mereka. Kebanyakan berupa perlengkapan bayi. Tapi ada satu kado yang menarik perhatianku yaitu sepatu bayi berwarna merah jambu dengan ornamen peri, kupu-kupu, dan bunga matahari.

Aku bukan tipikal manusia yang fanatik pada warna tertentu tapi kurasa sepatu merah jambu itu jelas lebih cocok untuk anak perempuan berusia kisaran satu tahun. Dan anak kami adalah laki-laki, kurasa ini adalah kado yang tidak cocok sama sekali. Kuperiksa ulang kartu ucapan yang menyertai kado itu dan kudapati pengirimnya adalah Diah, teman sekantor istriku. Sepatu itu terhimpun sebagai kado bersama satu set perlengkapan makan bayi dan satu setel pakaian bayi bermotif lebah beserta topinya yang kelihatan lucu sekali.

33

Kuselesaikan membuka semua kado yang kami terima. Istriku yang menyerahkan tugas menyenangkan ini padaku karena dia tahu aku suka sekali membuka kado. Dulu sehabis menikah, kami sangat menikmati prosesi membuka kado pernikahan bersama tapi kini istriku harus disibukkan dengan urusan merawat bayi jadi aku melakukannya sendiri. Bahkan untuk meringankan kerjanya, istriku meminta ibunya yang jauh lebih berpengalaman untuk datang membantu. Selama beberapa bulan ke depan ibu mertuaku akan hidup bersama kami di rumah mungil ini.

Aneh sekali, pertanyaan mengenai kado sepatu bayi itu selalu berkecamuk di benakku. Aku sibuk menebak, apa maksud Diah mengirimkannya pada kami sementara dia tahu pasti bahwa anak kami laki-laki. Sempat timbul prasangka buruk dalam diriku jangan-jangan kado ini adalah simbol harapan Diah agar kelak anak kami tumbuh sebagai laki-laki kemayu, tapi sejauh yang kutahu, istriku tak pernah bermusuhan dengan Diah.

Di waktu senggang coba kuutarakan pertanyaanku ini pada istriku. Tapi seperti yang kuduga istriku hanya menjawab, “Ah ini paling kado sisa tak terpakai dari anak Diah dulu dan dia mengadokannya kembali untuk anak kita. Lagian ini juga cuma kado tambahan. Pakaian lebah dan peralatan makan itulah kado utamanya.”

Aku tahu istriku tidak antusias membahas hal ini dan sangat disibukkan oleh bayi kami. Tapi dalam hati aku masih menyangkal pernyataan istriku itu karena aku tahu pasti bahwa anak pertama dan satu-satunya Diah juga laki-laki. Mungkinkah Diah hanya meneruskan kekeliruan dari pengadonya dulu?

Aku sempat melupakan sepatu bayi ini. Tapi ternyata kado itu terus hidup di alam bawah sadarku. Dan saat bertemu dengan Diah di sebuah acara resepsi, pertanyaan mengenai sepatu bayi

Kado Sepatu Bayi

34

ini seperti menggedor-gedor bibirku untuk kembali menemukan jawabnya. Sebenarnya aku tak begitu akrab dengan Diah dan menanyakan sebuah kado kepada orang yang bersangkutan sungguh adalah tindakan konyol dan tidak sopan. Tapi aku tak punya pilihan lain. Daripada pertanyaan kecil ini terus menerorku dan membuat hidupku berkurang tenangnya lebih baik kutempuh cara agak memalukan ini.

Diah adalah tipikal perempuan supel dan ramah. Meski hampir tak pernah kenal namun hanya dalam waktu tiga menit, keakraban yang terjalin sudah seperti kawan lama yang sedang berbincang. Diah hanya tersenyum ketika aku menanyakan perihal kado itu. Dan jawabannya hampir serupa dengan tebakan istriku. Dia hanya iseng menyertakan sepatu bayi itu dalam kado. Tentu hal ini tidak memuaskanku karena kupikir ada sejarah motivasi yang lebih menarik di balik kado itu. Dan terus terang aku kecewa dengan keisengan sebagai jawaban ganjalan pertanyaanku selama ini. Sebagai basa-basi pelengkap aku bertanya ringan, “Di mana kaubeli sepatu bayi itu, desainnya lucu, mungkin aku bisa merekomendasikan pada temanku?”

Tapi jawaban Diah seperti meneteskan bensin pada api ketertarikanku yang hampir padam. Katanya, dia tidak membeli kado itu tapi seorang penjaga toko perlengkapan bayi di sebuah supermarket yang memberinya secara cuma-cuma. Ceritanya, dulu saat sedang hamil lima bulan, Diah dan suaminya membeli perlengkapan bayi di toko itu. Selama memilih barang dia mengobrol dengan salah satu pegawai perempuan toko itu. Usia pegawai itu beberapa tahun di atas Diah. Saat itu karena hal teknis, Diah belum mengetahui jenis kelamin bayi dalam rahimnya. Ternyata selain ramah, pegawai itu juga baik hati. Setelah menyelesaikan transaksi di kasir, pegawai itu mendekati

Kado Sepatu Bayi

35

Diah dan memberinya bonus sepatu bayi itu sembari berdoa agar kelak bayi Diah lahir dengan selamat. Dan begitulah cerita selanjutnya, ternyata bayi Diah laki-laki dan kado itu disertakan sebagai humor dalam kado anakku. Aku puas dengan penjelasan Diah ini, setidaknya ada penjelasan lebih lanjut mengenai ketertarikanku selama ini. Sebagai penutup kutanyakan nama pegawai itu, dan karena kebaikan hatinya, Diah mengingat pegawai itu bernama Ella.

Ketertarikanku pada latar belakang sepatu bayi itu sempat kembali surut beberapa saat meski sepatu itu kuletakkan di samping tempat tidurku. Tapi aku seperti ditakdirkan untuk kembali menguak misteri di balik sepatu bayi itu. Aku menyadarinya saat bayi kami telah berusia enam bulan dan kami harus membeli beberapa perlengkapan bayi tambahan. Istriku menginginkan kami membelinya bertiga sekalian jalan-jalan dan toko yang kami tuju adalah toko yang disarankan Diah beberapa saat lalu.

Inilah kali pertama aku mendorong kereta bayi di supermarket. Ada keanehan yang membahagiakan mengalir dalam diriku. Aku merasa benar-benar lengkap sebagai ayah karena dulu kami sering menghibur diri di tempat ini seraya berangan-angan akan mengajak anak-anak kami mengunjungi tempat ini. Kini angan-angan itu terwujud.

Setelah berputar-putar sejenak, kami pun menuju ke toko perlengkapan bayi itu. Aku bertugas mendorong kereta bayi sedangkan istriku bergerilya mencari perlengkapan yang kami butuhkan. Dalam kereta, anak kami tertidur pulas. Pengaturan cahaya yang tepat di ruangan itu menjadikan wajahnya kian lucu dan menggemaskan. Aku terpesona memandanginya hingga tanpa kusadari telah berdiri seorang pegawai perempuan di

Kado Sepatu Bayi

36

sampingku. Dia juga terkagum memandangi anakku sebelum tergeragap dan menyapaku dengan ramah, “Lucu sekali anaknya Pak, siapa namanya? Berapa bulan usianya?” Kujawab pertanyaan itu seramah mungkin. Kami sempat berbincang singkat, dia memberikanku tips-tips sederhana merawat bayi yang bisa dilakukan seorang ayah. Sebelumnya kukira dia ingin mempromosikan suatu produk tapi ternyata dugaanku salah, dia memberikan saran itu secara tulus tanpa pamrih ekonomi. Sekilas kutatap wajah pegawai itu. Wajah yang sendu dan rona itu tidak dapat ditutupi dengan kosmetiknya. Ketika bersitatap, kulihat matanya seperti kaca rapuh yang siap meneteskan airmata kapan saja.

Aku menyadari kekontrasan ini, cara bicaranya yang renyah sama sekali bertolak belakang dengan gestur dan mimik mukanya. Ketika pada akhirnya istriku melambai ke arahku sebagai isyarat kami harus ke kasir, pegawai itu sempat meminta izin menyentuh wajah tidur anakku, “Sampai jumpa lagi Adik Langit, lain waktu ketemu Tante Ella lagi ya…”

Aku tersentak dengan ucapannya barusan. ‘Tante Ella’. Aku langsung teringat sepatu bayi itu. Tapi aku harus buru-buru meninggalkannya karena wajah istriku seperti sudah tidak sabar lagi dan aku malas jika harus dicurigai macam-macam karena berlama-lama ngobrol dengan perempuan pegawai toko.

Sepulang dari toko itu, sosok Ella terus membayangiku. Di kamar, sepasang sepatu itu seperti kembali mengenakan selubung misterinya. Aku tak mungkin mendiskusikan hal ini dengan istriku karena dia sudah terlalu sibuk dan akan kembali menyepelekan ketertarikanku, bahkan mungkin akan menganggapku kurang kerjaan. Jadi kupendam saja rasa ingin tahuku mengenai hubungan antara wajah sendu Ella dan sepatu

Kado Sepatu Bayi

37

bayi ini.Cepat atau lambat sebuah pertanyaan akan menemukan

jawabannya. Di suatu sore, sepulang kerja, istriku memintaku sekalian mampir ke toko perlengkapan bayi itu untuk membeli mainan bayi. Inilah kesempatanku untuk bertemu kembali dengan Ella dan menanyakan perihal sepatu bayi itu. Sepanjang perjalanan aku menyusun skenario percakapan ringan yang tidak akan menimbulkan kecurigaan Ella. Tapi sesampainya di toko itu, aku tak bisa menemukan sosok Ella, meski telah berkeliling beberapa kali. Akhirnya aku menyerah. Segera kucari mainan bayi yang dimaksud istriku itu tapi aku juga kesulitan menemukannya. Aku minta bantuan pegawai terdekat yang lalu dengan sigap mencarinya. Setelah memilah dari beberapa mainan bayi sejenis secara refleks aku bertanya tentang Ella kepada pegawai itu.

Sebenarnya aku ingin menarik pertanyaanku ini karena ini akan menjadi pertanyaan yang sangat pribadi dan mungkin terasa aneh bagi pegawai toko itu. Tentu dia akan segera menatapku penuh selidik dan menghujani dengan pertanyaan yang bersifat privat. Tapi ternyata dugaanku meleset. Mungkin karena pegawai itu sudah jengah berdiri dan bosan berdiam diri, jadi dia menginginkan sebuah obrolan. Dia menjawab pertanyaanku dengan ramah bahwa hari ini Ella sedang cuti. Dan kumanfaatkan keterbukaannya ini untuk mengetahui lebih jauh tentang Ella.

Aku mengira bahwa pegawai ini adalah tipikal perempuan penggosip karena hanya dengan sebuah pertanyaan saja dia akan memberikan jawaban selengkap-lengkapnya beserta hal-hal yang tidak penting dan terlalu jauh dari pengetahuanku. Tapi ada hal yang disampaikannya tentang Ella yang membuat hatiku tersayat perih. Dia mengatakan bahwa Ella telah menikah delapan tahun, belum memiliki anak, dan sekarang rahimnya steril.

Kado Sepatu Bayi

38

Masih ceritanya, dulu Ella sempat memiliki bayi perempuan tapi meninggal dunia saat berusia setahun karena demam berdarah. Dan setelah itu dia terus berusaha memiliki anak tapi gagal dan justru di rahimnya ditemukan kista yang telah mengganas. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan jiwa Ella adalah dengan mengangkat rahimnya dan itu berarti dia tidak akan lagi memiliki keturunan. Penjelasan itu mengguncang jiwaku dengan hebat. Aku pulang dengan membawa kekosongan luar biasa dalam diriku.

Sepanjang perjalanan pulang aku sibuk memikirkan alasan Ella yang tetap bertahan bekerja sebagai pegawai di toko itu. Bukankah itu akan menjadi sebuah pekerjaan menyiksa baginya karena akan terus menghidupkan kenangan buruk akan masa lalunya? Dia akan selalu berurusan dengan ibu hamil, bayi, dan anak kecil. Aku memosisikan diri sebagai Ella dan merasa salut pada kemungkinan jawaban yang kulahirkan sendiri. Barangkali Ella adalah tipikal perempuan kuat yang memilih cara ekstrem untuk melawan kenangan buruk, yaitu dengan menghadapinya. Mungkin Ella adalah perempuan yang menghidupi kenangan dan justru dengan lingkungan semacam itu harapannya akan terus terpelihara. Segala kemungkinan yang kuciptakan sendiri itu kugunakan sepenuhnya untuk menghibur diri.

Sesampainya di rumah, anak dan istriku menyambutku seperti biasa. Aku langsung menghambur ke arah mereka. Kupeluk istriku lebih erat dan kugendong anakku lebih lama dari biasanya. Aku tidak mengucapkan sepatah kata pun tentang Ella pada istriku meski sejatinya saat itu aku ada di puncak kesedihan.

Dan ketika malam kian sunyi, saat istri dan anakku telah terlelap, tak mampu lagi kubendung keharuan ini. Aku melihat sepatu bayi di meja dekat tempat tidurku. Aku tak akan mengadokannya

Kado Sepatu Bayi

39

kepada siapa pun. Semoga anakku berikutnya perempuan dan bisa memakainya. Tapi pada saat itu juga terbayang wajah sendu Ella dan matanya yang berkaca-kaca. Mataku terpejam, diam-diam aku berdoa.

Aku ingat, seumur hidup aku tak pernah menangis saat berdoa tapi kali ini aku menangis untuk kebahagiaan Ella.

*Solo, Maret 2012

Kado Sepatu Bayi

40

Buku Harian Kinan

AKU menemukan buku harian itu secara tidak sengaja di sebuah lapak sastra toko buku. Buku itu terselip di deret ketiga tumpukan buku Cat Stories karya James Herriots yang ditata rapi secara berdiri dengan sampul muka menghadap depan. Ukuran buku harian itu lebih kecil daripada buku-buku yang menghimpitnya dan kelihatannya memang sengaja diletakkan di situ. Aku mengambilnya sembari menebak apa yang dipikirkan orang yang menyembunyikan buku harian itu di situ.

Aku membukanya, membaca sekilas, dan terpantik ketertarikan dalam diriku. Biasanya sebuah buku harian diperlakukan pemiliknya seperti manusia bisu. Segala perasaan penulisnya dicurahkan ke buku itu bahkan bila hal itu tidak terlalu penting. Buku harian menjadi sosok yang sabar mendengar dan tabah saat tubuhnya dirajah kata-kata oleh pemiliknya. Aku juga pernah menulis buku harian. Selalu ada kelegaan yang tak terpahami setelah menumpahkan isi hati ke buku harian. Karena manusia selalu butuh bercerita dan bercerita membuat segala sesuatunya lebih baik.

41

Tapi buku harian ini agak berbeda dari buku harian biasa. Ada nyawa dan warna lain yang berkelindan di dalamnya. Ada beberapa puisi cinta yang tidak bahagia di buku ini. Dari diksi yang digunakan dan susunan kalimatnya aku tahu bahwa penulisnya adalah orang yang memiliki kemampuan berbahasa cukup baik. Dengan cepat kubuka tiap halaman dan kudapat informasi bahwa pemilik buku harian ini adalah perempuan bernama Kinan.

Buku harian itu terus kupegang sembari mencari buku yang ingin kubeli. Entah kenapa aku jadi ingin membawanya pulang meski seharusnya aku mengembalikannya di tempat semula. Aku tergoda dengan isinya setelah sekilas kubaca. Tampaknya akan terasa menyenangkan jika membaca curahan perasaan dalam buku itu. Kisah-kisah yang ditulis dengan kesadaran akan kenyataan yang dialami sendiri oleh Kinan. Aku akan memasuki dunia batin dan kehidupan Kinan. Kuputuskan membawa pulang buku harian itu.

***

LELAKI itu dengan tergesa memasuki toko buku dan segera bergerilya. Mula-mula dia sambangi lapak buku anak. Memeriksa tiap tumpukan tanpa memedulikan judulnya. Pernah suatu kali dia berhenti sedikit lama pada buku Cerita Yunani Kuno yang dilengkapi dengan ilustrasi. Ingatannya sejenak melayang pada masa kanaknya. Ibunya sering mendongengkannya cerita-cerita ini saban kali menjelang tidur malam. Tapi kenangan itu hanya kejap. Dia kembali memeriksa tiap tumpukan tapi buku yang dicarinya tak juga ketemu.

Seorang pegawai toko mendekatinya, menawarkan bantuan

Buku Harian Kinan

42

untuk menemukan buku yang dicarinya tapi dia tolak. Tawaran untuk mencari buku via komputer juga dia abaikan dengan alasan yang tak jelas. Akhirnya dia berkesimpulan bahwa buku yang dicarinya tidak berada di situ. Dia pun berpindah ke lapak buku ekonomi dan psikologi. Semua tumpukan tak luput dari sergapan matanya. Seperti sebelumnya hanya dua buku yang menarik baginya di lapak ini yang membuatnya sejenak berhenti mencari yakni buku Bung Hatta dan Sigmund Freud. Bung Hatta selalu menarik baginya karena kebersahajaan dan ide-ide cemerlangnya tentang ekonomi kerakyatan. Sedangkan Sigmund Freud adalah ilmuwan idolanya, bahkan dia pernah menerapkan teori psikologinya untuk meneliti sebuah karya sastra. Tapi semua itu juga hanya kejap. Dia meneruskan pencariannya. Tapi lagi-lagi nihil. Di lapak tersebut tak ada buku yang dicarinya.

Demikian halnya di lapak kedokteran, hobi, gaya hidup, koran, dan majalah. Semua telah diperiksanya dengan teliti tapi tetap saja dia tak beroleh buku yang dicarinya. Satu-satunya lapak tersisa adalah sastra. Tapi begitu dia akan menuju ke sana seorang satpam menghadangnya. Satpam itu menanyainya dengan penuh selidik karena ulahnya memeriksa setiap lapak dianggap mencurigakan dan mengganggu kenyamanan pengunjung lain.

Lelaki itu merasa segan dengan perlakuan satpam tapi otaknya segera bekerja dengan cepat. Sambil memasang muka lega dia menunjuk sebuah buku di lapak sastra, novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Dia mengatakan pada satpam bahwa buku itulah yang dicarinya seraya berharap ini adalah cara tepat untuk lepas dari perlakuan tidak mengenakkan satpam itu. Dan benar saja setelah mengambil buku itu, satpam pergi meninggalkannya meski tetap mengawasinya dari kejauhan.

Kini dia bebas kembali menggeledah lapak sastra ini untuk

Buku Harian Kinan

43

menemukan buku yang dicarinya. Sebuah cara yang cukup aneh karena dia harus membeli buku yang sudah pernah dibacanya. Tapi semua itu dia terima dengan rela karena dulu dia hanya meminjam novel Pram itu di perpustakaan kampus. Membeli buku Pram tak pernah rugi karena memang buku karyanya layak dikoleksi.

Hampir setengah jam dia habiskan di lapak sastra ini dari keseluruhan tiga jam yang dihabiskannya di toko buku itu. Tapi buku yang dicarinya tidak juga ketemu. Dia sudah putus asa. Akhirnya dengan langkah lunglai ia pergi ke kasir, membayar buku Pram, lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menelepon.

***

“KAU harus menemukan buku itu. Itu syarat yang sangat mudah bila ingin menikahiku. Aku bukan Roro Jonggrang yang minta dibuatkan seribu candi. Aku hanya ingin kau temukan buku harianku yang kusembunyikan di toko buku itu sebagai bukti kesungguhan niatmu. Jika sampai tidak ketemu lupakan saja niatmu itu. Kau masih punya waktu tiga hari.”

Suara Kinan begitu tegas sebelum menutup percakapan lewat telepon itu. Kinan menganggap lelaki yang berniat menikahinya itu tidak sungguh-sungguh mencari buku harian yang sengaja disembunyikannya di toko buku itu. Andai saja lelaki itu sedikit menggunakan kecerdasan dalam membaca dirinya, tentu buku itu dapat dengan cepat ditemukannya, pikir Kinan.

Kinan melangkahkan kaki ke dapur lalu meracik makanan untuk kucing-kucingnya. Kinan memelihara beberapa ekor kucing dari jenis Persia dan Angora. Bahkan jika ada kucing kampung singgah di rumahnya, Kinan akan memberinya makan.

Buku Harian Kinan

44

Kinan sangat mencintai kucing. Kecintaan ini mungkin setara dengan kecintaannya pada buku dan dunia menulis. Segala yang dipikirkan dan dirasakannya kerap dicurahkannya pada buku harian. Dia rajin menulis buku harian sejak SMP. Semua buku harian itu tersimpan rapi di kamarnya. Kinan adalah tipikal perempuan yang sulit percaya pada siapa pun. Dia lebih percaya pada kucing yang tak akan menyakiti tuannya dan buku harian yang setia namun bisu dibanding pada manusia.

Dan ketika lelaki itu mendekatinya dengan pengorbanan yang luar biasa, sebenarnya hati Kinan tersentuh untuk langsung menerimanya. Tapi Kinan bukan perempuan yang semudah itu menyerahkan cintanya tanpa syarat. Tak apalah jika itu hanya untuk masa pacaran tapi untuk ke jenjang pernikahan dia harus menguji perjuangan calon suaminya itu.

Ide itulah yang terlontar dari benaknya. Dia mengambil buku hariannya yang paling dramatis yakni buku yang menyimpan ceritanya tentang masa-masa berat ketika ayahnya meninggal dunia menyusul ibunya dan direntang waktu yang tak begitu lama kekasih yang dicintainya memutuskan percintaan mereka. Segala kesedihan tertumpah di buku itu. Dia ingin lelaki yang melamarnya itu menemukan buku itu kemudian membacanya dan merasakan kesedihan yang pernah dialaminya. Agar lelaki itu kian memahaminya lalu menyertakan buku itu sebagai mahar pernikahan mereka.

Kinan berujar pada lelaki itu bahwa permainan menjelang pernikahan ini akan menjadi kenangan manis yang unik dan tak terlupakan sepanjang hidup. Mereka akan mengingat itu setiap menjelang ulang tahun pernikahan. “Sederhana saja seperti permainan petak umpet, temukan buku itu dan nikahi aku.” kata Kinan datar pada lelaki itu beberapa saat lalu.

Buku Harian Kinan

45

***

AKU membaca buku harian itu dengan sayatan-sayatan kecil di ulu hatiku. Pedih sekali rasanya. Meski tanggal dalam buku harian itu menunjukkan kejadian yang telah berlangsung bertahun-tahun lampau tapi gores kesedihannya tak juga pudar. Beberapa kali mataku berair tapi aku buru-buru mengusapnya sebelum jatuh.

Aku membaca buku harian itu dengan saksama, dengan kehadiran seluruh perasaanku. Kubaca perlahan dan mengulang beberapa bagian yang menurutku menarik dengan khusyuk hingga aku larut dalam kesedihan Kinan.

Benakku tak henti-henti mereka-reka sosok Kinan. Saban kali membaca buku harian itu aku seperti memasuki dunia Kinan. Tapi terkadang kurasakan Kinan juga keluar dari dunianya dan masuk ke dalam dunia mimpiku. Aku dan Kinan bertemu di alam mimpi. Kami seperti seorang kekasih yang saling bercerita di sebuah taman. Ketika malam begitu sunyi dan hujan turun, aku akan merasakan sayatan kerinduan pada sosok Kinan. Sebuah keanehan karena aku merindui orang yang belum pernah kutemui. Tapi siapakah sebenarnya Kinan ini? Dugaanku yang paling masuk akal, Kinan adalah pegawai toko buku itu.

Maka aku datangi toko buku itu untuk menjawab rasa ingin tahu. Mula-mula aku mencari tahu dengan sembunyi-sembunyi. Diam-diam kulirik nama yang tertera di seragam pegawai perempuan di toko buku itu. Tapi tak kutemukan seorang pun yang bernama Kinan. Akhirnya saat membayar buku yang sebenarnya tidak ingin kubeli, kuberanikan diri bertanya pada petugas kasir tentang karyawan bernama Kinan. Tapi jawabannya

Buku Harian Kinan

46

membuat pertanyaanku jadi kian mengambang dan sakit. Tak ada seorang karyawan pun di toko buku itu yang bernama Kinan.

Perjuanganku menemukan Kinan jadi terasa makin berat. Sore sepulang kerja dengan membawa buku harian itu aku setia menunggu kedatangan Kinan di deret sastra tempat aku menemukan buku harian itu. Mataku terus mengawasi buku Cat Stories dan mencurigai siapa saja perempuan yang tertarik padanya. Tapi kebanyakan mereka hanya melihat terus mengembalikan atau langsung membelinya. Jelas mereka bukan Kinan yang ingin mengambil buku hariannya. Tentulah jika orang itu adalah Kinan maka minimal dia akan memilah tiga buku terdepan atau setidaknya mengeluarkan reaksi dan ekspresi kecewa saat tidak menemukan buku harian itu.

Sudah seminggu sejak menemukan buku itu, tiap sore aku rutin selama dua jam menunggu sosok Kinan, tapi dia tak juga kunjung datang. Aku mulai putus asa dan berbagai spekulasi menyerangku tanpa ampun. Mungkin Kinan telah datang di saat aku tidak menunggu dan tidak menemukan bukunya terus pergi. Mungkin pula bukan Kinan yang menyembunyikan buku itu tapi orang lain yang iseng melakukannya lalu begitu saja melupakan keisengan itu. Atau mungkin Kinan memang berniat meninggalkan buku hariannya di situ agar ditemukan orang lain dan membacanya daripada harus membuangnya ke tempat sampah. Semua kemungkinan itu seperti bersekongkol melemahkan pencarian dan penantianku akan Kinan.

Tapi anggap saja saat itu aku sedang beruntung sebab anjing pun kadang juga punya hari baik. Pada penantian ke sekian di tengah serangan berbagai kemungkinan buruk itu, ekor mataku menangkap sosok perempuan cantik mendekati lapak sastra. Langkahnya begitu tergesa dan pasti. Dia langsung menuju ke

Buku Harian Kinan

47

arah buku Cat Stories. Dia memeriksa semua tumpukan dan wajahnya tampak kecewa. Lalu dia mengeluarkan ponsel dari tas kecilnya.

Kukumpulkan seluruh nyali di bibirku. Kukuatkan lidahku untuk mengucap satu kata, “Kinan.” Suaraku hanya terdengar lirih tapi kulihat dia menoleh kepadaku. Menatapku dengan kilat mata seekor kucing. Aku mematung tapi terasa ada yang pecah di dadaku.

*

Solo, Maret 2012

Buku Harian Kinan

48

Paloma

SETIAP orang yang mengenal Paloma pastilah akan sepakat mengatakan bahwa Paloma adalah istri paling setia. Kesetiaan yang dimiliki Paloma adalah kesetiaan yang terasa janggal bagi manusia yang hidup di masa kini. Sebuah kesetiaan yang cenderung buta, penuh pemujaan, dan mengabaikan segala perlakuan yang ditimpakan suami. Sebuah kesetiaan yang mendekati pengabdian istri para nabi.

Selalu muncul keheranan yang lama-kelamaan menjelma kegemasan manakala para tetangga itu gagal memahami kesetiaan Paloma terhadap Arya, suaminya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Arya adalah lelaki penyelingkuh dan gemar melukis memar di tubuh Paloma. Keberadaan dua orang anak mereka yang lucu-lucu sama sekali tidak menghentikan kebiasaan buruk Arya ini. Justru semakin bertambah hari kebejatan itu kian menjadi. Tidak hanya dengan satu perempuan, Arya mengumbar cinta terlarang dengan banyak perempuan yang rata-rata usianya lebih muda daripada Paloma. Lebih parahnya lagi, Arya tanpa sungkan mengajak perempuan selingkuhannya itu untuk singgah

49

di rumahnya. Rumah yang sama, yang dihuni Paloma dan dua anak mereka.

Anehnya, perlakuan ini sama sekali tak melunturkan cinta dan kesetiaan Paloma terhadap suaminya. Sehabis perselingkuhan, dia seakan membutakan mata dan menulikan telinga, seakan semua peristiwa itu tak pernah ada. Dia seperti menghapus jejak perselingkuhan mereka. Dia mengabaikannya. Hal inilah yang membuat para tetangga yang kebanyakan ibu-ibu yang tahu persis keadaan ini jadi gemas setengah mati pada sikap Paloma. Jika mereka menjadi Paloma tentu mereka akan menggugat cerai atau bahkan melaporkan suami mereka yang nyata-nyata berselingkuh pada polisi. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain bergunjing. Dengan tak rela mereka menerima kenyataan bahwa jika Paloma saja sebagai istri Arya menerima perlakuan ini, apa hak mereka, yang bukan siapa-siapa, untuk tidak terima apalagi berbuat lebih.

Di setiap acara arisan kompleks, para tetangga Paloma tak hentinya membisikkan kata-kata militan untuk memantik semangat perlawanan di jiwa Paloma, tapi mereka seakan berbisik pada batu. Paloma tak pernah terhasut. Dia hanya tersenyum dan berterima kasih. Paloma tidak pernah marah kepada mereka. Dia hanya selalu berucap lirih, “Ini adalah ujian bagi saya sebagai istri. Saya harus tabah menjalaninya.” Dan pembicaraan akan terputus dengan sendirinya. Paloma akan meninggalkan mereka dengan langkah tenang sementara suara gunjingan mereka akan terdengar bagai dengung lebah di telinga Paloma.

Setahun yang lalu, hal ini adalah pemandangan yang kontras apalagi jika dikilas balik lebih jauh lagi. Sebagai keluarga muda, sebenarnya Arya dan Paloma memiliki persyaratan ideal sebagai keluarga kecil bahagia. Sebelum dikaruniai anak,

Paloma

50

keduanya adalah pasutri yang tidak direpotkan dengan urusan materi. Arya bekerja sebagai pialang saham dan Paloma bekerja sebagai teller di sebuah bank swasta. Setelah anak pertama lahir, Paloma memutuskan keluar dari pekerjaan untuk konsentrasi mengurusi anak. Keputusan ini hampir tidak berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi mereka. Arya mampu menambal lubang kebutuhan yang ditinggalkan Paloma. Mereka bisa tetap hidup berkecukupan. Saat itu, oleh tetangga kompleks, mereka dianggap keluarga kecil yang ideal. Lalu lahirlah anak kedua mereka tiga tahun sesudahnya. Tampaknya kehadiran sepasang anak di antara mereka akan menyempurnakan kebahagiaan, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Tiba-tiba tercium bara dari rumah tangga mereka.

Hampir tiap hari keributan terdengar dari rumah mereka. Posisi perumahan kompleks yang berhimpitan membuat segalanya jadi sulit disembunyikan. Apalagi Arya adalah tipikal lelaki yang biasa meluapkan kemarahan dengan berteriak-teriak ditambah lagi dengan jerit tangis anak mereka saat terjadi pertengkaran. Kegaduhan ini mau tak mau memancing rasa ingin tahu para tetangga dan akhirnya mereka memang menjadi paham. Sebagian lagi cerita meluas bersumber dari bekas kekerasan di tubuh Paloma.

Perpecahan di rumah tangga Paloma segera menjadi buah bibir tapi mereka tidak mengerti penyebabnya. Hal inilah yang menjadi bumbu gosip paling sedap. Mereka saling mengajukan dugaan mengenai penyebab perpecahan itu.

Mula-mula tetangga sekitar rumah mengira bahwa penyebab semua ini adalah Arya. Setelah lima tahun menjalani rumah tangga mungkin sekali seorang lelaki jenuh dan menampakkan perangai aslinya. Apalagi lingkungan kerja Arya berkubang uang sehingga

Paloma

51

sangat mudah baginya menemukan perempuan cantik di saat istrinya tidak lagi semenggairahkan dulu setelah melahirkan dua anak. Dugaan ini diperkuat dengan kebiasaan Arya membawa perempuan muda ke rumahnya. Meski perempuan terakhir tak lagi berganti dan dikenalkan pada warga sebagai sepupu, tapi mereka paham bahwa itu adalah dusta semata. Cara Arya memperlakukan perempuan muda itu lebih mirip pria berahi dibanding sanak saudara.

Dugaan para tetangga ini makin meluas sehingga melahirkan sangkaan-sangkaan baru yang kian memperburuk citra Arya di mata mereka. Mereka menduga bahwa dahulu Arya berspekulasi ketika menikahi Paloma. Perbuatan ini bukan hal baru bagi Arya. Pekerjaannya sebagai pialang saham membiasakannya berspekulasi. Hal ini mungkin juga diterapkannya dalam hubungan asmara yang berlanjut pada jenjang pernikahan. Menurut pengakuan Paloma terdahulu, mereka memang tidak lama berpacaran. Hanya kenal dua bulan setelah itu memutuskan menikah. Setelah berjalan lima tahun, mungkin Arya merasakan kegagalan atas spekulasinya dan berubah sikap. Dugaan spekulasi ini hanya satu dari sekian banyak dugaan buruk lainnya. Tidak sedikit yang mengamini dugaan ini. Hal ini menjadikan simpati mereka terhadap Paloma kian menjadi apalagi saat mereka melihat bekas penganiayaan di tubuh Paloma.

Seperti angin, keberpihakan juga lekas berubah. Terkadang hal yang tidak masuk akal juga menjadi bumbu dalam mempergunjingkan rumah tangga Arya dan Paloma. Mereka berkasak-kusuk bahwa untuk mendapatkan Arya dulu, Paloma menggunakan jasa paranormal atau dukun. Paloma diperkirakan telah memasang susuk kecantikan untuk memikat hati Arya. Entah karena daya kerja susuk telah kadaluarsa atau karena

Paloma

52

melanggar pantangan, khasiat susuk itu lenyap. Dan Arya, meskipun telah terlambat, menyadari bahwa ia terjebak dalam pernikahan dengan orang yang sebenarnya tidak dicintainya lalu sikapnya berubah drastis. Kemungkinan ini mendapat dukungan apabila dikaitkan dengan kesetiaan Paloma terhadap segala perlakuan suaminya yang kian tak manusiawi setiap hari. Dugaan ini menjadikan simpati mereka terhadap Paloma agak memudar dan rasa gemas kian menjadi-jadi.

Begitulah, hal-hal logis dan gaib mewarnai prasangka para tetangga mengenai prahara rumah tangga Arya dan Paloma. Paloma menanggapi semua itu bagai angin lalu. Dia tetap menunjukkan pengabdian penuh kepada suaminya. Setiap pagi para tetangga masih melihatnya membawakan tas Arya sebelum masuk mobil untuk berangkat kerja. Paloma juga sama sekali tidak mengurangi kegiatannya bermasyarakat. Dia masih melayani setiap perbincangan tidak menyenangkan dengan para tetangga saat bertemu dengan mereka. Paloma senantiasa menampilkan ketabahan seorang istri pada tetangganya yang memang tampak berwajah manis jika di hadapannya. Seakan dengan sikapnya itu, dia ingin membungkam gunjingan mereka.

Jarang sekali mereka mendengar Paloma berkeluh kesah dan membongkar aib suaminya sendiri. Penyebab keretakan rumah tangga Paloma tetap tersimpan aman dalam kesetiaan sikap Paloma. Hingga suatu ketika datanglah surat undangan sidang cerai dari pengadilan sipil untuk Paloma. Seorang tetangga kebetulan mengetahuinya dari kurir yang menanyakan alamat Paloma kepadanya. Dengan ketangkasan seorang wartawan investigasi, segera saja tetangga itu mengorek perihal isi surat pada si kurir. Dan dia mendapati keterkejutan yang luar biasa manakala mengetahui bahwa si penggugat cerai adalah Arya,

Paloma

53

bukan Paloma.Sebuah pertanyaan besar segera mengembang di lingkungan

kompleks. Menurut mereka, harusnya Paloma yang menggugat cerai Arya, karena seperti itulah keinginan mereka. Mereka ingin gugatan cerai itu dilayangkan Paloma sebagai usaha pembalasan dendam atas perlakuan Arya selama ini. Meskipun sempat berburuk sangka pada Paloma, mereka tetap ingin harkat Paloma terangkat. Tapi kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Bertanya pada Paloma pun akan sia-sia. Paloma tidak akan bersuara. Mereka hanya mampu mengembangkan prasangka yang kian memperburuk citra Arya. Mereka menganggap Arya sudah tidak mampu lagi menyembunyikan perselingkuhannya dari mata keluarga besarnya sehingga ia ingin segera melegalkannya dalam pernikahan. Dan langkah pertama adalah menceraikan Paloma yang setia. “Huh bejat sekali lelaki ini!” rutuk mereka terhadap Arya sembari masih dipayungi tanda tanya besar.

Paloma sendiri menerima surat undangan sidang cerai itu dengan tenang. “Akhirnya berujung juga semua ini.” batinnya. Dengan belas kasih seorang ibu yang tiada tara, dibelainya kepala kedua anaknya yang tengah terlelap. Ingatannya kemudian melayang pada peristiwa kelam itu. Malam menjelang ulang tahun pernikahan mereka yang keempat. Malam yang tak akan bisa dia lupakan sepanjang hidupnya.

Malam itu seharusnya diliputi kebahagiaan. Dia menyiapkan makan malam dan berdandan cantik untuk menyambut suaminya pulang. Tapi bukan ciuman pipi yang dia dapat ketika Arya datang melainkan sebuah tamparan. Tanpa berkata Arya melemparkan lima lembar foto ke arah mukanya yang memerah. Dia punguti foto-foto mesra itu dan melihatnya, tiba-tiba jantungnya terasa berhenti berdetak. Suara teriakan Arya yang meluapkan emosi

Paloma

54

karena merasa ditipu dan dikhianati seperti geledek yang pecah di telinganya.

Dengan kemarahan meluap, Arya menghampirinya, mencengkeram gaunnya dan memaksanya menceritakan kebenaran dalam foto tersebut. Kedua anak mereka menangis oleh kegaduhan ini. Arya menghardik mereka untuk diam tapi tangis mereka kian membadai. Paloma tak dapat berbuat apa-apa karena cengkeraman Arya begitu kuat. Dengan tersendat dia bercerita,

“Itu adalah fotoku dengan Sofia, pacarku dulu sebelum bertemu denganmu. Itu dulu Mas, sekarang aku telah berubah Mas. Aku mencintaimu.”

“Dasar lesbi sialan!” penjelasan singkat Paloma kian memuncakkan amarah Arya. Arya merasa tidak tulus dicintai dan hanya dijadikan pelampiasan untuk kedok kehidupan normal Paloma. Dengan sekuat tenaga, dilemparkannya tubuh Paloma ke almari. Paloma terbanting tapi segera bangkit dan menghambur pada kedua anaknya.

“Kau yang menginginkan kejujuran dan aku jujur mencintaimu dengan sepenuh hatiku. Anak kita ini Mas bukti cintaku padamu.” ucap Paloma sambil menangis.

“Lesbi sialan! Kau tahu tak perlu cinta untuk membuat anak. Perempuan diperkosa saja bisa bunting.” rutuk Arya keluar rumah sambil membanting pintu.

Sejak saat itu pulalah sikap Arya berubah drastis terhadapnya dan anak-anak. Berbagai cara ditempuh Arya untuk membalas sakit hati akibat perasaan tertipu dan terkhianatinya ini. Di antaranya dengan membawa perempuan selingkuhan ke rumah dan memukulinya walau Paloma tidak melakukan kesalahan. Arya ingin Paloma merasakan perasaan tersakiti yang serupa.

Paloma

55

Tapi Paloma tetap tabah dan menunjukkan kesetiaan. Dia coba memahami kekecewaan hati Arya atas masa lalunya yang sebenarnya sudah ia kubur dalam-dalam. Tapi nasib berkata lain, entah siapa yang mengungkap tabir masa lalunya ini pada Arya, dia tak ambil peduli. Paloma merasa memang sudah saatnya Arya tahu dan dia siap menanggung segala akibatnya. Segala penderitaan telah dia alami, segala macam doa telah dia lantunkan, tapi tampaknya luka hati Arya tak juga kering dan surat undangan sidang cerai inilah ujung ceritanya.

Paloma menimang-nimang surat undangan itu dengan mata berkaca-kaca. Dengan asa yang berusaha ditumbuhkan, dia peluk kedua buah hatinya yang terlelap. Merekalah kini masa depannya. Ditatapnya foto Arya yang tergantung di dinding. Tiba-tiba seulas senyum tersungging di bibirnya, “Tuhan telah membebaskanku dari jerat laki-laki tidak dewasa ini.”

*

Solo, 2010-2012

Paloma

56

Perihal Perempuan Bertas Ungu, Cinta, dan Kereta

SEBELUM melihat perempuan itu, dia merasa sudah lama hidup dalam kematian. Masa lalu adalah kehilangan. Dan setiap hari kereta terus mengantarnya ke sebuah tempat yang bukan tujuan. Tempat yang menjelma ruang hampa yang mengharuskannya menetap beberapa jam di dalamnya untuk melanjutkan hidup yang terasa sia-sia. Kereta senantiasa membawanya melaju kencang menembus jalan dan lorong kesunyian. Kenangan serupa kabut yang membasah di kaca jendela. Segala yang terbentang di luarnya terasa begitu muram. Dia akan selalu terdiam dan merasa segala yang dilihatnya di kejauhan berjalan mundur mengiris tubuh sepinya yang kian hari kian renta dan berkarat.

Tapi di stasiun itu, tempat kereta berhenti sesaat untuk menurunkan dan mengangkut penumpang, pada sebuah hari yang baik, dia seakan menemukan denyut hidupnya yang telah terhenti. Di stasiun itulah untuk pertama kali dan seterusnya dia

57

melihat perempuan itu. Kereta akan berhenti selama seperempat jam dan selama itu pula dia akan mengagumi perempuan itu dari kejauhan. Seorang perempuan muda yang penuh dengan daya hidup dengan tas ungunya duduk di bangku tunggu. Perempuan yang mungkin seorang karyawati dan paling sering dilihatnya sibuk dengan ponselnya. Sesekali dalam segelintir hari yang dinamakannya keberuntungan, dia akan mendapati perempuan itu mengangkat wajah dan melihat ke arahnya. Wajah yang sederhana sebetulnya tapi menurutnya seperti pijar cahaya yang memancar di balik kemuraman kaca kereta. Saban kali perempuan itu menatap gerbongnya, dia merasa perjalanan pagi ini adalah lautan berkah. Dia akan merasakan keriangan yang pecah hingga ke urat nadinya. Segala suara jadi terdengar merdu di telinganya, termasuk suara pedagang asongan atau perbincangan kelewat cerewet sepasang penumpang yang sering menjengahkannya. Lengkung senyum akan menghiasi wajahnya seharian. Tapi ketika di suatu pagi dia tak mendapati perempuan itu, maka dia akan merasakan hari itu sebagai petaka. Kecemasan akan menyerangnya tanpa ampun dengan berbagai wajahnya dan dia akan segera berdoa untuk kebaikan perempuan itu sepanjang waktu.

Biasanya keesokan paginya dia akan melihat perempuan itu lagi di bangku tunggu lengkap dengan tas ungunya. Kelegaan akan meruyak di dirinya. Dia akan merasakan kegembiraan yang luar biasa meski perempuan itu tak pernah benar-benar menatap ke arahnya apalagi menaiki gerbong yang sama. Dia sudah bahagia hanya dengan melihat perempuan itu. Perempuan yang bahkan tidak menyadari keberadaannya. Perempuan yang mengutuknya menjadi hantu yang membenci hari Minggu.

Perihal Perempuan Bertas Ungu, Cinta, dan Kereta

58

***

KESEPIAN senantiasa meruncing di stasiun. Orang-orang lalu-lalang tapi saling mengacuhkan. Semua serba bergegas dan menunggu kereta tiba adalah ritus menjengkelkan. Tak seorang pun merasa perlu bercakap atau sekadar basa-basi menanyakan tujuan. Dunia stasiun adalah semesta yang sibuk tapi inilah gerbang yang akan mengantarkannya melanjutkan hidup. Inilah pintu yang akan membawanya menemui seorang lelaki yang bernama Surya. Ya, dia memang seperti surya yang menjalari tubuhnya dengan kehangatan cinta tanpa pernah menyadarinya. Dia diam-diam mencintai lelaki itu. Lelaki yang menaungkan hidupnya di gerbong kereta dan dia ketahui namanya tanpa lewat perkenalan sebagaimana mestinya tetapi lewat nama yang terbordir di seragamnya.

Tapi menunggu tetap membuatnya merasa menjadi sebangsa manusia sialan yang membuang waktu di jalanan. Di saat-saat seperti ini ponsel baginya adalah teman paling setia dan pengertian. Dia terbiasa mengirim pesan kepada teman-teman di kejauhan. Dengan cara ini, dia seolah menghadirkan mereka di bangku tunggu ini. Terpujilah mereka yang menciptakan situs jejaring sosial, semoga Tuhan senantiasa memberkati mereka, doanya selalu dalam hati. Inilah keajaiban yang akan meringankan segala siksa penantian. Dia biasa membunuh kejenuhan di situs ini dengan membaca keluh-kesah teman-teman mayanya. Dia selalu membayangkan memiliki cukup keberanian untuk berkenalan dengan lelaki idamannya itu lalu berteman dengannya di dunia maya. Tentu dia akan bisa makin dalam mengenal diri dan kehidupan lelaki itu. Tapi ini hanya angan yang keterlaluan. Karena hanya dengan melihat langsung wajah dan gestur tubuh

Perihal Perempuan Bertas Ungu, Cinta, dan Kereta

59

lelaki itu, dia sudah merasa kian hanyut oleh cinta. Cara lelaki itu berjalan ke arahnya dengan senyuman simpatik saat menanyakan tiket kereta lalu melubanginya membuat jantungnya serasa berhenti berdetak. Apalagi ketika tangan mereka bersentuhan, dia akan merasa gerbong pengap itu moksa menjadi kebun bunga.

Kali ini kereta yang ditunggunya terlambat datang sepuluh menit. Dia segera memasukkan ponsel ke tas ungunya lalu bergegas menuju gerbong khusus perempuan dan bertemu dengan orang-orang bertujuan sama yang mulai diakrabinya. Dia sungguh berharap bahwa hari ini yang menjadi petugas pemeriksa tiket adalah Surya. Karena jika bukan dia, maka sepanjang hari ini akan menjadi neraka baginya.

***

STASIUN itulah sesungguhnya muara hidupnya. Karena di sanalah kereta yang setiap hari ditumpanginya ini akan berhenti sesaat dan mengangkut perempuan itu ke tempat kerja. Dia selalu menyimpankan sebuah tempat duduk untuk perempuan itu di gerbong khusus perempuan ini. Karena posisi tempat duduk di gerbong ini memanjang membelakangi deret jendela dan menyisakan lebih banyak tempat untuk penumpang yang berdiri, maka dia sengaja melebarkan posisi duduknya agar tersedia cukup tempat untuk perempuan itu nanti. Dia akan berusaha sekuat tenaga mempertahankan posisi duduknya ini dari geseran penumpang lain walau ini sebenarnya terasa agak menyiksa baginya. Dia rela melakukan itu karena jika tak berhasil menyimpankan tempat duduk maka pertempuan itu bakalan berdiri. Yang menurutnya lebih celaka lagi adalah bila perempuan

Perihal Perempuan Bertas Ungu, Cinta, dan Kereta

60

itu berdiri jauh dari posisinya. Dia tidak akan bisa berbincang dengan perempuan itu yang berarti juga kebahagiaan terenggut darinya di hari itu. Saban kali perempuan itu berdiri agak jauh darinya maka dia akan berusaha mendekatinya. Biasanya dia akan pura-pura ke toilet dan merelakan tempat duduk nyamannya untuk rebutan penumpang lain. Dia hanya sejenak di toilet lalu menghampiri perempuan itu. Dengan rikuh, dia akan memulai pembicaraan dengan perempuan itu yang biasanya akan menanggapinya dengan renyah. Di setiap celah waktu, dia akan mencuri tatap wajah perempuan itu sembari meyakinkan diri bahwa wajah sederhana itulah yang membuat tidurnya tidak nyenyak dan hari-harinya gelisah.

Kereta terlambat tiba sepuluh menit di stasiun tempat perempuan itu menunggu. Dari kaca jendela dia dapat melihat perempuan itu melangkah agak tergesa sambil menjinjing tas ungunya. Kekhawatirannya jika perempuan itu tak masuk kerja hari ini segera sirna. Perempuan itu berjalan ke arah gerbongnya dan dia merasakan detak jantungnya memburu. Perempuan itu memasuki pintu gerbong. Dia segera melambaikan tangan sambil berseru memanggil nama perempuan itu. Perempuan itu menoleh ke arahnya lalu menerobos kerumunan menghampirinya. Dia beringsut menggeser diri, meluangkan tempat duduk dan perempuan itu segera duduk di sebelahnya. Terdengar gerutuan dari beberapa penumpang yang berdiri di dekat mereka tapi mereka tak mempedulikannya. Keduanya segera terlibat dalam perbincangan hangat. Dia merasakan pagi ini udara lebih wangi. Segala yang didengarnya terasa lunak, seperti petuah bijak yang penuh pemakluman. Pengorbanan kecil untuk rasa cintanya yang tak biasa tidak sia-sia.

Perihal Perempuan Bertas Ungu, Cinta, dan Kereta

61

***

BULAN basah. Musim hujan yang keterlaluan. Setiap hari hujan turun deras sekali. Setiap rencana harus memperhitungkan hujan. Banjir dan tanah longsor datang tanpa direncanakan. Beberapa rel kereta api anjlok bahkan ambrol diterjang longsor. Beberapa jalur kereta api terputus termasuk yang menuju stasiun tempat perempuan bertas ungu itu biasa menunggu. Lalu-lintas kereta api ke stasiun itu dihentikan sementara waktu untuk menunggu perbaikan.

Saat-saat menunggu itu menjadi siksa yang begitu menyayat. Waktu, seperi biasa terasa bergulir begitu lambat dalam penantian. Hujan lebat tak pernah absen menderaskan rindu. Sialnya lagi rindu selalu menjelma rajaman yang teramat sakit kala menunggu.

*

Solo, 1 Desember 2012

Perihal Perempuan Bertas Ungu, Cinta, dan Kereta

62

Istri Pengarang

HANYA manusia bodoh yang menganggap cemburu sebagai tanda cinta. Tapi adakah cinta yang datang tanpa kebodohan? Kau tak akan bisa menghindari cemburu tapi kau bisa mengolahnya. Jika gagal, mungkin jalan hidupmu akan berakhir sepertiku saat ini, mendekam di tempat ini dan berurusan dengan rekan-rekan seprofesimu sekarang ini. Mungkin juga kau tak akan percaya pada cerita cemburuku ini karena ini seperti kisah cemburu pada hantu. Sebaiknya kau menyimak ceritaku ini dengan saksama karena mungkin kau dapat belajar banyak darinya.

Sebenarnya kehidupan keluargaku sudah cukup mapan. Aku bekerja sebagai pegawai bank dan suamiku murni bekerja sebagai penulis lepas. Suamiku menulis apa saja yang dapat mendatangkan uang, mulai dari novel, cerpen, puisi, esai, naskah film, hingga teka-teki silang. Dia setia pada prinsipnya yakni hidup dari menulis. Sebenarnya akulah yang menopang perekonomian rumah tangga kami. Karena, jujur saja, pekerjaan menulis suamiku sulit diandalkan. Dia seperti bekerja pada keberuntungan. Pada suatu saat, tulisannya bisa dimuat di beberapa koran atau majalah

63

dan penghasilannya lumayan. Tapi di saat lain, tak ada satu pun tulisannya yang dimuat dan penghasilannya hanya dari royalti novelnya yang tak seberapa karena kurang diminati pasar.

Tapi aku tak pernah memusingkan masalah materi dengannya. Aku juga tahu dia begitu khusyuk menulis setiap hari. Bahkan kuanggap dia sangat profesional karena memiliki jam kerja menulis yang terjadwal. Dia akan bangun pagi-pagi, menyeduh kopi sendiri, menyalakan komputer yang diletakkannya di bawah jendela, lalu menulis, dan akan kudengar harmoni papan ketik beradu dengan jemarinya, membangunkanku di pagi hari. Aku sering bertanya dalam hati, dari mana dia memperoleh ide yang seakan tak pernah kering itu? Terkadang aku menduga bahwa dia hanya menyalin mimpinya semalam ke dalam tulisan.

Ritus menulisnya di pagi hari akan berakhir saat harus mengantarku ke kantor. Sepulang mengantarku, dia akan kembali menghabiskan waktu seharian untuk bergulat dengan imajinasinya. Dia akan keluar rumah kembali saat jam jemput tiba. Aku sering berandai-andai, jika saja kami dikarunia anak, tentu kesibukannya menulis dapat dengan sendirinya terkurangi. Dia bisa mengasuh anak dan menjadi bapak rumah tangga yang baik, sembari menulis di waktu luang. Tapi semua itu masih sebatas angan karena sejak tujuh tahun menikah, kami belum juga dikaruniai momongan.

Dulu kami bertemu di angkringan dekat taman budaya. Aku kost di dekat tempat itu dan dia sering nongkrong di sana. Saat itu aku masih mahasiswa semester dua dari fakultas ekonomi dan dia sudah drop out dari kuliahnya di fakultas sastra. Aku seperti mendapati dunia yang lain saat berhadapan dengannya. Sebuah dunia yang mengandalkan olah batin dan perasaan. Aku seperti kehilangan logika yang begitu diagung-agungkan di

Istri Pengarang

64

bangku kuliahku. Dia seperti nabi bagiku. Kata-katanya kadang tak masuk akal tapi selalu bisa kurasakan kebenarannya. Pada akhirnya kami berpacaran.

Kami habiskan masa pacaran selama tiga tahun dan karyanya mulai bertebaran di berbagai media. Tapi aku masih saja kurang minat membacanya dan dia selalu tak mempermasalahkannya. Dia begitu yakin ketika melamarku dengan naskah novelnya yang sedang dalam proses negosiasi dengan penerbit. Aku menerima pinangannya meski saat itu aku baru lulus kuliah yang berarti juga bakalan menempuh hidup dalam ketidakpastian karena hanya hidup dari tulisannya. Orang tuaku yang sebelumnya meremehkan pekerjaannya juga berhasil diyakinkannya. Jadilah kami menikah, dan beberapa bulan kemudian nasib baik menghampiri, lamaranku sebagai pegawai bank diterima.

Dia bersyukur aku bisa bekerja sebagai pegawai bank karena itu berarti fondasi kehidupan kami jadi lebih kuat. Ada ladang uang lain yang membuatnya lebih idealis dalam menulis. Dia jadi tidak terlalu mengarus pada selera pasar, media, atau kepentingan lain hanya demi publikasi tulisan yang berujung uang. Singkatnya, tak apa bila tulisannya tak laku toh kami masih bisa hidup dengan gajiku. Sampai akhirnya kami dapat membeli rumah sederhana yang sebenarnya kubeli dengan tabungan gajiku dan suamiku itu hanya menyumbang pagar serta tanaman-tanaman hias sebagai penyalur minat berkebunnya.

Tapi kehidupan selalu berjalan di luar dugaan. Kemapanan kami goyah. Bukan darinya memang, tapi dariku. Di tempatku bekerja berembus isu akan ada penyegaran pegawai. Dan posisi teller yang kududuki sekarang paling rentan terkena PHK. Banyak sekali lulusan baru yang berwajah lebih menawan dan punya konsentrasi lebih tinggi daripada pegawai lama sepertiku. Mereka

Istri Pengarang

65

bersedia digaji lebih rendah ditambah sistem kontrak dengan durasi pendek. Ini tentu lebih menguntungkan perusahaan dibanding harus melestarikan pegawai lama yang produktivitasnya sudah menurun dan gaji yang makin tinggi. Memang kami menang pengalaman, tapi apalah artinya pengalaman karena dengan pelatihan sebulan seolah mereka dapat bekerja seperti kami yang telah bertahun-tahun bekerja di bank ini. Saat kukatakan hal ini pada suamiku, dia hanya menanggapinya santai. Katanya, kami bisa hidup lagi seperti awal pernikahan yakni hidup dari tulisannya. Aku ngeri membayangkan semua itu. Saat ini tentu berbeda dengan tujuh tahun lalu. Aku enggan tercabut dari kemapanan.

Dan hal yang kukhawatirkan sungguh terjadi. Aku terkena PHK dengan pesangon yang tak seberapa. Perusahaan seperti buta dengan jasa dan pengabdianku selama bertahun-tahun. Kutumpahkan dukaku pada suamiku dan dia kembali menyerahkan dirinya untuk tempatku menaungkan hidup. Aku takjub dengan kemampuan suamiku mengelola perasaannya. Dia membisikkan kalimat yang membuatku tenang, “Kau bisa menungguiku menulis dan kita bisa bercinta kapan saja kita mau, dan jika beruntung nanti, kita bisa memperoleh bayi. Kau tahu apa alasan utamaku mencintaimu?”

Aku menggeleng, lalu bibirnya kembali berucap, “Karena hanya padamu aku kembali menjadi manusia biasa yang tidak direpotkan dengan kegiatan berpikir dan berasa yang kadang terasa menyiksa. Padamu aku bisa membicarakan hal remeh temeh dan sejenak melupakan teror ide untuk dituliskan. Padamu aku seperti selalu libur sebagai penulis.”

Aku terharu mendengarnya dan mulai tergerak membaca karya-karyanya sembari menunggu lamaran pekerjaanku dijawab.

Istri Pengarang

66

Inilah kali pertama sejak tujuh tahun lalu menikah aku benar-benar membaca tulisan suamiku. Aku seperti mendapat hiburan dan pengalaman aneh saat membaca tulisan-tulisannya. Aku seperti menemukan sosoknya yang lain dalam tulisannya. Sosok yang lebih kaya secara batin dan membuatku kian jatuh cinta padanya.

Bulan pertama berjalan lancar, kami jadi seperti pengantin baru lagi. Aku sering menggodanya saat khusyuk menulis dan selalu berakhir dengan percintaan yang memuaskan. Tapi bulan berikutnya aku mulai merasakan kejenuhan. Belum ada satu pun lamaran kerjaku yang dijawab sedang uang pesangon terus berkurang. Aku menyadari betapa sulitnya mencari pekerjaan baru bagi perempuan berusia tiga puluhan sepertiku. Aku jadi sensitif dan mudah sekali marah.

Hingga suatu ketika kubaca cerpen suamiku yang berjudul Nadia. Dalam cerpen itu, suamiku menulis sebuah kisah perselingkuhan yang kurasa begitu hidup dengan adegan persetubuhan yang begitu detail. Apalagi dia bercerita dengan sudut pandang tokoh ‘aku’. Imajinasiku gamang, kurasakan seperti di ambang kenyataan. Diam-diam kecemburuan menyelinap di hatiku. Tapi aku tidak cukup gila untuk menanyakan tokoh Nadia dalam cerpen ini pada suamiku.

Tapi hari-hari berikutnya suamiku terus menulis cerpen dengan tokoh perempuan bernama Nadia. Kurasa dia produktif sekali. Dalam sehari dia bisa menghasilkan satu cerpen di samping tulisan lain. Keranjingannya menulis cerpen ini hampir berjalan sekitar sebulan. Dia terus menulis dengan tokoh Nadia dan semuanya bertema percintaan. Hampir setiap penggambaran fisik dan perwatakan tokoh Nadia ini selalu sama di tiap cerita berbeda. Aku mulai curiga kalau tokoh Nadia ini memang

Istri Pengarang

67

sungguh ada di kehidupan nyata. Tapi siapa dia? Kenapa suamiku begitu memujanya dalam setiap cerita yang ditulisnya? Kecemburuan di hatiku kian menjadi tapi aku belum cukup gila untuk mengakuinya.

Hari berganti dan kian banyak cerita tentang Nadia yang kubaca hingga sebuah peristiwa langka terjadi. Saat tidur suamiku mengigau dan menyebut nama Nadia. Padahal seumur hidup dia tak pernah mengigau. Aku meradang dan menyingkir dari tempat tidur. Di meja kulihat ponsel suamiku tergeletak. Kuberanikan diri membuka rekaman pesan dan panggilannya dan kucari-cari nama Nadia. Tapi tak kutemukan nama itu. Oh tentu suamiku tidak terlalu bodoh. Tentu saja dia telah menghapusnya. Kecemburuanku kian tak tertahan dan aku akan menanyainya meski dia akan menganggapku gila.

“Siapa Nadia?” tanyaku datar pada suatu pagi yang memanas. Suamiku hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaanku. Kuulang pertanyaanku dengan intonasi yang lebih tegas, “Siapa Nadia?” Dia menghentikan ketikannya dan tersenyum, “Dia perempuan yang memberi kita makan selama beberapa minggu ini dan mungkin beberapa bulan ke depan.” Katanya sambil menunjuk tumpukan koran dan majalah yang memuat cerita Nadia.

Aku tak puas dengan jawabannya. Kurasa suamiku bersilat lidah. Kecurigaanku bertambah dengan kekerapan suamiku keluar malam akhir-akhir ini. Tidak seperti biasanya, dia enggan kudampingi. Alasannya selalu sama, bahwa ini acara khusus pria. Dan aku akan tinggal sendirian di rumah dengan kecamuk cemburu yang membabi buta. Berbagai bayangan perselingkuhan dan persetubuhan antara suamiku dan sosok Nadia kian menggila dalam kesendirianku. Aku merasa ini bukan lagi khayalan tapi

Istri Pengarang

68

sudah menjelma kenyataan. Tak ada kesibukan yang bisa kulakukan untuk meredakan

kecemburuan ini. Aku tidak suka berkebun dan semua teman sepertinya sudah kukunjungi. Aku merasa kendali emosiku semakin lemah. Sosok Nadia seperti hantu yang terus menerorku dalam kemisteriusannya. Dan pada suatu siang yang jahanam, kejadian yang paling ingin kuralat sepanjang hayatku itu terjadi.

Aku mengiris semangka yang ingin kuhidangkan pada suamiku. Dia begitu khusyuk menulis hingga tak menyadari kehadiranku. Dia terus mengetik dan dari belakang aku dapat membaca apa yang diketiknya. Dia lagi-lagi menulis tentang persetubuhan tokoh ‘aku’ dengan Nadia dengan begitu erotis. Aku menatap tiap huruf yang muntah, tiap kata yang lahir, dan tiap kalimat yang tercipta. Adegan persetubuhan itu seperti demikian gamblang di hadapanku dan suamiku tampak begitu menikmatinya. Darahku tiba-tiba mendidih. Kucabut pisau dari semangka dan kutusuk tengkuk suamiku hingga tembus ke lehernya. Darah segera muncrat ke mana-mana. Suamiku tercekat tapi tak mampu bersuara. Dia ingin berbalik ke arahku tapi ajal keburu datang. Sebuah kematian yang bahagia, menurutku saat itu, karena dia meninggal saat menulis, hal yang mungkin diidamkan oleh banyak pengarang.

Baru beberapa menit setelah kejadian itu, aku menyadari perbuatanku ini sebagai kekhilafan yang fatal. Aku tak bisa lagi menganulirnya. Aku menangis meraung-raung. Aku benar-benar kehilangan kendali atas jiwa dan ragaku. Aku telah membunuh orang yang begitu aku cintai dan begitu mencintai aku. Lalu aku tak sadarkan diri.

Dan di rumah sakit jiwa inilah aku berakhir. Tindakanku dianggap sebuah kegilaan yang tak mungkin dipidanakan.

Istri Pengarang

69

Sungguh, sebenarnya aku ingin dihukum mati saja agar tertebus rasa bersalahku.

Kutulis ceritaku ini padamu agar kau tahu penderitaan dan penyesalanku yang mendalam. Dan tentu kau tak usah bertanya mengenai tokoh Nadia karena dia memang benar-benar hantu. Tak akan kautemukan dia dalam kehidupan nyata. Dia murni fiksi karena hanya direka suamiku dari membalik suku kata namaku. Perlu banyak waktu dan pengorbanan untuk mengurai kesederhanaan nama ini. Dan aku tidak terlalu cerdas sebelum takdir buruk ini terjadi. Kecemburuan telah membutakan akal sehat dan logikaku.

Kutinggalkan catatan ini padamu agar ada lagi yang dapat kaupelajari perihal laku buruk cemburu. Selamat tinggal psikiater muda. Saat kaubaca tulisan ini mungkin kita telah berbeda dunia. Aku ingin segera bersatu kembali dengan suamiku. Semoga kau bahagia selalu. Sahabatmu, Diana.

*

Solo, 2011-12

Istri Pengarang

70

Puteri yang Menikahi Kecoak

PADA suatu ketika di Negeri Baratdaya hiduplah seorang puteri yang cantik jelita. Bahkan tak ada satu peri pun yang mampu menandingi keelokan parasnya karena konon saat dilahirkan dia secara tidak sengaja terkena sihir kosmetika. Bulu mata Dewi Kecantikan yang rontok saat bersolek di Dunia Langit jatuh ke wajah bayinya.

Tapi kecantikan yang keterlaluan ini membawa serta kekurangan yang tidak bisa ditutupi. Sorot mata dan gestur tubuh puteri ini sudah banyak menerangkan tentang dirinya yang angkuh dan tidak membumi. Ada aura kesombongan yang tidak terperi memancar dari tubuhnya. Dan benar, ketika dia bersuara kata-katanya kejam menyayat seperti belati berkarat. Sudah tak terhitung manusia yang terluka oleh ucapannya yang jauh lebih melukai daripada sebuah tamparan di keras pipi. Konon perangai buruk ini juga diperoleh sang puteri sejak lahir karena saat itu Dewa Halilintar bersin dan mengagetkan Dewi Kecantikan yang sedang bersolek. Jadilah kelebihan dan kekurangan ini satu paket dalam dirinya.

71

Raja dan permaisuri bukannya tidak mengetahui perangai buruk puteri tunggalnya ini tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa untuk mengubahnya. Puteri ini mahir sekali merajuk dan tentu kasih sayang mereka lebih besar dibanding ketakutan bila puteri tunggal mereka ini sakit hati. Maka tak ada satu pun harapan agar perangai puteri ini berubah. Bahkan kini di usianya yang sudah matang, meski cantik jelita, tak ada seorang manusia pun di negeri itu yang yakin bahwa akan ada sosok laki-laki yang mau menikahinya. Mereka yakin tak ada laki-laki di dunia ini yang memiliki kadar ketabahan yang mampu menerima sumpah serapah sang puteri, kecuali lelaki tuli yang lahir dan batin.

Sejauh ini perkiraan mereka terbukti. Jangankan dari golongan bangsawan baik hati dan sakti seperti pada kebanyakan dongeng, bahkan seorang pria jelata tinggi hati bermodal nekat pun tak ada yang menaruh hati padanya. Sementara daftar orang yang tersakiti oleh mulut sang puteri makin panjang dan saldo doa-doa buruk untuknya kian menumpuk. Tak pelak lagi, puteri ini telah ditahbiskan menjadi orang yang paling dibenci di negeri itu.

Dan cerita terus berderak. Suatu ketika datanglah seorang pertapa renta di negeri itu. Seluruh rambut lelaki itu telah memutih dan tubuhnya tampak begitu ringkih. Pertapa itu berjalan terbungkuk. Sebenarnya dia hanya numpang lewat di negeri itu. Tujuannya adalah gunung di ujung utara negeri itu. Gunung itu adalah gunung ketujuh dan terakhir yang akan dijadikannya tempat bertapa. Di masing-masing gunung, dia menjalani laku bertapa selama satu dasawarsa. Konon di gunung itu pula dia akan bertemu sigaran nyawa yang akan menggenapi hidupnya. Maka terbayanglah betapa tinggi kesaktian kakek pertapa ini. Konon dia mampu melipat baja hanya dengan

Puteri yang Menikahi Kecoak

72

menekuk lidahnya. Pada akhirnya garis nasib mempertemukan kakek pertapa

ini dengan sang puteri. Sudah menjadi kebiasaan puteri ini berkeliling kerajaan dengan kereta kencana. Semua pemakai jalan harus segera menepi. Jika ada yang terlambat menepi, sang puteri tak akan segan turun dari kereta dan menghukum penyelewengan kecil itu dengan caci maki yang berujung deraan siksa atau penjara. Dia akan menamai manusia malang itu sebagai pembangkang. Tentu saja si pertapa tua tak mengetahui hal ini. Dia berjalan perlahan di lajur semestinya yang sekiranya juga tidak mengganggu pemakai jalan lainnya. Puteri itu melihat ketenangan kakek itu dengan kemarahan yang mendidih di kepalanya. Dia turun dari keretanya dan suara pertama yang keluar darinya adalah bunyi ‘plakkk’. Ya, sang puteri langsung melayangkan tamparan ke wajah kakek petapa itu. Kakek itu bergeming dan tidak meladeni perlakuan kasar sang puteri. Dia terus melanjutkan langkah seperti tak ada sesuatu pun menimpa dirinya. Sang puteri bertambah gusar. Kini dia menyejajari kakek itu, mencaci maki dengan kasar sambil menunjuk-nunjuk muka kakek itu. Rakyat jelata di sepanjang jalan yang melihat hal itu hanya terdiam. Mereka merasa kasihan pada kakek itu tapi tak berani melakukan apa pun. Mereka hanya bisa mengelus dada hingga akhirnya puteri itu kelelahan sendiri dan tiba-tiba duduk bersimpuh di hadapan kakek itu. Pada saat itulah kakek itu menghentikan langkahnya dan berkata lembut pada sang puteri. Saat bicara bibirnya sama sekali tidak kelihatan bergerak, ”Tidur yang cukup akan mengubah perangaimu maka tidurlah sekarang dan ketika bangun nanti kau akan menemukan jodohmu karena hanya jodohmu itulah yang sanggup membangunkanmu.”

Tanpa disangka-sangka, puteri itu langsung tertidur di tengah

Puteri yang Menikahi Kecoak

73

jalan. Kakek itu meneruskan langkah lantas raib entah ke mana. Seluruh kerajaan gempar karena tak ada sesuatu dan seorang pun yang mampu membangunkan puteri itu. Meski telah diguyur air dan orang-orang berteriak lantang di telinganya tapi puteri itu tetap nyenyak dalam tidurnya. Raja dan permaisuri sangat berduka dan sudah putus asa. Mereka membangun sebuah kastil untuk tidur panjang sang puteri dan mempersilakan siapa saja yang berniat membangunkan sang puteri untuk datang ke sana. Imbalan bagi yang berhasil tidak main-main. Bila laki-laki akan diganjar menjadi raja pengganti yang berarti juga menikahi sang puteri, bila perempuan akan diganjar separuh negeri itu. Tapi sejak sayembara itu diumumkan hingga bertahun-tahun, kastil itu tetap sepi. Tak seorang pun tertarik dengan sayembara itu. Puteri itu tetap pulas dalam tidurnya. Waktu dan usia berhenti padanya. Dia tidak menua. Dalam lelapnya, kecantikan puteri itu merekah sempurna.

***

DI MASA yang sama, di negeri Timurlaut hiduplah seorang pangeran yang tampangnya biasa-biasa saja tapi kekurangajarannya luar biasa. Dia juga adalah putera tunggal dari raja dan permaisuri yang juga berarti putera mahkota. Tapi tak seorang pun di negeri itu yang benar-benar berharap dia akan menjadi raja karena ini berarti bencana besar bagi negeri itu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pangeran itu adalah sosok yang sama sekali tak mengenal tata kesopanan dan kesusilaan. Dia adalah manusia yang senang kencing di sembarang tempat.

Kencing di sembarang tempat saja mungkin masih bisa dimaklumi. Tapi pangeran ini juga senang kencing di sembarang

Puteri yang Menikahi Kecoak

74

orang. Bahkan ketidakwarasan ini lebih digemarinya. Pangeran ini lebih senang bila diam-diam mengencingi penjaga pintu yang sedang siaga seperti patung dari arah belakang daripada naik ke bangunan tertinggi kerajaan lalu kencing dari situ. Wajahnya lebih cerah ketika melihat rona terkejut si penjaga yang sangat geram tapi tak bisa marah daripada saat melihat air seninya meluncur seperti air terjun kecil, melenting ketika mengenai benda keras lalu mungkin juga akan menimpa orang yang kebetulan berada di bawahnya. Kekurangajarannya yang separuh gila ini tak ada yang bisa menghentikan. Raja dan permaisuri bukannya tidak tahu. Mereka merasa malu tapi rasa sayang terhadap putera satu-satunya ini seakan membunuh rasa malu itu. Mereka tak ingin melihat putera kesayangan mereka ini tersakiti hatinya. Mereka juga percaya bahwa perilaku buruk ini adalah kutukan yang tidak disengaja. Kata seorang cenayang kerajaan, konon pangeran ini lahir saat Dewi Kesopanan tanpa sengaja melihat Dewa Hujan buang air kecil di sudut langit. Dewi Kesopanan secara spontan memalingkan muka dan meludah. Ludahnya ini jatuh ke bumi merupa embun dan menimpa tubuh bayi sang pangeran. Keajaiban tak diharapkan inilah yang melempar kutuk pada pangeran sehingga kerap beser dan miskin rasa malu.

Korban kejahilan pangeran ini sudah menumpuk. Mulai dari rakyat jelata hingga sang Mahapatih. Mereka yang berada di sekitar pangeran tak boleh terlena. Karena begitu mereka lengah maka pangeran itu akan mengencingi mereka dari belakang. Kadang peristiwa ini menjadi lelucon yang mengharukan bagi orang yang menyaksikannya tapi menjadi dendam yang terpendam bagi para korbannya. Walaupun dia seorang pangeran dan makanannya senantiasa lezat dan terjaga tapi bau kencingnya tetap saja pesing. Dan tak ada manusia di muka bumi ini yang rela

Puteri yang Menikahi Kecoak

75

diguyur air hangat dan bersemu kuning itu. Kecuali bila kematian menjadi ancamannya. Mereka paham akan hukuman melawan kekurangajaran pangeran ini. Karena begitu sang pangeran tidak berkenan dan menjatuhkan tuduhan sebagai pembangkang maka itu berarti maut telah bertitah pada mereka.

Dan kisah terus mendesah. Pada suatu hari melintaslah seorang nenek pertapa di kerajaan itu. Tubuh nenek itu telah terbungkuk tapi rambutnya masih panjang meski kulitnya sudah keriput. Dia hanya musafir di kerajaan itu. Tujuannya adalah gunung di ujung selatan kerajaan itu. Itu adalah gunung terakhir dari serangkaian tujuh gunung yang harus dilaluinya dengan laku bertapa. Tiap gunung dijalani dengan sepuluh tahun bertapa. Konon di gunung itu nanti dia akan menemukan pasangan jiwa yang akan menyempurnakan keberadaannya. Maka terbayanglah kesaktian nenek pertapa ini. Konon dia mampu mendidihkan air hanya dengan tatapan matanya.

Nasib mempertemukan sang pangeran dan nenek pertapa. Tempatnya di jalanan kotaraja. Nenek itu berjalan perlahan sedang sang pangeran berkuda mencari mangsa untuk melampiaskan kekurangajarannya. Ya, di masa damai seperti ini, apa yang bisa dilakukan seorang pangeran selain bermalas-malasan dan menyalurkan bakat terkutuknya. Dan di jalan itu, pangeran melihat si nenek pertapa yang tampak tak berdaya lalu timbul ide kurang ajar dalam benaknya. Dia telah mengencingi banyak orang tapi belum pernah mengencingi orang serenta nenek itu. Tentu ini akan menjadi sensasi yang luar biasa baginya. Sang pangeran turun dari kuda lalu berjalan mengendap di belakang nenek tua itu. Rakyat jelata di sepanjang jalan hanya terdiam menyaksikan tingkah pangeran itu. Mereka tahu apa yang akan dilakukannya. Sebuah kekurangajaran yang keterlaluan. Tapi mereka hanya

Puteri yang Menikahi Kecoak

76

sanggup memeram kegeraman dalam dada. Nenek itu tetap berjalan seperti biasa seakan tidak tahu ada

pemuda gila yang diam-diam ingin mengencinginya dari belakang. Sang pangeran segera menyalurkan tenaga dan air seninya mengucur deras mengguyur bagian belakang tubuh nenek itu. Tapi anehnya pakaian si nenek tidak basah sedikit pun. Sang pangeran menjadi heran bukan main hingga akhirnya persediaan air seninya yang melimpah habis dan justru pakaian mewahnya yang basah kuyup dan berbau pesing. Nenek itu menghentikan langkah tiba-tiba sehingga sang pangeran menabraknya dari belakang tapi justru pangeran itu yang terjerembab. Dengan halus nenek itu berkata, “Mungkin dengan terbang kau bisa menjadi pengencing petualang dan menyadari betapa bejatnya kelakuanmu selama ini. Kau akan menjadi manusia lagi jika kencingmu bermanfaat bagi seseorang. Temukan orang itu.”

Setelah menuntaskan kata-katanya nenek itu melanjutkan langkah dan menghilang entah ke mana. Sedang tubuh pangeran yang terjerembab tiba-tiba juga ikut menghilang dan ini menggemparkan seluruh negeri Timurlaut. Sesungguhnya tubuh pangeran itu tidak hilang tapi mengerut secara cepat dan tiba-tiba menjadi seekor kecoak. Dan dia telah berteriak kepada semua orang tapi tak seorang pun yang mendengar apalagi paham bahasa seekor kecoak. Tapi ucapan nenek pertapa itu telah terekam jelas di telinganya. Dia harus mencari seorang yang membutuhkan kencingnya yang akan membebaskannya dari belenggu kutukan ini. Maka dia segera terbang karena setiap manusia telah menjadi raksasa dan dia tak ingin mati konyol oleh injakan mereka. Diam-diam dia juga merasa senang karena bisa terbang bebas dengan telanjang.

Puteri yang Menikahi Kecoak

77

***

PERJALANAN yang panjang dan melelahkan. Bertahun-tahun pangeran itu terbang dan mengencingi banyak orang tapi tak ada kebaikan lahir dari kencingnya itu. Dia belum juga menemukan seseorang yang akan membebaskannya dari kutukan. Dia hanya memiliki kesempatan mengencingi seseorang saat orang itu tidur karena itu tidak akan mengancam keselamatannya. Tapi begitu manusia yang menjadi korbannya itu bangun hanya akan terdengar umpatan marah karena ada sesuatu yang pesing merembes tiba-tiba. Dia juga paham jika kencingnya mengenai bagian bibir maka akan timbul bentol pada bibir manusia itu lalu disusul makian, “Keparat, bangun tidur bibirku bentol, pasti ini dikencingi kecoak.”

Antara jenaka dan tertusuk lara, dia meninggalkan orang marah itu. Lalu mengencingi orang tidur lainnya. Sebisa mungkin dia akan kencing di bibirnya untuk menyeimbangkan perasaan bila ternyata lagi-lagi mengencingi orang yang salah.

Pada akhirnya nasib membimbing sayap cokelat mengilatnya ke kastil puteri tidur itu. Pangeran itu terkesima melihat kecantikan puteri yang tidur pulas itu. Tentu saja naluri kencingnya langsung terangsang dan dia ingin sekali mengencingi bibir merah merekah itu. Tapi kali ini ada yang berbeda. Tiba-tiba saja pangeran itu ingin berdoa sebelum kencing. Hal yang tak pernah dia lakukan sebelumnya.

Dan malam dengan segenap kesunyiannya menjadi saksi betapa keajaiban terjadi di kastil sepi itu. Setelah tetes terakhir air seni menerpa bibir puteri itu, sang puteri bergerak-gerak bangun dan tubuh sang pangeran membesar. Setelah beberapa saat, di ruangan kastil itu telah berdiri seorang pangeran dengan tampang

Puteri yang Menikahi Kecoak

78

biasa-biasa saja yang berpakaian lengkap dan seorang puteri cantik jelita yang telah terjaga sepenuhnya. Hal yang melintas pertama kali di benak mereka adalah ucapan terakhir dari pertapa yang mengutuk mereka. Mereka seakan saling menemukan sosok yang tepat, yang membebaskan dari belenggu kutukan.

Dengan halus puteri itu bertanya pada pangeran di depannya, “Terima kasih kau telah membangunkanku dari tidur panjang berarti kau harus menjadi suamiku. Siapa dirimu itu dan bagaimana tadi kau membangunkanku?”

Sang pangeran hanya tersenyum lalu mengangguk setuju. Tapi tentu dia tak akan menjawab pertanyaan tentang caranya membangunkan puteri itu. Biarlah ini menjadi rahasia jenaka yang disimpannya sendiri. Biarlah puteri itu tetap beranggapan bahwa dia adalah puteri tidur seperti dalam dongeng yang dibangunkan oleh sebuah ciuman hangat. Pangeran itu menerangkan jati dirinya dengan riang. Senyum pangeran itu kian lebar ketika membayangkan kelak saat puteri cantik jelita yang sopan budi bahasanya itu menjadi istrinya dan menasihati anak mereka dengan halus, “Jangan pipis sembarangan ya!”

*

Solo, 2012

Puteri yang Menikahi Kecoak

80

Perihal Penulis

Gunawan Tri Atmodjo lahir di Solo pada 1 Mei 1982. Alumnus Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS Surakarta program studi Sastra Indonesia. Puisi dan cerpennya dipublikasikan di Horison, Suara Merdeka, Femina, Solopos, Minggu Pagi, Cempaka, Majalah Sagang, Majalah Esquire, Majalah Basis, Joglosemar, Koran Opini, dan sejumlah jurnal kebudayaan. Memenangkan beberapa kali lomba penulisan sastra di antaranya Juara 1 lomba Cerpen Tuk Padas Publishing 2011, Juara 2 lomba Cerpen SOLOPOS 2011, Juara 3 Lomba Cerpen FEMINA 2010, Cerpen Terbaik Majalah Horison Jakarta 2004, Pemenang II Lomba Tulis Puisi Kemanusiaan Komunitas Sastra Indonesia 2008, dan lain-lain. Acap diundang dalam berbagai gelaran sastra tingkat nasional, seperti diundang baca cerpen dalam Temu Sastrawan Indonesia 4 di Ternate, Maluku Utara tahun 2011 dan baca puisi di Pertemuan Penyair Nusantara VI Jambi tahun 2012.