s2-2014-343275-chapter1-1
DESCRIPTION
thesisTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota Denpasar pada awalnya merupakan pusat Kerajaan Badung yang
tetap menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Badung setelah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dideklarasikan pada tahun 1945. Sejak tahun
1958, Kota Denpasar menjadi pusat pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
Sejak menjadi pusat pemerintahan, baik Pemerintah Daerah Tingkat II Badung
maupun menjadi Ibu Kota Provinsi Daerah Tingkat I Bali, Kota Denpasar
mengalami pertumbuhan yang pesat, baik lingkungan fisikal maupun lingkungan
sosial dan budaya (Visi Misi Kota Denpasar, 2010-2015).
Keadaan fisik Kota Denpasar telah mengalami pertumbuhan pesat bersama
dengan kemajuan pembangunan Kota Denpasar, misalnya gaya hidup masyarakat
setempat yang menunjukkan ciri-ciri dan sifat masyarakat perkotaan serta
bertransformasi menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan, dan
industri terutama industri pariwisata. Kompleksitas aktivitas yang semakin
bertambah sehingga status Kota Denpasar ditingkatkan menjadi Kota
Administratif yang terdiri atas tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Barat,
Denpasar Timur, dan Denpasar Selatan. Melihat perkembangan Kota
Administratif Denpasar yang sangat pesat dalam berbagai sektor sehingga sudah
waktunya dibentuk pemerintahan kota yang mempunyai wewenang otonomi
untuk mengatur dan mengurus daerah perkotaan. Dengan demikian, permasalahan
kota dapat ditangani lebih cepat dan tepat seiring dengan kebutuhan masyarakat
2
perkotaan dalam hal pelayanan yang semakin kompleks (Visi Misi Kota
Denpasar, 2010-2015).
Berdasarkan kondisi objektif dan berbagai pertimbangan yang cermat,
Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Bali dan Pemerintahan Daerah Tingkat II
Badung sepakat mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk meningkatkan
status Kota Administratif Denpasar menjadi Kota Denpasar. Usul tersebut
direspon positif oleh pemerintah pusat dengan menerbitkan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kota Denpasar pada tanggal 15
Januari 1992 dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 27 Februari
1992. Sejak saat itu Kota Denpasar memasuki babak baru dalam penyelenggaraan
Pemerintahan di Provinsi Daerah Tingkat I Bali, Kabupaten Daerah Tingkat II
Badung, dan bagi Pemerintahan Kota Denpasar sendiri. Dikatakan demikian
karena sejak saat itu Provinsi Daerah Tingkat I Bali terdiri atas sembilan Daerah
Tingkat II (Visi Misi Kota Denpasar, 2010-2015).
Sejalan dengan pesatnya pembangunan pada berbagai bidang kehidupan
mendorong Pemerintah Kota Denpasar melakukan pemekaran wilayah menjadi
empat kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Timur, Denpasar Selatan, Denpasar
Barat, dan Denpasar Utara. Pembagian wilayah pemerintahan ini bertujuan untuk
meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat Kota Denpasar yang
membutuhkan kualitas dan kuantitas pelayanan terbaik (Visi Misi Kota Denpasar,
2010-2015).
Kota Denpasar terletak di tengah-tengah Pulau Bali, selain merupakan ibu
kota Provinsi, sekaligus menjadi pusat pemerintahan, pendidikan, perekonomian,
3
pariwisata, dan pusat-pusat kegiatan lainnya. Letak tersebut sangat strategis, baik
dari segi ekonomi maupun kepariwisataan karena merupakan titik sentral berbagai
kegiatan, sekaligus sebagai penghubung antara kabupaten lainnya. Berikut adalah
perbatasan Kota Denpasar:
Sebelah Utara : Kecamatan Mengwi dan Abiansemal (Kabupaten Badung)
Sebelah Timur : Kecamatan Sukawati (Kabupaten Gianyar) dan Selat Badung
Sebelah Selatan : Kecamatan Kuta Selatan (Kabupaten Badung) dan Teluk
Benoa
Sebelah Barat : Kecamatan Kuta Utara dan Kuta (Kabupaten Badung)
Tabel 1.1 Kecamatan, Desa/Kelurahan dan Luas Lahan Wilayah
di Kota Denpasar
No Nama Kecamatan Jumlah Desa dan
Kelurahan
Luas Wilayah
(Km²)
1 Denpasar Timur 11 22,54
2 Denpasar Utara 11 31,12
3 Denpasar Barat 11 24,13
4 Denpasar Selatan 10 49,99
Jumlah 43 127,78 Sumber: Denpasar Dalam Angka, 2012
Status Kota Denpasar sebagai pusat kebudayaan dan pariwisata di Provinsi
Bali berimplikasi pada pertumbuhan perekonomian yang pesat sehingga
mendorong peningkatan jumlah penduduk yang tinggal di Kota Denpasar. Dengan
demikian, secara garis besar menimbulkan permasalahan tata ruang kota, di
antaranya adalah (RTRW Kota Denpasar, 2010-2030).
1. Bertambahnya kebutuhan lahan baru untuk permukiman dalam rangka
menampung pertumbuhan penduduk yang demikian cepat dan hal ini
4
menimbulkan meningkatnya kepadatan di Kota Denpasar serta adanya proses
densifikasi permukiman ke kawasan pinggiran kota (urban sprawl).
2. Tingginya pertambahan jumlah penduduk terutama pendatang, membutuhkan
tambahan sarana dan prasarana perkotaan serta lapangan kerja yang
mencukupi.
3. Besarnya potensi alih fungsi lahan sawah irigasi, akibat tuntutan permukiman
dan kegiatan produktif lainnya yang membutuhkan ruang, namun di sisi lain
banyak terdapat lahan tidur yang belum dimanfaatkan.
4. Kemacetan lalu lintas pada beberapa ruas jalan utama yang disebabkan
kurangnya dukungan sistem infrastruktur terutama jaringan jalan dan terus
menambahnya kepemilikan kendaraan serta bercampurnya arus lalu lintas
regional dan lokal pada kawasan perkotaan di Kota Denpasar dan sekitarnya.
5. Makin mendominasinya kawasan perdagangan dan jasa pada jalan-jalan utama
di Kota Denpasar, sehingga Kota Denpasar terkesan cenderung menjadi kota
perdagangan dari pada kota budaya.
6. Maraknya pelanggaran-pelanggaran terhadap kawasan-kawasan perlindungan
setempat seperti kawasan sempadan pantai, Ruang Terbuka Hijau (RTH),
sempadan jalan, sempadan sungai, serta radius kawasan suci dan tempat suci.
7. Mulai berkurangnya kualitas pelayanan air bersih, persampahan, air limbah,
drainase akibat daya tampung jaringan yang ada beberapa di antaranya telah
mencapai kapasitasnya.
5
8. Makin memudarnya wajah tata ruang bernuansa budaya Bali baik tata
lingkungan, konsep catuspatha, tata bangunan maupun wajah arsitektur Bali
yang merupakan jati diri unik kota-kota di Bali.
9. Belum adanya pengaturan tentang pemanfaatan ruang wilayah perairan dan
laut sesuai batas kewenangan 4 mil laut untuk pemerintah Kota/Kabupaten.
10. Belum tertuangnya penerapan konsep-konsep mitigasi bencana dalam penataan
ruang wilayah Kota Denpasar.
Semenjak berlakunya UU PDRD, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) mampu bersaing dengan Pajak Hotel, Restoran dan Hiburan
(PHR) terhadap penerimaan Kota Denpasar yang meningkat dua kali lipat.
Menurut data yang dilaporkan Dispenda Kota Denpasar dijelaskan bahwa sebelum
berlakunya UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(PDRD), komponen Penerimaan Asli Daerah (PAD) yang paling besar
sumbangannya adalah pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan. Akan tetapi,
sejak pemerintah daerah diberikan kewenangan memungut dan mengelola
BPHTB secara mandiri sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut, komposisinya
mengalami perubahan atau mengalami pergeseran. Perolehan bagi hasil BPHTB
yang diperoleh dari Dispenda Kota Denpasar sebelum 2011 adalah sekitar Rp60
miliar. Setelah UU PDRD diberlakukan, dari target dispenda Rp71,5miliar,
terealisasi pada tahun 2011 mencapai Rp126 miliar. Oleh karena itu, yang menjadi
kebanggaan bagi Dispenda sekarang ini bukan lagi pajak hotel, restoran dan
hiburan, akan tetapi BPHTB yang paling dominan (Dispenda Kota Denpasar,
2012).
6
Sebelum ada UU PDRD, daerah hanya mendapat jatah 64,8 persen dari
total setoran BPHTB. Akan tetapi, setelah ketentuan perundangan diberlakukan
daerah menguasai 100 persen atau seluruh setoran BPHTB. Oleh karena itu pada
tahun 2012, target pendapatan pemerintah Kota Denpasar dari BPHTB direvisi,
dari Rp84 miliar di APBD 2012 menjadi Rp95 miliar di APBDP (Dispenda Kota
Denpasar, 2012). Hal ini dikarenakan target BPHTB tahun sebelumnya terpaut
jauh lebih rendah dari realisasi perolehannya. Di sisi lain, upaya pencapaian target
BPHTB seringkali menghadapi kendala, seperti tidak tersedianya data terkait
administrasi jual beli yang pada akhirnya perolehan BPHTB tidak dapat diprediksi
secara akurat dan pelaku pasar properti cenderung melakukan spekulasi. Akan
tetapi, jika mempertimbangkan pertumbuhan investasi bisnis properti di Denpasar,
terdapat potensi pendapatan yang cukup besar dari transaksi jual beli lahan dan
bangunan. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi perpindahan tangan kepemilikan
objek yang dikenakan BPHTB.
Dinas Pendapatan Kota Denpasar mencatat akumulasi pajak daerah selama
paruh pertama 2012 mencapai Rp153,89 miliar atau 60,6 persen dari target
Rp253,8 miliar di APBD 2012. BPHTB menjadi kontributor utama sebesar
Rp53,38 miliar atau 63,54 persen dari target Rp84 miliar. Secara nominal
sumbangan BPHTB tahun 2012 lebih besar dibandingkan tahun 2011 yang hanya
Rp49,3 miliar (Dispenda Kota Denpasar, 2012).
7
Sumber: UPT. BPHTB Dispenda Kota Denpasar, 2013
Gambar 1.1 Laporan Legalisir SSPD BPHTB, 2013
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa penerimaan BPHTB selalu mengalami
peningkatan di tahun 2013, meskipun beberapa kali mengalami penurunan seperti
di akhir bulan Mei, Agustus, Oktober, dan November. Nilai BPHTB terus
mengalami peningkatan dari masa berlakunya UU PDRD khususnya PERDA No.
7 Tahun 2010 tentang BPHTB. Hal ini juga dapat dilihat pada Tabel 1.2 berikut
ini:
Tabel 1.2 Jumlah Wajib Pajak dan Realisasi, 2011-2013
No. Tahun Jumlah WP Target (Rp.) Realisasi (Rp.)
1 2011 9.738 71.500.000.000.00 126.565.758.710.00
2 2012 10.570 95.000.000.000.00 148.400.285.380.00
3 2013 10.824 131.500.000.000.00 158.907.687.603.00 Sumber: Laporan Tahunan UPT. BPHTB Dispenda Kota Denpasar, 2013
Tabel 1.2 di atas menunjukkan bahwa jumlah realisasi penerimaan pajak
BPHTB terus meningkat dari tahun ke tahun, di mana pada tahun 2012 meningkat
sebesar 17,25 persen (yoy) dan tahun 2013 sebesar 7,08 persen (yoy). Lebih
lanjut, gap terbesar diperoleh pada tahun 2011 di mana realisasi pajak yang
diterima mencapai 177,01 persen dari target yang telah dicanangkan. Pada tahun
2012 dan 2013 mencapai 156,21 persen dan 120,84 persen. Peningkatan jumlah
wajib pajak jelas akan sejalan dengan peningkatan nilai target penerimaan dan
realisasi penerimaan BPHTB tersebut. Akan tetapi, hal ini patut dicermati ulang
8
dari pasar jual-beli properti di Kota Denpasar. Kepentingan dalam hal ini tidak
hanya untuk kepentingan nominal target perolehan Dispenda, akan tetapi juga
untuk optimalisasi PAD. Pasar properti yang ditengarai semakin meningkat setiap
tahunnya, memicu beberapa kecurangan-kecurangan yang terjadi di lapangan. Hal
ini bisa saja terjadi antarpihak, dengan tidak dilaporkannya nilai yang seharusnya
menjadi harga jual properti.
Menurut Novie (2012) data yang terhimpun dari Notaris PPAT,
agen/broker properti, masyarakat maupun media masa seringkali menunjukkan
harga yang berbeda satu sama lain karena perbedaan kepentingan. Sering terjadi
penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara melaporkan harga
transaksi yang lebih rendah dari harga sebenarnya kepada Notaris PPAT dengan
tujuan membayar pajak dengan nilai yang lebih rendah. Penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi dalam pembayaran pajak properti sering diteliti
dengan menggunakan analisis rasio, yaitu menggunakan Assessment Sales Ratio
(ASR). Selanjutnya penelitian tersebut juga pernah dilakukan oleh beberapa
peneliti sebelumnya, hal ini dikarenakan banyak kecurangan-kecurangan yang
terjadi di lapangan, beberapa di antaranya adalah Kholilah (2005) yang meneliti di
daerah Palembang, Pamungkas (2009) yang meneliti di daerah Tegal, dan
Sugiarto (2002) yang meneliti di daerah Karanganyar. Penelitian-penelitian
sebelumnya tersebut, juga menggunakan analisis ASR untuk mencapai tujuan
penelitian. Hal ini dikarenakan menurut Novie (2012), Kholilah (2005),
Pamungkas (2009), dan Sugiarto (2002) sudah sesuai dalam menjawab tujuan
penelitian, dengan memunculkan beberapa indikasi kecurangan yang terjadi di
9
lapangan. Berdasarkan kajian tersebut, penelitian serupa perlu dilakukan di Kota
Denpasar, karena penelitian terkait belum pernah dilakukan di Kota Denpasar
sehingga dapat diketahui dampaknya terhadap optimalisasi BPHTB, yang pada
akhirnya akan berdampak juga pada optimalisasi PAD di Kota Denpasar.
1.2 Keaslian Penelitian
Dalam membangun penelitian ini, peneliti mencoba merujuk kepada
beberapa literatur yang menjadi acuan. Beberapa literatur yang digunakan dalam
penelitian ini mempunyai tujuan penelitian yang hampir sama, yaitu untuk menilai
assessment ratio suatu daerah, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Penelitian Elriza (2013) bertujuan untuk menganalisis kesesuaian antara nilai
transaksi properti dengan NJOP yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak dalam
meningkatkan penerimaan PBB. Teknik analisis data yang digunakan adalah
Assessment Sales Ratio (ASR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
berdasarkan hasil pengukuran tendensi sentral memberi indikasi bahwa dalam
penetapan NJOP di Kecamatan Sario terjadi Underassessment atau berada di
bawah nilai pasar, karena tidak berada dalam interval standar yang
direkomendasikan IAAO.
2. Penelitian Novie dan Sandra (2012) bertujuan untuk mengetahui apakah
Assessment Ratio (AR) pada masing-masing kelurahan di Kecamatan Kelapa
Gading sudah sesuai dengan Assessment Ratio (AR) yang ditetapkan oleh
Dirjen Pajak. Penelitian ini menggunakan metoda Assessment Sales Ratio.
Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa Assessment ratio di kelapa
10
gading telah sesuai dengan assessment ratio yang ditetapkan serta masih dalam
interval standar IAAO.
3. Penelitian Narwanta (2012) yang bertujuan untuk memperoleh bukti empiris
perihal ada tidaknya penggelapan pajak transaksi properti. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa meskipun peluang terdeteksinya tindakan penggelapan
relatif sangat rendah, ternyata tidak semua wajib pajak memanfaatkan keadaan
ini. Penelitian ini mencatat sekitar 21,6 persen wajib pajak membayar secara
relatif jujur, walaupun tidak sepenuhnya jujur.
4. Penelitian Pamungkas (2009) yang bertujuan untuk menganalisis tingkat
Assessment Ratio Tanah Kota Tegal Tahun 2008-2009. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penetapan Assessment Ratio di kelompok properti
kampung dan perumahan tidak ditetapkan secara seragam. Terdapat
regresivitas terhadap penerapan Assessment Ratio dan terjadi Underassessment.
5. Leksono, Susilowati, dan Sukmono (2008) melakukan analisis statistik dengan
metoda analisis spasial dan Jaringan Syaraf Tiruan (JST). Nilai Price-Related
Differential (PRD) menunjukkan bahwa prediksi nilai tanah model mendekati
nilai tanah sebenarnya. Nilai Coefficient of Dispersion (COD) menunjukkan
bahwa tingkat seragam nilai tanah model sama.
6. Payton (2006) melakukan studi empirik mengenai Assessment Ratio di Indiana
University-Purdue University-Indianapolis-USA. Hasil evaluasi menunjukkan
bahwa jika properti under-assessed maka owner membayar lebih sedikit
daripada kewajiban yang harus dibayar, begitu sebaliknya jika properti over-
assessed maka owner membayar lebih tinggi daripada kewajiban yang dibayar.
11
7. Youngman dan Malme (2005) melakukan analisis statistik stabilitas pajak
properti pada fluktuasi pasar real estate. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa pemutakhiran data properti bagi kepentingan pajak akan dapat
memprediksi dan menjaga kestabilan ketetapan pajak pada pasar real estate.
8. Kholilah (2005) melakukan studi Assessment Ratio. Variabel yang diteliti
adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Assessment Ratio di Kecamatan Sako dan Kecamatan Seberang Ulu I Kota
Palembang tidak ditetapkan secara seragam, under-assessment, dan
mempunyai karakteristik dan kecenderungan yang regresif.
Beberapa penelitian di atas yang menjadi acuan dalam melakukan
penelitian ini menggunakan data NJOP. Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya adalah penggunaan data NPOP untuk menjawab tujuan
penelitian. Penelitian ini juga belum pernah diadakan di Kota Denpasar, karena
pemberlakuan BPHTB baru saja pada tahun 2011. Metoda yang digunakan dalam
penelitian ini sama seperti yang telah digunakan oleh beberapa peneliti
sebelumnya, yaitu dengan menggunakan Assessment Sales Ratio (ASR).
1.3 Rumusan Masalah
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan dilakukannya penelitian ini,
di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Beberapa temuan penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat Assessment
Ratio masih belum mencapai standar dari Pemerintah SE-09/PJ.06/2003, yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas (2009) dan Kholilah (2005).
12
2. Terdapat beberapa penyimpangan-penyimpangan dalam proses pelaporan
harga transaksi properti tanah dari masyarakat kepada Notaris PPAT, seperti
dalam penelitian Novie dan Sandra (2012).
3. Beberapa penelitian masih ditemukan menggunakan Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) sebagai referensi dalam penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak
(NPOP), padahal dalam hal ini NJOP menunjukkan angka yang lebih rendah
dari indikasi nilai pasar. Hal ini yang pada akhirnya akan sangat berpengaruh
dalam penentuan nilai Assessment Ratio.
1.4 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat
diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut: bagaimana tingkat assessment
ratio Kota Denpasar berdasar pada SE-09/PJ.06/2003; bagaimana tingkat
keseragaman penentuan NPOP dari pergerakan indikasi nilai pasar properti tanah
di Kota Denpasar.
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas. maka tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. untuk menganalisis tingkat assessment ratio di Kota Denpasar berdasar pada
SE-09/PJ.06/2003;
2. untuk menganalisis tingkat keseragaman penentuan NPOP dari pergerakan
indikasi nilai pasar properti tanah di Kota Denpasar.
1.6 Manfaat Penelitian
13
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini di antaranya adalah sebagai
berikut:
1. Pengambil Kebijakan
Bagi pengambil kebijakan, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
sistem informasi yang berguna bagi SKPD di Pemerintah Kota Denpasar yang
mempergunakan data NPOP dan transaksi BPHTB dalam menentukan
kebijakan, khususnya Dispenda Kota Denpasar agar mempunyai data akurat,
standar yang mendekati kondisi pasar, dapat dipertanggungjawabkan secara
akademik dan peraturan perundangan yang berlaku, sehingga mampu menjadi
acuan dan sebagai pedoman dalam penyempurnaan mekanisme untuk
mengoptimalisasikan penerimaan PAD dari sektor BPHTB.
2. Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini secara umum dapat memberikan tambahan wawasan keilmuan
ekonomi pembangunan di pemerintah daerah. Manfaat khusus bagi ilmu
pengetahuan di bidang ekonomi pembangunan yakni dapat melengkapi kajian
peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui sektor BPHTB, juga dalam upaya
mengantisipasi program pembangunan sebagai dampak dari pertumbuhan
ekonomi yang berkembang pada beberapa wilayah di Kota Denpasar.
1.7 Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun menjadi 4 (empat) bab, dengan sistematika sebagai
berikut: Bab I Pendahuluan terdiri dari latar belakang, keaslian penelitian, tujuan
14
dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian. Bab II Tinjauan Pustaka dan
Alat Analisis terdiri dari tinjauan pustaka yang disadur dari berbagai buku, jurnal,
dan sumber literature lainnya. Landasan teori yang berisi berbagai konsep, teori,
peraturan perundang-undangan, maupun model yang diacu dalam penelitian, serta
alat analisis yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Bab III
Analisis dan Pembahasan terdiri dari metoda penelitian, analisis dan pengolahan
data disertai pembahasannya. Bab IV Kesimpulan dan Saran terdiri dari
kesimpulan hasil analisis, implikasi, keterbatasan dan saran peneliti atas hasil
penelitian yang diperoleh.