s2-2014-343275-chapter1-1

14
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Denpasar pada awalnya merupakan pusat Kerajaan Badung yang tetap menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Badung setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia dideklarasikan pada tahun 1945. Sejak tahun 1958, Kota Denpasar menjadi pusat pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Sejak menjadi pusat pemerintahan, baik Pemerintah Daerah Tingkat II Badung maupun menjadi Ibu Kota Provinsi Daerah Tingkat I Bali, Kota Denpasar mengalami pertumbuhan yang pesat, baik lingkungan fisikal maupun lingkungan sosial dan budaya (Visi Misi Kota Denpasar, 2010-2015). Keadaan fisik Kota Denpasar telah mengalami pertumbuhan pesat bersama dengan kemajuan pembangunan Kota Denpasar, misalnya gaya hidup masyarakat setempat yang menunjukkan ciri-ciri dan sifat masyarakat perkotaan serta bertransformasi menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan, dan industri terutama industri pariwisata. Kompleksitas aktivitas yang semakin bertambah sehingga status Kota Denpasar ditingkatkan menjadi Kota Administratif yang terdiri atas tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar Timur, dan Denpasar Selatan. Melihat perkembangan Kota Administratif Denpasar yang sangat pesat dalam berbagai sektor sehingga sudah waktunya dibentuk pemerintahan kota yang mempunyai wewenang otonomi untuk mengatur dan mengurus daerah perkotaan. Dengan demikian, permasalahan kota dapat ditangani lebih cepat dan tepat seiring dengan kebutuhan masyarakat

Upload: kurnia-prawesti

Post on 02-Feb-2016

223 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

thesis

TRANSCRIPT

Page 1: S2-2014-343275-chapter1-1

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota Denpasar pada awalnya merupakan pusat Kerajaan Badung yang

tetap menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Badung setelah

Negara Kesatuan Republik Indonesia dideklarasikan pada tahun 1945. Sejak tahun

1958, Kota Denpasar menjadi pusat pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.

Sejak menjadi pusat pemerintahan, baik Pemerintah Daerah Tingkat II Badung

maupun menjadi Ibu Kota Provinsi Daerah Tingkat I Bali, Kota Denpasar

mengalami pertumbuhan yang pesat, baik lingkungan fisikal maupun lingkungan

sosial dan budaya (Visi Misi Kota Denpasar, 2010-2015).

Keadaan fisik Kota Denpasar telah mengalami pertumbuhan pesat bersama

dengan kemajuan pembangunan Kota Denpasar, misalnya gaya hidup masyarakat

setempat yang menunjukkan ciri-ciri dan sifat masyarakat perkotaan serta

bertransformasi menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan, dan

industri terutama industri pariwisata. Kompleksitas aktivitas yang semakin

bertambah sehingga status Kota Denpasar ditingkatkan menjadi Kota

Administratif yang terdiri atas tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Barat,

Denpasar Timur, dan Denpasar Selatan. Melihat perkembangan Kota

Administratif Denpasar yang sangat pesat dalam berbagai sektor sehingga sudah

waktunya dibentuk pemerintahan kota yang mempunyai wewenang otonomi

untuk mengatur dan mengurus daerah perkotaan. Dengan demikian, permasalahan

kota dapat ditangani lebih cepat dan tepat seiring dengan kebutuhan masyarakat

Page 2: S2-2014-343275-chapter1-1

2

perkotaan dalam hal pelayanan yang semakin kompleks (Visi Misi Kota

Denpasar, 2010-2015).

Berdasarkan kondisi objektif dan berbagai pertimbangan yang cermat,

Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Bali dan Pemerintahan Daerah Tingkat II

Badung sepakat mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk meningkatkan

status Kota Administratif Denpasar menjadi Kota Denpasar. Usul tersebut

direspon positif oleh pemerintah pusat dengan menerbitkan Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kota Denpasar pada tanggal 15

Januari 1992 dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 27 Februari

1992. Sejak saat itu Kota Denpasar memasuki babak baru dalam penyelenggaraan

Pemerintahan di Provinsi Daerah Tingkat I Bali, Kabupaten Daerah Tingkat II

Badung, dan bagi Pemerintahan Kota Denpasar sendiri. Dikatakan demikian

karena sejak saat itu Provinsi Daerah Tingkat I Bali terdiri atas sembilan Daerah

Tingkat II (Visi Misi Kota Denpasar, 2010-2015).

Sejalan dengan pesatnya pembangunan pada berbagai bidang kehidupan

mendorong Pemerintah Kota Denpasar melakukan pemekaran wilayah menjadi

empat kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Timur, Denpasar Selatan, Denpasar

Barat, dan Denpasar Utara. Pembagian wilayah pemerintahan ini bertujuan untuk

meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat Kota Denpasar yang

membutuhkan kualitas dan kuantitas pelayanan terbaik (Visi Misi Kota Denpasar,

2010-2015).

Kota Denpasar terletak di tengah-tengah Pulau Bali, selain merupakan ibu

kota Provinsi, sekaligus menjadi pusat pemerintahan, pendidikan, perekonomian,

Page 3: S2-2014-343275-chapter1-1

3

pariwisata, dan pusat-pusat kegiatan lainnya. Letak tersebut sangat strategis, baik

dari segi ekonomi maupun kepariwisataan karena merupakan titik sentral berbagai

kegiatan, sekaligus sebagai penghubung antara kabupaten lainnya. Berikut adalah

perbatasan Kota Denpasar:

Sebelah Utara : Kecamatan Mengwi dan Abiansemal (Kabupaten Badung)

Sebelah Timur : Kecamatan Sukawati (Kabupaten Gianyar) dan Selat Badung

Sebelah Selatan : Kecamatan Kuta Selatan (Kabupaten Badung) dan Teluk

Benoa

Sebelah Barat : Kecamatan Kuta Utara dan Kuta (Kabupaten Badung)

Tabel 1.1 Kecamatan, Desa/Kelurahan dan Luas Lahan Wilayah

di Kota Denpasar

No Nama Kecamatan Jumlah Desa dan

Kelurahan

Luas Wilayah

(Km²)

1 Denpasar Timur 11 22,54

2 Denpasar Utara 11 31,12

3 Denpasar Barat 11 24,13

4 Denpasar Selatan 10 49,99

Jumlah 43 127,78 Sumber: Denpasar Dalam Angka, 2012

Status Kota Denpasar sebagai pusat kebudayaan dan pariwisata di Provinsi

Bali berimplikasi pada pertumbuhan perekonomian yang pesat sehingga

mendorong peningkatan jumlah penduduk yang tinggal di Kota Denpasar. Dengan

demikian, secara garis besar menimbulkan permasalahan tata ruang kota, di

antaranya adalah (RTRW Kota Denpasar, 2010-2030).

1. Bertambahnya kebutuhan lahan baru untuk permukiman dalam rangka

menampung pertumbuhan penduduk yang demikian cepat dan hal ini

Page 4: S2-2014-343275-chapter1-1

4

menimbulkan meningkatnya kepadatan di Kota Denpasar serta adanya proses

densifikasi permukiman ke kawasan pinggiran kota (urban sprawl).

2. Tingginya pertambahan jumlah penduduk terutama pendatang, membutuhkan

tambahan sarana dan prasarana perkotaan serta lapangan kerja yang

mencukupi.

3. Besarnya potensi alih fungsi lahan sawah irigasi, akibat tuntutan permukiman

dan kegiatan produktif lainnya yang membutuhkan ruang, namun di sisi lain

banyak terdapat lahan tidur yang belum dimanfaatkan.

4. Kemacetan lalu lintas pada beberapa ruas jalan utama yang disebabkan

kurangnya dukungan sistem infrastruktur terutama jaringan jalan dan terus

menambahnya kepemilikan kendaraan serta bercampurnya arus lalu lintas

regional dan lokal pada kawasan perkotaan di Kota Denpasar dan sekitarnya.

5. Makin mendominasinya kawasan perdagangan dan jasa pada jalan-jalan utama

di Kota Denpasar, sehingga Kota Denpasar terkesan cenderung menjadi kota

perdagangan dari pada kota budaya.

6. Maraknya pelanggaran-pelanggaran terhadap kawasan-kawasan perlindungan

setempat seperti kawasan sempadan pantai, Ruang Terbuka Hijau (RTH),

sempadan jalan, sempadan sungai, serta radius kawasan suci dan tempat suci.

7. Mulai berkurangnya kualitas pelayanan air bersih, persampahan, air limbah,

drainase akibat daya tampung jaringan yang ada beberapa di antaranya telah

mencapai kapasitasnya.

Page 5: S2-2014-343275-chapter1-1

5

8. Makin memudarnya wajah tata ruang bernuansa budaya Bali baik tata

lingkungan, konsep catuspatha, tata bangunan maupun wajah arsitektur Bali

yang merupakan jati diri unik kota-kota di Bali.

9. Belum adanya pengaturan tentang pemanfaatan ruang wilayah perairan dan

laut sesuai batas kewenangan 4 mil laut untuk pemerintah Kota/Kabupaten.

10. Belum tertuangnya penerapan konsep-konsep mitigasi bencana dalam penataan

ruang wilayah Kota Denpasar.

Semenjak berlakunya UU PDRD, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB) mampu bersaing dengan Pajak Hotel, Restoran dan Hiburan

(PHR) terhadap penerimaan Kota Denpasar yang meningkat dua kali lipat.

Menurut data yang dilaporkan Dispenda Kota Denpasar dijelaskan bahwa sebelum

berlakunya UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

(PDRD), komponen Penerimaan Asli Daerah (PAD) yang paling besar

sumbangannya adalah pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan. Akan tetapi,

sejak pemerintah daerah diberikan kewenangan memungut dan mengelola

BPHTB secara mandiri sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut, komposisinya

mengalami perubahan atau mengalami pergeseran. Perolehan bagi hasil BPHTB

yang diperoleh dari Dispenda Kota Denpasar sebelum 2011 adalah sekitar Rp60

miliar. Setelah UU PDRD diberlakukan, dari target dispenda Rp71,5miliar,

terealisasi pada tahun 2011 mencapai Rp126 miliar. Oleh karena itu, yang menjadi

kebanggaan bagi Dispenda sekarang ini bukan lagi pajak hotel, restoran dan

hiburan, akan tetapi BPHTB yang paling dominan (Dispenda Kota Denpasar,

2012).

Page 6: S2-2014-343275-chapter1-1

6

Sebelum ada UU PDRD, daerah hanya mendapat jatah 64,8 persen dari

total setoran BPHTB. Akan tetapi, setelah ketentuan perundangan diberlakukan

daerah menguasai 100 persen atau seluruh setoran BPHTB. Oleh karena itu pada

tahun 2012, target pendapatan pemerintah Kota Denpasar dari BPHTB direvisi,

dari Rp84 miliar di APBD 2012 menjadi Rp95 miliar di APBDP (Dispenda Kota

Denpasar, 2012). Hal ini dikarenakan target BPHTB tahun sebelumnya terpaut

jauh lebih rendah dari realisasi perolehannya. Di sisi lain, upaya pencapaian target

BPHTB seringkali menghadapi kendala, seperti tidak tersedianya data terkait

administrasi jual beli yang pada akhirnya perolehan BPHTB tidak dapat diprediksi

secara akurat dan pelaku pasar properti cenderung melakukan spekulasi. Akan

tetapi, jika mempertimbangkan pertumbuhan investasi bisnis properti di Denpasar,

terdapat potensi pendapatan yang cukup besar dari transaksi jual beli lahan dan

bangunan. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi perpindahan tangan kepemilikan

objek yang dikenakan BPHTB.

Dinas Pendapatan Kota Denpasar mencatat akumulasi pajak daerah selama

paruh pertama 2012 mencapai Rp153,89 miliar atau 60,6 persen dari target

Rp253,8 miliar di APBD 2012. BPHTB menjadi kontributor utama sebesar

Rp53,38 miliar atau 63,54 persen dari target Rp84 miliar. Secara nominal

sumbangan BPHTB tahun 2012 lebih besar dibandingkan tahun 2011 yang hanya

Rp49,3 miliar (Dispenda Kota Denpasar, 2012).

Page 7: S2-2014-343275-chapter1-1

7

Sumber: UPT. BPHTB Dispenda Kota Denpasar, 2013

Gambar 1.1 Laporan Legalisir SSPD BPHTB, 2013

Gambar 1.1 menunjukkan bahwa penerimaan BPHTB selalu mengalami

peningkatan di tahun 2013, meskipun beberapa kali mengalami penurunan seperti

di akhir bulan Mei, Agustus, Oktober, dan November. Nilai BPHTB terus

mengalami peningkatan dari masa berlakunya UU PDRD khususnya PERDA No.

7 Tahun 2010 tentang BPHTB. Hal ini juga dapat dilihat pada Tabel 1.2 berikut

ini:

Tabel 1.2 Jumlah Wajib Pajak dan Realisasi, 2011-2013

No. Tahun Jumlah WP Target (Rp.) Realisasi (Rp.)

1 2011 9.738 71.500.000.000.00 126.565.758.710.00

2 2012 10.570 95.000.000.000.00 148.400.285.380.00

3 2013 10.824 131.500.000.000.00 158.907.687.603.00 Sumber: Laporan Tahunan UPT. BPHTB Dispenda Kota Denpasar, 2013

Tabel 1.2 di atas menunjukkan bahwa jumlah realisasi penerimaan pajak

BPHTB terus meningkat dari tahun ke tahun, di mana pada tahun 2012 meningkat

sebesar 17,25 persen (yoy) dan tahun 2013 sebesar 7,08 persen (yoy). Lebih

lanjut, gap terbesar diperoleh pada tahun 2011 di mana realisasi pajak yang

diterima mencapai 177,01 persen dari target yang telah dicanangkan. Pada tahun

2012 dan 2013 mencapai 156,21 persen dan 120,84 persen. Peningkatan jumlah

wajib pajak jelas akan sejalan dengan peningkatan nilai target penerimaan dan

realisasi penerimaan BPHTB tersebut. Akan tetapi, hal ini patut dicermati ulang

Page 8: S2-2014-343275-chapter1-1

8

dari pasar jual-beli properti di Kota Denpasar. Kepentingan dalam hal ini tidak

hanya untuk kepentingan nominal target perolehan Dispenda, akan tetapi juga

untuk optimalisasi PAD. Pasar properti yang ditengarai semakin meningkat setiap

tahunnya, memicu beberapa kecurangan-kecurangan yang terjadi di lapangan. Hal

ini bisa saja terjadi antarpihak, dengan tidak dilaporkannya nilai yang seharusnya

menjadi harga jual properti.

Menurut Novie (2012) data yang terhimpun dari Notaris PPAT,

agen/broker properti, masyarakat maupun media masa seringkali menunjukkan

harga yang berbeda satu sama lain karena perbedaan kepentingan. Sering terjadi

penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara melaporkan harga

transaksi yang lebih rendah dari harga sebenarnya kepada Notaris PPAT dengan

tujuan membayar pajak dengan nilai yang lebih rendah. Penyimpangan-

penyimpangan yang terjadi dalam pembayaran pajak properti sering diteliti

dengan menggunakan analisis rasio, yaitu menggunakan Assessment Sales Ratio

(ASR). Selanjutnya penelitian tersebut juga pernah dilakukan oleh beberapa

peneliti sebelumnya, hal ini dikarenakan banyak kecurangan-kecurangan yang

terjadi di lapangan, beberapa di antaranya adalah Kholilah (2005) yang meneliti di

daerah Palembang, Pamungkas (2009) yang meneliti di daerah Tegal, dan

Sugiarto (2002) yang meneliti di daerah Karanganyar. Penelitian-penelitian

sebelumnya tersebut, juga menggunakan analisis ASR untuk mencapai tujuan

penelitian. Hal ini dikarenakan menurut Novie (2012), Kholilah (2005),

Pamungkas (2009), dan Sugiarto (2002) sudah sesuai dalam menjawab tujuan

penelitian, dengan memunculkan beberapa indikasi kecurangan yang terjadi di

Page 9: S2-2014-343275-chapter1-1

9

lapangan. Berdasarkan kajian tersebut, penelitian serupa perlu dilakukan di Kota

Denpasar, karena penelitian terkait belum pernah dilakukan di Kota Denpasar

sehingga dapat diketahui dampaknya terhadap optimalisasi BPHTB, yang pada

akhirnya akan berdampak juga pada optimalisasi PAD di Kota Denpasar.

1.2 Keaslian Penelitian

Dalam membangun penelitian ini, peneliti mencoba merujuk kepada

beberapa literatur yang menjadi acuan. Beberapa literatur yang digunakan dalam

penelitian ini mempunyai tujuan penelitian yang hampir sama, yaitu untuk menilai

assessment ratio suatu daerah, di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Penelitian Elriza (2013) bertujuan untuk menganalisis kesesuaian antara nilai

transaksi properti dengan NJOP yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak dalam

meningkatkan penerimaan PBB. Teknik analisis data yang digunakan adalah

Assessment Sales Ratio (ASR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

berdasarkan hasil pengukuran tendensi sentral memberi indikasi bahwa dalam

penetapan NJOP di Kecamatan Sario terjadi Underassessment atau berada di

bawah nilai pasar, karena tidak berada dalam interval standar yang

direkomendasikan IAAO.

2. Penelitian Novie dan Sandra (2012) bertujuan untuk mengetahui apakah

Assessment Ratio (AR) pada masing-masing kelurahan di Kecamatan Kelapa

Gading sudah sesuai dengan Assessment Ratio (AR) yang ditetapkan oleh

Dirjen Pajak. Penelitian ini menggunakan metoda Assessment Sales Ratio.

Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa Assessment ratio di kelapa

Page 10: S2-2014-343275-chapter1-1

10

gading telah sesuai dengan assessment ratio yang ditetapkan serta masih dalam

interval standar IAAO.

3. Penelitian Narwanta (2012) yang bertujuan untuk memperoleh bukti empiris

perihal ada tidaknya penggelapan pajak transaksi properti. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa meskipun peluang terdeteksinya tindakan penggelapan

relatif sangat rendah, ternyata tidak semua wajib pajak memanfaatkan keadaan

ini. Penelitian ini mencatat sekitar 21,6 persen wajib pajak membayar secara

relatif jujur, walaupun tidak sepenuhnya jujur.

4. Penelitian Pamungkas (2009) yang bertujuan untuk menganalisis tingkat

Assessment Ratio Tanah Kota Tegal Tahun 2008-2009. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa penetapan Assessment Ratio di kelompok properti

kampung dan perumahan tidak ditetapkan secara seragam. Terdapat

regresivitas terhadap penerapan Assessment Ratio dan terjadi Underassessment.

5. Leksono, Susilowati, dan Sukmono (2008) melakukan analisis statistik dengan

metoda analisis spasial dan Jaringan Syaraf Tiruan (JST). Nilai Price-Related

Differential (PRD) menunjukkan bahwa prediksi nilai tanah model mendekati

nilai tanah sebenarnya. Nilai Coefficient of Dispersion (COD) menunjukkan

bahwa tingkat seragam nilai tanah model sama.

6. Payton (2006) melakukan studi empirik mengenai Assessment Ratio di Indiana

University-Purdue University-Indianapolis-USA. Hasil evaluasi menunjukkan

bahwa jika properti under-assessed maka owner membayar lebih sedikit

daripada kewajiban yang harus dibayar, begitu sebaliknya jika properti over-

assessed maka owner membayar lebih tinggi daripada kewajiban yang dibayar.

Page 11: S2-2014-343275-chapter1-1

11

7. Youngman dan Malme (2005) melakukan analisis statistik stabilitas pajak

properti pada fluktuasi pasar real estate. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa pemutakhiran data properti bagi kepentingan pajak akan dapat

memprediksi dan menjaga kestabilan ketetapan pajak pada pasar real estate.

8. Kholilah (2005) melakukan studi Assessment Ratio. Variabel yang diteliti

adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

Assessment Ratio di Kecamatan Sako dan Kecamatan Seberang Ulu I Kota

Palembang tidak ditetapkan secara seragam, under-assessment, dan

mempunyai karakteristik dan kecenderungan yang regresif.

Beberapa penelitian di atas yang menjadi acuan dalam melakukan

penelitian ini menggunakan data NJOP. Perbedaan penelitian ini dengan

penelitian sebelumnya adalah penggunaan data NPOP untuk menjawab tujuan

penelitian. Penelitian ini juga belum pernah diadakan di Kota Denpasar, karena

pemberlakuan BPHTB baru saja pada tahun 2011. Metoda yang digunakan dalam

penelitian ini sama seperti yang telah digunakan oleh beberapa peneliti

sebelumnya, yaitu dengan menggunakan Assessment Sales Ratio (ASR).

1.3 Rumusan Masalah

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan dilakukannya penelitian ini,

di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Beberapa temuan penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat Assessment

Ratio masih belum mencapai standar dari Pemerintah SE-09/PJ.06/2003, yaitu

penelitian yang dilakukan oleh Pamungkas (2009) dan Kholilah (2005).

Page 12: S2-2014-343275-chapter1-1

12

2. Terdapat beberapa penyimpangan-penyimpangan dalam proses pelaporan

harga transaksi properti tanah dari masyarakat kepada Notaris PPAT, seperti

dalam penelitian Novie dan Sandra (2012).

3. Beberapa penelitian masih ditemukan menggunakan Nilai Jual Objek Pajak

(NJOP) sebagai referensi dalam penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak

(NPOP), padahal dalam hal ini NJOP menunjukkan angka yang lebih rendah

dari indikasi nilai pasar. Hal ini yang pada akhirnya akan sangat berpengaruh

dalam penentuan nilai Assessment Ratio.

1.4 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat

diajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut: bagaimana tingkat assessment

ratio Kota Denpasar berdasar pada SE-09/PJ.06/2003; bagaimana tingkat

keseragaman penentuan NPOP dari pergerakan indikasi nilai pasar properti tanah

di Kota Denpasar.

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas. maka tujuan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. untuk menganalisis tingkat assessment ratio di Kota Denpasar berdasar pada

SE-09/PJ.06/2003;

2. untuk menganalisis tingkat keseragaman penentuan NPOP dari pergerakan

indikasi nilai pasar properti tanah di Kota Denpasar.

1.6 Manfaat Penelitian

Page 13: S2-2014-343275-chapter1-1

13

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini di antaranya adalah sebagai

berikut:

1. Pengambil Kebijakan

Bagi pengambil kebijakan, penelitian ini diharapkan mampu memberikan

sistem informasi yang berguna bagi SKPD di Pemerintah Kota Denpasar yang

mempergunakan data NPOP dan transaksi BPHTB dalam menentukan

kebijakan, khususnya Dispenda Kota Denpasar agar mempunyai data akurat,

standar yang mendekati kondisi pasar, dapat dipertanggungjawabkan secara

akademik dan peraturan perundangan yang berlaku, sehingga mampu menjadi

acuan dan sebagai pedoman dalam penyempurnaan mekanisme untuk

mengoptimalisasikan penerimaan PAD dari sektor BPHTB.

2. Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini secara umum dapat memberikan tambahan wawasan keilmuan

ekonomi pembangunan di pemerintah daerah. Manfaat khusus bagi ilmu

pengetahuan di bidang ekonomi pembangunan yakni dapat melengkapi kajian

peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui sektor BPHTB, juga dalam upaya

mengantisipasi program pembangunan sebagai dampak dari pertumbuhan

ekonomi yang berkembang pada beberapa wilayah di Kota Denpasar.

1.7 Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun menjadi 4 (empat) bab, dengan sistematika sebagai

berikut: Bab I Pendahuluan terdiri dari latar belakang, keaslian penelitian, tujuan

Page 14: S2-2014-343275-chapter1-1

14

dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian. Bab II Tinjauan Pustaka dan

Alat Analisis terdiri dari tinjauan pustaka yang disadur dari berbagai buku, jurnal,

dan sumber literature lainnya. Landasan teori yang berisi berbagai konsep, teori,

peraturan perundang-undangan, maupun model yang diacu dalam penelitian, serta

alat analisis yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Bab III

Analisis dan Pembahasan terdiri dari metoda penelitian, analisis dan pengolahan

data disertai pembahasannya. Bab IV Kesimpulan dan Saran terdiri dari

kesimpulan hasil analisis, implikasi, keterbatasan dan saran peneliti atas hasil

penelitian yang diperoleh.