s2-2014-32641klu7-chapter1

16
7/23/2019 S2-2014-32641klu7-chapter1 http://slidepdf.com/reader/full/s2-2014-32641klu7-chapter1 1/16  1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konferensi kependudukan dan pembangunan atau  International Conference on  Population and Development (ICPD) 1994 di Kairo disepakati bersama tentang “Program Aksi Pembangunan Kependudukan Kairo Tahun 1994”. ICPD 1994 disebutkan bahwa kebijakan keluarga berancana (KB) secara global dikaitkan dengan hak-hak reproduksi, yang menjadi bagian dari hak asasi manusia yang bersifat universal (Wilopo, 2010). Hak-hak reproduksi yang paling pokok ialah hak setiap individu dan pasangan untuk menentukan kapan akan melahirkan, berapa jumlah anak dan jarak anak yang dilahirkan, dan upaya untuk mewujudkan hak-hak tersebut melalui pemakaian kontrasepsi (KB). Program KB mengharapkan seluruh kehamilan menjadi dikehendaki dan direncanakan oleh setiap keluarga. Kehamilan yang dikendaki dan direncanakan adalah merupakan awal untuk menjadikan keluarga yang sehat dan sejahtera. Periode  postpartum merupakan masa yang tepat untuk memulai menggunakan kontrasepsi dalam mengatur jarak kehamilan atau membatasi jumlah anak demi kesehatan ibu dan bayinya serta menghindari kehamilan yang tidak diinginkan (Badan Kependudukan dan Keluarga Berancana Nasional, 2004). Kehamilan yang terjadi pada periode postpartum merupakan kehamilan yang berisiko tinggi, karena memiliki jarak yang dekat dengan kehamilan sebelumnya. Sebagian besar penelitian

Upload: ringga-herlambang

Post on 17-Feb-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: S2-2014-32641klu7-chapter1

7/23/2019 S2-2014-32641klu7-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2014-32641klu7-chapter1 1/16

 

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konferensi kependudukan dan pembangunan atau International Conference on

 Population and Development (ICPD)  1994 di Kairo disepakati bersama tentang

“Program Aksi Pembangunan Kependudukan Kairo Tahun 1994”. ICPD 1994

disebutkan bahwa kebijakan keluarga berancana (KB) secara global dikaitkan dengan

hak-hak reproduksi, yang menjadi bagian dari hak asasi manusia yang bersifat

universal (Wilopo, 2010). Hak-hak reproduksi yang paling pokok ialah hak setiap

individu dan pasangan untuk menentukan kapan akan melahirkan, berapa jumlah

anak dan jarak anak yang dilahirkan, dan upaya untuk mewujudkan hak-hak tersebut

melalui pemakaian kontrasepsi (KB). Program KB mengharapkan seluruh kehamilan

menjadi dikehendaki dan direncanakan oleh setiap keluarga. Kehamilan yang

dikendaki dan direncanakan adalah merupakan awal untuk menjadikan keluarga

yang sehat dan sejahtera.

Periode postpartum merupakan masa yang tepat untuk memulai menggunakan

kontrasepsi dalam mengatur jarak kehamilan atau membatasi jumlah anak demi

kesehatan ibu dan bayinya serta menghindari kehamilan yang tidak diinginkan

(Badan Kependudukan dan Keluarga Berancana Nasional, 2004). Kehamilan yang

terjadi pada periode  postpartum merupakan kehamilan yang berisiko tinggi, karena

memiliki jarak yang dekat dengan kehamilan sebelumnya. Sebagian besar penelitian

Page 2: S2-2014-32641klu7-chapter1

7/23/2019 S2-2014-32641klu7-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2014-32641klu7-chapter1 2/16

2

menyatakan bahwa jarak kehamilan kurang dari 6 bulan merupakan faktor risiko

untuk terjadinya kelahiran prematur, berat bayi lahir rendah (BBLR), dan kematian

 perinatal-neonatal (Conde-Agudelo et al ., 2006; Smith et al ., 2003). Selain itu

kehamilan yang terlalu dekat juga berisiko pada ibu sendiri, yaitu dapat menimbulkan

risiko kematian, perdarahan pada trimester terakhir, robekan membran dan anemia

(Conde-Agudelo & Belizan, 2000).

Terdapat wanita yang memiliki sedikit atau tidak memahami proses terjadinya

kesuburan, terutama pada periode  postpartum  (Evans, 2005). Ibu  postpartum 

 beranggapan bahwa selama amenore  pada periode  postpartum  tidak akan terjadi

kehamilan dan akan menggunakan metode kontrasepsi setelah haid pertama datang,

sebagai tanda kesuburan sudah dimulai. Ovulasi biasanya terjadi sebelum perdarahan

vagina yang pertama (Evans, 2005), sedangkan banyak pasangan usia subur yang

sudah memulai hubungan seksual selama masa  postpartum  6 minggu setelah bayi

lahir (Bobak et al., 2005).

Sangat sulit untuk menilai kapan pemulihan kesuburan pada periode

 postpartum. Meskipun banyak penelitian yang masih memprediksikan seorang wanita

untuk kembali menjadi subur di periode  postpartum, namun tidak ada satupun yang

mengetahui kapan pastinya kesuburan itu mulai terjadi. Faktor yang mempengaruhi

kembalinya kesuburan termasuk genetika dan gizi, menyusui dengan payudara atau

dengan susu botol. Tidak menyusui dapat mengakibatkan ovulasi lebih dini yaitu

terjadi 25 hari dan rata-rata keterlambatan 45 hari (Evans, 2005).

Page 3: S2-2014-32641klu7-chapter1

7/23/2019 S2-2014-32641klu7-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2014-32641klu7-chapter1 3/16

3

Ibu  postpartum  tidak segera menggunakan kontrasepsi karena masih merasa

 bingung dengan penentuan alat kontrasepsi yang akan mereka gunakan. Kebingunan

dari ibu  postpartum  mencerminkan kurangnya pengetahuan yang dimilliki oleh ibu

 postpartum, sehingga konseling perlu diberikan pada masa ini. Konseling merupakan

media penyampaian informasi tentang alat kontrasepsi efektif pada periode

 postpartum yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan ibu  postpartum. Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anya et al . (2008) yang menyebutkan

 bahwa penyampaian informasi yang tepat dapat meningkatkan pengetahuan ibu

dengan melalui konseling. Nobili et al . (2007) juga melakukan penelitian di Milan

menyebutkan bahwa dengan melakukan konseling dapat meningkatkan pengetahuan.

Penggunaan kontrasepsi erat kaitannya dengan pengetahuan yang dimiliki oleh

ibu  postpartum. Pengetahuan tersebut berpengaruh kepada pemakaian metode

kontrasepsi yang tepat dan efektif. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan

oleh Basri (2009) menyebutkan bahwa pemberian konseling pada periode postpartum 

dapat meningkatkan pengetahuan ibu serta mempengaruhi penggunaan alat

kontrasepsi dalam 12 minggu pertama setelah melahirkan. Saeed et al . (2008)

melakukan penelitian di Pakistan dan didapatkan hasil bahwa kelompok yang

mendapatkan konseling lebih tinggi menggunakan kontrasepsi dibandingkan dengan

kelompok yang tidak konseling setelah 8-12 minggu  postpartum. Jenis kontrasepsi

yang digunakan pada kelompok konseling terdiri dari pil, injeksi,  Intra Uterine

Contraception Devices  (IUCD), kondom dan tubektomi. Sedangkan pada kelompok

tidak konseling lebih banyak menggunakan kontrasepsi senggama terputus dan

Page 4: S2-2014-32641klu7-chapter1

7/23/2019 S2-2014-32641klu7-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2014-32641klu7-chapter1 4/16

4

kondom serta masih terdapat yang tidak menggunakan kontrasepsi. Penelitian yang

dilakukan oleh Ustun et al . (2006) di Turki mengenai efek konseling  postpartum 

terhadap penggunaan kontrasepsi  postpartum, mendapatkan hasil bahwa dari 143

orang responden yang diberi konseling, mayoritas ibu  postpartum  menggunakan

metode kontrasepsi tradisional, metode efektif lebih sedikit serta masih ada responden

yang tidak menggunakan kontrasepsi.

Konseling merupakan salah satu cara pendekatan dalam menyampaikan

 pendidikan kesehatan untuk menolong individu. Konseling adalah merupakan bentuk

komunikasi interpersonal yang khusus, yaitu suatu pemberian bantuan yang

dilakukan kepada orang lain dalam membuat suatu keputusan atau memecahkan suatu

masalah melalui pemahaman terhadap klien meliputi fakta-fakta, harapan, kebutuhan

dan perasaan-perasaan klien (Badan Kependudukan dan Keluarga Berancana

 Nasional, 2011). Konseling merupakan aspek yang sangat penting dalam pelayanan

keluarga berancana. Studi kualitatif yang dilakukan oleh Dehlendorf et al . (2013)

menyebutkan banyak pasien berkeinginan agar  provider   kontrasepsi terlibat aktif

selama proses memilih metode kontrasepsi, nilai kedekatan  provider   selama

konseling sangat berarti dalam rangka mengakomodasi pengalaman dan keinginan

 pasien. Melakukan konseling berarti petugas membantu klien dalam memilih dan

memutuskan jenis kontrasepsi yang akan digunakan sesuai dengan pilihannya

(Sulistyawati, 2011). Seringkali konseling diabaikan dan tidak dilaksanakan dengan

 baik karena petugas tidak mempunyai waktu dan tidak menyadari pentingnya

konseling (Saifuddin, 2010). Hasil penelitian Adegbola et al . (2009) menunjukkan

Page 5: S2-2014-32641klu7-chapter1

7/23/2019 S2-2014-32641klu7-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2014-32641klu7-chapter1 5/16

5

konseling keluarga berancana pada periode  postpartum  yang diberikan oleh dokter

dan perawat dapat meningkatkan keinginan untuk menggunakan kontrasepsi.

Salah satu indikator utama dari kualitas pelayanan KB adalah pemberian

konseling yang berkualitas kepada ibu  postpartum  sebagai calon akseptor KB yang

menghasilkan informed choice, hal tersebut hanya dapat diperoleh melalui konseling

yang baik, lengkap dan dapat menggunakan media komunikasi serta pemberian

informasi standar. Adapun informasi standar tersebut adalah: informasi tentang

kontraindikasi, risiko dan manfaat dari masing-masing alat/cara/metode kontrasepsi,

informasi tentang cara menggunakan kontrasepsi dan efek samping yang mungkin

timbul serta bagaimana cara mengatasi efek samping tersebut dan informasi tentang

apa yang dapat klien harapkan dari pelayanan petugas KB, seperti nasehat, dukungan,

ketersediaan dan rujukan ke tempat pelayanan lainnya jika diperlukan. Hal ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Widaningsih (2007) yang menyebutkan ada

hubungan antara pemberian informasi dengan pemilihan metode atau alat kontrasepsi

rasional. Hasil penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

Dwiyanto (2009) yang menyebutkan bahwa penggunaan kontrasepsi pil, suntik, IUD

dan implant diantara yang memperoleh informed choice dan yang tidak memperoleh

informed choice  tidak terdapat perbedaan yang bermakna terhadap keberlangsungan

 penggunaan kontrasepsi.

Setiap pelayanan profesi yang diberikan apapun itu jenisnya, harus selalu

memberi kesempatan untuk memilih (informed choice) dan memberikan persetujuan

(informed consent ). Dalam pelayanan KB hal ini tetap berlaku karena tenaga

Page 6: S2-2014-32641klu7-chapter1

7/23/2019 S2-2014-32641klu7-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2014-32641klu7-chapter1 6/16

6

kesehatan harus menjelaskan keuntungan dan kerugian setiap jenis alat kontrasepsi

dengan jujur dan netral, tidak memaksakan suatu metode kontrasepsi tertentu.

Mengingat bahwa belum ada satu metode kontrasepsi yang aman dan efektif 100%

maka dengan melakukan informed choice dan informed consent   selain merupakan

 perlindungan bagi tenaga kesehatan sebagai  provider   juga membantu dampak rasa

aman dan nyaman bagi pasien sebagai penerima jasa.

Faktor pendukung pelaksanaan konseling salah satunya adalah faktor materi

dan media (Badan Kependudukan dan Keluarga Berancana Nasional, 2001).

Informasi yang disampaikan oleh petugas konseling harus jelas, dapat dimengerti,

serta terkait dengan masalah – masalah yang sedang dihadapi klien. Di samping itu

untuk memudahkan dalam hal penyampaian materi konseling, petugas sebaiknya

menggunakan alat bantu dalam proses konseling. Penelitian ini menggunakan

 beberapa alat bantu yaitu video, leafleat  dan alat bantu pengambilan keputusan ber-

KB berupa lembar balik ( Flifchart ). Video adalah media elektronik yang komplit,

dimana dapat menstimulus indera penglihatan dan pendengaran ( Audiovisual ). Lopez

et al.  (2013) melakukan review salah satu penelitian menyebutkan alat bantu

audiovisual   bekerja lebih baik dari pada persentasi lisan. Semakin banyak indera

yang digunakan untuk menerima pesan, maka akan semakin banyak dan jelas pula

 pengetahuan yang diperoleh. Pengetahuan lebih banyak diperoleh oleh manusia

melalui penglihatan yaitu sebanyak 75% (Notoatmodjo, 2007). Media leafleat   juga

digunakan dalam penelitian ini karena leafleat  adalah merupakan alat peraga cetak

yang sederhana mudah dipahami, menarik karena terdiri dari tulisan singkat dan

Page 7: S2-2014-32641klu7-chapter1

7/23/2019 S2-2014-32641klu7-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2014-32641klu7-chapter1 7/16

7

 bergambar serta mudah dibawa. Pemberian konseling dengan menggunakan media

leafleat   dapat membantu meningkatkan pengetahuan ibu  postpartum  tentang alat

kontrasepsi (Saeed et al ., 2008). Suryani (2012) menyebutkan bahwa konseling yang

diberikan sesuai standar menggunakan leafleat  nilai rerata sebesar 1,51 sedangkan ibu

yang diberi konseling yang tidak sesuai standar tanpa leafleat  nilai rerata adalah 0,45.

Hal ini menunjukkan metode konseling yang menggunakan leafleat   efektif untuk

meningkatkan pengetahuan ibu hamil. WHO telah mengembangkan Alat Bantu

Pengambilan Keputusan (ABPK) berupa lembar balik ( Flifchart ) dan telah diadaptasi

untuk Indonesia yang digunakan dalam proses konseling kontrasepsi. ABPK ber-KB

( Flifchart) ini tidak hanya berisi informasi mutakhir kontrasepsi namun juga standar

 proses dan langkah konseling KB yang berlandaskan pada hak klien KB, sehingga

 flifchart  atau ABPK ini memudahkan  provider  dalam menjelaskan materi konseling

agar lebih optimal.

Pemilihan dan penggunakan kontrasepsi tidak bisa lepas dari peran suami. Hal

ini dibuktikan oleh hasil penelitian Warda (2011) yang menunjukkan ada hubungan

yang bermakna antara peran suami dengan pemilihan alat kontrasepsi. Keputusan

mengikuti program KB harus mendapatkan persetujuan dari suami, karena suami

dianggap sebagai kepala keluarga, pencari nafkah. Alasan ibu tidak menggunakan

kontrasepsi  postpartum adalah berhubungan dengan suami yaitu sebesar 33,2%

(Gutierrez et al ., 2003). Oleh karena itu perlu adanya kesamaan informasi tentang alat

KB pada pasangan, dengan harapan terjadi diskusi suami dan isteri sebelum

Page 8: S2-2014-32641klu7-chapter1

7/23/2019 S2-2014-32641klu7-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2014-32641klu7-chapter1 8/16

8

memutuskan jenis kontrasepsi yang akan digunakan. Informasi tentang alat

kontrasepsi bisa didapatkan melalui konseling.

Di Indonesia berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012

memperlihatkan bahwa hampir semua responden pernah mendengar suatu

metode/cara kontrasepsi (99%), namun ada kesenjangan diantara metode kontrasepsi

tersebut. Pil KB dan suntik KB merupakan metode kontrasepsi yang paling dikenal

oleh responden dengan persentasi masing – masing sebesar 97% dan 98%. Sementara

itu wanita kawin yang tahu tentang  Metode Amenorea Laktasi (MAL) yaitu cara KB

dengan memberikan ASI eksklusif hanya 20% (Badan Kependudukan Keluarga

Berancana Nasional, 2011).

Studi pendahuluan yang dilakukan di Badan Kependudukan dan Keluarga

Berancana Nasional (BKKBN) Propinsi Kalimantan Selatan terdapat 781,047

 pasangan usia subur (PUS) pada tahun 2012. Dari PUS tersebut 586,563 (75%)

mengikuti keluarga berancana. Berdasarkan laporan pengendalian lapangan kondisi

 bulan Agustus 2013 terdapat 793,796 PUS, pasangan usia subur yang mengikuti KB

625,168 (78,78%). Peserta KB baru metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP)

sebesar 10,81% dan non MKJP sebesar 89,19%. Metode kontrasepsi jangka panjang

meliputi  Intra Uterine Device  (IUD), Metode Operasi Wanita (MOW), dan Metode

Operasi Pria (MOP) dan implan, sedangkan metode kontrasepsi jangka pendek ( Non 

MKJP) adalah suntik, pil, dan kondom. Persentasi masing – masing jenis kontrasepsi

terdapat kesenjangan yang cukup jauh yaitu IUD (1,85%), MOW (1,19%), MOP

(0,38%), Implan (7,38%), kondom (2,16%), suntik (36,22%) dan pil (50,82%).

Page 9: S2-2014-32641klu7-chapter1

7/23/2019 S2-2014-32641klu7-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2014-32641klu7-chapter1 9/16

9

Hasil observasi di rumah sakit umum Ulin Banjarmasin diruangan nifas,

 pendidikan kesehatan sudah dilaksanakan bersama mahasiswa yang praktik di

ruangan tersebut. Pendidikan kesehatan yang diberikan melalui pendekatan pada

kelompok ibu  postpartum. Pemberian informasi kontrasepsi melalui konseling yang

ideal seperti dilaksanakan di ruangan khusus, sesuai langkah-langkah konseling,

menggunakan media seperti leafleat , dan melibatkan suami belum dilakukan. Ibu

 postpartum ketika akan pulang hanya dimotivasi dengan mengingatkan ibu untuk

mengikuti program keluarga berancana sebelum masa nifasnya berakhir tanpa

dikenalkan jenis-jenis kontrasepsi yang telah tersedia sesuai dengan kondisi ibu

 postpartum.

B. Perumusan Masalah

Ibu  postpartum  tidak segera menggunakan kontrasepsi karena masih merasa

 bingung dengan penentuan alat kontrasepsi yang akan mereka gunakan, sehingga

 pemberian informasi tentang pilihan metode atau cara kontrasepsi perlu diberikan

 pada masa ini. Konseling sering diabaikan, padahal penelitian menunjukkan bahwa

 pemberian konseling pada periode  postpartum dapat meningkatkan pengetahuan ibu

serta mempengaruhi penggunaan alat kontrasepsi. Konseling juga mempengaruhi

terhadap penggunaan kontrasepsi pada ibu postpartum, seperti penelitian Saeed et al .

(2008) di Pakistan didapatkan hasil bahwa kelompok yang mendapatkan konseling

seluruhnya menggunakan kontrasepsi efektif seperti pil, injeksi, IUD, kondom dan

tubektomi. Hasil yang berbeda dengan penelitian di Turki mengenai efek konseling

Page 10: S2-2014-32641klu7-chapter1

7/23/2019 S2-2014-32641klu7-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2014-32641klu7-chapter1 10/16

10

 postpartum  terhadap penggunaan kontrasepsi  postpartum, mayoritas ibu  postpartum 

menggunakan metode tradisional, metode efektif lebih sedikit serta masih ada

responden yang tidak menggunakan kontrasepsi.

Berdasarkan permasalahan dan fakta-fakta yang diuraikan di atas dapat

dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Apakah ada pengaruh pemberian

konseling kontrasepsi terhadap pengetahuan, penggunaan metode kontrasepsi efektif

 pada ibu postpartum dan faktor-faktor lain yang berpengaruh?

C. Tujuan Penelitian

1.  Tujuan umum

Mengetahui pengaruh konseling kontrasepsi terhadap pengetahuan dan

 penggunaan metode kontrasepsi efektif pada ibu  postpartum serta faktor-faktor

lain yang dapat berpengaruh.

2.  Tujuan khusus

a.  Mengetahui peningkatan pengetahuan ibu  postpartum  tentang metode

kontrasepsi efektif sebelum dan sesudah perlakukan pada kelompok konseling

dan kelompok tidak konseling.

 b.  Mengetahui perbedaan proporsi ibu  postpartum  yang menggunaan metode

kontrasepsi efektif pada kelompok yang mendapatkan konseling dan

kelompok yang tidak mendapatkan konseling.

Page 11: S2-2014-32641klu7-chapter1

7/23/2019 S2-2014-32641klu7-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2014-32641klu7-chapter1 11/16

11

c.  Mengetahui pengaruh faktor umur, pendidikan, status ekonomi, paritas, peran

suami dan metode persalinan terhadap pengetahuan dan penggunaan metode

kontrasepsi efektif pada ibu postpartum. 

D. Manfaat Penelitian

1.  Manfaat teoritis

a.  Memberikan informasi ilmiah tentang pengaruh pemberian konseling

terhadap pengetahuan dan penggunaan alat kontrasepsi pada ibu  postpartum 

serta faktor lain yang dapat berpengaruh.

 b.  Sebagai bahan pertimbangan penelitian selanjutnya, dengan topik yang

relevan.

2.  Manfaat praktis

Memberikan masukan yang berguna bagi pembuat kebijakan dan petugas

kesehatan akan pentingnya pemberian konseling kontasepsi pada ibu  postpartum 

dan memperhatikan media yang digunakan.

3.  Manfaat bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman, daya analisis dan

kemampuan dalam mengaplikasikan metodologi penelitian.

Page 12: S2-2014-32641klu7-chapter1

7/23/2019 S2-2014-32641klu7-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2014-32641klu7-chapter1 12/16

12

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang mendukung penelitian ini, diantaranya adalah:

1.  Schwandt, H.M., et al.  (2013) melakukan penelitian dengan judul Group Versus

 Individual Family Planning Counseling In Ghana dengan desain randomized non

inferiority. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan perubahan

 pengetahuan metode kontrasepsi pada kelompok konseling bergroup dan

kelompok konseling individu, serta untuk melihat perubahan dalam penggunaan

metode kontrasepsi sebelum dan sesudah intervensi pada kedua kelompok.

Partisipan diacak menjadi kelompok intervensi konseling berkelompok dan

kelompok intervensi konseling individu. Jumlah anggota kelompok konseling

 berkelompok terdiri dari 2-5 orang rata-rata 4 orang. Rata-rata durasi sesi

konseling individu adalah 14 menit, sementara durasi rata-rata konseling

 berkelompok mempertimbangkan jumlah anggota. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa pada kedua kelompok (individu dan kelompok) terdapat

 peningkatan pengetahuan. Namun tidak ada perbedaan peningkatan pengetahuan

yang signifikan pada kedua kelompok partisipan (individu 3,95 dengan 95% CI;

3,68 dan kelompok 3,68 dengan 95% CI; 3,39). Dan tidak ada perbedaan yang

signifikan terhadap niat untuk menggunakan kontrasepsi pada kedua kelompok.

Konseling kontrasepsi kelompok sama efektifnya dalam meningkatkan

 pengetahuan kontrasepsi modern diantara pasien ginekologi di Ghana.

2.  Lopez et al . (2013) melakukan review penelitian yang berjudul Strategi for

Communicating Contraceptive Effectiveness. Tujuan dari review adalah untuk

Page 13: S2-2014-32641klu7-chapter1

7/23/2019 S2-2014-32641klu7-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2014-32641klu7-chapter1 13/16

13

membandingkan semua percobaan random strategi untuk mengkomunikasikan

kontrasepsi efektif dalam mencegah kehamilan. Pencarian dilakukan dan

didapatkan 7 penelitian yang memenuhi kriteria dan total 4526 wanita. Hasil

review beberapa penelitian ini menyebutkan provider  pelayanan kesehatan secara

rutin mengkomunikasikan informasi kontrasepsi kepada pasien mereka. Karena

 banyak jenis intervensi yang dilakukan, maka tidak bisa menyimpulkan secara

keseluruhan bantuan/intervensi terbaik apa yang dapat membantu memilih

metode kontrasepsi. Penelitian lain menyebutkan bahwa alat bantu audiovisual

 bekerja lebih baik dari pada persentasi lisan biasa oleh dokter. Salah satu uji coba

menunjukkan bahwa program konseling yang ditingkatkan menyebabkan lebih

 banyak perempuan memilih metode strelisasi atau metode kontrasepsi modern.

3.  Lee, J.K., et al . (2011) melakukan penelitian yang berjudul The Impact Of

Contraceptive Counseling In Primary Care On Contraceptive Use. Penelitian ini

 bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara konseling kontrasepsi yang

diberikan oleh dokter primary care terhadap penggunaan kontrasepsi oleh pasien.

Penelitian ini merupakan hasil survey pada wanita usia 18-50 tahun yang

 berkunjung pada salah satu dari empat klinik primary care di Pannsylvania Barat.

Hasilnya 50% perempuan membutuhkan konseling kontrasepsi pada saat

kunjungan. Mereka yang menerima konseling kontrasepsi dari  provider  

dilaporkan lebih memungkinkan peningkatan penggunaan kontrasepsi hormonal

(OR 3,83 CI:2,25-6,52). Peningkatan pelayanan konseling kontrasepsi di  primary

care memungkinkan untuk mengurangi kehamilan yang tidak diinginkan.

Page 14: S2-2014-32641klu7-chapter1

7/23/2019 S2-2014-32641klu7-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2014-32641klu7-chapter1 14/16

14

4.  Basri, S.W.S. (2009) melakukan penelitian mengenai pengaruh konseling

 postpartum  terhadap penggunaan alat kontrasepsi di kota Tebing Tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konseling  postpartum 

terhadap penggunaan alat kontrasepsi dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi

 penggunaan alat kontrasepsi di kota Tebing Tinggi. Metode penelitian ini adalah

kuasi eksperimen (quasi experimental ) dengan desain  non-randomized pretest-

 posttest group design. Analisis multivariabel menunjukkan bahwa proporsi ibu 

 postpartum  yang menggunakan alat kontrasepsi pada kelompok konseling lebih

tinggi bila dibandingkan dengan kelompok tidak konseling (RP= 1,49

95%CI=1,03-2,17). Faktor lain yang mempengaruhi penggunaan kontrasepsi

adalah umur ibu, paritas dan status ekonomi, sedangkan faktor pendidikan ibu

menunjukkan pendidikan tinggi tidak mempengaruhi penggunaan alat kontrasepsi

 pada periode postpartum.

5.  Sriwenda, D. (2009) melakukan penelitian yang berjudul  Peran Konseling

 Kontrasepsi Postpartum Terhadap Partisipasi Pria Dalam Kontrasepsi Di Rumah

Sakit Khusus Ibu Dan Anak Kota Bandung . Tujuan penelitian ini adalah

mengetahui peran konseling kontrasepsi  postpartum  terhadap partisipasi pria

dalam menggunakan kontrasepsi dan faktor lain yang dominan mempengaruhi

 partisipasi pria dalam kontrasepsi. Penelitian ini merupakan penelitian kuasi

eksperimen jenis  posttest only control group design. Kelompok perlakuan adalah

kelompok yang diberikan konseling pada suami dan isteri, sedangkan kelompok

kontrol diberikan konseling hanya pada isteri. Konseling diberikan sebelum

Page 15: S2-2014-32641klu7-chapter1

7/23/2019 S2-2014-32641klu7-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2014-32641klu7-chapter1 15/16

15

 pasien pulang (antara hari 1-3 postpartum) dan dilakukan follow up pada hari ke

45. 

Hasil penelitian menunjukkan konseling kontrasepsi  postpartum  pada suami

isteri memiliki hubungan bermakna secara statistik dan praktik dengan partisipasi

 pria dalam penggunaan kontrasepsi dengan RR 1,71 dengan CI 1,35-2,16.

6.  Saeed et al.  (2008) melakukan penelitian yang berjudul Change in trend of

Contraceptive Uptake-effect of educational leafleats and counseling . Penelitian

ini dilakukan Pakistan. Rancangan penelitian ini menggunakan rendomisasi pada

600 wanita yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok A diberikan intervensi

konseling dan pemberian leafleat   pada ibu setelah bersalin. Kelompok B tidak

diberikan intervensi berupa konseling. Setelah intervensi dilakukan, kemudian

setelah 8-12 minggu setelah melahirkan ibu ditanya kembali jenis kontrasepsi

yang digunakan. Kelompok A menunjukkan perbedaan hasil yang signifikan

 bahwa 56,9% segera menggunakan kontrasepsi dan 43,1% memutuskan

menggunakan kontrasepsi 6 bulan kemudian. Sedangkan pada kelompok B

terdapat 6,3% mulai menggunakan kontrasepsi, 50,8% memutuskan untuk

memulai menggunakan kontrasepsi 6 bulan kemudian, dan 42,8% tidak

mempunyai keputusan. Jenis kontrasepsi yang digunakan pada kelompok A

adalah pil 37,1%, suntikan 2%,  Intra Uterine Contraceptive Device  (IUCD)

23,7%, kondom 29,1% dan tubektomi 8,1%. Sedangkan pada kelompok B

kontrasepsi yang digunakan coitus intruptus  20,6%, pil 6,3%, suntikan 7,3%,

IUCD 3,4%, kondom 18,3%, tubektomi 1,3% dan 42,8% tidak menggunakan

kontrasepsi.

Page 16: S2-2014-32641klu7-chapter1

7/23/2019 S2-2014-32641klu7-chapter1

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2014-32641klu7-chapter1 16/16

16

7.  Ustun et al . (2006) melakukan penelitian di Turki dengan memberikan konseling

 pada ibu  postpartum  dengan menggunakan standar konseling yang dimiliki.

Setelah dilakukan konseling ibu  postpartum  akan menggunakan alat kontrasepsi

 Intra Uterine Device  (IUD) 47 orang (32,9%), kondom 23 orang (16,1%),

suntikan progestin 16 orang (11,2%), pil 7 orang (4,9%), senggama terputus 7

orang (4,9%), norplant 6 orang, kondom dan senggama terputus 1 orang dan 36

orang (25,2%) memutuskan tidak menggunakan kontrasepsi. Lima bulan

kemudian dilakukan ditanyakan kembali melalui telepon dan dijumpai bahwa

mayoritas ibu  postpartum  menggunakan metode sederhana dan menggunakan

metode efektif lebih sedikit. Alat kontrasepsi yang digunakan terdiri dari kondom

45 orang (31,5%), senggama terputus 51 orang (35,7%), IUD 14 orang (9,7%),

kondom dan senggama terputus 9 orang (6,3%), norplant 5 orang (3,5%), pil 2

orang (1,4%), spermisida 1 orang (0,7%) dan terdapat 16 orang (11,2%) tidak

menggunakan kontrasepsi.

Penelitian yang akan dilakukan tentang   pengaruh konseling kontrasepsi

terhadap pengetahuan dan penggunaan metode kontrasepsi efektif pada ibu 

 postpartum di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin Banjarmasin, jadi perbedaan

dengan penelitian –  penelitian sebelumnya adalah terletak pada variabel penelitian,

sampel penelitian, media penyampaian informasi, waktu dan tempat peneliti.