s2-2014-326386-chapter1
TRANSCRIPT
-
7/26/2019 S2-2014-326386-chapter1
1/6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Skeptisme profesional auditor sangat vital dan krusial dalam melakukan
audit yang independen (PCAOB 2008; Nelson, 2009; Cohen dan Trompeter
2013). Kurangnya skeptisme profesional auditor dapat menyebabkan kegagalan
audit (Beasley et al. 2001 dan Nolder, 2012). Security Exchange Commission
(SEC) menyatakan bahwa 60% dari kegagalan audit bersumber dari kurangnya
skeptisme profesional auditor (Beasley, 2001).
Public Company Accounting Oversight Board (PCAOB) dan American
Institute of Certified Public Accountants (AICPA) mendesak auditor untuk lebih
memiliki pola pikir skeptis yang independen (Whitehouse, 2013). Oleh sebab itu,
skeptisme profesional auditor tercantum dalam standar audit PCAOB (contohnya;
PCAOB 2007 AS5, PCAOB 2010 AS8, PCAOB 2010 AS 14, SAS#1, IAS#99,
dan lain-lain), dan pedoman praktik staf audit (Alert No.10, 2012). Di sektor
publik di Indonesia, Standard Pemeriksaan Keuangan Negara 2007 Badan
Pemeriksa Keuangan menyebutkan pentingnya skeptisme profesional auditor.
Skeptisme berkaitan erat dengan pendeteksian kecurangan dan telah lama
menjadi konsep penting dalam audit (Hurtt, 2010), terutama dalam proses evaluasi
kemungkinan kecurangan material. Isu skeptis menjadi sangat relevan dengan
usaha pemberantasan kecurangan, baik di sektor publik maupun swasta. Banyak
kasus-kasus besar di sektor swasta yang disebabkan oleh kurangnya skeptisme
-
7/26/2019 S2-2014-326386-chapter1
2/6
2
auditor dan moral hazard auditor yang rendah. Auditor yang kurang skeptis
kurang mampu mendeteksi salah saji material dan kecurangan.
Selain skeptisme, faktor etika telah lama menjadi problem berkelanjutan
yang mempengaruhi perilaku auditor dalam mendeteksi kecurangan. Lingkungan
pekerjaan yang multikultur mengharuskan akuntan, termasuk auditor, untuk
memiliki pemahaman yang baik tentang tata cara menghadapi dilema etika dalam
pekerjaan (Friedman, 2005; Sharp, 2006; Ho, 2007). Semenjak kasus keuangan
Enron yang terjadi pada tahun 2001, etika dijadikan topik penting dalam dunia
audit (Haas, 2005; Jennings, 2004; Mele, 2005).
Auditor dinilai berperan penting dalam terjadinya skandal keuangan, baik
di sektor swasta maupun di sektor publik. Skandal keuangan di sektor swasta
dapat menimbulkan kebangrutan perusahaan, misalnya: kasus On-Tel, HIH di
Australia, Waste Management dan Xerox di Amerika, Permalat di Italia, Harris
Scarfe, dan lain-lain (Cohen & Bennie, 2006; Riyanto, 2013). Di sektor publik di
Indonesia, skandal keuangan di instansi pemerintah dapat merugikan negara.
Berdasarkan ikhtisar hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan, rata-rata
kerugian negara mencapai kisaran 100 trilliun rupiah per tahun.
Dalam kasus-kasus tersebut, etika dan skeptisme profesional auditor patut
dipertanyakan. Skandal keuangan terjadi salah satunya akibat perilaku auditor
yang tidak etis (McPhail dan Walters, 2009). Dari sisi skeptisme profesional,
kegagalan auditor untuk mengumpulkan kecukupan bukti audit dapat
menimbulkan kegagalan penilaian (Beasley et al. 2001). Profesi auditor selalu
dikaitkan dengan etika dan skeptisme profesional. Namun, belum banyak
-
7/26/2019 S2-2014-326386-chapter1
3/6
3
penelitian yang meneliti 2 hal penting tersebut bersamaan, terlebih lagi di sektor
publik.
Penelitian ini fokus pada etika dalam skeptisme profesional auditor
pemerintah, dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan. Peneliti mengangkat isu
etika dari sisi sifatyang berupa penalaran moral dan sikapyang berupa intensitas
moral. Intensitas moral adalah sifat dari isu dilema moral atau etika. Penalaran
moral merupakan salah satu karakteristik individuyang berhubungan erat dengan
skeptisme auditor (Nelson, 2009). Jones (1991) membangun teori awal yang
menyatakan bahwa intensitas moral merupakan faktor organisasi yang sangat
berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan etis. Karena skeptisme
merupakan salah satu komponen kode etik, intensi moral diduga memberi
pengaruh terhadap skeptisme auditor. Cohen dan Trompeter (2013) menemukan
fenomena empiris pengaruh intensitas moral terhadap bagaimana auditor akan
bersikap skeptis dan bertindak skeptis.
Isu moral yang dihadapi oleh auditor di lingkungan swasta dan pemerintah
sudah pasti berbeda. Karena perbedaan tersebut, hasil penelitian di sektor swasta
tidak dapat digeneralisir di sektor publik. Tidak seperti auditor swasta yang
bersaing mencari dan mempertahankan klien untuk mendapatkan fee audit,
auditor pemerintah tidak mempunyai tekanan tersebut (Page, 2005). Oleh sebab
itu, auditor pemerintah seharusnya memiliki posisi yang lebih independen.
Meskipun auditor pemerintah mememilik posisi yang independen, seringkali
objektivitas dan skeptisme auditor terhalang oleh relasi dan persahabtan (Page,
2005). Selain itu, tekanan dari sesama pegawai pemerintah di berbagai level dapat
-
7/26/2019 S2-2014-326386-chapter1
4/6
4
menghalangi auditor untuk mengungkap informasi yang sebenarnya pada publik
(Metzger, 2002; Page, 2005).
Dalam risetnya, Metzger (2002) mengurai beberapa karakteristik unik dari
akuntan pemerintah. Pertama, akuntan pemerintah dihadapkan dengan ekspektasi
tinggi dari publik. Kedua, sumber dana yang diaudit adalah dari rakyat, yaitu dari
pemasukan pajak. Oleh sebab itu, tanggungjawab moral auditor pemerintah lebih
tinggi. Ketiga, pengambilan keputusan di sektor pemerintah kerapkali tercampuri
oleh politik. Uraian dari Metzger (2005) tersebut menegaskan bahwa penelitian di
sektor pemerintah tidak kalah pentingnya dengan penelitian di sektor swasta.
Perlu dilakukan riset terhadap fenomena empiris yang terjadi di lembaga audit
pemerintah karena perbedaan lingkungan dapat menimbulkan isu moral yang
berbeda (Cohen, 2006).
Peneliti menguji parsial penelitian Nelson (2009) dengan mengambil salah
satu komponen sifat yang berpengaruh dengan skeptisme profesional, yaitu
penalaran moral. Nelson (2009) mengembangkan model skeptisme profesional
auditor dan menganjurkan penelitian lanjutan untuk menggali lebih dalam variabel
etika sebagai salah satu sifat yang mempengaruhi skeptisme auditor. Selain itu,
peneliti menambahkan karakteristik isu moral atau intensitas moral (Jones, 1991)
sebagai variabel independen lain. Penalaran moral saja tidak cukup untuk
menjelaskan tindakan yang diambil individu dalam dilema etika, karakteristik dari
isu bahkan lebih berpengaruh (Jones, 1991). Intensitas moral yang terkandung
dalam isu dilema etika memegang peranan penting dalam perilaku etis auditor
(Jones, 1991; Kelley dan Elm, 2003; Haines et al. 2008).
-
7/26/2019 S2-2014-326386-chapter1
5/6
5
1.2. Pertanyaan Penelitian
Menurut survey Lembaga Transparansi Internasional, Pemerintah
Indonesia merupakan salah satu dari negara terkorup di dunia. Tingginya angka
korupsi di Indoensia merupakan indikator lemahnya sistem pengendalian instansi
pemerintah. Tugas auditor BPK sebagai auditor eksternal pemerintah dalam
mengungkap temuan di instansi pemerintah sangat berat. Auditor wajib
menjunjung tinggi skeptisme profesional dalam menjalankan tugasnya.
Pentingnya skeptisme profesional sangat jelas dalam praktik audit (SPKN BPK
2007, PCAOB 2007 AS5, PCAOB 2010 AS8, PCAOB 2010 AS 14, SAS#1, dan
IAS#9). Skeptisme bahkan sering dikaitkan dengan kemampuan untuk mendeteksi
kecurangan.
Terinspirasi dari pentingnya skeptisme dan jarangnya penelitian yang
membahas faktor skeptisme auditor pemerintah, penelitian ini mengambil unsur
etika sebagai variabel yang mungkin mempengaruhi skeptisme. Penalaran moral
sebagai sifat individu (Nelson, 2009) dan intensitas moral (Jones, 2001; Cohen
dan Bennie, 2006) diujikan karena belum ada penelitian yang secara spesifik
menguji pengaruh penalaran moral dan intensitas moral terhadap skeptisme
auditor BPK. Padahal, BPK merupakan satu-satunya auditor eksternal pemerintah
di Indonesia. Oleh sebab itu, pertanyaan penelitian ini sebagai berikut;
1. Apakah penalaran moral auditor mempengaruhi skeptisme profesional
auditor BPK?
2. Apakah intensitas moral mempengaruhi skeptisme profesional auditor BPK?
-
7/26/2019 S2-2014-326386-chapter1
6/6
6
1.3. Tujuan Penelitian
1.
Menguji pengaruh penalaran moral auditor terhadap skeptisme profesional
auditor BPK.
2. Menguji pengaruh intensitas moral terhadap skeptisme profesional auditor
BPK.
1.4. Kontribusi Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberi kontribusi teori yang signifikan
terhadap model skeptisme profesional, khususnya yang terkait dengan variabel
individu seperti penalaran moral dan intensitas moral dari isu moral sendiri. Selain
itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pratikal terkait
pentingnya untuk memastikan level penalaran moral auditor. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan untuk perekrutan dan pelatihan auditor
pemerintah (BPK).
Pentingnya penalaran moral dapat menginspirasi BPK dalam memilih
auditor yang memiliki penalaran moral yang tinggi saat rekrutmen maupun dalam
menjaga penalaran moral auditor yang sudah bekerja di BPK. Pentingnya
karakteristik isu moral dapat memberikan masukan pada BPK untuk melakukan
pelatihan tentang tata cara menghadapi isu dilema etika dalam audit.