resume kelompok 7

61
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG LINGKUNGAN HIDUP MATA KULIAH PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR DAN NON MENULAR (P2MNM) KELOMPOK 5 CLARRA SYLVIA PARDEDE 25010112120043 PUJI KURNIASIH 25010112120044 PUSPA RUN CANTI 25010112120045 RANI NOVIANIS RIZKY S 25010112120046 UMAYA 25010112120047 HAIFA NURDIENNAH 25010112120048 WIWIN TIPUK DWI A 25010112120049 KELAS A 2012 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

Upload: puji-kurniasih

Post on 16-Jan-2016

220 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

7

TRANSCRIPT

Page 1: Resume Kelompok 7

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG LINGKUNGAN HIDUP

MATA KULIAH PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR DAN NON

MENULAR (P2MNM)

KELOMPOK 5

CLARRA SYLVIA PARDEDE 25010112120043

PUJI KURNIASIH 25010112120044

PUSPA RUN CANTI 25010112120045

RANI NOVIANIS RIZKY S 25010112120046

UMAYA 25010112120047

HAIFA NURDIENNAH 25010112120048

WIWIN TIPUK DWI A 25010112120049

KELAS A 2012

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2013

Page 2: Resume Kelompok 7

A. PERMENKES NOMOR 416 TAHUN 1990 TENTANG BAKU MUTU

AIR BERSIH

Permenkes Nomor 416 tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan

Kualitas dari Air Bersih di Indonesia, bertujuan untuk mengatur agar air

yang dikonsumsi oleh masyarakat terhindar dari berbagai bahan

berbahaya, sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Syarat-

syarat kualitas air harus berhubungan dengan kesehatan yang telah ada dan

perlu disesuaikan dengan perkembangan teknologi. Oleh karena itu,

munculnya peraturan ini ditujukan untuk menetapkan persyaratan

kesehatan air bersih. Peraturan ini terdiri dari 4 Bab dan 13 Pasal.

1. Pasal 1, menjelaskan tentang definisi air bersih dan beberapa hal yang

berkaitan dengan air bersih. Air bersih adalah air yang digunakan

untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat

kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak.

2. Pasal 2, menjelaskan tentang syarat-syarat kualitas air bersih. Air

bersih harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu mikrobiologi,

fisika, kimia, dan radioaktif.

3. Pasal 3, berisi tentang pengawasan kualitas air bersih. Pengawasan

kualitas air bertujuan untuk mencegah penurunan kualitas dan

penggunaan air yang dapat mengganggu dan membahayakan

kesehatan, serta meningkatkan kualitas air. Pengawasan kualitas air

dilaksanakan oleh Kepala Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II.

4. Pasal 4, menjelaskan tentang kegiatan pengawasan air bersih yang

mencakup pengamatan dan pengambilan (termasuk proses produksi

dan distribusi), pemeriksaan, analisis, perumusan saran, dan cara

pemecahan masalah yang timbul dan pemantauan yang dilakukan oleh

Kepala Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II secara berjenjang dengan

tembusan kepada Direktur Jenderal.

5. Pasal 5, menjelaskan bahwa pemeriksaan contoh air dilaksanakan oleh

laboratorium yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Page 3: Resume Kelompok 7

6. Pasal 6, menegaskan tentang Kakanwil bertugas meneruskan

pemerikasaan air yang dilakukan Direktur Jendral.

7. Pasal 7, menjelaskan tentang pembinaan teknis terhadap pengawasan

kualitas air, baik di tingkat Daerah Tingkat II, Provinsi, maupun Pusat.

Pembinaan pada Daerah Tingkat II dilaksanakan oleh Kakandep,

Provinsi dilaksanakan oleh Kakanwil, dan Pusat dilaksanakan oleh

Direktur Jenderal.

8. Pasal 8, berisi mengenai pembiayaan pemeriksaan contoh air yang

dibebankan kepada pemerintah dan masyarakat, termasuk swasta

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

9. Pasal 9, menjelaskan bahwa air adalah kepentingan umum yang wajib

diuji kualitasnya.

10. Pasal 10, berkaitan dengan tindakan pidana yang akan diberikan bagi

pihak yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-

ketentuan dalam Peraturan Menteri ini yang dapat mengakibatkan

bahaya bagi kesehatan dan merugikan bagi kepentingan umum maka

dapat dikenakan tindakan administratif dan/atau tindakan pidana atau

tidakan lainnya berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

11. Pasal 11, berisi tentang Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

01/Birhukmas/I/1975, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

172/MenKes/Per/VIII/1978, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

257/MenKes/Per/VI/1982.

12. Pasal 12, berisi tentang ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan

syarat-syarat harus disesuaikan dengan peraturan yang berlaku.

13. Pasal 13, berisi tentang peraturan kualitas air bersih yang ditetapkan

oleh Direktur Jenderal, agar setiap orang yang mengetahuinya,

memerintahkan perundang Peraturan Menteri.

Page 4: Resume Kelompok 7

Tabel 1. Daftar Persyaratan Kualitas Air Bersih

Page 5: Resume Kelompok 7

Keterangan: Logam berat merupakan logam terlarut

mg = milligram Bg = Beguerel

ml = milliliter NTU = Nepnelometrik Turbidity Units

L = liter TCU = True Colour Unit

Page 6: Resume Kelompok 7

B. PERMENKES NOMOR 492 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU

AIR MINUM

Peraturan ini disusun sebagai peraturan pembaharuan atas

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang

Syarat- syarat dan Pengawasan Air Minum. Peraturan tersebut dipandang

sudah tidak memadai lagi dalam rangka pelaksanaan pengawasaan air

minum yang memenuhi syarat kesehatan. Air minum yang dikonsumsi

oleh masyarakat harus terhindar dari berbagai bahan berbahaya sehingga

tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Oleh karena itu dibentuklah

peraturan ini untuk menetapkan persyaratan kesehatan air minum.

Peraturan ini terdiri atas 9 Pasal.

1. Pasal 1, menjelaskan tentang pengertian air minum, penyelenggara air

minum, Pemerintah Daerah, Kantor Kesehatan Pelabuhan, Menteri dan

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

2. Pasal 2, menegaskan bahwa produsen air minum harus memproduksi

air minum yang aman bagi kesehatan.

3. Pasal 3, menjelaskan tentang persyaratan air minum yang aman bagi

kesehatan. Adapun syarat air minum yang aman bagi kesehatan yaitu

harus memnuhi persyaratan fisika, mikrobiologis, kimiawi, dan

radioaktif. Pesyaratan tersebut dimuat dalam parameter wajib dan

parameter tambahan yang dibuat dengan mengacu pada peraturan ini.

4. Pasal 4, berisi tentang pengawasan air minum. Pengawasan air minum

dilakukan secara eksternal dan internal. Pengawasan yang dilakukan

meliputi inspeksi sanitasi, pengambilan sampel air, pengujian kualitas

air, analisis hasil pemeriksaan laboratorium, rekomendasi dan tindak

lanjut. Pengawasan secara eksternal dilakukan oleh Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota atau oleh KKP khusus untuk wilayah kerja KKP.

Pengawasan secara internal dilakukan oleh penyelenggara air minum

untuk menjamin kualitas air minum yang diproduksi memenuhi syarat

sebagaimana diatur dalam peraturan ini.

Page 7: Resume Kelompok 7

5. Pada pasal 6 disebutkan bahwa Menteri, Kepala BPOM, Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota bertugas melakukan pembinaan dan

pengawasan terhadap pelaksanaan aturan ini sesuai dengan tugas dan

fungsinya masing-masing.

6. Pasal 7, menjelaskan tentang pemberian sanksi administratif terhadap

penyelenggara air minum yang tidak memenuhi persyaratan kualitas

air minum di wilayah tertentu yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

7. Pasal 8, menegaskan bahwa saat peraturan ini ditetapkaan maka

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002

tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum dicabut

dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Peraturan ini berlaku semenjak

ditetapkan pada tanggal 19 April 2010.

Adapun lampiran dalam peraturan ini menjelaskan mengenai

Parameter Wajib dan Parameter Tambahan.

a. Parameter Wajib

Page 8: Resume Kelompok 7

b. Parameter Tambahan

Page 9: Resume Kelompok 7
Page 10: Resume Kelompok 7

C. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG

PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

Peaturan ini terdiri atas 9 Bab dan 59 Pasal yang dibuat dengan

mempertimbangkan bahwa udara sebagai sumberdaya alam yang

mempengaruhi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus

dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan

dan kesejahteraan manusia sserta perlindungan bagi makhluk hidup

lainnya. Hal ini juga merupakan tindak lanjut dari Undang-undang Nomor

23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

1. Bab 1, berisi tentang Ketentuan Umum.

a. Pasal 1, menjelaskan berbagai definisi hal-hal yang berkaitan

dengan pencemaran udara, seperti pengertian pencemaran udara,

pengendalian pencemaran udara, sumber pencemar, dan

sebagainya. Pencemaran udara adalah masuknya atau

dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam

udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien

turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien

tidak dapat memenuhi fungsinya.

b. Pasal 2, menjelaskan bahwa pengendalian pencemaran udara dapat

meliputi pengendalian dari usaha dan/atau kegiatan sumber

Page 11: Resume Kelompok 7

bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, dan

sumber tidak bergerak spesifik yang dilakukan dengan upaya

pengendalian sumber emisi dan/atau sumber gangguan yang

bertujuan untuk mencegak turunnya mutu udara ambien.

- Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak

tetap pada suatu tempat yang berasal dari kendaraan bermotor.

- Sumber bergerak spesifik adalah sumber emisi yang bergerak

atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kereta api,

pesawat terbang, kapal laut, dan kendaraan berat lainnya.

- Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada

suatu tempat.

- Sumber tidak bergerak spesifik adalah sumber emisi yang tetap

pada suatu tempat yang berasal dari kebakaran hutan dan

pembakaran sampah.

2. Bab 2, berisi tentang Perlindungan Mutu Udara.

a. Pasal 3, menjelaskan bahwa perlindungan mutu udara ambien

didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu udara

ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku

tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar

Pencemaran Udara (ISPU).

b. Pasal 4 dan 5, menjelaskan tentang Baku Mutu Udara Ambien.

Secara nasional, baku mutu udara ambien ditetapkan sebagai

batas maksimum mutu udara ambien untuk mencegah

terjadinya pencemaran udara, dimana penetapan baku mutu

tersebut dapat ditinjau kembali setelah 5 tahun. Baku mutu

udara ambien daerah ditetapkan berdasarkan pertimbangan

status mutu udara ambien di daerah yang bersangkutan. Dalam

hal ini, Gubernur dalam menetapkan baku mutu udara ambien

daerah harus berpedoman pada baku mutu udara ambien

nasional. Namun apabila Gubernur belum menetapkan baku

Page 12: Resume Kelompok 7

mutu udara ambien di daerahnya, maka wilayah tersebut harus

menerapkan baku mutu udara ambien nasional.

c. Pasal 6 dan 7, menjelaskan tentang Status Mutu Udara Ambien.

Status mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan iventarisasi

dan/atau penelitian terhadap mutu udara ambien, potensi

sumber pencemar udara, kondisi meteorologis dan geografis,

serta tata guna tanah. Apabila hasil inventarisasi dan/atau

penelitian menunjukkan status mutu udara ambien daerah

berada di atas baku mutu udara ambien nasional, Gubernur

menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah

yang bersangkutan sebagai udara yang tercemar.

d. Pasal 8 dan 9, menjelaskan tentang Baku Mutu Emisi dan

Ambang Batas Emisi Gas Buang. Kepala instansi bertanggung

jawab dalam menetapkan baku mutu emisi sumber tidak

bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan

bermotor baik tipe baru maupun tipe lama. Baku mutu emisi

sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang

kendaraan bermotor ditetapkan dengan mempertimbangkan

parameter dominan dan kritis, kualitas bahan bakar dan bahan

baku, serta teknologi yang ada. Penetapan ini juga harus

ditinjau ulang setelah 5 tahun digunakan.

e. Pasal 10 dan 11, menjelaskan tentang Baku Tingkat Gangguan

dan Ambang Batas Kebisingan. Baku tingkat gangguan sumber

tidak bergerak terdiri atas: baku tingkat kebisingan, baku

tingkat getaran, baku tingkat kebauan, dan baku tingkat

gangguan lainnya. Baku tingkat gangguan sumber tidak

bergerak ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek

kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek keselamatan

sarana fisik serta kelestarian bangunan. Ambang batas

kebisingan kendaraan bermotor ditetapkan dengan

mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia

Page 13: Resume Kelompok 7

dan/atau aspek teknologi. Ketetapan ini juga harus diperbarui

setiap 5 tahun sekali.

f. Pasal 12 s/d 15, membahas tentang Indeks Standar Pencemaran

Udara (ISPU). Indeks standar pencemaran udara ditetapkan

dengan mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap

manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bangunan, dan nilai

estetika. Indeks standar pencemaran udara diperoleh dari

pengoperasian stasiun pemantau kualitas udara ambien secara

otomatis dan berkesinambungan. ISPU dapat dipergunakan

untuk bahan informasi kepada masyarakat tentang kualitas

udara ambien di lokasi tertentu dan pada waktu tertentu, serta

sebagai bahan pertimbangan pemerintah pusat dan pemerintah

daerah dalam melaksanakan pengendalian pencemaran udara.

Tabel 2. Baku Mutu Udara Ambien Nasional

Page 14: Resume Kelompok 7
Page 15: Resume Kelompok 7

Catatan: Nomor 10 s/d 13 hanya diberlakukan untuk daerah/kawasan

Industri Kimia Dasar.

Contoh: Industri Petro Kimia dan Industri Pembuatan Asam Sulfat

3. Bab 3, berisi tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

a. Pasal 16 s/d 19, menjelaskan tentang pengendalian pencemaran

udara dan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan secara teknis

maupun operasional. Pengendalian pencemaran udara meliputi

pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta pemulihan

mutu udara dengan melakukan inventarisasi mutu udara

ambien, pencegahan sumber pencemar, baik dari sumber

bergerak maupun sumber tidak bergerak termasuk sumber

gangguan serta penanggulangan keadaan darurat.

b. Pasal 20 s/d 24, menjelaskan tentang upaya-upaya pencegahan

pencemaran udara. Upaya pencegahan tersebut dapat dilakukan

dengan cara penetapan baku mutu udara ambien, baku mutu

emisi sumber tidak bergerak, baku tingkat gangguan, ambang

batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor.

Page 16: Resume Kelompok 7

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang

mengeluarkan emisi dan/atau baku tingkat gangguan ke udara

ambien wajib untuk:

- Menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan

baku tingkat gangguan yang ditetapakn untuk usaha

dan/atau kegiatan yang dilakukannya.

- Melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan

pencemaran udara yang diakibatkan oleh usaha dan/atau

kegiatan yang dilakukannya.

- Memberikan informasi yang benar dan akurat kepada

masyarakat dalam rangka upaya pengendalian pencemaran

udara dalam lingkup usaha dan/atau kegiatannya.

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber

tidak bergerak yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan

wajib memenuhi persyaratan mutu emisi dan/atau gangguan

yang ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan,

serta wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan

yang telah ditetapkan baginya.

c. Pasal 25 s/d 43, menjelaskan tentang Penanggulangan dan

Pemulihan Pencemaran Udara. Setiap orang atau penanggung

jawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya

pencemaran udara dan/atau gangguan wajib melakukan upaya

penanggulangan dan pemulihannya. Apabila hasil pemantauan

menunjukkan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU)

mencapai nilai 300 atau lebih berarti udara dalam kategori

berbahaya. Penanggulangan pencemaran udara sumber tidak

bergerak meliputi pengawasan terhadap penataan baku mutu

emisi yang telah ditetapkan, pemantauan emisi yang keluar dari

kegiatan dan mutu udara ambien di sekitar lokasi kegiatan, dan

pemeriksaan penataan terhadap ketentuan persyaratan teknis

pengendalian pencemaran udara. Sedangkan penanggulangan

Page 17: Resume Kelompok 7

pencemaran udara dari sumber bergerak meliputi pengawasan

terhadap penataan ambang batas emisi gas buang, pemeriksaan

emisi gas buang untuk kendaraan bermotor tipe baru maupun

kendaraan bermotor lama, pemantauan mutu udara ambien di

sekitar jalan, pemeriksaan emisi gas buang kendaraan bermotor

di jalan dan pengadaan bahan bakar minyak bebas timah hitam

serta solar berkadar belerang rendah sesuai standar

internasional. Setiap kendaraan bermotor tipe baru wajib

melakukan uji emisi maupun uji kebisingan, begitu juga

dengan kendaraan bermotor tipe lama harus melakukannya

secara berkala.

4. Bab 4, berisi tentang Pengawasan

a. Pasal 44 s/d 51, menjelaskan tentang pihak-pihak yang

berwenang melakukan pengawasan terhadap pencemaran

udara.

- Pada lingkup nasional, Menteri melakukan pengawasan

terhadap penataan penanggung jawab usaha dan/atau

kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya

pencemaran udara.

- Pada lingkup daerah, Gubernur mengambil alih

wewenang dalam melakukan pengawasan terhadap

pencemaran udara di daerah pemerintahannya, begitu

pula di lingkup Daerah Tingkat II wewenang dapat

dilakukan oleh Bupati/Walikota.

- Hasil pemantauan wajib dilaporkan kepada Kepala

Intansi yang bertanggung jawab sekurang-kurang sekali

dalam 1 tahun.

5. Bab 5, berisi tentang Pembiayaan

a. Pasal 52, menjelaskan bahwa segala biaya yang timbul

sebagai akibat dari upaya pengendalian pencemaran udara

dan/atau gangguan dari sumber tidak bergerak yang

Page 18: Resume Kelompok 7

dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan

dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau

kegiatan yang bersangkutan.

b. Pasal 53, menjelaskan bahwa segala biaya yang timbul

sebagai akibat pengujian tipe emisi dan kebisingan

kendaraan bermotor tipe baru dan pelaporannya dalam

rangka pengendalian pencemaran udara dan/atau gangguan

dibebankan kepada perakit, pembuat, pengimpor kendaraan

bermotor.

6. Bab 6, berisi tentang Ganti Rugi

a. Pasal 54 dan 56, menjelaskan bahwa setiap orang atau

penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang

mengakibatkan terjadinya pencemaran udara wajib

menanggung biaya penanggulangan pencemaran udara

serta biaya pemulihannya. Menteri akan menetapkan tata

cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti

rugi.

7. Bab 7, berisi tentang Sanksi

a. Barangsiapa yang menimbulkan dan/atau mengakibatkan

pencemaran udara dan/atau gangguan diancam dengan

pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal

43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undang-

undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

b. Barangsiapa melanggar ketentuan yang berkaitan dengan

kendaraan bermotor baru maupun lama yang tidak

memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang, atau

ambang batas kebisingan diancam dengan pidana

sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-undang No. 14

Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum.

8. Bab 8, berisi tentang Ketentuan Peralihan

Page 19: Resume Kelompok 7

9. Bab 9, berisi tentang Ketentuan Penutup

D. PERMEN LH NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA

PEMULIHAN LAHAN TERKONTAMINASI LIMBAH BAHAN

BERBAHAYA DAN BERACUN

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 33 Tahun 2009 ini

dibuat dengan mempertimbangkan bahwa limbah bahan berbahaya dan

beracun akibat tumpahan, ceceran, kebocoran, atau pembuangan langsung

ke lahan memiliki potensi menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan, sehingga perlu dilaksanakan pemulihan lahan terkontaminasi

limbah bahan berbahaya dan beracun. Sehingga limbah bahan berbahaya

dan beracun yang dibuang ke lingkungan perlu dilakukan pengelolaan agar

tidak mengganggu keseimbangan lingkungan dan tidak menimbulkan

penyakit bagi lingkungan di sekitarnya.

Peraturan ini terdiri atas 13 Pasal. Berikut adalah garis besar dari

peraturan ini:

1. Pasal 1, berisi tentang berbagai definisi yang berkaitan dengan limbah

bahan berbahaya dan beracun.

a. Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah sisa suatu usaha

dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau

beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau

jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat

mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau

dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan

hidup manusia serta mahluk hidup lain.

b. Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya merangkum

semua tanda pengenal biosfir, atmosfir, tanah, geologi, timbulan

(relief), hidrologi, populasi tumbuhan, dan hewan, serta hasil

kegiatan manusia masa lalu dan masa kini, yang bersifat mantaf

atau mendaur.

c. Lahan terkontaminasi adalah lahan yang terkena limbah bahan

berbahaya dan beracun (B3).

Page 20: Resume Kelompok 7

d. Pemulihan adalah serangkaian kegiatan penanganan lahan

terkontaminasi yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan,

evaluasi dan pemantauan.

e. Tingkat keberhasilan pemulihan adalah target sasaran yang dicapai

dalam penanganan lahan terkontaminasi limbah B3.

2. Pasal 2, berisi tentang tujuan dibuatnya peraturan yaitu untuk

memberikan pedoman bagi penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan

dalam melaksanakan penanganan pemulihan lahan terkontaminasi

limbah B3.

3. Pasal 3, menyatakan bahwa penanggung jawab usaha dan/atau

kegiatan wajib melakukan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3

yang diakibatkan dari usaha dan/atau kegiatannya.

4. Pasal 4, menyatakan bahwa pemulihan lahan terkontaminasi limbah

B3 terdiri atas kegiatan: perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan

pemantauan.

5. Pasal 5, menyebutkan bahwa kegiatan perencanaan meliputi rencana

pelaksanaan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 dan rencana

pengolahan tanah terkontaminasi limbah B3.

6. Pasal 6, menyatakan bahwa kegiatan pelaksanaan pemulihan lahan

terkontaminasi limbah B3 meliputi: survei lahan terkotaminasi limbah

B3, dan kegiatan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3.

7. Pasal 7, menyebutkan bahwa lahan terkontaminasi dinyatakan bersih

dari limbah B3 apabila telah dilakukan evaluasi tingkat keberhasilan

pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3.

8. Pasal 8, menyatakan bahwa penanggung jawab kegiatan pemulihan

wajib melaporkan hasil pelaksanaan pemulihan lahan terkontaminasi

limbah B3 kepada Menteri dengan tembusan Gubernur dan

Bupati/Walikota.

9. Pasal 9, menyebutkan bahwa Menteri wajib melakukan evaluasi

terhadap hasil pelaksanaan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3.

Page 21: Resume Kelompok 7

Apabila hasil evaluasi telah memenuhi ketentuan, maka Menteri

menerbitkan SSPLT.

10. Pasal 10, menjelaskan bahwa setiap penanggung jawab usaha dan/atau

kegiatan yang telah mendapatkan SSPLT wajib melakukan

pemantauan terhadap lahan terkontaminasi paling sedikit 1 kali dalam

6 bulan selama 1 tahun. Hasil pemantauan disampaikan kepada

Menteri dengan tembusan Gubernur dan Bupati/Walikota.

11. Pasal 11, menyebutkan bahwa pengolahan tanah terkontaminasi

limbah B3 diperlakukan sama dengan pengelolaan limbah B3.

Pengelolaan tanah terkontaminasi limbah B3 dilakukan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan limbah B3.

12. Pasal 12, menyatakan bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan

pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 dilakukan oleh:

a. Menteri apabila lahan terkontaminasi limbah B3 berada pada dua

wilayah provinsi dan/atau lintas batas negara;

b. Gubernur apabila lahan terkontaminasi limbah B3 berada pada dua

atau lebih wilayah kabupaten/kota; atau

c. Bupati/Walikota apabila lahan terkontaminasi limbah B3 berada

pada wilayah kabupaten/kota.

13. Pasal 13, menyatakan bahwa Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada

tanggal yang ditetapkan.

E. BUKU PEDOMAN PEMBINAAN PENGGUNAAN PESTIDA

Buku pedoman penggunaan pestisida dikeluarkan oleh Direktorat

Pupuk dan Pestisida Kementerian Pertanian pada Tahun 2011. Buku ini

berisi tentang cara pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT)

dengan cara kimiawi, yakni dengan menggunakan pestisida. Buku ini

disusun dalam rangka memberikan informasi tentang kebijakan dan kaidah

penggunaan pestisida yang tepat guna dan bijaksana dalam pengendalian

organisme pengganggu tanaman.

Page 22: Resume Kelompok 7

Pertisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik

dan virus yang dipergunakan untuk:

- Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang

merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil tanaman.

- Memberantas rerumputan atau tanaman pengganggu/gulma.

- Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.

- Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian

tanaman, tidak termasuk pupuk.

- Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan

peliharaan dan ternak.

- Memberantas atau mencegah hama-hama air.

- Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik

dalam rumah tangga, bangunan dan alat-alat pengangkutan.

- Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat

menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang yang perlu

dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah, dan air.

Jenis pestisida ditinjau dari jasad yang menjadi sasaran

penggunaan pestisida dapat diberdakan menjadi beberapa jenis, antara

lain:

a. Akarisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh tungau

atau kutu.

b. Algasida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh alga.

c. Alvisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh burung.

d. Bakterisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh bakteri.

e. Fungisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh jamur.

f. Herbisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh gulma.

g. Insektisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh serangga.

h. Molluskisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh siput.

i. Nematisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh

nematoda.

j. Ovisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk merusak telur.

Page 23: Resume Kelompok 7

k. Pedukulisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh kutu

atau tuma.

l. Piscisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh ikan.

m. Rodentisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh

binatang pengerat.

n. Termisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh rayap.

Bentuk formulasi pestisida dapat dibedakan menjadi 3 (tiga)

bentuk, yaiu:

1. Formulasi Cair

Formulasi pestisida bentuk cair biasanya terdiri dari pekatan yang

dapat diemulsikan (EC), pekatan yang larut dalam air (SL), pekatan

dalam air (AC), pekatan dalam minyak (OC), aerosol (A), gas yang

dicairkan (LG).

2. Formulasi Padat

Formulasi pestisida bentuk padat terdiri dari tepung yang dapat

disuspensikan/dilarutkan (WP/DP), tepung yang dapat dilarutkan (SP),

Butiran (G), pekatan debu (DC), debu (D), umpan (BB), tablet (TB).

3. Padatan Lingkar

Formulasi padatan lingkar adalah campuran bahan aktif pestisida

dengan serbuk gergaji kayu dan perekat yang dibentuk menjadi

padatan yang melingkar. Formulasi ini mempunyai kode MC di

belakang nama dagangnya.

Pestisida dapat memberikan manfaat bagi petani dan penggunanya.

Namun di sisi lain pestisida juga menimbulkan dampak negatif bagi

pengguna dan lingkungan di sekitarnya baik lingkungan biotik maupun

lingkungan abiotik.

a. Manfaat Penggunaan Pestisida

Kelebihan pengendalian dengan pestisida dibandingkan dengan

pengendalian metode lain adalah:

- Dapat diaplikasikan dengan mudah

- Dapat diaplikasikan hampir di setiap waktu dan setiap tempat

Page 24: Resume Kelompok 7

- Hasilnya dapat dirasakan dalam waktu singkat

- Dapat diaplikasikan dalam areal yang luas dalam waktu singkat

- Mudah diperoleh dan memberikan keuntungan ekonomi terutama

jangka pendek.

b. Dampak Negatif Pestisida

Pada umumnya pestisida yang digunakan untuk mengendalikan

organisme penggangu adalah biosida yang tidak saja bersifat racun

terhadap organisme pengganggu sasaran, tetapi juga dapat memberikan

pengaruh yang tidak diinginkan terhadap organisme bukan sasaran,

termasuk manusia serta lingkungan hidup. Beberapa organisme bukan

sasaran yang terkena dampak dari penggunaan pestisida diantaranya

adalah:

- Keracunan pestisida pada manusia (petani, pengecer pestisida,

pekerja pabrik/gudang), serta manusia lainnya yang tidak bekerja

pada pestisida).

- Keracunan terhadap ternak dan hewan peliharaan.

- Keracunan pada ikan dan biota lainnya.

- Keracunan terhadap satwa liar.

- Keracuan terhadap makanan.

- Kematian musuh alami organisme pengganggu.

- Kenaikan populasi pengganggu tidak mengalami hambatan oleh

musuh alami tersebut.

- Dapat menyebabkan timbulnya resistensi (kekebalan), sehingga

untuk mengatasi organisme pengganggu yang resisten perlu dosis

yang lebih tinggi, hal ini menjadi lebih berbahaya.

- Residu penggunaan pestisida khususnya pada tanaman yang

dipanen.

- Pencemaran lingkungan

- Menghambat perdagangan

Demi keamanan dalam penggunaan penggunaan pestisida, maka

pemerintah mengeluarkan kebijakan dan kaidah penggunaan pestisida.

Page 25: Resume Kelompok 7

a. Peraturan Pestisida

Mengingat pentingnya peranan pestisida dalam penyelamatan produksi

pertanian, pemerintah berkewajiban untuk mengatur peredaran dan

penggunaan pestisida di Indonesia. Selain itu, pestisida termasuk

bahan berbahaya, sehingga dalam pengaturannya juga mengacu kepada

peraturan-peraturan internasional yang disepakati bersama dengan

Badan Internasional, seperti FAO, WHO, Kesepakatan Protokol

Montreal, dan sebagainya.

Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 ditegaskan bahwa:

“Pestisida yang akan diedarkan di dalam Wilayah Negara Republik

Indonesia wajib terdaftar, memenuhi standar mutu, terjamin

efektivitasnya, aman bagi manusia dan lingkungan hidup serta diberi

label”.

Sedangkan dalam Permentan Nomor 45/Permentan/SR.140/10/2009

diamanatkan bahwa: “Pestisida yang terdaftar/diijinkan adalah

pestisida yang telah memenuhi persyaratan administrasi dan kriteria

teknis yang ditetapkan Menteri Pertanian”.

Tabel 1 Perkembangan Jumlah Pestisida yang Terdaftar di Indonesia

Tahun 2006-2010

Keterangan: PHL (Pestisida Hygiene Lingkungan)

Page 26: Resume Kelompok 7

Berdasarkan sifat fisiko-kimianya, pestisida diklasifikasikan menjadi 2

(dua) yaitu:

1. Pestisida yang boleh didaftarkan, adalah pestisida yang tidak termasuk

kategori pestisida dilarang yang bidang penggunaannya meliputi

untuk: pengelolaan tanaman, peternakan, kesehatan hewan, perikanan,

kehutanan, penyimpanan hasil, rumah tangga, pengendali vektor

penyakit pada manusia, karantina dan pra pengapalan.

2. Pestisida dilarang, adalah pestisida yang berdasarkan klasifikasi WHO

mempunyai klasifikasi 1a (sangat berbahaya sekali) dan 1b (berbahaya

sekali), mempunyai LC < 0,05 mg/lt dalam 4 jam paparan, mempunyai

indikasi: karsinogenik, onkogenik, teratogenik, dan mutagenik.

Tabel 2 Daftar Bahan Aktif Pestisida yang Dilarang

Page 27: Resume Kelompok 7

b. Kaidah Penggunaan Pestisida

Penggunaan pestisida harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

- Pestisida hanya digunakan sebagai alternatif terakhir, apabila

belum ditemukan cara pengendalian daya racun rendah dan bersifat

selektif.

- Apabila terpaksa menggunakan pestisida, maka gunakan pestisida

yang mempunyai daya racun rendah dan bersifat selektif.

- Apabila terpaksa menggunakan pestisida, lakukan secara bijaksana.

Pengguaan pestisida secara bijaksana adalah penggunaan pestisida

memperhatikan prinsip 5 tepat, yaitu:

1. Tepat Sasaran

2. Tepat Jenis

3. Tepat Waktu

4. Tepat Dosis/Konsentrasi

5. Tepat Cara

Prinsip-prinsip penggunaan pestisida secara bijaksana adalah sebagai

berikut:

1. Menerapkan Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

- Pestisida digunakan sebagai alternatif terakhir

- Pengendalian hama dengan pestisida dilakukan berdasarkan

nilai Ambang Pengendalian (AP) atau Ambang Ekonomi (AE)

2. Menggunakan Pestisida yang Terdaftar dan Diijinkan Menteri

Pertanian.

3. Menggunakan Pestisida Sesuai dengan Jenis Komoditas dan Jenis

Organisme Sasaran yang Diijinkan

4. Memperhatikan Dosis dan Anjuran yang Tercantum pada Label

5. Memperhatikan Kaidah-kaidah Keselamatan dan Keamanan

Penggunaan Pestisida

c. Ketentuan Pestisida Terbatas

Page 28: Resume Kelompok 7

Pestisida terbatas adalah pestisida yang dalam penggunaanya

memerlukan persyaratan dan alat-alat pengaman khusus di luar yang

tertera tabel.

Suatu pestisida digolongkan ke dalam pestisida terbatas dengan

pertimbangan/justifikasi sebagai berikut:

- Dinilai lebih berbahaya dibandingkan dengan pestisida umum

- Memerlukan kehati-hatian dalam penggunaan

- Memerlukan peralatan-peralatan khusus dalam penggunaan

- Penggunanya harus cakap dan terlatih

Kriteria pestisida terbatas adalah sebagai berikut:

1. Formulasi pestisida korosif pada mata (menyebabkan kerusakan

tak terkembalikan pada jaringan okular) atau mengakibatkan

pengkerutan kornea atau iritasi sampai 7 hari atau lebih.

2. Formulasi pestisida korosif pada kulit atau mengakibatkan iritasi

berat sampai 72 jam atau lebih.

3. Bila digunakan seperti tertera pada label, atau menurut praktek

yang biasa dilakukan, pestisida tersebut masih menyebabkan

keracunan yang nyata secara subkronik, kronik, atau gejala

tertunda pada manusia akibat pemaparan.

Jenis Pestisida terbatas yang diijinkan diantaranya adalah pestisida

dengan bahan aktif:

a. Aluminium fosfida

b. Megnesia fosida

c. Parakuat diklorida

d. Metil bromida

e. Sulfuril fluorida

Persyaratan penggunaan pestisida terbatas diatur dalam Pasal 7

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 45/Permentan/SR.140/10/2009

tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida, diatur bahwa:

Page 29: Resume Kelompok 7

- Setiap orang yang menggunakan pestisida terbatas wajib memiliki

“Sertifikat Penggunaan Pestisida Terbatas”.

- Sertifikat Penggunaan Pestisida Terbatas diberikan kepada orang

yang telah “Lulus Pelatihan” yang diselenggarakan oleh Ketua

Komisi Pengawasan Pestisida Provinsi/Kabupaten/Kota atau

Pejabat yang ditunjuk

- Sertifikat berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang

Teknik penggunaan pestisida memiliki beberapa cara aplikasi yang

berbeda-beda, diantaranya adalah:

a. Cara Penaburan

Aplikasi pestisida dengan cara penaburan (soil incorporation) pada

umumnya dilakukan untuk pestisida formulasi butiran/granula,

yang bersifat sistemik dengan OPT sasaran yang hidup di dalam

jaringan tanaman atau di dalam tanah. Penaburan pestisida butiran

dapat dilakukan di lahan sawah atau di lahan kering.

b. Cara Penyemprotan

Alat aplikasi atau alat semprot yang efisien dapat menjamin

penyebaran bahan/campuran semprot yang merata pada sasaran

dan tidak menimbulkan pemborosan. Cairan yang disemprotkan

dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi.

c. Cara Penghembusan

Aplikasi pestisida dengan cara penghembusan biasanya dilakukan

terhadap pestisida formulasi tepung atau debu (dust), sehingga

alatnya disebut duster.

d. Cara Pengumpanan

Cara pengumpanan yaitu mencampur pestisida dengan makanan

atau bahan-bahan tertentu yang disukai OPT sasaran.

e. Cara Fumigasi

Cara fumigasi dilakukan apabila pestisida bersifat gas (fumigan),

yang pada umumnya dilakukan untuk pengendalian hama gudang,

tetapi dapat juga untuk nematoda dalam tanah.

Page 30: Resume Kelompok 7

f. Cara Pengasapan

Aplikasi pestisida dengan pengasapan, menggunakan alat pengasap

yang sering disebut swing fog. Hanya digunakan untuk pestisida

yang dapat dicampur dengan minyak tanah/solar sehingga akan

membentuk droplet yang berbentuk asap.

Waktu aplikasi adalah pemilihan rentang waktu yang tepat untuk

mengaplikasikan pestisida. Jika dikaitkan dengan tahap perkembangan

hama, maka dikenal waktu aplikasi pestisida, yaitu: aplikasi preventif,

kuratif, sistem kalender dan aplikasi berdasar ambang kendali atau

ambang ekonomi.

1. Aplikasi Preventif

Aplikasi preventif adalah aplikasi pestisida yang dilakukan

sebelum ada serangan hama dengan tujuan untuk melindungi

tanaman.

2. Aplikasi dengan sistem Kalender

Aplikasi sistem kalender atau aplikasi berjadwal, tetap banyak

dilakukan oleh petani, misalnya seminggu sekali atau bahkan

seminggu dua kali. Dengan aplikasi semacam ini, jumlah aplikasi

permusim menjadi sangat banyak.

3. Aplikasi Kuratif

Aplikasi kuratif adalah kebalikan dari aplikasi preventif. Aplikasi

ini (termasuk aplikasi eradikatif) dilakukan sesudah ada serangan

hama dengan maksud untuk menghentikan serangan hama atau

menurunkan populasi hama tersebut.

4. Aplikasi berdasarkan Amabang Pengendalian atau Ambang

Ekonomi

Penentuan waktu aplikasi berdasarkan ambang ekonomi atau

ambang pengendalian merupakan salah satu variasi dari aplikasi

insektisida secara kuratif dan merupakan cara yang dianjurkan

dalam pengendalian hama terpadu.

Page 31: Resume Kelompok 7

Prosedur penggunaan pestisida harus memenuhi persyaratan dan tata-

cara penggunaan pestisida dengan melalui beberapa tahapan, yaitu:

a. Persiapan

- Menyiapkan bahan-bahan (pestisida)

- Menyiapkan perlengkapan keamanan atau pakaian pelindung

- Memeriksa alat aplikasi dan bagian-bagiannya

- Memeriksa alat-alat aplikasi sebelum digunakan

- Waktu mencampur dan menggunakan pestisida sebaiknya

jangan langsung memasukkan pestisida ke dalam tangki

b. Kalibrasi

Untuk memperoleh hasil aplikasi yang optimal, maka alat aplikasi

pestisida harus dikalibrasi agar dosis yang kita capai sesuai dengan

anjuran.

c. Ketentuan aplikasi

Selama pelaksanaan aplikasi di lapangan, hal-hal yang perlu

diperhatikan sebagai berikut:

- Pada waktu aplikasi, operator pelaksana atau petani harus

memakai perlengkapan keamanan seperti sarung tangan, baju

lengan panjang, celana panjang, topi, sepatu kebun, dan

masker/sapu tangan bersih untuk menutup hidung dan mulut

selama aplikasi.

- Pada waktu aplikasi, jangan berjalan berlawanan dengan arah

datangnya angina dan tidak melalui area yang telah diaplikasi

pestisida.

- Selama aplikasi pestisida, tidak dibenarkan makan, minum,

atau merokok.

- Satu orang operator/petani hendaknya tidak melakukan aplikasi

penyemprotan pestisida terus menerus lebih dari 4 jam dalam

sehari.

Page 32: Resume Kelompok 7

- Operator/petani yang melakukan aplikasi pestisida hendaknya

telah berusia dewasa, sehat, tidak ada bagian yang luka, dan

dalam keadaan tidak lapar.

- Pada area yang telah diaplikasi dipasanga tanda peringatan

bahaya.

d. Pembuangan sisa

Setelah melaksanakan aplikasi pestisida, beberapa hal yang perlu

diperhatikan, antara lain adalah:

- Sisa campuran pestisida atau larutan semprot tidak

dibiarkan/disimpan terus dalam tangki, karena lama-kelamaan

akan menyebabkan tangki berkarat.

- Cuci tangki yang telah kosong dan peralatan lainnya sebersih

mungkin sebelum disimpan.

- Air bekas cucian tidak mencemari saluran air, kolam ikan,

sumur, sumber air, dan lingkungan perairan lainnya.

- Memusnahkan atau membakar kantong/wadah bekas pestisida

atau bekas mencampur benih dengan pestisida, atau dengan

cara menguburnya ke dalam tanah di tempat yang aman.

F. PEDOMAN PENGUATAN KOMISI PENGAWASAN PUPUK DAN

PESTISIDA (KP3) DAN PEMBERDAYAAN PENYIDIK PEGAWAI

NEGERI SIPIL (PPNS) PUPUK DAN PESTISIDA

Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) merupakan

wadah koordinasi pengawasan antar intansi terkait di bidang pupuk dan

pestisida baik tingkat Provinsi yang ditetapkan oleh Gubernur maupun

tingkat Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota. Disamping

wadah koordinasi tersebut upaya mengatasi permasalahan pupuk dan

pestisida juga sangat diharapkan dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil

(PPNS) Pupuk dan Pestisida terutama dalam penyelesaian tindak kasus

pidana sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-

undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

Page 33: Resume Kelompok 7

KPPP Provinsi mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap

pengadaan, peredaran, dan penyimpanan serta penggunaan pupuk dan

pestisida di wilayah masing-masing, baik melalui pemantauan secara

langsung terhadap penyediaan dan penyaluran pupuk dari Lini II sampai

dengan Lini IV dan Kelompok Tani (petani), maupun secara tidak

langsung melalui monitoring dan evaluasi terhadap laporan hasil

pengawasan yang dilakukan oleh instansi terkait dan Tim/Komisi

Pengawasan Pupuk dan Pestisida Kabupaten/Kota di Provinsi wilayahnya.

Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida Provinsi mempunyai

fungsi, yaitu:

1. Mengkoordinasikan kegiatan masing-masing Instansi/Unit Kerja

terkait yang melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap pupuk

dan pestisida yang meliputi pengadaan, peredaran, penggunaan, mutu,

harga, jumlah, penyimpanan, penyaluran dan efek samping yang

ditimbulkannya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan

sekitarnya.

2. Mengadakan pembinaan terhadap usaha masyarakat dan stakeholder di

bidang pupuk dan pestisida.

3. Melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap kegiatan masyarakat

yang berhubungan dengan produksi, penyimpanan, peredaran,

pemanfaatan/penggunaan pupuk dan pestisida sesuai dengan ketentuan

Peraturan Perundang-undangan.

4. Mengidentifikasi, memantau jenis, mutu pupuk dan pestisida yang

beredar dipasaran serta dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap

tanaman, manusia, dan lingkungan hidup.

Wewenang Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida Provinsi

(KPPP) adalah sebagai berikut:

1. Menghubungi instansi terkait agar dapat membantu pelaksanaan

pengawasan pupuk dan pestisida dengan mengusulkan petugas dari

instansinya untuk ditetapkan sebagai pengawas pupuk dan pestisida.

Page 34: Resume Kelompok 7

2. Melakukan pembinaan kepada petugas pengawas pupuk dan pestisida

agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan berjalan lancar.

3. Meminta keterangan dan penjelasan dari pihak yang berwenang dan

instansi yang terkait dengan pupuk dan pestisida mengenai

keragaan/komposisi, mutu, harga dan penggunaan pupuk dan pestisida

yang dikelolanya serta pendistribusiannya dan stok/persediaan yang

ada.

4. Menerima laporan dari masyarakat dan/atau pelaku usaha serta

anggota komisi tentang adanya dugaan penyimpangan dalam peredaran

pupuk dan pestisida serta penyalahgunaan dalam pengadaan,

penyaluran, dan pemanfaatan pupuk serta melakukan pengecekan,

penelitian dan pemeriksaan terhadap dugaan tersebut dan apabila

diperlukan dapat memanggil pelakunya untuk dimintai keterangan dan

penjelasan sesuai dengan yang dibutuhkan dan selanjutnya membuat

suatu kesimpulan atau laporan.

Kewajiban Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida Provinsi

(KPPP) adalah sebagai berikut:

1. Melakukan rapat koordinasi sekali dalam sebulan atau sesuai dengan

kebutuhan.

2. Melaporkan hasil pengawasan pupuk dan pestisida kepada Gubernur

dan ke Pusat (Direktorat Pupuk dan Pestisida).

3. Melakukan rapat koordinasi ataupun pembinaan dengan Komisi

Pengawasan Pupuk dan Pestisida Kabupaten/Kota sekali dalam 3 bulan

atau sesuai dengan kebutuhan.

4. Memberikan masukan berupa saran/pendapat dan penjelasan Gubernur

atau hasil temuan pengawasan pupuk dan pestisida di lapangan.

5. Melakukan monitoring, pengawasan, dan pemantauan terhadap

pengadaan penyaluran serta harga pupuk dan pestisida di daerah

Provinsi.

6. Melakukan tugas yang erat kaitannya dengan pupuk dan pestisida.

Page 35: Resume Kelompok 7

Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) baik Provinsi

maupun Kabupaten/Kota adalah salah satu wadah koordinasi pengawasan

pupuk dan pestisida antar intansi terkait di bidang pupuk dan pestisida.

Agar semua intansi terkait di bidang pupuk dan pestisida mempunyai

peran sesuai dengan tugas dan fungsinya, maka Komisi Pengawasan

Pupuk dan Pestisida baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota sebaiknya

teridiri dari unsur-unsur pemerintah daerah dan dinas terkait.

Ruang lingkup kegiatan komisi pengawasan pupuk dan pestisida

baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain:

1. Rapat Koordinasi KPPP Provinsi dan dengan KPPP Kabupaten/Kota

2. Pembelian Sampel Pupuk dan Pestisida

3. Analisa Sampel Pupuk dan Pestisida

4. Pembinaan Pengawasan Pupuk dan Pestisida

5. Inventarisasi Peredaran Pupuk dan Pestisida.

Kegiatan pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

Pupuk dan Pestisida diarahkan untuk lebih meningkatkan koordinasi

dengan POLDA/Korwas Daerah, secara umumruang lingkup kegiatan

antara lain:

1. Koordinasi Penyelidikan dengan Korwas Propinsi

2. Sosialisasi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem

Budidaya Tanaman dengan sasaran Dinas Pertanian Kabupaten/Kota

dan Pelaku usaha (distributor dan kios pupuk dan pestisida)

3. Pembelian sampel pupuk dan pestisida

4. Analisa sampel pupuk dan pestisida

5. Pembinaan peredaran pupuk dan pestisida

6. Penyelidikan tindak kasus tindak pidana pupuk dan pestisida

Kegiatan penguatan kelembagaan Komisi Pengawasan Pupuk dan

Pestisida (KPPP) baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota serta

pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Pupuk dan Pestisida

tahun 2012 berasal dari dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan

Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, dengan mata anggaran

Page 36: Resume Kelompok 7

kegiatan/akun yang terdiri dari: belanja bahan, belanja barang non

operasional lainnya, belanja jasa lainnya, belanja perjalanan lainnya serta

belanja jasa profesi (bukan dalam bentuk belanja sosial lainya).

Penguatan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP)

Provinsi dilakukan dengan:

1. Rapat Koordinasi Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP).

Rapat koordinasi KPPP dilaksanakan dengan tujuan

mengkoordinasikan kegiatan masing-masing instansi/unit kerja terkait

yang melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap pupuk dan

pestisida yang meliputi pengadaan, peredaran, penggunaan, mutu,

harga, jumlah, penyimpanan, penyaluran, dan efek samping yang

ditimbulkannya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan

sekitarnya. Rapat koordinasi dilaksanakan 2 kali yang dihadiri oleh

seluruh anggota Komisi Pengawasan Pupuk Pestisida (KPPP) Provinsi

dan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) Kabupaten/Kota

se Provinsi (terutama yang mendapat alokasi kegiatan penguatan

KPPP).

2. Sinkronisasi Pengawasan Pupuk dan Pestisida.

Sinkronisasi pengawasan pupuk dan pestisida dilaksanakan dengan

tujuan untuk mensinkronkan pelaksanaan pengawasan antara Pusat,

Provinsi, Kabupaten/Kota serta dengan instansi terkait di Provinsi.

Narasumber dari pertemuan sinkronisasi pengawasan pupuk dan

pestisida adalah instansi terkait di bidang pupuk dan pestisida di

Provinsi (Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Perdagangan,

Polda, BUMN Pupuk/Produsen Pestisida serta dari Pusat (Direktorat

pupuk dan Pestisida). Peserta pertemuan sinkronisasi pengawasan

pupuk dan pestisida adalah petugas pengawas pupuk dan pestisida

provinsi dan kabupaten/kota, instansi terkait dibidang pupuk dan

pestisida serta pelaku usaha dibidang pupuk dan pestisida.

3. Pembelian Sampel Pupuk dan Pestisida.

Page 37: Resume Kelompok 7

Pembelian sampel pupuk dan pestisida diarahkan hanya untuk pupuk

dan pestisida yang terdaftar dan diizinkan oleh Menteri Pertanian dan

diusahakan agar berasal dari kios yang berbeda. Khusus untuk pupuk,

mengingat biaya analisa mutu pupuk sangat bervariasi (tergantung

jumlah unsur hara yang dianalisa), disamping pupuk bersubsidi

sebaiknya juga lebih diarahkan untuk pupuk-pupuk non subsidi

termasuk pupuk organik. Pembelian sampel pupuk dan pestisida harus

disertai dengan bukti pembelian dengan alamat kios pupuk dan

pestisida yang jelas disertai dengan legalitas kios tersebut (stempel/

cap kios, tanggal pembelian dan nama serta tanda tangan pemilik kios).

Terhadap pupuk dan pestisida yang dicurigai ada unsur pemalsuan/

bukan illegal perlu dilengkapi dengan berita acara pengambilan

sampel/contoh pupuk dan atau pestisida.

4. Pembinaan Pengawasan Pupuk dan Pestisida

Kegiatan pembinaan pengawasan pupuk dan pestisida diarahkan untuk

meningkatkan peran dan kemampuan petugas pengawas Kabupaten/

Kota serta pembinaan terhadap distributor, kios pupuk dan pestisida

terkait dengan peraturan perundang-undangan tentang pupuk dan

pestisida.

5. Inventarisasi Peredaran Pupuk dan Pestisida

Inventarisasi peredaran pupuk dan pestisida bertujuan untuk

mengetahui sebaran peredaran pupuk dan pestisida di suatu Provinsi

serta untuk mengetahui jenis formulasi pestisida yang dominan

digunakan untuk masing-masing komoditi. Hasil invetarisasi peredaran

pupuk dan pestisida di seluruh Indonesia diharapkan dapat membantu

pemerintah pusat dalam penetapan sanksi terhadap produsen/

pemegang pendaftaran pupuk dan pestisida sesuai dengan peraturan

yang berlaku.

6. Analisa Sampel Pupuk

7. Analisa Sampel Pestisida

8. Pengiriman Sampel Pupuk dan Pestisida

Page 38: Resume Kelompok 7

Evaluasi dan pelaporan kegiatan penguatan kelembagaan Komisi

Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) dilakukan dengan:

a. Evaluasi

Evaluasi pelaksanaan kegiatan Penguatan Kelembagaan Komisi

Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) Tahun 2012 dilaksanakan

secara berjenjang, evaluasi pelaksanaan KPPP Provinsi dilaksanakan

oleh Pusat, evaluasi pelaksanaan KPPP Kabupaten/Kota dilaksanakan

oleh Provinsi. Pelaksanaan evaluasi diarahkan perkembangan realisasi

kegiatan (fisik maupun keuangan).

b. Pelaporan

Laporan diperlukan untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan

kegiatan dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan.

c. Evaluasi Mutu Pupuk dan Pestisida

Hasil analisa mutu sampel pupuk dan pestisida yang telah dilakukan

oleh lembaga uji mutu pupuk dan pestisida dapat dievaluasi dengan

memperhatikan beberapa hal.

1) Evaluasi Mutu Pupuk

Kandungan unsurhara sampel pupuk yang sudah diketahui

berdasarkan hasil uji mutu pupuk, dapat dievaluasi dengan

membandingkan nilai unsur hara yang tercantum di label pupuk.

2) Evaluasi Mutu Pestisida

Evaluasi mutu pestisida berdasarkan hasil uji mutu yang telah

dilaksanakan dibandingkan dengan kandungan bahan aktif pada

lebel dengan memperhatikan batas toleransi yang telah ditetapkan

oleh Menteri Pertanian.

Page 39: Resume Kelompok 7

G. PERBEDAAN PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT

UU LH NO. 23 TAHUN 1997 DENGAN UU LL NOMOR 32 TAHUN

2009

Ada dua undang-undang yang mengatur mengenai pengelolaan

lingkungan hidup, yaitu Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-undang Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-

undang Nomor 32 Tahun 2009 merupakan hasil penyempurnaan atau

pembaharuan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997. Terdapat

perbedaan yang sangat jelas pengertian pencemaran lingkungan antara

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 dengan Undang-undang Nomor 32

Tahun 2009.

Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tertulis pencemaran

lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup,

zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh

kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu

yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan

peruntukannya. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009

tertulis pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya

makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan

hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan

hidup yang telah ditetapkan.

Dari kedua pengertian tersebut terdapat perbedaan yang cukup

jelas mengenai akibat dari pencemaran lingkungan. Dalam Undang-

undang Nomor 23 Tahun 1997 tertulis bahwa pencemaran lingkungan

menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan

peruntukannya. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009

tertulis bahwa apabila pencemaran lingkungan terjadi maka akan

melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Dapat disimpulkan bahwa perbedaan mengenai pengertian

pencemaran lingkungan antara Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997

Page 40: Resume Kelompok 7

dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, yaitu adanya indikator

yang jelas mengenai pencemaran lingkungan. Dalam Undang-undang

Nomor 23 Tahun 1997 tidak disebutkan indikator yang jelas, keadaan

seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai pencemaran lingkungan

karena hanya disebutkan bahwa yang termasuk ke dalam pencemaran

lingkungan jika telah menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat

berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Padahal sulit untuk melakukan

penilaian apakah lingkungan hidup masih dapat berfungsi sesuai dengan

peruntukaknnya atau tidak karena tidak dapat diukur secara pasti.

Penilaian hanya bersifat perkiraan atau subjektif saja. Sedangkan dalam

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 terdapat indikator yang jelas

mengenai keadaan seperti apa yang dikategorikan sebagai pencemaran

lingkungan karena di dalam undang-undang tersebut tertulis bahwa

sesuatu hal atau keadaan dapat dikategorikan sebagai pencemaran apabila

telah melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Dengan adanya indikator yang jelas akan mempermudah untuk

menentukan apakah suatu keadaan tertentu masuk ke dalam pencemaran

lingkungan atau tidak karena ada ukuran atau standar yang jelas dalam

melakukan penilaian.