resume
TRANSCRIPT
BAB I
VARIABILITAS DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KUALITAS BAHAN ALAM
Obat herbal (bahan alam/tradisional) telah digunakan secara luas oleh masyarakat
dunia. WHO memprediksi sekitar 65-80 % populasi penduduk di dunia memakai obat
tradisional sebagai swamedicine (pengobatan berdasarkan pengalaman empirik). Obat
tradisional tidak hanya digunakan di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Obat
tradisional kebanyakan berasal dari tanaman, sehingga dikenal istilah tanaman obat. Tanaman
obat adalah semua bagian tanaman yaitu daun (folium), akar (radix), bunga (flos), buah
(fructus), biji (semen) yang digunakan baik dalam bentuk ekstrak/fraksi atau senyawa
isolatnya untuk menghasilkan obat untuk kepentingan manusia/hewan.
Kebanyakan senyawa aktif dalam tumbuhan dikelompokkan ke dalam golongan
metabolit sekunder, yaitu senyawa yang disintesis oleh tumbuhan bukan untuk kebutuhan
tumbuh dan berkembang, melainkan untuk mempertahankan eksistensi dan keberlanjutan
spesiesnya dalam berinteraksi dengan ekosistem. Dalam pengobatan, metabolit sekunder
lebih diminati daripada metabolit primer karena telah terbukti mampu mengobati
(mempunyai efek farmakologi), di samping itu metabolit primer lebih susah dipelajari karena
tidak stabil dan memerlukan peralatan yang canggih.
Biosintesis metabolit sekunder memiliki karakteristik yang bersifat :
adaptif (bereaksi dengan rangsang)
spesifik (ekspresi respon terhadap rangsang bersifat khas)
variatif (rangsang yang sama terhadap organ berbeda pada satu spesies tumbuhan
yang berbeda dapat menghasilkan respon yang berbeda)
Kualitas senyawa bioaktif dalam tumbuhan hidup ditentukan oleh faktor internal
yaitu genetik dan umur tanaman, serta dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti iklim,
kondisi geografi, hama dan penyakit, dan sebagainya. Selain itu, waktu panen dan
penanganan pasca panen juga dapat berpengaruh terhadap kualitas simplisia.
1
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas senyawa bioaktif (metabolit sekunder)
yang dihasilkan oleh tanaman antara lain :
1.1 Faktor Biologi dan Geografi
1. Temperatur (suhu)
Temperatur adalah faktor utama yang mengatur pertumbuhan dan proses metabolisme
dimana perubahan temperatur secara berkala dan pergantian musim akan berpengaruh
terhadap senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh tumbuhan.
Contoh : pada tanaman Matricaria chamomilla, kandungan minyak atsirinya
(kamazulen) paling tinggi adalah pada tanaman yang ditanam pada temperature siang
hari 250 c, atau malam hari pada temperatur 150 C.
2. Cahaya (intensitas, radiasi dan lama penyinaran)
3. Curah hujan dan ketersediaan air
4. Ketinggian di atas permukaan laut
5. Iklim
6. Angin
7. Keadaan tanah (fisik, kimia, mikrobiologi termasuk cemaran pestisida)
8. Kandungan nutrisi termasuk kandungan mineral
Contoh : produksi minyak atsiri pada tanaman Cymbopogum winterianus diinduksi
oleh kandungan Mn, Mo, Mg, dan B.
9. Jamur, bakteri dan virus
Adanya jamur, bakteri dan virus dapat menurunkan atau meningkatkan produksi
metabolit sekunder pada tanaman.
Contoh :
Berkurangnya kadar vinvaleukoblastin dari tanaman Vinca rosea karena infeksi
virus.
Berkurangnya kadar morfin dari tanaman Papaver somniverum karena
pertumbuhan jamur.
10. Keberadaan serangga (hama)
Adanya serangga atau hama tentu akan menyebabkan produksi metabolit sekunder
dari tanaman menjadi menurun. Selain itu, telur serangga yang menempel pada organ
tanaman dapat mengganggu proses respirasi dan fotosintesis sehingga produksi
metabolit sekunder akan terpengaruh.
2
11. Adanya hewan herbivora
12. Banyaknya tanaman per area penanaman (planting density) atau kerapatan tanaman
13. Adanya kompetisi dengan tanaman lain.
1.2 Faktor Bahan Baku Simplisia
Berdasarkan bahan bakunya, simplisia diperoleh dari tanaman liar atau dari tanaman
yang dibudidayakan/dikultur. Tanaman liar diartikan sebagai tanaman yang tumbuh dengan
sendirinya di hutan – hutan atau di tempat lain di luar hutan atau tanaman yang sengaja
ditanam tetapi bukan untuk tujuan memperoleh simplisia untuk obat (misalnya tanaman hias,
tanaman pagar). Sedangkan tanaman kultur diartikan sebagai tanaman budidaya , yang
ditanam secara sengaja untuk tujuan mendapatkan simplisia.
Gambar 1.1 Sumber Simplisia
Tanaman liar sebagai sumber simplisia memiliki beberapa kelemahan, antara lain :
unsur tanaman pada waktu pengumpulan tanaman atau organ tanaman sulit atau tidak
dapat ditentukan oleh pengumpul. Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia sering
dipengaruhi oleh umur tanaman pada waktu pengumpulan simplisia yang
bersangkutan. Ini berarti aktivitas biologis yang dikehendaki dari suatu simplisia
3
Tanaman obat (sumber simplisia)
Tumbuhan Liar Tumbuhan Budidaya
Hutan
Lahan Liar
Tanaman Pagar
Tanaman Hias Produksi Simplisia
Tumpang sari
Tanaman Perkebunan
Hutan
sering berubah apabila umur tanaman dari suatu pengumpulan ke waktu pengumpulan
lain tidak sama.
Jenis (spesies) tanaman yang dikehendaki sering tidak tetap dari satu waktu
pengumpulan ke waktu pengumpulan berikutnya. Sering timbul kekeliruan akan jenis
tanaman yang dikehendaki. Dua jenis tanaman dalam satu marga kadang mempunyai
bentuk morfologi yang sama dari pengamatan seseorang (pengumpul) yang sering
bukan seorang ahli / seorang yang berpengalaman dalam mengenal jenis tanaman
yang dikehendaki sebagai sumber simplisia. Perbedaan jenis suatu tanaman akan
berarti perbedaan kandungan senyawa aktif .
Perbedaan lingkungan tempat tumbuh jenis tanaman yang dikehendaki. Satu jenis
tanaman liar sering tumbuh pada tempat tumbuh dan lingkungan yang berbeda
(ketinggian, keadaan tanah, cuaca yang berbeda). Simplisia yang diperoleh dari satu
jenis tanaman sama tetapi berasal dari dua lingkungan dapat mengandung senyawa
aktif dominan yang berbeda. Misalnya tanaman D. Myoporoides di daerah Australia
utara kandungan skopolamina yang dominan, sedangkan di Australia selatan
kandungan hiosiamina yang dominan.
Jika simplisia diambil dari tanaman budidaya maka keseragaman umur, masa panen
dan galur tanaman dapat dipantau. Namun tanaman budidaya juga ada kerugiannya.
Pemeliharaan rutin menyebabkan tanaman menjadi manja, mudah terserang hama sehingga
pemeliharaan ekstra diperlukan untuk mencegah serangan parasit. Penggunaan pestisida
untuk ini membawa konsekuensi tercemarnya simplisia dengan residu pestisida. (Sehingga
perlu pemeriksaan residu pestisida).
1.3 Faktor Proses Pembuatan Simplisia
a. Pengumpulan Bahan Baku
Waktu Pengumpulan
Waktu yang tepat untuk panen adalah pada saat senyawa bioaktif berada dalan jumlah
maksimal pada organ tanaman yang dikumpulkan. Sebagai contoh mentol sebaiknya dipanen
pada saat cuaca cerah, jika dipanen saat cuaca mendung senyawa mentol dapat berubah
menjadi menthone sehingga kandungan mentol yang didapat menjadi sedikit. Adapun garis
besar pedoman panen adalah sebagai berikut.
4
1. Biji
Pengambilan biji dapat dilakukan pada saat mulai mengeringnya buah atau sebelum
semuanya pecah. Contoh : Biji Jarak
2. Buah
Pemanenan buah tergantung tujuan dan pemanfaatan kandungan senyawa bioaktifnya.
Saat menjelang masak
Contoh : piper (bila dipanen saat masak busuk timbul efek samping yaitu
hipertensi)
Setelah benar- benar masak
Contoh : Adas
Dengan melihat perubahan warna, tingkat kekerasan, kadar air, bentuk dan lain-
lain.
Contoh : Belimbing wuluh, timun
3. Daun atau Herba
Saat proses fotosintesis maksimal, yaitu saat mulai berbunga atau buah menjadi
masak. Pada saat ini proses fotosintesis berhenti sementara. Contoh : Herba meniran,
Daun jati belanda
4. Pucuk Daun
Pemanenan pucuk daun dilakukan pada saat warna pucuk daun belum berubah
menjadi seperti warna daun tua. Contoh : ginseng
5. Bunga
Pemanenan bunga tergantung tujuan dan pemanfaatan kandungan senyawa
bioaktifnya
Saat menjelang penyerbukan
Saat masih kuncup (melati)
Saat bunga mekar (mawar)
5
6. Kulit Batang / Kortex
Hanya dilakukan pada tanaman yang sudah cukup umur, saat panen yang paling baik
adalah awal musim kemarau. Contoh : Kina
7. Umbi Lapis
Pemanenan dilakukan pada akhir pertumbuhan karena merupakan tanaman semusim.
Contoh : Bawang merah
8. Rimpang
Dipanen pada awal musim kemarau. Diakhir musim kemarau kandungan senyawa
bioaktif tidak ada. Contoh : Kunyit
9. Akar
Dipanen saat proses pertumbuhan berhenti. Untuk pohon akar besar tidak boleh
diambil semua). Contoh : Akar Pule, Kelembak
Teknik Pengumpulan
Panen dapat dilakukan dengan tangan, tanpa atau dengan menggunakan mesin.
Apabila pengumpulan dilakukan secara manual langsung (pemetikan) maka keterampilan
pemetik dalam menentukan dan memetik organ yang sesuai dari tanaman sangat penting
diperhatikan. Dalam hal ini pengalaman memegang peranan penting. Keterampilan
diperlukan untuk memperoleh simplisia yang benar dan tepat (misalnya kalau diperlukan
daun muda, tidak terpetik daun tua dan ranting) serta tidak merusak tanaman induk (terutama
untuk tanaman yang dipanen organnya beberapa kali). Alat yang digunakan untuk memetik
(misalnya pisau) juga dipilih yang sesuai dan tepat. Alat dari logam tidak digunakan jika
merusak secara kimiawi senyawa aktif dalam simplisia (misalnya : simplisia yang
mengandung golongan fenol, glikosida).
Cara pemanenan mekanik dengan menggunakan mesin diperlukan apabila dari segi
pertimbangan ekonomi keadaaan simplisia yang dikumpulkan dapat dilaksanakan.
Penggunaan mesin-mesin biasanya digunakan untuik memanen simplisia dari tanaman sekali
panen.
b. Sortasi Basah
6
Sortasi basah bertujuan untuk membersihkan benda- benda asing yang berasal dari
luar, seperti tanah, kerikil, rumput, bahan yang rusak, bagian lain tanaman yang tidak
diperlukan, dan bagian dari tanaman lain.
c. Pencucian
Pencucian terutama dilakukan terhadap simplisia organ tanaman bawah tanah untuk
mencuci sisa-sisa tanah yang melekat. Untuk simplisia jumlah besar umumnya digunakan
teknik dengan mengaliri air pada simplisia yang ditempatkan di atas alat seperti jaring-jaring.
Air yang digunakan dapat dari berbagai sumber namun tetap harus memperhatikan
kemungkinan adanya pencemaran.
Menurut Frazier (1978) pencucian sayuran sebanyak satu kali mengurangi jumlah
mikroba sebesar 25%, sebanyak tiga kali mikroba berkurang 58%. Bakteri-bakteri pencemar
air contohnya : Pseudomonas, Proteus, Escherichia, Bacillus, dll.
d. Pengubahan Bentuk
Pengubahan bentuk bertujuan untuk memperluas permukaan.
7
Pencucian (sumber Air)
Mata Air Air Sumur Air PAM
Cemaran:
Mikroba
pestisida
Cemaran:
Mikroba
limbah
Cemaran:
Kapur
Klor
e. Pengeringan
Tujuan pengeringan organ tanaman atau tanaman yang dipanen adalah untuk
mendapatkan simplisia yang awet, tidak rusak dan dapat digunakan atau disimpan dalam
jangka waktu relatif lama dengan cara mengurangi kandungan air dan menghentikan reaksi
enzimatik yang mungkin dapat menguraikan senyawa bioaktif dan menurunkan mutu atau
merusak simplisia itu.
Pada tanaman hidup (sebelum pemetikan) pertumbuhan jamur dan reaksi enzimatis
yang merusak itu tidak terjadi karena adanya keseimbangan antara proses-proses
metabolisme pada sintesa, transformasi dan penggunaan isi sel. Keseimbangan ini hilang
segera setelah sel mati. Dalam beberapa hal proses enzimatik ini justru dikehendaki setelah
pemetikan. Sebelum proses pengeringan organ tanaman dibiarkan dalam kondisi suhu dan
kelembaban tertentu untuk berlangsungnya reaksi enzimatik. Atau pengeringan dilakukan
perlahan-lahan agar reaksi enzimatik masih berlangsung selam proses pengeringan. Proses
enzimatik disini masih diperlukan untuk membebaskan kandungan kimia yang dikehendaki
dari ikatan kompleksnya di dalam tanaman. Pengeringan dapat dilakukan secara alamiah atau
dengan buatan .
8
Pengubahan Bentuk
Perajangan:
Rimpang, daun
Rimpang, daunPengupasan: buah
Pemiprilan: jagung
Pemecahan: biji, kayu
Penyerutan: kayu
Pemotongan: akar, batang
Pengeringan Alamiah
Bergantung dari zat aktif yang dikandung dalam organ tanaman yang dikeringkan,
dapat dilakukan dengan dua cara pengeringan :
1. Panas sinar matahari langsung
Cara ini dilakukan untuk mengeringkan organ tanaman yang relatif keras (kayu,
kulit kayu, biji, dan lain-lain) dan mengandung senyawa bioaktif yang relatif stabil.
2. Tidak dikenai sinar matahari langsung
Dapat juga dengan diangin-anginkan di tempat teduh (bunga) atau ditutup dengan
kain hitam (daun, rimpang). Digunakan kain hitam karena kain hitam dapat
menyerap panas bukan sinarnya sehingga UV terhalang (UV dapat merusak zat
aktif).
Pada kedua cara tersebut untuk tempat pengeringan digunakan dasar pengering
berlubang-lubang (anyaman bambu, kain kasa) bukan terbuat dari logam, karena logam akan
beraksi dan menguraikan senyawa bioaktif tertentu yang dikehendaki. Letak tempat
pengeringan diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya sirkulasi udara
dengan baik.
Pengeringan Buatan
Pada cara pengeringan ini digunakan alat yang dapat diatur suhu, kelembaban,
tekanan dan sirkulasi udaranya. Misalnya Oven.
9
Pengeringan
Alamiah Buatan
Matahari Oven max 600 C
Langsung Tidak Langsung FERMENTASI
CEPAT
LAMBAT
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan adalah :
Waktu pengeringan.
Suhu
Kelembaban udara dan kelemban bahan
Ketebalan bahan yang dikeringkan
Sirkulasi udara
Luas permukaan bahan
f. Sortasi kering
Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir penyiapan simplisia.
Tujuan sortasi disini adalah memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman
yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering,. Proses ini dilakukan sebelum simplisia
dibungkus kemudian disimpan.
g. Pengepakan dan penyimpanan
Tujuan penyimpanan yang baik dari suatu simplisia adalah untuk mencegah
menurunnya mutu simplisia dalam masa penyimpanan. Wadah yang bersih, kedap udara
diperlukan untuk simplisia. Kekedapan terhadap udara luar diperlukan untuk mencegah
masuknya kelembaban udara yang tinggi dari luar ke dalam wadah. Udara tropik dengan
kelembaban tinggi memudahkan peetumbuhan jamur. Wadah dari logam tidak dianjurkan
karena dalam beberapa hal berpengaruh terhadap kadar senyawa aktif. Wadah dari plastik
tebal kualitas baik atau dari gelas berwarna gelap relatif baik. Pengaruh-pengaruh luar yang
perlu dicegah antara lain masuknya serangga, sinar matahari langsung, dan kotoran udara
lain.
Ruang penyimpanan simplisia yang telah diwadahi juga perlu diperhatikan. Suhu
rendah, kelembaban relatif rendah, tekanan udara dalam ruang relatif tinggi dari tekanan
udara luar atau sistem sirkulasi udara yang baik, adalah kondisi ruang yang dianjurkan.
Disamping itu perlu juga diatur letak dan susunan wadah di dalam ruang sehingga
memudahkan orang mencari simplisia yang diperlukan.
10
BAB II
STANDARISASI DAN SPESIFIKASI SIMPLISIA DAN EKSTRAK
2.1 Latar Belakang
Obat tradisional atau obat herbal umumnya digunakan oleh masyarakat
berdasarkan pengalaman pribadi atau turun-temurun dan belum terstandarisasi. Secara
alamiah senyawa bioaktif dalam tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan herbal
dipengaruhi oleh banyak faktor baik faktor internal maupun faktor eksternal. Oleh karena itu,
kadar senyawa bioaktif dalam tumbuhan atau simplisia cenderung fluktuatif dan bervariasi.
Fenomena inilah yang menjadikan proses standarisasi sangat penting dilakukan sebelum
dilanjutkan ke proses formulasi atau manufaktur sediaan obat alami agar diperoleh
keseragaman komponen aktif, keamanan, kualitas dan manfaat obat yang dimaksud.
2.2 Pengertian dan Tujuan Standarisasi
Standarisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan, merevisi
standard yang dilaksanakan secara tertib dan kerjasama semua pihak (menurut SSN 1998).
Sedangkan menurut McCutcheon, 2002 standarisasi adalah seluruh informasi dan kontrol
yang diperlukan untuk menghasilkan produk secara konsisten. Sementara pihak Depkes RI
mendefinisikan standarisasi sebagai serangkaian parameter prosedur dan cara pengukuran
yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam
artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi, farmasi).
Adapun tujuan dari proses standarisasi adalah sebagai berikut.
Untuk memperoleh konsistensi produk dari batch ke batch,
Untuk mengetahui jumlah ekstrak per unit dosis sehingga mempermudah formulasi,
Sebagai indikasi adanya kehilangan atau degradasi selama proses produksi atau
mengetahui stabilitas suatu produk sehingga dapat mengantisipasi terbentuknya
senyawa baru, dan
Mencegah pemalsuan.
11
Standarisasi memiliki banyak keuntungan baik bagi produsen maupun bagi
konsumen obat herbal. Keuntungan standarisasi bagi produsen adalah mempermudah proses
produksi karena ada prosedur yang jelas, obat herbal yang diproduksi dapat dipercaya oleh
masyarakat, dan sekaligus meminimalkan kesalahan dan kerugian. Sedangkan bagi
konsumen, standarisasi dapat menjamin tersedianya produk yang baik dan kandungan bahan
aktifnya konstan (tetap/ajeg) sehingga efek terapi yang diharapkan akan tercapai.
Namun standarisasi obat herbal juga memiliki beberapa kendala, seperti :
Susah dilakukan untuk obat yang efek farmakologinya tidak terukur, seperti
antioksidan.
Butuh biaya relatif besar.
Memerlukan keahlian dan peralatan khusus.
Beberapa tumbuhan masih tidak diketahui zat aktifnya karena dalam memberikan
efek terapi seringkali yang berkhasiat adalah gabungan beberapa zat aktif, hal ini jelas
mempersulit proses standarisasi.
Tidak tersedianya senyawa standar.
Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan senyawa marker, yaitu senyawa tertentu
yang digunakan sebagai petunjuk spesifik dengan metode tertentu.
Standarisasi obat tradisional perlu dilakukan dari hulu ke hilir. Standarisasi dapat
dilakukan melalui penerapan teknologi yang tervalidasi pada proses menyeluruh yang
meliputi penyediaan bibit unggul (pre-farm), budidaya tanaman obat (on-farm), pemanenan
dan pasca panen (off-farm), ekstraksi, formulasi, uji preklinik dan uji klinik.
2.3 Standarisasi Simplisia
Standarisasi simplisia mengacu pada tiga konsep antara lain sebagai berikut.
Simplisia sebagai bahan baku harus memenuhi 3 parameter mutu umum (non
spesifik) suatu bahan yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian, aturan
penstabilan (wadah, penyimpanan, distribusi)
Simplisia sebagai bahan dan produk siap pakai harus memenuhi trilogi Quality-
Safety-Efficacy
12
Simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang berkontribusi terhadap respon
biologis, harus memiliki spesifikasi kimia yaitu komposisi (jenis dan kadar) senyawa
kandungan.
Apabila sejak penyediaan bibit sudah diterapkan standarisasi, maka tanaman
tersebut akan menghasilkan simplisia dengan kandungan senyawa bioaktif yang tidak
fluktuatif. Budidaya yang menerapkan kaidah Good Agricultural Practice (GAP) akan
menghasilkan simplisia yang memenuhi persyaratan kualitas. Persyaratan yang harus
dipenuhi adalah kemurnian simplisia (tidak dipalsu atau dicampur simplisia lainnya, tidak
mengandung pestisida berbahaya, logam berat dan senyawa toksik lainnya), persyaratan
kadar senyawa aktif , maupun persyaratan lain yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia,
Materia Medica Indonesia atau standar acuan lainnya.
Pengembangan bibit unggul tanaman obat dapat dilakukan dengan dua
pendekatan, yaitu melalui selektif breeding dan perbaikan galur baik secara perlakuan atau
rangsangan kimiawi maupun secara rekayasa genetika guna mendapatkan bibit yang mampu
menghasilkan senyawa aktif dengan yield tinggi.
2.4 Standarisasi Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif
dari simplisia nabati/hewani dengan pelarut yang sesuai. Kegunaan ekstrak obat herbal yang
terstandar antara lain mempertahankan konsistensi kandungan senyawa aktif dari setiap batch
yang diproduksi, pemekatan kandungan senyawa aktif pada ekstrak sehingga dapat
mengurangi secara signifikan volume permakaian per dosis, sementara dosis yang diinginkan
terpenuhi, serta ekstrak yang diketahui kadar senyawa aktifnya ini dapat dipergunakan
sebagai bahan pembuatan formula lain secara mudah seperti sediaan cair , kapsul, tablet dan
lain-lain.
Parameter yang ditetapkan dalam standarisasi ekstrak antara lain : parameter non
spesifik (susut pengeringan dan bobot jenis, kadar air, kadar abu, sisa pelarut, residu
pestisida, cemaran logam berat, cemaran mikroba) dan parameter spesifik (identitas,
organoleptik, senyawa terlarut pada pelarut polar dan non polar serta profil kromatografi).
13
Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak adalah sebagai berikut.
Faktor biologi dan geografi, berkaitan dengan tumbuhan obat (dikontrol dengan
penerapan GAP)
Faktor Kimia, dikontrol dengan GMP (Good Manufacturing Practice)
- Faktor internal: jenis senyawa aktif, komposisi kualitatif dan kuantitatif senyawa
aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif
- Faktor eksternal: metode ekstraksi, alat ekstraksi, ukuran kekeringan/kadar air
simplisia, pelarut, kandungan logam berat, pestisida.
Mutu ekstrak dipandang dari senyawa-senyawa kimia yang ada dalam ekstrak
yang berkontribusi terhadap respon biologis. Senyawa kimia dalam ekstrak antara lain :
1. Senyawa kandungan asli dari tumbuhan asal
Standarisasi: komposisi senyawa kandungan asli
2. Senyawa hasil perubahan dari senyawa asli
3. Senyawa kontaminasi (polutan/residu proses)
4. Senyawa hasil interaksi kontaminasi dengan senyawa asli/senyawa perubahan
1 dan 2 : Parameter standar umum spesifik
3 dan 4 : Parameter standar umum non spesifik
2.5 Metode Pengukuran Parameter-Parameter Standarisasi
Pada dasarnya standarisasi meliputi tiga bidang yaitu botani, fisiko-kimia dan
farmakologi. Botani dan fisiko-kimia pada prakteknya merupakan pengujian untuk identitas
simplisia dan pengujian terhadap mutu dan kualitasnya. Uji farmakologi dipersyaratkan
untuk obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Herbal terstandar adalah obat tradisional yang
ditingkatkan kualitas, manfaat dan keamanannya melalui evaluasi farmakologi dengan
melakukan uji praklinik pada hewan coba. Sedangkan fitofarmaka adalah obat tradisional
yang lulus tahap evaluasi farmakologi khasiat dan keamanannya melalui uji klinik pada
manusia.
14
Pengujian untuk identitas dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa simplisia yang
diuji benar- benar merupakan simplisia yang diinginkan sedangkan pengujian terhadap
kualitas dimaksudkan untuk mengontrol apabila terhadap kerusakan simplisia tersebut.
Dibawah ini akan dijelaskan beberapa metode pengukuran parameter standarisasi.
a. Organoleptik
Pengujian organoleptik meliputi pengujian morfologi yaitu bentuk dan warna disertai bau
dan rasa. Pengujian ini dapat dilakukan langsung oleh penguji dengan cepat dan
sederhana.
b. Makroskopik
Pengujian ini pada umumnya dilakukan dengan mata telanjang atau dengan bantuan kaca
pembesar terhadap berbagai organ tanaman yang digunakan untuk simplisia.
c. Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik pada umumnya meliputi pemeriksaan irisan bahan dan serbuk
dan meliputi pemeriksaan terhadap kandungan sel masing-masing jaringan dan
pemeriksaan anatomi jaringan itu sendiri. Untuk dapat melihat kandungan sel dapat
langsung di bawah mikroskop atau setelah dilakukan pewarnaan. Pemeriksaan anatomi
jaringan dapat dilakukan setelah dilakukan penetesan pelarut tertentu seperti kloralhidrat
untuk menghilangkan kandungan sel seperti amilum dan protein sehingga akan dapat
terlihat jelas di bawah mikroskop.
d. Fluoresensi
Bahan-bahan tertentu dapat diperiksa dalam bentuk potongan tipis di bawah sinar UV
dengan panjang gelombang 350-366 nm dan akan memberikan fluoresensi yang spesifik.
Misalnya akar kelembak (Rheum officinale) berfluoresensi kecoklatan, sedangkan
kelembak (Rheum rhaponticum) berfluoresensi ungu. Uji Fluoresensi ini dapat dilakukan
terhadap ekstrak, atau larutan yang dibuat dari simplisia.
e. Kelarutan
Pengujian kelarutan dilakukan terutama untuk simplisia yang berupa eksudat tanaman.
Misalnya gom arab seluruhnya larut dalam air dingin.
f. Reaksi Warna, Pengendapan dan reaksi lain
Reaksi warna dapat dilakukan terhadap simplisia yang telah diserbuk atau ekstraknya.
Reaksi pengendapan harus dilakukan terhadap ekstrak simplisia dan larutan atau ekstrak
yang diuji harus jernih. Selain reaksi warna dan pengendapan terdapat reaksi atau metode
15
lain sejenis yang dapat digunakan untuk standarisasi. Salah satunya mikrosublimasi yang
digunakan untuk memisahkan konstituen mudah menguap dalam bentuk kristal yang
selanjutnya dapat diuji titik lebur dan reaksi warnanya.
g. Kromatografi
Kromatografi lapisan tipis (KLT) merupakan salah satu cara pengujian yang utama dalam
standarisasi simplisia. Cara ini mempunyai tingkat kepekaan yang cukup tinggi, cepat,
sederhana, dan relatif murah sehingga dapat dilakukan oleh berbagai pihak yang
memerlukannya. Namun akan lebih baik bagi perusahaan atau instansi yang mampu
untuk melengkapinya dengan kromatografi lainnya (KCKT,Gas, dan lain-lain).
h. Penetapan Kadar
Dalam Farmakope, pada setiap monografi simplisia penetapan kadar selalu dimaksudkan
untuk zat berkhasiat dan untuk mengontrol mutu simplisia dalam hubungannya dengan
khasiat yang dicantumkan. Zat berkhasiat itu sendiri dalam simplisia dapat berupa zat
tunggal atau campuran. Syarat untuk dapat diterapkannya pengujian yang berupa zat
berkhasiat ini adalah telah diketahui secara pasti kadar minimal zat berkhasiat yang harus
dikandung suatu simplisia.
Selain zat berkhasiat terdapat kadar lain yang seringkali dipersyaratkan pada monografi
setiap simplisia yaitu kadar sari. Kadar sari ini dipersyaratkan untuk simplisia yang belum
diketahui secara pasti zat berkhasiat yang dikandungnya. Kadar yang lain adalah kadar
abu untuk mengontrol jumlah pencemaran benda-benda anorganik seperti tanah dan pasir
yang seringkali terikut dalam simplisia. Untuk menghindari terjadinya reaksi enzimatik,
cemaran mikroba dan produk toksiknya serta mencegah pertumbuhan jamur pada
umumnya simplisia nabati dikontrol pula dengan batas kadar airnya.
i. Cemaran mikroba dan aflatoksin
Beberapa penelitian di Indonesia terhadap obat tradisional menunjukkan adanya cemaran
mikroba yang kemungkinan dapat terjadi pada proses pembuatannya atau memang telah
terdapat pada simplisia sebagai bahan bakunya. Tetapi jenis yang diketemukan harus
dilihat apakah bersifat toksik pada tubuh atau metabolitnya yang toksik. Seperti
Aspergillus flavus merupakan mikroba jenis jamur yang tidak menimbulkan penyakit
(toksik) tapi metabolitnya aflatoksin dapat menyebabkan keracunan. Cara penetapan
aflatoksin dapat dilihat pada buku-buku standar (AOAC)
16
j. Cemaran logam berat
Menurut Farmakope Indonesia percobaan batas logam berat dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa kadar pengotor yang dengan hidrogen sulfida memberikan warna
tidak melebihi batas logam berat yang tertera pada masing-masing monografi yang
dinyatakan sebagai timbal.
17
BAB III
FLAVONOID
3.1 Definisi dan Sifat Flavonoid
Flavonoid adalah suatu golongan metabolit sekunder tanaman yang memiliki inti
prenilpropanoid terdiri dari 15 C, yang dapat dimodifikasi secara luas, baik dengan penataan
ulang (rearrangement), oksidasi, alkilasi dan glikosilasi. Ada juga yang mendefinisikan
flavonoid sebagai suatu golongan metabolit sekunder tanaman yang mengandung cincin
aromatik, berasal dari fenil dan malonil koenzim-A (CoA, terbentuk melalui jalur asam
lemak).
Adapun sifat-sifat dari senyawa flavonoid adalah sebagai berikut.
1. Senyawa flavonoid biasanya mengalami perubahan warna bila direaksikan dengan
basa seperti ammonia karena memiliki struktur senyawa fenolik.
2. Umumnya flavonoid larut dalam air (bersifat polar) karena substituen utama dari
flavonoid adalah –OH atau gugus hidroksi.
3. Flavonoid jarang sekali berada dalam bentuk tunggal. Keberadaan flavonoid di alam
lebih sering sebagai senyawa campuran, misalnya dengan gula dalam bentuk
glikosida dimana flavonoid berperan sebagai aglikon (senyawa bukan gula) dari
glikosida tersebut. Flavonoid dalam bentuk glikosida atau aglikon polihidroksi
bersifat polar, terdapat dalam cairan vakuola sebab terdapat gula sehingga larut dalam
air. Flavonoid yang bersifat non polar seperti flavonoid dalam bentuk polimetoksi
tidak larut dalam air, terdapat pada dinding sel.
4. Semua flavonoid mempunyai sistem aromatik yang mengalami konjugasi sehingga
flavonoid menunjukkan pita serapan yang kuat pada spektrum ultraviolet (UV) dan
spektrum tampak.
Bagi tanaman flavonoid dapat berperan sebagai faktor pertahanan alamiah.
Sedangkan dalam dunia pengobatan flavonoid digunakan secara luas sebagai diuretik,
antifertilitas (butin dari biji Butea monosperma), antispasmodik, antitumor, antibakteri,
18
antifungi, antiinfeksi, antialergi, antiparasit (chalkon, flavonol), antitrombosis dan
vasoprotektif.
Secara umum, dalam tanaman flavonoid bisa terbentuk lewat jalur metabolisme
asam asetat dan asam sikhimat. Flavonoid terbentuk dari gabungan 3 unit asam asetat dan
fenil propan seperti digambarkan bagan dibawah ini.
Gambar 3.1. Skema biogenesis dari flavananon, isoflavon dan flavon (Evans, W.C., 2000).
3.2 Penggolongan Flavonoid
Berdasarkan struktur inti yang dimiliki, flavonoid dapat dibagi menjadi tiga
golongan besar antara lain sebagai berikut.
1. Flavonoid
Berdasarkan distribusinya pada tanaman, golongan flavonoid dibagi lagi menjadi dua
yaitu :
a. Flavonoid mayor, yaitu golongan flavonoid yang tersebar luas pada semua
tanaman. Contohnya flavon, flavanol, dan flavanonol.
19
b. Flavonoid minor, yaitu golongan flavonoid yang distribusinya terbatas hanya
pada famili tertentu dari tanaman. Contohnya chalkon, auron, flavanon dan
isoflavon.
2. Flavanoid, contohnya katekin dan leukoantosian.
3. Antosianin, contohnya sianidin dan pelargonidin.
3.2.1 Golongan Flavonoid
Flavonoid mempunyai inti berupa cincin piron. Struktur inti flavonoid juga disebut
fenil benzo γ–piron karena letak gugus karbonil pada posisi C nomor 3 dari O inti piron.
Senyawa ini paling banyak digunakan dalam bidang farmasi. Ada banyak kerangka substitusi
yang diturunkan dari struktur ini flavonoid tersebut, antara lain: flavon, isoflavon, flavonol,
flavanon, flavanonol, chalkon, dan auron. Substituen utama pada flavonoid adalah gugus –
OH. Substituen lain yang sering terikat pada struktur inti flavonoid adalah gugus metoksi ( -
OCH3 ), gugus metil ( - CH3 ), gula (mono, di-glukosil, rhamnosil).
a. Flavonoid Mayor
Flavon
Flavon di alam biasanya berada dalam bentuk glikosida. Contoh: Apigenin (Apium
graveolens), Luteolin (Daucus carota, Sonchus arvensis, Apium graveolens).
Flavonol
Flavonol mempunyai struktur seperti flavon, hanya saja pada posisi C nomor 3 dari O
inti piron terdapat gugus –OH. Flavonol tersebar luas pada tumbuhan baik sebagai ko
pigmen antosianin dalam daun bunga maupun dalam daun tumbuhan. Flavonol paling
sering terdapat dalam bentuk glikosida. Yang paling umum dikenal dalam dunia
farmasi adalah kuersetin 3-rutinosida, yang dikenal sebagai rutin, karena digunakan
untuk pengobatan kerapuhan pembuluh kapiler pada manusia.
Xanthon
Xanthon terutama ditemukan pada famili Gentianaceae dan Guttiferae. Beberapa juga
ditemukan pada famili Moraceae dan Polygalaceae. Contoh : Xanthon dari A.
paniculata mempunyai efek antimalaria, Mangiferin (Hypericum sp., Cratoxylem
pruniflorum, Swertia chirata) mempunyai efek antiinflamasi, antihepatotoksik,
antivirus, Garciniaxhanton dari Garcinia dulcis yang mempunyai efek antimalaria.
20
b. Flavonoid Minor
Chalkon dan Auron
Berupa pigmen kuning, umumnya dalam bentuk glikosida. Chalkon dan auron
terdistribusi terbatas pada famili tertentu, misal Compositae (Coreopsis), dan
Moraceae (Artocarpus champeden: Morachalkon). Chalkon dan auron dideteksi
dengan diuapi dengan basa/amonia dan warnanya berubah menjadi merah jingga atau
merah. Senyawa chalkon menunjukkan berbagai aktivitas farmakologis seperti
antimalaria (Morachalkon dan Licochalkon).
Isoflavon
Isoflavon keberadaanya sangat terbatas. Senyawa seperti 7,4’-dihidroksi isoflavon
(daidzein) dan 5,7,4’-trihidroksi isoflavon (genistein) merupakan estrogen alam lemah
yang terdapat dalam semanggi (Trifolium pratense).
3.2.2 Golongan Flavanoid
Flavanoid memiliki struktur inti berupa cincin piran. Ada 2 golongan flavanoid
yang umum yaitu Katekin dan Leukoantosian.
a. Katekin
Beberapa sifat dari katekin antara lain :
Larut dalam air, etanol, etil asetat, eter
Tidak larut dalam kloroform dan PE
Apabila dipanaskan dengan asam maka akan muncul endapan merah coklat yang disebut
flobafen dan warna larutannya coklat.
Katekin mempunyai aktivitas menghambat efek kafein.
b. Leukoantosian
Beberapa sifat dari leukoantosian antara lain :
Larut dalam air, etanol, etil asetat
Tidak larut dalam eter, kloroform dan PE
3.2.3 Golongan Antosianin
Pada struktur inti antosian terdapat inti berupa cincin pirinium. Antosianin merupakan
pigmen warna yang penting dan tersebar luas pada tumbuhan dan merupakan penyebab warna merah,
ungu dan biru pada daun bunga, daun dan buah pada tumbuhan tinggi serta dapat larut dalam air. Di
alam sebagian besar antosianin terdapat dalam bentuk glikosida. Antosianin umum terdapat pada
21
tanaman berpembuluh, tetapi juga telah dideteksi pada beberapa lumut, daun muda paku,
angiospermae dan gymnospermae. Beberapa sifat antosian adalah :
Larut dalam air, etanol dan pelarut beroksigen
Tidak stabil sebagai zat warna
Bila terdapat gugus o-OH dapat membentuk khelat dengan logam berat
Contoh antosianin adalah sianidin pada bunga jagung, Rosa sp. (merah), pelargonidin pada
bunga pelargonium (merah oranye), malvidin pada Malva sp. (merah ungu).
Beberapa struktur inti dari senyawa flavonoid adalah sebagai berikut.
Gambar 3.2 Struktur inti golongan flavonoid
22
BAB IV
TANIN, PEPTIDA DAN RESIN
4.1 Tanin
Istilah tanin berasal dari bahasa Perancis, yaitu tanning. Awalnya senyawa tanin
dikenal sebagai zat samak atau tanning substance yang berguna dalam proses penyamakan
kulit hewan sehingga kulit menjadi liat dan kuat dan siap diproses lebih lanjut menjadi
kerajinan tangan dan lainnya. Efek antiseptik dari senyawa tanin yang ringan menyebabkan
kulit yang telah disamak menjadi awet.
Setelah diadakan penelitian lebih lanjut, ternyata tidak semua zat samak adalah
tanin, sehingga dikembangkan definisi baru dari senyawa tanin. Tanin secara kimia
merupakan senyawa kompleks campuran polifenol yang sulit dipisahkan karena tidak dapat
dikristalkan. Tanin terdistribusi pada kulit batang, kayu, daun, buah, akar dan biji tumbuhan
tingkat tinggi.
Berdasarkan bobot molekulnya, tanin dikelompokkan menjadi dua, yaitu true
tannin (tanin sejati) dan pseudotanin. True tannin atau tanin sejati adalah senyawa tanin
dengan bobot molekul (BM) 1000-5000 dan akan menunjukkan hasil positif jika diuji dengan
skin test. Pseudotanin adalah senyawa tanin dengan BM kurang dari 1000 dan jika diuji
dengan skin test belum tentu menunjukkan hasil positif.
Berdasarkan dapat atau tidaknya senyawa mengalami proses hidrolisis, tanin
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
1. Tanin terhidrolisis, yaitu tanin yang bentuk esternya dapat terhidrolisis oleh enzin
tanase menjadi asam fenolat dan gula. Tanin terhidrolisis di alam umumnya dalam
bentuk glikosida. Contoh tanin terhidrolisis adalah gallitanin (tersusun dari asam
galat) dan ellagitanin (tersusun dari asam heksahidroksidifenil).
2. Tanin terkondensasi, yaitu tanin yang hanya terdiri dari inti fenolik tetapi kadang
terikat pada karbohidrat atau protein. Tanin terkondensasi tidak dapat terhidrolisis
oleh asam atau enzim, melainkan dapat membentuk endapan berwarna merah
(flobafen). Contohnya pada red chincona bark yang berwarna merah karena
23
mengandung tanin terkondensasi. Kebanyakan tanin merupakan hasil kondensasi 2
atau lebih flavan-3-ol seperti katekin atau flavan-3,4-diol seperti leukosianidin.
3. Tanin kompleks, yaitu campuran antara tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi.
Contoh distribusi tanin pada tanaman antara lain sebagai berikut :
1. Tanin terhidrolisis
Gallitanin : cengkeh, Castanea sp
Ellagitanin : pomegranatae, Castanea sp
2. Tanin terkondensasi:
Kulit batang : chincona, akasia, kayu manis
Bunga : lime
Biji : cocoa, kola, areca
Buah : anggur
Daun : teh (green tea)
Manfaat tanin bagi tanaman antara lain sebagai proteksi terhadap infeksi, serangga,
dan hewan herbivora. Produksi tanin pada tanaman akan meningkat apabila tanaman terluka,
ini semakin menguatkan peran tanin sebagai proteksi bagi tanaman. Secara tradisional tanin
telah dimanfaatkan sebagai pengobatan diare, diuretik, tumor duodenum, antiinflamasi, dan
antiseptik. Tanin memiliki sifat khas yaitu mengendapkan protein dari larutan dan dapat
berkombinasi dengan protein menyebabkan tahan terhadap enzim protelitik. Efek
mengendapkan protein inilah yang dimanfaatkan dalam proses penyamakan kulit hewan. Jika
diaplikasikan pada jaringan hidup menimbulkan efek astringen yang merupakan prinsip dasar
terapi tanin. Tanaman mengandung tanin seperti hamamelis dan nutgall, asam tanan dan
derivatnya dimanfaatkan sebagai astringen saluran cerna dan abrasi kulit. Pada pengobatan
luka bakar, protein dari jaringan yang terpapar diendapkan dan membentuk antiseptik ringan
sehingga membentuk lapisan pelindung dari jaringan baru yang beregenerasi. Efek samping
dari penggunaan tanaman berkadar tanin tinggi seperti Areca catechu atau Rhus copallina
adalah karsinogenik sehingga menyebabkan kanker mulut atau esofagus. Namun efek
karsinogenik ini juga tergantung pada keadaan individu yang mengonsumsi tanin berkadar
tinggi.
24
Di laboratorium tanin digunakan sebagai pereaksi pendeteksi gelatin, protein, dan
alkaloid. Tanin juga berguna sebagai antidot keracunan alkaloid dengan cara berikatan
dengan alkaloid membentuk tanat yang tidak larut air.
Tanaman mengandung tanin seperti Hamamelis virgiana mengandung
hamamelitanin dan derivat asam galat, gula hexosa, minyak atsiri, asam galat dan asam
oksalat. Efek hemostatiknya dimanfaatkan untuk pengobatan hemoroid sedangkan efek
astringennya dimanfaatkan untuk pengobatan digigit serangga.
4.2 Peptida
Peptida umumnya dibedakan menjadi dua macam berdasarkan bobot molekulnya,
yaitu senyawa peptida dengan bobot molekul rendah dan senyawa peptida dengan bobot
molekul tinggi. Perbedaan bobot molekul ini menyebabkan sifat fisika, kimia dan aktivitas
farmakologi dari dua macam peptida tersebut berbeda.
Peptida dengan bobot molekul rendah, hanya terdiri dari 2 unit asam amino
(dipeptida) yang dihubungkan oleh ikatan peptida. Tripeptida merupakan gabungan 3 asam
amino dan polipeptida merupakan gabungan banyak asam amino. Peptida dengan bobot
molekul tinggi merupakan gabungan beberapa unit asam amino membentuk peptida protein
sederhana seperti albumin, globulin, prolamin, glutalin, protein kompleks, protein
terkonjugasi (protein yang tersusun dari monomer-monomer yang saling gandeng) seperti
casein, nukleoprotein dan lipoprotein.
Beberapa senyawa peptida dengan bobot molekul rendah, adalah antibiotik dengan
struktur polipeptida siklis, seperti gramicidin, bacitracin, polymyxin, dan hormon peptida,
misalnya oksitosin, vasopresin (hormon yang berasal dari kelenjar pituitari posterior) dan
glutation yang ditemukan pada hampir semua sel hidup.
25
4.2.1 Sintesis Peptida
Gambar 4.1 Proses sintesis peptida
Secara kimia, peptida disintesa dari C-terminal asam amino yang pertama dan N-
terminal dari asam amino yang kedua. Peptida banyak digunakan untuk mempelajari enzim
dan reseptor substratnya dan membuat antigen untuk merangsang pembentukan antibodi.
4.2.2 Hormon Peptida
Kelenjar pituitari atau kelenjar hipofise menghasilkan beberapa hormon peptida
yang penting. Beberapa hormon yang dihasilkan oleh hipofise adalah sebagai berikut.
Kelenjar Pensekresi Nama Hormon Fungsi
Hipofise Anterior
LH (Luteinizing
hormone) dan FSH
(Folicle Stimulating
hormone)
Berkaitan dengan fungsi gonad (alat
reproduksi), sering disebut gonadotropin
hormon.
Prolaktinhormon laktogenik yang mengontrol sekresi
air susu
ACTH
(Adrenocorticotrophic
hormone)
bekerja pada korteks adrenal untuk mengatur
pelepasan glukokortikoid
GH (Growth
Hormone)
bekerja pada tulang, otot dan liver dalam
proses pertumbuhan
Hipofise Posterior ADH (Antidiuretic merangsang peristalsik dan menghambat 26
hormone) atau
vasopressin
diuresis, dimana kedua efek ini berhubungan
dengan aktivitas vasopressor yang
mengakibatkan peningkatan tekanan darah.
Oksitosin meningkatkan kontraksi ritmik dari uterus
Gambar 4.2 Hormon peptida dari kelenjar hipofise dan jaringan tempat kerjanya
Hormon peptida dihasilkan dalam berbagai organ dan jaringan, misalnya dalam
jantung dihasilkan ANP (Atrial-natriuretic peptide), dalam pankreas dihasilkan insulin dan
dalam saluran pencernaan dihasilkan kolesitokinin dan gastrin. Apabila terjadi defisiensi
hormon dalam tubuh dapat dilakukan terapi hormon eksternal yang memanfaatkan kelenjar
hormon dari hewan. Kelenjar pituitari diambil dari beberapa spesies mamalia, umumnya dari
sapi (Bos taurus Linn.) karena memberikan hasil yang lebih baik. Hormon peptida lain
seperti insulin (penting dalam pengobatan diabetes), umumnya diperoleh dari pankreas babi
(Sus scrofa) famili Suidae dan sapi (Bos taurus Linn.) Famili Bovidae.
27
4.3 Resin
Resin tidak dapat didefinisikan secara jelas tetapi umumnya dikenal sebagai hasil sisa
metabolisme. Resin seringkali terdapat bersama-sama dengan minyak atsiri dan gum.
4.3.1 Karakteristik Resin
1. Karakter fisik
Resin mempunyai bobot jenis yang lebih besar daripada air, berbentuk padatan
keras dan setengah padat. Apabila terkena panas, resin menjadi lebih lembek atau
meleleh, resin yang berupa padatan keras menjadi lembek, dan warnanya lebih
terang.
2. Kelarutan dalam pelarut
Resin praktis tidak larut dalam air, sangat jarang larut dalam petroleum kecuali
colophony dan damar. Larut atau sedikit larut dalam alkohol, eter, aseton,
kloroform, karbon disulfida, larutan kloralhidrat dan minyak atsiri.
3. Komposisi kimia
Resin merupakan campuran kompleks dari berbagai konstituen kimia seperti
asam, ester dan glikosida. Hampir sebagian besar resin tidak mengandung unsur
N (Nitrogen). Resin dapat mengalami perubahan dalam penyimpanan, misalnya
perubahan warna menjadi lebih gelap dan perubahan kelarutan karena oksidasi.
4.3.2 Penggolongan Resin
Resin adalah campuran asam, ester dan glikosida. Semua konstituen kimia tersebut
dapat ditemukan dalam resin, namun terkadang ada konstituen tertentu yang utama
(dominan). Berdasarkan konstituen kimia utamanya, resin digolongkan menjadi :
1. Resin asam, konstituen utama adalah asam, misalnya: Colophony, Burgundy
Pitch, Sandarac, dan Guaiacum
2. Resin ester, konstituen utama adalah ester, misalnya Benzoin dan Dragon’s
Blood
3. Resin campuran, tidak ada konstituen kimia yang dominan, misalnya Mastich
dan Shellac28
4.3.3 Contoh Resin dan Kegunaannya
a. Resin
No Nama Resin Penghasil Kandungan Kimia Kegunaan
1. Colophony Pinus palustris Miller,
Pinus toeda Linn., Pinus
echinata Miller, Pinus
cubensis Grisebach, Pinus
cariboea Mor.
84% abietic acid
(C20H26O2) yang
mempunyai isomer α,
β dan γ
stimulan dan
diuretik.
2. Bordeaux
Turpentine
Pinus maritima Poiret (=
Pinus pinaster Ait)
Pimarinic, pimaric, α
dan β pimarolic acid
-
3. Venice Turpentine Larix europoea DC
(Familia Pinaceae)
α dan β- larinolic
acid
-
4. Sandarac Tetraclinis articulata
(Familia Cupressaceae)
85% pimaric acid dan
sebagian kecil
minyak atsiri
(berwarna agak
kekuningan)
untuk cat kayu-
kayu dengan
warna terang
5. Guaiacum Resin batang pohon Guaiacum
officinale Linn. dan
Guaiacum sanctum Linn.
(Familia Zygophyllaceae)
70% α dan β-
guaiaconic acid, 11-
25% guaiaretic acid,
guaiaic acid, vanilin
dan guaiac-saponin
stimulan lokal
misalnya pada
produk-produk
lozenges, pada
pengobatan gout
kronis dan
reumatik
6. Benzoin (Benzoin
Sumatera, Benzoin
Siam, Benzoin
Palembang)
Benzoin Sumatera : Styrax
benzoin dan Styrax
paralleloneurus (Famili
Styraceae)
asam sinamat, asam
benzoat dan bentuk
alkoholnya yaitu
benzoresinol
Carminativum,
ekspektoran serta
untuk penggunaan
eksternal sebagai
antiseptik
Benzoin Siam : Styrax
tonkinensis Craib.
- sama dengan
benzoin Sumatera
29
tetapi aktivitas
preservatifnya
terhadap lemak babi
yang lebih baik
7. Mastich Pistasia lentiscus Linn.
(Famili Anacardiaceae)
38% α dan β-
masticonic acid yang
berupa serbuk amorf
dan larut dalam
alkohol, 30% α-
masticoresene yang
larut dalam alkohol,
20% β-masticoresene
yang tidak larut
dalam alkohol, 2%
minyak atsiri.
stimulan, dan
penyalut tablet
enterik dengan
cetyl alcohol.
8. Shellac Tacchardia lacca R.
Blanchard (Familia
Coccidae)
- penyalut tablet
atau pil enterik
setelah dilarutkan
dalam cetyl
alcohol
b. Gum Resin
Merupakan campuran gum dan resin yang mengandung minyak atsiri, glikosida, dan enzim sehingga selalu mengandung unsur Nitrogen (N). Contoh gum resin adalah :
Nama Gum
ResinPenghasil Kandungan Kimia Kegunaan
Myrrh batang pohon Commiphora
molmol dan spesies lain
dari Famili Burseraceae
25-35% campuran resin,
2,5-6,5% minyak atsiri
dan 57-61% gum
stimulan dan
antiseptik pada
mouthwash
c. Oleoresin
30
Merupakan campuran resin dan minyak atsiri. Oleo resin yang mengandung asam benzoat dan asam sinamat biasanya dikenal dengan istilah ”balsam”. Contoh oleoresin adalah sebagai berikut.
No Nama Oleoresin Penghasil Kandungan Kimia Kegunaan
1. Balsam Copaiba batang Copaifera lansdorfii
Desfontaines (Famili
Leguminosae)
- desinfektan,
ekspektoran,
pengobatan
bronchitis kronis
dan inflamasi
pada uretra.
2. Balsam Tolu batang pohon Myroxylon
balsamum Linn. (Famili
Leguminosae)
mengandung resin
dalam jumlah besar,
sekitar 80%, benzil
benzoat, benzil
sinamat, asam
sinamat dan vanilin
Antiseptik serta
penambah rasa
pada obat batuk.
3. Balsam Peru batang pohon Myroxylon
pereiroe (Famili
Leguminosae)
- antiseptik,
ekspektoran dan
parasitisida
misalnya pada
scabies.
31
32