refrat bedah plastik

Upload: intannuary-paringga

Post on 16-Jul-2015

403 views

Category:

Documents


37 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN Trauma maksilofasial terjadi sekitar 6% dari seluruh trauma. Penyebab

traumamaksilofasial bervariasi, seperti kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olahraga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utamatrauma maksilofasial yang dapat membawa kematian dan kecacatan pada orangdewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun. Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yangfatal menjadi masalah karena harus dirawat di rumah sakit dengan cacat permanenyang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan,72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaanlalu lintas. Penyebab yang paling sering pada orang dewasa adalah kecelakaan lalulintas (40-45%), sedang yang lainnya adalah penganiayaan atau berkelahi (10-15%),olahraga (5-10%), jatuh (5%) dan lain-lain (5-10%). Pada anak-anak penyebab palingsering adalah olahraga seperti naik sepeda (50-65%), sedang yang lainnya adalahkecelakaan lalu lintas (1015%), penganiayaan atau berkelahi (5-10%) dan jatuh ( 5-10 %). Fraktur muka dibagi menjadi beberapa, yaitu fraktur tulang hidung, fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma, fraktur tulang maksila, fraktur tulang orbita dan fraktur tulang mandibula. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak ketimbang tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85%, disusul fraktur zigoma 27,64% dan fraktur nasal 12,66%. Trauma muka dapat menyebabkan beberapa komplikasi, antaranya adalah obstruksi saluran napas, perdarahan,gangguan pada vertebra servikalis atau terdapatnya gangguan fungsi saraf otak.Penanganan khusus pada trauma muka, harus dilakukan segera (immediate) atau padawaktu berikutnya (delayed). Penanggulangan ini tergantung kepada kondisi jaringanyang terkena trauma. Pada periode akut setelah terjadi kecelakaan, tidak ada tindakankhusus untuk fraktur muka kecuali mempertahankan jalan napas, mengatasi perdarahan dan memperbaiki sirkulasi darah serta cairan tubuh. Tindakan reposisidan fiksasi definitif bukan tindakan life-saving.

1

BAB II ANATOMI WAJAH Kerangka wajah berfungsi untuk melindungi otak, melindungi organ penghidu, penglihatan, dan rasa, dan menyediakan kerangka di mana jaringan lunak wajah dapat bertindak untuk memfasilitasi makan, ekspresi wajah, bernapas, dan berbicara. Tulang-tulang wajah utama adalah rahang, rahang bawah, tulang frontal,tulang hidung, dan zigoma.

Gambar 2.1 tulang wajah

Tulang Mandibula Mandibula adalah tulang berbentuk U. Ini adalah satu-satunya tulang yang mobile dan dikarenakan tempat gigi bawah, gerakannya sangat penting untuk pengunyahan. Hal ini dibentuk oleh osifikasi intramembranous. Di permukaan lateral,daerah garis tengah anterior inferior dari tubuh hemimandibula adalah segitiga penebalan tulang disebut protuberansia mental. Tepi inferior menebal dari tonjolanmental memanjang lateral dari garis tengah dan bentuk 2 tonjolan bulat disebuttuberkel mental. Terletak lateral garis tengah pada permukaan2

eksternal foraminamental yang mengirimkan mental dan pembuluh saraf. Mereka biasanya terletak di bawah puncak gigi seri kedua 6-10 mm dan variasi dalam dimensi anteroposterior.Tepi tulang lateral posterior meluas tuberkulum mental dan naik miring sebagai garismiring untuk bergabung dengan tepi anterior dari proses koronoideus. Tepi inferior tubuh posterior dan lateral di mana melekat otot masseter.

Gambar 2.2 tulang mandibula Tulang maksila Rahang atas memiliki beberapa peran. Tulang ini tempat gigi atas,membentuk atap rongga mulut, membentuk lantai dan memberikan kontribusi kedinding lateral dan atap rongga hidung, membentuk sinus maksilaris, danmemberikan kontribusi ke dinding inferior dan dasar dari orbital. Dua tulangmaksilaris yang bergabung di garis tengah membentuk sepertiga tengah wajah.

Gambar 2.3 tulang maksila3

Tulang Zigoma Tulang zigoma dibentuk oleh bagian-bagian yang berasal dari tulangtemporal, tulang frontal, tulang sphenoid dan tulang maksila. Bagian-bagian tulangyang membentuk zigoma ini membentuk tonjolan pada pipi di bawah mata sedikit ke arah lateral. Tulang zigoma membentuk bagian lateral dinding inferior orbital, sertadinding lateral orbital.

Gambar 2.4 tulang zigoma (dari anterior) dan tulang zigoma (dari lateral)

4

Tulang Frontal Tulang frontal membentuk bagian anterior tempurung kepala, membentuk sinus frontal, dan membentuk atap sinus etmoid, hidung, dan orbital. Selain itu, ia juga membentuk lengkungan zigomatic anterior, dimana otot masseter dipegang. Otot masseter bertindak untuk menutup rahang bawah untuk pengunyahan dan berbicara. Di permukaan lateral, tulang zigomatic memiliki 3 prosesus. Di bagianinferior kearah medial untuk berartikulasi dengan prosesus zygomatic maksila,membentuk bagian lateral tepi infraorbital. Bagian ini mencekung kearah superior untuk membentuk prosesus frontalis yang berartikulasi dengan tulang frontal. Di bagian posterior, prosesus temporalis berartikulasi dengan prosesus zigoma tulangtemporal untuk membentuk arkus zigomatik. Pada permukaan medial zigoma adalah plat orbital halus yang membentuk dinding lateral orbit.

Gambar 2.6 tulang frontal dari bagian posterior

Sinus Frontal Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempatfetus. Sesudah lahir sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akanmencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Ukuran sinus frontal adalah 2,8cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya dibagisecara sagital oleh septum eksentrik.5

Tulang Hidung Tulang-tulang hidung yang berpasangan membentuk tulang atapanterosuperior dari rongga hidung. Tulang ini berartikulasi dengan prosesus nasalsuperior tulang frontal, prosesus depan tulang maksilaris lateral, dan dengan satusama lain di bagian medial. Permukaan eksternal cembung kecuali bagian palingsuperior, di mana bentuk cekung berubah untuk berartikulasi dengan tulang frontal.Pada permukaan internal merupakan alur vertikal untuk arteri nasal eksterna.

6

BAB III TRAUMA MAKSILOFASIAL A. Definisi Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mengenai jaringanlunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksuddengan jaringan keras wajah adalah tulang wajah yang terdiri dari tulang hidung,tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang maksila, tulang rongga mata, gigi dan tulang alveolus. B. Etiologi Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalulintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat membawa kematiandan kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun. Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena harus rawat inap di rumahsakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72 % kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan kecelakaan lalu lintas. C. Klasifikasi Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak pisau dan golok pada perkelahian. 1. Trauma jaringan lunak7

biasanya

disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalulintas atau

Luka wajah adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar. Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis luka dan penyebab seperti ekskoriasi, luka sayat, luka robek, luka bacok,luka bakar dan luka tembak . Ia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan serta dikaitkan juga dengan estetik. 2. Trauma jaringan keras wajah Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yangterjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yang definitif. Secara umum dilihat dariterminologinya yaitu tipe fraktur, perluasan tulang yang terlibat, konfigurasi (garisfraktur) dan hubungan antara fragmen. Berdasarkan tipe fraktur, ia kemudian dibagikepada empat yaitu fraktur sederhana, fraktur compound, fraktur comminuted danfraktur patologis. Fraktur sederhana, linear yang tertutup misalnya pada kondilus,koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi. Fraktur ini juga tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Greenstick termasuk dalam fraktur ini yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi. Fraktur compound adalah fraktur yang lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak dan lingkungan. Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang menyokong gigi, dan hampir selalu tipe fraktur compound meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapatmeluas dengan sobekan pada kulit. Fraktur comminuted adalah fraktur akibat benturan langsung yang sangat keras seperti peluru yang mengakibatkan tulangmenjadi berkeping yang kecil atau remuk. Fraktur ini bisa terbatas atau meluas, jadisifatnya juga seperti fraktur compound dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak. Fraktur patologis disebabkan oleh keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit- penyakit tulang, seperti osteomielitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan. Jika berdasarkan perluasan tulang yang terlibat, fraktur ini dibagi menjadilengkap dan tidak lengkap. Fraktur ini disebut lengkap apabila fraktur mencakups eluruh tulang.8

Fraktur ini juga dibagi menjadi tidak lengkap, seperti pada greenstick. Jika diklasifikasi berdasarkan konfigurasi garis fraktur dibagi menjadi tranversal, bias horizontal atau vertikal, oblique (miring), spiral (berputar) dan comminuted (remuk). Jika berdasarkan hubungan antar fragmen dibagi menjadi perpindahan tempat dan tidak ada perpindahan tempat, bisa terjadi berupa angulasi / bersudut ,distraksi,kontraksi, rotasi atau berputar dan impaksi atau mendesak.Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah dentoalveolar, prosesus kondiloideus, prosesus koronoideus, angulus mandibula, ramusmandibula, korpus mandibula, garis tengah mental dan lateral ke garis tengah dalamregio incisivus. Fraktur khusus pada maksila dapat dibedakan menjadi fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita), fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III dan fraktur segmental mandibula. Klasifikasi dari fraktur maksilofasial itu sendiri terdiri atas beberapa fraktur yakni : 1. Fraktur kompleks nasal,

9

http://www.srt-psc.com/cw1s.jpg 2.

Fraktur kompleks zigomatikus - arkus zigomatikus

10

3.

Fraktur dento-alveolar,

11

4.

Fraktur mandibula

12

5.

Fraktur maksila yang terdiri atas fraktur le fort I, II, dan III.

D. Manifestasi klinis Pada penderita trauma muka dapat timbul beberapa kelainan seperti kerusakan jaringan lunak (edema, kontusio, ekskoriasi, laserasi dan avulsi), emfisema subkutis, rasa nyeri, terdapat deformitas yang dapat dilihat atau diperiksa dengan cara perabaan, epistaksis, obstruksi hidung yang disebabkan timbulnya hematom pada septum nasi, fraktur septum atau dislokasi septum, gangguan pada mata, misalnya gangguan penglihatan, diplopia, ekimosis pada konjungtiva, abrasi kornea, gangguan saraf sensoris berupa anestesia atau hipestesia dari ketiga cabang nervus cranialis kelima, gangguan saraf motorik, trismus, maloklusi, kebocoran cairan cerebrospinalis, krepitasi tulang hidung, maksila dan mandibula. a. Fraktur tulang hidung Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung. Diagnosis fraktur hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan hidung bagiandalam dilakukan13

dengan rinoskopi anterior, biasanya ditandai oleh adanya pembengkakan mukosa hidung, terdapatnya bekuan dan kemungkinan ada robekan pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau deviasi septum. Jika hanya fraktur tulang hidung sederhana dapat dilakukan reposisi fraktur tersebut dalam analgesia lokal. Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari tulang hidung tersebut yang juga disertai laserasi pada kulitatau mukoperiosteum rongga hidung. Kerusakan atau kelainan pada kulit dari hidung diusahakan untuk diperbaiki atau direkonstruksi. b. Fraktur tulang zigoma dan arkus zigoma Tulang zigoma ini dibentuk oleh bagian yang berasal dari tulang temporal, tulang frontal, tulang sfenoid dan tulang maksila. Gejala fraktur zigoma antara lain adalah pipi menjadi lebih rata, diplopia, edema periorbita, perdarahan subkonjungtiva, hipestesia atau anestesia, emfisema subkutis dan epistaksis Karena terjadi pada antrum. Fraktur arkus zigoma tidak sulit untuk dikenal sebab pada tempat ini timbul rasa nyeri pada waktu bicara atau mengunyah. Kadang-kadang timbul trismus. Gejalaini timbul karena terdapatnya perubahan letak dari arkus zigoma terhadap prosesuskoronoid dan otot temporal. Fraktur arkus zigoma yang tertekan atau terdepresi dapatdengan mudah dikenal dengan palpasi.

c. Fraktur tulang maksila Jika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan untuk mendapatkan fungsi normal dan efek kosmetik yang baik. Tujuan tindakan penanggulangan ini adalah untuk memperoleh fungsi normal pada waktu menutup mulut atau oklusi gigi dan memperoleh kontur muka yang baik. Harus diperhatikan juga jalan napas serta profilaksis kemungkinan terjadinya infeksi. Edema faring dapatmenimbulkan gangguan pada jalan napas sehingga mungkin dilakukan tindakantrakeostomi. Perdarahan hebat yang berasal dari arteri maksilaris interna atau arteriethmoidalis anterior sering terdapat fraktur maksila dan harus segera diatasi. Jika tidak berhasil dilakukan pengikatan arteri maksilaris interna atau arteri karotis eksterna atau arteri etmoidalis anterior. Jika kondisi pasien cukup baik sesudahtrauma tersebut, reduksi fraktur maksila biasanya tidak sulit14

dikerjakan kecualikerusakan pada tulang sangat hebat atau terdapatnya infeksi. Reduksi fraktur maksilamengalami kesulitan jika pasien datang terlambat atau kerusakan sangat hebat yangdisertai dengan fraktur servikal atau terdapatnya kelainan pada kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur yang timbul harus diperiksa dan dilakukan fiksasi. Fraktur maksila Le Fort I Pada fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal bagian bawah antara maksila dan palatum. Garis fraktur berjalan ke belakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini bisa unilateral atau bilateral. Kerusakan pada fraktur Le Fortakibat arah trauma dari anteroposterior bawah dapat mengenai nasomaksila, bagian bawah lamina pterigoid, anterolateral maksila, palatum durum, dasar hidung, septum,apertura piriformis. Gerakan tidak normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan jari pada saat pemeriksaan palpasi. Garis fraktur yang mengarah ke vertikal, yang biasanya terdapat pada garis tengah, membagi muka menjadi dua bagian.

Gambar 3.1 fraktur maksila Le Fort I Fraktur maksila Le Fort II Pada fraktur maksila Le Fort II (fraktur piramid) berjalan melalui tulanghidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita danmenyebrang ke bagian atas dari sinus maksila juga ke arah lamina pterigoid sampaike fossa pterigopalatina. Fraktur pada lamina kribriformis dan atap sel etmoid dapatmerusak sistem lakrimalis.

15

Gambar 3.2 fraktur maksila Le Fort II Fraktur maksila Le Fort III Pada fraktur maksila Le Fort III (craniofacial dysjunction) garis fraktur berjalan melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang taut etmoid melalui fisuraorbitalis superior melintang ke arah dinding lateral ke orbita, sutura zigomatikofrontal dan sutura temporozigomatik. Fraktur Le Fort III ini biasanya bersifat kominutif yang disebut kelainan dishface. Fraktur maksila Le Fort III ini sering menimbulkan komplikasi intrakranial seperti timbulnya pengeluaran cairan otak melalui atap sel etmoid dan lamina kribriformis.

Gambar 3.3 fraktur maksila Le Fort III16

d. Fraktur tulang orbita Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur orbitaterutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor. Fraktur ini memberikangejala-gejala seperti enoftalmus, exoftalmus, diplopia, asimetri pada muka dangangguan saraf sensoris. Fraktur tulang mandibulaFraktur tulang mandibula adalah kedua terbanyak dari fraktur wajah. Penderitamengeluh maloklusi dan nyeri pada pergerakkan rahang. Selain itu terdapat jugagejala pembengkakan atau pun laserasi pada kulit yang meliputi mandibula, anestesiadapat terjadi pada satu sisi bibir bawah, pada gusi atau pada gigi dimana nervus alveolaris inferior menjadi rusak serta gangguan jalan napas disebabkan kerusakan hebat pada mandibula seperti terjadinya perubahan posisi, trismus, hematoma danedema jaringan lunak. E. Diagnosis1) Adanya riwayat trauma pada muka, sebuah riwayat trauma yang lengkap

dibutuhkan, mulai dari kapan kejadian, penyebab trauma, bagaimana mekanisme kejadiannya, pertolongan pertama yang sudah dilakukan dan jumlah perdarahan. Sebuah riwayat trauma yang lengkap akan berpengaruh terhadap jenis dan waktu perawatan terjadi serta hasil akhirnya2) Tampak deformitas muka, bisa berupa :

-

Bengkak asimetri, miring disertai lecet kulit sampai luka jaringan lunak Hematoma atau perdaraan di luka atau dari lubang hidung dan mulut sebagai jalan keluar perdarahan dari sinus maxilla/fraktur.

3) Pemeriksaan fisik Maxillofacial

Pemeriksaan

fisik

dilakukan

secara

menyeluruh

dan

terfokus

pada

area

trauma,dengan tetap mewaspadai luka-luka atau trauma lain yang berhubungan. Jika perludikonsultasikan ke spesialis lain seperti THT, mata dan bedah saraf. Nilai lokasi,17

panjang dan kedalaman dari robekan dari wajah. Robekan, memar,terbakar berdampak merusak struktur yang lebih dalam. Bila ada hal tersebut,lakukan pemeriksaan teliti terhadap regio di sekitarnya. Selalu diasumsikan terdapatfraktur di bawah luka robekan atau memar sampai pemeriksaan klinis dan hasilradiologis membuktikannya. Inspeksi : Elongasi fasial Derajat tinggi fraktur LeFort Asimetri Deformitas dan injuri nercus cranial Palpasi : Tenderness Step offs Facial stability Crepitus Subacutraneous air Cutaneous anesthesia

Periorbital and Orbital Exam o Perform early Periorbital and Orbital Examo

Lihat exophthalmos or enophthalmos

o Pupil shape18

o Hyphema o Visual acuity o Entrapment signs o Raccoon sign

-

Bimanual Palpation Test

Penetrating Injuries Nose Septal hematoma CSF Rhinorrhea Occult globe penetration Eyelid lacerations

Ears19

Subperichondral hematoma Hemotympanum Battle sign

Oral and Mandibular Exam Mandible deviation Teeth malocclusion Paresthesia Tongue Blade Test 95% Sensitive 65% Specific Pada pemeriksaan intraoral lakukan palpasi regio maksila dan mandibula,kemudian waspadai ada tidaknya pecahan gigi atau kehilangan gigi. Rahang dinilaidari gerakannya ke lateral atau ke depan belakang. Rasa lunak yang terlokalisasi atau pergerakan yang abnormal mengindikasikan adanya fraktur. Sensasi di daerah wajah dinilai.Pemeriksaan intranasal mengidentifikasi robekan, hematoma dan area obstruksidari dalam hidung. Mengalirnya cairan jernih dari hidung menunjukan rhinorrhea daricairan cerebrospinal dan penting untuk kemungkinan fraktur di fossa anterior craniumdan dapat juga mengenai daerah cribiformis. Pemeriksaan klinis untuk masing-masing fraktur, sebagai berikut: a. Fraktur Komplek Nasal Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks nasal dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya deformitas pada tulang hidung, laserasi, epistaksis, bentuk garis hidung yang tidak normal. Sedangkan secara palpasi dapat terlihat adanya luka robek pada daerah frontal hidung, edema, hematom, dan tulang hidung yang bergerak dan remuk. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi20

dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya deformitas yang berlanjut, deviasi pada tulang hidung, ekhimosis dan laserasi. Sedangkan secara palpasi terdapat bunyi yang khas pada tulang hidung. Selanjutnya pemeriksaan fraktur nasal kompleks dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi Water, CT Scan, Helical CT dan pemeriksaan foto roentgen dengan proyeksi dari atas hidung. b. Fraktur Komplek Zigoma Pemeriksaan klinis pada fraktur kompleks zigoma dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya kehitaman pada sekeliling mata, mata juling, ekhimosis, proptosis, pembengkakan kelopak mata, perdarahan subkonjungtiva, asimetris pupil, hilangnya tonjolan prominen pada daerah zigomatikus. Sedangkan secara palpasi terdapat edema dan kelunakan pada tulang pipi. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya ekimosis pada sulkus bukal atas di daerah penyangga zigomatik, kemungkinan penyumbatan oklusi didaerah molar pada sisi yang terkena injuri. Sedangkan secara palpasi terdapat kelunakan pada sulkus bukal atas di daerah penyangga zigomatik, anestesia gusi atas. Pemeriksaan fraktur komplek zigomatikus dilakukan dengan foto rontgen submentoverteks, proyeksi waters dan CT scan. c. Fraktur Dentoalveolar Pemeriksaan klinis pada fraktur dentoalveolar dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya laserasi, edema dan ekimosisi pada daerah bibir. Sedangkan secara palpasi terdapat pecahan gigi pada jaringan bibir. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat21

terlihat adanya laserasi pada permukaan lidah dan sulkus labial, avulsi dan subluksasi. Sedangkan secara palpasi terdapat deformitas tulang, krepitus. Pemeriksaan fraktur dentoalveolar dilakukan dengan radiograf intra-oral dan panoramik. d. Fraktur Maksila Fraktur maksila terbagi atas fraktur Le Fort I, Le Fort II dan Le Fort III, dimana pemeriksaan klinis pada masing-masing fraktur Le Fort tersebut berbeda. Le Fort I Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri. Selanjutnya pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi wajah anterolateral. Le Fort II Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis, dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika dibandingkan

22

dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan. Le Fort III Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan. e. Fraktur Mandibula Pemeriksaan klinis pada fraktur mandibula dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi terlihat adanya hematoma, pembengkakan pada bagian yang mengalami fraktur, perdarahan pada rongga mulut. Sedangkan secara palpasi terdapat step deformity. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi terlihat adanya gigi yang satu sama lain, gangguan oklusi yang ringan hingga berat, terputusnya kontinuitas dataran oklusal pada bagian yang mengalami fraktur. Sedangkan secara palpasi terdapat nyeri tekan, rasa tidak enak pada garis fraktur serta pergeseran. Pada fraktur mandibula dilakukan pemeriksaan foto roentgen proyeksi oklusal dan periapikal, panoramik tomografi ( panorex ) dan helical CT.

4) Radiologis :23

-

Foto AP: Walaupun garis patah kadang tidak jelas, dengan membandingkan sisi kontralateral, bias ditemui diskontinuitas tulang secara radiologis. Perhatikan pengisian sinus oleh darah yang menyebabkan pengaburan gambar sinus.

-

CT Scan bisa melihat garis patah yang tidak nampak dalam foto radiologis biasa. CT Scan 3-dimensi akan menggambarkan bentk tulang muka keseluruhan fan lubang tulang yang patah atau melesak dapat dikenali dengan lebih jelas, dikerjakan atas indikasi khusus. CT scan pada potongan axial maupun coronal merupakan gold standard pada pasien dengankecurigaan fraktur zigoma, untuk mendapatkan pola fraktur, derajat pergeseran, dan evaluasi jaringan lunak orbital. Secara spesifik CT scan dapat memperlihatkan keadaan dari midfasial, seperti nasomaxillary, zygomaticomaxillary, infraorbital, zygomaticofrontal, zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal.

-

Penilaian radiologis dari foto polos dapat menggunakan foto waters, caldwel, submentovertek dan lateral. Dari foto waters dapat dilihat pergeseran pada tepi orbita inferior, maksila, dan zigoma. Foto caldwel dapat menunjukkan region frontozigomatikus danarkus zigomatikus. Foto submentovertek menunjukkan arkus zigomatikus.

24

DAFTAR PUSTAKA Anthony G. Hillier, D.O. 2008. Maxillofacial Trauma. St. John West Shore Emergency Medicine Resident Bailey JS, Goldwasser MS. Management of Zygomatic Complex Fractures.Dalam : Miloro M et al. 2004. Petersons principles of Oral and MaxillofacialSurgery 2nd. Hamilton, London : BC Decker Inc. Beaty NB, Le TT. Mandibular thickness measurements in young dentateadults. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. Sep 2009;135(9):920-3. Berkovitz BK, Moxham BJ. 1988. A Textbook of Head & Neck Anatomy.1st ed. Mosby-Year Book Bron AJ, Tripathi RC, Tripathi BJ. Wolff's. 1997. Anatomy of the Eye and Orbit. 8thed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; Dutton JJ. 1994. Atlas of Clinical and Surgical Orbital Anatomy. Philadelphia: WBSaunders Co. Gentur Sudjatmiko. 2007. Petunjuk praktis ilmu bedah plastic rekonstruksi. Yayasan Khasanah kebajikan Lang J. 1989. Clinical Anatomy of the Nose, Nasal Cavity, and ParanasalSinuses. NY: Thieme Medical Publishers Miller PJ, Smith S, Shah A. The subzygomatic fossa: a practical landmark inidentifying the zygomaticus major muscle. Archives of Facial PlasticSurgery. Jul-Aug 2007;9(4):271-4. Netter FH. 1989. Atlas of Human Anatomy. NY: Novartis Medical Education;

25

Prabhu LV, Ranade AV, Rai R, Pai MM, Kumar A, Sinha P. The nasalseptum: an osteometric study of 16 cadaver specimens. Ear Nose Throat J . Aug 2009;88(8):1052-6. Prasetiyono A. Penanganan fraktur arkus dan kompleks zigomatikus. Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons. Feb 2005 no 1tahun IX hal 41-50. Rohen JW, Yokochi C. 1988. Color Atlas of Anatomy. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Tucker MR, Ochs MW. 2003. Management of facial fractures. Dalam : Petersonlj et al. contemporary oral and maxillofacial surgery. St louis: mosbyco. ;

26