refrat bedah cedera torax
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A.Insidensi
Cedera toraks merupakan salah satu penyebab trauma kematian. Banyak penderita
meninggal setelah sampai dirumah sakit, dan banyak diantara kematian ini sebenarnya
dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostic dan terapi. Kurang dari 10%
dari cedera tumpul toraks dan hanya 15-30% dari cidera tembus toraks yang
membutuhkan tindakan torakotomi.
Trauma dada kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalulintas umumnya berupa
benda tumpul. Trauma tajam terutama disebabkan oleh tikaman dan tembakan. Cedera
toraks sering disertai dengan cidera perut, kepala, dan ekstremitas sehingga merupakan
cedera majemuk.
Cedera dada yang memerlukan tindakan darurat adalah obstruksi jalan napas,
hemotoraks besar, tamponade jantung, pneumotoraks desak, dada gail (fail cest, dada
instabil), pneumotoraks terbuka, dan kebocoran udara trakea-bronkus. Semua kelainan ini
menyebabkan gawat dada atau toraks akut yang analog dengan gawat perut, dalam arti
diagnosis harus ditegakan secepat mungkin dan penanganan dilakukan segera untuk
mempertahankan pernapasan, ventilasi paru, dan perdarahan. Sering tindakan yang
diperlukan untuk menyelamatkan penderita bukan merupakan tindakan operasi, seperti
membebaskan jalan napas, aspirasi rongga pleura, aspirasi rongga perikard, dan menutup
sementara luka dada. Akan tetapi kadang diperlukan torakotomi darurat. Luka tembus
didada harus segera ditutup dengan jahitan yang kedap udara.
B. Tujuan Penulisan
1.Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan refrat ini adalah sebagai salah satu syarat tugas untuk
ujian kepaniteraan linik dibagian ilmu bedah
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan refrat ini adalah supaya dapat memberikan gambaran,
diagnosa, dan penanganan pada kasus Trauma Toraks
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi
Dada berisi organ vital paru dan jantung. Pernafasan berlangsung dengan batuan
gerak dinding dada. Jaringan paru dibentuk oleh jutaan alveolus yang mengembang dan
mengempis tergantung mengembang dan mengecilnya rongga dada. Ispirasi terjadi
karena kontraksi otot pernafasan , yaitu m.iterkostalis dan diafragma, yang menyebabkan
rongga dada membesar dan paru-paru mengembang sehingga udara terhisap ke alveolus
melalui trakea dan bronkus.
Sebaliknya, bila m.interkostalis melemas, dinding dada mengecil kembali dan udara
terdorong ke luar. Sementara itu, karena tekanan intraabdomen , diafragma akan naik
ketika m.iterkostalis tidak berkontraksi. Ketiga faktor ini ,yaitu kelenturan dinding toraks,
kekenyalan jaringan paru, dan tekanan intraabdomen menyebabkan ekspirasi jika otot
interkostal dan diafragma kendur dan tidak mempertahankan keadaan inspirasi. Ekspirasi
merupakan kegiatan yang pasif.
Jika pernafasan gagal karena otot pernafasan tidak berkerja, ventilasi paru dapat
dibuat dengan meniup cukup kuat agar paru mengembang didalam toraks bersamaan
dengan mengembangnya toraks. Kekuatan tiupan harus melebihi kelenturan dinding
dada, kekenyalan jaringan paru, dan tekanan intraabdomen. Hal ini dilakukan pada
ventilasi dengan respirator atau pada resusitasi dengan nafas buatan mulut ke mulut.
Adanya lubang didinding dada atau di pleura viseralis akan menyebabkan udara
masuk ke rongga pleura sehingga pleura viseralis terlepas dari pleura parietalis dan paru
tidak lagi ikut dengan gerak napas dinding toraks dan diafragma. Hal ini terjadi pada
pneumotoraks.
2
B. Patofisiologi
Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan cidera toraks. Hipoksia
jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen kejaringan oleh
karena hipovolemia(kehilangan darah), pulmonary ventilation/perfusion mismatch
(contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan
intratoraks(contoh tension pneumotoraks, pneumotoraks terbuka). Hiperkarbia lebih
sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akbiat perubahan tekanan intratoraks
atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan hipoperfusi dari
jaringan (syok).
C. Initial Assesment dan pengelolaan
Pengelolaan penderita terdiri dari:
Primary Survey
Resusitasi fungsi vital
Secondary survey yang rinci
Perawatan Definitif
Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada cedera toraks,
intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya.
I. PRIMARY SURVEY: CEDERA YANG MENGANCAM NYAWA
Primary survey pada penderita cedera toraks dimulai dengan airway. Masalah
utama harus dikoreksi begitu teridentifikasi.
A. Airway
Cedera berat pada airway harus dikenali dan dikoreksi saat melakukan primary
survey. Patensi airway dan ventilasi harus dinilai dengan mendengarkan gerakan
3
udara pada hidung penderita, mulut dan dada serta dengan inspeksi pada daerah
orofaring untuk sumbatan airway pada benda asing, dan dengan mengobservasi
retraksi otot-otot interkostal dan supraklavikular.
Cedera laring dapat bersamaan dengan cedera toraks. Walaupun gejala klinis
yang ada kadang tidak jelas, sumbatan airway karena cedera laring merupakan cedera
yang mengancam nyawa.
Beberapa kondisi yang jarang ditemukan, mungkin timbul pada penderita
dengan cedera skeletal yang menyebabkan gangguan bermakna pada airway dan
pernapasan penderita. Sebagai contoh adalah cedera pada dada atas, yang
menyebabkan dislokasi kearah posterior atau fraktur dislokasi dari sendi
sternoklavikular. Ini dapat menimbulkan sumbatan airway bagian atas, bila
displacement dari fragmen proksimal fraktur atau komponen sendi distal menekan
trakea. Hal ini juga dapat menyebabkan cedera pembuluh darah pada ekstremitas
yang homolateral akibat kompresi fragmen fraktur atau laserasi dari cabang utama
arkus aorta.
Cedera ini diketahui bila ada:sumbatan airway atas (stridor), adanya tanda
berupa perubahan dari kualitas suara(jika penderita masih dapat bicara), dan cedera
yang luas pada dasar leher dengan terabanya defek pada region sendi sterniklavikular.
Penanganan pada cedera ini adalah menstabilkan patensi airway, yang terbaik
dengan intubasi endotrakeal, walaupun hal ini kemungkinan sulit dilakukan jika ada
tekanan yang cukup besar pada trakea. Yang paling penting, reposisi tertutup dari
cedera yang terjadi dengan cara emngekstensikan bahu, mengangkat klavikula dengan
pointed clamp seperti towel clip dan melakukan reposisi fraktur secara manual.
Cedera seperti ini dilakukan tindakan diatas biasanya akan tetap stabil walaupun
penderita dalam posisi berbaring.
B.Breathing
Dada dan leher penderita harus terbuka selama penilaian breathing dan vena-
vena leher. Pergerakan pernafasan dan kualitas pernafasan dinilai dengan observasi ,
palpasi dan didengarkan.
4
Gejala yang terpenting dari cedera toraks adalah hipoksia termasuk peningkatan
frekuensi dan perubahan pada pola pernafasan, terutama pernafasan yang dengan
lambat memburuk. Sianosis adalah gejala hipoksia yang lanjut pada penderita trauma.
Tetapi bila sianosis tidak ditemukan bukan merupakan indikasi bahwa oksigen
jaringan adekuat atau airway adekuat. Jenis cedera toraks yang penting dan
mempengaruhi breathing (yang harus dikenal dan diketahui selama primari survey)
adalah keadaan-keadaan dibawah ini:
1. Tension Pneumotoraks
Tension Pneumotoraks berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena
ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau dari luar melalui dinding
dada, masuk kedalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one way valve).
Akbat udara yang masuk kedalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka
tekanan didalam intrapleura akan semakin meninggi, paru-paru menjadi kolaps,
mediastinum terdorong kesisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah ke
vena jantung( venous return), serta akan menekan paru kontralatera.
Penyebab tersering dari tension pneumothoraks adalah komplikasi penggunaan
ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita yang
ada kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumotorax juga dapat timbul sebagai
komplikasi dari pneumotoraks sederhana akibat cedera toraks tembus atau tajam
dengan perlukaan parenkim paru yang tidak menutup atau setelah salah arah pada
pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna. Kadangkala defek atau
perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension pneumotoraks, jika
salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut kedap udara (occlusive
dressimgs) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme katup (flap-valve).
Tension pneumotorax juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang
mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures).
Diagnosis tension pneumotoraks ditegakan secara klinis, dan terapi tidak boleh
terlambat oleh karena menunggu komfirmasi radiologist. Tension pneumotoraks
ditandai dengan gejala nyeri dada , sesak yang berat, distress pernafasan, takikardi,
hipotensi, deviasi trakea, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher.
Sianosis merupakan manifestasi lanjut. Karen a ada kesamaan gejala antara tension
5
pneumotoraks dan tamponade jantung maka pada awalnya sering membingungkan,
namun perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada hemitoraks yang
terkena akan dapat membedakanya.
Tension pneumotoraks membutuhkan decompresi segera dan penanggulangan
awal dengan dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga
dua garis midclabicular pada hemitoraks yang terkena. Tindakan ini akan mengubah
tension pneumotoraks menjadi pneumotoraks sederhana , tetapi terdapat pula
kemungkinan terjadi peneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi
ulang selalu diperlukan. Terapi definitive selalu dibutuhkan dengan pemasangan
selang dada (chest tube) pada sela iga 5 (setinggi puting susu) dianterior dari garis
midaxilaris.
2. Pneumotoraks terbuka (sucking chest wound)
Defek atau luka yang besar pada dinding dada akan menyebabkan
peneumotoraks terbuka. Tekanan didalam rongga pleura akan segera menjadi sama
dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada lebih besar dari 2/3 diameter
trakea maka udara akan cenderung mengalir melaui defek karena mempunyai tahanan
yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi
terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.
Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa oklusif steril yang diplester
hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek
katup (flutter Type Valve) dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka,
mencegah kebocoran dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk
6
menyingkirkan udara keluar. Setalah itu maka sesegera mungkin dipasang selang
dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan
menyebabkan terkumpulnya udara didalam rongga pleura yang akan menyebabkan
tension pneumotoraks kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa penutup
sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolatum Gauze,
sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan
penjahitan luka. Penjahitan luka primer diperlukan.
3. Flail Chest
Bila terjadi kerusakan parenkim paru dibawah kerusakan dinding dada maka akan
menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada Fail Chest adalah cedera
pada parenkim paru yang mungkin terjadi Flail Chest
Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas
dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga
multiple pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya
segmen fail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada (kontusio
paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari
dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan
menyebabkan hipoksia. Yang menyebabkan hipoksia pada penderita ini terutama
disebabkan nyeri yang menyebakan gerakan dinding dada menjadi tertahan dan cidera
jaringan parunya.
Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat)
dengan dinding dada. Gerakan pernapasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara
asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernapasan yang abnormal dan
krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosis. Dengan foto toraks akan
lebih jelas akan terlihat fraktur iga yang multiple, akan tetapi terpisahnya sendi
7
costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yang menunjukan
hipoksia akibat kegagalan pernapasan , juga membantu dalam diagnosis Flail Chest.
Terapi awal yang diberikan adalah pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang
dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian
kristaloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan resusitasi
cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-
benar optimal.
Terapi definitive ditujukan untunk mengembangkan paru-paru dan berupa
oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki
ventilasi. Tidak semua penderita tidak membutuhkan penggunaan ventilator.
Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma , dan intubasi
serta ventilasi untuk waktu singkat mungkin diperlukan, sampai diagnosis dan pola
cedera yang terjadi pada penderita tersebut lengkap. Indikasi timing/waktu untuk
melakukan intubasi dan ventilasi tergantung pada penilaian hati-hati dari frekuensi
pernapasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernapasan.
4. Hematotoraks massif
Terkumpulnya darah dan cairan disalah satu hemitoraks dapat menyebabkan
gangguan usaha bernapas akibat penekanan paru-paru dan menghambat ventilasi
yang adekuat. Perdarahan yang banyak dan cepat akan mempercepat timbulnya syok .
C.Cirkulation
Denyut nadi penderita harus dinilai kualitas, frekuensi dan keteraturanya. Pada
penderita hipovolemia, denyut nadi a.radialis dan a.dorsalis pedis mungkin tidak
teraba oleh karena volume yang kecil. Tekanan darah dan tekanan nadi harus diukur
dan sirkulasi perifer dinilai melalui inspeksi dan palpasi kulit untuk warna dan
temperatur. Vena leher harus dinilai apakah distensi atau tidak. Ingat, distensi vena
8
leher mungkin tidak nampak pada penderita hipovolemia walaupun ada tamponade
jantung, tension pneumothorax atau cidera diafragma.
Monitor jantung dan pulse oximeter harus dipasang pada penderita. Penderita
yang dicurigai cedera toraks terutama pada daerah sternum atau cedera deselerasi
yang hebat harus dicurigai adanya cedera miokard apabila ada disritmia. Hipoksia
ataupun asidosis akan mempermudah terjadinya. Kontraksi ventirkel prematur,
disritmia yang kerap terjadi, mungkin membutuhkan terapi dengan Bolus Lidokain
segera (1mg/kg) dilanjutkan Drip Lidocain (2-4 mg/menit).
Pulsless Electric Activity (PEA, sebelum ini dikenal sebagai Electromechanical
dissociation), merupakan dimana pada EKG ditemukan irama, sedangkan pada
perabaan nadi tidak ditemukan pulsasi. PEA dapat ditemukan pada tamponade
jantung, tension pneumotorax, hipovolemia, atau bahkan yang lebih buruk lagi ruptur
jantung.
Cidera toraks yang akan mempengaruhi sirkulasi dan harus ditemukan pada
primary survey adalah:
1. Hemotoraks Masif
Hemotoraks massif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1500 cc di
dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak
pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat
disebabkan cedera tumpul. Kehilangan darah menyebabkna hipoksia. Vena leher
dapat kolaps (flat) akibat adanya hipovolemia berat, tetapi kadang dapat ditemukan
distensi vena leher, jika terjadi tension pneumotorakx. Jarang terjadi efek mekanik
dari darah yang terkumpul intratoraks lalu mendorong mediastinum sehingga
menyebabkan distensi dari pembuluh vena leher. Diagnosis hemotoraks ditegakan
dengan adanya syok yang disertai suara nafas menghilang dan perkusi pekak pada sisi
dada yang mangalami trauma.
Terapi awal hemotoraks masif adalah dengan penggantian volume darah yang
dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infuse
cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudia pemberian darah
dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga toraks dapat dikumpulkan
pada tempat penampungan yang cocok untuk autotranfusi. Bersamaan dengan
9
pemberian infus, sebuah selang dada (chest tube) no.38 Fench dipasang setinggi
puting susu, anterior dari garis midaksilaris lalu dekompresi rongga pleura
selengkapnya. Ketikan curiga hemotoraks massif pertimbangkan untuk melakukan
autotranfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1500 ml, kemungkinan besar penderita
tersebut membutuhkan torakotomi segera.
Beberapa penderita pada awalnya darah yang keluar kurang dari 1500 ml, tetapi
perdarahan tetap berlangsung. Ini juga membutuhkan torakotomi. Keputusan
torakotomi dilakukan jika ditemukan kehilangan darah terus menerus sebanyak 200
cc/jam dalam waktu 2-4 jam, tetapstatus fisiologis penderita tetap lebih diutamakan.
Tranfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk torakotomi. Selama penderita
dilakuakan resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada (chest
tube) dan kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan kedalam cairan pengganti
yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau vena) bukan merupakan indikator yang
baik sebagai dasar untuk dilakukanya torakotomi.
Luka tembus toraks didaerah anterior , medial dari garis puting susu atau luka
didaerah posterior, medial dari skapula harus dipertimbangkan kemungkinan
diperlukanya torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar,
struktur hilus atau jantung yang kemungkinan terjadi tamponade jantung. Torakotomi
harus dilakukan oleh ahli bedah yang sudah mendapat latihan dan pengalaman.
2. Tamponade Jantung
10
Tamponade jantung sering disebabkan luka tembus. Walaupun demikian, cedera
tumpul juga dapat menyebabkan pericardium terisi darah, baik dari jantung,
pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia
terdiri dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun sedikit darah yang
mengumpul, sudah dapat menghambat aktivitas jantung dan mengganggu pengisian
jantung. Mengeluarkan darah atau cairan perikard, perikardiosintesis , sering hanya
keluar 15ml sampai 20 ml, sudah akan memperbaiki hemodinamik.
Diagnosis tamponade jantung tidak mudah. Diagnosis klasik adalah adanya
Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan
suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh sulit ditemukan bila ruang
gawat darurat dalam keadaan berisik, distensi vena leher tidak ditemukan karena
penderita hipovolemia, dan hipotensi sering disebabkan hipovolemia.
Pulsus Paradoxsus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi penurunan dari
tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan tersebut lebih dari 10
mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya tamponade jantung. Tetapi tanda
pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagipula sulit mendeteksinya dalam ruang
gawat darurat. Tambahan lagi, jika terdapat tension pneumotoraks, terutama sisi kiri,
maka akan sangat mirip tamponade kordis.
Tanda kussmaul (peningkatan tekanan vena saat inspirasi biasa)adalah kelainan
paradoksal yang sesungguhnya dan menunjukan adanya tamponade jantung. PEA
pada keaadaan tidak ada hipovolemia dan tension pneumotoraks harus dicurigai
adanya tamponade jantung. Pemasangan CVP dapat membantu proses diagnosis,
tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan pada berbagai keadaan lain. Pemeriksaan
USG (Echocardiografi) merupakan metode non invasif yang dapat membantu
penilaian pericardium, tetapi banyak penelitian yang melaporkan angka negatif yang
tinggi yaitu sekitar 5 sampai 10%. Pada penitilian cedera tumpul dengan
hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG abdomen, yang sekaligus
dapat mendeteksi cairan di kantong perikard dengan syarat tidak menghambat
resusitasi, serta dilakukan tim yang berpengalaman.
Tamponade jantung dapat timbul perlahan, sehingga memungkinkan evaluasi
yang lebih teliti, atau timbul cepat sehingga memerlukan diagnosis dan terapi yang
11
cepat pula. Cara diagnosis yang dilakukan dapat berupa USG (Focused assessment
sonogram in cedera- FAST) dan/atau perikardiosintesis. FAST bila dilakukan di UGD
adalah cara yag cepat dan akurat untuk melihat jantung dan pericardium. Ditangan
pemeriksa yang berpengalaman akurasi adalha sekitar 90%. Bila FAST menunjukan
cairan intraperikardial, maka dapat dilakukan perikrdiosintesis untuk menstabilkan
sementara hemodinamik penderita sambil menunggu tranpostasi kekamar operasi,
dimana dapat dilakukan torakotomi dan perikardiotomi untuk melihat cedera
jantungnya. Perikardiosintesis dapat bersifat diagnosis maupun terapetik , namun
bukan terapi definitive untuk tamponade jantung.
Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita dengan
syok hemoragik tidak memberikan respon pada cairan resusitasi dan mungkin ada
tamponade jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat
untuk mengadakan pemeriksaan diagnosis tambahan. Metode sederhana untuk
mengeluarkan cairan dari perikard adalah dengan perikardiosintesis. Kecurigaan yang
tinggi adanya tamponade jantung pada penderita yang tidak memberikan respon
terhadap usaha resusitasi, merupakan indikasi untuk melakukan tindakan
perikardiosintesis melalui metode subksifoid. Tindakan alternative lain, adalah
melakukan operasi jendela perikard atau torakotomi dengan perikardiotomi oleh
seorang bedah. Prosedure ini akan lebih baik dilakukan di ruang operasi jika kondisi
penderita memungkinkan.
Walaupun kecurigaan besar akan adanya tamponade jantung, tetap dilakukan
pemberian cairan infuse awal karena akan dapat meningkatkan tekanan vena dan
meningkatkan cardiac output untuk sementara, sambil melakukan persiapan untuk
tindakan perikardiosintesis melalui subsikfoid . Pada tindakan ini penggunaan plastic-
sheated needle atau insersi dengan teknik Seldinger merupakan cara paling baik
tetapi dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari kantong
perikard. Monitoring Elektrokardiografi dapat menunjukan tertusuknya miokard
(peningkatan voltase dari gelombang T, ketika jarum perikardiosintesis menyentuh
epikardium) atau terjadinya disritmia. Karena luka jantung mungkin menutup sendiri,
perikardiosintesis akan memperbaiki gejala untuk sementara. Namun semua penderita
denagan perikardiosintesis yang positif memerlukan torakotomi, atau median
12
sternomi, untuk pemeriksaan dan perbaikan cedera jantungnya. Perikardiosintesis
mungkin negatif karena darah dalam rongga perikardium beku.
Torakotomi Resusitasi
Pijatan jantung tertutup untuk henti jantung atau PEA kurang efektif pada
keadaan penderita yang hipovolemia. Penderita dengan luka tembus toraks yang
sampai dirumah sakit tidak teraba denyut nadi tetapi masih ada aktifitas elektrik dari
miokard merupakan calon untuk torakotomi resusitasi secepatnya.
Torakotomi antero-lateral kiri dilakukan untuk mendapatkan akses langsung ke
jantung, sambil meneruskan resusitasi cairan. Intubasi endotrakeal dan ventilasi
mekanik mutlak harus dikerjakan.
Penderita dengan cedera tumpul yang sampai di rumah sakit dan tidak teraba
denyut nadi akan tetapi masih ada aktifitas miokard tidak ada indikasi torakotomi
resusitasi.
Tindakan terapi efektif yang dapat dikerjakan selama torakotomi adalah:
1. Evakuasi darah di perikard yang menyebabkan tamponade jantung.
2. Kontrol langsung sumber perdarahan pada perdarahan intratoraks
3. Pijatan jantung terbuka
4. Klem silang aorta descendens untuk mengurangi kehilangan darah
dibawah diafragma dan meningkatkan perfusi keotak dan jantung.
Berbeda hasilnya jika ini dilakukan pada cedera tumpul. Banyak laporan
mengkonfirmasi tidak efektifnya hasil torakotomi di ruang gawat darurat untuk
penderita yang mengalami henti jantung setelah cidera tumpul.
13
II. SECONDARY SURVEY: CEDERA TORAKS YANG DAPAT
MENGANCAM NYAWA
Secondary survey membutuhkan pemerikaan fisik yang lebih dalam dan
teliti. Foto toraks tegak dibuat jika kondisi penderita memungkinkan, serta
pemeriksaan analis gas darah, monitoring pulse oximeter dan elektrokardiogram.
Pada foto toraks harus dinilai pengembangan paru, adanya cairan, ada tidaknya
pelebaran mediastinum, pergeseran dari garis tengah atau hilangnya gambaran
detail dari mediastinum. Pada fraktur iga multipel atau fraktur iga pertama
dan/atau iga kedua harus dicurigai bahwa cedera yang terjadi pada toraks dan
jaringan lunak debawahnya sangat berat.
Delapan cedera toraks yang mungkin mematikan:
1. Pneumotoraks sederhana
2. Hemotoraks
3. Kontusio Paru
4. Perlukaan percabangan trakeo-bronkialDi
5. Cedera tumpul jantung
6. Cedera Aorta
7. Cedera diafragma
8. Mediastinal traversing wound
Tidak seperti kondisi yang langsung mengancam nyawa yang harus dikenal
selama primary survey , cedera diatas biasanya pada pemeriksaan fiskik tidak
jelas. Pengenalan membutuhkan indeks kecurigaan yang tinggi.Cedera-cedera ini
sering kali tidak terdiagnosis saat awal setelah cedera namaun dapat berakibat
fatal.
A. Pneumotoraks Sederhana
Pneumotoraks disebabkan masuknya udara pada ruang potensial antara
pleura viseralis dan parietal. Dislokasi-fraktur vertebra torakal juga dapat
ditemukan bersama dengan pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab
tersering dari pneumotoraks akibat cedera tumpul.
14
Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang
mengembangnya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan
(tekanan negatif) antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga
pleura akan menyebabkan kolapnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi
terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami ventilasi
sehingga tidak ada oksigenasi.
Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena
dan pada perkusi hipersonor. Foto toraks-posisi tegak saat ekspirasi akan
membantu menegakan diagnosis.
Terapi tebaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasanagan chest tube .
Pneumotoraks sederhana dapat menjadi tension pneumotoraks yang mengancam
nyawa terutama jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan positif
diberikan. Toraks penderita juga harus dilakukan dekompresi sebelum
transportasi udara.
B. Hemotoraks
Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari
pembuluh darah interkostal atau ateri mamaria internal yang disebabkan oleh
cedera tajam atau cedera tumpul. Dislokasi fraktur dari vetebral torakal juga dapat
menyebabkan hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak
memerlukan intervensi operasi.
Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks,
sebaikanya diterapi dengan selang dada kaliber besar. Selang dada tersebut akan
mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan
darah didalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan
darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukanya
penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik.
Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskanperlunya
indikasi operasi pada penderita hemotoraks, status fisiologis dan volume darah
yang keluar dari selang dada merupakan faktor utama. Sebagai patokan bila darah
yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak 1500 ml, atau bila darah
yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2 samapai 4 jam, atau jika
15
membutuhkan tranfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah harus
dipertimbangkan.
C. Kontusio Paru
Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan
potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan
berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga
rencana penanganan defitnitif dapat berubah berdasarkan perubahan klinis.
Monitoring harus ketat dan hati-hati, juga diperluakan evaluasi penderita yang
berulang-ulang.
Penderita dengan hipoksia yang bermakna (PaO2 <65 mmHg atau 8,6 kPa
dalam udara ruangan ,SaO2 <90%) harus dilakukan intubasi dan diberikan
bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma. Kondisi medik yang
berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis dan gagal ginjal
menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik.
Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditagani secara selektif tanpa
intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik.
Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas darah,
monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk
penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu ditransfer
maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu.
D. Cidera Trakheobronkial
Cedera terhadap trakea dan bronkus utama merupakan perlukaan yang luar
biasa dan mempunyai potensial fatal yang seringkali sudah terlihat pada saat
penilaian awal. Perlukaan ini sering disebabkan oleh cidera tumpul dan terjadi
pada 1 inci dari karina. Kebanyakan penderita meninggal ditempat kejadian. Bila
penderita sampai dirumah sakit, resiko kematian meningkat disebabkan karena
cidera lain yang menyertai.
Jika dicurigai adanya perlukaan trakeobronkial, harus melakukan konsultasi
segera. Pada penderita dengan perlukaan trakeobronkial sering ditemukan
hemoptisis, emfisema subkutan dan tension pneumotoraks dengan pergesran
mediastinum. Adanya pneumotoraks dengan gelembung udara yang banyak pada
16
WSD setelah dipasang selang dada harus dicurigai adanya cedera trakeobronkial.
Sering dibutuhkan lebih dari satu selang dada pada kebocoran yang besar.
Diagnosis perlukaan ini dilakukan dengan cara bronkoskopi. Intubasi pada cabang
bronkus utama kontralateral dibutuhkan sementara waktu untuk mencukupi
kebutuhan oksigen.
Intubasi seringkali mengalami kesulitan karena adanya distorsi anatomi
akibat hematom paratrakeal, akibat cedera orofaringeal yang menyertai atau
terhadap trakeobronkial itu sendiri. Untuk penderita seperti ini diperlukan
intevensi operasi segera. Untuk penderita yang stabil, terapi operasi dari
perlukaan trakeobronkial dapat ditunda sampau reaksi radang akut dan edema
diserap.
E. Cedera Tumpul Jantung
Cedera tumpul jantung dapat menyebabkan kontusio otot jantung , ruptur
atrium atau ventrikel, ataupun kebocoran katup. Ruptur ruang jantung ditandai
dengan tamponade jantung yang harus diwaspadai saat primary survey. Kadang-
kadang tanda dan gejala dari tamponade lambat terjadi bila yag ruptur adalah
atrium.
Penderita dengan kontusio miokard akan mengeluh rasa tak nyaman pada
dada tetapi keluhan tersebut juga bisa disebabkan kontusio dinding dada atau
fraktur sternum dan/atau fraktur iga. Diagnosis pasti hanya dapat ditegakan
dengan inspeksi dari miokard yang mengalami trauma. Gejala klinis yang penting
pada kontusio miokard adalah hipotensi, gangguan hantaran yang jelas pada EKG
atau gerakan dinding jantung yang tidak normal pada pemeriksaan ekokardiografi
dua dimensi. Perubahan EKG dapat berfariasi dan kadang menunjukan suatu
infark miokard yang jelas. Kontraksi premature ventrikel yang multiple, sinus
takikardi yang tidak bisa diterangkan, fibrilasi atrium, bundle branch
block(biasanya kanan) dan yang paling sering adalah perubahan segmen ST yang
ditemukan pada EKG. Evaluasi dari tekanan vena sentral yang tidak ada penyebab
lain merupakan petunjuk dari disfungsi ventrikel kanan sekunder akibat kontusio
jantung. Juga penting untuk diingat bahwa kecelakaanya sendiri mungkin dapat
disebabkan adanya serangangn infark miokard akut.
17
Pemeriksaan troponin tidak dilakukan pada kontusio miokard yang
terdiagnosis karena adanya konduksi yang abnormal mempunyai resiko terjadinya
disritmia akut, dan harus dimonitor 24 jam pertama, karena setelah interval
tersebut resiko disritmia akan menurun secara bermakna.
F. Ruptur Aorta (Traumatic Aortic Disruption)
Ruptur aorta traumatic sering menyebabkan kematian segera setelah
kecelakaan mobil tabrakan frontal atau jatuh dari ketinggian. Untuk penderita
yang selamat, sesampainya dirumah sakit kemingkinan sering dapat diselamatkan
bila rupture aorta dapat di identifikasi dan secepatnya dilakukan operasi.
Penderita dengan rupture aorta (yang kemungkinan bisa ditolong), biasanya
laserasi yang terjadi tidak total dan dekat dengan ligamentum arteriosus.
Kontinuitas dari aorta dipertahankan oleh lapisan adventitia yang masih utuh atau
adanya hematom mediastinum yang mencegah terjadinya kematian segera.
Banyak penderita yang sempat sampai dirumah sakit dalam keaadaan hidup,
meninggal dirumah sakit jika tidak diberikan terapi. Walaupun ada darah yang
lolos kedalam mediastinum, tetapi pada hakekatnya ini adalah suatu hematoma
yang belum pecah. Hipotensi menetap atau berulag ditemukan sedangkan
perdarahan di tempat lain tidak ada. Bila rupture aorta berupa transeksi aorta,
maka perdarahan yang terjadi masuk kedalam rongga pleura dan menyebabkan
hipotensi, biasanya berakibat fatal dan pederita harus dilakukan operasi dalam
hitungan menit.
Seringkali gejala ataupun tanda spesifik rupture aorta tidak ada, namun
adanya kecurigaan yang besar atas riwayat trauma , adanya gaya deselerasi dan
temuan radiologis yang khas diiikuti arteriografi merupakan dasar dalam
penetapan diagnosis. Angiografi harus dilakukan secara agresif karena penemuan
foto toraks, terutama pada posis berbaring, hasilnya tidak dapat dipercaya.
Apabila ditemukan peleburan mediatinum pada foto toraks dan lakukan
pemeriksaan angiografi maka hasil positif untuk rupture aorta adalah sekitar 3%.
Gambaran radiology yang ada dibawah ini dapat dipergunakan sebagai
indikasi adanya cedera terhadap pembuluh darah besar dalam rongga toraks.
1. Pelebaran mediastinum
18
2. Obliterasi lengkung aorta
3. Deviasi trakea kearah kanan
4. Hilangnya ruang antara arteri pulmonal dan aorta (jendela
aorta-pulmonal tidak jelas)
5. Bronkus utama kiri tertekan kebawah
6. Deviasi dari esofagus ke arah kanan
7. Pelebaran paratrakeal tidak merata.
8. Pelebaran paraspinal
9. Ditemukan adanya pleural atau apical cap
10. Hemotoraks kiri
11. Frakur Iga 1 atau ke 2 atau skapula
Positif palsu atau negatif palsu terdapat pada tiap-tiap tanda foto ronsen
diatas tepi hanya jarang (hanya 1%-2%) tidak akan ditemukan tanda apapun pada
penderita dengan cedera pembuluh darah besar. Kecurigaan sedikit saja akan
adanya cedera aorta sudah merupakan alasan untuk mengirim penderita ke
fasilitas yang mampu untuk mempertajam diagnosis. Angiografi merupakan
pemeriksaan gold standart, tetapi transesofagal echokardiografi (TEE) merupakan
suatu pemeriksaan yang minimal invasif yang dapat dipergunakan untuk
membantu menegakan diagnosis. Pemeriksaan CT-scan akan banyak memakan
waktu sehingga tidak dianjurkan untuk menegakan diagnosa definitif.
CT helikal dengan kontras saat ini merupakan cara terbaik untuk skrining
cedera aorta. Akurasi denga CT helikal mencapai 100%, namun sangat tergantung
alat dan ahli. Bila CT helikal tidak menunjukan adanya hematoma mediastinum
maupun cedera aorta, maka pemeriksaan selanjutnya tidak diperlukan. Bila CT
helikal positif harus dilakukan aortografi.
G. Cedera Diafragma
Ruptur diafragma traumatik lebih sering terdiagnosis pada sisi kiri, karena
obliterasi hepar pada sisi kanan atau adanya hepar pada sisi kanansehingga
mengurangi kemungkinan terdiagnosisnya ataupun terjadinya ruptur diafragma
kanan. Sementara itu adanya usus, gaster atau selang diagnostik mempermudah
mendeteksi pada hemotoraks kiri. Prevalensi sesungguhnya (untuk kejadian sisi
19
kiri atau kanan) belum diketahui. Cedera tumpul menghasikan robekan besar yang
menyebabkan timbulnya herniasi organ abdomen. Sedangkan cedera tajam
menghasilkan perforasi kecil yang sering memerlukan waktu yang bisa sampai
tahunan untuk berkembang menjadi hernia diaframagtika.
Diagnosis perlukaan ini pada awalnya bisa terlewatkan jika salah
menginterprestasikan foto toraks sebagai elevasi diafragma, dialtasi gaster akut,
pneumtoraks lokal atau hematom subpulmonal. Jika curiga adanya laserasi pada
diafragma kiri, selang gaster harus dipasang. Bila selang gaster tampak dirongga
toraks, maka tidak diperlukan pemeriksaan dengan kontras. Kadang, diagnosis
tidak dapat ditegakan dengan foto rontgen ataupun setelah pemasangan selang
dada pada hemitoraks kiri. Pada keadaan ini pemeriksaan gasrtointestinal bagian
atas dengan kontras harus dilakukan jika diagnosis masih ragu-ragu/tidak jelas.
Bila ditemukan cairan peritoneum keluar dari selang dada juga dapat
mengkonfirmasi daignosis. Prosedur minimal invasif endoskopi (torakoskopi)
dapat membantu dalam mengevaluasi diafragma pada kasus yang diagnosisnya
sulit ditegakan.
Ruptur diafragma kanan jarang terdiagnosis pada periode awal setelah
trauma,. Hepar sering mencegah herniasi dari organ abdomanal lainya masuk
kerongga toraks. Gambaran elevasi diafragma kanan pada x-ray toraks mungkin
dapat ditemukan. Ruptur diafragma sering dapat ditemukan secara kebetulan,
karena operasi untuk cedera abdominal lain. Terapinya adalah penjahitan
langsung.
H. Mediastinal Traversing Wound
Cedera penetrans melintasi mediastinum, dapat mencederai struktur utama
dimediastinum misalnya jantung, pembuluh darah besar, percabangan
torakobronkial atau esophagus. Diagnosis ditegakan bila pemeriksaan fisik yang
teliti dan foto toraks menunjukan adanya luka masuk disatu henitoraks dan luka
keluaratau peluru bersarang di hemitoraks kontra-lateralnya. Hati-hati bila
menjumpai luka dengan pecahan peluru berada didekat organ mediatinum karena
20
kemungkinan adanya luka yang melintasi mediastinum. Konsultasi bedah mutlak
harus dilakukan.
Adanya syok menjadi indikasi adanya kehilangan darah karena perdarahan
intra toraks, tension pneumotoraks, atau tamponade jantung. Pemasangan selang
dada bilateral harus dilakukan untuk mengatasi hemopneumotoraks dan darah
yang keluar harus diukur. Indikasi untuk melakukan torakotomi sito sama dengan
indikasi pada hemotoraks masif. Persiapan torakotomi dilakukan untuk kedua
hemitoraks. Tetapi secara umum harus dimulai pada sisi yang kehilangan
darahnya paling banyak. Penderita dengan curiga tamponade jantung dilakukan
terapi. Penderita yang dicurigai emfisema mediastinum harus dicurigai adanya
cedera terhadap cedera esofagus atau percabangan trakeobronkial. Hematom
mediastinum atau pleural cap dicurigai adanya cedera pada pembuluh darah
besar.Perlu juga dilakukan pemeriksaan neurologi untuk mencurigai peluru
melewati medula spinalis.
Penderita dengan hemodinamik normal, walaupun tanpa gejala klinis atau
tanpa kelainan gambaran strukur mediatinum pada foto ronsen, tetap harus
dilakukan evaluasi untuk menyingkirkan kemungkinan cedera vaskuler,
trakeobronkial atau cedera esofagus. Selang toraks dipasang sesuai indikasi. Jika
belum ada rencana operasi, maka dilakukan pemeriksaan evaluasi segera seperti
CT helikal atau angiografi yang dapat memperlihatkan gambaran Aorta torakalis
dan cabang utamanya. Jika hasil CT helikal atau angiogram negatif, dilakukan
esofagorafi memakai kontras. Pemeriksaan esofagografi akan meningkatkan
kepastian bahwa tidak ada cedera esofagus. Bronkoskopi harus dilakukan untuk
mengevaluasi percabangan trakeobronkial. Untuk mengevaluasi jantung dan
perikardium terbaik menggunakan CT scan atau Ultrasound. Jika hemodinamik
penderita memburuk , yang dapat terjadi setiap saat selama evaluasi non-operatif,
maka harus dipertimbangkan adanya cedera lain dan lakukan reevaluasi.
Dekompresi segera pada tension pneumotoraks, atau pada tamponade jantung
mungkin dibutuhkan.
Setelah identifikasi perlukaan, dapat langsung dilakukan perbaikan melaui
sayatan yang sesuai.
21
Segera keseluruhan angka mortalitas untuk luka tembus mediastinum sekitar
20%. Persentase ini menjadi berlipat ganda jika disertai hemodinamik tidak stabil
dan 30% pada evaluasi memberikan hasil positif dan kemudian memerlukan
operasi.
III. MANIFESTASI CEDERA TORAKS LAIN
Cedera toraks penting lainya yang harus dideteksi selama secondary survey
walaupun cedera tersebut tidak segera mengancam nyawa tetapi cedera tersebut
potensial untuk memburuk.
A. Emfisema Subkutis
Emfisema subkutis dapat disebabkan oleh cedera airway, parenkim paru,
atau yang jarang yaitu cedera ledakan. Walaupun tidak memerlukan terapi,
penyebab timbulnya kelainan ini harus dicari. Jika penderita menggunakan
ventilasi dengan tekanan positif pemasangan selang dada harus dipertimbangkan
untuk dipasang pada sisi yang terdapat emfisema subkutis sebagai antisipasi
terhadap berkembanya tension pneumotoraks.
B. Crushing Injury to the Chest ((Traumatic Asphyxia))
Tergencetnya toraks akan menimbulkan kompresi yang tiba-tiba dan
sementara terhadap vena cava superior dan menimbulkan pleuthorax serta
petechie yang meliputi badan bagian atas, wajah dan lengan. Dapat terjadi edema
yang berat, bahkan edema otak. Yang harus diterapi adalah cedera penyertanya.
C. Fraktur Iga, Sternum dan Skapula
Iga merupakan komponen dari dinding toraks yang paling sering mengalami
trauma. Perlukaan yang terjadi pada iga sering bermakna. Terfiksirnya iga yang
patah akibat nyeri dapat menyebabkan gangguan ventilasi, oksigenasi dan reflek
batuk. Batuk yang tidak efektif untuk mengeluarkan secret dapat mengakibatkan
incident atelektasis, dan pneumonia meningkat secara bermakna bila sudah ada
penyakit paru sebelumnya.
Iga bagian atas (Iga I samapai ke 3)dilindungi oleh struktur tulang dari bahu.
Tulang scapula, humerus dan klavikula dengan seluruh otot-otot akan melindungi
terhadap cedera iga tersebut. Bila ditemukan fraktur tulang scapula, Iga pertama
dan kedua atau sternum harus curiga akan adanya cedera yang berat, sehingga
22
harus dipertimbangkan adanya cedera kepala, leher, medulla spinalis, paru-paru
dan pembuluh darah besar. Karena adanya cedera penyakit tersebut, mortalitas
akan meningkat menjadi 35%. Konsultasi bedah harus dilakukan.
Fraktur sternum dan scapula secara umum disebabkan oleh benturan
langsung. Kontusio paru dapat menyertai fraktur sternum. Cedera tumpul jantung
harus selalu dipertimbangkan bila ada fraktur sternum. Terapi operasi kadang
dididentifikasi untuk fraktur sternum atau scapula. Dislokasi sternoklavikula
jarang menyebabkan bergesernya kaput klavikula kea rah mediastinum dengan
mengakibatkan obstruksi dari vena cava superior. Bila ini terjadi reduksi harus
segera dilakukan.
Yang paling sering mengalami cedera adalah iga bagian tengah (iga ke 4
sampai ke 9). Kompresi anteroposterior dari rongga toraks akanmenyebabkan
lengkung iga akan lebih melengkung lagi kea rah lateral dengan akibat timbulnya
fraktur pada titik tengah (bagian lateral) iga. Cedera langsung pada iga akan
cenderung menyebabkan fraktur dengan pendorongan ujung-ujung fraktur masuk
ke dalam rongga pleura dan potensial menyebabkan cedera intratorakal seperti
pneumotoraks. Seperti kita ketahui pada penderita dengan usia muda dinding dada
lebih fleksibel sehingga jarang terjadi fraktur iga, oleh karena itu adanya fraktur
iga multiple pada penderita usia muda memberikan informasi pada kita bahwa
cedera yang terjadi sangat besar dibandingkan bila terjadi cedera yang sama
terjadi pada orang tua. Patah tulang iga terbawah (10-12) harus curiga adanya
cedera hepat atau lien.
Pada penderita dengan cedera iga akan ditemukan nyeri tekan pada palpasi
dan krepitasi. Jika teraba atau terlihat danya deformitas, harus curiga fraktur iga.
Foto toraks harus dibuat untuk menghilangkan kemungkinan cedera intratorakal
dan bukan untuk mengidentifikasi fraktur iga.Teknik khusus untuk visualisasi iga
selain harganya mahal, tidak dapat mendeteksi seluruh iga, posisi yang
dibutuhkan untuk pembuatan x-ray tersebut menimbulkan rasa nyeri dan tidak
mengubah tindakan, sehingga pemeriksaan ini tidak dianjurkan. Plester iga,
pengikat iga dan bidai eksternal merupakan kontraindikasi.
23
Yang penting adalah menghilangkan rasa sakit agar penderita dapat bernafas
dengan baik. Blok interkostal, anastesi epidural dan analgesi sistemik dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi rasa nyeri.
D. Cidera Tumpul Esofagus
Cedera esofagus lebih sering disebabkan oleh karena cedera tembus. Cedera
tumpul esofagus walaupun jarang tetapi mematikan bila tidak teridentifikasi.
Cedera tumpul esofagus disebabkan oleh gaya kompresi isi gaster yang masuk
kedalam esofagus akibat cedera berat abdomen bagian atas. Gaya tersebut
menyebabkan robekan linier pada esofagus bagian bawah dan mengakibatkan
kebocoran cairan gaster kedalam mediastinum. Akibat selanjutnya terjadi
mediastinitis, yang cepat atau lambat akan pecah kedalam rongga pleura yang
kemudian akan menyebabkan terjadinya empiema. Cedera esofagus dapat
disebabkan oleh kesalahan pemasangan instrumentasi (Contoh: selang nasogaster,
endoskopi, dilator).
Gambaran klinis pada ruptur esofagus muntah-muntah. Cedera esofagus
harus dipertimbangkan pada penderita-penderita (1) yang mempunyai
pneumotoraks kiri atau hemotoraks tanpa adanya fraktur iga, (2) Penderita yang
menerima cedera langsung yang berat terhadap sternum bagian bawah atau
epigastrium dan nyeri atau syok yang tidak proporsional terhadap cedera yang
dialami. Atau (3) didapatkan sisa makanan pada selang dada setelah darah keluar.
Adanya udara mediastinum juga membantu diagnosis yang kemudian dapat
dikonfirmasi dengan pemeriksaan memakai kontras atau sofagoskopi.
Drainase yang luas dari rongga pleura dan mediastinum dengan penjahitan
langsung terhadap luka yang terjadi melalui torakotomi adalah terapi yang
dilakukan jika hal ini memungkinkan. Operasi yang dilakukan dalam beberapa
jam setelah cedera akan memberikan prognosis yang lebih baik.
E. Indikasi lain untuk pemasangan Selang dada
a. Secara selektif penderita yang dicurigai cedera paru berat terutama jika
penderita akan dikirim melalui udara atau darat.
24
b.Penderita yang akan dilakukan anastesi umum untuk terapi terhadap
cedera yang lain(cedera kepala atau ekstremitas), yang dicurigai terdapat cedera
paru-paru bermakna
c.Penderita yang membutuhkan ventilasi dengan tekanan positif yang
dicurigai adnya cedera dada.
25
IV. PROSEDURE PENANGANAN CEDERA TORAKS
1. Torakosintesis Jarum
Prosedure ini untuk tindakan penyelamatan pada tension pneumotoraks. Jika tindakan
ini dilakukan penderita bukan pneumotoraks, dapat terjadi pneumotoraks dan /atau
kerusakan pada parenkim paru.
a.Identifikasi toraks penderita dan status respirasi
b. Berikan oksigen dengan aliran tinggi dan
ventilasi sesuai kebutuhan.
c.Identifikasi sela Iga II, di linea midklavikularis di sisi tension pneumotoraks
d. Asepsis dan antisepsis dada
e.Anastesi lokal jika penderita sadar atau keadaan mengijinkan.
f. Penderita pada posisi tegak jika fraktur servikal sudah disingkirkan.
g. Pertahankan Loer-Lok di ujung distal kateter,
insersi jarum kateter (Panjang 3-6 cm) kekulit secara langsung tepat diatas iga
kedalam sela iga
h. Tusuk pleura parietal
i. Pindahkan Luer Lok dari kateter dan dengar keluarnya udara ketika jarum
memasuki pleura parietal, menandakan tension pneumotoraks telah diatasi.
j. Pindahkan jarum dan ganti Luer-Lok di ujung distal kateter. Tinggalkan kater
plastik ditempatnya dan ditutup dengan plester atau kain kecil.
k. Siapkan Chest Tube, jika perlu. Chest Tube
harus dipasang setinggi putting susu anterior linea midaksilaris pada hemitoraks
yang terkena.
l. Hubungkan Chest Tube ke WSD atau katup tipe flutter dan cabut kateter yang
digunakan untuk dekompresi tension pneumotoraks.
m. Lakukan Ronsen Toraks.
26
2. Insersi Chest Tube
a. Resusitasi cairan melalui paling sedikit satu kateter intravena kaliber besar, dan
monitor tanda-tanda vital harus dilakukan.
b. Tentukan temapat insersi, biasanya setinggi puting (sela Iga V) anterior linea
midaksilaris pada area yang terkena. Chest Tube kedua mungkin dipakai pada
hemotoraks
c. Siapkan pembedahan dan tempat insersi ditutup dengan kain.
d. Anastesi lokal kulit dan periosteum iga.
e. Insisi tranversal (horizontal) 2-3 cm pada temapat yang telah ditentukan dan diseksi
tumpul melalui jaringan subkutan, tepat diatas iga.
f. Tusuk pleura parietal dengan ujung klem dan masukan jari kedalam tempat insisi
untuk mencegah melukai oragan yang lain dan melepaskan perlekatan, bekuan
darah dll.
g. Klem ujung proksimal tube torakostomi dan dorong tube kedalam rongga pleura
sesuai panjang yang diinginkan.
h. Cari adannya “Fogging” pada chest tube pada saat ekspirasi atau dengar aliran
udara.
i. Sambung ujung tube torakostomi ke WSD
j. Jahit tube ditempatnya
k. Tutup Dengan kain/kasa dan plester
l. Buat foto ronsen toraks
m. Pemeriksaan analisis gas darah sesuai kebutuhan
27
3. PERIKARDIOSINTESIS
a. Monitor tanda vital penderita, CVP, dan EKG sebelum, selama dan
sesudah prosedur.
b. Persiapan bedah pada area xiphoid dan subxiphoid, jika waktu
mengijinkan
c. Anastesi local ditempat pungsi, jika perlu
d. Gubakan #16-#18 gauge, 6 inci (15cm) atau kateter jarum yang lebih
panjang, terpasang pada tabung jarum yang kosong 35ml dengan 3 way stopcock.
e. Identifikasi adanya pergeseran mediastinum yang menggeser jarum secara
bermakna
f. Tusuk kulit 1-2 cm inferior xiphokondrial juntion kiri dengan sudut 45
derajat
g. Dorong jarum dengan hati-hati kearah sefalad dan ditujukan ke ujung
scapula kiri.
h. Jika jarum didorong terlalu jauh (ke otot ventricular) pola cedera (mis,
perubahan ekstrim gelombang ST-T atau melebar dan membesarnya kompleks
QRS) muncul pada monitor EKG. Pola ini mengindikasikan jarum perikardosintesis
harus ditarik sampai pola EKG sebelumnya muncul kembali. Kontraksi ventrikuler
prematur dapat terjadi juga, sekunder terhadap iritasi pada miokard ventrikel.
i. Ketika ujung jarum memasuki perikard yang terisi darah, hisap sebanyak
mungkin.
j. Selama aspirasi, epikardium kembali mendekat dengan permukaan dalam
perikard, juga mendekati ujung jarum. Akibatnya pola cedera pada EKG muncul
kembali. Hal ini menandakan jarum perikardiosintesis harus ditarik sedikit. Jika
pola cedera ini persisten, tarik seluruh jarum keluar.
k. Sesudah aspirasi selesai, cabut tabung jarum, dan sambungkan ke 3 way
stopcock, tinggalkan stopcock tertutup. Pertahankan posisi kateter ditempatnya.
28
l. Jika gejala tamponade persisten, buka stopcock dan perikard diaspirasi
ulang. Jarum plastic perikard dapat dijahit atau diplaster dan ditutup dengan
kain/kasa kecil untuk dilakukan memungkinkan dilakukan dekompresi berulang
atau pola saat pemindahan penderita ke fasilitas medis yang lain.
TORAKOSINTESIS JARUM
PERIKARDIOSINTESIS
INSERSI CHEST TUBE
29
30
BAB III
KESIMPULAN
Cedera toraks sering ditemukan pada penderita cedera multipel dan dapat
merupakan masalah yang mengancam nyawa. Penderita dengan cedera toraks
tersebut biasanya dapat diterapi atau kondisi diperbaiki sementara dengan
tindakan yang relatif sederhana seperti intubasi, ventilasi, selang dada atau
perikardiosintesis dengan jarum. Kemampuan untuk megenal cedera ini dan
kemampuan melakukan tindakan dapat menyelamatkan nyawa.
31
Daftar Pustaka
1. Callaham M: Pericardiosintesis in Traumatic and nontraumatic cardiacc
tamponade. Annals of Emergency Medicine 1984; 13 (10);924-
2. Marnocha KE, Maglinte DDT,woods J, et al: Blunt Chest cedera and
suspected aortic rupture; Realibility of chest radiograph finding. Annals of
Emergency Medicine 1985;14 (7):664-
3. Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Pwnwebit Buku
Kedokteran 2005
4. Advance Trauma Life Support
5.Humpries L.R: Current Emergency Diagnosis And Treatment, Fifth
Ediion. Lange. 2004
6. Henderson S.O, Vademecum Emergency Medicine, Landes
Bioscience.Georgetown, Texax, USA, 2006
7. Harwoods- Nuss, Clinical Practice Of Emergency Medicine, 4th Edition,
Lippincott Williams Wilkins, 2005.
8. Anonim, Guidelines for essential trauma care, WHO, 2004
32