refrat asma

Upload: ninda-devita

Post on 09-Jul-2015

547 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ASMA BRONKIAL DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA disusun dalam rangka penugasan blok kesehatan anak

Oleh: Nama NIM Kelompok Tutor : Ninda Devita : 08711236 : 16 : dr. Arie Nugroho

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2011

I.

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit saluran pernafasan kronik yang ditandai dengan obstruksi saluran nafas (Sharma, 2011). Menurut WHO, sekitar 15 juta orang menderita asma dan 250.000 diantaranya meninggal karena asma (Sharma, 2011). Penyakit ini bisa timbul di semua usia namun paling banyak pada anak-anak (PDPI, 2004). Saat ini di seluruh dunia terjadi peningkatan angka kejadian dan derajat asma pada anak-anak, di negara maju ataupun berkembang (Santosa, 2008). Satu dari sebelas anak mempunyai riwayat asma dan dua dari tiga anak yang mempunyai riwayat asma pernah mengalami serangan asma lebih dari satu kali (Hay et al, 2010). Hal ini dikarenakan oleh dua faktor utama yaitu modernisasi dan urbanisasi, misalnya menurunnya pemberian ASI ekslusif dan pemukiman yang makin padat (Santosa, 2008). Menurut survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1992 menunjukkan asma menduduki urutan ke-4 dari 10 penyebab kesakitan bersama-sama dengan bronchitis kronik dan emfisema di Indonesia. Pada anak-anak dari studi yang dilakukan oleh Yunus dkk pada tahun 2000 menunjukkan dari 2234 anak usia 13-14 tahun prevalensi asma 8,9% dan prevalensi kumulatif 11,5% (PDPI, 2004). Asma memang jarang menimbulkan kematian, namun ganggguan yang ditimbulkan sering menyebabkan kehilangan produktivitas, seperti membolos dari sekolah (PDPI, 2004). Di samping itu penyakit ini menimbulkan gangguan pada aktivitas sehari-hari sehingga menurunkan kualitas hidup penderita (PDPI, 2004). Namun, menegakkan diagnosis dan tatalaksana asma juga sering kesulitan sehingga sering mengalami under/overdiagnosis atau under/overtreatment (Santosa, 2008). Sehingga sangat penting sebagai seorang dokter untuk dapat menganali asma sejak dini dan memberikan tatalaksana yang sesuai sehingga meningkatkan kualitas hidup penderita.

II. II.1

PATOFISIOLOGI Asma pada Anak

Asma merupakan salah satu penyakit yang sering ditemui pada anak. Menurut Santoso (2008) hal ini disebabkan oleh beberapa faktor: a. Diameter saluran nafas pada anak relatif lebih kecil dibandingkan orang dewasa. Diameter berbanding terbalik nilainya dengan tahanan udara. Sehingga diameter yang kecil dan ditambah adanya edema atau hipersekresi mengakibatkan tahanan semakin besar dan akhirnya terjadi obstruksi jalan nafas yang berakibat pada terjadinya asma b. Dinding dada pada bayi kurang kaku. Hal ini menyebabkan mudahnya bronkus dan trakea kolaps. c. Pada anak-anak ditemukan kelenjar mukus yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan orang dewasa II.2 Etiologi Faktor genetik dan lingkungan sangat mempengaruhi terjadinya asma pada anak (Liu et al, 2008). Adanya alergen dari lingkungan mencetuskan proses imun yang berhubungan dengan suatu kecenderungan genetik (Liu et al, 2008). Faktor genetik ini, disebut juga atopi, mempengaruhi pada kromosom yang membawa gen sitokin yang menginduksi adanya reaksi alergi, yaitu kromosom 5, 6, 11, 12, dan 14 Sitokin ini dapat berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan GM-CSF. IL 4 dindikasikan sebagai sitokin yang berperan dalam menginduksi Th2 (Leung, 2008). Sedangkan faktor lingkungan dianggap sebagai faktor pencetus terjadinya asma. Beberapa faktor lingkungan yang dapat mencetuskan asma antara lain: a. Infeksi saluran nafas. Sekitar 42% eksaserbasi asma disebabkan oleh infeksi virus, terbanyak respiratory syncytial virus (RSV) (Santoso, 2008). Akibat adanya infeksi virus mengakibatkan kerusakan epitel saluran nafas dan jika terdapat alergen bisa langsung mengeksitasi reaksi imun (Santoso, 2008). b. Alergen Alergen bisa berupa tungau debu rumah, bulu kucing atau anjing, dan serbuk sari (Sharma, 2011). Makanan seperti susu sapi, telur, ikan, kacang tanah juga dapat menyebabkan asma, terutama pada masa bayi dan anak yang masih muda (Santoso, 2008).

c. Bahan iritan. Iritan seperti rokok, udara dingin, parfum, dan polusi dapat meninduksi reaksi inflamasi (Sharman, 2010) d. Emosi Emosi dapat meningkatkan aktivitas parasimpatis sehingga terjadi pelepasan asetilkolin dan mengakibatkan serangan asma (Santoso, 2008) e. Latihan jasmani Latihan jasmani dapat terjadi akibat beraktivitas di udara yang dingin dan kering (Santoso, 2008). Udara yang dingin dan kering dapat meningkatkan osmolaritas dari sekret yang melapisi saluran nafas mengakibatkan lepasnya mediator (Sharman, 2010). Udara yang dingin juga mengakibatkan kongesti dan dilatasi pembuluh darah bronkial (Sharman, 2010). f. Faktor lain seperti obat- obatan dan bahan kimia (obat anti inflamasi dan pewarna makanan), refluks gastroesofagus, dan keadaan saluran nafas dapat mengakibatkan eksaserbasi asma (Santosa, 2008) II.3 Mekanisme Inflamasi

Asma adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh suatu inflamasi kronis (Liu et al, 2008). Inflamasi mengakibatkan adanya hipereaktivitas bronkus yaitu peningkatan respon bromkus dan penurunan ambang rangsang konstriksi bronkus terhadap rangsang (Santosa, 2008). Hal ini dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur imunologik dan non imunologik (Santoso, 2008) Jalur imunologik ini dianggap berperan penting dalam mekanisme terjadinya asma. Pada anak dengan riwayat atopi memiliki kecenderungan sistem imun spesifik bergeser ke arah proalergi, yaitu T helper 2 (Th 2) (Leung,2008). Sehingga asma bronkial sebenarnya merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada paparan pertama, adanya antigen yang masuk akan ditangkap oleh sel APC, terutama sel dendritik, dan akan dipresentasikan ke sel limfosit. Dan karena adanya faktor atopik mengakibatkan Th 2 yang teraktivasi dan menyebabkan terlepasnya sitokin. IL 4 dan IL 13 yang menginduksi sel B mensintesis IgE (Liu et al, 2008). Saat ada paparan kedua, mengakibatkan adanya reaksi inflamasi akut dan jika berlanjut menjadi inflamasi kronik (PDPI, 2004). Inflamasi akut disebabkan terikatnya IgE pada sel mast dan terjadinya degranulasi sel mast tersebut (PDPI, 2004). Hal ini menyebabkan adanya 3 kemungkinan, yaitu: respon asma cepat,

respon asma cepat dan diikuti respon asma lambat, atau respon asma lambat saja (Santoso, 2008). Respon asma cepat terjadi kurang lebih 10-20 menit setelah pajanan dan berlangsung 1-2 jam (Santoso, 2008). Pada reaski cepat terjadi pelepasan mediator oleh sel mast/ basofil yaitu preformed mediator seperti histamin dan newly generated mediator seperti leukotrin, ECF, dan prostaglandin (PDPI, 2004). Peristiwa ini mengakibatkan penyempitan bronkus dengan segera, spasme otot polos bronkus, inflamasi edema, dan hipersekresi (Santoso, 2008). Sedangkan pada respon lambat terjadi sekitar 4-8 jam setelah pajanan dan dapat berlangsung 12-48 jam (Santoso, 2008). Pada respon lambat terjadi proses pengerahan dan aktivasi eusinofil sel Th 2, neutrofil dan makrofag (PDPI, 2004). Hipereaktivitas bronkus akibat respon lambat dapat berlangsung beberapa hari, minggu, bahkan bulan (Santoso, 2008). Teraktivasinya sel-sel inflamasi tadi mengakibatkan inflamasi kronik yang menimbulkan kerusakan jaringan, terutama epitel, secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan yang akan menghasilkan perbaikan jaringan. Sehingga terjadi proses yang terdiri dari hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan nafas, peningkatan kelenjar mukus, terjadinya fibrosis, matriks ekstraseluler meningkat, dan perubahan struktur parenkim (PDPI, 2004). Konsekuensi klinis dari remodeling ini adalah bronkospasme yang parah, peningkatan sekresi mukus, pengurangan elastisitas jalan nafas, dan obstruksi jalan nafas (PDPI, 2004). Sehingga kekerapan asma akibat faktor lingkungan akan memperburuk asma yang sudah terjadi (PDPI, 2004). Sedangkan pada jalur nonimunologik menyebabkan kerusakan langsung epitel saluran nafas dan mengaktivasi ujung nervus vagus. Contohnya pada polutan seperti rokok, ozon, ataupun infeksi virus (Santoso, 2008) II.4 Hipotesis Higienis

Hipotesis higienis menjelaskan mengapa kejadian asma meningkat di Negara maju. Hipotesis ini berdasar pada konsep bahwa sistem imun pada bayi didominasi Th2. Karena adanya stimuli dari lingkungan, keseimbangan akan bergeser ke Th1 sehingga terjadi keseimbangan antara Th1 dan Th2 (Shamar, 2010) Pada penelitian di Eropa didapatkan prevalensi asma berkurang pada anak dengan riwayat infeksi, lingkungan padat, lingkingan social yang luas, dan jarang

mendapatkan antibiotik (Ege et al, 2010). Sehingga dapat disimpulkan faktor lingkungan sangat berperan penting dalam kejadian asma. II.5 Perjalanan Penyakit

Reaksi inflamasi yang terjadi mengakibatkan adanya bronkospasme, edema mukosa, dan sumbatan mukus (Ross et al, 2007). Dan akhirnya terjadi obstruksi saluran nafas (Ross et al, 2007). Obstruksi saluran nafas mengakibatkan kenaikan resistensi aliran udara dan gangguan ekspirasi (Shamar, 2010). Gangguan pada proses ekspirasi karena saat inspirasi secara tidak langsung mengembangkan saluran nafas melebihi ukuran selama ekspirasi sehingga resistensi saat inspirasi lebih rendah (Guyton and Hall, 2007). Obstruksi tersebut menyebabkan adanya udara yang terperangkap kemudian terjadi distensi paru berlebih (hiperinflasi). Hiperinflasi ini berfungsi sebagai kompensasi dengan menurunkan complience paru sehingga terjadi peningkatan kerja nafas. Jika kompensasi ini gagal akan mengakibatkan hipoventilasi dan ateletaksis segmental. Dan obstruksi ini tidak merata di seluruh saluran nafas sehingga menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch) yang memperparah hipoventilasi (UKK Pulmonologi IDAI, 2000). Ventilasi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja nafas menyebabkan perubahan dalam gas darah (UKK Pulmonologi IDAI, 200). Hipoventilasi menyebabkan hipoksia dan hiperkapnea. Hipoventilasi diperparah dengan adanya vasokonstriksi pembuluh darah alveolus karena hipoksia (Shamar, 2010) Pada fase awal serangan akut, pasien dengan asma akan mengkompensasi hipoksia dengan hiperinventilasi sehingga tidak terjadi hiperkapnea dan dapat ditemui alkalosis respiratorik (Shamar, 2010). Namun, dengan memburuknya obstruksi dan hipoventilasi mengakibatkan hiperkapnea. Hiperkapnea mengakibatkan peningkatan produksi asam karbonat sehingga menimbulkan asidosis respiratorik (Shamar, 2010). Selain itu dapat terjadi asidosis metabolik karena hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh otot nafas. Adanya hipoksia juga mengakibatkan menurunnya produksi surfaktan dan meningkatkan resiko ateletaksis (UKK Pulmonologi IDAI, 2000). Dan akhirnya pasien mengalami gagal nafas dan berujung pada kematian (UKK Pulmonologi IDAI, 2000).

III.

TANDA DAN GEJALA

Menurut KNAA (Konsensus Nasional Asma Anak) , asma pada anak didefinisikan sebagai mengi berulang dan/ atau batuk persisten dengan karakteristik timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal, musiman, setelah aktivitas fisik, serta mempunyai riwayat asma atau atopi lain dalam keluarga atau penderita sendiri (Santoso, 2008). Gejala dan tanda serangan asma pada anak tergantung derajat serangannya (IDAI, 2004). Gejala dan tanda hanya terdapat pada saat serangan (PDPI, 2004). III.1 Batuk Gejala

Batuk pada asma bersifat persisten (Santoso, 2008). Persisten di sini jika batuk berlangsung lebih dari 3 minggu (WHO, 2008). Menurut Liu et al (2008), batuk pada asma bersifat kering. Batuk pada asma memberat saat malam/ dini hari dan timbul episodik setelah ada faktor pemicu, seperti asap rokok, allergen, aktivitas fisik berlebih, ataupun udara dingin dan kering (Rudolph et al, 2006). Mengi Mengi adalah suara berfrekuensi tinggi yang terdengar pada akhir ekspirasi. Hal ini disebabkan oleh penyempitan saluran nafas distal (WHO, 2008). Sesak nafas Sesak nafas dapat dijumpai dari ringan sampai berat (IDAI, 2004). Sesak nafas bisa juga bermanifestasi sebagai rasa berat di dada (Liu et al, 2008). Sesak nafas ini dikarenakan aktivitas otot otot nafas yang kuat sebagai kompensasi kadar CO2 yang bertambah dalam darah (Guyton and Hall, 2007). Nafas memendek, sulit bicara, dan gelisah Hal tersebut dikarenakan adanya obstruksi saluran nafas (Rudolph et al, 2006). Semakin berat asma, semakin susah pasien berbicara, bahkan pasien terputus-purus saat mengucapkan kata-kata (IDAI, 2004). Fatig dan penurunan aktivitas Hal ini dikarenakan pasien merasakan sesak dan batuk yang memberat (Liu et al, 2008). Semakin berat asma, semakin menurunkan aktivitas (IDAI, 2004). Selain itu fatig juga bisa disebabkan gangguan tidur di malam hari akibat gejala asma memberat pada malam hari (Liu et al, 2008). Sianosis

Sianosis ini terlihat di bibir dan ujung jari (Rudolph et al, 2006). Sianosis hanya terlihat pada serangan asma berat karena mekanisme kompensasi sudah gagal dan terjadi hipoksia (IDAI, 2004). III.2 Keadaan umum: baik sampai letargi Tanda

Pada serangan yang ringan keadaan pasien baik, namun dengan memburuknya serangan keadaan pasien dapat memburuk sampai letargi (Rudolph et al, 2006). Letargi merupakan tanda kegagalan nafas (Hay et al, 2010). Vital sign: takikardi dan takipnea Takikardi dan takipnea bisa ditemukan terutama pada asma sedang sampai berat karena mekanisme kompensasi sudah gagal dan hipoksia memberat (Rudolph et al, 2006). Dan jika didapatkan gagal nafas, laju nadi dan laju nafas menurun (Santoso, 2008). Inspeksi: bisa terdapat sianosis, hiperinflasi dada, nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu nafas, dan retraksi interkostal Hiperinflasi dada biasanya terlihat sebagai mekanisme kompensasi hipoksia pada serangan akut (Liu et al, 2008). Sedangkan nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu nafas, dan retraksi interkostal biasanya ditemukan pada asma sedang dan berat sebagai mekanisme kompensasi karena kadar CO2 yang semakin meninggi dalam darah (Rudolph et al, 2006). Sianosis merupakan manifestasi dari hipoksia jaringan pada asma sedang sampai berat pada bibir dan ujung jari (IDAI, 2004). Auskultasi: Wheezing, ekspirasi memanjang, ronki/crackles Wheezing merupakan salah satu tanda khas dari asma (Liu et al, 2008). Wheezing merupakan mengi yang ditemukan saat auskultasi. Wheezing pada anak dengan usia di atas dua tahun hampir semua disebabkan oleh asma (WHO, 2008). Semakin berat asma, wheezing terdengar semakin nyaring (Hay et al, 2010). Namun pada gagal nafas tidak lagi ditemukan wheezing hanya ditemukan retraksi interkostal ataupun pemakaian otot bantu nafas (Rudolph et al, 2006). Ekspirasi memanjang dikarenakan pada penderita sam memang terjdai gangguan ekspirasi (Guyton and Hall, 2007). Sedangkan adanya ronki/crackles dikarenakan produksi mukus yang meningkat (Liu et al, 2008) Perkusi: hipersonor

Hipersonor dikarenakan udara ekspirasi tertahan dan susah untuk keluar akibat obstruksi (WHO, 2008) Pulsus paradoksus Pulsus paradoksus dikarenakan kenaikan tekanan intratoral sebagai mekanisme kompensasi mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung (UKK Pulmonologi IDAI, 2000). Pulsus paradoksus ditemukan pada asma sedang dan berat (Santoso, 2008). Jika ada gagal nafas, pulsus paradoksus tidak ditemukan (Santoso, 2008). IV. IV.1 DIAGNOSIS Anamnesis

Kelompok anak yang dapat diduga asma adalah anak-anak yang menunjukkan batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal /morning dip), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan atopi pada pasien atau keluarganya. (UKK Pulmonologi IDAI, 200) IV.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda seperti yang sudah diuraikan di atas. Menurut WHO (2008), pada pemeriksaan fisik ditemukan hiperinflasi dada, retraksi dada, dan ekspirasi memanjang dengan suara wheezing. IV.3 Pemeriksaan Penunjang

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah cukup untuk mendiagnosis asma (UKK Pulmonologi IDAI, 2000). Bila diagnosis tidak pasti, dapat diberikan satu dosis bronkodilator kerja cepat (WHO, 2008). Anak dengan asma membaik dengan cepat setelah pemberian bronkodilator kerja cepat (WHO, 2008). Untuk anak kurang dari 5 tahun, dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan respon tang baik dengan bronkodilator sudah dapat mendiagnosis asma karena anak dengan kolompok umur demikian kurang kooperatif dilakukan pemeriksaan penunjang (Rudolph et al, 2006). a. Uji Faal Paru Pada anak lebih dari 6 tahun, sudah dapat dilakukan uji faal paru (UKK Pulmonologi IDAI, 2000). Uji faal paru dapat menggunakan spirometri atau yang

lebih sederhana dengan peak expiratory flow meter (PEF meter) (Liu et al, 2008). Pemeriksaan ini lebih berfungsi untuk menilai beratnya gejala (PDPI, 2004). Pada pemeriksaan spirometri dalam mendiagnosis asma dapat ditemukan: Obstruksi jalan nafas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP Perbaikan 15% secara spontan atau setelah pemberian 15% pada PEF setelah pemberian inhalasi bronkodilator. Penurunan >15% pada PEF setelah provokasi bronkus (UKK Pulmonologi IDAI, 2000). Variabilitas adalah peningkatan dan penurunan hasil PEF dalam satu hari. Penilaian yang baik dapat dilakukan jika pemeriksaannya berlangsung >2 minggu (UKK Pulmonologi IDAI, 2000). b. Uji provokasi bronkus Uji provokasi bronkus dilakukan pada pasien dengan kecurigaan asma tetapi uji faal paru normal (Rudolph et al, 2006). Uji provokasi bronkus dapat dilakukan dengan pemberian methacholine (histamin) atau latihan (Rudolph et al, 2006). Uji provokasi bronkus dapat juga positif pada penyakit lain, seperti rinitis alergik, PPOK, dan bronkiektasis (PDPI, 2004). c. Pemeriksaan Foto Rontgen Toraks Pemeriksaan Foto Rontgen dilakukan dengan proyeksi posteroanterior dan lateral (Hay et al, 2010). Pemeriksaan ini tidak dilakukan secara rutin, hanya dilakukan pada asma sedang/ berat (IDAI, 2004). Pasien dengan batuk produktif, infeksi saluran napas berulang, gejala respiratorik sejak masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan fokal paru juga perlu pemeriksaan ini (UKK Pulmonologi IDAI, 2000). Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan atelektasis, yang merupakan komplikasi dari asma, ataupun penyakit lain yang merupakan diagnosis banding untuk asma (Hay et al, 2010). d. Analisis Gas darah Hanya dilakukan pada serangan asma berat. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan peningkatan PaCo2 dan rendahnya PaO2 (IDAI, 2004).

e. Uji Tuberkulin Di Indonesia, tuberkulosis masih merupakan penyakit yang banyak dijumpai dan salah satu gejalanya adalah batuk kronik berulang. Oleh karena itu uji tuberkulin perlu dilakukan baik pada kelompok yang patut diduga asma maupun yang bukan. Dengan cara itu maka penyakit tuberkulosis yang mungkin bersamaan dengan asma akan terdiagnosis dan diterapi. Jika pasien kemudian memerlukan steroid untuk asmanya, tidak akan memperburuk tuberkulosis yang diderita karena sudah dilindungi dengan obat (UKK Pulmonologi IDAI, 2000).

(UKK Pulmonologi IDAI, 2000)

IV.4

Klasifikasi asma

Menurut Santoso (2008), penyakit asma dibagi menjadi dua menurut berat ringannya, yaitu: a. Klasifikasi derajat penyakit asma

KNAA membagi asma berdasar keadaan klinis dan keperluan obat menjadi 3 golongan, yaitu asma episodik jarang (asma ringan), asma episodik sering (asma sedang), dan asma persisten (asma berat) (Santoso, 2008). b. Klasifikasi derajat serangan asma

Sedangkan derajat serangan asma dapat dibagi menjadi serangan ringan, serangan sedang, dan berat.

(UKK Pulmonologi IDAI, 2000)

(UKK Pulmonologi IDAI, 2000)

V.

PENATALAKSANAAN

V.1Tujuan Penatalaksanaan Tujuan tatalaksana asma pada anak-anak adalah: a. Pasien dapat menjalankan aktivitas normal, termasuk bermain dan olahraga b. Sedikit mungkin absen sekolah c. Gejala tidak timbul di siang atau malam hari d. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok e. Kebutuhan obat seminimal mungkin f. Efek obat dicegah seminimal mungkin (Santoso, 2008). V.2Terapi Farmakologi Penatalaksanaan asma dibagi menjadi dua, yaitu: Pereda (reliever), yaitu bagaimana kita meredakan serangan atau gejala asma yang timbul Pengendali (controller) yaitu bagaimana kita mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik. Pemakaian obat terus menerus dalam jangka waktu lama, bergantung derajat penyakit asma dan responnya terhadap pengobatan (Santoso, 2008) Obat-obat yang bisa digunakan dalam tatalaksana asma antara lain: a. Agonis 2-Adrenergik Golongan 2-agonis terbagi dua, yaitu: kerja lambat dan kerja cepat. Golongan kerja cepat, seperti salbutamol; terbutalin; atau pirbeterol, digunakan untuk serangan asma. Sedangkan golongan kerja lambat, seperti salmeterol dan formeterol, digunakan sebagai pengendali asma dengan mengkombinasikan kedua obat ini dengan steroid inhalasi, tidak digunakan sebagai monoterapi (Santoso, 2008). Mekanisme kerja 2-agonis adalah merelaksasikan otot polos saluran nafas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas vaskular, dan menghambat kerja sel mast (PDPI, 2004). 2-agonis tersedia dalam bentuk inhalasi ataupun oral. Untuk inhalasi terdapat dalam bentuk metered dose inhaler, dengan nebulizer, atau serbuk yang dihirup (dry powder inhaler) (Santoso, 2008). Pemberian inhalasi lebih dianjurkan karena lebih sedikit menimbulkan efek samping daripada oral (PDPI, 2004). Efek samping yang

dapat timbul yaitu rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka, hipokalemia (PDPI, 2004). b. Metilxantin Golongan metilxantin digunakan sebagai penggganti 2-agonis. Metilxantin lepas lambat (teofilin) bisa digunakan bersama dengan steroid inhalasi sebagai pengendali asma dan juga pada asma berat dapat dipakai secara injeksi intravena (aminofilin) (Santoso, 2008). Mekanisme kerjanya dengan menghambat kerja enzim fosfodiesterase dan menghambat pemecahan cAMP menjadi 5AMP yang tidak aktif. Efek samping yang dapat timbul adalah iritasi lambung, insomnia, palpitasi, dan pada dosis yang berlebih dapat terjadi konvulsi (Santoso, 2008). c. Kortikosteroid Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma (PDPI, 2004). Kerja obat ini melalui penghambatan kerja sel inflamasi, penghambatan kebocoran pembuluh darah kapiler, penurunan produksi mukus, dan peningkatan kerja respon -reseptor (Santoso, 2008). Kortikosteroid dapat diberikan secara inhalasi ataupun oral (PDPI, 2004). Steroid inhalasi lebih sering digunakan karena efek samping yang minimal, yaitu kandidiasis orofaring dan batuk (Santoso, 2008). Jika dengan steroid inhalasi asma tidak terkontrol, lebih baik ditambah dengan obot pengontrol lain daripada menaikkan dosis (PDPI, 2004). Dan steroid oral diberikan pada asma berat yang tidak terkontol dengan steroid inhalasi (PDPI, 2004). d. Kromolin Yang termasuk golongan kromolin adalah sodium kromoglikat dan nedokromil sodium. Mekanisme kerjanya dengan menghambat pelepasan mediator dari sel mast. Kromolin diberikan secara inhalasi. Efek samping yang rimbul berupa batuk atau rasa obat yang tidak enak saat melakukan inhalasi (PDPI, 2004) e. Obat lain Adrenalin dapat diberikan pada serangan asma yang tidak tersedia 2-agonis. Sedangkan antikolinergik berfungsi sebagai bronkodilator pada serangan asma, namun kerjanya tidak terlalu poten dibandingkan 2-agonis kerja cepat. Sebagai pengendali asma juga terdapat golongan antihistamin seperti ketotifen. Obat asma yang relatif baru adalah leukotriene modifiers yang mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis leukotrien dan memblok reseptor

leukotrien. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien) (PDPI, 2004). V.3Penalaksanaan Serangan Asma GINA membagi penanganan serangan asma menjadi dua, tatalaksana di rumah dan di rumah sakit. Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur, dan mempunyai pendidikan yang cukup (UKK Pulmonologi IDAI, 2000). 5.3.1 Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah Manifestasi klinis serangan asma adalah episode akut dari batuk, nafas pendek, mengi dan sesak nafas. National Asthma Education & Prevention Program (NAEPP) menganjurkan langsung menggunakan inhalasi agonis 2-agonis kerja singkat sebanyak 3x setiap 20 menit atau 3x dalam 1 jam. Jika respon baik dengan berkurang gejalanya; perbaikan ini stabil dalam 4 jam; dan PEF >80% prediksi/ nilai terbaik, pengobatan diteruskan dengan agonis 2 inhalasi setiap 2-4 jam untuk 24-48 jam. Sedangkan jika respon buruk, berikan kortikosteroid oral (prednison 1-2 mg/kg/hari terbagi 4 dosis) kemudian segera ke dokter (Liu et al, 2008). 5.3.2 Penatalaksanaan Serangan Asma di Klinik/ Ruang Gawat Darurat Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan,langsung dinilai derajat serangannya menurut klasifikasi di atas sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Dalam panduan GINA ditekankan bahwa pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer atau peak flow meter) merupakan bagian integral penilaian penanganan serangan asma, bukan hanya evaluasi klinis. Namun di Indonesia penggunaan alat tersebut belum memasyarakat (UKK Pulmonologi IDAI, 2000). Penanganan awal anak dengan asma adalah diberikan 2-agonis dengan nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua kali dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Penanganan awal ini sekaligus dapat berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan. Jika pada penilaian derajat secara klinis dalam serangan berat, langsung berikan nebulisasi 2- agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Hal ini dikarenakan pasien dengan serangan berat yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolik, mungkin akan mengalami

takifilaksis atau refrakter, yaitu respons yang kurang baik terhadap nebulisasi betaagonis. Pasien seperti ini cukup dinebulisasi sekali saja kemudian secepatnya dirawat untuk mendapatkan obat intravena, selain diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya (UKK Pulmonologi IDAI, 2000). Jika tidak terdapat 2- agonis dapat diberi suntikan epinefrin subkutan dosis 0,01 ml/ kg dalam larutan 1:1000 (dosis maksimum 0,3 ml). Dan dipantau stelah 20 menit tidak ada perbaikan, ulang dosis dua kali lagi dengan interval dan dosis yang sama. Bila gagal, dirawat sebagai serangan berat dan diberikan steroid dan aminofilin (WHO, 2008). a. Serangan Ringan Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik (complete response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 12 jam, jika respons tersebut bertahan, pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat 2-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga reevaluasi di Klinik Rawat Jalan. Namun jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan sedang (UKK Pulmonologi IDAI, 2000). b. Serangan Sedang Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali pasien hanya menunjukkan respon parsial, berikan cairan intravena dan oksigen, lalu pasien diobservasi di Ruang Rawat Sehari dan ditata laksana sebagai serangan sedang (IDAI, 2004). Di Ruang Rawat Sehari teruskan pemberian oksigen, kemudian berikan steroid sistemik oral berupa prednisolon,prednison, atau triamsinolon. Nebulisasi 2-agonis tetap diberikan ditambah antikolinergik tiap 2 jam. Jika dalam 8-12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat. Bila dalam 12 jam responsnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke Ruang Rawat Inap untuk mendapat steroid dan aminofilin parenteral (UKK Pulmonologi IDAI, 2000). c. Serangan Berat

Jika menurut penilaian awal secara klinis serangannya berat, pengobatan serangan berat dapat langsung diberikan tanpa harus melalui tahapan ringan atau sedang (IDAI,

2004). Pada serangan berat, nebulisasi 2-agonis ditambah antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam (UKK Pulmonologi IDAI, 2000). Obat yang diberikan adalah steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam dan aminofilin intravena. Cara pemberian aminofilin: bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 4-6 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit. jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml. selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 diberikan 1/2nya.

mg/kgBB/jam (UKK Pulmonologi IDAI, 2000). Terus pantau tiap 3 jam dan catat vital sign (WHO, 2008). Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti peroral. Steroid yang dianjurkan adalah prednisone dan prednisolon (IDAI, 2004).Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat beta-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 2448 jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana (UKK Pulmonologi IDAI, 2000).

(Departemen Kesehatan, 2009)

(Departemen Kesehatan, 2009)

(UKK Pulmonologi IDAI, 2000)

V.4Penatalaksanaan Asma Jangka Panjang Penatalaksanaan asma jangka panjang dibagi menurut derajat asmanya (Santoso, 2008). Terdapat dua prinsip pemberian obat, yaitu step-up therapy memulai terapi sesuai berat asma dan meningkatkan terapi secara bertahap jika dibutuhkan untuk mencapai asma terkontrol atau stepdown therapy yaitu memulai terapi dari terapi maksimum setelah asma terkontrol dosis diturunkan seminimal mungkin dengan tetap mempertahankan kondisi asma terkontrol (Liu et al, 2008). PDPI (2004) menyarankan menggunakan stepdown therapy. a. Asma Episodik Jarang Pada asma episodik jarang tidak diperlukan pengobatan jangka panjang hanya cukup diberi obat pereda saja seperti 2-agonis ataupun teofilin. Namun teofilin tidak dianjurkan karena batas keamanannya sempit, yaitu jarak antara dosis terapi dengan dosis toksik sangat dekat (Santosa, 2008) b. Asma Episodik Sering Pada tahap awal, dosis kortikosteroid yang diberikan dimulai dengan dosis rendah (pada anak > 12 tahun setara dengan budesonide 200-400 g, sedangkan pada anak < 12 tahun 100-200 g) dan dipertahankan untuk beberapa saat (6-8 minggu) apabila keadaan asmanya stabil (Supriyanto, 2005). Apabila dalam waktu 6-8 minggu asmanya stabil, maka dosis kortikosteroid diturunkan secara bertahap yang pada akhirnya dapat dihentikan tanpa kortikosteroid. Apabila dalam waktu 6-8 minggu asmanya belum stabil yaitu masih sering terjadi serangan, maka harus menggunakan pengobatan asma persisten. Sedangkan menurut Santoso (2008), sebaiknya pengobatan dimulai dengan kromoglikat inhalasi terlebih dahulu, jika tidak berhasil diganti dengan steroid inhalasi. Ketotifen (antihistamin generasi baru) tidak dianjurkan tanpa penyerta rinitis alergika (Supriyanto, 2005). c. Asma Persisten Apabila dengan pemberian kortikosteroid dosis rendah hasilnya belum memuaskan, dapat dikombinasi dengan long acting beta-2 agonist (LABA) atau dengan theophylline slow release (TSR), atau dengan antileukotrien, atau meningkatkan dosis kortikosteroid menjadi dosis medium (setara dengan budesonide 200-400 g). Kombinasi dengan LABA menunjukkan hasil yang terbaik (Lemanski et al, 2010). Pemberian kortikosteroid secara inhalasi tidak mempunyai efek samping terhadap tumbuh kembang anak selama dosis yang diberikan < 400 g dan dengan cara yang benar. Pada anak dianjurkan tidak melebihi 800 g, karena dengan

penambahan dosis kortikosteroid tersebut tidak akan menambah manfaatnya, tetapi justru meningkatkan efek sampingnya (Supriyanto, 2005). Setelah tahap kedua ini, harus dievaluasi ulang keadaan stabilitas asma. Apabila asma stabil dalam waktu 6-8 minggu, maka pengobatan dapat diturunkan secara bertahap sampai pada kortikosteroid dosis rendah yang pada akhirnya dapat tanpa obat-obat controller. Apabila dalam waktu 6-8 minggu asmanya belum stabil, maka tatalaksana meningkat pada tahap ketiga yaitu meningkatkan dosis kortikosteroid menjadi dosis medium ditambah LABA, atau TSR, atau antileukotrien, atau ditingkatkan dosis kortikosteroidnya menjadi dosis tinggi (setara dengan budesonid >400 g). Apabila dengan dosis ini asmanya stabil dalam waktu 6-8 minggu, maka diturunkan secara bertahap ke tahap dua, ke satu dan akhirnya tanpa controller. Apabila dengan cara tersebut di atas asmanya belum stabil, maka penggunaan kortikosteroid secara oral boleh digunakan. Penggunaan kortikosteroid oral (sistemik) harus merupakan langkah terakhir tatalaksana asma pada anak (Supriyanto, 2005). V.5Terapi Non Farmakologi a. b. Penghindaran terhadap faktor pencetus merupakan hal Kontrol teratur tidak hanya bila terjadi serangan akut, yang penting dalam tata laksana asma secara menyeluruh (IDAI, 2004). tetapi kontrol terjadwal, interval berkisar 1-6 bulan bergantung keadaan asma. Hal ini berfungsi meyakinkan asma terkontrol (PDPI, 2004). c. Meningkatkan kebugaran fisik dengan berolahrada yang melatih dan menguatkan otot-otot pernafasan, seperti berenang (PDPI, 2004). V.6Edukasi Edukasi yang baik akan mengurangi serangan akut yang akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup pasien (PDPI, 2004). Edukasi ini terutama ditujukan pada pasien dan keluarganya sehingga tercapai pemahaman tentang asma, peningkatan ketrampilan penanganan asma, dan peningkatan kepatuhan pasien (Liu et al, 2008). Yang perlu diberikan antara lain: a. b. c. d. Pengetahuan tentang asma Identifikasi dan mengontrol faktor pencetus Monitoring gejala asma Penanganan serangan asma

e.

Medikasi (jenis obat, cara penggunaan, efek samping yang

mungkin timbul) (PDPI, 2004).

(Departemen Kesehatan, 2009)

(UKK Pulmonologi IDAI, 2000)

Dosis ObatNo 1. Jenis Obat Teofilin Dosis