referat nihl
DESCRIPTION
THTTRANSCRIPT
REFERAT
NOISE INDUCED HEARING LOSS(NIHL)
DISUSUN OLEH :
Tiara Rahmawati
030.08.240
DOKTER PEMBIMBING :
dr. Swasono R, Sp. THT-KL, M. Kes
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN
TELINGA HIDUNG TENGGOROK (THT)
RS PUSAT TNI ANGKATAN UDARA Dr. ESNAWAN ANTARIKSA
PERIODE 3 SEPTEMBER 2012 – 5 OKTOBER 2012
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Pertama penulis mengucapkan puji dan syukur Penulis kepada Allah SWT atas
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Noise
Induced Hearing Loss (NIHL)” tepat pada waktunya. Adapun pembuatan referat ini adalah
sebagai salah prasyarat penulis untuk kelulusan dalam Kepaniteraan Klinik THT di Rumah
Sakit Pusat TNI AU Dr. Esnawan Antariksa.
Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dokter pembimbing,
dr. Swasono R, Sp.THT-KL, M. Kes yang telah memberikan bimbingannya dalam proses
penyelesaian referat ini, juga untuk dukungannya baik dalam bentuk moril maupun dalam
mencari referensi yang lebih baik.
Demikian referat ini dituliskan. Semoga referat ini bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya. Penulis memohon maaf apabila pada penulisan masih terdapat banyak
kekurangan. Untuk itu penulis menghimbau agar para pembaca dapat memberikan saran dan
kritik yang membangun dalam perbaikan referat ini.
Jakarta, September 2012
Tiara Rahmawati
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………...……………………………………….…… ii
DAFTAR ISI ………………………………...…………………………………………...… iii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………….. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi telinga ........................................................................................................................ 1
Fisiologi pendengaran............................................................................................................... 6
Definisi...................................................................................................................................... 8
Epidemiologi............................................................................................................................. 8
Etiologi...................................................................................................................................... 8
Patogenesis................................................................................................................................ 9
Gejala klinis............................................................................................................................. 10
Diagnosis …………………………………………………………………………………… 11
Penatalaksanaan....................................................................................................................... 12
Prognosis................................................................................................................................. 13
Pencegahan.............................................................................................................................. 13
BAB III KESIMPULAN ...................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 16
BAB I
PENDAHULUAN
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mempermudah segala
kegiatan di bidang industri. Penerapan teknologi dapat mempermudah segala kegiatan kerja
dalam proses produksi dan meningkatkan produktivitas perusahaan. Selain memberikan
dampak positif berupa keuntungan ekonomik, maka kemajuan teknologi juga menimbulkan
dampak negatif yaitu dapat meningkatkan potensi bahaya (hazard) yang dapat menimbulkan
gangguan kesehatan dan keselamatan kerja, hazard tesebut dapat berupa fisik, kimia,
ergonomic, dan psikologik.
Salah satu hazard berupa fisik di tempat kerja adalah kebisingan. Secara umum
kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan (Bashiruddin, 2007). Data survei Multi Center
Study di Asia Tenggara, Indonesia termausk 4 negara dengan prevalensi ketulian yang cukup
tinggi yaitu 4.6%, sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan
India 6,3%). Angka prevalensi sebesar 4,6% tergolong cukup tinggi, sehingga dapat
menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 250 juta penduduk dunia menderita gangguan
pendengaran dan 75 juta - 140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara. (1)
Menurut KepMenNaker No.51 tahun 1999 dan KepMenKes No.1405 tahun 2002,
kebisingan yang dapat diterima oleh tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau
gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari
atau 40 jam seminggu yaitu 85 dB (A). Gangguan pendengaran akibat bising atau Noise
Induced Hearing Loss (NIHL) adalah tuli saraf yang terjadi akibat terpapar oleh bising yang
cukup keras dan dalam jangka waktu yang cukup lama. (2)
Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising, antara
lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih lama terpapar bising,
mendapat pengobatan yang bersifat racun (ototoksik) seperti streptomisin, kanamisin,
garamisin (golongan aminoglikosida), kina, asetosal, dan lain-lain.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. ANATOMI TELINGA
Gambar 1. Anatomi telinga
1.1 Telinga luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani.
Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S,
dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian
dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira ± 2,5 - 3cm. (3)
Kulit liang telinga
Pada sepertiga bagian luar kulit telinga terdapat banyak kelenjar serumen dan
rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga
bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen. Kanalis auricularis externus
dilapisi oleh kulit yang terikat erat pada tulang rawan dan tulang yang mendasarinya
karena tidak adanya jaringan subkutan di area tersebut. Dengan demikian daerah ini
menjadi sangat peka. (4)
Liang telinga sebenarnya mempunyai lapisan kulit yang sama dengan lapisan kulit
pada bagian tubuh lainnya yaitu dilapisi epitel skuamosa. Kulit liang telinga merupakan
lanjutan kulit daun telinga dan kedalam meluas menjadi lapisan luar membran timpani.
Lapisan kulit liang telinga luar lebih tebal pada bagian tulang rawan dari pada bagian
tulang. Pada liang telinga rulang rawan tebalnya 0,5 – 1 mm, terdiri dari lapisan
epidermis dengan papillanya, dermis dan subkutan merekat dengan perikondrium.
Epidermis dari liang telinga bagian tulang rawan biasanya terdiri dari 4 lapis yaitu sel
basal, skuamosa, sel granuler dan lapisan tanduk.
Lapisan liang telinga bagian tulang mempunyai kulit yang lebih tipis, tebalnya kira-
kira 0,2 mm, tidak mengandung papilla, melekat erat dengan periosteum tanpa lapisan
subkutan, berlanjut menjadi lapisan luar dari membran timpani dan menutupi sutura
antara tulang timpani.
Otot daun telinga terdiri dari 3 buah otot ekstrinsik dan enam buah otot intrinsik.
Otot ekstrinsik terdiri m.aurikularis anterior, m.aurikularis superior dan m.aurikularis
posterior. Otot-otot ini menghubungkan daun telinga dengan tulang tengkorak dan kulit
kepala. Otot-otot ini bersifat rudimenter, tetapi pada beberapa orang tertentu ada yang
masih mempunyai kemampuan untuk menggerakan daun telinganya keatas dan kebawah
dengan menggerakan otot-otot ini. Otot intrinsik terdiri dari m.helisis mayor, m. helisis
minor, m. tragikus, m.antitragus, m. obligus aurkularis, dan m.transpersus aurikularis.
Otot-otot ini berhubungan bagian-bagian daun telinga.
Perdarahan
Arteri-arteri dari daun telinga dan liang telinga luar berasal dari cabang
aurikulotemporal arteri temporalis superficial di bagian anterior. Di bagian posterior
dipendarahi oleh cabang aurikuloposterior dari arteri karotis eksternal. (5)
Banyak dijumpai anastomosis diantara cabang-cabang dari arteri ini. Pendarahan
kebagian lebih dalam dari liang telinga luar dan permukaan luar membrana timpani adalah
oleh cabang aurikular dalam arteri maksilaris interna.
Vena telinga bagian anterior, posterior dan bagian dalam umumnya bermuara ke
vena jugularis eksterna dan vena mastoid. Akan tetapi, beberapa vena telinga mengalir
kedalam vena temporalis superficial dan vena aurikularis posterior.
Sistem limfatik
Kelenjar limfa regio tragus dan bagian anterior dari auricula mengalir ke kelenjar
parotid, sementara bagian posterior auricular mengalir ke kelenjar retroauricular. Regio
lobulus mengalir kelenjar cervicalis superior. (4)
Persarafan
Persarafan telinga luar bervariasi berupa tumpang tindih antara saraf-saraf kutaneus
dan kranial. Cabang aurikular temporalis dari bagian ketiga saraf trigeminus (N.V)
mempersarafi permukaan anterolateral permukaan telinga, dinding anterior dan superior
liang telinga dan segmen depan membrana timpani.Permukaan posteromedial daun telinga
dan lobulus dipersarafin oleh pleksus servikal nervus aurikularis mayor.
Cabang aurikularis dari nervus fasialis (N.VII), nervus glossofaringeus (N.IX) dan
nervus vagus (N.X) menyebar ke daerah konka dan cabang-cabang saraf ini menyarafi
dinding posterior dan inferior liang telinga dan segmen posterior dan inferior membrane
timpani. (4)
1.2 Telinga Tengah
Telinga tengah merupakan bangunan berbentuk kubus yang terdiri dari: (3)
Membran timpani yaitu membran fibrosa tipis yang berwarna kelabu mutiara.
Berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik
terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaccida (membrane
Sharpnell) dimana lapisan luarnya merupakan lanjutan epitel kulit liang telinga
sedangkan lapisan dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, dan pars tensa
merupakan bagian yang tegang dan memiliki satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan
yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin.
Tulang pendengaran; yang terdiri dari maleus, inkus dan stapes. Tulang
pendengaran ini dalam telinga tengah saling berhubungan.
Tuba eustachius; yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring.
1.3 Telinga Dalam
Gambar 2. Anatomi telinga dalam
Gambar 3. Anatomi koklea
Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler
yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut
helikotrema, yang berfungsi menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala
vestibuli.(3)
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah
atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala
vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar
skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Membran Reissner) sedangkan dasar
skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ corti yang
mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Pada
skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan
pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut
luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti. (6)
II. FISIOLOGI PENDENGARAN
Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea. Membran timpani
akan bergetar ketika terkena gelombang suara. Daerah-daerah bertekanan tinggi dan rendah
yang berselang-seling dan ditimbulkan oleh gelombang suara menyebabkan gendang telinga
yang sangat peka melekuk ke dalam dan keluar seiring dengan frekuensi gelombang suara.
Telinga tengah memindahkan gerakan bergetar membrane timpani ke cairan telinga
dalam. Pemindahan ini dipermudah oleh rantai tiga tulang kecil atau osikulus (maleus, inkus,
dan stapes) yang dapat bergerak dan membentang di telinga tengah. Sewaktu membrane
timpani bergetar, rangkaian tulang-tulang tersebut ikut bergerak dengan frekuensi yang sama,
memindahkan frekuensi getaran ini dari membrane timpani ke jendela oval. Tekanan yang
terjadi di jendela oval yang ditimbulkan oleh setiap getaran akan menimbulkan gerakan
cairan telinga damlam mirip gelombang suara asal. System osikulus memperkuat tekanan
yang ditimbulkan oleh gelombang suara di udara melalui dua mekanisme agar cairan di
koklea gergetar.
Pertama, karena luas permukaan membrane timpani jauh lebih besar daripada luas
jendela oval (tekanan= gaya/luas). Kedua, efek tuas osikulus juga menimbulkan penguatan.
Bersama-sama, kedua mekanisme ini meningkatkan gaya yang bekerja pada jendela oval
sebesar 20 kali dibandingkan dengan jika gelombang suara langsung mengenai jendela oval.
Penambahan tekanan ini sudah cukup untuk menggetarkan cairan di koklea. (11)
Energi getar yang diamplikasi ini akan menggetarkan jendela oval sehigga perilimfa
pada skala vestibuli bergerak. Getaran ini diteruskan melalui membrane Reissner yang
mendorong edolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan
membran tektoria. Proses ini proses ini merupakan rangsang mekanik yang akan
menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan
terjadi pelepasan ion bermuatan lisrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan
potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditoris sampai ke korteks
pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis. (3)
Gambar 4a.
Fisiologi pendengaran
Gambar 4b. Fisiologi pendengaran
III. DEFINISI
Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan. Secara audiologik Bising
adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi. Bising dengan intensitas 85
dB atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran Corti di telinga
dalam. Yang sering mengalami kerusakan adalah alat Corti untuk reseptor bunyi dengan
frekuensi 3000 Hz sampai dengan 6000 Hz dan terberat pada frekuensi 4000 Hz. (7)
Gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) atau noise induced hearing loss (NIHL)
adalah gangguan pendengaran akibat pajanan bising yang cukup keras dalam waktu yang
cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. (7)
IV. EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 1987, Sataloff yang dikutip Rambe menemukan sebanyak 35 juta orang
Amerika menderita ketulian dan 8 juta orang diantaranya merupakan tuli akibat kerja. 4 Barrs
melaporkan pada 246 orang tenaga kerja yang memeriksakan telinga untuk keperluan ganti
rugi asuransi, ditemukan 85 % menderita tuli saraf dan dari jumlah tersebut 37 % didapatkan
gambaran takik pada frekuensi 4000 Hz dan 6000 Hz. (2)
Di Indonesia penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising telah banyak
dilakukan sejak lama. Survei yang dilakukan oleh Hendarmin dalam tahun 1995 pada
Manufacturing Plant Pertamina dan dua pabrik es di Jakarta didapatkan hasil adanya
gangguan pendengaran pada 50% jumlah karyawan disertai peningkatan ambang dengar
sementara sebesar 5-10 dB pada karyawan yang telah bekerja terus-menerus selama 5-10
tahun. (8)
Oetomo A dkk dalam penelitian yang dilakukan di Semarang pada tahun 1993 terhadap
105 karyawan pabrik dengan intensitas bising 79-100 dB menemukan sebanyak 74 telinga belum
terjadi pergeseran nilai ambang sedangkan sebanyak 136 telinga mengalami pergeseran nilai
ambang dengar dengan hasil derajat ringan sebanyak 116 telinga ( 55,3% ), derajat sedang 17
( 8% ) dan derajat berat 3 (1,4% ). (8)
Penelitian Zuldidzaan (1995) pada awak pesawat helicopter TNI AU dan AD
mendapatkan paparan bising 86-117 dB dengan prevalensi NIHL 27,16%. (8)
V. ETIOLOGI (9)
1. Intensitas kebisingan
2. Frekuensi kebisingan
3. Lamanya waktu pemaparan bising
4. Kerentanan individu
5. Jenis kelamin
6. Usia
7. Kelainan di telinga tengah
VI. PATOGENESIS
Tuli akibat bising mempengaruhi organ Corti di koklea terutama sel-sel rambut.
Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan adanya
degenerasi yang meningkat sesuai dengan intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada sel-
sel rambut luar menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan
bertambahnya intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti
hilangnya stereosilia.
Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan hilangnya stereosilia,
sel-sel rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin tinggi intensitas paparan
bunyi, sel-sel rambut dalam dan sel-sel penunjang juga rusak. Dengan semakin luasnya
kerusakan pada sel-sel rambut, dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga dapat dijumpai
di nukleus pendengaran pada batang otak. (9)
Perubahan Histopatologi Telinga Akibat Kebisingan (9)
Lokasi dan perubahan histopatologi yang terjadi pada telinga akibat kebisingan adalah
sebagai berikut :
1. Kerusakan pada sel sensoris
a. Degenerasi pada daerah basal dari duktus koklearis.
b. Pembengkakan dan robekan dari sel-sel sensoris.
c. Anoksia.
2. Kerusakan pada stria vaskularis
Suara dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan kerusakan stria vaskularis karena
penurunan bahkan penghentian aliran darah pada stria vaskularis dan ligamen spiralis
sesudah terjadi rangsangan suara dengan intensitas tinggi.
3. Kerusakan pada serabut dan ujung saraf
Keadaan ini masih banyak diperdebatkan, tetapi pada umumnya kerusakan ini
merupakan akibat sekunder dari kerusakan-kerusakan sel-sel sensoris.
4. Hidrops endolimf
VII. GEJALA KLINIS
Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising ( noise induced hearing loss )
adalah bersifat sensorineural, hampir selalu bilateral, jarang menyebabkan tuli derajat sangat
berat ( profound hearing loss ). (9)
Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi
adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan
ambang dengar menetap ( permanent threshold shift).
VII.1. Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi
dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan ini merupakan fenomena
fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising. (7)
VII.2. Peningkatan ambang dengar sementara (Temporary Threshold Shift / TTS)
Merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat pajanan bising
dengan intensitas yang cukup tinggi.
Seseorang yang pertama kali terpapar suara bising akan mengalami berbagai
perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran bertambah tinggi
pada frekuensi tinggi. Pada gambaran audiometric tampak sebagai “notch” yang
curam pada frekuensi 4000 Hz, yang disebut juga acoustic notch. Apabila
beristirahat di luar lingkungan bising biasanya pemulihan dapat terjadi dalam
beberapa menit atau jam. Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari. (7,10)
VII.3. Peningkatan ambang dengar menetap (Permanent Treshold Shift / PTS)
Merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap akibat
pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi (explosif). atau berlangsung lama yang
menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan organ
Corti, sel-sel rambut, stria vaskularis, dan lainnya.
Dikatakan bahwa untuk merubah TTS menjadi PTS diperlukan waktu bekerja di
lingkungan bising selama 10-15 tahun, tetapi hal ini bergantung juga kepada :
- Tingkat suara bising
- Kepekaan sesorang terhadap suara bising
PTS biasanya terjadi di sekitar frekuensi 4000 Hz dan perlahan-lahan meningkat dan
menyebar ke frekuensi sekitarnya. PTS mula-mula tanpa keluhan, tetapi apabila
sudah menyebar sampai frekuensi yang lebih rendah (2000 dan 3000 Hz) keluhan
akan timbul. Pada mulanya sesorang akan mengalami kesulitan untuk mengadakan
pembicaraan di tempat yang ramai, tetapi bila sudah menyebar ke frekuensi yang
lebih rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar suara yang sangat lemah.
Notch bermula pada frekuensi 3000-6000 Hz, dan setelah beberapa waktu gambaran
audiogram menjadi datar pada frekuensi yang lebih tinggi. Kehilangan pendengaran
pada frekuensi 4000 Hz akan terus bertambah dan menetap setelah 10 tahun dan
kemudian perkembangannya menjadi lebih lambat. (9,10)
Selain pengaruh terhadap pendengaran (auditory), bising yang berlebihan juga
mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi wicara, gangguan
konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi.
VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan, pemeriksaan fisik
dan otoskopi serta pemeriksaan penunjang untuk pendengaran seperti audiometri (7)
VIII.1. Anamnesis
Pernah bekerja atau sedang bekerja bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu
yang cukup lama biasanya lima tahun atau lebih.
VIII.2. Pemeriksaan otoskopi
Tidak ditemukan kelainan.
VIII.3. Pemeriksaan audiologi
Tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang
pendengarannya lebih baik dan Schwabach memendek dengan kesan tuli
sensorineural.
VIII.4. Pemeriksaan audiometri nada murni
Gambaran audiogram menunjukkan tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000-
6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang
patognomonik untuk jenis ketulian ini.
Gambar 5. Audiogram gangguan pendengaran akibat bising (NIHL)
VIII.5. Pemeriksaan audiologi khusus
Seperti SISI (short increment sensitivity index), ABLB (alternate binaural loudness
balance), MLB (monoaural loudness balance), audiometric Bekesy, audiometri tutur
(speech audiometry), dimana hasil menunjukkan fenomena rekrutmen yang
patognomonik untuk tuli sensorineural koklea.
IX. PENATALAKSANAAN
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari
lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapt dipergunakan alat pelindung telinga
terhadap bising, seperti sumbat telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff) dan pelindung
kepala (helmet).
Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli sensorineural yang bersifat menetap, bila
gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume
percakapan biasa, dapat dicoba pemsangan alat bantu dengar/ ABD (hearing aid). Apabila
pendengaran sudah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat
berkomunikasi denga adekuat perlu dilakukan psikoterapi agar dapat menerima keadaannya.
Latihan pendengaran (auditory training) agar dapat menggunakan sisa pendengaran dengan
ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan
anggotabadan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi.
Di samping itu, oleh karena pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah,
rehabilitasi suara juga diperlukan agar dapat mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama
percakapan. Pada pasien yang telah mengalami tuli total bilateral dapat dipertimbangkan
untuk pemasangan implan koklea (cochlear implant). (7)
X. PROGNOSIS
Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang sifatnya
menetap dan tidak dapat diobati secara medikamentosa maupun pembedahan, maka
prognosisnya kurang baik. Oleh sebab itu yang terpenting adalah pencegahan terjadinya
ketulian.(7)
XI. PENCEGAHAN
Tujuan utama perlindungan terhadap pendengaran adalah untuk mencegah terjadinya
GPAB yang disebabkan oleh kebisingan di lingkungan kerja. Program ini terdiri dari 3 bagian
yaitu : (9)
1. Pengukuran pendengaran
Tes pendengaran yang harus dilakukan ada 2 macam, yaitu :
a. Pengukuran pendengaran sebelum diterima bekerja
b. Pengukuran pendengaran secara periodik.
2. Pengendalian suara bising
Pengendalian suara bising dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :
a. Melindungi telinga para pekerja secara langsung dengan memakai tutup telinga
(ear muff), sumbat telinga (ear plugs) dan pelindung kepala (helmet)
b. Mengendalikan suara bising dari sumbernya yang dilakukan dengan cara :
- Memasang peredam suara
- Menempatkan suara bising (mesin) di dalam suatu ruangan yang terpisah dari
pekerja
c. Analisa bising
Analisa bising ini dikerjakan dengan jalan menilai intensitas bising, frekuensi
bising, lama, dan distribusi pemaparan serta waktu total pemaparan bising. Alat
utama dalam pengukuran kebisingan adalah Sound Level Meter.
Selain alat pelindung telinga terhadap bising dapat juga diikuti ketentuan paparan
bising terhadap pekerja di lingkungan bising yang berintensitas lebih dari 85 dB tanpa
menimbulkan ketulian berdasarkan keputusan Menteri Tenaga Kerja tahun 1999. (7)
Waktu Lama pajan (hari) Intensitas (dB)
Jam 24 80
16 82
8 85
4 88
2 91
1 94
Menit 30 97
15 100
7,50 103
3,75 106
1,88 109
0,94 112
Detik 28,12 115
14,06 118
7,03 121
3,52 124
1,76 127
0,88 130
0,44 133
0,22 136
0,11 139
Tabel 2. Batas pajanan bising yang diperkenankan sesuai keputusan Menteri Tenaga Kerja
1999
BAB III
KESIMPULAN
Noise Induced Hearing Loss (NIHL) adalah gangguan pendengaran akibat pajanan
bising yang cukup keras dalam waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising
lingkungan kerja. Ketulian ini berupa tuli saraf dan sifatnya permanen.
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pengujian audiometric mutlak dibutuhkan untuk
setiap pekerja yang dilakukan sebelum mulai bekerja dan secara berkala selama bekerja
dengan tujuan untuk mencegah terjadinya gangguan pendengaran akibat bising terutama
bising industri.
Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang sifatnya
menetap dan tidak dapat diobati secara medikamentosa ataupun pembedahan, maka yang
terpenting dilakukan adalah pencegahan terjadinya ketulian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan Republk Indonesia. 2004. Indonesia Termasuk 4 Negara Di Asia
Tenggara Dengan Prevalensi Ketulian 4,6%. Available at
http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=700&Itemid=.
Accessed on 22nd September 2012.
2. Universitas Sumatera Utara. Alat Pelindung Diri untuk Pendengaran. Available at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28089/5/Chapter%20I.pdf. Accessed on
22nd September 2012.
3. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran (Tuli) dalam Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher, editor Soepardi I, et al. Edisi 6. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2008.
4. Enriquez A, et al. Basic Otolaryngology. Manila: Department of Otorhinolaryngology
UPGH ; 1993.
5. Snell RS. Kepala dan Leher dalam Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC ; 2006.
6. Adams G, Boies L, Higler P. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC ; 1997.
7. Bashiruddin J, Soetirto I. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (noise induced hearing
loss) dalam Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher, editor Soepardi I, et al.
Edisi 6. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2008.
8. Siti Rani. Dosis Pajanan Bising. Available at
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/123563-S-5264-Gambaran%20dosis-
pendahuluan.pdf. Accessed on 22nd September 2012.
9. Yunita Andrina. 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Bagian Ilmu Penyakit
THT. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Accessed on 22nd September
2012.
10. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala, dan Leher jilid dua. Edisi
13. Jakarta : Binarupa Aksara ; 1997.
11. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta : Penerbit EGC ;
2011.