referat koroiditis

41
1 BAB I PENDAHULUAN Koroid merupakan lapisan bola mata yang terletak di antara retina dan sklera. Koroid merupakan bagian dari traktus uvealis yang terdiri dari iris, corpus siliaris di anterior, dan koroid di bagian posteriornya. Koroid kaya akan pembuluh darah dan sering disebut juga sebagai lapisan pembuluh darah mata. Koroid adalah suatu membran yang berwarna coklat tua, terbentang dari ora serata sampai papil saraf optik. Koroid berfungsi terutama memberi nutrisi kepada retina 1 . Koroiditis adalah peradangan pada lapisan koroid. Koroiditis digolongkan sebagai penyakit yang jarang oleh Office of Rare Disease (ORD) dari National Institute of Health (NIH). Ini artinya baik koroiditis atau subtipe koroiditis mengenai kurang dari 200.000 orang di Amerika 2 . Penyebab koroiditis tersering adalah toksoplasmosis, tuberkulosis, dan sindrom Vogt- Koyanagi-Harada. Papilitis inflamatorik (neuritis optik) dapat disebabkan oleh salah satu dari penyakit- penyakit tersebut, tetapi sklerosis rnuitipel perlu dicurigai, khususnya pada kasus nyeri mata yang diperparah dengan pergerakan. Penyebab uveitis posterior yang lebih jarang, antara lain: limfoma intraokular, sindrom nekrosis retina akut, oftalmia

Upload: rizkyswandaru

Post on 04-Sep-2015

57 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Koroiditis merupakan penyakit peradangan pada traktus uvea prosterior

TRANSCRIPT

24

BAB IPENDAHULUAN

Koroid merupakan lapisan bola mata yang terletak di antara retina dan sklera. Koroid merupakan bagian dari traktus uvealis yang terdiri dari iris, corpus siliaris di anterior, dan koroid di bagian posteriornya. Koroid kaya akan pembuluh darah dan sering disebut juga sebagai lapisan pembuluh darah mata. Koroid adalah suatu membran yang berwarna coklat tua, terbentang dari ora serata sampai papil saraf optik. Koroid berfungsi terutama memberi nutrisi kepada retina1. Koroiditis adalah peradangan pada lapisan koroid. Koroiditis digolongkan sebagai penyakit yang jarang oleh Office of Rare Disease (ORD) dari National Institute of Health (NIH). Ini artinya baik koroiditis atau subtipe koroiditis mengenai kurang dari 200.000 orang di Amerika2. Penyebab koroiditis tersering adalah toksoplasmosis, tuberkulosis, dan sindrom Vogt-Koyanagi-Harada. Papilitis inflamatorik (neuritis optik) dapat disebabkan oleh salah satu dari penyakit-penyakit tersebut, tetapi sklerosis rnuitipel perlu dicurigai, khususnya pada kasus nyeri mata yang diperparah dengan pergerakan. Penyebab uveitis posterior yang lebih jarang, antara lain: limfoma intraokular, sindrom nekrosis retina akut, oftalmia simpatika, dan sindrom "titik putih," seperti Multiple Evanescent White Dot Syndrome (MEWDS) atau Acute Posterior Multifocal Placoid Pigment Epitheliopathy (APMPEE)3.Klasifikasi koroiditis dibagi berdasarkan bentuk lesi. Lesi koroiditis bisa berbentuk fokal, mutifokal, dan difus yang disebabkan oleh agen infeksius dan non-infeksius. Lesi koroid fokal biasanya disebabkan oleh infeksi toksoplasma, tuberkulosis, atau koroiditis serpiginious. Koroiditis multifokal dapat disebabkan oleh koroiditis ampiginous, MEWDS, dan APMPEE. Koroiditis difus biasanya sering terdapat pada panuveitis seperti Sindrom Voght-Konayagi-Harada. Koroiditis lain bisa disebabkan oleh infeksi oputunistik pada pasien immunokompeten4.

1

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Histologi KoroidKoroid merupakan bagian traktus uvea paling posterior yang menutrisi retina bagian luar. Ketebalannya sekitar 0,25 mm dan terdiri atas tiga lapisan yaitu koriokapiler yang paling dalam, pembuluh kecil bagian tengah dan pembuluh besar bagian luar. Koroid terbentang dari diskus optik sampai ora serrata.

Gambar 1. Potongan mikroskopik koroid.

Struktur koroid tipis halus, berupa lapisan berwarna coklat melapisi sklera bagian dalam dan memiliki banyak vaskularisasi. Permukaan dalam koroid halus, melekat erat pada pigmen retina, sedangkan permukaan luarnya kasar dan melekat erat pada saraf optik dan tempat dimana arteri siliaris posterior dan nervus siliaris memasuki bola mata, juga melekat pada tempat keluar keempat vena vortex1.

2Lamina suprakoroid merupakan bagian ini merupakan suatu membran tipis dengan serat kolagen yang padat, melanosit dan fibroblast. Bagian ini bersambungan dibagian anterior dengan lamina suprasiliaris. Antara membran ini dan sklera terdapat suatu ruang potensial yang disebut suprachoroidal space. Di dalam ruangan suprachoroidal space ini dapat ditemukan arteri dan nervus siliaris posterior longus dan brevis1. Stroma koroid adalah bagian mengandung jaringan kolagen dengan beberapa jaringan elastik dan serat retikulum. Bagian ini juga mengandung sel-sel pigmen dan sel-sel plasma. Pada lapisan ini, penyusun utamanya juga terdiri dari tiga lapis yaitu : (i) lapisan pembuluh darah besar (Hallers layer), (ii) lapisan pembuluh darah sedang (Sattlers layer) dan (iii) lapisan koriokapilaris1. Ketiga lapisan pembuluh darah tersebut diatas disuplai oleh arteri dan vena. Arterinya berasal dari cabang arteri posterior brevis yang berjalan ke anterior. Venanya lebih besar dan bergabung dengan vena vorticose yang kemudian menembus sklera dan bergabung dengan vena-vena ophthalmikus. Lapisan koriokapiler memiliki dinding pembuluh darah tipis dan mengandung fenestra multiple, terutama pada permukaan yang menghadap retina. Perisit terdapat pada dinding luar kapiler. Kapiler juga mengandung jaringan ikat yang mengandung melanosit dan densitas kapiler terbanyak dan terbesar terdapat di daerah makula1.Membrane Bruchs Lapisan terdalam khoroid adalah membrane bruchs, berasal dari fusi antara membran basalis RPE dan koriokapiler. Membran ini dimulai dari diskus optic sampai oraserata.Pada pemeriksaan ultrastruktural terdiri atas lima lapisan dari luar ke dalam yaitu, membran basalis koriokapiler, lapisan serat kolagen luar, jaringan serat elastik, lapisan serat kolagen dalam dan lamina basalis RPE1.Perdarahan koroid berasal dari tiga arteri dan vena yaitu1: 1. Arteri siliaris posterior brevis muncul menjadi dua cabang dari arteri oftalmika, masing-masing cabang terbagi menjadi 10-20 cabang yang menembus sklera di sekitar saraf optik dan memasok darah koroid secara segmental.2. Arteri siliaris posterior dibagi menjadi dua bagian, nasal dan temporal. Pembuluh darah ini menembus sklera dengan cara melintang di sisi medial dan lateral dari saraf optik dan berjalan ke depan ruang subaraknoid mencapai otot siliris tanpa percabngan. Pada ujungnya berakhir di otot siliaris dan beranastomosis dengan arteri siliaris anterior dan memberikan pasokan darah bagi korpus sirliaris.3. Arteri siliaris anterior berasal dari cabang-cabang arteri otot mata, jumlahnya ada 7, 2 masin-masing dari arteri rektus superior, rektus inferior, dan otot rektus medial dan saru dari rektus lateralis. Arteri ini menembus anterior episklera dan memberikan cabang ke sklera, limbus, konjungtiva, dan akhirnya menembus sklera dekat limbus untuk memasuki otot siliaris. Pada bagian akhir ini beranastomosis dengan dua arteri siliaris posterior longus untuk membentuk sirkulus arteri mayor dan menyuplai prosesus siliaris. Cabang-cabang dari sirkulus ini secara radial melewati pinggiran pupil dan beranastomose satu sama lainnya menjadi sirkulus arteri minor.4. Drainase vena, vena-vena kecil mengalir dari iris, korpus siliaris, dan koroid bergabung membentuk vena vorteks. Vena vorteks ini terbagi menjadi empat yaitu superior temporal, inferior temporal, superior nasal, dan inferior nasal. Pembuluh vena ini menembus sklera di belakang ekuator dan mengalir ke vena oftalmika superior dan inferior yang dimana akan mengalir ke sinus kavernosus.

Gambar 2. Vaskularisasi darah arteri dan vena pada traktus uvea. Koroid memiliki fungsi terutama untuk suplai darah ke epitel pigmen retina (RPE) sampai ke dua pertiga lapisan nuklear dalam dari neurosensori retina. Koriokapiler yang memerankan fungsi ini membawa darah melalui pembuluh-pembuluhnya ke bagian anterior bola mata. Koroid juga diperkirakan berperan dalam proses pertukaran panas di retina karena tingginya aliran darah di pembuluh darah koroid. Sel-sel pigmen koroid menyerap cahaya yang berlebihan yang berpenetrasi ke retina tapi tidak diserap sel-sel fotoreseptor. Di samping itu koroid juga memberikan peranan yang besar pada pemeriksaan fundus karena respon dari pigmen dan warna koroid1.

B. Koroiditis Koroiditis merupakan bagian dari penyakit uveitis posterior. Kebanyakan kasus uveitis posterior berhubungan dengan beberapa penyakit sistemik. Penyebab uveitis posterior sering kali dapat ditegakkan berdasarkan (1) morfologi lesi, (2) onset dan perjalanan penyakitnya, atau (3) tanda dan gejala sistemik yang menyertai. Pertimbangan lainnya adalah umur pasien dan apakah lateral atau bilateral. Tes laboratorium dan penunjang lain sering kali membantu. Lesi di segmen posterior mata bentuknya bisa fokal, mutifokal, geografik, atau difus menimbulkan kekeruhan pada vitreus di atasnya harus dibedakan dari lesi yang kurang atau tidak memicu sel-sel vitreus. Jenis dan distribusi kekeruhan vitreusnya harus dijelaskan. Lesi peradangan pada segmen posterior umumnya tidak kentara di awal, tetapi sebagian dapat disertai kehilangan penglihatan mendadak yang berat2.a. Koroiditis Lesi Fokal1) Toksoplasmosis OkularToksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii, sualu protozoa intrasel obligat. Lesi okular mungkin didapat in utero atau muncul sesudah infeksi sistemik. Gejala-gejala konstitusional mungkin ringan dan mudah terlewatkan. Kucing peliharaan dan spesies kucing lainnya berperan sebagai hospes definitif parasit ini. Wanita rentan yang terkena selama kehamilan dapat menularkan penyakit ke janinnya, yang bisa berakibat fatal. Sumber infeksi pada manusia adalah ookista di tanah atau debu di udara, daging kurang matang yang mengandung bradizoit (parasit bentuk kista), dan takizoit (bentuk prolieratif) yang ditularkan melalui plasenta5. a) Temuan dan Gejala1. Gambaran klinisGambaran klinik toxoplasmosis okular antara lain5:Gejala subyektif berupa:a. Penurunan tajam penglihatan Lesi retinitis atau retinokoroiditis di daerah sentral retina yang disebut makula atau daerah antara makula dan N. optikus yang disebut papilomuskular/bundle. Terkenanya nervus optikus. Kekeruhan vitreus yang tebal. Edema retinab. Biasa tidak ditemukan rasa sakit, kecuali bila sudah timbul gejala lain yang menyertai yaitu iridosiklitis atau uveitis anterior yang juga disertai rasa silau. Pada keadaan ini mata menjadi merah.c. Floaters atau melihat bayangan-bayangan yang bergerak-gerak oleh adanya sel-sel dalam korpus vitreus.d. Fotopsia, melihat kilatan-kilatan cahaya yang menunjukkan adanya tarikan-tarikan terhadap retina oleh vitreus.Gejala obyektif berupa:a.Mata tampak tenang.b.Pada pemeriksaan oftalmoskop tampak gambaran sebagai berikut : Retinitis atau retinikoroiditis yang nekrotik. Lesi berupa fokus putih kekuningan yang soliter atau multipel, yang terletak terutama di polus posterior, tetapi dapat juga di bagian perifer retina. Papilitis atau edema papil. Kelainan vitreus atau vitritis.Pada vitritis yang ringan akan tampak sel-sel. Sering sekali vitritis begitu berat, sehingga visualisasi fundus okuli terganggu. Uveitis anterior atau iridosiklitis, dan skleritis Gejala ini dapat mengikuti kelainan pada segmen posterior mata yang mengalami serangan berulang yang berat(5).

Gambar 3. Toxoplasmosis Okular pada Funduskopi.

Korioretinitis merupakan gejala klinis yang paling sering ditemukan dan dapat pula merupakan gejala satu-satunya. Makula merupakan daerah yang paling sering terkena dan lesi biasanya ditemukan bilateral. Lesi aktif pada mulanya berwarna kekuningan dengan batas tidak jelas tertutup eksudat5.Lesi dapat pula multipel atau unilateral, atau lesi mengenai makula pada satu mata dn mengenai bagian perifer retina pada mata lain. Pecahnya kista pada tepi berpigmen dari jaringan parut retina menyebabkan lepasnya organisme kemudian membentuk lesi satelit kecil di sekitar lesi primer. Gangguan visus dapat berupa skotoma sampai buta total tergantung luasnya lesi. Dapat pula bermanifestasi sebagai miopia atau strabismus. Reaktivasi korioretinitis dapat terjadi setiap waktu5.Keterlibatan okular dalam kasus kongenital adalah selalu bilateral dan tidak mudah dibedakan (dalam fase aktif) dengan toxoplasmosis okular didapat. Infeksi okular yang ganas sering menimbulkan nistagmus, katarak,membran pupilar, organisasi vitreus, dan mikrofthalmus.b) Temuan LaboratoriumDiagnosis dapat ditegakkan dengan uji serologi T gondii yang positif disertai tanda-tanda klinis yang sesuai. Peningkatan titer antibodi biasanya tidak terdeteksi selama reaktivasi, tetapi meninggtnya titer IgM merupakan bukti kuat hJeksi yang didapat baru-baru ini3.c) PengobatanLesi kecil di retina perifer yang tidak jelas disertai vitritis dapat dibiarkan tanpa pengobatan. Sebaliknya, infeksi berat atau di daerah posterior biasanya diobati selama 4-6 minggu dengan pyrimethamine, 25-50 mg per oral per hari, dan trisulfapyrimidine, 0,5-1 g per oral empat kali sehari. Dosis awal 75 mg pyrimethamine per hari selama 2 hari dan 2 g trisulfapyrimidine dosis tunggal harus diberikan pada awal pengobatan. Selain itu, pasien umumnya diberikan 3 mg kalsium leucovorin dua kali seminggu untuk mencegah depresi sumsum tulang. Pemeriksaan hitung darah lengkap harus dilakukan setiap minggu selama terapi dilakukan. Alternatif lain pengobatan toksoplasmosis okular, yaitu diberikan clindamycin, 300 mg empat kali sehari, ditambah trisulfapyrimidine, 0,5-1 g empat kali sehari. Clindamycin menimbulkan kolitis pseudomembranosa padal}-Il% pasien. Antibiotik lain yang juga efektif untuk toksoplasmosis okular, antara lain: spiramycin dan minocycline. Neovaskularisasi subretina dapat diatasi dengan fotokoagulasi laser argon atau terapi fotodinamik dengan verteporfin. Uveitis anterior pada toksoplasmosis okular dapat diobati dengan kortikosteroid topikal dan sikloplegik. Penyuntikan kortikosteroid periokular dikontraindikasikan. Obat glaukoma topikal sesekali diperlukan. Kortikosteroid sistemik dan terapi antimikroba dapat diberikan bersamaan pada lesi radang yang mengancam penglihatan, tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan dalam jangka waktu lama tanpa dukungan antimikroba3.

2) Tuberkulosis OkularTuberkulosis dianggap sebagai penyebab paling utama uveitis di negara-negara berkembang. Manisfestasi ukolar dari tuberkulosis bisa dihasilkan dari infeksi aktif atau reaksi immunologis. Koroiditis diseminata adalah yang paling banyak presentasinya. Pada penyakit ini bisa tampak lesi tuberkel koroidal, dalam, mutipel, diskret, kekuningan antara 0,5 dan 3,0 mm yang dominan terdapat di posterior; atau tuberkuloma, tunggal, fokal, besar, dan massa koroid meningkat dari 4 mm menjadi 14 mm. Diagnosis tuberkulosis bisa berasal dari riwayat penyakit dan gejala untuk mengekslusikan penyebab lain. Tes Mantoux, X-ray thorak, respon terhadap pengobatan anti-tuberkulosis juga bisa membantu diagnosis3.

Gambar 4. Tuberkulosis Okular

3) Koroiditis SerpiginousKoroiditis Serpiginous juga disebut helicoid geografis choroidopathy peripapiler adalah penyakit langka radang idiopatik yang mempengaruhi koroid dalam dan epitel pigmen retina. Choroiditis serpiginous terdapat lebih banyak pada laki-laki. Usia onset biasanya berkisar 30 sampai 70 tahun, meskipun mungkin terjadi pada pasien yang lebih muda. Tidak ada terbukti predileksi ras, ada kecenderungan familial dan tidak ada asosiasi yang dikenal dengan obat-obatan, trauma atau alergi. Kondisi tampaknya tidak memiliki manifestasi sistemik terkait7,8. Temuan chorioretinalLesi yang khas adalah diskoid atau geografis dalam bentuk bayangan seperti jari. Lesi umumnya mulai di daerah peripapiler, namun daerah makula seringkali menjadi situs awal lesi. Lesi akut muncul kuning keabu-abuan dengan tepian lesi yang lebih gelap. Neovaskularisasi koroid terjadi pada sekitar 25% pasien, dan dapat menyebabkan cairan subretinal dan perdarahan. Temuan lain mungkin termasuk vaskulitis retina, ablasi retina, RPE detasemen, cabang vena atau gabungan cabang oklusi vena-arteri dan neovaskularisasi dari disk optik atau tempat lain7.Koroiditis serpiginous adalah penyakit kronis, bilateral, asimetris, dan progresif. Lesi akut berkisar 1 minggu hingga 1 bulan kemudian diakhiri dengan pembentukan jaringan parut dan atrofi. Prognosis umumnya jelek, tingkat kehilangan penglihatan sering tak terduga8.DiagnosaDiagnosis choroiditis serpiginous didasarkan pada temuan klinis. Fluoresein angiografi cukup membantu. Selama fase awal lesi akut biasanya hipofluoresein karena penyumbatan oleh edema RPE dan non-perfusi koroid. Tahap akhir dari angiogram menunjukkan kebocoran dan pewarnaan di daerah aktif. Bekas lesi khorioretinal tua memiliki penampilan yang berbintik-bintik disebabkan oleh pigmen menggumpal dan atrofi, dengan akhir pewarnaan pada angiografi fluoresein4,7,8.

Gambar 5. Perbandingan penampakan koriditis serpiginous dilihat dengan oftalmoskopi dan angiografi flurosein

4) Toksokariasis OkularToksokariasis terjadi akibat infeksi oleh Toxocara cati (parasit di usus kucing) atau Toxocara canis (parasit di usus anjing). Larva migrans viseral adalah infeksi sistemik disseminata pada anak kecil . Larva migrans viseral jarang mengenai mata. Toksokariasis okular dapat terjadi tanpa manifestasi sistemik. Anak-anak bisa terkena penyakit ini karena berhubungan erat dengan binatang peliharaan dan karena memakan tanah (pica) yang terkontaminasi dengan ovum Toxocara. Telur yang termakan akan membentuk larva yang menembus mukosa usus dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik, dan akhirnya sampai di mata. Parasit ini tidak menginfeksi saluran cerna manusia3.a) Tanda dan GejalaPenyakit ini biasanya unilateral. Larva Toxocara tinggal di retina dan mati, menimbulkan reaksi radang hebat dan pembentukan antibodi Toxocara setempat. Umumnya, anak-anak dibawa ke dokter mata karena mata merah, penglihatan kabur, atau pupil keputihan (leukocoria). Terdapat tiga gambaran klinis: (1) granuloma posterior setempat, biasanya di dekat caput nervi optici atau fovea; (2) granuloma perifer yang mengenai pars plana, sering kali menimbulkan massa yang menonjol yang menyerupai gundukan salju uveitis intermediet dan (3) endoftalmitis kronik3.

Gambar 6. Gambaran oftalmoskopi toksokariasis okularb) Temuan LaboratoriumTemuan klinis yang khas dan uji enzyme-Iinked immunosorbent assay (ELISA) yung positif terhadap antibodi antitoxocara, walaupun dengan titer yang rendah, memastikan diagnosis toksokariasis okular. Hasil ELISA yang negatif sering ditemukan, tetapi hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi okular. Pasien dugaan toksokariasis okular dengan ELISA yang negatif dapat menunjukkan titer antibodi yang positif pada cairan okularnya, tetapi pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan dan jarang dibutuhkan pada beberapa kasus3.c) PengobatanSuntikan kortikosteroid secara sistemik atau periokular hendaknya diberikan bila terdapat tanda-tanda peradangan intraokular yang nyata. Vitektomi harus dipertimbangkan pada pasien dengan kekeruhan vitreus yang padat atau traksi praretinal yang nyata. Terapi anthelmintik sistemik tidak diindikasikan pada penyakit yang terbatas di mata, bahkan terapi ini bisa memperparah peradangan karena mematikan parasit intraokular lebih cepat3.B.2 Koroiditis Lesi Multifokal 1) Koroiditis AmpiginousKoriditis ampiginous merupakan variasi dari koroiditis serpiginous, namun pembedanya bahwa lesi yang ditunjukkan pada jenis ini lebih multifokal. Lesi tampak putih-kekuningan dengan batas geografis yang terdapat pada pertengahan dan pinggiran. Lesi jauh lebih kecil dari koroiditis serpiginous dan APMPPE, sekitar daerah diskus optikus. Lesi bisa berulang, seperti APMPPE. Karakteristik FA yang sangat berbeda. Lesi aktif menunjukkan hipoflurosein di tengah dengan margin hiperfluoresein9.

Gambar 7. Ampiginous Choroiditis

2) Multiple Evanescent White Dot Syndrome (MEWDS)MEWDS adalah penyakit jarang, unilateral, dan self-limiting yang mengenai wanita muda lebih banyak 4 kali daripada laki-laki. Meskipun tatalaksana dari penyakit ini masih belum jelas, namun prognosisnya bagus. MEWDS biasanya setelah 4 sampai 6 minggu. Namun, bentuk berulang kronis penyakit telah dijelaskan di mana beberapa kekambuhan bisa melibatkan kedua mata. Selain itu, koroiditis multifokal dan neovaskularisasi koroid, lesi berbentuk titik-titik yang jumlahnya banyak, merupakan tanda MEWDS. Terjadi pembesaran terus-menerus dari titik buta 5,10.

Gambar 8. Multiple Evanescent White Dot Syndrome (MEWDS)

3) Acute Posterior Multifocal Placoid Pigment Epitheliopathy (APMPEE)APMPPE adalah gangguan yang ditandai dengan kemunculan lesi inflamasi multifokal, berwarna kuning-putih, dan datar pada tingkat epitel pigmen retina dan choriocapillaris pada kutub posterior fundus. APMPPE adalah entitas yang langka, yang didiagnosis hanya lima pasien lebih dari periode 10-tahun di Immunology and Uveitis Service of the Massachusetts Eye & Ear Infirmary. Gangguan terjadi paling sering antara usia 20 dan 30 tahun, dengan kisaran 8-66 tahun. Kelainan ini diduga terjadi lebih umum pada ras Kaukasia, dan kedua jenis kelamin memiliki prevalensi yang hampir sama11.Karakteristik klinisGejala prodormal seperti flu yang terdiri dari demam, malaise dan sakit kepala mendahului kebanyakan kasus APMPEE. Ini diikuti dengan tiba-tiba, biasanya bilateral, kehilangan penglihatan. Skotoma sentral atau paraaentral dapat terjadi pada pasien dengan lesi retina yang melibatkan daerah foveal atau parafoveal. Pemeriksaan fundus memperlihatkan lesi bulat multipel, berbatas, datar, lesi subretinal kuning-putih yang melibatkan pigmen retina epithelium. Lesi ini bisa hilang dalam beberapa minggu. Pada beberapa kasus penglihatan bisa kembali normal seperti sebelum onset11.Fluoresein angiografi memperlihatkan perubahan karakteristik selama evolusi penyakit. Selama tahap akut, terlihat bidang hipofluoresein karena adanya daerah yang radang akibat edema RPE, infiltrasi leukosit, dan non-perfusi kapiler. Namun, hiperfluoresein terjadi sebagai akibat kebocoran di koriokapiler yang melalui sel RPE yang rusak, dan berlangsung selama hingga 30 minutes. Selama tahap tidak aktif, lesi APMPEE mengalami perbaikan, bidang hiperfluoresein menjadi atrofi dan terjadi depigmentasi RPE11.

Gambar 9. Lesi APMPEE bilateral pada kedua mataPatogenesisAda dua hipotesis mengenai situs keterlibatan utama di APMPPE. Gass et al menyarankan peradangan dimulai di tingkat pigmen retina epithelium.Gangguan tersebut terutama melibatkan koriokapilaris, dan peradangan akut pada tingkat ini kemungkinan terjadi secara sekunder setelah reaksi hipersensitivitas terhadap antigen eksternal dan menyebabkan oklusi arteriol choroidal, iskemia, dan berbagai perubahan. Bukti bahwa APMPPE mungkin terjadi sebagai akibat dari hipersensitivitas terhadap antigen mikroba dilihat dari fakta bahwa penyakit seperti flu yg dilaporkan dalam sebagian besar kasus, dan gangguan telah terjadi berikut vaksinasi hepatitis B, gondok, vaksinasi flu babi, dan infeksi bakteri. Ada peningkatan insiden tes kulit PPD positif pada individu yang terkena. Selain itu, haplotipe HLA tertentu telah terbukti berhubungan dengan gangguan, dengan 56,7% pasien dengan APMPPE dilaporkan HLA-DR2 positif, dalam satu seri, sedangkan 40% mengekspresikan HLA-B7. Protein MHC dapat menyajikan antigen virus atau bakteri ke penolong dan T sitotoksik sel dan mengaktifkan respon imun yang menyebabkan kapiler dan inflamasi epitel pigmen sel. Grass et al telah mengemukakan bahwa kerusakan inflamasi di APMPPE dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe IV. Sebagaimana dimaksud sebelumnya, tes kulit tuberkulin yang ditemukan positif pada banyak pasien dengan APMPPE. Peradangan granulomatosa juga diamati pada dinding pembuluh dua pasien dengan APMPPE dan vaskulitis serebral12.Tata LaksanaSemua pasien dengan diagnosis APMPPE melakukan pemeriksaan neurologis dan sistemik. Evaluasi terutama diarahkan pada tidak termasuk kemungkinan vaskulitis serebral, sarkoidosis, nefropati subklinis, tiroiditis, dan TBC. Meskipun penyakit mata ini termasuk self-limiting, namun dengan sekitar 80% dari pasien yang tidak diobati memiliki ketajaman visual dari 20/40 atau baik, penuh 20% yang tersisa dengan gangguan penglihatan disarankan semua pasien dengan APMPPE dengan keterlibatan makula diobati dengan steroid sistemik. Pengalaman kami menunjukkan bahwa penggunaan cepat dari steroid sistemik cepat menyelesaikan peradangan, dan dapat menghasilkan yang lebih baik prognosis visual. Pasien dengan kondisi ini dikaitkan dengan penyakit neurologis meningkatkan dengan kombinasi steroid dan terapi sitotoksik dengan Siklosporin A12.

B.3 Koroiditis Lesi Difus Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (sindrom VKH) merupakan kelainan multisistemik yang ditandai dengan adanya panuveitis granulomatosa dan ablasio retina eksudatif yang sering berhubungan dengan manifestasi neurologi, pendengaran dan kulit13.Nama Vogt, Koyanagi, dan Harada diambil dari nama-nama pasien yang berumur sekitar 20 tahunan dengan uveitis bilateral, ablasio retina eksudatif, kelainan neurologi, dan kelainan pada kulit. Walaupun terdapat perbedaan pada pasien-pasien tersebut, manifestasi klinis menunjukkan spektrum penyakit, dan beberapa ahli akhirnya menamainya dengan sindrom Vogt-Koyanagi-Harada14.Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada merupakan penyakit yang jarang, namun merupakan salah satu dari bentuk uveitis yang paling sering diderita pada ras-ras berkulit gelap, seperti Asia, Hindia Asia, Spanyol, Amerika asli, dan Timur Tengah. Di Jepang sindrom Vogt-Koyanagi-Harada mengenai sekitar 7-8% dari seluruh pasien uveitis, sedangkan kurang lebih 4% dari uveitis di Amerika Serikat14.Manifestasi klinis sindrom Vogt-Koyanagi-Harada yang luas meliputi kelainan okuler, neurologi, pendengaran dan kulit membuat penegakan diagnosis menjadi lebih sulit, terutama pada fase prodormal. Sehingga pengetahuan lebih lanjut mengenai sindrom VKH ini dibutuhkan agar diagnosis dapat ditegakkan dan penatalaksanaan dapat diberikan secara tepat. DefinisiSindrom Vogt-Koyanagi-Harada (VKH) adalah kumpulan gejala yang diduga disebabkan reaksi autoimun yang ditandai dengan adanya panuveitis granulomatosa yang difus, kronis, dan bilateral, yang disertai kelainan pada kulit, neurologi, dan pendengaran13.Etiologi dan patogenesis pasti dari sindrom VKH belum diketahui, namun penelitian klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa proses cell-mediated autoimun yang di perantarai sel limfosit T secara langsung menyerang melanosit dari semua sistem organ pada individu yang rentan secara genetik. Sel T helper1 dan peningkatan regulasi interleukin-2, interleukin-6 dan interferon gamma memegang peranan penting dalam patogenesis sindrom VKH. Sindrom VKH juga berhubungan dengan kelainan autoimun lain, seperti autoimmune poliglandular syndrome type 1, hypothyroidism, ulcerative colitis and diabetes mellitus15. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa interleukin-23 memegang peran dalam mengembangkan dan mempertahankan proses autoimun dengan menginduksi diferensiasi interleukin-17 yang memproduksi limfosit T helper CD+4. Sensitisasi peptida antigen melanositik oleh kerusakan cutaneus atau infeksi viral diduga sebagai kemungkinan pencetus dari proses autoimun tersebut. Tyrosinase atau protein terkait tyrosinase, sebuah protein 75-kDa yang tidak teridentifikasi, dan protein S-100 merupakan antigen target pada melanosit13.Predisposisi genetik untuk perkembangan penyakit dan patogenesis disregulasi imun selanjutnya didukung oleh asosiasi yang kuat dengan HLA-DR4 pada pasien-pasien Jepang dengan sindrom VKH; risiko terkait hubungan dengan HLA-DRBI *0405 dan HLA-DRBI *0410 haploid. Diantara pasien-pasien sindrom VKH di Spanyol dan California Selatan, 84% ditemukan mempunyai haploid HLA-DRI atau HLA-DR4, dengan risiko relatif lebih tinggi untuk menderita sindrom VKH.1,2,7Manifestasi KlinisGambaran klinis sindrom VKH bervariasi tergantung dari stadium sindrom VKH. Ada empat stadium pada sindrom VKH, yaitu stadium prodormal, uveitis akut, pemulihan, dan rekuren kronis. Pada stadium prodormal terdapat gejala-gejala seperti flu atau infeksi virus. Pasien mengeluh sakit kepala, mual, meningismus, disakusia, tinnitus, demam, nyeri orbita, fotofobia, dan hipersensitivitas pada kulit dan rambut beberapa hari sebelum timbul onset gejala-gejala ocular. Adanya tanda neurologi fokal, meliputi neuropati cranial, hemiparese, afasia, myelitis transversal, dan ganglionitis. Analisis cairan cerebrospinal menunjukkan pleositosis limfositik dengan kadar glukosa yang normal pada lebih dari 80% pasien, hal ini mungkin bertahan hingga 8 minggu. Masalah pendengaran didapatkan pada 75% pasien, biasanya timbul bersamaan dengan onset gejala-gejala ocular. Disakusia meliputi tinnitus frekuensi tinggi yang terjadi pada sekitar 30% pasien di awal perjalanan penyakit, biasanya sembuh dalam 2-3 bulan, walaupun demikian defisit persisten mungkin dapat terjadi13,16.Stadium uveitis akut ditandai dengan penurunan tajam penglihatan yang perlahan pada kedua mata, 1-2 hari setelah onset kelainan system saraf pusat, dan ditandai dengan adanya uveitis anterior granulomatosa bilateral, berbagai derajat vitritis, penebalan koroid posterior dengan peningkatan lapisan koroid retina peripapiler, hiperemia dan edema nervus optikus, serta ablasio retina serosa multipel. Fokal ablasio retina serosa sering dangkal, dengan pola cloverleaf (daun semanggi) disekitar kutub posterior, dan mungkin menyatu dan menjadi ablasio eksudatif bulosa yang besar. Kehilangan penglihatan profunda mungkin terjadi pada fase ini. Walaupun jarang terjadi, pada fase uveitis akut bisa terdapat mutton fat keratic precipitate (KP) dan nodul iris di pinggir pupil. Bilik mata depan dangkal dan tekanan intraokuler meningkat karena penekanan kedepan iris dan lensa oleh edema corpus siliaris atau ablasi koroid anularis, atau malah tekanan intraokuler dapat menurun akibat sekunder dari kerusakan corpus siliaris13,17.

Gambar 10. Sunset glow fundus pada fase kronik sindrom Vogt-Koyanagi-Harada

Gambar 11. Ablasio retina eksudatif bulosa pada stadium uveitis akut sindrom Vogt-Koyanagi-Harada

Stadium pemulihan terjadi beberapa minggu kemudian dan ditandai dengan penyembuhan ablasio retina eksudatif dan depigmentasi koroid yang bertahap, sehingga pada fundus dapat terlihat diskolorasi klasik merah-oranye, atau sunset glow fundus. Dapat juga ditemukan lesi depigmentasi diskret, bulat, kecil di inferior fundus perifer dan depigmentasi juxtapapiler. Vitiligo perilimbus (tanda Sugiura) ditemukan pada 85% pasien Jepang namun jarang pada pasien kulit putih. Perubahan pada kulit, termasuk vitiligo, alopesia, dan poliosis, biasanya muncul selama stadium pemulihan pada sekitar 30% pasien dan berhubungan dengan perkembangan depigmentasi fundus. Secara umum, perubahan pada kulit dan rambut terjadi dalam beberapa minggu atau bulan setelah onset inflamasi ocular, tetapi pada beberapa kasus dapat muncul secara bersamaan. Antara 10-63% pasien mengalami vitiligo, tergantung pada latar belakang etnis, dengan insiden manifestasi kulit dan ekstraokuler lainya rendah diantara pasien-pasien Spanyol13,17.Secara klinis diagnosis sindrom VH dapat ditegakkan dengan adanya tanda ablasio retina eksudatif selama fase akut dan sunset glow fundus appearance selama fase kronik, yang merupakan gambaran yang spesifik untuk sindrom VKH. Pada pasien yang tidak menunjukkan adanya perubahan ekstraokuler, angiografi fluoresens, angiografi ICG, OCT (Optical Coherence Tomography), pungsi lumbal, dan ultrasonografi dapat menjadi pemeriksaan penunjang yang bermanfaat. Selama stadium uveitis akut, angiografi fluoresens menunjukkan multipel pungta hiperfluorosens di epitel pigmen retina pada stadium awal diikuti dengan genangan zat pewarna di ruang subretina pada area ablasi neurosensori. Sebagian besar pasien menunjukkan kebocoran diskus, namun jarang terjadi kebocoran pada pembuluh darah retina. Pada stadium pemulihan dan rekuren kronis, kehilangan dan atrofi fokal epitel pigmen retinal menghasilkan defek ruang hiperfluoresens multipel tanpa pewarnaan yang progresif13,18.Pada kasus-kasus atipik, khususnya pasien yang yang menunjukkan manifestasi awal dari penyakit dengan tanda neurologis banyak dan manifestasi okuler yang sedikit, pungsi lumbal berguna secara diagnostik. Pada pungsi lumbal dapat terlihat pleositosis limfositik, namun bagaimanapun, pada mayoritas kasus, riwayat dan pemeriksaan klinis yang ditunjang dengan angiografi fluoresens dan/atau ultrasonografi cukup untuk menegakkan diagnosis13.

BAB IIIKESIMPULAN

Koroiditis merupakan bagian dari penyakit uveitis posterior. Kebanyakan kasus uveitis posterior berhubungan dengan beberapa penyakit sistemik. Penyebab uveitis posterior sering kali dapat ditegakkan berdasarkan (1) morfologi lesi, (2) onset dan perjalanan penyakitnya, atau (3) tanda dan gejala sistemik yang menyertai. Pertimbangan lainnya adalah umur pasien dan apakah lateral atau bilateral. Tes laboratorium dan penunjang lain sering kali membantu. Koroiditis lesi fokal terdiri dari toksoplasmosis okular, tuberkulosis okular, toksokariasis okular, dan koroiditis serpigenious. Koroiditis lesi multifokal terdiri dari Koroiditis Ampiginous, Multiple Evanescent White Dot Syndrome (MEWDS) atau Acute Posterior Multifocal Placoid Pigment Epitheliopathy (APMPEE). Sementara lesi koroiditis tipe difus ada pada Sindorm Vogh-Konayagi-Harada.

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Khurana AK. Anatomy, Physiology and Diseases of The Eye, In : Comprehensive Ophthalmology Fourth Edition. New Age International Publishers.New Delhi. 20072. Anonim, 2015, Prevalence and Insidence of Choroiditis http://www.rightdiagnosis.com/c/choroiditis/prevalence.htmdiakses 29 Juli 20153. Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum. Edisi Ketiga. Widya Medika: Jakarta. 2000.4. Sofia, O., Sudharshan, S., and Jyotimay, B, 2012, Algorithm of Choroiditis, World Journal of Retina and Vitreous, 2012:2(2), pp 39-4.5. Suhardjo, Utomo PT, Agni AN. 2003.Clinical Manifestations ofOcular Toxoplasmosis in Yogyakarta, Indonesia: Clinical Review of 173 Cases.Volume 34(2).6. Oliver, Armando L, Posterior Uveitis, Ocular Immunology and Uveitis Specialist Vitreoretinal Surgeon.7. Anonim, 2003, Serpiginous Choroiditis https://rarediseases.org/rare-diseases/choroiditis-serpiginous/ diakses 29 Juli 2015.8. Da Mata, Andrea P, 2010, Serpiginous Choroiditis, http://www.uveitis.org/docs/dm/serpiginous_chroiditis.pdf diakses 29 Juli 2015.9. Alok, A., Biswas, J. , Waduthantri., 2010, Serpiginous Choroiditis : An Update, Department of Uveitis,Medical Research Foundation, Sankara Nethralaya, India.10. 26Pramanik, Sudeep., dan Hillarry A Beaver, 2007, Multiple Evanescent White Dot Syndrome (MEWDS): 24-year-old female with one week duration of central scotoma, OD, http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/cases/37-Multiple EvanescentWhiteDotSyndromeMEWDS.htm diakses 30 Juli 201511. Koragayala, Laksamana, 2013, Acute Multifocal Placoid Pigment Epitheliopathy http://emedicine.medscape.com/article/1225531-overview diakses 30 Juli 201512. Baxter, Kevin R., dan Opremcak, E Mitchel, 2012, Panretinal acute multifocal placoid pigment epitheliopathy: a novel posterior uveitis syndrome with HLA-A3 and HLA-C7 association, Journal of Ophthalmic Inflammation and Infection2013,3:2913. American Academy of Ophthalmology. 2011. Vogt-Koyanagi-Harada Syndrome in Noninfectious (Autoimmune) Ocular Inflammatory Disease. Hal. 183-189.14. Walton, RC. 2012. Vogt-Koyanagi-Harada Disease. Medscape Journal. 15. Federmen, DG, Kravetz JF, Ruser CB, et al. 2004. Vogt-Koyanagi-Harada Syndrome and Ulcerative Colitis. Southern Medical Journal. 97 (2) 169-71.16. Damico FM, Kiss S, Young LH. Vogt-Koyanagi-Harada Disease. Semin Ophthalmol. 2005. Jul-Sep; 20 (3) 183-90.17. Langston, Pavan and Deborah. 2008. Manual of Ocular Diagnosis and Therapy, 6th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.18. Nguyen MHT. 2006.Vogt-Koyanagi-Harada Syndrome, Case Presentation. New England Medical Center Grand Rounds.