referat koma

38
REFERAT K O M A PEMBIMBING dr. Dyah Nuraini, Sp.S PENYUSUN Fitri Nur Laeli 030.09.093 KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

Upload: santy-zakiyyah

Post on 28-Nov-2015

269 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

koma

TRANSCRIPT

REFERAT

K O M A

PEMBIMBING

dr. Dyah Nuraini, Sp.S

PENYUSUN

Fitri Nur Laeli

030.09.093

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 30 SEPTEMBER 2013 – 2 NOVEMBER 2013

LEMBAR PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Fitri Nur Laeli

NIM : 030.09.093

Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Periode Kepaniteraan : 15 juli – 21 september 2013

Judul Referat : Luka Bakar

Pembimbing : dr Ahmad Fanani, Sp B

Jakarta, September 2013

Pembimbing,

dr Ahmad Fanani, Sp B

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan

izin-Nya penyusun dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya. referat ini disusun

guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik di RSUD Semarang.

Penyusun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada

dr. Dyah Nuraini, Sp.S yang telah membimbing penyusun dalam mengerjakan referat ini,

serta kepada seluruh dokter yang telah membimbing penyusun selama di kepaniteraan klinik

Ilmu Bedah di RSUD Semarang. Dan juga ucapan terima kasih kepada teman-teman

seperjuangan di kepaniteraan ini, serta kepada semua pihak yang telah memberi dukungan

dan bantuan kepada penyusun.

Dengan penuh kesadaran dari penyusun, meskipun telah berupaya semaksimal

mungkin untuk menyelesaikan referat ini, namun masih terdapat kelemahan dan kekurangan.

Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penyusun harapkan. Akhir kata,

penyusun mengharapkan semoga referat ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita

semua.

Jakarta, Oktober 2013

Fitri Nur Laeli

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………… 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Kulit …………………………………………………………………….. 52. Fisiologi Kulit …………………………………………………………………….. 103. Definisi Luka Bakar ………………………………………………………………. 124. Etiologi ……………………………………………………………………………. 125. Tanda dan Gejala berdasarkan Klasifikasi Luka Bakar …………………………… 146. Patofisiologi ……………………………………………………………………….. 157. Luas Luka Bakar …………………………………………………………………... 208. Derajat Luka Bakar …………………………………………………………………229. Diagnosa …………………………………………………………………………… 2410. Tatalaksana ………………………………………………………………………… 2611. Komplikasi ………………………………………………………………………… 3312. Prognosis …………………………………………………………………………... 36

BAB III KESIMPULAN ………………………………………………………………… 37

BAB IV DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….. 38

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam keadaan normal, rangsangan kesadaran menerima masukan visual dari mata, suara dari

telinga, sentuhan dari kulit dan masukan dari setiap organ sensorik lainnya untuk melengkapi tingkat

kesiagaan yang tepat. Jika sistem rangsangan atau hubungannya dengan bagian otak yang lain tidak

bekerja sebagaimana mestinya, maka sensasi tidak lagi mempengaruhi tingkat rangsangan dan

kesiagaan otak secara tepat. Jika hal ini terjadi, maka akan timbul gangguan kesadaran.

Gangguan kesadaran ini bisa berlangsung singkat atau lama dan bisa bersifat ringan atau sama

sekali tidak memberikan respon.

Istilah-istilah yang masih tetap dipakai di klinik ialah komposmentis, somnolen, stupor atau

spoor, dan koma. Terminology ini bersifat kualitatif. Tetapi penurunan kesadaran ini juga dapat dinilai

secara kuantitatif untuk anak dengan menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale).

Komposmentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari panca indera (aware

atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun dari dalam

(arousal atau waspada), atau dalam keadaan awas dan waspada.

Somnolen atau drowsiness atau clouding of cinsiousness, berarti mengantuk, mata tampak

cenderung menutup, masih dapat dibangunkan dengan perintah, masih dapat menjawab pertanyaan

walaupun sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi terhadap sekitar menurun.

Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup, dengan rangsang nyeri atau

suara keras baru membuka mata atau bersuara satu-dua kata. Motorik hanya berupa gerakan mengelak

tehadap rangsang nyeri.

Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah. Dengan rangsang apapun tidak ada

reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara, maupun reaksi motorik.

BAB II

PEMBAHASAN

1. DEFINISI

Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan neurologi yang menjadi

petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai “final common pathway” dari gagal

organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak dengan

akibat kematian. Jadi, bila terjadi penurunan kesadaran menjadi pertanda disregulasi dan

disfungsi otak dengan kecenderungan kegagalan seluruh fungsi tubuh2. Dalam hal menilai

penurunan kesadaran, dikenal beberapa istilah yang digunakan di klinik yaitu kompos mentis,

somnolen, stupor atau sopor, soporokoma dan koma. Terminologi tersebut bersifat kualitatif.

Sementara itu, penurunan kesadaran dapat pula dinilai secara kuantitatif, dengan

menggunakan skala koma Glasgow3.

Menentukan penurunan kesadaran secara kualitatif3

a. Kompos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan panca indera

(aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan dari luar

maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaaan awas dan waspada.

b. Somnolen atau drowsiness atau clouding of consciousness, berarti mengantuk, mata

tampak cenderung menutup, masih dapat dibangunkan dengan perintah, masih dapat

menjawab pertanyaan walaupun sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi

terhadap sekitarnya menurun.

c. Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup dengan rangsang

nyeri atau suara keras baru membuka mata atau bersuara satu-dua kata. Motorik

hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang nyeri.

d. Semikoma atau soporokoma, mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara

kuat, hanya dapat mengerang tanpa arti, motorik hanya berupa gerakan primitif.

e. Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah. Dengan rangsang apapun

tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara, maupun reaksi

motorik.

Menentukan penurunan kesadaran secara kuantitatif2

Secara kuantitatif, kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale

(GCS) yang meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan/ Mata (E), Pemeriksaan Motorik

(M) dan Verbal (V). Pemeriksaan ini mempunyai nilai terendah 3 dan nilai tertinggi 15.

Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk penglihatan/ mata:

E1 tidak membuka mata dengan rangsang nyeri

E2 membuka mata dengan rangsang nyeri

E3 membuka mata dengan rangsang suara

E4 membuka mata spontan

Motorik:

M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri

M2 reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeri

M3 reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri

M4 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaran

M5 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran

M6 reaksi motorik sesuai perintah

Verbal:

V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none)

V2 respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)

V3 respon kata dengan rangsang nyeri (words)

V4 bicara dengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused)

V5 bicara dengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)

Menentukan penurunan kesadaran pada Anak

Pada Pediatric Coma Scale, dinilai kemampuan pasien untuk memperlihatkan tiga tes

fungsi saraf, yaitu : Respons membuka mata, Respons motorik dan Respons verbal. Pada

infant face scale diperiksa respons buka mata, respon motorik dan respons muka.

Tingkat kesadaran didapat dari hasil penjumlahan ketiga basil tes tersebut (Tabel 1).

Kecuali pada keadaan mata tertutup karena bengkak, endotracheal/tracheostomi. Pada

respons motorik yang, dipakai lengan yang baik/tidak parese. Kesadaran terbaik 15 SKG dan

terburuk 3 SKG. Koma disetarafkan dengan 8 SKG. Obtundation (somnolen) 13 SKG.

2. ETIOLOGI

1. Menurut kausa

2. Menurut mekanisme gangguan serta letak lesi

a. Gangguan kesadaran pada lesi supratentorial

b. Gangguan kesadaran pada lesi infratentorial

c. Gangguan difus (gangguan metabolik)

Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan-kemungkinan penyebab koma,

model berikut ini dapat dipergunakan di klinik : SEMENITE.

S : Sirkulasi (stroke, penyakit jantung)

E : Ensefalitis (dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik atau sepsis

yang mungkin melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan)

M : Metabolik (hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, dan koma hepatikum)

E : Elektrolit (diare dan muntah)

N : Neoplasma (tumor otak baik primer ataupun metastasis)

I : Intoksikasi (berbagai macam obat atau bahan kimia)

T :Trauma (terutama trauma kapitis : kontusio, komosio, perdarahan epidural,

perdarahan subdural, dan dapat pula trauma andomen dan dada)

E : Epilepsi (pasca serangan grand mal atau pada status epileptikus)

3. PATOFISIOLOGI

Gangguan kesadaran dapat dibagi dua :

1.Gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran.

2.Gangguan isi (kualitas, awareness, alertness) kesadaran.

Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri termasuk

ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas), dengan ascending reticular activating system

(ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian atas pons. ARAS menerima

serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris dan melalui thalamic relay nuclei

dipancarkan secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on

switch, untuk menjaga korteks serebri tetap sadar (awake). Maka apapun yang dapat

mengganggu interaksi ini, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan

mengakibatkan menurunnya kesadaran.

Karena ARAS terletak sebagian di atas tentorium serebeli dan sebagian lagi di

bawahnya, maka ada tiga mekanisme patofisiologi timbulnya koma :

1. Lesi supratentorial,

2. Lesi subtentorial,

3. Proses metabolik.

Koma supratentorial

1) Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri, sedang batang otak tetap

normal. Ini disebabkan proses metabolik.

2) Lesi struktural supratentorial (hemisfer). Adanya massa yang mengambil tempat di

dalam cranium (hemisfer serebri) beserta edema sekitarnya misalnya tumor otak,

abses dan hematom mengakibatkan dorongan dan pergeseran struktur di sekitarnya;

terjadilah :

1. Hemiasi girus singuli,

2. Hemiasi transtentorial sentral,

3. Herniasi unkus.

1.Herniasi girus singuli

Hemiasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah kontralateral menyebabkan tekanan

pada pembuluh darah serta jaringan otak, mengakibatkan iskemi dan edema.

2.Herniasi transtentorial/sentral

Hemiasi transtentorial atau sentral adalah basil akhir dari proses desak ruang

rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan nukli basalis; secara berurutan mereka

menekan diensefalon, mesensefalon, pons dan medula oblongata melalui celah

tentorium.

3)Herniasi unkus atau tentorial herniation

Hemiasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa kranii media atau lobus

temporalis; lobus temporalis mendesak unkus dan girus hipokampus ke arah garis tengah

dan ke atas tepi bebas tentorium; akhirnya menekan n.Ifi.di mesensefalon ipsilateral,

kemudian bagian lateral mesensefalon dan seluruh mesensefalon.

Koma infratentorial

Ada dua macam lesi infratentorial yang menyebabkan koma.

1) Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/serta merusak

pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat iskemi, perdarahan dan nekrosis.

Misalnya pads stroke, tumor, cedera kepala dan sebagainya.

2) Proses di luar batang otak yang menekan ARAS.

a. Langsung menekan pons.

b. Hemiasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melaluicelah tentorium dan

menekan tegmentum mesensefalon.

c. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnumdan menekan medula

oblongata. Dapat disebabkan oleh tumor serebelum, perdarahan serebelum dan

sebagainya.

Koma metabolik

Proses metabolik melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri. Koma disebabkan

kegagalan difus dari metabolisme sel saraf.

1) Ensefalopati metabolik primer.

Penyakitdegenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya metabolisme sel saraf

dan glia. Misalnya penyakit Alzheimer.

2) Ensefalopati metabolik sekunder.

Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak, yang

mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan elektrolit ataupun

keracunan.

Pada koma metabolik ini biasanya ditandai gangguan sistim motorik simetris dan tetap

utuhnya refleks pupil (kecuali pasien mempergunakan glutethimide atau atropin), juga

utuhnya gerakan-gerakan ekstraokuler (kecuali pasien mempergunakan barbiturat).

4. PEMERIKSAAN PASIEN KOMA

Tujuan pemeriksaan pasien koma adalah untuk menentukan letak proses patologi, apakah di

hemisfer, batang otak atau dikeduanya, dan penyebabnya.

Anamnesis sangat penting tapi jarang bisa didapat.

Penyebab koma seringkali dapat ditentukan melalui anamnesis perjalanan penyakit

melalui keluarga, teman, personel ambulan, atau orang lain yang terakhir kontak dengan

pasien dengan menanyakan :

1. Kejadian terakhir

2. Trauma

3. Riwayat medis pasien

4. Riwayat psikiatrik

5. Obat-obatatan

6. Penyalah gunaan obat-obatan atau alkohol

Pemeriksaan fisik

Dengan atau tanpa anamnesis, petunjuk penyebab koma dapat juga ditegakkan melalui

pemeriksaan fisik :

a. Tanda vital : hipertensi yang berat dapat disebabkan oleh lesi intrakranial dengan

peningkatan TIK atau ensefalopati karena hipertensi.

b. Kulit : tanda eksternal dari trauma, neddle track, rash, cherry redness ( keracunan

CO), atau kuning

c. Nafas : alkohol, aseton, atau fetor hepaticus dapat menjadi petunjuk

d. Kepala : tanda fraktur, hematoma, dan laserasi

e. THT : otorea atau rhinorea CSF, hemotimpanum terjadi karena robeknya

duramater pada fraktur tengkorak, tanda gigitan pada lidah menandakan serangan

f. kejang.

g. Leher (jangan manipulasi bila ada kecurigaan fraktur dari cervival spine) :

kekakuan disebabkan oleh meningitis atau perdarahan subarakhnoid.

h. Pemeriksaan neurologis : untuk menentukan dalamnya koma dan lokalisasi dari

penyebab koma.

Pemeriksaan saraf

1. Observasi, posisi tidur : alamiah atau posisi tertentu.

Menguap, menelan, berarti batang otak masih utuh. Mata terbuka dan rahang

tergantung (mulut terbuka) berarti gangguan kesadaran berat.

2. Derajat kesadaran ditentukan dengan SKG.

3. Pola pemafasan.

a. Cheyne-Stokes dan central hyperventilation dapat dilihat pada gangguan

metabolik dan lesi struktural di beraneka ragam tempat di otak dan tidak dapat

menunjukkan tingkat anatomi lesi yang menyebabkan koma.

b. Ataxia dan

gasping paling

sering dilihat

pada lesi

pontomeduler.

c. Apneustic

breathing : kerusakan pons

d. Cluster breathing : kerusakan pons dan cerebelar

e. Depressed, pola pernafasan tidak efektif, dangkal dan lambat disebabkan oleh

lesi medula oblongata, atau diakibatkan obat-obatan.

4. Posisi kepala dan mata. Pada lesi hemisfer, kepala dan kedua mata melirik ke arah

lesi dan menjauh dari hemiparesis, lesi di pons kebalikannya. Pada Iesi di talamus

dan mesensefalon bagian atas, kedua mata melirik ke arah hidung.

5. Funduskopi.

Papil edema menandakan peninggian tekanan intrakranial. Perdarahan subhyaloid,

biasanya menandakan rupture aneurisma atau malformasi arteriovena.

6. Pupil.

Diperhatikan besar, bentuk dan refleks cahaya direk dan indirek.

a) Midposition (3--5 mm) dan refleks cahaya negatif -- kerusakan mesensefalon

(pusat refleks pupil di mesensefalon).

b) Refleks pupil normal, refleks kornea dan gerakan bola mata tidak ada -- koma

metabolik dan obat-obatan seperti barbiturat.

c) Dilatasi pupil unilateral dan refleks cahaya negatif menandakan penekanan n.I1I

oleh hernia unkus lobus temporalis serebri. Kedua pupil dilatasi dan refleks

cahaya negatif bisa juga oleh anoksi, keracunan atropin dan glutethimide.

d) Pupil kecil dan refleks cahaya positif disebabkan kerusakan pons seperti infark

atau perdarahan. Opiat dan pilokarpin juga menyebabkan pinpoint pupil dan

refleks cahaya positif. Bila dengan rangsang nyeri pads kuduk pupil berdilatasi,

berarti bagian bawah batang otak masih utuh.

7. Gerakan bola mata.

Khas untuk lesi batang otak.

a. Gerakan bola mata spontan.

1. Pada koma metabolik, kedua mata bergerak spontan dan lambat dari satu

sisi ke sisi lainnya. Ini berarti batang otak masih utuh.

2. Retractory nystagmus-- ciri kerusakan tegmentum mesensefalon.

3. Convergence nystagmus -- ciri kerusakan mesensefalon.

4. Ocular bobbing -- ciri kerusakan caudal pontin.

5. Nystagmoid jerking of a single eye -- ciri kerusakan midpontine-lower

pontine.

6. Seesaw nystagmus-- ciri lesi di regio ventrikel III dan bukan di batang otak.

Gejala tersebut dapat menunjukkan lokasi lesi structural penyebab koma.

b. Gerakan bola mata refleks.

Tes-tes yang lazim dilakukan :

1. Doll’s head maneuver (refleks okulosefalik).

Bila refleks ini tidak normal, berarti ada lesi struktural ditingkat

mesensefalon-pons. Obat-obat ototoksik atau barbiturate dapat

menghalangi refleks ini.

2. Tes kalori (refleks okulovestibular).

Bila kedua mata melirik ke arah telinga yang diirigasi air dingin, berarti

batang otak masih utuh; bila kedua mata tidak bergerak/tidak simetris

berarti kerusakan struktural mesensefalon-pons. Obat-obat ototoksik

dapat menghalangi refleks ini.

c. Gerakan bola mata saat istirahat.

i. Deviasi gaze menjauhi sisi yang hemiparesis menandakan suatu lesi

hemisper kontralateral dari sisi yang hemiparesis

ii. Deviasi gaze ke arah sisi yang hemiparesis menunjukkan :

1. lesi di pons kontralateral hemiparesis

2. lesi di thalamus kontralateral dari hemiparesis

3. aktivitas kejang pada hemisfer kontralateral dari hemiparesis

iii. Deviasi mata kearah bawah menandakan suatu lesi di tectum dari

midbrain, disertai dengan gangguan reaktifitas pupil dan nistagmus

refrakter dikenal sebagai sindroma parinoud

iv. Slow roving eye movement yang dapat konjugasi atau diskonjugae tidak

menunjukkan lokalisasi lesi yang berarti, berhubungan dengan disfungsi

hemisfer bilateral dan aktifnya refleks okulosefalik

v. Occular bobbing, yaitu terdapat reaksi cepat dari pergerakan bola mata ke

arah bawah yang kembali ke posisi semula dengan lambat menunjukkan

kerusakan bilateral dari pusat gaze horisontal pada pons.

vi. Saccadic eye movement tidak terlihat pada pasien koma dan menunjukkan

suatu psikogenik unresponsive.

8. Refleks muntah : dapat dilakukan dengan memanipulasi endotrakheal tube.

9. Refleks kornea : menandakan intaknya batang otak setinggi CN 5( aferen) dan CN 7

(eferen)

10. Respons motoris.

a) Spontan.

1. Kejang, kejang fokal mempunyai arti lokasi dari proses patologi struktural.

Kejang umum tidak mempunyai arti lokasi. Kejang multifokal berarti koma

disebabkan proses metabolik.

2. Myoclonic jerk dan asterixis (flapping tremor) berartiensefalopati metabolik.

b) Gerakan-gerakan refleks.

Ditimbulkan dengan rangsang nyeri (penekanan supraorbita).

1. Gerakan dekortikasi -- fleksi dan aduksi lengan dan ekstensi tungkai. Bisa

simetris, bisa tidak. Ini artinya lesi hemisfer difus atau persis di batas

dengan mesensefalon. (nilai 3 pada respons motorik SKG).

2. Gerakan deserebrasi -- ekstensi, aduksi dan rotasi interns lengan dan

ekstensi tungkai. (nilai 2 pada respons motorik SKG).

11. Respon sensoris : respons asimetris dari stimulasi menandakan suatu lateralisasi

defisit sensoris.

12. Refleks :

a. Refleks tendon dalam : bila asimetris menunjukkan lateralisasi defisit motoris

yang disebabkan lesi struktural

b. Refleks plantar : respon bilateral Babinski’s menunjukkan coma akibat

struktural atau metabolik.

Pemeriksaan Laboratorium

Digunakan untuk mengidentifikasi penyebab ketidaksadaran yang mencakup tes glukosa

darah, elektrolit, amonia serum, nitrogen urea darah (BUN), osmolalitas, kalsium, masa

pembekuan, kandungan keton serum, alkohol, obat-obatan dan analisa gas darah arteri.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Karena pentingnya penentuan diagnosis yang cepat pada etiologi pasien dengan koma

karena dapat mengancam nyawa, maka pemeriksaan penunjang harus segera dilakukan dalam

membantu penegakkan diagnosis, yaitu antara lain :

1. CT atau MRI scan Kepala : pemberian kontras diberikan apabila kita curigai

terdapat tumor atau abses. Dan mintakan print out dari bone window pada

kejadian trauma kepala

2. Punksi Lumbal : dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,

encephalitis, atau perdarahan subarachnoid bila diagnosis tidak dapat

ditegakkan melalui CT atau MRI kepala.

3. EEG : bisa saja diperlukan pada kasus serangan epileptik tanpa status kejang,

keadaan post ictal, koma metabolik bila diagnosis tidak ditegakkan melalui

pemeriksaan CT dan LP.

6. KEADAAN-KEADAAN PSEUDOCOMA

1. Psychogenic unresponsiveness.

Pasien kelihatannya tidak ada reaksi, tapi pads pemeriksaan saraf tidak dijumpai

kelainan.

2. The locked-in syndrome.

Lesi di basis pons akibat infark batang otak yang memutus jaras kortikobulbar dan

kortikospinal, tapi jaras yang mengatur kedip mata dan gerakan bola mata vertikal, juga

ARAS tetap utuh. Pasien sanggup berkomunikasi dengan kedipan mata(awake dan

alert).

3. Persistent vegetative state.

Koma akibat hipoksifiskemi/lesi struktural, setelah 2—4 minggu kembali wakeful tapi

tidak aware. Membuka mata spontan. EEG kembali normal, batang otak dan otonom

berfungsi normal. Keadaan ini dapat menetap bertahun-tahun.

Ciri-ciri diagnostik

Koma metabolik :

- Refleks pupil dan gerakan bola mata baik.

- Pernafasan depressed atau Cheyne-Stokes.

- Anggota gerak hipotonus/refleks simetris.

Hemiasi :

- Hemiparesis dan papil edema.

- Bertahap hilangnya fungsi n.I1I atau ada ciri-ciri kerusakan batang otak.

Lesi (lokal) batang otak :

- Gangguan pergerakan bola mata dan tetraplegia sejak permulaan.

Keadaan pseudokoma harus kita curigai bila semua pemeriksaan diagnostik telah kita

lakukan dan masih tidak dapat menegakkan diagnosis penyebab dari koma tersebut.

Diantaranya yaitu :

1. Koma psikogenik

2. Locked in syndrome : kerusakan pons bilateral

3. Mutism akinetik : kerusakan pada frontal dan thalamus

7. TATA LAKSANA

 Prinsip pengobatan kesadaran dilakukan dengan cepat, tepat dan akurat, pengobatan

dilakukan bersamaan dalam saat pemeriksaan. Pengobatan meliputi dua komponen utama

yaitu umum dan khusus.

II.6.1 Umum

Tidurkan pasien dengan posisi lateral dekubitus dengan leher sedikit ekstensi

bila tidak ada kontraindikasi seperti fraktur servikal dan tekanan intrakranial

yang meningkat.

Posisi trendelenburg baik sekali untuk mengeluarkan cairan trakeobronkhial,

pastikan jalan nafas lapang, keluarkan gigi palsu jika ada, lakukan suction di

daerah nasofaring jika diduga ada cairan.

Lakukan imobilisasi jika diduga ada trauma servikal, pasang infus sesuai

dengan kebutuhan bersamaan dengan sampel darah.

Pasang monitoring jantung jika tersedia bersamaan dengan melakukan

elektrokardiogram (EKG).

Pasang nasogastric tube, keluarkan isi cairan lambung untuk mencegah

aspirasi, lakukan bilas lambung jika diduga ada intoksikasi. Berikan tiamin

100 mg iv, berikan destrosan 100 mg/kgbb. Jika dicurigai adanya overdosis

opium/ morfin, berikan nalokson 0,01 mg/kgbb setiap 5-10 menit sampai

kesadaran pulih (maksimal 2 mg).

II.6.2 Khusus

- Pada herniasi

Pasang ventilator lakukan hiperventilasi dengan target PCO2: 25- 30

mmHg.

Berikan manitol 20% dengan dosis 1-2 gr/ kgbb atau 100 gr iv. Selama 10-

20 menit kemudian dilanjutkan 0,25-0,5 gr/kgbb atau 25 gr setiap 6 jam.

Edema serebri karena tumor atau abses dapat diberikan deksametason 10

mg iv lanjutkan 4-6 mg setiap 6 jam.

Jika pada CT scan kepala ditemukan adanya CT yang operabel seperti

epidural hematom, konsul bedah saraf untuk operasi dekompresi.

- Pengobatan khusus tanpa herniasi

Ulang pemeriksaan neurologi yang lebih teliti.

Jika pada CT scan tak ditemukan kelainan, lanjutkan dengan pemeriksaan

pungsi lumbal (LP). Jika LP positif adanya infeksi berikan antibiotik yang

sesuai. Jika LP positif adanya perdarahan terapi sesuai dengan pengobatan

perdarahan subarakhnoid.

PENGELOLAAN PASIEN KOMA

1. Penanganan emergensi dekompresi pada lesi desak ruang (space occupying lesions /

SOL ) dapat menyelamatkan nyawa pasien.

2. Bila terjadi suatu peningkatan TIK, berikut adalah penanganan pertamanya :

a. Elevasi kepala

b. Intubasi dan hiperventilasi

c. Sedasi jika terjadi agitasi yang berat  ( midazolam 1 – 2 mg iv )

d. Diuresis osmotik dengan manitol 20% 1 g/kg BB iv

e. Dexametason 10 mg iv tiap 6 jam pada kasus edema serebri oleh tumor atau

abses setelah terapi ini monitor ICP harus dipasang.

3. Kasus encephalitis yang dicurigai oleh infeksi virus herpes dapat diberikan acyclovir

10 mg/kg iv tiap 8 jam

4. Kasus meningitis lakukan terapi secara empiris. Lindungi pasien dengan ceftriaxon

2x1 g iv dan ampicillin 4x1 g iv sambil menunggu hasil kultur

Terapi Umum

1. Proteksi jalan nafas : adekuat oksigenasi dan ventilasi

2. Hidrasi intravena : gunakan normal saline pada pasien dengan edema serebri atau

peningkatan TIK

3. Nutrisi : lakukan pemberian asupan nutrisi via enteral dengan nasoduodenal tube,

hindari penggunaan naso gastrik tube karena adanya ancaman aspirasi dan refluks

4. Kulit : hindari dekubitus dengan miring kanan dan kiri tiap 1 hingga 2 jam, dan

gunakan matras yang dapat dikembangkan dengan angin dan pelindung tumit

5. Mata : hindari abrasi kornea dengan penggunaan lubrikan atau tutup mata dengan

plester

6. Perawatan bowel : hindari konstipasi dengan pelunak feses (docusate sodium 100 mg

3x1 ) dan pemberian ranitidin 50 mg iv tiap 8 jam untuk menghindari stress ulcer

akibat pemberian steroid dan intubasi

7. Perawatan bladder : indwelling cateter urin dan intermiten kateter tiap 6 jam

8. Mobilitas joint : latihan pasif ROM untuk menghindari kontraktur

9. Profilaksis deep vein trombosis (DVT) : pemberian 5000 iu sc tiap 12 jam,

penggunaan stoking kompresi pneumatik, atau kedua-duanya

Hal yang perlu Dipikirkan

Dalam menangani pasien dalam keadaan stupor dan koma untuk pertama kali ada beberapa

pertanyaan dalam benak kita sebagai pertimbangan yaitu :

1. Bagaimana tanda vital dari pasien tersebut ?

2. Apakah jalan napas baik ?

Pasien stupor dan koma beresiko tinggi untuk terjadinya aspirasi, yang disebabkan

karena hilangnya refleks batuk dan muntah, hipoksia, yang terjadi karena hilangnya

kemampuan bernafas. Pemasangan endotracheal tube (ETT) dengan intubasi

merupakan cara yang paling efektif untuk menjaga jalan nafas baik dan oksigenasi

yang adekuat.

Bila pasien dalam keadaan koma yang dalam atau adanya tanda gangguan respirasi

lebih baik kita memanggil dokter Anestesi untuk melakukan intubasi. Pada pasien

stupor dengan pernafasan yang normal dapat kita berikan 100 % oksigen dengan

face mask sampai hipoksemia tidak kita temukan.

3. Apakah ada riwayat trauma, pemakaian obat-obatan, atau terpapar oleh toksin ?

Lakukan deskripsi pasien dengan cepat mengenai riwayat penyakit sekarang dan

dahulu baik medis maupun neurologis.

4. Adakah orang yang dapat ditanyakan tentang keadaan pasien sebelumnya ?

Orang tua, kerabat, teman, personil ambulance, atau orang lain yang terakhir kali

kontak dan mengetahui keadaan pasien sebaiknya kita suruh tunggu untuk

menanyakan keadaan pasien sebelum kejadian.  

Setelah keadaan umum pasien kita dapat langkah selanjutnya adalah memberikan terapi

emergensi dan melakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan, antara lain :

1. Konsultasi ke anestesiologis bila diperlukan intubasi atau lakukan intubasi bila

telah mendapat pelatihan dari Advance Trauma Life Support (ATLS)  ataupun

Advance Cardiac Life Support (ACLS).

2. Pasang jalur intrravena (iv line)

3. Lakukan pemeriksaan kadar gula sewaktu dengan glucose stick. Hal ini harus

dilakukan secepatnya, karena hipoglikemia merupakan kasus yang dapat

ditangani secara cepat sebagai penyebab stupor atau koma yang dapat disertai

keadaan lain seperti sepsis, henti jantung, atau trauma)

4. Lakukan pemeriksaan darah antara lain :

Kimia darah ( glukosa darah sewaktu, elektrolit, BUN/ureum,

kreatinin)

Hitung darah lengkap

Analisa gas darah

Kalsium dan magnesium

Protrombin time (PT)/ partial thromboplastin time (PTT)

5. Bila etiologi dari koma tidak jelas lakukan pemeriksaan skrining toksikologi, tes

fungsi tiroid, fungsi hepar, kortisol serum, dan kadar ammonia.

6. Lakukan pemasangan folley catheter

7. Lakukan pemeriksaan urinalisa, elektrokardiogram (EKG) dan rontgen thoraks.

8. Berikan terapi emergensi. Hal ini dapat diberikan ’dilapangan’ atau bila etiologi

dari penyebab koma tidak jelas. Diantaranya :

Thiamin 100 mg iv ( dimana pemberian tiamin dapat mengembalikan pasien

dari koma yang disebakan karena defisiensi thiamin akut (Wernicke

ensefalopati). Harus diberikan sebelum pemberian dekstrose karena

hiperglikemi dapat menyebabkan konsumsi thiamin yang berlebihan dan

memperburuk keadaan pasien.

50 % dekstrose 50 ml (1 ampul) iv

Naloxone (Narcan) 0.4 – 0.8 mg iv, pada keadaan koma yang disebabkan

intoksikasi opiat. Dosis dapat diberikan sampai 10 mg.

Flumazenil (Romazicon) 0.2 – 1.0 mg iv, diberikan pada pasien yang koma

dicurigai karena intoksikasi benzodiazepin. Dosis dapat diberikan hingga 3

mg dan jangan diberikan bila telah terjadi kejang pada pasien, karena

flumazenil ini dapat menimbulkan kejang.

Perawatan lanjutan (nursing care) :

1. Mempertahankan fungsi sistim kardiovaskular adekuat.

2. Mempertahankan fungsi sistim pernafasan adekuat.

3. Posisi dan kulit, ubah posisi tiap 1-2 jam.

4. Makanan dimulai dengan makanan IV, kemudian bila situasi telah stabil atau

koma 2-3 hari, baru dimulai tube feeding.

5. Perawatan bowel, mencegah diare; sering memeriksa rektum.

6. Perawatan kandung kemih, three-way catheter dipasang menetap, suing diirigasi,

clamp buka tiap 3-4 jam.

Penanggulangan edema serebri dan peninggian tekanan intrakranial

Sejumlah proses (trauma, perdarahan, infark, tumor dan sebagainya) akan

mengakibatkan edema serebri yang meninggikan tekanan intrakranial dan menyebabkan

herniasi jaringan otak. Dalam banyak hal, bertambah buruknya keadaan disebabkan edema

serebri dan edema ini kemungkinan besar adalah reversibel.

Pengobatan edema serebri merupakan tindakan penyelamatan hidup, sampai dicapainya

pengobatan yang mengoreksi proses patologi spesifik.

1. Hindari cairan hipotonik.

2. Hiperventilasi.

3. Mannitol 20% dosis 1.0 gr/kg IV dihabiskan dalam waktu 10-30 menit. Diulang

12 jam kemudian. Pemberian lebih dua kali kurang efektif. Efek antiedema

serebrinya segera dan berakhir setelah beberapa jam.

4. Steroid, dexamethason dosis 10-100 mg IV dan kemudian 4 mg IV tiap 6 jam.

Efek antiedema serebrinya dimulai dalam 4-6 jam dan maksimal pada 24 jam.

8. KOMPLIKASI

Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien tidak sadar meliputi gangguan

pernapasan, pneumonia, dekubitus dan aspirasi. Gagal pernafasan dapat terjadi dengan cepat

setelah pasien tidak sadar. Penumonia umumnya terlihat pada pasien yang menggunakan

ventilator atau mereka yang tidak dapat untuk mempertahankan bersihan jalan napas.

Dekubitus, pasien tidak sadar tidak mampu untuk bergerak atau membalikkan tubuh, hal ini

menyebabkan dalam tetap pada posisi yang terbatas. Keadaan ini akan mengalami infeksi

dan merupakan sumber sepsis. Aspirasi isi lambung atau makanan dapat terjadi, yang

mencetuskan terjadinya pneumonia atau sumbatan jalan nafas.

9. PROGNOSIS

Dampak koma adalah dibutuhkannya perawatan jangka panjang. Vegetative state

persisten memiliki prognosis yang buruk, prognosis lebih baik dapat terjadi pada kelompok

anak-anak dan remaja. Koma metabolik memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan

dengan koma traumatik. Segala pendapat mengenai prognosis pada orang dewasa, sebaiknya

hanya berupa perkiraan, dana keputusana medis seharusnya disesuaikan dengan faktor-

faktor seperti usia, penyakit sistemik yang ada, dan kondisi medik secara keseluruhan.

Informasi prognosis dari banyak pasien dengan luka di kepala, dapat dilakukan dengan GCS.

Secara empiris, pengukuran ini dapat memprediksi trauma otak. Hilangnya gelombang

kortikol pada potensi terjadi somata sensori merpakana infikator prognosis koma yang

buruk.

BAB III

KESIMPULAN

Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan neurologi yang

menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai “final common pathway” dari

gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak

dengan akibat kematian. Penurunan kesadaran dapat ditentukan secara kualitatif dan

kuantitatif. Penurunan kesadaran disebabkan oleh kelainan metabolik dan struktural yang

mempengaruhi korteks dan ARAS. Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan fisik neurologis dan pemeriksaan penunjang. Adapun

tatalaksana pada pasien dengan penurunan kesadaran terdiri atas tatalaksana umum dan

khusus.