referat kolesteatom

52
BAB I PENDAHULUAN Kolesteatom (kadang disebut keratoma) adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega, berwarna putih, terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah mengalami nekrotik. (1,2) Kolesteatoma pertama kali dijelaskan pada tahun 1829 oleh Cruveilhier, tetapi dinamakan pertama kali oleh Muller pada tahun 1858. Sepanjang pertengahan awal abad ke-20, kolesteatoma dikelola dengan eksteriorasi. Sel pneumatisasi mastoid dieksenterasi, dinding posterior kanalis akustikus eksternus dihilangkan, dan membuka saluran telinga sehingga menghasilkan rongga yang diperbesar untuk menjamin pertukaran udara yang memadai dan untuk memudahkan melakukan inspeksi visual. (2) Kolesteatom merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman, yang paling sering adalah proteus dan pseudomonas. Hal ini akan memicu respon imun local sehingga akan mencetuskan pelepasan mediator inflamasi dan sitokin. Sitokin yang dapat ditemui dalam matrik kolesteatom adalah interleukin-1,interleukin-6, tumor necrosis factor- a,dan transforming growth factor. (1,2) Insiden kolesteatom sampai saat ini belum diketahui namun, data restrospektif menunjukkan insiden tahunan rata – rata 9,2 kasus per 100.000 orang dari segala usia (kisaran 3,7 – 13,9). Biasanya puncak kejadian terjadi pada rentang usia 5-15 tahun, 1

Upload: ryzha

Post on 14-Jul-2016

248 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

kolesteatom

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Kolesteatom (kadang disebut keratoma) adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti

mentega, berwarna putih, terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah mengalami nekrotik.(1,2)

Kolesteatoma pertama kali dijelaskan pada tahun 1829 oleh Cruveilhier, tetapi

dinamakan pertama kali oleh Muller pada tahun 1858. Sepanjang pertengahan awal abad ke-20,

kolesteatoma dikelola dengan eksteriorasi. Sel pneumatisasi mastoid dieksenterasi, dinding

posterior kanalis akustikus eksternus dihilangkan, dan membuka saluran telinga sehingga

menghasilkan rongga yang diperbesar untuk menjamin pertukaran udara yang memadai dan

untuk memudahkan melakukan inspeksi visual.(2)

Kolesteatom merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman, yang paling sering

adalah proteus dan pseudomonas. Hal ini akan memicu respon imun local sehingga akan

mencetuskan pelepasan mediator inflamasi dan sitokin. Sitokin yang dapat ditemui dalam matrik

kolesteatom adalah interleukin-1,interleukin-6, tumor necrosis factor-a,dan transforming growth

factor.(1,2)

Insiden kolesteatom sampai saat ini belum diketahui namun, data restrospektif

menunjukkan insiden tahunan rata – rata 9,2 kasus per 100.000 orang dari segala usia (kisaran

3,7 – 13,9). Biasanya puncak kejadian terjadi pada rentang usia 5-15 tahun, tetapi kolesteatom

dapat muncul dalam setiap kelompok usia serta insiden ini dilaporkan lebih tinggi pada kulit

putih daripada populasi kulit hitam.(2)

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TELINGA

Anatomi dan fisiologi telinga adalah modal untuk memahami fungsi, dan tentunya

patologi dan pengobatan telinga. Telinga mengandung bagian vestibulum dari keseimbangan,

namun orientasi kita terhadap lingkungan juga ditentukan oleh kedua mata kita dan alat perasa

pada tendon dalam. Jadi telinga adalah organ pendengaran dan keseimbangan.(3)

Secara anatomi, telinga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah, dan,

dalam.(4)

Gambar 1. Anatomi Telinga(2)

2.1.1 Telinga Luar

Telinga luar atau pinna (aurikula = daun telinga) merupakan gabungan dari rawan yang

diliputi kulit. Bentuk rawan ini unik dan dalam merawat trauma telinga luar harus diusahakan

untuk mempertahankan bangunan ini. Kulit dapat terlepas dari rawan di bawahnya oleh hematom

atau pus, dan rawan yang nekrosis dapat menimbulkan deformitas kosmetik pada pinna (telinga

kembang kol).(4)

Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun

telinga terdiri tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka

2

tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri

dari tulang serta memiliki panjang kira-kira 2 ½ - 3 cm. Pada sepertiga bagian luar kulit liang

telinga terdapat banyak serumen (kelenjar keringat) dan rambut dimana kelenjar keringat

terdapat pada seluruh kulit liang telinga dan pada duapertiga bagian dalam hanya sedikit

dijumpai kelenjar serumen. Seringkali ada penyempitan liang telinga pada perbatasan tulang dan

rawan ini. Sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis terletak di depan terhadap liang

telinga sementara prosesus mastoideus terletak di belakangnya. Saraf fasialis meninggalkan

foramen stilomastoideus dan berjalan ke lateral menuju foramen stiloideus di posteroinferor

liang telinga, dan kemudian berjalan di bawah liang telinga untuk memasuki kelenjar parotis.

Rawan liang telinga merupakan salah satu patokan pembedahan yang digunakan untuk mencari

saraf fasialis; patokan lainnya adalah sutura timpanomastoideus.(4,5)

2.1.2 Telinga Tengah

Telinga tengah yang berisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu kotak dengan enam

sisi. Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding anterior sehingga kotak tersebut berbentuk

baji. Promontorium pada dinding medial meluas ke lateral ke arah umbo dari membrana timpani

sehingga kotak tersebut lebih sempit pada bagian tengah.(3,5)

Dinding superior telinga tengah berbatasan dengan lantai fosa kranii media. Pada bagian

atas dinding posterior terdapat aditus ad antrum tulang mastoid dan di bawahnya adalah saraf

fasialis. Otot stapedius timbul pada daerah saraf fasialis dan tendonnya menembus melalui suatu

piramid tulang menuju ke leher stapes. Saraf korda timpani timbul dari saraf fasialis di bawah

stapedius dan berjalan ke lateral depan menuju inkus teapi di medial maleus, untuk keluar dari

telinga tengah lewat sutura petrotimpanika. Korda timpani kemudian bergabung dengan saraf

lingualis dan menghantarkan serabut-serabut sekretomotorik ke ganglion submandibularis dan

serabut-serabut pengecap dari dua pertiga anterior lidah.(4)

Dasar telinga tengah adalah atap bulbus jugularis yang di sebelah superolateral menjadi

sinus sigmoideus dan lebih ke tengah menjadi sinus transversus. Keduanya adalah aliran vena

utama rongga tengkorak. Cabang aurikularis saraf vagus masuk ke telinga tengah dari dasarnya.

Bagian bawah dinding anterior adalah kanalis karotikus. Di atas kanalis ini, muara tuba eustakius

dan otot tensor timpani yang menempati daerah superior tuba kemudian membalik, melingkari

prosesus kokleariformis dan berinsersi pada leher maleus.(4,5)

3

Dinding lateral dari telinga tengah adalah dinding tulang epitimpanum di bagian atas,

membran timpani, dan dinding tulang hipotimpanum di bagian bawah.(5)

Bangunan yang paling menonjol pada dinding medial adalah promontorium yang

menutup lingkaran koklea yang pertama. Saraf timpanikus berjalan melintas prmontorium ini.

fenestra rotundum terletak di posteroinferior dari promontorium, sedangkan kaki stapes terletak

pada fenestra ovale pada batas posterosuperior promontorium. Kanalis falopii bertulang yang

dilalui saraf fasialis terletak di atas fenestra ovalis mulai dari prosesus kokleariformis di anterior

hingga piramid stapedius di posterior.(3,5)

Rongga mastoid berbentuk seperti piramid bersisi tiga dengan puncak mengarah ke

kaudal. Atap mastoid adalah fossa kranii media, dinding medial adalah dinding lateral fossa

kranii posterior. Sinus sigmoideus terletak di bawah duramater pada daerah ini. Pada dinding

anterior mastoid terdapat aditus ad antrum. Tonjolan kanalis semisirkularis menonjol ke dalam

antrum. Di bawah ke dua patokan ini berjalan saraf fasialis dalam kanalis tulangnya untuk keluar

dari tulang temporal melalui foramen stilomastoideus di ujung anterior krista yang dibentuk oleh

insersio otot digastrikus. Dinding lateral mastoid adalah tulang subkutan yang dengan mudah

dapat dipalpasi di posterior aurikula.(3,5)

Membran timpani atau gendang telinga adalah suatu bangunan berbentuk kerucut dengan

puncaknya, umbo, mengarah ke medial. Membran timpani umumnya bulat. Penting untuk

disadari bahwa bagian dari rongga telinga tengah yaitu epitimpanum yang mengandung korpus

maleus dan unkus, meluas melampaui batas atas membran timpani, dan bawah ada

hipotimpanum yang meluas melampaui batas bawah membran timpani. Membran timpani

tersusun oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar, lapisan fibrosa di bagian tengah di mana

tangkai maleus dilekatkan, dan lapisan mukosa bagian dalam. Lapisan fibrosa tidak terdapat di

atas prosesus lateralis maleus dan ini menyebabkan bagian membrana timpani yang disebut

membrana Shrapnell menjadi lemas (flaksid).(3)

Gambar 2. Membran Timpani(3)

2.1.3 Tuba Eustakius

4

Tuba eustakius menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring. Bagian lateral

tuba eustakius adalah yang bertulang sementara duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa.

Origo otot tensor timpani terletak di sebelah atas bagian bertulang sementara kanalis karotikus

terletak di bagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar tengkorak untuk

masuk ke faring di atas otot konstriktor superior. Bagian ini biasanya tertutup tapi dapat dibuka

melalui otot levator palatinum dan tensor palatinum yang masing-masing disarafi pleksus

faringealis dan saraf mandibularis. Tuba eustakius berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan

udara pada kedua sisi membran timpani.(4,5)

2.1.4 Telinga Dalam

Bentuk telinga dalam sedemikian kompleksnya sehingga disebut sebagai labirin. Derivat

vesikel otika membentuk suatu rongga tertutup, yaitu labirin membran yang terisi endolimfe,

satu-satunya cairan ekstraseluler dalam tubuh yang tinggi kalium dan rendah natrium. Labirin

membran dikelilingi oleh cairan perilimfe (tinggi natrium, rendah kalium) yang terdapat dalam

kapsula otika bertulang. Labirin tulang dan membran memiliki bagian vestibular dan bagian

koklear. Bagian vestibularis (pars superior) berhubungan dengan keseimbangan, sementara

bagian koklearis (pars inferior) merupakan organ pendengaran kita.(3,5)

Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua setengah putaran dan vestibularis yang

terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularisi. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiulus,

berisi berkas saraf dan suplai arteri dari arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan

menerobos suatu lamina tulang, yaitu lamina spiralis oseus untuk mencapai sel-sel sensorik

organ Corti. Rongga koklea bertulang dibagi menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis yang

panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe. Bagian atas adalah skala vestibuli, berisi perilimfe dan

dipisahkan dari duktus koklearis oleh membrana Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala

timpani juga mengandung perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina spiralis

oseus dan membrana basalis. Perilimfe pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea spiralis

tepat setelah ujung buntu duktus koklearis melalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema.(4,5)

Terletak di atas membrana basilaris dari basis ke apeks adalah organ Corti, yang

mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Organ Corti

terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3000) dan tiga baris sel rambut luar (12000). Sel-sel ini

menggantung lewat lubang-lubang lengan horizontal dari suatu jungkat-jungkit yang dibentuk

5

oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel rambut.

Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya

yang cenderung datar, bersifat gelatinosa dan aseluler, dikenal sebagai membrana tektoria.

membrana tektoria disekresi dan disokong oleh suatu punggung yang terletak di medial disebut

sebagai limbus.(5)

Bagian vestibulum telinga dalam bentuk dibentuk oleh sakulus, utrikulus dan kanalis

semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang ditutup oleh sel-sel rambut,

yang menutupi sel-sel rambut ini adalah suatu lapisan gelatinosa yang ditembus oleh silia, dan

pada lapisan ini terdapat pula otolit yang mengandung kalsium dan dengan berat jenis yang lebih

besar daripada endolimfe. Karena pengaruh gravitasi, maka gaya dari otolit akan membengkokan

silia sel-sel rambut dan menimbulkan rangsangan pada reseptor.(3)

Gambar 3. Anatomi Telinga Dalam(3)

Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang juga merupakan

suatu saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada bidang yang tegak

lurus terhadap makula sakulus. Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus. Masing-

masing kanalis mempunyai suatu ujung yang melebar membentuk ampula dan mengandung sel-

sel rambut krista. Sel-sel rambut menonjol pada suatu kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe

dalam kanalis semisirkularis akan menggerakan kupula yang selanjutnya akan membengkokkan

silia sel-sel rambut krista dan merangsang sel reseptor.(4)

6

Gambar 4. Koklea(5)

2.2 Fisiologi Telinga

2.2.1 Fungsi Telinga

Telinga luar berfungsi mengumpulkan suara dan mengubahnya menjadi energi getaran

sampai ke gendang telinga. Telinga tengah menghubungkan gendang telinga sampai ke

kanalis semisirkularis yang berisi cairan. Di telinga tengah ini, gelombang getaran yang

dihasilkan tadi diteruskan melewati tulang-tulang pendengaran sampai ke cairan di kanalis

semisirkularis; adanya ligamen antar tulang mengamplifikasi getaran yang dihasilkan dari

gendang telinga.(2-4)

Telinga dalam merupakan tempat ujung-ujung saraf pendengaran yang akan

menghantarkan rangsangan suara tersebut ke pusat pendengaran di otak manusia.(2-4)

a. Konduksi Tulang

Konduksi tulang adalah konduksi energi akustik oleh tulang-tulang tengkorak ke

dalam telinga tengah, sehingga getaran yang terjadi di tulang tengkorak dapat dikenali

oleh telinga manusia sebagai suatu gelombang suara. Jadi segala sesuatu yang

menggetarkan tubuh dan tulang-tulang tengkorak dapat menimbulkan konduksi tulang

ini. Secara umum tekanan suara di udara harus mencapai lebih dari 60 dB untuk

menimbulkan efek konduksi tulang ini. Hal ini perlu diketahui, karena pemakaian sumbat

telinga tidak menghilangkan sumber suara yang berasal dari jalur ini.(4)

7

b. Respon auditorik

Jangkauan tekanan dan frekuensi suara yang dapat diterima oleh telinga manusia

sebagai suatu informasi yang berguna, sangat luas. Suara yang nyaman diterima oleh

telinga kita bervariasi tekanannya sesuai dengan frekuensi suara yang digunakan, namun

suara yang tidak menyenangkan atau yang bahkan menimbulkan nyeri adalah suara-suara

dengan tekanan tinggi, biasanya di atas 120 dB. Ambang pendengaran untuk suara

tertentu adalah tekanan suara minimum yang masih dapat membangkitkan sensasi

auditorik. Nilai ambang tersebut tergantung pada karakteristik suara (dalam hal ini

frekuensi), cara yang digunakan untuk mendengar suara tersebut (melalui earphone,

pengeras suara, dsb), dan pada titik mana suara itu diukur (saat mau masuk ke liang

telinga, di udara terbuka, dsb). Ambang pendengaran minimum (APM) merupakan nilai

ambang tekanan suara yang masih dapat didengar oleh seorang yang masih muda dan

memiliki pendengaran normal, diukur di udara terbuka setinggi kepala pendengar tanpa

adanya pendengar. Nilai ini penting dalam pengukuran di lapangan, karena bising akan

mempengaruhi banyak orang dengan banyak variasi. Pendengaran dengan kedua telinga

lebih rendah 2 sampai 3 dB. Jika seseorang terpajan pada suara di atas nilai kritis tertentu

kemudian dipindahkan dari sumber suara tersebut, maka nilai ambang pendengaran orang

tersebut akan meningkat; dengan kata lain, pendengaran orang tersebut berkurang. Jika

pendengaran kembali normal dalam waktu singkat, maka pergeseran nilai ambang ini

terjadi sementara. Fenomena ini dinamakan kelelahan auditorik.(2,5)

c. Kekuatan suara

Kekuatan suara adalah suatu perasaan subjektif yang dirasakan seseorang sehingga

dia dapat mengatakan kuat atau lemahnya suara yang didengar. Kekuatan suara sangat

dipengaruhi oleh tingkat tekanan suara yang keluar dari stimulus suara, dan juga sedikit

dipengaruhi oleh frekuensi dan bentuk gelombang suara. Pengukuran kekuatan suara

secara umum dapat dilakukan dengan cara : 1) pengukuran subyektif dengan menanyakan

suara yang didengar oleh sekelompok orang yang memiliki pendengaran normal dan

yang dijadikan patokan adalah suara dengan frekuensi murni 1000 Hz, 2). Dengan

menghitung menggunakan pita suara 2 atau 3 band, 3). Mengukur dengan alat yang dapat

menggambarkan respon telinga terhadap suara yang didengar.(2,5)

8

d. Masking

Karakteristik lain yang cukup penting dalam menilai intensitas suara adalah masking.

Masking adalah suatu proses di mana ambang pendengaran seseorang meningkat dengan

adanya suara lain. Suatu suara masking dapat didengar bila nilai ambang suara utama

melampaui juga nilai ambang untuk suara masking tersebut.(2,5)

e. Sensitivitas pendengaran

Kemampuan telinga untuk mengolah informasi akustik sangat tergantung pada

kemampuan untuk mengenali perbedaan yang terjadi pada stimulus akustik. Pemahaman

percakapan dan identifikasi suara-suara tertentu, atau suatu alunan musik tertentu

merupakan suatu proses harmonis di dalam otak manusia yang mengolah informasi

auditorik berdasarkan frekuensi, amplitudo, dan waktu yang didengar untuk masing-

masing rangsangan auditorik tersebut. Perbedaan kecil tekanan suara akan didengar oleh

telinga sebagai kuat atau lemahnya suara. Makin tinggi tekanan udara, makin kecil

perbedaan yang dapat dideteksi oleh telinga manusia. Perbedaan minimum yang dapat

dibedakan pada frekuensi suara yang sama tergantung pada frekuensi suara tersebut, nilai

ambang di atasnya dan durasi.(2,5)

f. Lokalisasi Sumber Bunyi

Telinga mampu melokalisasi sumber suara/bunyi. Kemampuan ini merupakan kerja

sama kedua telinga karena didasarkan atas perbedaan tekanan suara yang diterima oleh

masing-masing telinga, serta perbedaan saat diterimanya gelombang suara di kedua

telinga. Kemampuan telinga untuk membedakan sumber suara yang berjalan horizontal

lebih baik daripada kemampuannya untuk membedakan sumber suara yang vertikal.

Kemampuan ini penting untuk memilih suara yang ingin didengarkan dengan

mengacuhkan suara yang tidak ingin didengarkan.(2,5)

2.2.2 Fisiologi Pendengaran

9

Gambar 5. Fisiologi Pendengaran(5)

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam

bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut

menggetarkan membran timpani diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang

pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan

perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah

diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga

perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang

mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membran basilaris dan

membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya

defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion

bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut,

sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi

pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area

39-40) di lobus temporalis. (2,4)

2.2.3 Fisiologi Keseimbangan

Aparatus vestibularis terdiri dari dua set struktur yang terletak di dalam tulang temporalis

dekat koklea yaitu kanalis semisirkularis dan organ otolit (sakulus dan utrikulus). Fungsi dari

apparatus vestibularis adalah untuk memberikan informasi yang penting untuk sensasi

keseimbangan dan untuk koordinasi gerakan – gerakan kepala dengan gerakan mata dan postur

tubuh.(6,7)

10

Akselerasi atau deselerasi selama rotasi kepala ke segala arah menyebabkan pergerakan

endolimfe sehingga kupula ikut bergerak. Selain itu, adanya akselerasi atau deselerasi juga akan

menimbulkan endolimfe mengalami kelembaman dan tertinggal bergerak ketika kepala mulai

berotasi sehingga endolimfe yang sebidang dengan gerakan kepala akan bergeser ke arah

berlawanan dengan arah gerakan kepala (contoh seperti efek membelok dalam mobil). Hal ini

juga menyebabkan kupula menjadi condong ke arah berlawanan dengan arah gerakan kepala dan

sel – sel rambut di dalam kupula ikut bergerak bersamaan dengan kupula. Apabila gerakan

kepala berlanjut dalam arah dan kecepatan yang sama maka endolimfe yang awalnya diam tidak

ikut bergerak (lembam) akan menyusul gerakan kepala dan sel rambut-rambut akan kembali ke

posisi tegak. Ketika kepala melambat dan berhenti akan terjadi hal sebaliknya.(6,7)

Sel rambut pada aparatus vestibularis terdiri dari satu kinosilium dan streosilia. Pada saat

streosilia bergerak searah dengan kinosilium akan meregangkan tip link, yang menghubungkan

streosilia dengan kinosilium. Tip link yang teregang akan membuka saluran-saluran ion gerbang

mekanis di sel – sel rambut sehingga akan menyebabkan Ca2+ dan K+ masuk ke dalam sel

sehingga terjadi depolarisasi sedangkan pada saat streosilia bergerak berlawanan arah dengan

kinosilium tidak teregang dan saluran-saluran ion gerbang mekanis di sel-sel rambut akan

tertutup sehingga akan menyebabkan Ca2+ dan K+ tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga

terjadi hiperpolarisasi. Sel rambut akan bersinaps pada ujung saraf aferen dan akan masuk ke

dalam saraf vestibular. Saraf ini akan bersatu dengan saraf koklearis menjadi saraf

vestibulokoklearis dan akan dibawa ke nukleus vestibularis di batang otak. Dari nukleus

vestibularis akan ke serebellum untuk pengolahan koordinasi, ke neuron motorik otot – otot

ekstremitas dan badan untuk pemeliharaan keseimbangan dan postur yang diinginkan, ke neuron

motorik otot – otot mata untuk control gerakan mata, dan ke SSP untuk persepsi gerakan dan

orientasi.(4)

Pada sakulus dan utrikulus, sel – sel rambut di organ otolit ini juga menonjol ke dalam satu

lembar gelatinosa diatasnya, yang gerakannya menyebabkan perubahan posisi rambut serta

menimbulkan perubahan potensial di sel tersebut. Proses ini sama pada kanalis semisirkularis

hanya saja pada sakulus dan utrikulus terdapat otolith yang mengakibatkan gerakan akan menjadi

lebih lembam. Utrikulus berfungsi dalam posisi vertikal dan horizontal sedangkan sakulus

berfungsi dalam kemiringan kepala menjauhi posisi horizontal.(4)

11

2.3 KOLESTEATOMA

2.3.1 Definisi

Kolesteatoma telah diakui selama beberapa dekade sebagai lesi destruktif dasar

tengkorak yang dapat mengikis dan menghancurkan struktur penting pada tulang

temporal. Potensinya dalam menyebabkan komplikasi sistem saraf (misalnya abses otak,

meningitis) membuatnya menjadi lesi yang berpotensi fatal.(2)

Kolesteatoma terdiri dari epitel skuamosa yang terperangkap di dalam basis

cranii. Epitel skuamosa yang terperangkap di dalam tulang temporal, telinga tengah, atau

tulang mastoid hanya dapat memperluas diri dengan mengorbankan tulang yang

mengelilinginya. Akibatnya, komplikasi yang terkait dengan semakin membesarnya

kolesteatoma adalah termasuk cedera dari struktur-struktur yang terdapat di dalam tulang

temporal. Kadang-kadang, kolesteatomas juga dapat keluar dari batas-batas tulang

temporal dan basis cranii. Komplikasi ekstrarempotal dapat terjadi di leher, sistem saraf

pusat, atau keduanya. Kolesteatomas kadang-kadang menjadi cukup besar untuk

mendistorsi otak normal dan menghasilkan disfungsi otak akibat desakan massa.(4)

Pada dasarnya, kolesteatoma terdiri dari dua bagian, (i) matriks, yang terdiri dari

epitel skuamosa berkeratin yang bertumpu pada stroma jaringan ikat dan (ii) central

white mass, yang terdiri dari debris keratin yang dihasilkan oleh matriks. Maka,

kolesteatoma juga disebut sebagai epidermosis atau keratoma.(8)

2.3.2 Epidemiologi

Insiden kolesteatoma tidak diketahui, tetapi kolesteatoma merupakan indikasi

yang relatif sering pada pembedahan otologi (kira-kira setiap minggu di praktek otologi

tersier). Kematian akibat komplikasi intrakranial dari kolesteatoma sekarang jarang

terjadi, yang berkaitan dengan diagnosis dini, intervensi bedah tepat waktu, dan terapi

antibiotik yang adekuat. Akan tetapi kolesteatomas tetap menjadi penyebab umum relatif

tuli konduktif sedang pada anak-anak dan orang dewasa.(2)

Baik laki-laki ataupun perempuan dapat mengalami kolesteatoma, dengan

perbandingan laki-laki berbanding wanita sebesar 3:2. Insidens tertinggi kolesteatoma

pada telinga tengah dijumpai pada usia kurang dari 50 tahun, dan insidens kolesteatom

pada telinga luar umumnya dijumpai pada usia 40-70 tahun. Prefalensi tertinggi dijumpai

12

pada ras kulit putih dan jarang ditemukan pada ras Asia, Indian Amerika, dan populasi

Eskimo di Alaska.(9)

Kolesteatoma yang terjadi pada anak-anak ditemukan akan lebih sering

berdampak pada tuba eustachius, anterior mesotympanum, sel retrolabirin dan prosesus

mastoid jika dibandingkan dengan orang dewasa. Berdasarkan bukti klinis dan

pemeriksaan histologi diketahui bahwa kolesteatoma yang terjadi pada anak pada

umumnya bersifat lebih agresif. (9)

2.3.3 Etiologi

Penyebab kolesteatom didapat primer masih diperdebatkan sejak akhir abad 19.

Banyak teori yang diajukan tetapi sampai sekarang belum ada yang bisa menunjukkan

penyebab yang sebenarnya. Teori-teori itu, antara lain(7)

1. Tekanan negatif di dalam atik, menyebabkan invaginasi pars flasida dan pembentukan

kista (Habermann, Bezold, Tumarkin, Shambaugh, Jordan)

2. Metaplasia mukosa telinga tengah dan atik akibat infeksi (Tumarkin)

3. Hiperplasia invasif diikuti terbentuknya kista di lapisan basal epidermis pars flasida,

akibat iritasi oleh infeksi (Habermann, Nager, Hauze, Ruedi)

4. Sisa-sisa epidermis kongenital yang terdapat di daerah atik (Mc Kenzie, Diamant, Teed<

Cawthorn)

5. Hiperkeratosis invasif dari kulit liang telinga bagian dalam (Mc Gukin)

Faktor yang penting adalah kemampuan epitel membran timpani berproliferasi secara

cepat, khususnya pars flasida dan bagian superior pars tensa.(7)

2.3.4 Klasifikasi

a) Kolesteatoma Kongenital

Kolesteatoma kongenital terjadi sebagai konsekuensi dari epitel skuamosa

yang terjebak dalam tulang temporal selama embriogenesis. Lokasi kolesteatoma

biasanya di mesotimpanum anterior, daerah petrosus mastoid atau di

cerebellopontin angle. Sering diidentifikasi pada anak-anak usia 6 bulan hingga 5

tahun.(9)

13

Gambar 6. Kolesteatoma Kongenital(9)

Selama kolesteatoma membesar, kolesteatoma dapat menyumbat tuba

eustachius dan memproduksi cairan telinga tengah kronis dan mengakibatkan tuli

konduktif. Kolesteatoma juga dapat melebar ke arah posterior dan mengelilingi

tulang-tulang pendengaran hingga menyebabkan tuli konduktif. Tidak seperti tipe

kolesteatoma lainnya, kolesteatoma kongenital biasnaya diidentifikasi di belakang

membran timpani yang masih utuh dan terlihat normal. Anak biasanya tidak

memiliki sejarah infeksi telinga berulang, tidak pernah dioperasi telinga

sebelumnya, dan tidak memiliki sejarah perforasi membran timpani.(9,10)

b) Kolesteatoma Akuisital Primer

Kolesteatoma yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membran

tymphani. Kolesteatoma timbul akibat proses invaginasi dari membran tymphani

pars flaksida karena adanya tekanan negatif di telinga tengah akibat gangguan

tuba (Teori Invaginasi).(9,10)

Kolesteatoma akuisital primer timbul sebagai akibat dari retraksi membran

timpani. Kolesteatoma akuisital primer klasik berawal dari retraksi pars flaksida

di bagian medial membran timpani yang terlalu dalam sehingga mencapai

epitimpanum. Saat proses ini berlanjut, dinding lateral dari epitympanum (disebut

juga skutum) secara perlahan terkikis, menghasilkan defek pada dinding lateral

epitympanum yang perlahan meluas. Membran timpani terus mengalami retraksi

di bagian medial sampai melewati pangkal dari tulang-tulang pendengaran hingga

ke epitympanum posterior. Destruksi tulang-tulang pendengaran umum terjadi.

Jika kolesteatoma meluas ke posterior sampai ke aditus ad antrum dan tulang

mastoid itu sendiri, erosi tegmen mastoid dengan eksposur dura dan/atau erosi

14

kanalis semisirkularis lateralis dapat terjadi dan mengakibatkan ketulian dan

vertigo.(9,10)

Kolesteatoma akuisital primer tipe kedua terjadi apabila kuadran posterior

dari membran timpani mengalami retraksi ke bagian posterior telinga tengah.

Apabila retraksi meluas ke medial dan posterior, epitel skuamosa akan

menyelubungi bangunan-atas stapes dan membran tympani tertarik hingga ke

dalam sinus timpani. Kolesteatoma primer yang berasal dari membran timpani

posterior cenderung mengakibatkan eksposur saraf wajah (dan kadang-kadang

kelumpuhan) dan kehancuran struktur stapes.(9,10)

c) Kolesteatoma Akuisital Sekunder

Merupakan kolesteatoma yang terbentuk setelah adanya perforasi

membran tympani. Kolesteatom terbentuk sebagai akibat masuknya epitel kulit

dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran tympani ke telinga tengah

(Teori Migrasi) atau terjadi akibat metaplasi mukosa kavum tymphani karena

iritasi infeksi yang berlangsung lama (Teori Metaplasi).(11,12)

Kolesteatoma akuisital sekunder terjadi sebagai akibat langsung dari

beberapa jenis cedera pada membran timpani. Cedera ini dapat berupa perforasi

yang timbul sebagai akibat dari otitis media akut atau trauma, atau mungkin

karena manipulasi bedah pada gendang telinga. Suatu prosedur yang sederhana

seperti insersi tympanostomy tube dapat mengimplan epitel skuamosa ke telinga

tengah, yang akhirnya menghasilkan kolesteatoma. Perforasi marginal di bagian

posterior adalah yang paling mungkin menyebabkan pembentukan kolesteatoma.

Retraksi yang mendalam dapat menghasilkan pembentukan kolesteatoma jika

retraksi menjadi cukup dalam sehingga menjebak epitel deskuamasi.(12)

2.3.5 Patofisiologi

a) Kolesteatoma Kongenital

Patogenesis kolesteatoma kongenital masih diperdebatkan hingga saat ini.

Ada beberapa teori yang dipakai untuk menjelaskan patogenesis dari

kolesteatoma kongenital. (12)

15

Epithelial rest theory

Teori ini dipopulerkan oleh Teed pada tahun 1936 kemudian

penemuan ini dikonfirmasi oleh Michaels pada tahun 1986. Teed

mengemukakan bahwa ia menemukan adanya sisa sel epitelial pada tulang

temporal fetus yang normalya menghilang pada minggu ke-33 gestasi.

Adanya sel epitelial tersebut menjadi pencetus terjadinya kolesteatoma

kongenital. Sisa sel epitelial ini ditemukan pada dinding lateral tuba

eustachius, di bagian proksimal tympanic ring, di kuadran anterosuperior

dari telinga tengah. Dikemukakan bahwa cedera inflamasi pada membran

timpani yang intak akan mengakibatkan mikroperforasi pada lapisan

basalis. Kemudian hal ini membuat invasi dari epitel skuamosa dengan

adanya aktivitas proliferasi epithelial cones. Epithelial cones ini kemudian

terus berproliferasi, menyebar dan terus berekspansi dan membentuk

kolesteatoma pada telinga tengah. (12)

16

Gambar 7. Epithelial Rest Theory(12)

Acquired inclusion theory

Teori ini dipopulerkan oleh Tos. Tos mengobservasi dan

menemukan bahwa kolestatoma anteroposterior sering mengalami

penempelan pada bagian anterior handle atau neck dari maleus, dan

posterior kolestatoma, lebih sering menempel pada bagian posterior

handle malleus dan incudostapedial joint. Lokasi ini jauh dari anterior

annulus timpani dan dinding lateral tuba eustachius seperti yang

dikemukan pada teori epitelial rest. Tod berspekulasi bahwa lokasi

originnya adalah lateral tuba eustachius dan daerah anterior dari annulus

timpani. Kolesteatoma akan memblok tuba eusthacius sebelum menyebar

ke kavitas timpani dan handle dari malleus. Kemudian, Tos

mengemukakan teori inklusi sebagai penjelasan patogenesis dari

kolesteatoma kongenital. Tos berspekulasi bahwa epitel skuamosa

berkeratin mungkin berimplantasi ke kavitas timpani selama proses

patologi pada membran timpani dan telinga tengah pada anak-anak.(12,13)

Stadium pada kongenital kolesteatoma :

Stage I – Terbatas pada 1 kuadran

Stage II – Melibatkan beberapa kuadran tanpa melibatkan

ossiculus

Stage III – Melibatkan ossiculus tanpa ektensi ke mastoid

Stage IV – Melibatkan mastoid (67% resiko kolesteatoma

residual)

Berdasarkan lokasi kolestatoma, kongenital kolesteatoma dibagi

menjadi 3 tipe, yaitu :

17

Type 1 – Terbatas pada telinga tengah, ossiculus tidak

terlibat

Type 2 – Melibatkan kuadran posterior superior dan attic

Type 3 – Campuran tipe 1 dan 2 serta mastoid

b) Kolesteatoma Akuisital Primer

Teori patogenesis :

1. Invaginasi dari membran timpani (kolesteatoma kantung retraksi)

Disfungsi tuba eustachius dipikirkan menyebabkan retraksi membran

timpani sehingga menyebabkan tekanan negatif di epitympanic space

sehingga pars flaccida tertarik ke arah medial ke atas maleus dan

menyebabkan terjadinya kantung retraksi. Pars flaccida yang tidak memiliki

lapisan fibrosa akan lebih mudah terkena kondisi ini. Kantung retraksi akan

menyebabkan gangguan pada fisiologi normal migrasi epitel sehingga

memicu terjadinya pengumpulan keratin. Saat kantung retraksi menekan

semakin ke dalam, keratin yang mengalami deskuamasi berakumulasi dan

tidak dapat dikeluarkan dari kantung hingga menyebabkan terjadinya

kolesteatoma.(10)

Gambar 2. Kolesteatoma pada daerah atik. Merupakan kolesteatoma akuisital primer

pada stadium paling awal(4)

18

2. Teori Papillary Ingrowth

Reaksi inflamasi di rongga Prussak’s dengan pars flaccida yang masih

utuh, dapat menyebabkan kerusakan di membran basal hingga sel epitel

dapat berproliferasi ke dalam.(13)

Gambar 8. Teori Papillary Ingrowth(13)

3. Teori Metaplasia

Epitel yang terdeskuamasi bertransformasi menjadi epitel skuamosa

karena disebabkan oleh otitis media kronik atau berulang.(10)

19

Gambar 9. Patofisiologi Kolesteatoma Akuisital Primer(10)

c) Kolesteatoma Akuisital Sekunder

Kolesteatoma yang didapat secara sekunder dijelaskan sebagai akibat dari

terjadinya migrasi sel-sel epidermis yang berasal dari membran timpani ke dalam

rongga telinga tengah pada tempat terjadinya perforasi marginal ataupun sebagai

hasil dari implantasi keratinosit ke rongga telinga tengah. Implantasi dapat terjadi

ketika terdapat kerusakan membran timpani yang disebabkan karena suara

ledakan yang akan menyebabkan terjadinya implantasi dari keratin ke dalam

rongga telinga tengah dan terjebak disana ketika terjadi penyembuhan dari

membran timpani. Selain dari trauma pada membran timpani, implantasi dari

keratin ini juga dapat terjadi ketika terjadi fraktur pada tulang temporal ataupun

implantasi yang disebabkan karena tindakan medis atau yang biasa kita sebut

sebagai iatrogenik. Beberapa tindakan operasi yang berhubungan dengan telinga

tengah seperti stapedectomy, tympnaoplasty, pemasangan pressure equalization

tube, dan tindakan eksplorasi dari telinga tengah dapat menjadi penyebab dari

terjadinya kolesteatoma sekunder.(4,10)

20

Gambar 10. Patofisiologi Kolesteatoma Akuisital Sekunder(10)

Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tempat pertumbuhan kuman

(infeksi), yang paling sering adalah Proteus dan Pseudomonas aeruginosa. Sebaliknya

infeksi dapat memicu respons imun lokal yang mengakibatkan produksi berbagai

mediator inflamasi dan berbagai sitokin. Sitokin yang diidentifikasi terdapat pada matriks

kolesteatoma adalah interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor-α

(TNF-α), tumor growth factor (TGF). Zat-zat ini dapat menstimulasi sel-sel keratinosit

matriks kolesteatoma bersifat hiperproliferatif, destruktif, dan mampu berangiogenesis.(1,2,10)

Tabel 1. Distribusi kuman dari kavum tympani pada Otitis Media Supuratif Kronis

dengan Kolesteatoma (10)

Jenis Kuman Jumlah temuan

Pseudomonas aeruginosa 9 31,5%

Proteus mirabilis 17 58,5%

Difteroid 1 3,3%

Streptococcus β-hemolyticus 1 3,3%

Enterobacter sp. 1 3,3%

Massa kolesteatoma ini akan menekan dan mendesak organ di sekitarnya serta

menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis terhadap tulang

diperhebat oleh karena pembentukan reaksi asam oleh pembusukan bakteri. Proses

21

nekrosis tulang ini mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirintitis, meningitis,

dan abses otak.(10,13)

2.3.6 Manifestasi Klinis

Gejala khas dari kolesteatoma adalah otorrhea tanpa rasa nyeri, yang terus-

menerus atau sering berulang. Ketika kolesteatoma terinfeksi, kemungkinan besar infeksi

tersebut sulit dihilangkan. Karena kolesteatoma tidak memiliki suplai darah

(vaskularisasi), maka antibiotik sistemik tidak dapat sampai ke pusat infeksi pada

kolesteatoma. Antibiotik topikal biasanya dapat diletakkan mengelilingi kolesteatoma

sehingga menekan infeksi dan menembus beberapa milimeter menuju pusatnya, akan

tetapi, pada kolestatoma terinfeksi yang besar biasanya resisten terhadap semua jenis

terapi antimikroba. Akibatnya, otorrhea akan tetap timbul ataupun berulang meskipun

dengan pengobatan antibiotik yang agresif.(14)

Gangguan pendengaran juga merupakan gejala yang umum pada kolesteatoma.

Kolesteatoma yang besar akan mengisi ruang telinga tengah dengan epitel deskuamasi

dengan atau tanpa sekret mukopurulen sehingga menyebabkan kerusakan osikular yang

akhirnya menyebabkan terjadinya tuli konduktif yang berat.(14)

Pusing adalah gejala umum relatif pada kolesteatoma, tetapi tidak akan terjadi

apabila tidak ada fistula labirin akibat erosi tulang atau jika kolesteatoma mendesak

langsung pada stapes footplate. Pusing adalah gejala yang mengkhawatirkan karena

merupakan pertanda dari perkembangan komplikasi yang lebih serius.(14)

Pada pemeriksaan fisik, tanda yang paling umum dari kolesteatoma adalah

drainase dan jaringan granulasi di liang telinga dan telinga tengah yang tidak responsif

terhadap terapi antimikroba. Suatu perforasi membran timpani ditemukan pada lebih dari

90% kasus. Kolesteatoma kongenital merupakan pengecualian, karena seringkali gendang

telinga tetap utuh sampai komponen telinga tengah cukup besar. Kolesteatoma yang

berasal dari implantasi epitel skuamosa kadangkala bermanifestasi sebelum adanya

gangguan pada membran tympani. Akan tetapi, pada kasus-kasus seperti ini,

(kolesteatoma kongenital, kolesteatoma implantasi) pada akhirnya kolesteatoma tetap saja

akan menyebabkan perforasi pada membran timpani.(14,15)

22

Seringkali satu-satunya temuan pada pemeriksaan fisik adalah sebuah kanalis

akustikus eksternus yang penuh terisi pus mukopurulen dan jaringan granulasi.

Kadangkala menghilangkan infeksi dan perbaikan jaringan granulasi baik dengan

antibiotik sistemik maupun tetes antibiotik ototopikal sangat sulit dilakukan. Apabila

terapi ototopikal berhasil, maka akan tampak retraksi pada membran timpani pada pars

flaksida atau kuadran posterior.(15)

Pada kasus yang amat jarang, kolesteatoma diidentifikasi berdasarkan salah satu

komplikasinya, hal ini kadangkala ditemukan pada anak-anak. Infeksi yang terkait

dengan kolesteatoma dapat menembus korteks mastoid inferior dan bermanifestasi

sebagai abses di leher. Kadangkala, kolesteatoma bermanifestasi pertama kali dengan

tanda-tanda dan gejala komplikasi pada susunan saraf pusat, yaitu : trombosis sinus

sigmoid, abses epidural, atau meningitis.(15)

2.3.7 Diagnosis

Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan THT

terutama pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan penala merupakan pemeriksaan sederhana

untuk mengetahui gangguan pendengaran. Untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan

pendengaran dapat dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni, audiometri tutur

(speech audiometric), dan pemeriksaan BERA (brainstem evoked response audiometric)

bagi pasien anak yang tidak koperatif dengan pemeriksaan audiometric nada murni.(15)

Berdasarkan gejala klinik didapatkan pasien mengeluh: (15)

penurunan kemampuan mendengar

otorrhea, biasanya kuning dan berbau tidak enak

otalgia

obstruksi nasal

tinnitus, intermiten dan unilateral

vertigo

Didapatkan juga riwayat penyakit sebelumnya seperti : (15)

otitis media kronik

perforasi membran timpani

23

operasi telinga sebelumnya

Pada pemeriksaan otoskopi pasien dengan kolesteatoma dapat ditemukan : (15)

perforasi tipe marginal atau atik

terdapat kolesteatoma di liang telinga tengah (epitimpanum)

abses atau fistel retroaurikuler (belakang telinga) pada kasus lanjut

polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar (berasal dari telinga tengah)

secret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma)

2.3.8 Pemeriksaan Penunjang

a) Radiologi

Dapat dilakukan foto rontgen mastoid, CT scan, atau MRI. CT scan merupakan

pilihan radiologi yang dapat mendeteksi gangguan tulang. Namun CT scan tidak

selalu dapat membedakan antara jaringan granulasi dengan kolesteatoma. Gaurano

(2004) telah mendemonstrasikan bahwa ekspansi antrum mastoid dapat dilihat pada

92% kolesteatoma telinga tengah dan 92% mendemonstrasikan adanya erosi tulang

pendengaran.(16)

CT scan yang digunakan adalah CT scan tulang temporal (2mm – tanpa kontras

dengan potongan axial dan coronal.(16)

Tanda kolesteatoma pada CT scan adalah : (16)

1) Masa jaringan lunak di telinga tengah

terutama di prussaks space

pada kolesteatoma lanjut, terdapat bagian telinga tengah yang terisi

udara yang menunjukan masa dan bukan effusi

2) Erosi tulang

scutum (dinding lateral epitimpanum)

semisirkular kanal lateral

tegmen timpani

incus dan stapes

24

Beberapa dokter hanya melakukan preoperative imaging pada kasus spesial dan

cukup yakin untuk menjalankan operasi tanpa melakukan pemeriksaan radiologi

terlebih dahulu. Biasanya dokter meminta dilakukannya preoperative CT scan pada

keadaan : (16)

Bila diagnosa masih belum pasti, diagnosa belum pasti biasanya pada pasien

dengan retraksi attic kecil yang didapatkan pada pemeriksaan fisik. CT scan pada

pasien ini dapat membantu membedakan antara retraksi tanpa perluasan jaringan

lunak ke epitympanic space dengan masa jaringan lunak ekstensif disertai erosi

tulang.

Bila pasien menghindari operasi, sebaiknya operasi tidak dilakukan bila CT scan

telah dilakukan dan dievaluasi berdasarkan hasil CT scan

Bila anatomi tidak dapat ditentukan dan luasnya penyakit tidak diketahui

Pasien dengan kelainan congenital (ex: atresia)

Bila dicurigai adanya komplikasi

Bila dicurigai terdapat fistula labyrinthine atau erosi tuba fallopi

Bila terdapat perluasan ke intracranial, peradangan dura, meningitis, abscess, atau

trombosis sinus sigmoid diindikasikan dilakukan MRI

Namun terdapat pendapat lain bahwa kolesteatoma yang direncanakan untuk

dilakukan pembedahan harus dilakukan preoperative CT scan sebelumnya.(16)

Gambar 11. Coronal high-resolution computed tomography scan menunjukan sebuah

25

cholesteatoma dibagian posterior epitympanum (panah biru), erosi pada scutum

(panah putih), dan rektifikasi cochlea (panah merah).(16)

Gambar 12. Coronal CT scan: scutum intact (panah bawah). Stapes dan incus

(panah atas) dalam proses erosi.(16)

b) Audiometri, harus dilakukan sebelum operasi, kapanpun dapat dilakukan kecuali

operasi dilakukan segera karena komplikasi.

Pada audiometri didapatkan : (16)

tuli konduktif sedang hingga berat yaitu lebih dari 40 dB :

mengindikasikan diskontinuitas tulang pendengaran

c) Histologi

Pemeriksaan histology dari kolesteatoma yang telah diangkat menunjukan sel

epitel skuamosa.(16)

d) Patologi Anatomi Kolesteatoma

Konten kistik : pusat keratin yang mengalami deskuamasi

Matrix : keratinizing stratified squamos epitel

26

Perimatrix : jaringan granulasi, mensekresi enzim proteolitik yang dapat

menyebabkan erosi tulang

Hiperkeratosis

e) Kultur dan uji resistensi kuman dari secret telinga

2.3.9 PENATALAKSANAAN

a) Terapi Non Bedah

Tujuan awal dari terapi kolesteatoma adalah menurunkan derajat inflamasi

dan aktivitas infeksi pada bagian telinga yang terinfeksi. Prinsip pengobatan

medikasi kolesteatoma adalah membuang debris dari liang telinga. Irigasi harus

dilakukan dengan tepat, air harus dikeluarkan seluruhnya dari telinga untuk

mencegah kelanjutan kontaminasi. (17)

Selain irigasi, diperlukan juga antimikroba topikal untuk menekan infeksi,

yang umumnya disebabkan oleh organisme sebagai berikut : Pseudomonas

aeruginosa, Streptococci, Staphylococci, Proteus, dan Enterobacter. Antimikroba

yang umum dipakai adalah ofloxacin atau neomycin-polymyxin B. Apabila

telinga tengah terpapar, dikemukakan bahwa penggunaan aminoglikosida bersifat

ototoksik dan berbahaya. Akan tetapi, belum ada studi yang adekuat yang

mendukung teori tersebut. Namun, untuk kepentingan pasien, dianjurkan untuk

menghindari penggunaan agen ototoksik dan tetap menggunakan ofloxacin.

Selain itu, beberapa klinisi juga menggunakan steroid topikal untuk menurunkan

inflamasi, namun studi lebih lanjut masih diperlukan untuk menilai efektivitas

dari penggunaan agen ini. (16), (17)

Kotrimokasazol, Siprofloksasin atau ampisilin-sulbaktam dapat dipakai

apabila curiga Pseudomonas sebagai kuman penyebab. Bila ada kecurigaan

terhadap kuman anaerob, dapat dipakai metronidazol, klindamisin, atau

kloramfenikol. Bila sukar mentukan kuman penyebab, dapat dipakai campuran

trimetoprim-sulfametoksazol atau amoksisillin-klavulanat. Antibitotik topikal

yang aman dipakai adalah golongan quinolon. Karena efek samping terhadap

27

pertumbuhan tulang usia anak belum dapat disingkirkan, penggunaan

ofloksasin harus sangat hati-hati pada anak kurang dari 12 tahun.(3),(15)

Pembersihan liang telinga dapat menggunakan larutan antiseptik seperti

Asam Asetat 1-2%, hidrogen peroksisa 3%, povidon-iodine 5%, atau larutan

garam fisiologis. Larutan harus dihangatkan dulu sesuai dengan suhu tubuh

agar tidak mengiritasi labirin setelah itu dikeringkan dengan lidi kapas.(3)

Pada beberapa kasus, infeksi yang berlangsung tidak sepenuhnya teratasi.

Hal ini biasanya terjadi pada kasus adanya kolesteatoma sac dengan debris keratin

yang tidak diobati dengan antimikroba lokal secara efektif. Namun, setelah

tindakan bedah, umumnya keluhan otorrhea akan teratasi.(15)

b) Terapi Pembedahan

Tujuan dari terapi pembedahan adalah mengangkat atau menyingkirkan

kolesteatoma. Teknik operatif yang umum dilaksanakan antara lain canal-wall-up

(closed) dan canal-wall-down (open). Apabila pasien memiliki riwayat episode

kekambuhan kolesteatoma, dan berharap dapat menghindari tindakan operatif di

kemudian hari, teknik canal-wall-down merupakan pilihan yang tepat dan lebih

aman. (16)

Tujuan utama terapi kolesteatoma adalah menciptakan kondisi telinga

yang “kering” dan “aman”. Proses-proses yang menyebabkan erosi tulang,

inflamasi kronik, dan infeksi harus ditangani secara tuntas. Oleh karena itu,

seluruh matriks kolesteatoma harus disingkirkan sepenuhnya. Apabila hal ini

gagal dilakukan, kemungkinan yang muncul adalah kekambuhan dari

kolesteatoma. Tabel di bawah ini menunjukaan beberapa teknik pembedahan

disertai keuntungan dan kerugiannya.(2)

Tabel 2. Gambaran Prosedur Bedah untuk Kolesteatoma(2)

28

Teknik canal-wall-down memiliki probabilitas tertinggi dalam

membersihkan kolesteatoma secara permanen. Canal-wall-up prosedur memiliki

keuntungan mempertahankan penampilan normal, tetapi mereka memiliki risiko

yang lebih tinggi terhadap kolesteatoma persisten atau berulang. Risiko

kekambuhan cukup tinggi sehingga ahli bedah menyarankan suatu

tympanomastoidectomy kedua setelah 6 bulan sampai 1 tahun setelah operasi

awal. (17)

Di Amerika Serikat, kebanyakan prosedur bedah kolesteatoma dilakukan

dengan insisi pada belakang telinga dikombinasikan dengan insisi pada external

auditory canal. Kemudian menyingkirkan “air cell” dari mastoid secara

keseluruhan. Mengelevasi membran timpani dan evaluasi mastoid. Singkirkan

kolesteatoma. Apabila ossiculus juga terlibat, maka bagian tersebut perlu

disingkirkan juga untuk menghindari kekambuhan dari kolestetoma. Membran

timpani pada umumnya juga direkonstruksi pada prosedur ini. Apabila dilakukan

canal-wall-up, tulang direkonstruksi dengan cartilage graft. Bila menggunakan

teknik canal-wall-down, maka perlu dibuat meatoplasty yang besar agar ada

sirkulasi udara yang adekuat ke cavitas telinga.(2)

Karakteristik prosedur canal-wall-up : (2)

Menyingkirkan semua “air cell”

Functional tuba eustachius

Ruang telinga tengah yang dipertahankan dengan baik

Komunikasi adekuat antara mastoid dengan ruang telinga tengah

melalui additus ad antrum.

29

Eliminasi dari tulang attic dilengkapi dengan cartilage atau bone

graft.

Karakteristik teknik canal-wall-down : (2)

Membersihkan semua “air cell” termasuk yang dalam retrofacial,

retrolabyrinthine, and subarcuate air cell tracts.

Pembersihan dinding lateral dan posterior dari epitimpanun

sehingga tegmen mastoideum dan tegmen timpani menjadi lembut.

Biasanya amputasi dari mastoid tip dianjurkan.

Saucerization dari lateral margin kavitas.

Perbesaran meatus

Terapi postoperatif yang diberikan antara lain antimikroba yang sesuai dan

steroid bila diperlukan. Antimikroba yang dipakai adalah antimikroba topikal,

contohnya ialah aminoglycoside and fluoroquinolone topikal. Jenis antimikroba

ini efektif untuk bakteri gram negatif. Selain itu, untuk menghindari efek

ototoksik, dapat juga dipakai ciprofloxacin atau ofloxacin. Selain antimikroba,

agen yang umum diberikan adalah steroid, yaitu steroid cream. Steroid berfungsi

untuk mengontrol perkembangan dari jaringan granulasi.(2)

Setelah tindakan bedah dilakukan, pasien dianjurkan untuk kontrol secara

rutin. Pasien yang menajalani prosedur canal-wall-down dianjurkan untuk kontrol

setiap 3 bulan untuk pembersihan liang telinga. Tujuanny aialah untuk menjaga

agar telinga pasien tetap bebas daei deskuamasi epitel dan serumen. Pada pasien

yang menjalani prosedur canal-wall-up umumnya memerlukan tindakan operatif

kedua, setelah 6-9 bulan setelah tindakan operatif pertama.(17)

2.3.10 Komplikasi

Komplikasi operasi pada mastoidektomi dan timpanoplasti dibagi berdasarkan

komplikasi segera dan komplikasi lambat. Komplikasi segera termasuk parese nervus

fasialis, kerusakan korda timpani, tuli saraf, gangguan keseimbangan, fistel labirin,

30

trauma pada sinus sigmoid, bulbus jugularis, likuor serebrospinal. Infeksi pasca-operasi

juga dapat dimasukkan sebagai komplikasi segera.(13,14)

Komplikasi lambat termasuk kolesteatoma rekuren, reperforasi, lateralisasi

tandur, stenosis liang telinga luar, displasi atau lepasnya prostesis tulang pendengaran

yang dipasang. Pada kebanyakan, kasus trauma nervus fasialis tidak disadari pada waktu

operasi. Trauma nervus fasialis yang paling sering terjadi adalah pada pars vertikalis

waktu melakukan mastoidektomi, bisa juga terjadi pada pars horizontal waktu manipulasi

daerah di dekat stapes atau mengorek daerah bawah inkus baik dari arah mastoid ataupun

dari arah kavum timpani. Trauma dapat lebih mudah terjadi bila topografi daerah

sekitarnya sudah tidak dikenali dengan baik, misalnya pada kelainan letak kongenital,

jaringan parut karena operasi sebelumnya, destruksi kanalis fasialis karena kolesteatoma. (13,14)

Derajat parese harus ditentukan, paling sederhana adalah menurut klasifikasi

House-Bregmann. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan EMG untuk melihat derajat

kerusakan pada saraf dan menentukan prognosis penyembuhan spontan.(13,14)

Trauma operasi terhadap labirin sukar diketahui dengan segera, sebab vertigo

pasca-operasi dapat terjadi hanya karena iritasi selam operasi, belum tentu karena cedera

operasi. Trauma terhadap labirin bisa menyebabkan tuli saraf total. Manipulasi di daerah

aditus ad antrum dan sekitarnya pada lapangan operasi yang ditutupi oleh jaringan

kolesteatoma dan matriks koleteatoma dapat menyebabkan fistel labirin.(13,14)

Trauma terhadap tulang pendengaran diperkirakan akan memperburuk sistem

konduksi telinga tengah sedapat mungkin langsung rekonstruksi. Trauma terhadap

dinding sinus dan duramater sehingga terjadi perdarahan dan bocornya cairan otak, bila

tidak luas dapat ditungggu sebentar dan langsung ditutup dengan tandu komposit sampai

kebocoran berhenti. Trauma pada sinus lateralis, sinus sigmoid, bulbus jugularis, dan

vena emissari dapat menyebabkan perdarahan besar.(13,14)

3.1.11 Prognosis

Mengeliminasi kolesteatoma hampir selalu berhasil, namun mungkin

memerlukan beberapa kali pembedahan. Karena pada umumnya pembedahan

31

berhasil, komplikasi dari pertumbuhan tidak terkendali dari kolesteatoma sekarang ini

jarang terjadi.(2,8,10)

Timpanoplasti dinding runtuh menjanjikan tingkat kekambuhan yang sangat

rendah dari kolesteatoma. Pembedahan ulang pada kolesteatoma terjadi pada 5% kasus,

yang cukup menguntungkan bila dibandingkan tingkat kekambuhan timpanoplasti

dinding utuh yang 20-40%.(2,8,10)

Meskipun demikian, karena rantai osikular dan/atau membran tympani tidak

selalu dapat sepenuhnya direstorasi kembali normal, maka kolesteatoma tetaplah menjadi

penyebab umum relatif tuli konduktif permanen.(10)

Terapi kolesteatoma dengan pembedahan, dan jenis operasi yang menawarkan

kesempatan terbaik bagi penyembuhan menetap adalah modifikasi mastoidektomi radikal

dan mastoidektomi radikal. Modifikasi mastoidektomi radikal menjadi operasi terpilih

karena ia menawarkan kesempatan melindungi pendengaran yang berguna; tetapi pada

penyakit yang luas, mungkin diindikasikan operasi radikal.(10)

Sebelum pembedahan, harus diberikan terapi medis yang serupa dengan yang

digunakan pada infeksi tanpa kolesteatoma untuk menghilangkan infeksi atau mengontrol

semaksimum mungkin infeksi tersebut.(9)

BAB III

KESIMPULAN

Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin)

deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatoma semakin bertambah besar.

32

Bahwa meskipun banyak teori yang berusaha menjelaskan mengenai terbentuknya

kolesteatoma, patogenesis dari terbentuknya kolesteatoma sebenarnya masih belum pasti hingga

saat ini. Sangat penting untuk memiliki pengetahuan dasar yang memadai mengenai karkteristik

anatomi dan fungsional dari telinga tengah untuk mencapai penatalaksanaan yang memuaskan

untuk kolesteatoma, kunci dari didapatkannya diagnosis dini dan penatalaksanaan segera yang

tepat untuk kolestatoma adalah evaluasi yang hati-hati dan menyeluruh mengenai presentasi

klinis hingga ke pemeriksaannya.

Etiologi kolesteatoma sampai sekarang belum ada yang bisa menunjukkan penyebab

yang sebenarnya tetapi banyak teori yang diajukan dimana otore menjadi gejala utama

kolesteatoma serta sekret ini khas berbau busuk dan sering berwarna hijau.

Ciri kolesteatoma adalah otore yang tidak sakit, baik tak henti-hentinya atau sering

berulang dan untuk penatalaksanaan kolesteatoma meliputi terapi medis dan terapi pembedahan.

Prognosis terapi kolesteatoma dengan jenis operasi yang menawarkan kesempatan terbaik bagi

penyembuhan menetap adalah modifikasi mastoidektomi radikal dan mastoidektomi radikal

karena menawarkan kesempatan melindungi pendengaran yang berguna.

DAFTAR PUSTAKA

1. Barath K, Huber AM, Stampfli P, Varga Z, Kollias S. Neuroradiology of cholesteatomas.

AJNR. Feb 2011.

33

2. Roland PS. Middle Ear, Cholesteatoma. Emedicine. June 29, 2009 (cited Januari 9,

2016). Available at http://emedicine.medscape.com/article/860080-overview.

3. Pearce, Evelyn C.Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis.Jakarta: Gramedia. 2004

4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2008

5. Moore K, Agur AMR. Anatomi Klinis Dasar. Edisi Pertama. Jakarta : Penerbit

Hipokrates; 2002

6. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 4th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006.

7. Lalwani, AK. Current diagnosis and treatment otolaryngology heah and neck surgery.

Edition 2. Mc Graw Hill

8. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997

9. Waizel S. Temporal Bone, Aquired Cholesteatoma. Emedicine. May 1, 2007 (cited

Januari 11, 2016). Available at http://emedicine.medscape.com/article/384879-overview

10. DeSouza CE, Menezes CO, DeSouza RA, Ogale SB, Morris MM, Desai AP. Profile of

congenital cholesteatomas of the petrous apex. J Postgrad Med [serial online] 1989 [cited

Januari 11, 2016]; 35:93. Available from: http://www.jpgmonline.com/text.asp?

1989/35/2/93/5702

11. Basmajian JV, Slonecker SE. Grant Anatomi Klinik, 11th ed. Tangerang: Binarupa

Aksara; 2011: 491-586

12. Guyton, Arthur C.; John E. Hall. Textbook of Medical Physiology 11th Edition.

Pennsylvania: Elsevier Saunders. 2006. Hal 693

13. Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis. Edisi Pertama. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;

2005

14. Lin CD, Jeng FC, Cheng YK, Lin TY, Chow KC, Tsai MH. Morphological changes in

tempotal bone and the expression of fas ligand in patients with cholesteatoma. Available

at http://www.ohio.edu/people/jeng/pdf/Lin 2004, morphological changes in tempotal

bone and the expression of fas ligand in patients with cholesteatoma.pdf

15. Makishima T, Hauptman G. Cholesteatoma. University of Texas Medical Branch

Department of Otolaryngology. January 25, 2006 (cited Januari 10, 2016). Available at

www.utmb.edu/otoref/grnds/Cholest.../Cholest-slides-060125.pdf

34

16. Cholesterol Granuloma. March 16, 2006 (cited Januari 10, 2016). Available at

http://www.upmc.com/Services/minc/conditionstreatments/Pages/cholesterol-

granuloma.aspx

17. Fisch, H. and J. May. Tympanoplasty, Mastoidectomy, and Stapes Surgery. New York:

Thieme Medical Pub., 1994

35