referat heroin

39
BAB I PENDAHULUAN Heroin di Indonesia dikenal dengan nama yang sama. Pada kadar yang lebih rendah dikenal dengan sebutan putauw. Heroin didapatkan dari pengeringan ampas bunga opium yang mempunyai kandungan morfin dan kodein yang merupakan penghilang rasa nyeri yang efektif dan banyak digunakan untuk pengobatan dalam obat batuk dan obat diare. Heroin sedikitnya sudah dikenal oleh manusia sejak 6000 tahun lalu, dan dikenal berasal dari pohon kebahagiaan. Pada abad ke-7 atau ke-8, diduga pedagang Arab membawanya ke Cina dan digunakan sebagai bahan pengobatan. Setelah itu, orang-orang Inggris dan Portugis memasok Cina dengan opium dan menempatkan Inggris sebagai heroin terbesar di dunia. Baru pada tahun 1874 orang membuat heroin dan pohon opium. Ketika itu, heroin dijual sebagai pengganti morfin yang aman dan tidak menimbulkan kecanduan. Namun akhirnya disadari bahwa heroin juga menyebabkan ketergantungan yang tinggi, kemudian di Inggris dilarang pada tahun 1920 dengan undang-undang, Dangerous Drug Act. Penggunaan heroin mulai meningkat sejak awal 1990 dan mengalami booming sejak 1996. Menurut National Household Survey on drug abuse di USA tahun 1996 1

Upload: binots-togama

Post on 03-Jul-2015

1.235 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Heroin

BAB I

PENDAHULUAN

Heroin di Indonesia dikenal dengan nama yang sama. Pada kadar yang

lebih rendah dikenal dengan sebutan putauw. Heroin didapatkan dari pengeringan

ampas bunga opium yang mempunyai kandungan morfin dan kodein yang

merupakan penghilang rasa nyeri yang efektif dan banyak digunakan untuk

pengobatan dalam obat batuk dan obat diare.

Heroin sedikitnya sudah dikenal oleh manusia sejak 6000 tahun lalu, dan

dikenal berasal dari pohon kebahagiaan. Pada abad ke-7 atau ke-8, diduga

pedagang Arab membawanya ke Cina dan digunakan sebagai bahan pengobatan.

Setelah itu, orang-orang Inggris dan Portugis memasok Cina dengan opium dan

menempatkan Inggris sebagai heroin terbesar di dunia. Baru pada tahun 1874

orang membuat heroin dan pohon opium.

Ketika itu, heroin dijual sebagai pengganti morfin yang aman dan tidak

menimbulkan kecanduan. Namun akhirnya disadari bahwa heroin juga

menyebabkan ketergantungan yang tinggi, kemudian di Inggris dilarang pada

tahun 1920 dengan undang-undang, Dangerous Drug Act.

Penggunaan heroin mulai meningkat sejak awal 1990 dan mengalami

booming sejak 1996. Menurut National Household Survey on drug abuse di USA

tahun 1996 sebanyak 2,4 juta orang pernah menggunakan heroin. Di Indonesia

jumlah penderita narkotika tahun 1995 adalah 130.000 orang (0,065%). Para

pemakai narkoti ini kebanyakan anak-anak muda berusia < 26 tahun. Angka

kematian akibat penggunaan heroin di Indonesia mencapai 17,6%.

Heroin (diasetilmorfin) termasuk golongan opioid agonis dan merupakan

derivat morfin yang terbuat dari morfin yang mengalami asetilasi pada gugus

hidroksil pada ikatan C3 dan C6. Nama lain dari heroin: smack, junk, china ehirte,

chiva, black tar, speed balling, dope, brown, dog,negra, nod, white hores, stuff.

1

Page 2: Referat Heroin

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HEROIN

2.1.1 Definisi

Heroin (INN: diacetylmorphine, BAN: diamorphine) adalah semi sintetik

opioid yang di sintesa dari morphin yang merupakan derivat dari opium. Pada

kadar yang lebih rendah dikenal dengan sebutan putaw. Heroin didapatkan dari

pengeringan ampas bunga opium (Papaverum somniferum) yang mempunyai

kandungan morfin dan kodein yang merupakan penghilang rasa nyeri yang

efektif. Heroin merupakan 3.6-diacetyl ester dari morphine (oleh karena itu

disebut juga diasetilmorphine). Nama lain dari heroin: smack, junk, china ehirte,

chiva, black tar, speed balling, dope, brown, dog,negra, nod, white hores, stuff.

Gambar 2.1 Bunga Opium

2.1.2 Karakteristik

Heroin merupakan narkoba yang sangat sering menimbulkan efek

ketergantungan. Heroin ini bentuknya berupa serbuk putih dengan rasa pahit.

Dalam pasaran banyak beredar warnanya putih, coklat atau dadu. Penggunaannya

dengan injeksi atau dihirup atau per oral. Heroin mempunyai kekuatan yang dua

kali lebih kuat dari morfin.

Jenis heroin yang sering diperdagangkan :

1. Bubuk putih

Diperjualbelikan dalam kantung-kantung yang telah

dikemas secara khusus dengan ukuran 3x1,5 cm, berisi 100 mg

bubuk dengan kadar heroin berkisar antara 1-10%.

2

Page 3: Referat Heroin

Pada saat ini kadar heroin dalam bubuk cenderung

meningkat, rata-rata berkisar 35%.

Biasanya bubuk tersebut dicampur dengan gula,

susu bubuk atau kanji. Banyak diperjualbelikan di daerah Asia.

2. Bubuk coklat

Bentuk, kemasan dan kadar heroin mirip dengan

bubuk putih, hanya warnanya yang coklat.

Banyak didapatkan di daerah Mexico.

3. Black Tar

Banyak diperjualbelikan di USA.

Warna hitam disebabkan oleh metode prosesing.

Bentuknya kecil-kecil seperti kacang dan lengket.

Kadar heroin didalamnya berkisar 20-80%.

Pemakaian biasanya dilarutkan dengan sedikit air kemudian

dihangatkan diatas api. Setelah dilarutkan dapat dimasukkan ke

dalam alat suntik.

Gambar 2.2 Jenis Heroin

2.1.3 Penggolongan

Menurut UU RI No 35 / 2009 Tentang Narkotika pasal 1 ayat

(1), Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan

atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan

rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam

golongang-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.

3

Page 4: Referat Heroin

Berdasarkan UU RI No 35 / 2009 Tentang Narkotika pasal 6 ayat

(1), penggolongan narkotika terdiri dari 3 golongan, yaitu:

1. Narkotika Golongan I

2. Narkotika Golongan II

3. Narkotika Golongan III

Narkotika yang sering disalahgunakan adalah Narkotika Golongan I yaitu Opiat :

morfin, herion (putauw), petidin, candu, dan lain-lain - Ganja atau kanabis,

marihuana, hashis - Kokain, yaitu serbuk kokain, pasta kokain, daun koka.

Opioid dibagi dalam tiga golongan besar yaitu :

Opioida alamiah (opiat): morfin, cpium, kodein

Opioida semi sintetik : heroin/putauw, hidromorfin

Opioida sintetik : meperidin, propoksipen, metadon

2.1.3 Cara Pemakaian

a. Injeksi

Injeksi secara intravena, subkutan atau intra muskular. Injeksi lebih praktis

dan efisien untuk heroin kadar rendah. Injeksi secara intravena dapat

menimbulkan efek eforia dalam 7-8 detik. Injeksi intra muskuler efeknya lebih

lambat yaitu 5-8 menit. Ketika akan menyuntikkan heroin ke dalam tubuh,

pertama-tama heroin di larutkan ke dalam air lalu dipanaskan, cara ini dilakukan

untuk menghasilkan larutan liquid. Lalu pengguna bisa menginjeksikan larutan

tadi ke dalam tubuhnya.

Kerugian injeksi:

Dapat menyebabkan septikemi dan infeksi lain.

Dapat menyebabkan hepatitis atau HIV.

Injeksi berulang dapat merusak vena, menyebabkan trombosis dan abses.

4

Page 5: Referat Heroin

Gambar 2.3 Pemakaian secara Injeksi

b. Dihirup

Bubuk heroin ditaruh di aluminium foil dan dipanaskan diatas api,

kemudian asapnya dihirup melalui hidung. Heroin terabsorbsi melalui membrane

mucus hidung. Efek puncak dengan penggunaan secara dihirup/dihisap biasanya

dirasakan dalam 10-15 menit.

Gambar 2.4 Pemakaian secara Inhalan

c. Dihisap melalui pipa atau sebagai lintingan rokok

Penggunaan heroin dengan kadar tinggi biasanya dengan cara dihirup atau

dihisap. Penggunaan heroin secara dihisap atau dihirup (chasing the dragon) saat

ini meningkat untuk menghindarkan efek yang terjadi akibat penyuntikan.

Penggunaan secara dihisap lebih aman dibandingkan dihirup, oleh karena masuk

ke dalam tubuh secara bertahap sehingga lebih mudah dikontrol.

5

Page 6: Referat Heroin

Gambar 2.5 Pemakaian secara Dihisap

1.1.5 Farmakokinetik

Absorpsi

Heroin diabsorpi dengan baik di subkutaneus, intramuskular dan

permukaan mukosa hidung atau mulut.

Distribusi

Heroin dengan cepat masuk ke dalam darah dan menuju ke dalam

jaringan. Konsentrasi heroin tinggi di paru-paru, hepar, ginjal dan limpa,

sedangkan di dalam otot skelet konsentrasinya rendah. Konsentrasi di dalam otak

relatif rendah dibandingkan organ lainnya akibat sawar darah otak. Heroin

menembus sawar darah otak lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan morfin

atau golongan opioid lainnya.

Metabolisme

Heroin didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi monoasetilmorfin

dan akhirnya menjadi morfin, kemudian mengalami konjugasi dengan asam

glukuronik menjadi morfin 6-glukoronid yang berefek analgesik lebih kuat

dibandingkan morfin sendiri. Akumulasi obat terjadi pada pasien gagal ginjal.

Ekskresi

Heroin/morfin terutama diekskresi melalui urine (ginjal). 90%

diekskresikan dalam 24 jam pertama, meskipun masih dapat ditemukan dalam

urine 48 jam.

6

Page 7: Referat Heroin

Gambar 2.6 Farmakokinetik Heroin

2.1.6 Farmakodinamik

Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan reseptor

spesifik yang berlokasi di otak dan medula spinalis, sehingga mempengaruhi

transmisi dan modulasi nyeri. Terdapat 3 jenis reseptor yang spesifik, yaitu

reseptor μ (mu), δ (delta) dan κ (kappa). Di dalam otak terdapat tiga jenis

endogeneus peptide yang aktivitasnya seperti opiat, yaitu enkephalin yang

berikatan dengan reseptor δ, β endorfin dengan reseptor μ dandynorpin dengan

resptor κ. Reseptor μ merupakan reseptor untuk morfin (heroin). Ketiga jenis

reseptor ini berhubungan dengan protein G dan berpasangan dengan adenilsiklase

menyebabkan penurunan formasi siklik AMP sehingga aktivitas pelepasan

neurotransmitter terhambat.

2.1.7 Efek

A. Sistem saraf pusat

1. Analgesia

Khasiat analgetik didasarkan atas 3 faktor:

a. Meningkatkan ambang rangsang nyeri.

b. Mempengaruhi emosi, dalam arti bahwa morfin dapat mengubah reaksi

yang timbul menyertai rasa nyeri pada waktu penderita merasakan rasa

nyeri. Setelah pemberian obat penderita masih tetap merasakan

7

Page 8: Referat Heroin

(menyadari) adanya nyeri, tetapi reaksi khawatir takut tidaklagi timbul.

Efek obat ini relatif lebih besar mempengaruhi komponen efektif

(emosional) dibandingkan sensorik.

c. Memudahkan timbulnya tidur.

2. Eforia

Pemberian morfin pada penderita yang mengalami nyeri, akan

menimbulkan perasaan eforia dimana penderita akan mengalami perasaan

nyaman terbebas dari rasa cemas. Sebaliknya pada dosis yang sama besar

bila diberikan kepada orang normal yang tidak mengalami nyeri, sering

menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir disertai mual, muntah, apati,

aktivitas fisik berkurang dan ekstrimitas terasa berat.

2. Sedasi

Pemberian morfin dapat menimbulkan efek mengantuk dan lethargi.

Kombinasi morfin dengan obat yang berefek depresi sentral seperti

hipnotik sedatif akan menyebabkan tidur yang sangat dalam.

3. Pernafasan

Pemberian morfin dapat menimbulkan depresi pernafasan, yang disebabkan

oleh inhibisi langsung pada pusat respirasi di batang otak. Depresi

pernafasan biasanya terjadi dalam 7 menit setelah ijeksi intravena atau 30

menit setelah injeksi subkutan atau intramuskular. Respirasi kembali ke

normal dalam 2-3 jam.

4. Pupil

Pemberian morfin secara sistemik dapat menimbulkan miosis. Miosis

terjadi akibat stimulasi pada nukleus Edinger Westphal N. III.

5. Mual dan muntah

Disebabkan oleh stimulasi langsung pada emetic chemoreceptor trigger

zone di batang otak.

B. Sistem Syaraf Perifer

a) Saluran cerna

Pada lambung akan menghambat sekresi asam lambung, mortilitas

lambung berkurang, tetapi tonus bagian antrum meninggi. Pada usus beasr

8

Page 9: Referat Heroin

akan mengurangi gerakan peristaltik, sehingga dapat menimbulkan

konstipasi.

b) Sistem kardiovaskular

Tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap tekanan darah, frekuensi

maupun irama jantung. Perubahan yang tampak hanya bersifat sekunder

terhadap berkurangnya aktivitas badan dan keadaan tidur, Hipotensi

disebabkan dilatasi arteri perifer dan vena akibat mekanisme depresi

sentral oleh mekanisme stabilitasi vasomotor dan pelepasan histamin.

c) Kulit

Mengakibatkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga kulit tampak

merah dan terasa panas. Seringkali terjadi pembentukan keringat,

kemungkinan disebabkan oleh bertambahnya peredaran darah di kulit

akibat efek sentral dan pelepasan histamin.

d) Traktus urinarius

Tonus ureter dan vesika urinaria meningkat, tonus otot sphinkter

meningkat,sehingga dapat menimbulkan retensi urine.

Menurut national Institute Drug Abuse (NIDA), dibagi menjadi efek

segera (shortterm) dan efek jangka panjang (long term).

Tabel 2.2 Efek jangka pendek dan jangka panjang dari heroin

Short term Long term

Gelisah

Depresi pernafasan

Fungsi mental berkabut

Mual dan muntah

Menekan nyeri

Abortus spontan

Addiksi

HIV, hepatitis

Kolaps vena

Infeksi bakteri

Penyakit paru (pneumonia, TBC)

Infeksi jantung dan katupnya

Pengaruh heroin terhadap wanita hamil:

Menimbulkan komplikasi serius, abortus spontan, lahir prematur

Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik memiliki resiko tinggi

untuk terjadinya SIDS (Sudden Infant Death Syndrome)

9

Page 10: Referat Heroin

Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik dapat mengalami gejala

with drawl dalam 24-36 jam setelah lahir. Gejalanya bayi tambah gelisah,

agitasi, sering menguap, bersin dan menangis, gemetar, muntah, diare dan

pada beberapa kasus terjadi kejang umum.

2.1.8 Gejala dan Tanda pada Pemakaian Heroin

Efek pemakaian heroin yaitu kejang-kejang, mual, hidung dan mata yang

selalu berair, kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh, mengantuk, cadel, bicara

tidak jelas, tidak dapat berkonsentrasi. Sakaw atau sakit karena putaw terjadi

apabila si pecandu putus menggunakan putaw. Sebenarnya sakaw salah satu

bentuk detoksifikasi alamiah yaitu membiarkan si pecandu melewati masa sakaw

tanpa obat, selain didampingi dan dimotivasi untuk sembuh. Gejala sakaw yaitu

mata dan hidung berair, tulang terasa ngilu, rasa gatal di bawah kulit seluruh

badan, sakit perut/diare dan kedinginan. Tanda-tanda dari seseorang yang sedang

ketagihan adalah kesakitan dan kejang-kejang, keram perut dan menggelepar,

gemetar dan muntah-muntah, hidung berlendir, mata berair, kehilangan nafsu

makan, kekurangan cairan tubuh.

Intoksikasi Akut (Over Dosis)

Dosis toksik, 500 mg untuk bukan pecandu dan 1800 mg untuk pecandu

narkotik. Gejala over dosis biasanya timbul beberapa saat setelah pemberian obat.

Gejala intoksikasi akut (overdosis):

Kesadaran menurun, sopor - koma

Depresi pernafasan, frekuensi pernafasan rendah 2-4 kali semenit, dan

pernafasan mungkin bersifat Cheyene stokes

Pupil kecil (pin poiny pupil), simetris dan reaktif

Tampak sianotik, kulit muka kemerahan secara tidak merata

Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi apabila

pernafasan memburuk danterjadi syok

Suhu badan rendah (hipotermia) dan kulit terasa dingin

Bradikardi

Edema paru

Kejang

10

Page 11: Referat Heroin

Kematian biasanya disebabkan oleh depresi pernafasan. Angka kematian

meningkat bila pecandu narkotik menggabungkannya dengan obat-obatan yang

menimbulkan reaksi silang seperti alkohol, tranquilizer.

Intoksikasi Kronis

Addiksi heroin menunjukkan berbagai segi:

1. Habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga penderita

ketagihan akan obat tersebut.

2. Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan obat tersebut oleh

karena faal dan biokimia badan tidak dapat berfungsi lagi tanpa obat tersebut

3. Toleransi, yaitu meningkatnya kebutuhan obat tersebut untuk

mendapat efek yang sama. Walaupun toleransi timbul pada saat pertama

penggunaan opioid, tetapi manifes setelah 2-3 minggu penggunaan opioid

dosis terapi. Toleransi akan terjadi lebih cepat bila diberikan dalam dosis

tinggi dan interval pemberian yang singkat. Toleransi silang merupakan

karakteristik opioid yang penting, dimana bila penderita telah toleran dengan

morfin, dia juga akan toleran terhadap opioid agonis lainnya, seperti

metadon, meperidin dan sebagainya.

Mekanisme terjadinya toleransi dan ketergantungan obat

Mekanisme secara pasti belum diketahui, kemungkinan oleh adaptasi

seluler yang menyebabkan perubahan aktivitas enzym, pelepasan biogenic amin

tertentu atau beberapa respon immun. Nukleus locus ceruleus diduga bertanggung

jawab dalam menimbulkan gejala withdrawl. Nukleus ini kaya akan tempat

reseptor opioid, alpha-adrenergic dan reseptor lainnya. Stimulasi pada reseptor

opioid danalpha-adrenergic memberikan respon yang sama pada intraseluler.

Stimulasi reseptor oleh agonis opioid (morfin) akan menekan aktivitas

adenilsiklase pada siklik AMP. Bila stimulasi ini diberikan secara terus menerus,

akan terjadi adaptasi fisiologik di dalam neuron yang membuat level normal dari

adeniliklase walaupun berikatan dengan opiat. Bila ikatan opiat ini dighentikan

dengan mendadak atau diganti dengan obat yang bersifat antagonis opioid, maka

11

Page 12: Referat Heroin

akan terjadi peningkatan efek adenilsilase pada siklik AMP secara mendadak dan

berhubungan dengan gejala pasien berupa gejala hiperaktivitas.

Gejala putus obat (gejala abstinensi atau withdrawl syndrome) terjadi bila

pecandu obat tersebut menghentikan penggunaanobat secara tiba-tiba. Gejala

biasanya timbul dalam 6-10 jam setelah pemberian obat yang terakhir dan

puncaknya pada 36-48 jam. Withdrawl dapat terjadi secara spontan akibat

penghentian obat secara tibatiba atau dapat pula dipresipitasi dengan pemberian

antagonis opioid seperti naloxono, naltrexone. Dalam 3 menit setelah injeksi

antagonis opioid, timbul gejala withdrawl, mencapai puncaknya dalam 10-20

menit, kemudian menghilang setelah 1 jam.

Gejala Putus Obat

Gejala putus obat :

6 – 12 jam , lakrimasi, rhinorrhea, bertingkat, sering menguap, gelisah

12 - 24 jam, tidur gelisah, iritabel, tremor, pupil dilatasi (midriasi),

anoreksia

24-72 jam, semua gejala diatas intensitasnya bertambah disertai adanya

kelemahan, depresi, nausea, vornitus, diare, kram perut, nyeri pada otot

dan tulang, kedinginan dan kepanasan yang bergantian, peningkatan

tekanan darah dan denyut jantung,gerakan involunter dari lengan dan

tungkai dehidrasi dan gangguan elektrolit

Selanjutnya, gejala hiperaktivitas otonom mulai berkurang secara

berangsurangsur dalam 7-10 hari, tetapi penderita masih tergantung kuat

pada obat. Beberapa gejala ringan masih dapat terdeteksi dalam 6 bulan.

Pada bayi dengan ibu pecandu obat akan terjadi keterlambatan dalam

perkembangan dan pertumbuhan yang dapat terdeteksi setelah usia 1

tahun.

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

Penampilan pasien, sikap wawancara, gejolak emosi dan lain-lain perlu

diobservasi. Petugas harus cepat tanggap apakah pasien perlu mendapatkan

12

Page 13: Referat Heroin

pertolongan kegawat darurat atau tidak, dengan memperhatikan tanda-tanda dan

gejala yang ada.

a. Fisik

Adanya bekas suntikan sepanjang vena di lengan,tangan kaki bahkan pada

tempat-tempat tersembunyi misalnya dorsum penis.

Pemeriksaan fisik terutama ditujukan untuk menemukan gejala

intoksikasi/ioverdosis/putus zat dan komplikasi medik seperti Hepatitis,

Eudokarditis, Bronkoneumonia, HIV/AIDS dan lain-lain.

Perhatikan terutama : kesadaran, pernafasan, tensi, nadi pupil,cara jalan,

sklera ikterik, conjunctiva anemis, dll.

b. Psikiatrik

Derajat kesadaran

Daya nilai realitas

Gangguan pada alam perasaan (misal cemas, gelisah, marah, emosi labil,

sedih, depresi, euforia)

Gangguan pada proses pikir (misalnya waham, curiga, paranoid,

halusinasi)

Gangguan pada psikomotor (hipperaktif/ hipoaktif, agresif gangguan pola

tidur, sikap manipulatif dan lain-lain).

c. Penunjang

Analisa Urin

Bertujuan untuk mendeteksi adanya heroin dalam tubuh. Pengambilan

urine hendaknya tidak lebih dari 24 jam dari saat pemakaian zat terakhir dan

pastikan urine tersebut urine pasien.

Urin merupakan sampel yang representatif untuk pendeteksian narkoba

dan metabolitnya, cara ini tidak menyakiti, urin memiliki kadar narkoba dan

metabolitnya tinggi sebaliknya hanya dalam waktu singkat dalam darah. Urin

harus jernih (sentrifus jika keruh), tanpa pengawet. Penyimpanan dalam cawan,

tabung plastik/gelas yang kering dan bersih. Pada 2-80C stabil 48 jam, -20˚C

stabil >48 jam.

13

Page 14: Referat Heroin

Cara Kerja & Interpretasi Hasil

1. Deteksi Tunggal Narkoba dan Metabolitnya

Biarkan sampel dan reagennya mencapai temperatur ruang. Jangan

membuka kemasan reagen dan sampel sebelum siap dikerjakan, tidak

menggunakan reagen yang telah melebihi tanggal kadaluwarsa.

Teteskan 5 tetes (200ul) urin pada zone sampel (sample well). Pada cara

stick, celupkan stick kedalam urin sampel dan tidak melebihi tanda batas bantalan

(pad) spreading layer.

Biarkan dalam temperatur kamar, hasil dibaca pada 3-5 menit pertama,

kemudian 3-5 menit kedua:

Hasil dikatakan positif, jika muncul hanya 1 garis pink di zone C.

Hasil dikatakan negatif, jika muncul 2 garis pink, satu di zone C dan

lainnya di zoneT.

Hasil dikatakan invalid (rusak), jika tidak muncul garis pink di "C" dengan

atau tanpa di "T".

Untuk ini test diulang dengan card yang baru, dengan card pabrik lain

atau konsul ke dokter spesialis patologi klinik.

Hasil ragu-ragu (warna lamat-lamat atau tidak cocok dengan klinis),

dikonfirmasi dengan test konfirmasi.

Tabel 2.3 Perkiraan Waktu Deteksi Dalam Urine Beberapa Jenis Obat

Jenis obat Lamanya waktu dapat dideteksi

Amfetamine 2 hari

Barbiturat 1 hari (kerja pendek)

3 minggu (kerja panjang)

Benzodiazepin 3 hari

Kokain 2-4 hari

Kodein 2 hari

14

Page 15: Referat Heroin

Heroin 1-2 hari

Methadone 3 hari

Morfin 2-5 hari

Penunjang lain

Untuk menunjang diagnosis dan komplikasi dapat pula dilakukan

pemeriksaan:

Laboratorium rutin darah,urin

EKG

EEG: pada pemeriksaan EEG, tidak ada pola yang khas.

Foto toraks

Dan lain-lain sesuai kebutuhan (HbsAg, HIV, Tes fungsi hati, Evaluasi

Psikologik, Evaluasi Sosial)

2.1.10 Penatalaksanaan

a. Intoksikasi akut (over dosis)

Perbaiki dan pertahankan jalan nafas sebaik mungkin

Oksigenasi yang adekuat

Naloxone injeksi, dosis awal 0,4 – 2,0 mg IV (anak-anak 0,01 mg/kgBB)

Efek naloxane terlihat dalam 1 – 3 menit dan mencapai puncaknya pada 5-10

menit. Bila tidak ada respon naloxane 2 mg dapat diulang tiap 5 menit hingga

maksimum 10 mg. Naloxone efektif untuk memperbaiki derjat kesadaran, depresi

pernafasan, ukuran pupil. Pasien masih harus diobservasi terhadap efek naloxone

dalam 2-3 jam. Oleh karena duration of action yang pendek. Untuk mencegah

rekulensi efek opiat dapat diberikan infus naloxone 0,4-0,8 mg/jam hingga gejala

minimal (menghilang).

b. Intoksikasi kronis

Hospitalisasi

Hospitalisasi dilakukan untuk pasien pasien adiksi zat, terutama ditujukan untuk:

1. Terapi kondisi withdrawl

2. Terapi detoksifikasi

15

Page 16: Referat Heroin

3. Terapi rumatan (maintenance)

4. Terapi komplikasi

5. Terapi aftercare

Dengan masuknya pasien adiksi ke RS, evaluasi medis fisik perlu

mendapat prioritas. Disamping pemeriksaan urine drug screen (untuk mengetahui

apakah pasien menggunakan zat lain yang tidak diakuinya), pemeriksaan

laboratorium rutin (termasuk fungsi faal hati, ginjal, danjantung), juga dilakukan

foto thorak. Terapi detoksifikasi bertujuan agar pasien memutuskan penggunaan

zatnya dan mengembalikan kemampuan kognitifnya. Tidak ada bentuk terapi lain

yang harus dilakukan sebelum kedua tujuan tersebut berhasil dicapai. Tujuan

hospitalisasi lainnya adalah membantu pasien agar dapat mengidentifikasi

konsekwensi yang diperoleh sebagai akibat penggunaan zat dan memahami

resikonya bila terjadi relaps. Dari segi mental, hospitalisasi membatu

mengendalikan suasana perasaannya seperti depressi, paranoid, quilty feeling

karena penyesalan perbuatannya dimasa lalu, destruksi diri dan tindak kekerasan.

Hospitalisasi jangka pendek sangat disarankan bagi adiksi zat yang

memang harus mendapatkan perawatan karena kondisinya. Selama perawatan

jangka pendek, pasien dipersiapkan untuk mengikuti terapi rumatan. Untuk

kondisi adiksinya, pasien tidak pernah disarankan untuk perawatan jangka

panjang.

c. Terapi Withdrawl Opioid

Withdrawl opioid tidak mengancam jiwa, tetapi berhubungan dengan

gangguan fisikologis dan distress fisik yang cukup berat.

Kebanyakan pasien dengan gejala putus obat yang ringan hanya

membutuhkan lingkungan yang mendukung mereka tanpa memerlukan

obat

Klonidin dapat digunakan untuk mengurangi gejala putus obat dengan

menekan perasaan gelisah, lakrimasi, rhinorrhea dan keringat berlebihan.

Dosis awal diberikan 0,1-0,2 mg tiap 8 jam. Kemudian dapat dinaikkan

bila diperlukan hingga 0,8 –1,2 mg/hari, selanjutnya dapat ditappering off

setelah 10-14 hari.

16

Page 17: Referat Heroin

Terapi non spesifik (simptomatik)

1. Gangguan tidur (insomnia) dapat diberikan hipnotik sedatif

2. Nyeri dapat diberikan analgetik

3. Mual dan muntah dapat diberikan golongan metoklopamide

4. Kolik dapat diberikan antispasmolitika

5. Gelisah dapat diberikan antiansietas

6. Rhinorrhea dapat diberikan golongan fenilpropanolamin

Terapi detoksifikasi adiksi opioid

Metadon merupakan drug of choice dalam terapi detoksifikasi adiksi

opioid. Namun bila dosis metadon diturunkan, kemungkinan relaps sering

terjadi. Kendala lain adalah membutuhkan waktu lama dalam terapi

detoksifikasi, dan bila menggunakan opioid antagonis maka harus

menunggu gejala abstinensia selama 5-7 hari. Dosis metadon yang

dianjurkan untuk terapi detoksifikasi heroin (morfin) adalah 2-3 x 5-10 mg

perhari peroral. Setelah 2-3 hari stabil dosis mulai ditappering off dalam 1-

3 minggu.

Buprenorphine dosis rendah (1,5-5 mg sublingual setiap 2-3 x seminggu)

dilaporkan lebihefektif dan efek withdrawl lebih ringan dibandingkan

metadone.

Terapi alternatif lain yang disarankan adalah rapid detoxification yang

mempersingkat waktu terapi deteksifikasi dan memudahkan pasien untuk

segera masuk dalam terapi opiat antagonis. Jenis teknik rapid deteksifikasi

antara lain klinidin naltrexon.

Terapi rumatan (maintenance) adiksi opioid

Metadon dan Levo alfa acetyl;methadol (LAAM) merupakan standar

etrapi rumatan adiksi opioid. Metadon diberikan setiap hari, sedangkan

LAAM hanya 3 kali seminggu. Pemberian metadon dan LAAM pada

terapi rumatan sangat membantu menekan prilaku kriminal. Untuk terapi

maintenance, dosis metadon dapat ditingkatkan (biasanya 40-100

mg/hari). Untuk menjaga pasien tetap menyenangkan dan diturunkan

secara perlahan-lahan.

17

Page 18: Referat Heroin

Buprenorphine dapat pul adigunakan sebagai terapi rumatan dengan dosis

antara 2 mg-20 mg/hari.

Naltrexone digunakan untuk adiksi opioid yang mempunyai motivasi

tinggi untuk berhenti. Naltrexone diberikan setiap hari 50-100 mg peroral

untuk 2 – 3 kali seminggu.

Terapi after care

Meliputi upaya pemantapan dalam bidang fisik, mental, keagamaan,

komunikasi-interaksi sosial,edukasional, bertujuan untuk mencapai kondisi

prilaku yang lebih baik dan fungsi yang lebih baik dari seorang mantan

penyalahguna zat. Peranan keluarga pada saat ini sangat diperlukan.

2.2 KEMATIAN KARENA HEROIN

2.2.1 Penyebab Kematian dan Makanisme Kematian

Cara kematian hanya dapat ditentukan jika kita melakukan penyelidikan ke

tempat kejadian. Kecelakaan adalah adalah cara terbanyak dan biasanya akibat

ketidaktahuan besarnya takaran, baik yang seharusnya dipakai maupun kadar obat

yang dipakai saat itu, atau kehilangan toleransi. Cara kematian yang lain adalah

pembunuhan.

Pembunuhan dengan suntikan (hot-shot) biasanya menggunakan

morfin/heroin takar lajak atau dicampur racun lain, seperti sianida atau strichin.

Cara kematian dapat pula bersifat bunuh diri yang biasanya akibat sindrom

abstinensi. Kematian biasanya terjadi pada mereka yang menggunakan

morfin/heroin secara intravena.

A. Mekanisme Kematian Melalui :

1. Depresi pusat pernafasan : dalam hal ini pusat pernafasan menjadi kurang

sensitive terhadap stimulus CO2 atau H+.

2. Edema Paru : terjadinya edema paru diakibatkan oleh peningkatan tekanan

cairan serebrospinal dan tekanan intracranial serta berkurangnya

sensitifitas pusat pernafasan terhadap CO2. Kedua keadaan ini

menyebabkan menurunnya ventilasi paru dan gangguan permeabilitas.

18

Page 19: Referat Heroin

3. Kematian pada pemakai narkotika dapat pula diakibatkan oleh berbagai

hal lain seperti : pemakaian alat suntik dan bahan yang tidak steril

sehingga menimbulkan infeksi, misalnya : pneumonia, endokarditis,

hepatitis, tetanus, AIDS, Malaria, sepsis dan sebagainya. Bila cara

penyuntikan tidak benar, atau jarum lepas dari semprit saat yang

bersangkutan telah dalam keadaan fly, dapat terjadi masuknya udara

sehingga menimbulkan emboli udara.

2.2.2 Pemeriksaan Forensik

Pemeriksaan Jenazah :

Bekas – bekas suntikan. Kelainan ini, menurut frekuensi yang tersering

terdapat pada lipat siku, lengan atas, punggung tangan dan tungkai. Tempat –

tempat yang jarang digunakan tetapi tetap harus kita teliti adalah pada leher

dibawah lidah atau pada daerah perineum. Bekas suntikan tersebut terdapat pada

kira – kira 52,9 % kasus. Bekas suntikan tersebut yang masih baru biasanya

disertai perdarahan subkutan atau perdarahan perivena; selain itu untuk

menentukan baru lamanya suatu bekas suntikan tersebut, jika masih baru dari

lubang suntikan keluar darah atau serum. Pada keadaan – keadaan yang

meragukan, kita dapat melakukan incise kulit sepanjang vena tersebut dan

membebaskannya secara tumpul untuk untuk memeriksa keadaan dinding vena

dan jaringan disekitarnya apakah ditemukan perdarahan atau jaringan parut. Pada

addiksi kronik akan ditemukan bekas – bekas suntikan yang lama, berupa jaringan

parut berbentuk titik – titik sepanjang pembuluh balik, keadaan ini disebut sebagai

intravenous (mainline)tracks.

Selain bekas – bekas suntikan tersebut di atas, pada pemeriksaan luar

sering dijumpai adanya rajah yang bertujuan menutupi bekas – bekas suntikan,

atau mungkin ditemukan adanya abces, granuloma atau ulkus. Ketiga hal terakhir

ini banyak dijumpai pada penyuntikan narkotik secara subkutan, dan pada mereka

ini sering pula dijumpai jaringan – jaringan parut.

Penyuntikan secara subcutan (skin-popper) tidak menghasilkan

kenikmatan yang tinggi tetapi berlangsung dalam waktu yang lebih lama, dan

pada cara inilah tetanus lebih sering terjadi.

19

Page 20: Referat Heroin

Bila bekas suntikan tidak ditemukan, maka mungkin korban menggunakan

cara lain misalnya cara sniffing (menghirup), ack-ack (mengisap rook yang di

campur heroin) atau dengan cara chasing the dragon (mengisap uap yang

dihasilkan dari pernapasan heroin). Pada kasus seperti ini perlu diambil hapus

selaput lender hidung (nasal-swab) untuk pemeriksaan toksikologik.

Pembesaran kelenjar getah bening setempat terutama di daerah ketiak

disertai dengan adanya bekas suntikan, menandakan bahwa korban tersebut

seorang pecandu yang kronis. Kelainan ini merupakan fenomena drainase,

sekunder akibat penyuntikan yang berulang pada vena tau jaringan sekitarnya,

dengan memakai alat-alat suntikan yang tidak steril. Pada pemeriksaan

mikroskopik kelainan menunjukkan hipertrofi dan hiperplasi limfositik.

Lepuh kulit (skin-blister): kelainan ini biasanya terdapat pada kulit di

daerah telapak tangan dan kaki, dan biasanya terdapat pada kematian karena

penyuntikan morfin/heroin dalam jumlah besar. Perlu diingat bahwa lepuh kulit

ini mungkin didapatkan pada beberapa keadaan misalnya pada keracunan CO atau

barbiturat.

Kelainan-kelainan Lain: biasanya merupakan tanda-tanda asfiksia

seperti keluarnya busa halus dari lubang hidung dan mulut, yang mula-mula

berwarna putih, dan lama kelamaan karena adanya autolysis, akan berwarna

kemerahan. Kelainan ini terdapat pada lebih dari sepertiga kasus, dan kelainan

tersebut dianggap sebagai tanda edema paru. Sianosis pada ujung-ujung jari dan

bibir, perdarahan petekial pada kinjungtiva dan pada pemakaian narkotika dengan

cara sniffing kadang-kadang dijumpai perforasi septum nasi.

Kelainan paru akut. Kelainan digolongkan berdasarkan jarak waktu

antara suntikan terakhir dan saat kematian. Pada perubahan awal (sampai 3 jam)

didapatkan edema dan kongesti saja, atau hanya terdapat sel mononuklear serta

makrofag di dalam atau pada dinding alveoli. Maksroskopik terlihat paru

membesar, lebih berat, bagian posterior lebih padat hingga tidak teraba krepitasi,

bagian anterior sering memperlihatkan emfisema akut. Kadang-kadang hanya

berupa emfisema akut yagng difus dengan aspirasi beda asing dalam bronki.

Mikiroskopik terlihat kongesti dan edema disertai serbukan sel

mononuklear di dalam dan pada dinding alveoli. Kadang-kadang didapatkan

20

Page 21: Referat Heroin

pusat-pusat atelektasis, emfisema dan benda-bendayang teraspirasi pada bronki.

Edema paru didapatkan pada lebih dari 80% kasus.

Pada jangka waktu 3 sampai 12 jam: akan dijumpai narcotic lungs.

Menurut Siegel, kelainan ini khas, bermakna dan dapat dipakai untuk menegakkan

diagnosis, serta terdapat pada kira-kira 25% kasus.

Makroskopik paru sangat mengembang, lebih berat, trakea berisi busa

halus sampai ke cabang-cabangnya, penampang dan permukaan paru

memperlihatkan berbagai gambaran dengan gambaran lobuler yang paling

menonjol. Gambaran lobuler ini disebabkan oleh adanya berbagai tingkat aerasi

(atelektasis, aerasi normal, sangat mengembang sampai emfisema), kongesti,

edema dan perdarahan di berbagai tempat, yang mempunyai kecenderungan

terbatas pada bagian inferior dan posterior paru. Mikroskopik terlihat edema,

kongesti dan serbukan makrofag yang tetap menonjol, perdarahan alveolar,

intrabronkial dan subpleural serta serbukan sel Poli Morfo Nuklear. Dalam

bronkiolus tampak benda-benda asing, deskuamasi sel-sel epithel serta mikus.

Selain narcotic lungs, pada saat ini mungkin juga ditemukan benda-benda

teraspirasi dalam saluran pernapasan misalnya susu yang oleh para pecandu

dipercaya dapat berfungsi sebagai antidotum. Pada 12 sampai 24 jam: akan

terlihat proses pneumonia luas dengan gambaran serbukan sel-sel Poli Mono

Nuklear yang lebih menonjol.

Perubahan lanjut: terjadi bila jangka waktu lebih dari 24 jam. Paru telah

menunjukkan gambaran pneumonia lobularis difus, penampangnya tampak

berwarna coklat-kemerahan, padat seperti daging dan menunjukkan gambaran

granuler.

Kelainan paru kronik berupa granulomatosis vaskuler paru sebagai

menifestasi reaksi jaringan terhadap talk (magnesium-silikat) yang digunakan

sebagai bahan pencampur. Mungkin pula perubahan tersebut terjadi sebagai akibat

bahan yang tidak larut pada penggunaan parenteral, sama seperti mekanisme

terjadinya granuloma subkutan. Letak granuloma tersebut dapat intra-vaskular,

perivaskular atau pada dinding alveoli, tetapi biasanya pada arteriol. Untuk

melihat kristal magnesium-silikat tersebut sebaiknya digunakan mikroskop-

polarisasi sehingga Kristal tampak berwarna putih. Sedangkan dengan mikroskop

21

Page 22: Referat Heroin

cahaya, kristal tampak berbentuk batang tidak berwarna atau kekuning-kuningan

dan berrefraksi ganda, dikelilingi sel-sel datia benda asing, sedikit limfosit,

makrofag, sel mononuclear dan jaringan kolagen.

Selain terdapat pada paru, granuloma, Kristal dan benda asing lain juga

ditemukan pada organ lain, seperti hati, ginjal, limpa dan otak. Kadang-kadang

ditemukan abses paru.

Kelainan hati dapat berupa akumulasi sel radang terutama limfosit,

sedikit sel PMN dan beberapa narcotic cells. Kelainan hati ini menurut Siegel

terdapat pada 80% kasus, dan derajat kelainannya terganting dari lamanya

penggunaan narkotika (derajat adiksi) seseorang. Makin berat adiksinya makin

jelas kelainannya, sebaliknya pada korban mati yang baru menyuntik beberapa

kali tidak ditemukan. Selain sel limfosit, PMN dan narcotic cells, mikroskopik

juga ditemukan fibrosis ringan dan proliferasi sel-sel duktus biliaris.

Kelainan pada hati tersebut dibagi menjadi : a. Hepatitis kronik agresif

dengan cirri khas berupa pembentukan septa; b. Hepatitis kronik persisten

(Triaditis) dengan infiltrasi sel radang terutama di daerah portal (lebih dari 40%

kasus); c. Hepatitis kronik reaktif; d. Perlemakan hati dan e. Hepatitis virus akut

5,9%.

Kelainan kelenjar getah bening terutama terdapat pada kelenjar getah

bening di daerah porta hepatis, sekitar duktus koledukus dan di sekitar kaput

pankreas. Kelainan ini juga berbanding lurus dengan derajat adiksi seseorang.

Makroskopik tampak kelenjar membesar dan mikroskopik terlihat hiperplasi dan

hipertrofi limfosit.

Kelainan lain: limpa membesar dan mikroskopik terlihat hiperplasi

nodule dan sentrum germinativum yang menonjol. Jantung meungkin

menunjukkan peradangan (endokarditis atau miokarditis). Pada otak mungkin

ditemukan perubahan kistik pada basal ganglia. Dapat juga ditemukan kelainan

yang biasa merupakan akibat pemakaian alat yang tidak steril.

22

Page 23: Referat Heroin

2.3 UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA

UU No. 35 tahun 2009

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

Butir 1

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,

baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran,hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa

nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongang-

golongan sebagaimna terlampir dalam undang-undang ini.

Butir 2

Prekursor narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat

digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam table sebagaimana

terlampir dalam undang-undang ini.

Butir 13

Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan dan atau menyalahgunakan

narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik

maupun psikis.

Butir 14

Ketergantunagn narkotik adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk

menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meninggakt

gar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau

dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.

Butir 15

Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan

hukum.

Pasal 5

Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini meliputi segala bentuk kegiatan

dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika dan Prekursor Narkotika.

23

Page 24: Referat Heroin

Pasal 6

(1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam:

a. Narkotika Golongan I;

b. Narkotika Golongan II; dan

c. Narkotika Golongan III.

(2) Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama

kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian

yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

(3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

24

Page 25: Referat Heroin

BAB III

KESIMPULAN

Heroin adalah semi sintetik opioid yang di sintesa dari morphin yang

merupakan derivat dari opium. Pada kadar yang lebih rendah dikenal dengan

sebutan putauw. Heroin adalah obat bius yang sangat mudah membuat seseorang

kecanduan karna efeknya sangat kuat.

Heroin merupakan golongan narkotik yang sangat kuat dalam

menimbulkan toleransi, ketergantungan fisik dan fsikis.. Dalam pasaran banyak

beredar warnanya putih, coklat atau dadu. Obat ini bisa di temukan dalam bentuk

pil, bubuk, dan juga dalam cairan.

Seseorang yang sudah ketergantungan heroin bisa di sebut juga "chasing

the dragon." Heroin memberikan efek yang sangat cepat terhadap si pengguna,

dan itu bisa secara fisik maupun mental. Dan jika orang itu berhenti

mengkonsumsi obat bius itu, dia akan mengalami rasa sakit yang

berkesinambungan.

Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin dan

merupakan jenis opiat yang paling sering disalahgunakan orang di Indonesia pada

akhir - akhir ini . Efek pemakaian heroin: kejang-kejang, mual, hidung dan mata

yang selalu berair, kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh, mengantuk, cadel,

bicara tidak jelas, tidak dapat berkonsentrasiSakaw atau sakit karena putaw terjadi

apabila si pecandu putus menggunakan putaw. Sebenarnya sakaw salah satu

bentuk detoksifikasi alamiah yaitu membiarkan si pecandu melewati masa sakaw

tanpa obat, selain didampingi dan dimotivasi untuk sembuh. Gejala sakau: mata

dan hidung berair, tulang terasa ngilu, rasa gatal di bawah kulit seluruh badan,

sakit perut/diare dan kedinginan. Tanda-tanda dari seseorang yang sedang

ketagihan adalah : kesakitan dan kejang-kejang, keram perut dan menggelepar,

gemetar dan muntah-muntah, hidung berlendir, mata berair, kehilangan nafsu

makan, kekurangan cairan tubuh. Penghentian obat yang tiba-tiba dapat

menimbulkan gejala abstinesia (putus obat). Penggunaan heroin dapat pula

menyebabkan gejala intoksikasi akut (overdosis), komplikasi jangka pendek dan

jangka panjang.

25

Page 26: Referat Heroin

DAFTAR PUSTAKA

Andre,dkk.2006.Kematian karena Narkotik dan obat Halusin. Online

(http://www.freewebs.com/halusinogen/, diakses tanggal 12 Maret 2011)

Budiyanto, A, dkk, 1997, Ilmu Kedokteran Forensik, FKUI, Jakarta, hal 129-137.

Japardi, S, 2002, Efek Neurologis Pada Penggunaan Heroin (Putauw), USU,

Online (www.google.com diakses tanggal 12 Maret 2011).

NN, 2004, NAPZA, Online (www.google.com, diakses tanggal 12 Maret 2011).

NN.2002. Heroin.online (http://en.wikipedia.org/wiki/Heroin, diakses tanggal 12

maret 2011)

Suwarso, 2002, Manajemen Laboratoris Penyalahgunaan Obat dan

Komplikasinya, Cermin Dunia Kedokteran No. 135, hal 5-15.

Undang-undang RI tentang Narkotika. Online (www.google.com, diakses tanggal

15 Maret 2011).

Darmono, 2008, Farmasi Forensik dan Toksikologi, Universitas Indonesia,

Jakarta, hal 63-66.

Way WL. Opioid analgosics and antagonists in Basic and clinical pharmacology.

Katzung BG (ed). 7th ed. Stamfort: Appleton, 1998 (31): 496-514.

26