case adiksi heroin

28
LAPORAN KASUS PSIKIATRIK I. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. A Usia : 35 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Pendidikan : SMA Pekerjaan : Wiraswasta Status Perkawinan : Belum menikah Alamat sekarang : Bukit Nusa Indah, Tangerang Daerah asal : Jambi II. RIWAYAT PSIKIATRIK Autoanamnesis (dilakukan pada tanggal 26 Maret 2015) Pasien mempunyai riwayat penggunaan putau (heroin), shabu (met-amfetamin), metadon, subutex, tembakau, dan tramadol. Dari semua zat-zat psikoaktif yang pasien konsumsi, pasien paling sering dan suka menggunakan putau (heroin). Pasien mengkonsumsi putau karena dengan menggunakan putau pasien merasa “fly” dan merasa nyaman sehingga putau ini dikonsumsi secara rutin oleh pasien selama ± 9 tahun. Pasien mulai menggunakan zat-zat psikoaktif sejak tahun 1998, awalnya pasien menggunakan putau karena diberi oleh kakak dari temannya sewaktu pesta lulusan SMA. Pasien menggunakan putau dengan cara disuntikan ke 1

Upload: rinaldypuruhito

Post on 21-Dec-2015

64 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

laporan kasus adiksi heroin

TRANSCRIPT

Page 1: Case adiksi heroin

LAPORAN KASUS PSIKIATRIK

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. A

Usia : 35 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Wiraswasta

Status Perkawinan : Belum menikah

Alamat sekarang : Bukit Nusa Indah, Tangerang

Daerah asal : Jambi

II. RIWAYAT PSIKIATRIK

Autoanamnesis (dilakukan pada tanggal 26 Maret 2015)

Pasien mempunyai riwayat penggunaan putau (heroin), shabu (met-

amfetamin), metadon, subutex, tembakau, dan tramadol. Dari semua zat-zat

psikoaktif yang pasien konsumsi, pasien paling sering dan suka menggunakan putau

(heroin). Pasien mengkonsumsi putau karena dengan menggunakan putau pasien

merasa “fly” dan merasa nyaman sehingga putau ini dikonsumsi secara rutin oleh

pasien selama ± 9 tahun.

Pasien mulai menggunakan zat-zat psikoaktif sejak tahun 1998, awalnya

pasien menggunakan putau karena diberi oleh kakak dari temannya sewaktu pesta

lulusan SMA. Pasien menggunakan putau dengan cara disuntikan ke vena di lengan

kiri bagian lipat siku. Menurut pengakuan pasien, setiap menggunakan putau pasien

selalu mengganti jarum suntik yang digunakan dan tidak berbagi jarum suntik

dengan orang lain.

Awalnya, pasien menggunakan putau hingga tahun 2003, lalu mulai tahun

2004 pasien mulai menjalani rehabilitasi selama 6 bulan dengan metode terapi putus

opioid seketika. Setelah selesai menjalani rehabilitasi dan dinyatakan bersih, pasien

keluar dari tempat rehabilitasi dan mulai menjalani kehidupan normal di rumahnya

sendiri. Selang 2 bulan sejak keluar dari tempat rehabilitasi, pasien mulai merasa

ingin menggunakan putau, sehingga pasien menjadi ketagihan putau kembali.

1

Page 2: Case adiksi heroin

Tahun 2006, pasien mulai ingin menjalani rehabilitasi lagi untuk menghilangkan

ketagihan putau-nya, sehingga pasien masuk lagi ke tempat rehabilitasi yang sama

seperti sebelumnya di Bogor. Enam bulan kemudian, pasien selesai menjalani

rehabilitasi dan keluar tinggal di rumah. Namun hal yang sama terulang, yaitu pasien

kembali mengkonsumsi putau karena rasa ingin mengkonsumsinya dirasakan masih

cukup kuat. Kejadian ini berulang hingga pasien menjalani total 4 kali rehabilitasi

hingga terakhir kali pasien menjalani rehabilitasi adalah di tahun 2010. Diantara

tahun 2004 hingga tahun 2010, pasien mengaku sempat menggunakan kombinasi

subutex dan putau selama kurang lebih dua bulan, selanjutnya semenjak subutex

ditarik dari pasaran, pasien kembali menggunakan putau saja. Dosis putau yang

digunakan adalah 0,25 ml. Putau dikonsumsi rutin satu kali setiap hari tanpa disertai

penambahan dosis hingga tahun 2010.

Di tahun 2011, setelah selesai menjalani rehabilitasi untuk keempat kalinya,

kurang lebih dua sampai tiga bulan setelah keluar dari tempat rehabilitasi, pasien

kembali mencoba menggunakan zat psikoaktif. Kali ini yang pasien gunakan adalah

shabu-shabu untuk mengurangi gejala ketagihan yang dialami karena pasien

memiliki sugesti untuk “memakai” meskipun tubuhnya tidak lagi menunjukkan

gejala putus obat. Pemakaian shabu ini tidak berlangsung lama karena menurut

pengakuan pasien dengan menggunakan shabu hanya menghilangkan sakau sejenak

(kira-kira selama 6 jam) namun kemudian timbul gejala sakau yang lebih parah,

sehingga kebanyakan pengguna putau tidak menyukai substitusi dengan

menggunakan shabu-shabu.

Tak lama berselang, ketika terapi substitusi dengan menggunakan metadon

mulai masuk ke Jambi, pasien mulai menggunakan metadon sebagai pengganti putau

dengan dosis pemakaian konstan 40 mg/hari. Sejak saat itu pasien mengkonsumsi

metadon secara rutin hingga 7 hari yang lalu pasien memutuskan ingin lepas metadon

sepenuhnya. Saat pasien memutuskan hal tersebut, pasien kemudian berkonsultasi ke

dokter untuk menanyakan tentang cara yang diperlukan untuk melepaskan metadon

sepenuhnya. Cara yang disarankan adalah dengan menurunkan dosis penggunaan

metadon menjadi 20mg tiap hari ditambah dengan 2 tablet tramadol dan 1 tablet

elsigan tiap malam selama 5 hari. Pada hari yang keenam setelah pasien sama sekali

tidak mengonsumsi metadon, pasien merasakan gejala putus obat seperti nyeri sendi,

menggigil, seluruh tubuh terasa nyeri, emosi tidak stabil, dan napas tidak teratur.

2

Page 3: Case adiksi heroin

Akhirnya setelah 3 hari menahan gejala putus obat, dengan pertimbangan bahwa

kondisi pasien yang demikian dapat membahayakan keluarga pasien di rumah maka

pasien meminta dengan keinginan sendiri untuk dirawat di RSKO sampai dapat lepas

dari zat sepenuhnya.

Pasien mengaku tidak suka mengkonsumsi alkohol. Pasien mengkonsumsi

obat-obat penenang seperti elsigan, tramadol dan kodein hanya saat diresepkan oleh

dokter. Sejak SMA, pasien mulai merokok dengan jumlah rokok 5 batang/ hari.

Pasien dapat merokok dalam jumlah yang lebih banyak hanya pada saat setelah

memakai putau. Ide bunuh diri dan penyakit gangguan jiwa seperti depresi, cemas,

skizofrenia disangkal oleh pasien.

Riwayat Pemakaian Zat-zat Psikoaktif

No Jenis Zat Metadon Shabu Putau Rokok Subutex

1. Sejak tahun 2011 2011 1998 1994 2010

2. Cara penggunaan Oral Inhalasi Injeksi Merokok Sublingual

3. Frekuensi

pemakaian dan

kuantitas

Setiap hari

40mg/hari

2x/minggu Setiap hari

0,25ml/hari

5batang/

hari

Pasien

tidak ingat

4. Pemakaian 1 thn

terakhir

Ya Tidak Tidak Ya Tidak

5. Pemakaian 1 bln

terakhir

Ya Ya Tidak Ya Tidak

6. Pemakaian yang

terakhir kali

7 hari

yang lalu

1 bulan

yang lalu

Tidak Ya Tidak

7. Alasan pemakaian

pertama kali

Untuk

menghi-

langkan

ketagihan

putau

Untuk

menutupi

sakau

akibat

putau

Coba-coba Coba-coba Untuk

menutupi

sakau

akibat

putau

8. Alasan biasa

memakai

Substitusi

pengganti

putau

Untuk

menutupi

sakau

Ketagihan Ketagihan Substitusi

pengganti

3

Page 4: Case adiksi heroin

akibat

putau

putau

9. Alasan tidak

menggunakan lagi

Keinginan

sendiri

untuk

hidup

sehat dan

bebas zat

Keinginan

sendiri

untuk

hidup

sehat dan

bebas zat

Keinginan

diri sendiri.

- Sudah

ditarik dari

peredaran

Riwayat Kehidupan Seksual

Pasien belum menikah dan sudah pernah melakukan hubungan seksual beberapa kali

Riwayat Penyakit

Pasien didiagnosa menderita tuberculosis paru pada tahun 2007 kemudian menjalani

pengobatan selama 6 bulan dan sudah dinyatakan sembuh

Riwayat Menggunakan Jarum Suntik

Riwayat menggunakan jarum suntik (+). Pasien selalu menggunakan jarum suntik untuk

mengkonsumsi heroin. Jarum suntik yang dipergunakan adalah jarum suntik yang baru

Riwayat Berhubungan dengan Hukum

-

Stressor Psikososial

Masalah dengan:

Orang tua : tidak ada

Anak : tidak ada

Anggota keluarga lain : tidak ada

Teman : tidak ada

Pekerjaan : tidak ada

Keuangan : tidak ada

4

Page 5: Case adiksi heroin

Riwayat Gangguan Psikiatrik

Skizofrenia - Manik -

Depresi - Halusinasi -

Anxietas - ADHD -

PTSD - Fobia -

Riwayat Penyakit yang Berhubungan dengan Penggunaan Zat Psikoaktif

Aborsi - Hepatitis B - Perdarahan Otak -

Abses - Hepatitis C - Pneumonia -

Bronkhitis - HIV/AIDS - Sarkoma -

Cedera Kepala - Impotensi - Steven Johnson Syndr -

Endokarditis - Kanker Hati - Sepsis -

Fraktur - Kanker Paru - Sifilis -

Gangguan Menstruasi - Kencing Nanah - Sirosis Hepatis -

Gastritis - Luka Tusuk - Stroke -

Gegar Otak - Muntah Darah - TBC Paru +

III. KEADAAN FISIK (26 Maret 2015)

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Laju nadi : 80x/menit

Laju nafas : 22x/menit

Suhu : 36.6 oC

Kepala dan wajah: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor diameter

3mm/3mm, reflex cahaya +/+

Sistem Respiratorius :

Inspeksi : bentuk dada normal, simetris kanan = kiri, retraksi subkostal -

Palpasi : fremitus taktil normal, kanan = kiri

Perkusi : sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi : bunyi napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

Sistem Kardiovaskular :

5

Page 6: Case adiksi heroin

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Perkusi : batas atas : ICS III linea parasternalis sinistra

batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra

batas kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra

Auskultasi: bunyi jantung reguler, murmur (-), gallop (-)

Sistem Gastrointestinal :

Inspeksi : Datar

Palpasi : Supel, Nyeri tekan -, Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba

Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen

Auskultasi : Bising usus +

IV. HASIL PEMERIKSAAN PSIKIATRI

Penampilan : Pasien laki-laki usia 35 tahun, berpenampilan sesuai dengan usia.

Pasien memakai kaus dan sarung, cara berpakaian pasien santai dan terawat. Rambut

dan kuku terawat. Terdapat skar bekas injeksi di medial fossa cubiti sinistra.

Perilaku & aktivitas psikomotor : Baik

Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif

Pembicaraan : Spontan, Tidak ada gangguan berbahasa

Mood : Euthym

Afek : Sesuai dan luas

Keserasian : Serasi & perasaan pasien dapat dirasakan

Gangguan persepsi : halusinasi (-), ilusi (-)

Arus pikiran : Produktivitas cukup, kontinuitas tidak terganggu

Isi pikiran : Preokupasi pikiran (-), waham (-), usaha bunuh diri (-)

Orientasi

• waktu : Baik

• tempat : Baik

• orang : Baik

• situasi : Baik

Daya ingat

• Recent memory : Baik

• Immediate memory : Baik

6

Page 7: Case adiksi heroin

• Remote memory : Baik

Konsentrasi, perhatian : Baik

Pikiran abstrak : Baik

Pengendalian impuls : Baik

Insight : Derajat VI

Judgement : Baik

Taraf dapat dipercaya : Dapat dipercaya

V. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Benzodiazepine : negatif

Opiate : negatif

Amfetamin : negatif

VI. HASIL PEMERIKSAAN RADIO-DIAGNOSTIK

Rontgen Thorax : dalam batas normal

VII. HASIL PEMERIKSAAN PSIKOLOGIS

Afek : Luas dan sesuai

Persepsi : Tidak terganggu

Isi Pikir : Koheren

VIII. HASIL EVALUASI SOSIAL

Tidak dilakukan.

IX. RIWAYAT PERAWATAN/PENGOBATAN/REHABILITASI SEBELUMNYA

• Pernah menjalani detoksifikasi : +

• Pernah menjalani rawat jalan : +

• Pernah menjalani rawat inap : +

• Pernah menjalani detoksifikasi cepat : -

• Pernah menjalani rehabilitasi : +

• Pernah menjalani program rumatan : +

7

Page 8: Case adiksi heroin

X. RESUME

Riwayat penggunaan zat :

Rokok : 1994 - kini

Putau : 1998- 2009

Subutex : 2010

Shabu : 2011

Metadon : 2011-2013

Efek :

Positif : tidak mudah lelah, santai, relax

Negatif : mudah marah, gelisah, mata

Usaha mengatasi ketergantungan :

MPE (program rehabilitasi)

Riwayat penyakit

Riwayat keluarga yang mengalami gangguan kejiwaan (-)

Riwayat keluarga yang menggunakan zat terlarang (+)

XI. DIAGNOSIS

Axis I : F 11.22. Sindrom Ketergantungan Akibat Penggunaan Opioida kini dalam

pengawasan klinis dan terapi pemeliharaan atau dengan pengobatan zat

pengganti (ketergantungan terkendali)

Axis II : Z 03.2 Tidak ada diagnosis

Axis III : Tidak ada

Axis IV : Tidak ada

Axis V : GAF 71-80 gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam

fungsi, secara umum masih baik.

XII. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

XIII. PENATALAKSANAAN

8

Page 9: Case adiksi heroin

Neurobion 1 x 1 tab

Paracetamol 2 x 500 mg

Estazolam 1 x 1 mg (malam hari)

XIV. SARAN PEMERIKSAAN

Tidak ada

DASAR TEORI

9

Page 10: Case adiksi heroin

1. Definisi

Heroin (diasetil-morfin) merupakan opioida semisintetik, yaitu opioida yang

diperoleh dari opium yang diolah melalui proses/ perubahan kimiawi. Efeknya 10 kali

lebih kuat dari morfin dan lebih cepat masuk ke dalam otak, sehingga heroin lebih cepat

menyebabkan “nikmat” sehingga lebih sering disalahgunakan. 1,2

Heroin berupa bubuk putih dan rasanya pahit. Di pasaran gelap, warnanya

bermacam-macam, bergantung pada bahan yang dicampurkan, misalnya kakao, gula

merah, gula tepung jagung, terigu, susu bubuk, kinin, lidokain, prokain, bahkan tawas.

Biasanya pada bubuk campuran tersebut, kadar heroin hanya berkisar 2-4%. Nama yang

banyak digunakan di pasaran gelap bermacam-macam tergantung daerah atau negara

tempat heroin tersebut beredar. Di Indonesia, heroin dengan kualitas rendah (kelas 3)

disebut dengan nama putaw.1,2

Adiksi heroin adalah penyakit metabolik otak dengan manifestasi berupa gejala

toleransi yaitu memerlukan peningkatan dosis heroin untuk mendapatkan efek yang sama

dan sindrom putus zat yaitu sindrom yang terjadi akibat penghentian atau pengurangan

dosis heroin. Penggunaan heroin tersebut terus dilakukan dengan mengesampingkan segala

konsekuensi negatif bagi dirinya maupun orang lain1,2

Heroin biasa dikonsumsi melalui suntikan intra vena, inhalasi, dicampur dalam

rokok tembakau, atau secara oral. Heroin mempunyai khasiat analgesik, hipnotik, dan

euforia. Jika seeorang berulang kali menggunakan heroin, otaknya akan terbiasa dan

menjadi tergantung pada heroin untuk dapat bekerja. 1,2

2. Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya adiksi hingga saat ini belum dapat dijelaskan. Ada berbagai

hipotesis yang diajukan diantaranya adalah faktor genetik, lingkungan, zat, dan

ketidakmampuan menghadapi stress (respon terhadap stres yang tidak sewajarnya). Pada

penelitian pada aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA), ditemukan bahwa sistem

opioida endogen memegang peranan penting dalam respon stress normal (gambar 1).

Senyawa opioida endogen tersebut berasal dari prekursor yaitu pro-opio-melano-cortin

(POMC) yang selanjutnya akan diubah menjadi beta endorfin, proenkefalin yang akan

menjadi enkefalin, dan prodirnofin yang akan menjadi dinorfin.1,7,8

10

Page 11: Case adiksi heroin

Terdapat 4 tipe reseptor opioida, yaitu reseptor mu, delta, gamma, dan kappa yang

mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Reseptor-reseptor tersebut secara alami memiliki

senyawa opioida endogen. Reseptor mu berikatan dengan enkefalin dan beta endorfin,

reseptor delta berikatan dengan enkefalin, dan reseptor kappa berikatan dengan dinorfin.

Diantara opioida endogen tersebut, beta endorphin yang memiliki waktu paruh

terpanjang.1,7

Gambar 1 Aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal dan sistem opioida endogen memiliki peranan yang saling berhubungan dalam biologi penyakit adiksi

Heroin yang dimasukkan ke dalam tubuh menyebabkan gangguan pada sistem

opioida endogen tersebut. Pada masa awal, heroin menekan aksis respon stres HPA.

Penggunaan jangka panjang dari heroin akan terus menekan aksis HPA dengan penurunan

kadar dan mendatarkan irama sirkadian dari pelepasan ACTH, beta-endorfin, dan kortisol.

Pada masa putus zat terdapat aktivasi dari aksis HPA yang sangat kuat yang memberi

sinyal untuk terjadinya gejala putus zat.1,7,8

Heroin bekerja pada berbagai reseptor opioida di susunan saraf pusat, seperti sistem

limbik yang berperan dalam mengendalikan emosi, batang otak yang mengendalikan

fungsi-fungsi tubuh antara lain bernafas dan batuk, dan sumsum tulang yang

menghantarkan rasa nyeri. Heroin dapat menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri,

menenangkan, menghilangkan batuk, menimbulkan rasa mual, muntah, pupil meyempit,

suhu badan menurun, berbagai perubahan pada sistem endokrin, euforia, menghilangkan 11

Aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal dan system opioida endogen berhubungan dengan biologi dari penyakit adiksi

Endogen Opioida(mu, kappa, delta ?)

β endorphin

Page 12: Case adiksi heroin

depresi, mengurangi kecemasan, mengurangi rasa marah, dan mengurangi perasaan

curiga.1,2

Pengaruh heroin terhadap sistem endokrin adalah menghambat produksi

gonadotropin-releasing hormone (GnRH), yang pada gilirannya akan menghambat

produksi luteinizing hormone (LH), dan follicle stimulating hormone (FSH) sehingga

menyebabkan gangguan siklus menstruasi, serta mengurangi produksi testosteron. Heroin

juga menghambat produksi corticotropin releasing factor (CRF) yang pada gilirannya

akan menghambat produksi adreno-cortico-tropin hormone (ACTH). 1,2

Heroin yang bekerja pada reseptor yang terdapat pada sistem gastrointestinal

meyebabkan terjadinya konstipasi. Heroin juga dapat menyebbakn pelepasan histamin

sehingga menyebabkan pelebaran pembuluh darah di kulit dan rasa gatal, terutama di

hidung. Heroin juga meningkatkan konstriksi otot sfingter saluran kencing sehingga

memberi kesan terjadi retensi air seni dalam kandung kencing. 1,2

Penelitian pada tikus-tikus percobaan menunjukkan bahwa penggunaan heroin

menimbulkan perubahan faal yang sangat kuat pada daerah otak tertentu yang berkaitan

dengan proses belajar, emosi, dan pengambilan keputusan, yaitu di korteks prefrontal yang

berperan dalam perilaku bertujuan (goal-directed behavioir), korteks singulare yang

terlibat dalam pembiasaaan (conditioning) dan ganjaran (reward), serta korteks preoptik

yang juga berperan dalam ganjaran. Di daerah tersebut, jumlah neuron yang mengandung

protein fos meningkat. 1

Lingkungan fisik (kamar tidur, ruang tamu, gang tempat membeli heroin),

penglihatan (melihat bubuk, alat suntik, dan sebagainya), maupun suara (musik, suara

bandar putaw, dan sebagainya), dapat memacu keinginan yang kuat untuk menggunakan

heroin lagi walaupun sudah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun tidak menggunakan

heroin. Para ilmuwan sedang mencoba mencari jawaban mengapa hal ini dapat terjadi.

Mereka menemukan bahwa terdapat pembesaran amigdala (bagian dari sistem limbik)

pada orang-orang yang mngalami ketergantungan zat psikoaktif. Sistem limbik adalah

bagian otak yang berkaitan dengan ingatan dan emosi. 1,2

3. Manifestasi Klinis

12

Page 13: Case adiksi heroin

Efek pemakaian heroin yaitu kejang-kejang, mual, hidung dan mata yang

selalu berair, kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh, mengantuk, cadel, bicara

tidak jelas, tidak dapat berkonsentrasi. Sakaw atau sakit karena putaw terjadi apabila

si pecandu putus menggunakan putaw. Sebenarnya sakaw salah satu bentuk

detoksifikasi alamiah yaitu membiarkan si pecandu melewati masa sakaw tanpa

obat, selain didampingi dan dimotivasi untuk sembuh. Gejala sakaw yaitu mata dan

hidung berair, tulang terasa ngilu, rasa gatal di bawah kulit seluruh badan, sakit

perut/diare dan kedinginan. Tanda-tanda dari seseorang yang sedang ketagihan

adalah kesakitan dan kejang-kejang, keram perut dan menggelepar, gemetar dan

muntah-muntah, hidung berlendir, mata berair, kehilangan nafsu makan, kekurangan

cairan tubuh.1,2

Intoksikasi Akut (Over Dosis)

Dosis toksik, 500 mg untuk bukan pecandu dan 1800 mg untuk pecandu

narkotik. Gejala over dosis biasanya timbul beberapa saat setelah pemberian obat.

Gejala intoksikasi akut (overdosis):

Kesadaran menurun, sopor - koma

Depresi pernapasan, frekuensi pernafasan rendah 2-4 kali semenit, dan

pernafasan mungkin bersifat Cheyene stokes

Pupil kecil (pin point pupil), simetris dan reaktif

Tampak sianotik, kulit muka kemerahan secara tidak merata

Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi apabila

pernapasan memburuk dan terjadi syok

Suhu badan rendah (hipotermia) dan kulit terasa dingin

Bradikardi

Edema paru

Kejang

Kematian biasanya disebabkan oleh depresi pernapasan. Angka kematian

meningkat bila pecandu narkotik menggabungkannya dengan obat-obatan yang

menimbulkan reaksi silang seperti alkohol dan tranquilizer.

Intoksikasi Kronis 8

Adiksi heroin menunjukkan berbagai segi:

13

Page 14: Case adiksi heroin

1. Habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga penderita

ketagihan akan obat tersebut.

2. Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan obat tersebut oleh karena

faal dan biokimia badan tidak dapat berfungsi lagi tanpa obat tersebut

3. Toleransi, yaitu meningkatnya kebutuhan obat tersebut untuk mendapat

efek yang sama. Walaupun toleransi timbul pada saat pertama penggunaan

opioid, tetapi manifes setelah 2-3 minggu penggunaan opioid dosis terapi.

Toleransi akan terjadi lebih cepat bila diberikan dalam dosis tinggi dan interval

pemberian yang singkat. Toleransi silang merupakan karakteristik opioid yang

penting, dimana bila penderita telah toleran dengan morfin, dia juga akan toleran

terhadap opioid agonis lainnya, seperti metadon, meperidin dan sebagainya.

Mekanisme terjadinya toleransi dan ketergantungan obat 8

Mekanisme secara pasti belum diketahui, kemungkinan oleh adaptasi seluler

yang menyebabkan perubahan aktivitas enzim, pelepasan biogenik amin tertentu

atau beberapa respon immun. Nukleus locus ceruleus diduga bertanggung jawab

dalam menimbulkan gejala withdrawal. Nukleus ini kaya akan tempat reseptor

opioid, alpha-adrenergic dan reseptor lainnya. Stimulasi pada reseptor opioid

danalpha-adrenergic memberikan respon yang sama pada intraseluler. Stimulasi

reseptor oleh agonis opioid (morfin) akan menekan aktivitas adenilsiklase pada

siklik AMP. Bila stimulasi ini diberikan secara terus menerus, akan terjadi adaptasi

fisiologik di dalam neuron yang membuat level normal dari adeniliklase walaupun

berikatan dengan opiat. Bila ikatan opiat ini dighentikan dengan mendadak atau

diganti dengan obat yang bersifat antagonis opioid, maka akan terjadi peningkatan

efek adenilsilase pada siklik AMP secara mendadak dan berhubungan dengan gejala

pasien berupa gejala hiperaktivitas.

Gejala Putus Obat 8

6 – 12 jam , lakrimasi, rhinorrhea, bertingkat, sering menguap, gelisah

12 - 24 jam, tidur gelisah, iritabel, tremor, pupil dilatasi (midriasi), anoreksia

24-72 jam, semua gejala diatas intensitasnya bertambah disertai adanya

kelemahan, depresi, nausea, vornitus, diare, kram perut, nyeri pada otot dan

tulang, kedinginan dan kepanasan yang bergantian, peningkatan tekanan darah

14

Page 15: Case adiksi heroin

dan denyut jantung, gerakan involunter dari lengan dan tungkai, dehidrasi dan

gangguan elektrolit

Selanjutnya, gejala hiperaktivitas otonom mulai berkurang secara berangsur-

angsur dalam 7-10 hari, tetapi penderita masih tergantung kuat pada obat.

Beberapa gejala ringan masih dapat terdeteksi dalam 6 bulan.

4. Kriteria diagnostik

Sindrom ketergantungan jika terdapat 3 atau lebih gejala di bawah ini yang

terjadi bersamaan minimal 1 bulan lamanya atau bila kurang dari 1 bulan harus terjadi

berulang-ulang secara bersamaan dalam kurun waktu 12 bulan.9

1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi)

untuk menggunakan zat

2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat sejak awal,

usaha penghentian atau pada tingkat sedang menggunakannya

3. Keadaan putus zat secara fisiologis ketika penghentian penggunaan zat

atau pengurangan, terbukti dengan adanya gejala putus zat yang khas. atau

menggunakan zat psikoaktif yang sama dengan maksud menghindarkan atau

menghilangkan gejala putus zat.

4. Adanya bukti toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang diperlukan

guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis lebih

rendah (contoh yang jelas dapat ditemukan pada individu dengan ketergantungan

alkohol danopiat yang secara rutin setiap hari menggunakan zat

tersebutsecukupnya untuk mengendalikan keinginannya)

5. Secara progresif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena penggunaan

zat psikoaktif yang lain, meningkatkan jumlah waktu yang diperlukan

untuk mendapatkan atau menggunakan zat atau pulih dari akibatnya

6. Terus menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang merugikan

kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati karena minum alkohol berlebihan,

keadaan depresi sebagai akibat penggunaan yang berat atau hendaya fungsi

kognitif akibat menggunakan zat, upaya perlu diadakan untuk memastikan bahwa 15

Page 16: Case adiksi heroin

pengguna zat bersungguh

sungguh atau diharapkan untuk menyadari akan hakikat dan besarnya bahaya.

5. Tatalaksana

Tujuan dan rasionalisasi untuk terapi adiksi:

Mencegah gejala putus zat

Menurunkan keinginan untuk menggunakan narkoba lagi

Menormalkan fungsi fisiologis yang terganggu akibat penggunaan narkoba

Sebaiknya terapi yang digunakn memiliki karakterisitik berikut yaitu meiliki efek terapi

yang lambat, masa kerja yang lama, dan berkurang efeknya secara perlahan.7

5.1 Terapi pada Intoksikasi Akut

Beri nalokson HCL (narcan) sebanyak 0,2-0,4 mg (1 cc) atau 0,01 mg/kg berat badan

secara intravena, intramuskular, atau subkutan. Bila belum berhasil, dapat diulang sesudah

3-10 menit sampai 2-3 kali. Oleh karena narcan mempunyai jangka waktu kerja hanya 2-3

jam, sebaiknya pasien tetap dipantau selama sekurang-kurangnya 24 jam bila pasien

menggunakan heroin. Waspada terhadap kemungkinan timbulnya gejala putus opioida

akibat pemberian narcan. 10

5.2 Terapi Putus Opioida

Terapi putus opioida dapat ditempuh dengan beberapa cara 10:

1. Terapi putus opioida seketika (abrupt withdrawal), yaitu tanpa memberi obat apa pun.

Pasien merasakan semua gejala putus zat opioida.

2. Terapi putus opioida dengan terapi simptomatik: untuk menghilangkan nyeri diberikan

analgesik yang kuat, untuk mual muntah diberikan antiemetic,dst.

3. Terapi putus opioida bertahap dengan menggunakan metadon, buprenorphine, atau

codein dengan penurunan dosis obat secara bertahap. Pemberian dosis awal tergantung

dari tingkat neuroadaptasi. Dosis awal metadon 10-40 mg,dosis terbagi. Buprenorphin

4-8 mg, dosis terbagi. Kodein @60-100 mg, 3-4 kali per hari.

16

Page 17: Case adiksi heroin

4. Terapi putus opioida bertahap dengan pengganti bukan dari golongan opioida,

misalnya dengan menggunakan klonidin. Dosis yang diberikan 0,01-0,3 mg 3-4 kali

per hari atau 17 mikrogram per 1 kg berat badan per hari dibagi menjadi 3-4 kali

pemberian.

5. Terapi dengan memberikan antagonis opioida di bawah anestesi umum (rapid

detoxification). Gejala putus zat timbul dalam waktu pendek dan hebat, tetapi pasien

tidak merasakan karena pasien dalam keadaan terbius. Keadaan ini hanya berlangsung

sekitar 6 jam dan perlu dirawat 1-2 hari.

5.3 Terapi detoksifikasi adiksi opioid

Metadon merupakan drug of choice dalam terapi detoksifikasi adiksi opioid.

Namun bila dosis metadon diturunkan, kemungkinan relaps sering terjadi. Kendala

lain adalah membutuhkan waktu lama dalam terapi detoksifikasi, dan bila

menggunakan opioid antagonis maka harus menunggu gejala abstinensia selama 5-

7 hari. Dosis metadon yang dianjurkan untuk terapi detoksifikasi heroin (morfin)

adalah 2-3 x 5-10 mg perhari peroral. Setelah 2-3 hari stabil dosis mulai

ditappering off dalam 1-3 minggu.

Buprenorphine dosis rendah (1,5-5 mg sublingual setiap 2-3 x seminggu)

dilaporkan lebihefektif dan efek withdrawl lebih ringan dibandingkan metadone.

Terapi alternatif lain yang disarankan adalah rapid detoxification yang

mempersingkat waktu terapi deteksifikasi dan memudahkan pasien untuk segera

masuk dalam terapi opiat antagonis. Jenis teknik rapid deteksifikasi antara lain

klinidin naltrexon.

5.4 Terapi rumatan (maintenance) adiksi opioid

Metadon dan Levo alfa acetyl;methadol (LAAM) merupakan standar terapi

rumatan adiksi opioid. Metadon diberikan setiap hari, sedangkan LAAM hanya 3

kali seminggu. Pemberian metadon dan LAAM pada terapi rumatan sangat

membantu menekan prilaku kriminal. Untuk terapi maintenance, dosis metadon

dapat ditingkatkan (biasanya 40-100 mg/hari). Untuk menjaga pasien tetap

menyenangkan dan diturunkan secara perlahan-lahan.

Buprenorphine dapat pul adigunakan sebagai terapi rumatan dengan dosis antara 2

mg-20 mg/hari.

17

Page 18: Case adiksi heroin

Naltrexone digunakan untuk adiksi opioid yang mempunyai motivasi tinggi untuk

berhenti. Naltrexone diberikan setiap hari 50-100 mg peroral untuk 2 – 3 kali

seminggu.

5.5 Terapi pasca detoksifikasi

Program terapi pascadetoksifikasi banyak ragamnya. Pasien tidak harus mengikuti

semua program tersebut. Bila pasien telah memutuskan akan mengikuti terapi

pascadetoksifikasi, terapis bersama pasien dan keluarganya membicarakan terapi

pascadetoksifikasi mana yang sesuai untuk pasien. Keberhasilan terapi pascadetoksifikasi

ini sangat dipengaruhi oleh motivasi pasien dan konseling. 10

Program terapi pascadetoksifikasi ini, diantaranya adalah: 10

1. Farmakoterapi

2. Latihan jasmani

3. Akupunktur

4. Terapi relaksasi

5. Terapi tingkah laku

6. Cara imaginasi

7. Konseling

8. Psikoterapi: individual, kelompok

9. Terapi keluarga

10. Terapi substitusi dengan program naltrekson, program rumatan metadon, program

rumatan LAAM (l-alfa-aseto-metadol), dan program rumatan buprenorphin

Daftar Pustaka18

Page 19: Case adiksi heroin

1. Juwana,S. Opioida. Dalam: Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Zat Psikoaktif: Penyalahgunaan NAPZA/Narkoba. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004. h. 93-105

2. Kurniadi,H.. Napza dan Tubuh Kita. Jakarta: Jendela; 2000. h. 42-43. Directorate General CDC & EH, Ministry of Health, Republic of Indonesia Cases

of HIV/AIDS in Indonesia: Reported December 20064. Estimasi Populasi Beresiko dan Prevalensi HIV – BPS, ASA, dan Dinkes Jabar

2005 5. Indonesia HIV / AIDS Prevention & Care Project – II (IHPCP). IHPCP di Kota

Bandung 2004 – 2007. Catatan Dukungan terhadap Kota Bandung dalam menghadapi Epidemi HIV dan AIDS

6. Pisani,E., Dadun, Sucahya,P.K., Kamil,O., Saiful,J. Sexual Behavior among Injecting Drug Users in Three Indonesian Cities Carries a High Potential for HIV to Spread to Non-injectors. Journal of AIDS 2003; 34(4): 403-406

7. Kreek,M.J., Bart,G., Lilly,C., Laforge,S.K., Nielsen,D.A. Pharmacogenetics and Human Molecular Genetics of Opiate and Cocaine Addictions and Their Treatments. Pharmacol Rev 2005; 57: 1-26

8. Waal,H., Haga,E. Maintenance Treatment of Heroin Addiction: Evidence at The Crossroads. Cappelen Akademisk Forlag; 2003. p 10-39

9. Juwana,S.. Diagnosis dan Prognosis. Dalam: Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Zat Psikoaktif: Penyalahgunaan NAPZA/Narkoba edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004. h. 209-38

10. Juwana,S. Terapi: Detoksifikasi dan Pascadetoksifikasi. Dalam: Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Zat Psikoaktif: Penyalahgunaan NAPZA/Narkoba edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004. h. 249-51

19