referat dr.buyung
DESCRIPTION
Referat Dr.buyungTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
Aritmia merupakan kelainan irama jantungyang sering dijumpai.
Aritmia adalah irama jantung di luar irama sinus normal. Istilah aritmia
sebenarnya dirasa kurang tepat karena aritmia berarti tidak ada irama.
Oleh karena itu sekarang lebih sering dipakai istilah disaritmia atau Irma
tidak normal. 1
Takikardi supraventricular (TSV) adalah satu jenis takidisritmia yang
ditandai dengan perubahan frekuensi jantung yang mendadak bertambah
cepat menjadi berkisar antara 15 sampai dengan 280 per menit. TSV
merupakan jenis disritmia yang paling sering ditemukan pada usia bayi dan
anak. Prevalensi TSV kurang lebih 1 diantara 25.000 anak lebih. Serangan
pertama sering terjadi sebelum usia 4 bulan dan lebih sering terjadi pada
anak laki – laki daripadi perempuan sedangkan pada anak yang lebih besar
prevalensi di antara kedua jenis kelamin tidak berbeda. 1,2
Pengenalan secara dini jenis takidisritmia ini sangat penting, terutama
pada bayi karena sifatnya yang gawat darurat. Diagnosis awal dan
tatalaksana TSV memberikan hasil yang memuaskan. Keterlambatan dalam
menegakkan diagnosis dan memberikan terapi akan memperburuk
prognosis, meningkatkan kemungkinan terjadinya gagal jantung bila TSV
berlangsung lebih 24 – 36 jam, baik dengan kelainan structural maupun
tidak. 1,2 Referat ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan
tatalaksana terhadap takikardi supraventricular pada bayi dan anak.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Aritmia merupakan irama jantung abnormal yang bukan berasal dari
nodus SA (Sino – Atrial), irama tidak teratur walaupun berasal dari nodus
SA, frekuensi kurang dari 60x/menit (bradikardia) atau lebih dari 100x
/menit (takikardia), dan terjadi hambatan impuls di supra atau intra
ventricular.1
Takikardia supraventricular (TSV) adalah satu jenis takidisritmia
yang meliputi setiap irama cepat yang timbul dari atrium, hubungan
atrioventrikular atau jalur tambahan. Atau dengan kata lain takikardia
supraventricular didefinisikan sebagai suatu mekanisme disritmia yang
abnormal yang timbul di atas atau pada bundle his. Frekuensi jantung
mendadak bertambah cepat, berkisar antara 180 – 300 kali permenit.2
2.1.2 Epidemiology
Insidensi takikardi supraventricular sekitar 35 kasus per 100.000
orang per tahun dan prevalensinya sekitar 2.25 per 1000 (kecuali atrial
fibrilasi, atrial flutter dan atrial takikardi multifocal).3
Kelainan TSV merupakan disritmia yang paling sering ditemukan pada
usia bayi dan anak dibandingkan dengan takidisritmia lainnya, dengan
angka kejadian kurang lebih 1 : 25.000 anak normal. Lebih sering terjadi
pada anak laki – laki daripada perempuan. 3
Faktor presipitan dari takikardi supraventricular bervariasi secara
usia dan jenis kelamin. Berdasakan penelitian kohort MESA, usia rata – rata
yang mengalami takikardi supraventricular yaitu 57 tahun dengan kisaran
usia antara infant sampai lebih dari 90 tahun. Omset takikardi lebih tinggi
pada AVNRT (32±18 tahun) dibanding AVRT (23±14 tahun). Wanita
2
memiliki resiko 2 kali lebih tinggi untuk menderita takikardi
supraventricular dibanding pria.3
2.1.3 Etiology
Penyebab takikardi supraventricular yaitu : 4
a. Idiopatik, ditemukan pada hampirsetelah jumlah pasien. Tipe idiopatik
ini biasanya terjadi lebih sering pada bayi daripada anak.
b. Sindrom Wolf Parkinson White (WPW) terdapat pada 10 – 20 % kasus
dan terjadi hanya setelah konversi menjadi sinus aritmia. Sindrom WPW
adalah suatu sindrom dengan interval PR yang pendek dan interval QRS
yang lebar.; yang disebabkan oleh hubungan langsung antara atrium dan
ventrikel melalui jaras tambahan.
2.1.4 Klasifikasi
Ada banyak klasifikasi yang digunakan untuk penggolongan takikardi
supraventricular. Salah satu klasifikasi membaginya berdasarkan
mekanisme takikardi yaitu: 7
a. Takikardi atrium primer (takikardi atrial ektopik)
Terdapat sekitar 10% dari semua kasus TSV, namun TSV ini sukar
diobati dan jarang menimbulkan gejala akut. Ditemukan pada
pemeriksaan rutin atau karena ada gagal jantung akibat aritmia yang
lama. Pada takikardi atrium primer, tampakadanya gelombang “p” yang
agak berbeda dengan gelombang p pada waktu irama sinus, tanpa
disertai pemanjangan interval PR. Pada pemeriksaan elektrofisiologi
intrakadiak tidak didapatkan jaras abnormal (jaras tambahan).
b. Atrioventricular re-entry tachycardia (AVRT)
Pada AVRT pada sindrom WPW jenis orthrodromic, konduksi antegrad
terjadi pada jaras his-purkinje (slow conduction) sedangkan retrograde
terjadi pada jaras tambahan (fast conduction). Kelainan yang tampak
pada EKG adalah takikardi dengan kompleks QRS yang sempit dengan
gelombang p yang timbul segera setelah kompleks QRS dan terbalik.
3
Pada jenis yang antidromic, konduksi antegrad terjadi pada jaras
tambahan sebagai konduksi retrograde terjadi pada his-purkinje.
Kelainan EKG yang tampak adalah takikardi dengan kompleks QRS yang
lebar dengan gelombang p yang terbalik dan timbul pada jarak yang
jauh setelah kompleks QRS.
c. Atrioventricular nodular reentry tachycardia (AVNRT)
Pada jenis AVNRT, reentry terjadi di dalam nodus AV, dan jenis ini
merupakan mekanisme yang paling sering menimbulkan TSV pada bayi
dan anak. Sirkuit tertutup pada jenis ini merupakan sirkuit fungsional.
Jika knduksi antregrad terjadi pada sisi lambat (slow limb) dan
konduksi retrograde terjadi pada sisi cepat (fast limb), jenis ini disebut
typical (slow-fast) atau orthodromic. Kelainan pada EKG yang tampak
adalah takikardi dengan kompleks QRS sempit dengan gelombang p
yang timbul segera setelah kompleks QRS tersebut dan terbalik atau
kadang – kadang tidak tampak karena gelombang tersebut p tersebut
terbenam di dalam kompleks QRS . jika konduksi antregrad terjadi pada
sisi cepat dan konduksi retrograde terjadi pada sisi lambat, jenis ini
disebut jenis atypical (fast-slow) atau antidronic. Kelainan yang tampak
pada EKG adalah takikardi dengan kompleks QRS sempit dan
gelombang p terbalik dan timbul pada jarak yang cukup jauh setelah
kompleks QRS.
2.1.5 Mekanisme
Kejadian TSV disebabkan oleh dua mekanisme dasar yaitu ektopik
(automatic) dan re-entry(dengan atau tanpa jaras tambahan). Berdasarkan
pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak, terdapat dua mekanisme
terjadinya takikardi supraventrikular yaitu:2
a. Otomatisasi (Automaticity)
Irama ektopik yang terjadi akibat otomatisasi sebagai akibat
adanya sel yang mengalami percepatan (akselerasi) pada fase 4
dan sel ini dapat terjadi di atrium, A-V junction, bundel HIS, dan
4
ventrikel. Struktur lain yang dapat menjadi sumber/fokus
otomatisasi adalah vena pulmonalis dan vena kava superior.
Contoh takikardi otomatis adalah sinus takikardi. Ciri peningkatan
laju nadi secara perlahan sebelum akhirnya takiaritmia berhenti.
Takiaritmia karena otomatisasi sering berkaitan dengan gangguan
metabolik seperti hipoksia, hipokalemia, hipomagnesemia, dan
asidosis.
b. Reentry
Ini adalah mekanisme yang terbanyak sebagai penyebab
takiaritmia dan paling mudah dibuktikan pada pemeriksaan
elektrofisiologi. Syarat mutlak untuk timbulnya reentry adalah:
1. Adanya dua jalur konduksi yang saling berhubungan baik pada
bagian distal maupun proksimal hingga membentuk suatu
rangkaian konduksi tertutup.
2. Salah satu jalur tersebut harus memiliki blok searah.
3. Aliran listrik antegrad secara lambat pada jalur konduksi yang
tidak mengalami blok memungkinkan terangsangnya bagian
distal jalur konduksi yang mengalami blok searah untuk
kemudian menimbulkan aliran listrik secara retrograd secara
cepat pada jalur konduksi tersebut.
2.1.6 Manifestasi Klinis
Takikardi supraventrikuler biasanya tidak memberikan gejala yang
jelas pada penderitanya, tetapi dari anamnesis dapat ditemukan gejala –
gejala sebagai berikut :
a. Palpitasi
Merupakan gejala yang umumnya terajdi, penderita merasakan
jantungnya berdetak dengan cepat selama beberapa detik atau
jam.
b. Kepala terasa ringan
c. Pusing
5
d. Kehilangan kesadaran atau pingsan. Penting untuk memastikan
bahwa pasien benar-benar mengalami sinkop bukan hanya lemas
akibat takikardia. Tidak sedikit pasien dengan supraventrikular
takikardia mengaku pingsan tetapi sebetulnya hanya gejala lemas
saja karena ia masih dapat mendengar dengan jelas suara- suara di
sekitarnya. Kehilangan kesadaran pada suatu takikardia
merupakan konsekuensi dari kolaps hemodinamik atau henti
jantung yang dapat menimbulkan kematian jantung mendadak.5
e. Nyeri dada
f. Nafas pendek
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang, yaitu :
a. Anamnesis :
Pasien mengaku jantung berdebar-debar, kepala pusing atau
merasa ringan, pingsan, nyeri dada dan atau nafas pendek. Pada
atrial fibrilasi, palpitasi dirasakan pada semua tempat.
b. Pemeriksaan fisik
Inspeksi : adanya pulsasi abnormal di leher,
Palpasi : teraba pulsasi di dada atau leher
Perkusi : -
Auskultasi : denyut jantung cepat (takikardi) dan atau
denyut jantung cepat dan tidak teratur (atrial fibrilasi)
c. Pemeriksaan penunjang
Elektrokardiogram
Jika serangan berlangsung lama, segera lakukan pemeriksaan
ini. Biasanya didapatkan kompleks QRS sempit, menunjukkan
takikardi, durasi QRS kurang dari 90ms.
Monitor Holter
6
jika serangan cepat dan sering, lakukan pemeriksaan ini.
Gambaran EKG (24 jam) mungkin diperlukan untuk
menentukan dimana disritmia disebabkan oleh gejala khusus
bila pasien aktif (di rumah/kerja). Juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi fungsi pacu jantung/efek obat antidisritmia.
Foto dada
Dapat menunjukkan pembesaran bayangan jantung
sehubungan dengan disfungsi ventrikel atau katup
Laboratorium
Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan magnesium
dapat menyebabkan disritmia, peninggian LED dapat
menunjukkan proses inflamasi akut contoh endokarditis
sebagai faktor pencetus disritmia, peningkatan atau
penururnan kadar tiroid serum dapat menyebabkan disritmia.
2.1.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding takikardi supraventrikular tergantung pada hasil
EKG. Hasil EKG pada takikardi supraventrikular kebanyakan menunjukkan
kompleks QRS yang sempit tetapi pada keadaan tertentu kompleks QRS
pada takikardi supraventrikular bisa menunjukkan kompleks QRS yang
lebar. Adapun diagnosis banding takikardi supraventrikular yaitu :6
a. Kompleks QRS sempit
Jika aksi ventrikel (kompleks QRS) sempit (<120 ms), maka
takikardi yang terjadi hampir semuanya supraventrikular dan
diagnosis bandingnya berkaitan dengan mekanisme yang
mendasari. 3,6
1. AVNRT : kebanyakan tidak ada gelombang P atau adanya
aktivitas atrium yang muncul dan interval RR reguler.
Gelombang P sebagian tersembunyi dalam kompleks QRS dan
bisa membentuk gelombang pseudo-R pada sadapan V1
dan/atau gelombang S pada sadapan inferior.
7
2. AVRT : kebanyakan gelombang P muncul pada segmen ST dan
terpisah 70 ms dari kompleks QRS.
3. Atypical AVNRT atau PJRT(Permanent Form of Junctional
Tachycardi) atau AT (Atrial Tachycardia): pada takikardi
dengan RP lebih panjang dari PR.
b. Kompleks QRS lebar
Jika kompleks QRS lebih dari 120 ms, maka penting untuk
membedakan antara takikardi supraventrikular dan takikardi
ventrikular. Verapamil/diltiazem intravena yang digunakan untuk
mengobati takikardi supraventrikular dapat menyebabkan kolaps
hemodinamik pada pasien takikardi ventrikular. Jika diagnosis
takikardi supraventrikular sulit untuk ditegakkan, maka pasien
harus ditatalaksanai sebagaimana adanya takikardi ventrikular. 3,6
1. Takikardi Supraventricular dengan BBB (Bundle-Branch
Block) BBB bisa terjadi sebelum atau hanya selama
takikardi ketika salah satu bundle branch resisten
karena laju cepat jantung. BBB bias terjadi pada setiap
aritmia supraventrikular.
2. Takikardi Supraventrikular dengan Konduksi
Atrioventrikular pada Accessory Pathway. Jenis ini bisa
terjadi pada takikardi atrial, atrial flutter, fibrilasi atrial,
AVNRT atau AVRT antidromik.
3. Takikardi Ventricular
a. Disosiasi Aritmia Ventricular
Disosiasi AV dengan laju ventrikel lebih cepat
dibanding laju atrial umumnya membuktikan
adanya TV (hanya 30%). Kompleks gabungan
menunjukkan gabungan antara impuls sinus yang
terkonduksi dan depolarisasi ventrikel selama
disosiasi AV. Komplek ini merupakan patognomonik
TV. Gelombang P biasanya sulit dilihat selama
8
kompleks QRS yang lebar. Oleh karena itu, klinisi
juga harus mencari tanda klinis AV seperti
gelombang A ireguler pada denyut vena jugularis
dan kerasnya bunyi jantung I dan tekanan darah
sistolik.
b. Lebar Kompleks QRS
Kompleks QRS lebih dari 0,14 dengan RBBB (Right
Bundle Branch Block) atau 0,16 selama LBBB (Left
Bundle Branch Block) menyerupai VT. Kriteria
lebarnya kompleks QRS tidak membantu dalam
membedakan VT dari SVT dengan konduksi
atrioventrikular pada Accessory Pathway karena
pasien SVT bisasaja mengalami pola kompleks QRS
tersebut.
c. Krakteristik Konfigurasi pada Kompleks QRS selama
Takikardi. Sadapan precordial sangat membantu
dalam membedakan VT dan SVT.
Interval RS lebih dari 100 ms pada semua
sadapan precordial menandakan VT.
Pola QRS pada semua sadapan sama dan dengan
kompleks QS.
Adanya ventricular fusion beat menunjukkan asal
takikardi di ventrikel.
Kompleks QR menunjukkan parut miokardiaum
dan muncul pada 40% pasien dengan VT setelah
infark miokardium.
2.1.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan takikardi supraventrikular terbagi menjadi dua,
yaitu terapi jangka pendek dan terapi jangka panjang.
9
a. Terapi Jangka Pendek, digunakan pada takikardi supraventrikular yang
akut.6
1. Manuver Vagal
Pemijatan pada sinus karotis menstimulasi baroreseptor yang
menstimulasi peningkatan aktivitas nervus vagal dan penarikan
simpatis, memperlambat konduksi melalui nodus atrioventrikular.
Jika pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan bruit karotis dan tidak
ada riwayat adanya penyakit arteri karotis, tekanan bisa dilakukan
pada tingkat kartilago krikoid selama 5 detik dengan gerakan sirkuler
yang kuat. Jika takiaritmia tetap, prosedur ini dapat dilakukan pada
sisi yang berlainan. Pendekatan lain untuk meningkatkan tonus vagal
adalah manuver Valsava atau menyentuhkan es batu ke wajah. EKG
12-sadapan terus menerus selama manuver vagal sebab cara aritmia
berakhir kemungkinan memberikan petunjuk pada mekanisme
terjadinya aritmia. 3,6
2. Adenosin
Adenosin merupakan nukleotida endogen yang bersifat
kronotropik negatif, dromotropik, dan inotropik. Efeknya sangat cepat
dan berlangsung sangat singkat dengan konsekuensi pada
hemodinamik sangat minimal. Adenosin dengan cepat dibersihkan
dari aliran darah (sekitar 10 detik) dengan cellular uptake oleh sel
endotel dan eritrosit. Obat ini akan menyebabkan blok segera pada
nodus AV sehingga akan memutuskan sirkuit pada mekanisme
reentry. Adenosin mempunyai efek yang minimal terhadap
kontraktilitas jantung. 3,6
Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama
dalam terapi TSV karena dapat menghilangkan hampir semua TSV.
Efektivitasnya dilaporkan pada sekitar 90% kasus. Adenosin
diberikan secara bolus intravena diikuti dengan flush saline,
pemberian 6 mg bolus intravena cepat yang diikuti dengan bolus
cairan; jika tidak ada respon dalam 1-2 menit, berikan 12 mg (waktu
10
paruh kurang dari 5 detik, tidak ada akumulasi risiko). Pada sebagian
pasien diberikan digitalisasi untuk mencegah takikardi berulang.
Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada, dispnea,
facial flushing, dan terjadinya A-V bloks. Bradikardi dapat terjadi pada
pasien dengan disfungsi sinus node, gangguan konduksi A-V, atau
setelah pemberian obat lain yang mempengaruhi A-V node (seperti
beta blokers, calsium channel blocker, amiodaron). Adenosin bisa
menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma. Adenosin
dikontraindikasikan pada pasien dengan kompleks QRS lebar,
transpalntasi jantung, dan penyakit paru obstruktif yang parah. 6
3. Verapamil
Jika setelah takikardi supraventrikular terjadi lagi secara cepat
setelah pemberian adenosin, maka dapat diberikan verapamil
intravena (berdasarkan pengalaman klinis). Pemberian verapamil
5mg intravena setiap 3-5 menit, sampai maksimum 15 mg. Obat ini
mulai bekerja 2 sampai 3 menit, dan bersifat menurunkan cardiac
output. Verapamil menghambat masuknya kalsium kedalam sel,
memperlambat konduksi, memperpanjang refraktori, dan
menurunkan automatisitas nodus SA dan AV. Banyak laporan
terjadinya hipotensi berat dan henti jantung pada bayi berusia di
bawah 6 bulan. Oleh karena itu verapamil sebaiknya tidak digunakan
pada pasien yang berusia kurang dari 2 tahun karena risiko kolap
kardiovaskular. Jika diberikan verapamil, persiapan untuk
mengantisipasi hipotensi harus disiapkan seperti kalsium klorida (10
mg/kg), cairan infus, dan obat vasopressor seperti dopamin. Namun,
tidak ada bukti bahwa verapamil efektif mengatasi ventrikular
takikardi pada kasus-kasus yang tidak memberikan respon dengan
adenosin. 6
4. Agen Lain
a) Beta Blocker
11
Memiliki efek antiaritmia karena secara selektif menghambat
adrenoreseptor beta. Tujuan terapi untuk memperlambat
denyut ventrikel bukan meniadakan aritmia. Efek sampingnya,
menyebabkan hipotensi pada gagal jantung dan penghentian
mendadak pada angina pectoris memperberat angina dan
aritmia jantung dan menimbulkan infark miokard akut. 6
b) Amiodaron
Memperpanjang refraktori pada serat atrium dan ventrikel,
menunda repolarisasi dengan menghambat kanal kalsium. 6
c) Digoksin
Golongan glikosida jantung yang berkerja meningkatkan daya
kontraksi otot jantung (inotropik positif) pada penderita gagal
jantung. Kerja digoksin adalah memperkuat otot jantung dalam
memompa darah, mempertahankan ritme normal jantung dan
memperlancar aliran darah. Digoksin efektif memperlambat
aliran ventrikel pada fibrilasi atrium, gagal jantung. Dosis besar
dapat menimbulkan anoreksia, mual, muntah, diare, sakit
perut, gangguan penglihatan, sakit kepala, pusing, letih,
mengantuk, bingung, penurunan kesadaran, halusinasi,
depresi, gagal jantung, jarang terjadi ruam kulit.
b. Terapi Jangka Panjang
Untuk pasien dengan episode berulang, pilihan terapi jangka panjang
termasuk terapi medikasi dan ablasi. Namun, tidak semua pasien dengan
takikardi supraventrikular berulang membutuhkan terapi, tergantung
pada keparahan. 3,6
1. Terapi Farmakologi
Pasien takikardi supraventrikular dengan episode berulang tanpa
preeksitasi bisa diterapi dengan agen antiaritmia profilaksis.
Pasien dengan takikiardi re-entry nodus AV dan takikardi re-entry
AV yang dimediasi oleh jalur aksesoris harus menerima agen blok
nodus AV seperti verapamil, beta bloker, atau digoksin.
12
Pengalaman klinis membuktikan agen-agen ini menurunkan
frekuensi episode dan keparahan gejala sebanyak 30-60%, tetapi
supresi total takikardi supraventrikular jarang terjadi. Jika terapi
dengan agen tersebut gagal, maka pilihan berikutnya adalah
kombinasi dari dua agen blok nodus AV atau obat antiaritmia
golongan Ic atau III (propafenon, sotalol atau amiodaron).
Kombinasi ini mencegah takikardi supraventrikular berulang
sebesar 80%. Namun, terapi jangka panjang dengan obat
antiaritmia golongan Ic tidak direkomendasikan karena efek
sampingnya. Ablasi kateter lebih dipilih jika pasien setuju. Untuk
takikardi atrial, beta bloker, calcium-channel block, dan obat
antiaritmia golongan I atau III dapat meredakan gejala. 6
2. Pendekatan Pil dalam Saku (Pill-in-the Pocket)
Untuk pasien dengan episode takikardi yang jarang tetapi
memanjang (1-2 jam) dengan hemodinamik stabil, atau pasien
yang hanya mengalami satu episode takikardi supraventrikular,
pilihannya adalah meresepkan obat single-dose (Pill-in-the Pocket)
untuk diminum ketika mengalami takikardi. Obat-obatannya yaitu
CCB (verapamil 40-60 mg) untuk pasien tanpa preeksitasi, beta
bloker (flecainid 100-300 mg), dan propafenon 150-450 mg.
Berdasarkan penelitian, 80% episode takikardi supraventricular
berhenti dalam 2 jam dengan kombinasi diltiazem dan
propranolol atau flecainid. 6
3. Takikardi Supraventricular dengan Sindrom Wollf-Parkinson-
White
Verapamil dan digoksin dikontraindikasikan pada pasien dengan
sindom WPW karena obat ini meningkatkan resiko respon
ventrikel cepat, menyebabkan fibrilasi ventrikel pada pasien
fibrilasi atrium. 3,6 Pasien sindrom WPW lebih rentan terhadap
timbulnya fibrilasi atrium atau flutter, sehingga pemberian
13
digoksin berisiko menimbulkan konduksi 1:1 pada ventrikel dan
dan menimbulkkan takikardia dan fibrilasi ventrikel. 2
Kriteria diagnosis sindrom WPW ditegakkan berdasarkan :
a. Pemendekan interval PR, di bawah batas normal sesuai
usia, yaitu :
< 3 tahun : 0.08 detik
3 – 16 tahun : 0.10 detik
>16 tahun : 0.12 detik
b. Gelombang delta (slurred awal kompleks QRS)
c. Durasi QRS melebar lebih dari batas normal
4. Ablasi Kateter
Ablasi kateter pertama sekali diperkenalkan oleh Gallagher
dkk tahun 1982. Sebelum tahun 1989 ablasi kateter dilakukan
dengan sumber energi arus langsung yang tinggi berupa DC Shock
menggunakan kateter elektroda multipolar yang diletakkan di
jantung. Karena pemberian energi dengan jumlah tinggi dan tidak
terlokalisasi maka banyak timbul komplikasi. Saat ini ablasi
dilakukan dengan energi radiofrekuensi sekitar 50 watt yang
diberikan sekiatr 30-60 detik. Energi tersebut diberikan dalam
bentuk gelombang sinusoid dengan frekuensi 500.000 siklus per
detik (hertz). Sejak awal tahun 1990-an, penggunaan ablasi
kateter meningkat. Angka keberhasilan rata-rata ARF pada TSV
adalah 90 - 98% dengan angka kekambuhan sekitar 2-5%. Angka
penyulit sekitar 1%.6
Selama prosedur ablasi radiofrekuensi (ARF) timbul
pemanasan resistif akibat agitasi ionik. Jadi jaringan yang berada
di bawah kateter ablasi yang menjadi sumber energi panas, bukan
kateter itu sendiri. Thermal injury adalah mekanisme utama
kerusakan jaringan selama prosedur ARF. Meningkatnya suhu
jaringan menyebabkan denaturasi dan evaporasi cairan yang
kemudian menimbulkan kerusakan jaringan lebih lanjut dan
14
koagulasi jaringan dan darah. Kerusakan jaringan permanen
timbul pada temperatur sekitar 50 derajat celsius. 3,6
Prosedur ARF adalah prosedur invasif minimal dengan
memasukkan kateter ukuran 4-8 mm secara intravaskular
(umumnya ke jantung kanan) dengan panduan sinar X. Biasanya
prosedur ini bersamaan dengan pemeriksaan elektrofisiologi.
Selanjutnya kateter ablasi diletakkan pada sirkuit yang penting
dalam mempertahankan kelangsungan aritmia tersebut di luar
jaringan konduksi normal. Bilalokasi yang tepat sudah ditemukan,
maka energi radiofrekuensi diberikan melalui kateter ablasi.
Umumnya pasien tidak merasakan adanya rasa panas tapi kadang-
kadang dapat juga dirasakan adanya rasa sakit. Bila tidak terjadi
komplikasi pada pasien, hanya perlu dirawat selama 1 hari bahkan
bisa pulang hari. 3,6
Indikasi untuk ARF bergantung pada banyak hal seperti lama
dan frekuensi takikardi, toleransi terhadap gejala, efektivitas dan
toleransi terhadap obat anti aritmia, dan ada tidaknya kelainan
struktur jantung. Untuk TSV yang teratur, banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa ARF lebih efektif daripada obat dalam aspek
peningkatan kualitas hidup pasien dan penghematan biaya
daripada obat anti aritmia. 6
Satu sampai 4 elektroda kateter dimasukkan ke jantung melalui vena femoralis (atau jugular internal atau
subklavia) dengan anestesi lokal. Radiofrekuensi voltase rendah- frekuensi tinggi (500 kHz) membentuk energi
listrik yang digunakan dalam operasi elektrokauter-dikirimkan melalui alektroda kateter untuk membuat lesi kecil
melalui thermal injury di jaringan miokardium., sistem konduksi, atau keduanya yang diidentifikasi sebagai titik
kritis aritmia jantung. Prosedur ablasi biasanya memakan waktu 1-3 jam. Terapi dengan aspirin sering
direkomendasikan selama beberapa minggu setelah ablasi pada jantung kiri untuk menurunkan risiko emboli
2.1.10 Prognosis
Prognosis jangka panjang, dengan adanya jaras tambahan sangat
bervariasi. Bila sindrom WPW simptomatik terjadi pada bayi, maka dapat
mengalami kekambuhan. Insidens kematian jantung mendadak pada pasien
sindrom WPW berkisar antara 0.15 hingga 0.39% pada observasi selama 3
15
sampai 10 tahun. insidens kematian mendadak sindrom WPW berkisar
antara 1-2/1000 kasus tiap tahun. Biasanya henti jantung bukan
merupakan manisfestasi gejala pertama pada sindrom WPW. Faktor risiko
kematian jantung mendadak pada sindrom WPW antara lain interval RR
preeksitasi kurang dari 250 mdet saat fibrilasi atrium spontan maupun
diinduksi, riwayat takikardia simtomatik, jaras tambahan multipel, anomaly
Ebstein dan sindrom WPW familial. 5
BAB 3
KESIMPULAN
Takikardi supraventrikular merupakan kegawatdaruratan
kardiovaskular yang sering ditemukan pada bayi dan anak. Penyebab TSV
adalah idiopatik, sindrom Wolf Parkinson White (WPW) dan beberapa
penyebab klinis yang lain.
Gejala klinis lain TSV dapat berupa gelisah, irritabel, diaforesis, tidak
mau menetek atau minum susu. Kadang-kadang orangtua membawa
bayinya karena bernafas cepat dan tampak pucat. Dapat pula terjadi
muntah-muntah. Laju nadi sangat cepat sekitar 200-300 per menit, tidak
jarang disertai gagal jantung atau kegagalan sirkulasi yang nyata, palpitasi,
lightheadness, mudah lelah, hoyong, nyeri dada, nafas pendek dan bahkan
penurunan kesadaran. Pasien juga mengeluh lemah, nyeri kepala dan rasa
tidak enak di tenggorokan. Risiko terjadinya gagal jantung sangat rendah
pada anak dan remaja dengan TSV tapi risikonya meningkat pada neonatus
16
dengan TSV, neonatus dengan WPW dan pada anak dengan penyakit
jantung.
Diagnosis TSV berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan EKG.
Penatalaksanaan TSV berupa penatalaksanaan segera dan jangka panjang
yaitu medikamentosa, DC shock, ablasi kateter, pemakaian alat pacu jantung
dan tindakan bedah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lukman H. Makmun 2009. Aritmia Supraventrikular. Buku Ajar Penyakit
Dalam Jilid II. Edisi V. Ed. Bambang,S, dkk. Jakarta: InternaPublishing.
2. Rahayuningsih, Sri Endah. 2005. Sindrom Wolff Parkinson White. Sari
Pediatri, Vol. 7, No. 2, September 2005: 73 – 76
3. Lundqvist, Carina B., Etienne M. Aliot, Joseph A. Alpert, et al. 2003.
ACC/AHA/ESC Guidelines for The Management of Patients with
Supraventricular Arrhytmias- Executive Summary. European Heart Jurnal
2003 (24) : 1857-1897
4. Aslinar. 2010. Takikardi Supraventrikular- Sebuah Referat.
(http://www.who.int/gho/publications/world_health_statistics/en/ind
ex.html, diakses 25 November 2014)
17
5. Yuniadi, Yoga. 2011. Takikardia Iregular Dengan Kompleks QRS Lebar:
Mekanisme dan Tatalaksana. J Kardiologi Indonesia. 2011;32:66-68
6. Delacretaz, Etienne. 2006. Supraventricular Tachychardia. New England
Journal of Medicine (NEJM) 2006;354:1039-1051
7. Fox, David J., Tischenko, Alexander, et al. 2008. Supraventricular
Tachycardia: Diagnosis and Management. Mayo Clinic Proceedings,
December 2008;83(12):1400-1411
18