referat dhf.docx

31
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar belakang Penyakit demam berdarah sangat akrab dengan masyarakat Indonesia. Kendati gencar didengungkan, kasusnya hingga kini masih tetap tinggi, terutama pada anak-anak. Untuk itu, perlu pengetahuan prosedur penanganan demam yang tepat. Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada tahun 1953. Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) sampai demam berdarah dengue disertai syok (dengue shock syndrome = DSS). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat di rumah sakit sebagai puncak gunung es yang terlihat di atas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan (silent dengue infection dan demam dengue) merupakan dasarnya. 1

Upload: brilliantibnusina

Post on 25-Sep-2015

222 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Bab IPendahuluan

1.1Latar belakangPenyakit demam berdarah sangat akrab dengan masyarakat Indonesia. Kendati gencar didengungkan, kasusnya hingga kini masih tetap tinggi, terutama pada anak-anak. Untuk itu, perlu pengetahuan prosedur penanganan demam yang tepat.Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada tahun 1953. Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972).Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) sampai demam berdarah dengue disertai syok (dengue shock syndrome = DSS). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat di rumah sakit sebagai puncak gunung es yang terlihat di atas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan (silent dengue infection dan demam dengue) merupakan dasarnya.

1.2TujuanTujuan penulisan referat ini ialah untuk menambah keilmuan mengenai demam berdarah pada anak.

Bab IIPembahasan

2.1DefinisiDemam dengue, sindrom ringan yang disebabkan oleh virus yang dibawa arthropoda, ditandai dengan demam bifasik, mialgia atau atralgia, ruam, leukopeni, dan limfadenopatiDemam berdarah dengue, suatu penyakit demam berat yang sering mematikan, disebabkan oleh virus, ditandai oleh permeabilitas kapiler, kelainan homeostasis dan pada kasus berat, sindrom syok kehilangan protein.

2.2EpidemiologiInfeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia.Penyakit DD/DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia kecuali Timor-Timur telah terjangkit penyakit. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun. KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003).Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali, (3) Tidak adanya control vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi.Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang pesat.Kasus penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila, Filipina pada tahun 1953. Kasus di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang. Beberapa tahun kemudian penyakit ini menyebar ke beberapa propinsi di Indonesia, dengan jumlah kasus sebagai berikut : Tahun 1996 : jumlah kasus 45.548 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 1.234 orang. Tahun 1998 : jumlah kasus 72.133 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 1.414 orang (terjadi ledakan) Tahun 1999 : jumlah kasus 21.134 orang. Tahun 2000 : jumlah kasus 33.443 orang. Tahun 2001 : jumlah kasus 45.904 orang Tahun 2002 : jumlah kasus 40.377 orang. Tahun 2003 : jumlah kasus 50.131 orang. Tahun 2004 : sampai tanggal 5 Maret 2004 jumlah kasus sudah mencapai 26.015 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang.

2.3EtiologiVirus dengue termasuk group B arthropod borne virus (arboviruses) dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, family Flaviviridae, yang mempunyai 4 jenis serotype yaitu den-1, den-2, den-3, dan den-4. Keempat type virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia antara lain Jakarta dan Yogyakarta. Infeksi dengan salah satu serotype akan menimbulkan antibody seumur hidup terhadap serotype yang bersangkutan. Virus ini dapat menginfeksi manusia lewat nyamuk Aedes Aegypti atau Aedes Albopictus. Di Indonesia, keempat serotype dapat ditemukan. Tidak semua orang yang terkena virus dengue akan mengalami demam dengan gejala berat, sebagian lagi hanya sakit ringan. Namun, serotype den-3 merupakan serotype yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat.Aedes AegyptyNyamuk ini kakinya belang-belang putih-hitam dan mengigitnya justru di siang hari. Nyamuk Aedes Aegypty hidup dan berkembang biak pada tempat penampungan air-air bersih yang tidak langsung berhubungan dengan tanah, seperti bak mandi, wc, minuman burung, air tempayan / gentong, kaleng, ban bekas, dll. Di Indonesia nyamuk aedes aegypty tersebar luas di seluruh pelosok tanah air, baik kota maupun desa, kecuali wilayah yang ketinggiannya lebih dari 1000 m di atas permukaan laut.Perkembangan hidup nyamuk Aedes Aegypti dari telur hingga dewasa memerlukan waktu sekitar 10 12 hari. Hanya nyamuk betina yang menggigit dan menghisap darah serta memilih darah manusia untuk mematangkan telurnya. Sedangkan nyamuk jantan tidak bisa menggigit dan menghisap darah , melainkan hidup dari sari bunga tumbuh-tumbuhan. Umur nyamuk aedes aegypti betina berkisar antara 2 minggu sampai 3 bulan, tergantung dari suhu, kelembapan udara disekelilingnya. Kemampuan terbangnya berkisar antara 40 100 m dari tempat pembiakannya. Tempat istirahat yang disukainya adalah benda-benda yang tergantung di dalam rumah ( gordeng, kelambu dan baju/pakaian di kamar yang gelap dan lembab ).Kepadatan nyamuk ini akan meningkat pada waktu musim hujan, dimana terdapat banyak genangan air bersih yang dapat menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk aedes aegypti.2.4PatofisiologiVolume plasmaPatofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan antara DD dengan DBD adalah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadi hipotensi, trombositopeni, serta diathesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labeled human albumin sebagai indicator membuktikan bahwa plasma merembes salama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vascular (ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun didalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infuse, dan terdapatnya edema.Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif, dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat ddiberikan cairan yang mengandung elektolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat destruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja secara cepat. Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan kerusakan dinding endotel vaskuler yang mirip dengan luka akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamin atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia.

TrombositopeniaTrombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada nasa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dari pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop membuktikan bahwa penghancuran terjadi dalam sistem retikuloendotelial, limpa dan hati. Penyebab penigkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebeb yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sistem endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD.

System koagulasi dan fibrinolisisKelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation products (FDP). Penelitian lebih lanjut faktor koaulasi membuktikan adanya penurunan aktivitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktifitas faktor VII, faktor II dan antitrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogen dan faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan aktifitas -2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas plasminogen.Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa: (1) pada DBD stadium akut telah terjadi koagulasi dan fibrinolisis, (2) Disseminated intrvascular coagulation (DIC) secara potensial dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok ireversibel disertai perdarahan hebat, telibatnya oragan-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian. (3) perdarahan kulit pada umumya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia, sedangkan perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti tombositopenia, gangguan faktor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik. (4) Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan antitrombin III, respon pemberian heparin akan berkurang.

System komplemenPenelitian sistem komplemen pada DBD memperlihtakan penurunan kadar C3, C3 proaktivator, C4, dan C5, baik pada kasus yang disertai syok maupun yang tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit, penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif. Hasil penelitian radioisotop mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen dapat disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik. Kompleemn juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan. Disamping itu komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon gamma, interleukin (IL-2 dan IL-1). Bukti-bukti yang emndukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah (1) ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, (2) adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex), baik pada DBD derajat ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antera kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit.

Respons leukositPada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari kedelapan. Pemeriksaan LPB secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari demam keenam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa di antara hari keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD dengan demam dengue. Namun, antara hari kedua sampai hari kesembilan demam, tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD syok dan tanpa syok. Definisi LPB ialah limfosit dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai ukuran lebih besar atau sama dengan limfosit besar, sitoplasma lebar dengan vakuolisasi halus sampai sangat nyata., dengan daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk bulat oval atau berbentuk ginjal. Kromosom inti kasar dan kadang-kadang di dalam inti terdapat nukleoli. Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik. Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk dan tidak bertambah biru.

2.5PatogenesisMekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi DBD belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan model binatang percobaan yang dapat dipergunakan untuk menimbulkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini sebagian besar sarjana masih menganut the secondary heterologous infection hypothesis dan the sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseoang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue dengan serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun.

1. The Immunological Enhancement HypothesisAntibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enhanching antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yaitu: (1) kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus. Perbedaan ini berdasarkan adanya virion determinant specificity. Antibodi non neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi sekunder virus dengue oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat.

Dasar utama hipotesis ialah meningktanya reaksi imunologis (the immunological hypothesis) yang berlanhsung sebagai berikut:(a) sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel Kupffer merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer.(b) Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang melekat (sitofilik) pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini disebut mekanisme aferen.(c) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang telah terinfeksi.(d) Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus, hati, limpa dan sumsum tulang. Mekanisem ini disebut mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa renjatan ialah jumlah sel yang terkena infeksi.(e) Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.2. Aktivasi Limfosit TLimfosit T juga memegang peranan penting dalam patogenensis DBD. Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan interferon (IFN dan ). Pada infeksi sekunder oleh virus dengue (serotipe berbeda dengan infeksi pertama), limfosit T CD4+ berproliferasi dan menghasilkan IFN . IFN selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4+ dan CD8+ spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan. Hipotesis kedua patogenesis DBD mempunyai konsep dasar bahwa keempat serotipe virus dengue mempunyai potensi patogen yang sama dan gejala berat terjadi sebagai akibat dari serotipe/galur serotipe virus dengue yang paling virulen.

2.6Manifestasi Klinik

Infeksi oleh virus dengue menimbulkan variasi gejala mulai sindroma virus nonspesifik sampai perdarahan yang fatal. Gejala demam dengue tergantung pada umur penderita, pada balita dan anak-anak kecil biasanya berupa demam, disertai ruam-ruam makulopapular. Pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa, bisa dimulai dengan demam ringan, atau demam tinggi ( > 39 derajat C ) yang tiba-tiba dan berlangsung 2-7 hari, disertai sakit kepala hebat, nyeri di belakang mata, nyeri sendi dan otot, mual-muntah, dan ruam-ruam.Bintik-bintik pendarahan di kulit sering terjadi, kadang-kadang disertai bintik-bintik pendarahan dipharynx dan konjungtiva. Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati, nyeri di tulang rusuk kanan ( costae dextra ), dan nyeri seluruh perut. Kadang-kadang demam mencapai 40-41 0C, dan terjadi kejang demam pada balita.

Spektrum KlinisManifestasi Klinis

DDDemamDengue Demam akut selama 2-7 hari, disertai dua atau lebih manifestasi berikut: nyeri kepala, nyeri retroorbita, mialgia, manifestasi perdarahan, dan leukopenia. Dapat disertai trombositopenia. Hari ke-3-5 ==> fase pemulihan (saat suhu turun), klinis membaik.

DBDDemamBerdarahDengue Demam tinggi mendadak selama 2-7 hari disertai nyeri kepala, nyeri retroorbita, mialgia dan nyeri perut. Uji torniquet positif. Ruam kulit : petekiae, ekimosis, purpura. Perdarahan mukosa/saluran cerna/saluran kemih : epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri. Hepatomegali. Perembesan plasma: efusi pleura, efusi perikard, atau perembesan ke rongga peritoneal. Trombositopenia (kurang dari 100.000/l) Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat 20% lebih tinggi dari normal) Hari ke 3-5 ==> fase kritis (saat suhu turun), perjalanan penyakit dapat berkembang menjadi syok

SSD Manifestasi klinis seperti DBD, disertai kegagalan sirkulasi (syok). Gejala syok :1. Anak gelisah, hingga terjadi penurunan kesadaran, sianosis.2. Nafas cepat, nadi teraba lembut hingga tidak teraba.3. Tekanan darah turun, tekanan nadi < 10 mmHg.4. Akral dingin, capillary refill turun.5. Diuresis turun, hingga anuria.

Keterangan: Manifestasi klinis nyeri perut, hepatomegali, dan perdarahan terutama perdarahan GIT lebih dominan pada DBD. Perbedaan utama DBD dengan DD adalah pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi perembesan plasma yang mengakibatkan haemokonsentrasi, hipovolemia dan syok. Uji torniquet positif : terdapat 10 20 atau lebih petekiae dalam diameter 2,8 cm (1 inchi).

Berdasarkan gejalanya DHF dikelompokan menjadi 4 tingkat :1. Derajat IDemam diikuti gejala spesifik, satu-satunya manifestasi pendarahan adalah test Terniquet yang positif atau mudah memar.2. Derajat IIGejala yang ada pada tingkat 1 ditambah dengan pendarahan spontan, pendarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.3. Derajat IIIKegagalan sirkulasi ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan lemah, hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab, dan penderita gelisah.4. Derajat IVShock berat dengan nadi yang tidak teraba, dan tekanan darah tidak dapat di periksa, fase kritis pada penyakit ini terjadi pada akhir masa demam.

Setelah demam 2-7 hari, penurunan suhu biasanya disertai dengan tanda-tanda gangguan sirkulasi darah, penderita berkeringat, gelisah, tangan dan kakinya dingin dan mengalami perubahan tekanan darah dan denyut nadi. Pada kasus yang tidak terlalu berat gejala-gejala ini hampir tidak terlihat, menandakan kebocoran plasma yang ringan. Demam pada DBD mempunyai siklus demam yang khas disebut Siklus Pelana Kuda atau Kurva demam bifasik .

Ciri-ciri Demam DBD atau Demam Pelana Kuda - Hari 1 3 Fase Demam Tinggi Demam mendadak tinggi, dan disertai sakit kepala hebat, sakit di belakang mata, badan ngilu dan nyeri, serta mual/muntah, kadang disertai bercak merah di kulit.- Hari 4 5 Fase KRITIS Fase demam turun drastis dan sering mengecoh seolah terjadi kesembuhan.Namun inilah fase kritis kemungkinan terjadinya Dengue Shock Syndrome- Hari 6 7 Fase Masa Penyembuhan Fase demam kembali tinggi sebagai bagian dari reaksi tahap penyembuhan.

2.7Kriteria DiagnosisBerdasarkan criteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini dipenuhi: (Sudoyo, 2006) :a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.b. Terdapat minimal 1 dari manifestasi berikut: Uji bendung positif Petekie, ekimosis, atau purpura Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat lain. Hematemesis atau melenac. Trombositopenia d. Minimal terdapat tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut: Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya. Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites, atau hipoproteinemia.

Klasifikasi derajat infeksi virus dengue:I. Demam + Uji Torniquet positif II. Derajat I + Perdarahan spontan III. Kegagalan sirkulasi ( Nadi cepat, hipotensi, akral dingin ) IV. Renjatan berat ( nadi tidak teraba dan tensi tidak dapat diukur ) Untuk derajat I dan II disebut dengan DBD tanpa renjatan dan pada derajat III dan IV disebut dengan DBD renjatan (DSS).

2.8Pemeriksaan PenunjangLaboratoriumPemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah terpi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma baru. (Sudoyo, 2006)Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG. (Sudoyo, 2006)

Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain: (Sudoyo, 2006)1. Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemukan limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfositosis plasma biru (LPB) >15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.2. Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.3. Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan dtemukannya peningkatan hematokrit 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.4. Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, fibrinogen, D-Diner, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.5. SGOT/SGPT (serum alanin aminotranferase): dapat meningkat.6. Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.7. Golongan darah atau cross match (uji cocok serasi); bila akan diberikan transfusi darah atau komponen darah.8. Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari. IgG pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.

2.9Diagnosis BandingDemam pada fase akut mencakup spektrum infeksi bakteri dan virus yang luas. Pada hari-hari pertama diagnosis DBD sulit dibedakan dari morbili dan idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) yang disertai demam. Pada hari demam ke 3-4, kemungkinan diagnosis DBD akan lebih besar, apabila gejala klinis lain seperti manifestasi perdarahan dan pembesaran hati menjadi nyata. Kesulitan kadang-kadang dialami dalam membedakan syok pada DBD dengan sepsis; dalam hal ini trombositopenia dan hemokonsentrasi di samping penilaian gejala klinis lain seperti tipe dan lama demam dapat membantu.

2.10TatalaksanaTidak ada terapi yang spesifik untuk demam berdarah dengue, prinsip utama adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna. (Sudoyo, 2006)Seorang yang tersangka menderita DBD diruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila: (Sudoyo, 2006)1. Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke IGD.2. Hb, Ht, normal tetapi trombosit 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami deficit cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal cairan adalah dengan memberikan infuse cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml Kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infuse dkurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan yang menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infuse dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapt dihentikan 24-48 jam kemudian. (Sudoyo, 2006)Kebutuhan Cairan : - 10 mL/kgbb untuk setiap kehilangan cairan 1% dari BB normal.

RumatanBB (kg)Volume Rumatan (ml) dlm 24 jam

0-10100 ml/kgBB

11-201000 ml + 50 ml/kgBB

>201500 ml + 20 ml/kgBB

Kriteria Pasien Pulang Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik Nafsu makan membaik Klinis perbaikan Hematokrit stabil Trombosit > 50.000/ul dan cenderung meningkat Tidak dijumpai distres pernapasan 3 hari setelah syok teratasi

2.11PencegahanPencegahan penyakit demam berdarah mencakup Terhadap nyamuk perantara yaitu pemberantasan nyamuk Aedes aegypti induk dan telurnya Terhadap diri kita memperkuat daya tahan tubuh melindungi dari gigitan yamuk mendapatkan vaksin DBD Terhadap lingkungan dengan tujuan mengubah perilaku hidup sehat terutama kesehatan lingkungan

2.12PemberantasanStrategi pemberantasan penyakit demam berdarah lebih ditekankan pada:1. Upaya preventif, yaitu melaksanakan penyemprotan misal sebelum musim penularan penyakit di desa/kelurahan endemis demam berdarah, yang merupakan pusat-pusat penyebaran penyakit ke wilayah lainnya.2. Abatisasi untuk membunuh larva dengan butir-butir abate sand granule (SG) 1% pada tempat penyimpanan air dengan dosis ppm (part per million), yaitu 10 gram meter 100 liter air3. Strategi ini diperkuat dengan menggalakan pembinaan peran serta masyarakat dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN)4. Melaksanakan penanggulangan focus di rumah pasien dan di sekitar tempat tinggalnya guna mencegah terjadinya kejadian luar biasa (KLB)5. Melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai media.Kewajiban pelaporan kasus/tersangka dalam tempo 24jam ke Dinkes Dati II/Puskesmas tempat tinggal pasien merupakan keharusan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan 560 tahun 1989 dengan tujuan kemungkinan terjadinya penularan lebih lanjut, penyakit DBD dapat dicegah dan ditanggulangi sedini mungkin.

Cara Memberantas Jentik Cara memberantas jentik dilakukan dengan cara 3 M yaitu menguras, menutup, dan mengubur, artinya : Kuras bak mandi seminggu sekali (menguras), Tutup penyimpanan air rapat-rapat (menutup), Kubur kaleng, ban bekas, dll. (mengubur). Kebiasaan-kebiasaan seperti mengganti dan bersihkan tempat minum burung setiap hari atau mengganti dan bersihkan vas bunga, seringkali dilupakan. Kebersihan di luar rumah seperti membersihkan tanaman yang berpelepah dari tampungan air hujan secara teratur atau menanam ikan pada kolam yang sulit dikuras, dapat mengurangi sarang nyamuk.Pada kolam atau tempat penampungan air yang sulit dikuras dapat diraburkan bubuk abate yang dapat ditaburkan bubuk abate yang dapat membunuh jentik. Bubuk abate ini dapat dibeli di apotek.Pedoman Penggunaan Bubuk Abate (Abatisasi) Satu sendok makan peres (10 gram) untuk 100 liter air Dinding jangan disikat setelah ditaburi bubuk abate Bubuk akan menempel di dinding bak/ tempayan/ kolam Bubuk abate tetap efektif sampai 3 bulan

Cara Memberantas Nyamuk Dewasa Untuk memberantas nyamuk dewasa, upayakan membersihkan tempat-tempat yang disukai oleh nyamuk.

2.13PrognosisPrognosis DBD berdasarkan kesuksesan dalam tetapi dan penetalaksanaan yang dilakukan. Terapi yang tepat dan cepat akan memberikan hasil yang optimal. Penatalaksanaan yang terlambat akan menyebabkan komplikasi dan penatalaksanaan yang tidak tapat dan adekuat akan memperburuk keadaan.Kematian karena demam dengue hampir tidak ada. Pada DBD/SSD mortalitasnya cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta menunjukkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak.DBD Derajat I dan II akan memberikan prognosis yang baik, penatalaksanaan yang cepat, tepat akan menentukan prognosis. Umumnya DBD Derajat I dan II tidak menyebabkan komplikasi sehingga dapat sembuh sempurna.DBD derajat III dan IV merupakan derajat sindrom syok dengue dimana pasien jatuh kedalam keadaan syok dengan atau tanpa penurunan kesadaran. Prognosis sesuai penatalaksanaan yang diberikan Dubia at bonam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sumarmo, Herry, dkk. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Jakarta2. Arvin, Behrman Klirgman. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol 1 Edisi 15. Buku Kedokteran EGC. 2000. Jakarta 3. WHO. Demam Berdarah Dengue. EGC. 1999. Jakarta4. WHO. Dengue Hemorrhagic Fever : diagnosis, treatment, prevention and control. Geneva, 1997.5. WHO. Guidelines for treatment of dengue fever/dengue hemorrhagic fever in small hospitals. New Delhi, 1999.6. Behrman, Kliegman, Arvinka. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Vol 2. Edisi ke 15, Jakarta : EGC; 2000; 1132-6.7. Soedarmo Sumarmo S. Purwo, Garna Herry, Hadinegoro SRS., Satari HI. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia;2012; 153-81.8. Pudjiaji Antonius H, Hegar Badriul. Pedoman Pelayanan Medis. Edisi pertama. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia;2010; 141-9. 9. WHO, Dengue: Guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control diunduh dari : URL: http://www.who.int/csr/disease/dengue/en/10. Chen Khie, Pohan Herdiman dkk. Diagnosis dan terapi cairan pada demam berdarah dengue. Medicinus, Vol. 22, No.1, Edisi Maret - Mei 2009; 5-911. Mayetti. Hubungan klinis dan laboratorium sebagai faktor risiko syok pada DBD, Sari Pediatri, Vol. 11, No. 5, Februari 2010; 367-73

1