referat amnesia.pdf

13
1 BAB I PENDAHULUAN Memori merupakan suatu cara untuk merekonstruksi kembali kejadian- kejadian yang telah dialami dan reaksi terhadap kejadian tersebut secara imaginatif. Memori tentang suatu objek terbentuk melalui tiga tahap yaitu 1) registrasi gambaran suatu objek diterima oleh sensorik, 2) retensi (penyimpanan) gambaran fisik tentang objek tersebut terbentuk dan berintegrasi dengan memori-memori yang lama yang sudah ada, 3) recall memanggil kembali informasi tersebut saat dibutuhkan. 1 Secara fisiologis, ingatan tersimpan dalam otak dengan mengubah sensitivitas dasar penjalaran sinaptik di antara neuron-neuron sebagai akibat aktivitas neural sebelumnya. Jaras baru yang atau yang terfasilitasi disebut jejak- jejak ingatan ingatan (memory traces). Jaras-jaras ini penting karena bila menetap/ada, akan diaktifkan secara selektif oleh bank pikiran untuk menimbulkan kembali ingatan yang ada. 2 Memori dan new learning dipercaya melibatkan korteks serebral, proyeksi subkortikal, hippocampal formation (gyrus dentatus, hipokampus, gyrus parahippocampal), dan diensefalon, terutama bagian medial dari dorsomedial dan adjacent midline nuclei of thalamus. 3 Percobaan pada hewan tingkat rendah telah memperlihatkan bahwa jejak ingatan dapat timbul pada semua tingkat system saraf. Bahkan reflex-refleks medulla spinalis dapat mengubah setidaknya sedikit respon terhadap aktivasi medulla yang berturut-turut, dan perubahan-perubahan reflex tersebut merupakan bagian dari proses ingatan. 2 Mekanisme ingatan yang dipelajari oleh Kandel dkk pada keong Aplypsia besar melibatkan dua terminal presinaps. Salah satunya berasal dari neuron input sensorik dan berakhir secara langsung pada permukaan neuron yang akan dirangsang; terminal ini disebut terminal sensorik. Terminal lainnya, yaitu ujung presinaptik yang terletak pada permukaan terminal sensorik, disebut terminal fasilitator. Bila terminal sensorik dirangsang secara berulang-ulang tanpa perangsangan pada terminal fasilitator, sinyal yang dijalarkan pertama kali cukup besar, tapi kemudia melemah sesuai dengan pengulangan rangsang sampai akhirnya hilang. Fenomena ini disebut habituasi. Habituasi merupakan tipe ingatan negatif yang mengakibatkan lingkaran neuronal kehilangan responnya terhadap peristiwa berulang yang tidak berarti. Sebaliknya bila stimulus noksius merangsang terminal fasilitator pada saat yang sama dengan perangsangan terminal sensorik, ternyata sinyal yang dijalarkan ke neuron postsinaptik semakin melemah secara progresif. Berkurangnya penjalaran sinyal menjadi kuat dan

Upload: krisna-ponggalunggu

Post on 02-Oct-2015

144 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

xxxx

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I PENDAHULUAN

    Memori merupakan suatu cara untuk merekonstruksi kembali kejadian-

    kejadian yang telah dialami dan reaksi terhadap kejadian tersebut secara

    imaginatif. Memori tentang suatu objek terbentuk melalui tiga tahap yaitu 1)

    registrasi gambaran suatu objek diterima oleh sensorik, 2) retensi

    (penyimpanan) gambaran fisik tentang objek tersebut terbentuk dan berintegrasi

    dengan memori-memori yang lama yang sudah ada, 3) recall memanggil

    kembali informasi tersebut saat dibutuhkan.1

    Secara fisiologis, ingatan tersimpan dalam otak dengan mengubah

    sensitivitas dasar penjalaran sinaptik di antara neuron-neuron sebagai akibat

    aktivitas neural sebelumnya. Jaras baru yang atau yang terfasilitasi disebut jejak-

    jejak ingatan ingatan (memory traces). Jaras-jaras ini penting karena bila

    menetap/ada, akan diaktifkan secara selektif oleh bank pikiran untuk

    menimbulkan kembali ingatan yang ada.2 Memori dan new learning dipercaya

    melibatkan korteks serebral, proyeksi subkortikal, hippocampal formation (gyrus

    dentatus, hipokampus, gyrus parahippocampal), dan diensefalon, terutama bagian

    medial dari dorsomedial dan adjacent midline nuclei of thalamus.3

    Percobaan pada hewan tingkat rendah telah memperlihatkan bahwa jejak

    ingatan dapat timbul pada semua tingkat system saraf. Bahkan reflex-refleks

    medulla spinalis dapat mengubah setidaknya sedikit respon terhadap aktivasi

    medulla yang berturut-turut, dan perubahan-perubahan reflex tersebut merupakan

    bagian dari proses ingatan.2

    Mekanisme ingatan yang dipelajari oleh Kandel dkk pada keong Aplypsia

    besar melibatkan dua terminal presinaps. Salah satunya berasal dari neuron input

    sensorik dan berakhir secara langsung pada permukaan neuron yang akan

    dirangsang; terminal ini disebut terminal sensorik. Terminal lainnya, yaitu ujung

    presinaptik yang terletak pada permukaan terminal sensorik, disebut terminal

    fasilitator. Bila terminal sensorik dirangsang secara berulang-ulang tanpa

    perangsangan pada terminal fasilitator, sinyal yang dijalarkan pertama kali cukup

    besar, tapi kemudia melemah sesuai dengan pengulangan rangsang sampai

    akhirnya hilang. Fenomena ini disebut habituasi. Habituasi merupakan tipe

    ingatan negatif yang mengakibatkan lingkaran neuronal kehilangan responnya

    terhadap peristiwa berulang yang tidak berarti. Sebaliknya bila stimulus noksius

    merangsang terminal fasilitator pada saat yang sama dengan perangsangan

    terminal sensorik, ternyata sinyal yang dijalarkan ke neuron postsinaptik semakin

    melemah secara progresif. Berkurangnya penjalaran sinyal menjadi kuat dan

  • 2

    semakin kuat dan terjadi selama bermenit-menit, berjam-jam, bahkan berhari-hari,

    atau dengan pelatihan yang lebih keras lagi, dapat sampai 3 minggu tanpa adanya

    perangsangan pada terminal fasilitator. Jadi stimulus yang sangat menganggu

    menyebabkan jaras ingatan menjadi terfasilitasi selama beberapa hari atau

    beberapa minggu sesudahnya. Dalam hal ini yang menarik adalah walaupun

    setelah terjadi habituasi, jaras tersebut dapat dialihkan ke jaras terfasilitasi

    walaupun hanya dengan sedikit rangsang yang sangat mengganggu.2

    Soertidewi (2004) menyebutkan bahwa kecacatan post trauma kapitis yang

    sering ditemukan adalah gangguan kortikal luhur. Berbagai gejala dapat ditemui

    mulai dari yang tidak jelas sampai gangguan intelektual dan emosional berat.

    Gejala neuropsikiatri yang berhubungan dengan cedera kapitis meliputi gangguan

    kognitif, anxiety, psikosis, atensi, bahasa dan gangguan perilaku.4 Trauma kepala

    dapat mengakibatkan amnesia yang sementara ataupun permanen. 5

  • 3

    BAB II ISI

    II.1 DEFINISI

    A. Amnesia

    Dalam keseharian, amnesia didefinisikan sebagai kehilangan

    ingatan. Amnesia (amnesia neurologis dan fungsional amnesia) merujuk

    kepada kesulitan untuk mempelajari informasi baru atau mengingat hal

    yang sudah terjadi. Amnesia fungsional jarang ditemui jika dibandingkan

    dengan amnesia neurologis dan dapat merupakan akibat dari trauma

    emosional. Amnesia fungsional merupakan gangguan psikiatri, dimana

    tidak ada bagian otak tertentu yang yang mengalami kerusakan. Amnesia

    neurologis dicirikan oleh hilangnya memori eksplisit (deklaratif), yang

    merupakan pengetahuan tentang fakta dan peristiwa-peristiwa.

    Sebaliknya, memori implicit (non-deklaratif), yang merupakan kumpulan

    ingatan tentang pengalaman yang didapatkan secara tidak sadar, biasanya

    tetap utuh. Amnesia neurologis terjadi akibat trauma otak atau penyakit

    yang merusak lobus temporalis medial ataupun diencephalon medial. 6

    B. Trauma Kepala

    Trauma kepala adalah adalah trauma mekanik terhadap kepala baik

    secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan

    fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik

    temporer maupun permanen (PERDOSSI, 2006)7.

    Trauma kepala dapat dikelompokkan atas dua stadium yaitu cedera

    kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer

    merupakan hasil dari kerusakan mekanikal langsung yang terjadi pada

    saat kejadian trauma. Cedera primer dihasilkan oleh kekuatan akselerasi

    dan deselerasi yang merusak kandungan intracranial oleh karena

    pergerakan yang tidak seimbang dari tengkorak dan otak. Patofisiologi

    cedera kepala primer dapat dibedakan menjadi lesi fokal dan lesi difus.

    Cedera kepala fokal (focal brain injury) khas berhubungan dengan

    pukulan terhadap kepala yang menimbulkan kontusio serebral dan

    hematoma. Cedera fokal mempengaruhi morbiditas dan mortalitas

    berdasarkan lokasi, ukuran dan progresifitasnya. Cedera aksonal difus

    (diffuse axonal injury) disebabkan oleh tekanan inersial yang sering

    berasal dari kecelakaan sepeda motor. Pada praktisnya, diffuse axonal

    injury dan focal brain lesions sering terjadi bersamaan. Yang termasuk

    tipe dari cedera kepala primer ini diantaranya fraktur tengkorak, epidural

  • 4

    hematoma, subdural hematoma, intraserebral hematoma dan diffuse

    axonal injury.

    Cedera kepala sekunder terjadi setelah trauma awal dan ditandai

    dengan kerusakan neuron-neuron akibat respon fisiologis sistemik

    terhadap cedera awal. Faktor sekunder akan memperberat cedera kepala

    dikarenakan laserasi otak, robekan pembuluh darah, spasme vaskuler,

    oedem serebral, hipertensi intrakranial, pengurangan cerebral blood flow

    (CBF), iskemik, hipoksia dan lainnya yang dapat menimbulkan

    kerusakan dan kematian neuron.

    Beratnya trauma kapitis secara klinis sering dihubungkan dengan

    lamanya kehilangan kesadaran, kehilangan memori segera sesudah

    kejadian, atau sesudah cedera (amnesia pasca trauma) dan identifikasi

    lesi intracranial.7

    C. Amnesia Pasca Trauma

    Amnesia pasca trauma didefinisikan pertama kali oleh Russell dan

    Smith sebagai periode setelah trauma kapitis dimana informasi tentang

    kejadian yang berlangsung tidak tersimpan. Russel dan Smith kemudian

    memperhalus konsep PTA untuk memfokuskan pada gangguan

    penyimpanan informasi kejadian yang berlangsung. Dalam istilah

    neuropsikologi kognitif, PTA adalah suatu gangguan pada memori

    episodik yang digambarkan sebagai ketidakmampuan. pasien untuk

    menyimpan informasi kejadian yang terjadi dalam konteks temporospatial

    yang spesifik. Akan tetapi, fase penyembuhan dini setelah gangguan

    kesadaran juga dikarakteristikkan oleh gangguan atensi dan perubahan

    behavioral yang bervariasi dari mulai letargi sampai dengan agitasi. 7

    Menurut Tate dkk, amnesia pasca trauma merupakan masa

    transisional antara koma dan kembalinya kesadaran penuh seseorang

    dimana di interval waktu itu, orang tersebut mengalami kebingungan,

    tidak mengingat kejadian yang sudah dan/atau sedang berlangsung serta

    adanya gangguan perilaku.8

    II.2 EPIDEMIOLOGI

    Data epidemiologis tentang cedera kepala di Indonesia hingga saat ini

    belum tersedia, namun dari data yang ada dikatakan dari tahun ke tahun

    mengalami peningkatan. Data cedera kepala di Makassar khususnya di Rumah

  • 5

    Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 2005 berjumlah 861 kasus, tahun

    2006 berjumlah 817 kasus dan tahun 2007 berjumlah 1078 kasus. Sekitar 59%

    adalah cedera kepala ringan, 24% cedera kepala sedang dan 17% cedera kepala

    berat. Pada penelitian lain, dalam kurung waktu 3 bulan (November 2011-April

    2012) ditemukan 524 penderita cedera kepala, 103 diantaranya mengalami

    delirium dan terdiri dari 27,2% merupakan cedera kepala sedang, dan 72,8 %

    cedera kepala ringan.4 Pada penelitian yang dilakukan Tate dkk di sebuah pusat

    rehabilitasi, 70% dari pasien yang mengalami cedera kepala mengalami gangguan

    ingatan, baik itu amnesia retrograde maupun amnesia anterograde, dan gangguan

    perilaku.8

    II.3 KLASIFIKASI

    Post traumatic amnesia dapat dibagi dalam 2 tipe. Tipe yang pertama

    adalah retrograde, yang didefinisikan oleh Cartlidge dan Shaw, sebagai hilangnya

    kemampuan secara total atau parsial untuk mengingat kejadian yang telah terjadi

    dalam jangka waktu sesaat sebelum trauma kapitis. Amnesia jenis ini

    mempengaruhi memori yang sudah terbentuk beberapa menit, hari, bulan bahkan

    tahun sebelum trauma pada otak terjadi.9 Tipe yang kedua dari PTA adalah

    amnesia anterograde, suatu defisit dalam membentuk memori baru setelah

    terjadinya trauma pada otak. Memori anterograde biasanya merupakan fungsi

    terakhir yang kembali setelah pasien kembali sadar post trauma.3 Amnesia

    anterograde biasanya terjadi tanpa disertai amnesia retrograde, namun jarang

    ditemukan amnesia retrograde yang tidak disertai amnesia anterograde.9

    II. 4 ANATOMI DAN FISIOLOGI MEMORI

    Ada tiga bagian pada otak yang jika mengalami kerusakan dapat

    menyebabkan gangguan pada memori, yaitu lobus temporalis medial,

    diencephalon dan basal forebrain. Struktur pada lobus temporalis medial yang

    memegang peranan yang penting dalam mengingat di antaranya adalah

    hipokampus, dan area korteks di sekitarnya yang secara anatomi terkait dengan

    hipokampus, khususnya entorhinal, perirhinal dan korteks parahipokampus. Area

    terbesar yang berperan dalam tugas memory recall adalah di lobus temporalis

    medial posterior, khususnya hipokampus dan girus parahipokampus. Penelitian

    yang dilakukan dengan mengangkat hipokampus (termasuk girus dentatus dan

    kompleks subicular), amygdale dan area korteks yang berhubungan dengan

    hipokampus dan amygdale akan menghasilkan gangguan pada memori yang

  • 6

    sangat parah. Penelitian dengan menggunakan tikus dan monyet juga

    menunjukkan bahwa amygdale memegang peranan yang penting untuk jenis-jenis

    memori yang lain, seperti memori tentang rasa takut dan jenis memori lainnya

    yang berubah akibat pengalaman seseorang.

    Kerusakan pada region diencephalic sudah dihubungkan dengan amnesia

    hampir sejak seabad yang lalu. Ada dua struktur yang memegang peranan penting

    di diencephalon yaitu nucleus mammilari dan nucleus medio-dorsal thalamic.

    Namun, kerusakan pada nucleus lain di diencephalon juga bisa mengakibatkan

    gangguan pada memori.10

    Gambar 1

    Bagian otak yang memegang peranan dalam memori

    Memori paling sering berawal dari impresi sensoris. Stimulasi sensoris

    ditangkap oleh reseptor tubuh akan diteruskan ke korteks sensorik primer yang

    bersangkutan. Impuls kemudian diteruskan ke korteks sensorik sekunder dan

    akhirnya ke stasiun akhir asosiasi yang akan menimbulkan respon terhadap

    stimuli. Semua system sensoris kortkes mempunyai hubungan timbal balik

    langsung dengan amigdala.

    Hipokampus dan amigdala mengirim serat proyeksi ke thalamus dan

    hipotalamus, yaitu suatu kumpulan nuclei diencephalon. Diensephalon dan system

    limbic ini membentuk suatu sirkuit memori. Hipotalamus yang berperan sebagai

  • 7

    sumber respon emosional mempunyai hubungan timbale balik dengan amigdala.

    Di amigdala banyak terdapat neuron pembentuk neurotransmitter opioid yang

    diduga berfungsi sebagai penyaring dalam respon terhadap keadaan emosional

    yang dibangkitkan di hipotalamus.

    Hipokampus juga berperan mengkonsolidasi memori baru. Nucleus

    thalamus mengirim proyeksi serat ke struktur limbic yang kemudian mengirim

    seratnya ke korteks prefrontal. Pada manusia, bila lobus frontalis rusak, maka

    penderita tidak dapat menyimpan informasi baru dalam memori.11

    Pada beberapa penelitian tentang amnesia pada manusia dan beberapa

    pada hewan percobaan diperoleh informasi tentang hubungan neuron dan struktur

    yang mengalami kerusakan. Pada manusia, kerusakan terbatas pada hipokampus

    (sebuah struktur dalam lobus temporalis medial) dapat mengakibatkan amnesia

    yang cukup parah. Keparahan gangguan ingatan diperberat jika ada kerusakan

    tambahan pada struktur di lobus temporalis medial selain hipokampus.6

    Terjadinya amnesia post trauma kepala pada penderita cedera kepala

    menunjukkan adanya kerusakan otak yang difus. Gangguan pada struktur

    hipokampus/lobus temporalis medial akan memberikan gambaran klinis berupa

    gangguan memori anterograde, sedangkan lesi pada struktur diensefalon (corpus

    mammilaris) dan atau thalamus akan menyebabkan kesulitan mengingat kembali

    memori retrograde.4

    Gambar 2

    Jenis memori dan struktur yang berperan

    II.5 DIAGNOSIS

  • 8

    A. Anamnesis

    Untuk mendiagnosis amnesia, khususnya amnesia pasca trauma,

    dapat digunakan beberapa pertanyaan sebagai parameter. Pertanyaan

    pertama adalah apa yang dilupakan oleh pasien? Pada temporal amnesia,

    semua memori verbal pasien dalam periode waktu tertentu terhapus. Pada

    amnesia kategorikal, semua memori verbal pasien tentang suatu topic

    tanpa memandang periode waktu ataupun tempat tertentu terhapus. Salah

    satu contoh kategorikal amnesia adalah pasien tidak bisa mengingat

    identitas dirinya dengan masa lalunya, walaupun dia masih bisa mengingat

    informasi non-personal seperti fakta atau sejarah-sejarah di masa lalu.

    Pada beberapa kasus, amnesia temporal dan kategorikal dapat terjadi

    bersamaan. Sebagai contoh adalah amnesia global dimana pasien tidak

    bisa mengingat informasi apapun baik identitas dirinya maupun informasi

    non-personal.

    Pertanyaan kedua yang bisa ditanyakan adalah periode waktu apa

    yang hilang dari ingatan pasien? Amnesia paling sering ditemui adalah

    amnesia retrograde dimana pasien tidak bisa mengingat peristiwa yang

    terjadi sesaat sebelum terjadinya trauma atau penyakit yang menyebabkan

    amnesia. Selain itu jenis amnesia yang jarang terjadi yaitu amnesia

    anterograde, dimana pasien tidak bisa mengingat peristiwa yang terjadi

    setelah trauma terjadi.

    Pertanyaan ketiga adalah apa yang mencetuskan atau

    menyebabkan terjadinya amnesia tersebut? Faktor presipitasinya dapat

    berupa trauma (fisik ataupun shock emosional) dan non traumatic (akibat

    dari suatu penyakit).1

    B. Gejala Klinis

    Pada trauma kepala dengan amnesia pasca trauma, pasien dapat

    mengalami kebingungan, disorientasi, amnesia retrograde ataupun amnesia

    anterograde bahkan kadang-kadang gelisah.9, 12

    Durasi amnesia pasca

    trauma sangatlah bervariasi, antara menit sampai bulan. Walaupun pada

    fase awal, amnesia pasca trauma mudah dikenali, namun menentukan

    waktu berakhirnya sangatlah sulit dan kompleks. Pada beberapa kasus,

    akhir dari amnesia pasca trauma tidak dapat ditentukan karena terjadi

    gangguan ingatan yang kronis.8 Pada pasien dengan amnesia pasca trauma

    dapat ditemukan satu atau beberapa hal berikut ini:

    - Disorientasi dan/atau kebingungan

    - Gelisah, tidak bisa tenang

    - Agresif

    - Mengerang, bertingkah seperti anak-anak

    - Berperilaku social yang tidak pantas

  • 9

    - Rasa takut atau paranoid

    - Hipersensitivitas terhadap cahay

    - Capek

    - Penurunan konsentrasi atau perhatian

    - Hilangnya ingatan yang berkelanjutan

    - Halusinasi

    - Konfabulasi (membuat cerita-cerita yang tidak nyata)

    - Pengulangan gerakan atau pikiran

    - Hanya focus pada satu topic

    - Siklus tidur terganggu

    - Impulsive

    - Berkurangnya kemampuan untuk membuat rencana ataupun menyelesaikan

    sesuatu.13

    C. Pemeriksaan Penunjang

    Sampai saat ini, belum ada gold standard untuk menilai amnesia

    pasca trauma. 12

    Penilaian tentang amnesia pasca trauma yang paling banyak

    digunakan sekarang GOAT adalah yang paling banyak digunakan.

    Penilaian ini pendek dan mudah digunakan. Penilaiannya terdiri dari

    sejumlah poin yang ditambahkan ketika menjawab dengan benar atau

    jumlah kesalahan. Skor yang mendekati angka 100, berarti fungsi masih

    terjaga. Tes ini dapat diberikan beberapa kali dalam sehari, meskipun pada

    hari yang berturut-turut. Sehingga dapat dibuat grafik untuk

    menggambarkan perjalanan kapasitas dari mulai waktu tertentu sampai

    orientasi total tercapai. Pengarang dari test ini percaya bahwa tes ini sesuai

    bagi seorang pasien untuk memulai pemeriksaan kognitif ketika skor 75

    dicapai pada tes ini yang mengindikasikan pasien tidak mengalami

    kebingungan dan disorientasi lagi.7 Akan tetapi validitas dan reabilitas

    GOAT dan statusnya sebagai gold standard dalam penilaian PTA masih

    diperdebatkan berhubungan dengan akurasi yang tidak sempurna karena

    tidak semua jawaban yang diberikan oleh pasien tentang pertanyaan

    tentang memorinya dapat diverifikasi.12

  • 10

    Gavelston Orientation and Amnesia Test (GOAT)

    II.6 PENATALAKSANAAN

    Penatalaksanaan pasien amnesia pasca trauma membutuhkan sebuah tim

    untuk melakukan pendekatan dalam rangka membuat dan menjaga lingkungan

    yang rendah stimulus, tenang, dan mendukung proses pemulihan pasien. Pada

    tahap awal, hal-hal yang diajurkan adalah:

    - Jika memungkinkan, pasien ditempatkan dalam ruang yang berkapasitas

    khusus untuk satu pasien.

    - Lingkungan yang tenang, untuk mengurangi stimulus eksternal seperti

    televisi, radio, lampu terang, dan kebisingan

    - Buat lingkungan yang aman dan familiar kepada pasien, menggunakan

    benda-benda dan gambar

  • 11

    - Jangan biarkan pasien terstimulasi secara berlebihan.

    Semua yang dapat pasien lihat, dengar ataupun rasakan yang dapat

    menyebabkan mereka berpikir adalah stimulus, oleh karena itu benda-benda di

    ruangan pasien harus seminimal mungkin. Alat-alat yang tidak diperlukan

    seperti perabot yang tidak perlu, tabung oksigen, meja-meja, kursi-kursi,

    symbol-simbol (kecuali yang diperlukan untuk rehabilitasi pasien), atau majalah

    harus dikeluarkan. Jaga lampu agar tidak terlalu terang dan ruangan tidak terlalu

    bising. Ketika berinteraksi dengan pasien, usahakan agar percakapan dan

    instruksi tetap sederhana dan mudah dimengerti oleh pasien. Berbicaralah

    dengan tenang dan meyakinkan. Pada tahap awal, gunakan pertanyaan-

    pertanyaan yang hanya memerlukan jawaban singkat seperti ya atau tidak.

    Pasien mungkin membutuhkan bantuan dalam membuat keputusan-keputusan.13

    Ada banyak teknik rehabilitasi yang bisa digunakan untuk sebagai terapi

    pada pasien amnesia. Intervensi bisa focus pada penggunaan teknik kompensasi

    seperti notes, diari, ataupun melalui program-program yang melibatkan

    partisipasi aktif dari individu, keluarga dan teman-temannya. 9

    II.7 PROGNOSIS

    Amnesia pasca trauma merupakan indikator penting untuk

    mengklasifikasikan tingkat keparahan trauma kepala. Durasi amnesia pasca

    trauma lebih efektif dalam menentukan prognosis jika dibandingkan dengan

    indicator lainnya seperti GCS.14

    Semakin lama durasi APT, maka semakin

    banyak perubahan neurobehaviour yang dijumpai dan deficit yang paling sering

    dijumpai adalah pada memori dan gejala fisik.12

  • 12

    BAB III PENUTUP

    Amnesia pasca trauma merupakan masa transisional antara koma dan

    kembalinya kesadaran penuh seseorang dimana di interval waktu itu, orang

    tersebut mengalami kebingungan, tidak mengingat kejadian yang sudah dan/atau

    sedang berlangsung serta adanya gangguan perilaku.

    Amnesia pasca trauma merupakan key symptom untuk traumatic brain

    injury (TBI). Pemeriksaan yang akurat dari amnesia pasca trauma dapat menjadi

    pedoman dalam membuat keputusan klinis. Evaluasi amnesia pasca trauma dapat

    digunakan untuk memonitor pemulihan pada pasien dengan trauma kepala, serta

    sebagai pedoman untuk menentukan terapi dan rehabilitasi yang akan dilakukan.

    Walaupun penilaian terhadap amnesia pasca trauma sangatlah penting, namun

    sampai sekarang belum ada gold standard untuk pemeriksaan amnesia pasca

    trauma.

    Durasi amnesia pasca trauma sangatlah bervariasi, antara menit sampai

    bulan. Walaupun pada fase awal, amnesia pasca trauma mudah dikenali, namun

    menentukan waktu berakhirnya sangatlah sulit dan kompleks. Pada beberapa

    kasus, akhir dari amnesia pasca trauma tidak dapat ditentukan karena terjadi

    gangguan ingatan yang kronis.

  • 13

    Daftar Pustaka

    1. Suarez JM, Pittluck AT. Global Amnesia : Organic dan Fungsional Considerations. The Bulletin.

    2. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11 ed. Jakarta: EGC; 2007. 3. Cantu RC. Posttraumatic Retrograde and Anterograde Amnesia: Pathophysiology

    and Implications in Grading and Safe Return to Play. Journal of Athletic Training 2001;36(3):244-248.

    4. Zainuddin SZ, Kwandou L, Akbar M. Hubungan Amnesia Post Trauma Kepala dengan Gangguan Neurobehavior pada Penderita Cedera Kepala Ringan dan Sedang: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

    5. Kopelman MD. Disorders of memory. Brain 2002;125:2152-2190. 6. Shrager Y, Squire LR. Amnesia. Scholarpedia;3(8):2789. 7. Asrini S, Dhanu R, Sjahrir H. Peranan Post Traumatic Amnesia (PTA) dan

    Parameter Laboratorium Sebagai Prediktor Terhadap Outcome pada Penderita Trauma Kapitis Akut Ringan-Sedang. USU e-Repository 2008.

    8. Tate R, Pfaff A, Bagulley I. A multicentre, randomised trial examining the effect of test procedures measuring emergence from posttraumatic amnesia. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2006(77):841-849.

    9. Guise Ed. Amnesia. International Encyclopedia of Rehabilitation 2010. 10. Morgan SZ, Squire L. Neuroanatomy of Memory. Annu. Rev. Neurosci

    1993;16:547-563. 11. Sumadikarya IK. Memori Jangka Pendek : Penerimaan, Penyimpanan, dan

    Pemanggilan Informasi. Meditek 1999;7(20):53-62. 12. Bram J, Ekert Jv, Vernooy LP. Development and external validation of a new PTA

    assessment scale. BMC Neurology 2012;12(69):1-9. 13. Gumm K, T T, L O. Post Traumatic Amnesia Screening and Management. In:

    Traumatology, editor. The Royal Melbourne Hospital; 2014. 14. Nakase-Richardson R, Sepehri A, Sherer M. Classification Schema of

    Posttraumatic Amnesia Duration-Based Injury Severity Relative to 1-Year Outcome: Analysis of Individuals with Moderate and Severe Traumatic Brain Injury. Arch Phys Med Rehabil 2009;90:17-19.