referat akatisia

13
1 BAB I PENDAHULUAN Saat ini, pemberian obat-obat antipsikotik masih menjadi pilihan terapi farmakologis utama untuk skizofrenia. Terdapat dua jenis golongan obat antipsikotik untuk skizofrenia, yaitu obat antipsikotik generasi pertama (tipikal) dan obat psikotik generasi kedua (atipikal). Keduanya termasuk dalam obat golongan neuroleptik. Salah satu efek samping pengobatan dengan antipsikotik adalah timbulnya gangguan pada system persarafan ekstra pyramidal yang dikenal sebagai sindroma ekstra pyramidal. Sindroma ekstra pyramidal merupakan faktor penyulit dalam proses terapi karena sering menyebabkan gangguan pada kepatuhan pasien dalam minum obat secara teratur. Sindroma ini meliputi tiga kelompok gangguan besar, yaitu akatisia, distonia, dan parkinsonisme. 1 Akatisia merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan suatu gejala psikiatri berupa kegelisahan yang ekstrim. 2 Istilah “akathisia” pertama kali diperkenalkan oleh Lad Haskovec, seorang neuropsikiater pada tahun 1901. 3 Lad Haskovec mempunyai dua orang pasien yang tidak bisa untuk duduk dengan tenang. Mereka butuh berjalan secara terus menerus. Haskovec kemudian membuat istilah akathitic, yang dalam bahasa Yunani artinya “tidak bisa duduk”. Ketidakmampuan untuk tetap duduk dalam jangka waktu tertentu telah dipublikasikan sebelumnya. Referensi yang pertama kali ditemukan ialah sebuah textbook pada abad ke 19 yang mendeskripsikan seorang anggota di pengadilan Napoleon ke-3 yang menderita penyakit Parkinson dan melanggar aturan persidangan dengan terus menerus duduk dan berdiri secara bergantian untuk membuat dirinya merasa nyaman. 3

Upload: krisna-ponggalunggu

Post on 27-Sep-2015

171 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

xxx

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Saat ini, pemberian obat-obat antipsikotik masih menjadi pilihan terapi

    farmakologis utama untuk skizofrenia. Terdapat dua jenis golongan obat

    antipsikotik untuk skizofrenia, yaitu obat antipsikotik generasi pertama (tipikal)

    dan obat psikotik generasi kedua (atipikal). Keduanya termasuk dalam obat

    golongan neuroleptik. Salah satu efek samping pengobatan dengan antipsikotik

    adalah timbulnya gangguan pada system persarafan ekstra pyramidal yang dikenal

    sebagai sindroma ekstra pyramidal. Sindroma ekstra pyramidal merupakan faktor

    penyulit dalam proses terapi karena sering menyebabkan gangguan pada

    kepatuhan pasien dalam minum obat secara teratur. Sindroma ini meliputi tiga

    kelompok gangguan besar, yaitu akatisia, distonia, dan parkinsonisme.1

    Akatisia merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan

    suatu gejala psikiatri berupa kegelisahan yang ekstrim.2 Istilah akathisia

    pertama kali diperkenalkan oleh Lad Haskovec, seorang neuropsikiater pada tahun

    1901.3 Lad Haskovec mempunyai dua orang pasien yang tidak bisa untuk duduk

    dengan tenang. Mereka butuh berjalan secara terus menerus. Haskovec kemudian

    membuat istilah akathitic, yang dalam bahasa Yunani artinya tidak bisa duduk.

    Ketidakmampuan untuk tetap duduk dalam jangka waktu tertentu telah

    dipublikasikan sebelumnya. Referensi yang pertama kali ditemukan ialah sebuah

    textbook pada abad ke 19 yang mendeskripsikan seorang anggota di pengadilan

    Napoleon ke-3 yang menderita penyakit Parkinson dan melanggar aturan

    persidangan dengan terus menerus duduk dan berdiri secara bergantian untuk

    membuat dirinya merasa nyaman.3

  • 2

    BAB II

    PEMBAHASAN

    A. DEFINISI

    Akatisia didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk tetap tenang akibat

    adanya rasa gelisah.3 Secara harfiah, akatisia berarti tak duduk atau

    hilangnya kemampuan untuk duduk atau mempertahankan diri dalam posisi

    duduk. Saat ini terminology akatisia dikarakteristikan dengan kegelisahan

    yang dirasakan baik secara subjektif maupun objektif. Secara subjektif

    ditemukan perasaan tak nyaman dan perasaan gelisah dari dalam yang

    menimbulkan penderitaan. Secara objektif, kegelisahan nampak sebagai

    dorongan untuk terus menerus bergerak.1

    B. EPIDEMIOLOGI

    Akatisia tidak mempunyai predileksi pada umur ataupun jenis kelamin

    tertentu, tidak seperti gangguan gerak akibat obat lainnya. Akatisia umumnya

    terjadi pada pasien psikotik yang mendapatkan terapi antipsikotik sehingga

    sulit untuk memperoleh informasi yang akurat tentang prevalensi akatisia.3

    Namun, diperkirakan angka kejadian akatisia adalah sekitar 20-45% dari

    penggunaan obat neuroleptik.4

    C. ETIOLOGI

    Walaupun, akatisia pertama kali diperkenalkan berkaitan dengan

    postencepalitis parkinsonism dan idiopatik Parkinson Disease jauh sebelum

    neuroleptik ditemukan, namun saat ini akatisia paling sering disebabkan oleh

    penggunaan obat antipsikotik.3 Semua obat-obatan yang menghambat reseptor

    dopamine dapat mengakibatkan akatisia. Karena semua obat antipsikotik

    bekerja terhadap reseptor dopamine, maka untuk saat ini akatisia paling

    banyak disebabkan oleh obat antipsikosis.5

  • 3

    Antipsikosis tipikal yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap

    reseptor Dopamin D2 lebih sering mengakibatkan terjadinya akatisia jika

    dibandingkan dengan obat antipsikosis atipikal.3

    Penelitian menyebutkan bahwa setiap empat pasien yang mendapat terapi

    antipsikotik tipikal maka satu di antaranya menderita akatisia. Pada

    penggunaan antipsikotik atipikal, akatisia ditemukan pada 10-28% pasien.1

    Selain itu penggunaan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI),

    calcium channel antagonist, anti konvulsan, obat-obat yang mengikat reseptor

    5-HT, dan litium karbonat diduga dapat menyebabkan akatisia. Seperti

    gangguan gerak lainnya, timbulnya akatisia berkaitan dengan neuroleptik

    potensi tinggi ataupun dosis yang besar.1, 3

    D. PATOFISIOLOGI

    Patofisiologi akatisia masih belum terlalu jelas. Ada beberapa teori yang

    mengatakan bahwa akatisia muncul akibat interaksi neuron dopaminergik

    dengan noradrenergic, serotonergic, cholinergic, GABAnergic, glutamanergic,

    dan system opioid pada jalur mesolimbik dan mesokortikal.4

    Ilmuwan telah mengajukan beberapa teori mengenai patofisiologi akatisia

    akut. Karena akatisia umumnya disebabkan oleh penggunaan obat neuroleptik

    dan pertama kali disebutkan sehubungan dengan Parkinsonisms syndrome

    dengan berbagai etiologi, maka diduga kuat patofisiologi akatisia berhubungan

    dengan fungsi dopaminergik.3 Beberapa ilmuwan mengemukakan bahwa

    akathisia terjadi akibat ketidakseimbangan antara dopaminergik/kolinergik

    dan sistem dopaminergik/serotonergik.6

    Kebanyakan (hampir semua) obat-obat yang menyebabkan akatisia, secara

    langsung ataupun tidak langsung mengurangi fungsi dopamine di otak.4, 7

    Neuroleptik potensi tinggi seperti haloperidol, yang merupakan penyebab

    terbanyak akatisia, merupakan antagonis reseptor dopamine D2 yang poten.

    Pada penelitian dengan menggunakan emisi positron pada pasien skizofrenia,

    dilaporkan bahwa akatisia berkaitan dengan reseptor D2, dan tidak berkaitan

    dengan reseptor D1.3 8

  • 4

    E. KLASIFIKASI

    Akatisia biasanya merupakan gejala akut yang muncul beberapa jam atau

    hari setelah terapi antipsikotik.3 Dosis awal yang tinggi dan peningkatan dosis

    obat yang cepat merupakan faktor predisposisi akatisia akut. Akatisia dibagi

    atas beberapa subtype berdasarkan onset terjadinya.2, 3

    a. Akatisia akut

    Akatisia akut merupakan jenis akatisia yang paling sering ditemukan.

    Akatisia jenis ini dapat muncul dalam beberapa jam atau hari setelah

    inisiasi atau peningkatan atau perubahan dosis terapi. Adanya paparan

    tunggal terhadap obat sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Biasanya

    akatisia jenis ini mulai terjadi dalam waktu 2 minggu pertama pengobatan

    dan hampir selalu terjadi dalam 6 minggu pengobatan.

    b. Akatisia tardive

    Akatisia subtype ini merupakan akatisia yang terjadi pada penggunaan

    obat neuroleptik jangka panjang meskipun tidak ditemukan adanya

    perubahan dosis atau jenis obat, ataupun pemutusan obat golongan anti

    akatisia. Awitan akatisia tardive adalah 3 bulan setelah pemberian obat

    yang stabil.

    c. Akatisia pada withdrawal

    Akatisia ini muncul setelah penghentian atau penurunan signifikan dari

    dosis obat neuroleptik. Akatisia jenis ini terjadi dalam beberapa hari atau

    minggu sesudahnya namun secara rata-rata biasanya dalam jangka waktu

    enam minggu setelahnya. Bila akatisia menetap setelah jangka waktu tiga

    bulan setelah pemberian obat, maka akatisia tardive dapat

    dipertimbangkan sebagai diagnosis.

    d. Akatisia kronik

    Akatisia kronik dapat digolongkan berdasarkan lama berlangsungnya dan

    bukan berdasarkan awitan terjadinya. Akatisia yang tetap berlangsung

    setelah tiga bulan lamanya dari awitan akatisia dapat digolongkan dalam

  • 5

    akatisia kronik. Akatisia ini dapat berawitan akut, tardive ataupun

    disebabkan withdrawal.1

    Saat seseorang sudah sampai pada tahap akatisia kronik, gejala subjektif

    akan berkurang dan pola pergerakan akan lebih menyerupai stereotipik, atau

    tardive dyskinesia.3

    F. GEJALA KLINIS

    Seorang pasien akatisia tidak bisa duduk dengan tenang dalam jangka

    waktu yang lama. Pada situasi yang ekstrim, pasien akan langsung berdiri

    segera setelah dia duduk dan akan terus menerus berdiri kemudian duduk

    kembali. Ketika pasien dipaksa untuk berada dalam suatu tempat, mereka akan

    gelisah. Ketika duduk, mereka akan mengganti posisinya terus menerus,

    menggosok lengannya, menyilangkan dan meluruskan kembali kakinya atau

    bergerak maju mundur. Hal-hal tersebut dilakukan untuk mengurangi desakan

    yang kuat untuk bergerak. Ketika berdiri, pasien akan terus menerus bergerak

    di tempatnya.3

    Akatisia merupakan kumpulan gejala psikomotor yang kompleks yang

    terdiri atas komponen subjektif (emosional) dan objektif (motorik). 3 Gejala

    subjektif dari akatisia dapat berupa:

    - Perasaan gelisah (inner restlessness)

    - Desakan untuk terus bergerak (tasikinesia)

    - Ketidakmampuan untuk tenang

    - Rasa tidak nyaman

    - Ketidakmampuan untuk relax

    - Konsentrasi yang rendah

    - Dysphoria

    - Anxietas

    - Rasa takut

    - Rasa marah

    - Keinginan untuk bunuh diri

  • 6

    - Pikiran-pikiran agresif

    Sedangkan gejala objektif dari akatisia dapat kita amati pada pasien, berupa:

    a. Pada posisi duduk

    Tangan dan kaki yang gemetar

    Menggosok wajah

    Menggosok, mengusap, ataupun menggerak-gerakkan tangan

    Menggosok ataupun memijat kaki

    Menepuk-nepuk atau menarik-narik pakaian yang sedang

    dipakainya

    Menyilangkan tangan dan kaki kemudian meluruskannya kembali

    secara berulang-ulang

    Duduk membungkuk kemudian meluruskan badannya secara

    berulang-ulang

    b. Pada posisi berdiri

    Berjalan di tempat

    Merubah posisi berdirinya terus menerus

    Memflexi dan extensikan kaki

    Berjalan mengitari suatu area terus menerus3

    Secara subjektif, perasaan gelisah dan gerakan-gerakan berulang pada

    kaki merupakan gejala yang paling sering, utamanya muncul pada pasien yang

    sedang duduk atau berdiri, dan berkurang saat pasien berbaring. Namun, tidak

    ada satupun dari gejala di atas yang patognomonik sehingga sulit untuk

    membedakan akatisia dari bentuk kegelisahan ataupun gangguan gerak

    lainnya.3

    G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

    Akatisia mempunyai kepentingan klinis yang besar karena timbulnya

    akatisia dapat menyulitkan terapi pada pasien psikosis dengan cara

    menginduksi perilaku impulsive, termasuk menyerang orang lain atau bahkan

    aksi bunuh diri.2, 3

    Namun, akatisia kadang-kadang disalah-diagnosiskan

    dengan psychotic agitation atau bahkan diabaikan.3 Salah satu penelitian

  • 7

    menyebutkan bahwa akatisia hanya terdeteksi pada 26% pasien yang

    mengalaminya. Faktor yang menyebabkan akatisia kurang terdeteksi dengan

    baik yaitu gambaran sakit pasien itu sendiri dan pendekatan klinisi terhadap

    akatisia. Misalnya pada kasus agitasi pada penderita skizofrenia, agitasi dapat

    merupakan akibat dari kegelisahan yang dirasakan pasien dari dalam yang

    merupakan gambaran akatisia namun tampilan klinisnya sulit dibedakan

    dengan agitasi yang disebabkan oleh penyakit itu sendiri. Hal ini terutama

    terjadi bila pasien sulit mengungkapkan apa yang dirasakannya. Pendekatan

    yang dilakukan klinisi kemudian akan menentukan apakah akatisia dapat

    terdeteksi dengan baik atau tidak.1

    Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat mendukung diagnosis

    akatisia. Oleh karena itu, diagnosis akatisia umumnya dibuat berdasarkan

    gejala klinis.2 Namun, sejak tahun 1980, beberapa skala klinis telah dibuat

    untuk mendiagnosis akatisia. Saat ini Barnes Akathisia Rating Scale (BARS)

    merupakan instrument yang paling sering digunakan untuk menilai akatisia. 3

  • 8

    Gambar 1

    Barnes Akathisia Rating Scale (BARS)

    H. DIAGNOSIS BANDING

    Komponen subjektif yang dominan Komponen motorik yang dominan

    Anxietas Restless-legs syndrome

    Psychotic agitation Tardive dyskinesia

    Agitasi akibat gangguan afek Stereotipik

    Drug withdrawal syndrome Tremor

    Neuroleptic dysphoria Myoclonus

  • 9

    Agitasi akibat gangguan organic,

    misalnya dementia, hipoglikemia

    Gerakan-gerakan berulang akibat

    gangguan organik, misalnya pada

    dementia, hiperaktivitas pada

    Tourettes syndrome

    I. TERAPI

    Sebagai langkah pencegahan, memilih dosis efektif terendah dan

    meningkatkan dosis obat secara perlahan merupakan hal yang penting untuk

    diperhatikan. Selain itu, pemeriksaan rutin untuk mengecek efek samping

    ekstrapiramidal dan observasi perilaku dapat juga dilakukan.

    Jika akatisia timbul, menghentikan obat penyebabnya atau mengurangi

    dosis obat merupakan pilihan yang terbaik.3 Selain itu juga dapat dilakukan

    intervensi psikososial, seperti memberikan edukasi kepada pasien tentang efek

    samping dari terapi antipsikosis yang diterimanya.4

    Walaupun demikian, pada pasien yang sangat gelisah, menunggu sampai

    efek obat berkurang, tidaklah terlalu efektif. Obat-obat antikolinergik,

    antagonist reseptor, dan benzodiazepine efektif untuk terapi pada fase akut,

    namun respon terapinya berbeda-beda. Jika onsetnya tidak terlalu akut,

    dianjurkan untuk mengganti kelas obat antipsikosis. Terapi pada akatisia

    kronik ataupun tardive akathisia tidaklah terlalu efektif.3

    Saat ini, terapi akatisia yang bisa digunakan adalah beta-adrenergic

    blockers, agen antikolinergik, benzodiazepine, dan sebagainya.

    a. Beta-adrenergic blocker

    Kegelisahan motorik pada akatisia diduga sebagai akibat dari

    ketidakseimbangan antara central dopaminergic dan 2-adrenergic

    system. Perbaikan gejala akatisia yang diterapi dengan propanolol diduga

    akibat kerja propanolol yang memblok 2.9 Propanolol, antagonis beta

    adrenergic non selective, sudah digunakan sebagai agen anti akatisia lini

    pertama selama beberapa decade, dengan dosis penggunaan 20-40mg,

    diberikan dua kali sehari untuk mengurangi gejala6. Namun, penggunaan

    obat ini tidak didukung oleh penelitian terkontrol dalam jumlah yang

  • 10

    besar. Toleransi terhadap propanolol sangat rendah, dimana 20% pasien

    mengalami hipotensi ortostatik dan bradikardi akibat penghentian obat

    dengan cepat. Propanolol dikontraindikasikan dengan diabetes mellitus,

    gangguan konduksi jantung dan asma bronchial.10

    b. Anti-kolinergik

    Walaupun anti kolinergik (benztropine, biperiden, diphenhydramine,

    trihexyphenidyl) sudah terbukti efikasinya untuk mencegah dan mengobati

    efek samping ekstrapiramidal, penggunaan klinisnya pada terapi akatisia

    masih belum terlalu jelas. Namun, ada beberapa penelitian yang

    menyatakan bahwa akatisia dapat diobati dengan antikolinergik. Anti-

    kolinergik mempunyai efek samping pada fungsi kognitif sehingga perlu

    hati-hati pada penggunaannya.6

    c. Benzodiazepine

    Benzodiazepine mempunyai beberapa nilai terapi untuk akatisia akibat

    penggunaan anti psikotik. Hal ini diakibatkan oleh efek anti-anxietas dan

    efek sedasinya.10

    Pengurangan gejala akatisia akibat terapi benzodiazepine

    diduga berhubungan dengan mekanisme GABA.4 Walaupun demikian,

    beberapa pengalaman di klinik menunjukkan bahwa efek tersebut tidak

    cukup untuk menghentikan akatisia.10

    d. Mirtazapine dosis rendah

    Dalam sebuah placebo controlled study, ditemukan bahwa Mirtazapine

    dosis rendah (15 mg/d) mempunyai efektifitas yang sama dengan

    propanolol 80 mg/dl dan lebih efektif daripada beta bloker dalam terapi

    akatisia yang disebabkan oleh antipsikosis generasi pertama. Mirtazapine

    memblok -adrenergik reseptor, sehingga menghambat reseptor 5-HT2

    dan 5HT3.6

    e. Terapi lainnya

    5HT2A antagonis reseptor (mianserin, cyproheptadine) juga bisa

    digunakan sebagai terapi akatisia karena memiliki kemampuan untuk

    menetralkan efek anti psychotic-induced dopamine D2 receptor blockade

    dengan cara meningkatkan neurotransmitter dopamine. Beberapa

  • 11

    penelitian telah menunjukkan efek anti akatisia, keamanan penggunaan

    dan toleransi mianserin dan cyproheptadine pada pasien akatisia. Efek

    samping yang dapat ditimbulkan yaitu sedasi ringan dan hipotensi

    ortostatik. 10

    Gambar 2

    Pilihan terapi akatisia 10

  • 12

    BAB III

    KESIMPULAN

    Akatisia merupakan salah satu efek samping dari penggunaan obat anti

    psikotik yang paling sering terjadi. Sampai saat ini, patofisiologi akatisia masih

    belum terlalu jelas. Namun diduga, akatisia timbul akibat penurunan kadar

    dopamine yang disebabkan oleh efek obat-obatan pada reseptor dopamine.

    Akatisia ditandai oleh perasaan gelisah terus menerus yang menyebabkan

    pasien tidak bisa duduk dengan tenang ataupun mempertahankan dirinya dalam

    posisi duduk. Mendiagonis akatisia sangatlah penting karena akatisia dapat

    menghambat terapi pada pasien psikotik. Akatisia dapat menginduksi perilaku

    perilaku impulsive, termasuk menyerang orang lain atau bahkan aksi bunuh diri

    Walaupun akatisia mempunyai arti klinis yang sangat penting, namun hingga

    saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium yang bisa mendukung diagnosis

    akatisia. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan klinisi sangatlah penting

    dalam mendiagnosis akatisia. Salah satu pemeriksaan yang bisa membantu dalam

    mendiagnosis akatisia adalah Barnes Akathisia Rating Scale (BARS). Skala ini

    dapat menilai gejala subjektif, objektif maupun menilai akatisia secara global.

    Terapi akatisia yang paling baik adalah mengganti jenis obat anti psikotik

    yang digunakan ke jenis antipsikotik yang mempunyai efek akatisia lebih kecil,

    atau mengurangi dosis obat, Namun, dapat juga diberikan obat yang memiliki efek

    anti akatisia seperti beta blocker, anti kolinergik, ataupun benzodiazepine. Untuk

    saat ini terapi lini pertama yang paling banyak digunakan adalah beta bloker.

    Namun, perlu hati-hati pada penggunaannya karena dapat menyebabkan hipotensi

    dan bradikardi

  • 13

    Daftar Pustaka

    1. Irma F. Penentuan Validitas dan Reabilitas Instrumen Prince Henry

    Hospital Akathisia Rating Scale Versi Bahasa Indonesia. Jakarta

    Universitas Indonesia; 2012.

    2. LeDoux M. Animal Models of Movement Disorders. USA: Elsevier

    Academic Press; 2005.

    3. Craighead WE, Nemeroff CB. The Concise Corsini Encyclopedia of

    Psychology and Behavioral Science. 3 ed. Canada: John Wiley & Sons,

    Inc; 2004.

    4. Sethuram K, Gedzior J. Akathisia : Case Presentation and Review of

    Newer Treatment Agents. Psychiatric Annals 2014;44(8):391-396.

    5. Gool ARV, Doorduijn JK, Seynaeve C. Severe akathisia as a side effect of

    metoclopramide. Pharm World Sci 2010;32:704-706.

    6. Forcen FE. Akathisia : Is restlesness a primary condition or an adverse

    drug effect? Current Psychiatry 2015;14(1):14-18.

    7. Divac N, Prostran M, Jakovcevski I. Second-Generation Antipyschotics

    and Extrapyramidal Adverse Effects. BioMed Research International

    2014(1-6).

    8. Ebadi M, Pfeiffer RF. Parkinson's Disease. USA: CRC Press; 2005.

    9. Sharma A, Madaan V, Petty F. Propanolol Treatment for Neuroleptic-

    Induced Akathisia. Prim Care Companion J Clin Psychiatry

    2005;7(4):202-203.

    10. Poyurovsky M. Acute antipsychotic-induced akathisia revisited. The

    British Journal of Psychiatry 2010;196:89-91.