refarat-konstipasi
TRANSCRIPT
KONSTIPASI
I. PENDAHULUAN
Defekasi merupakan salah satu aktivitas manusia yang harus dilalui di
dalam kehidupan sehari-harinya. Pola defekasi pada anak sangat bervariasi dan
sangat bergantung pada fungsi organ, susunan saraf, pola makan, serta usia anak.
Menilai pola defekasi pada anak berarti menilai frekuensi defekasi, konsistensi
dan warna tinjanya. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di beberapa
negara di Amerika, Eropa, dan Asia-Pasifik diketahui bahwa terjadi penurunan
frekuensi defekasi sesuai dengan bertambahnya usia anak, sedangkan perubahan
konsistensi dan warna tinja sesuai dengan pola makan. Sejauh ini belum pernah
dilaporkan tentang pola defekasi pada anak Indonesia.1,2
Konstipasi pada anak sering menimbulkan masalah yang cukup serius.
Konstipasi umumnya memberikan gejala berupa rasa cemas sewaktu defekasi oleh
karena rasa nyeri yang dirasakan, nyeri perut rekuren kronis, sampai keadaan
penurunan nafsu makan dan gangguan pertumbuhan.1,2
Konstipasi ini terjadi sebagai akibat kegagalan kolon mengeluarkan isi
lumen atau adanya peningkatan tahanan luar oleh karena disfungsi pelvis dan
anorektal yang menyebabkan kesulitan untuk defekasi. Manifestasi klinis yang
tampak dapat bersifat minimal, seringkali bersifat sementara tetapi dapat berulang.
Keadaan ini dapat terjadi pada segala usia, dapat sembuh sendiri tetapi juga dapat
menetap sampai dewasa. 1-3
Konstipasi harus dianggap sebagai suatu gejala bukan diagnosis, oleh
karena keadaan ini mungkin merupakan manifestasi dari berbagai kelainan atau
sebagai akibat sekunder dari suatu pengobatan. Pada anak-anak, konstipasi yang
tidak teratasi dapat menyebabkan berbagai hal yang tidak diinginkan seperti
enkopresis, enuresis, sakit perut berulang, dan prolaps rektum. 1-3
1
II. EPIDEMIOLOGI
Konstipasi pada anak merupakan masalah di seluruh dunia dengan
prevalensi bervariasi dari 0,7% sampai 29,6%. Konstipasi terdiagnosis pada 3%
anak pra sekolah dan 1% - 2% pada anak sekolah yang berobat pada dokter anak.
Keluhan yang berhubungan dengan defekasi ditemukan pada 25% anak yang
berobat jalan pada dokter gastoenterologi anak. Diperkirakan prevalensi
konstipasi pada populasi anak secara umum bervariasi antara 0,3%-8%. Pada
anak, konstipasi fungsional merupakan tipe yang paling banyak ditemui, kira-kira
90%-97% dari seluruh kasus konstipasi.1,3,4
III. DEFINISI
Berbagai batasan konstipasi dapat kita temui dalam literatur, yang pada
umumnya didasarkan pada frekuensi defekasi yang jarang, konsistensi feses yang
keras dan kesulitan dalam pengeluaran feses. Francin Paath, Loenig-Baucke, dan
Ravell menggunakan batasan sederhana yaitu defekasi kurang dari 3 kali
seminggu. Sedangkan Arisman dan Rubiana lebih menekankan pada kesulitan
pengeluaran feses tanpa memperhitungkan frekuensi.1-4
North American Society of Pediatric Gastroenterology and Nutrition
(NASPGAN) 2006 mendefenisikan konstipasi sebagai kelambatan atau kesulitan
dalam defekasi yang terjadi dua minggu atau lebih dan cukup membuat pasien
menderita. Jadi ada dua komponen penting dalam definisi ini: a) kelambatan
artinya penurunan frekuensi defekasi kurang dari 3 kali seminggu, b) kesulitan
dalam defekasi. Seorang anak mungkin bisa buang air besar setiap hari tetapi jika
disertai kesulitan dalam pengeluaran feses disebabkan karena konsistensinya
(berak keras dan besar), itu disebut konstipasi. Di lain pihak, jika seorang anak
defekasi dua atau tiga hari sekali namun fesesnya lunak dan tidak ada kesulitan
dalam bab, ini tidak disebut konstipasi.1
Kriteria ROMA II membedakan definisi konstipasi fungsional kronik pada
dewasa, anak dan bayi. Anak dikatakan mengalami konstipasi kronik fungsional
2
bila tidak ada bukti kelainan anatomi, endokrin, atau metabolik dan terdapat gejala
berikut selama minimal 2 minggu, yaitu pada anak yang berusia kurang dari 4
tahun, terdapat frekuensi defekasi kurang 3 kali seminggu atau bila terdapat nyeri
saat defekasi dan retensi feses walaupun frekuensi defekasi 3 kali seminggu atau
lebih. Pada anak berusia > 4 tahun agak berbeda, digunakan kriteria berikut, yaitu
(1) frekuensi defekasi kurang atau sama dengan dua kali seminggu tanpa
menggunakan laksatif, (2) dua kali atau lebih episode soiling/enkopresis dalam
seminggu, dan (3) teraba massa feses (skibala) di abdomen atau rektum Pada
pemeriksaan fisis.5
Sedangkan berdasarkan kriteria ROMA III, Konstipasi pada bayi/balita
dan anak ditegakkan bila terdapat minimal 2 atau lebih dari kriteria berikut:1,5
Bayi/ balita (usia < 4 tahun)
Dalam 1 bulan paling kurang terdapat 2 kriteria di bawah ini:
≤ 2 x defekasi/minggu
≥ 1 x episode inkontinensia/minggu setelah memperoleh toilet skill
Riwayat retensi feses yang berlebihan atau riwayat sangat nyeri atau “sembelit”
Terdapat massa feses yang besar di rektum
Terdapat riwayat feses yang berukuran besar yang menyumbat toilet
Keadaan tersebut dapat disertai dengan gejala iritabel, penurunan nafsu makan
atau tidak nafsu makan.
Hal ini juga dapat disertai oleh feses yang berukuran besar
Anak usia > 4 tahun
Dalam 2 bulan paling kurang terdapat 2 kriteria di bawah ini:
≤ 2 x defekasi/minggu
≥ 1 x episode inkontinensia/minggu
Riwayat posisi menahan atau BAB tertahan
Riwayat nyeri saat buang air besar atau tinja yang keras
Terdapat massa feses yang besar di dalam rektum
Riwayat feses yang berukuran besar yang menyumbat toilet
Tabel 1. Kriteria Roma III untuk konstipasi fungsional
(Sumber : Konstipasi Fungsional. Sari Pediatri volume 6 No. 2. 2004)
3
Frekuensi Normal Defekasi pada Bayi dan Anak
UmurNilai Rata-rata defekasi
per minggu
Nilai Rata-rata defekasi
per hari
0 – 3 bulan
ASI
Formula
5 – 40
5 – 28
2,9
2,0
6 – 12 bulan 5 – 28 1,8
1 – 3 tahun 4 – 21 1,4
> 3 tahun 3 – 14 1,0
Tabel 2. Frekuensi Normal Defekasi pada Bayi dan Anak.
(Sumber : Evaluation and treatment of Constipation in infants and children, Michigan State
University College of Human Medicine, East Lansig, Michigan. 2006)
IV. ETIOLOGI
Pada sebagian besar anak, penyebab konstipasi adalah fungsional,
karenanya tidak terdapat bukti obyektif untuk terjadinya suatu keadaaan patologis.
Hampir 95% konstipasi pada anak disebabkan oleh kelainan fungsional dan hanya
5% disebabkan oleh kelainan organik. Di antara penyebab organik, penyakit
Hirschprung adalah penyebab tersering. Walaupun demikian, pada neonatus
penyebab organik lebih sering daripada penyebab fungsional. Bila terjadi
konstipasi pada neonatus harus dipikirkan penyebab organik terlebih dahulu
seperti penyakit Hirschprung dan hipothyroidism.1
Konstipasi fungsional sebagian besar berkaitan dengan rasa nyeri saat
defekasi yang mengakibatkan penahanan feses secara sadar oleh seorang anak
dengan harapan defekasi yang tidak menyenangkan dapat dihindari. Berbagai
kejadian dapat menyebabkan rasa nyeri saat defekasi seperti toilet training terlalu
dini, perubahan makanan, kurang minum, dan meningkatnya kehilangan cairan
(dehidrasi), asupan susu yang berlebihan (susu mengandung rendah serat dan
tinggi kalsium), intoleransi terhadap susu sapi dapat bermanifestasi konstipasi
(8%), sebagian besar IgE-mediated dengan karakteristik utamanya infiltrasi
eosinofil, kejadian yang menyebabkan stres, menderita penyakit yang lama, tidak
4
tersedianya toilet, atau penundaan defekasi karena anak tersebut terlalu sibuk.
Hal-hal tersebut di atas akan menyebabkan pemanjangan stasis feses dalam kolon,
dengan reabsorpsi cairan, dan peningkatan ukuran dan konsistensi feses.1
Penyebab Konstipasi pada Anak Dan Neonatus1
Neonatus/bayi Meconium plug Penyakit Hirschsprung Fibrosis kistik Malformasi anorektal bawaan,
termasuk anus imperforata, stenosis ani, anal band
Chronic idiopathic intestinal pseudo obstruction
Endokrin: hipotiroid Alergi susu sapi Metabolik: diabetes insipidus,
renal tubular acidosis Retensi tinja Perubahan diet
Batita dan umur 2-4 tahun Fisura ani, retensi tinja Toilet refusal Alergi susu sapi Penyakit Hirschprung segmen
pendek Penyakit saraf: sentral atau
muskular dengan hipotoni Medula spinalis:
meningomielokel, tumor, tethered cord
Usia sekolah Retensi tinja
Ketersediaan toilet terbatas
Keterbatasan kemampuan
mengenali rangsangan fisiologis
Preokupasi dengan kegiatan lain
Tethered cord
Remaja Irritable bowel syndrome
Jejas medulla spinalis
(kecelakaan, trauma)
Diet
Anoreksia
Kehamilan
Laxative abuse
Tabel 3. Penyebab Konstipasi pada Neonatus dan Anak.
(sumber : Konstipasi pada Anak. Universitas Andalas, Sumatera Barat, Indonesia. 2013)
V. PATOFISIOLOGI
Konstipasi dapat terjadi apabila salah satu atau lebih faktor yang terkait
dengan faktor anatomi dan fisiologi dalam proses mekanisme defekasi terganggu.
5
Gangguan dapat terjadi pada kekuatan propulsif, sensasi rektal ataupun suatu
obstruksi fungsional pengeluaran (functional outlet). Konstipasi dikatakan
idiopatik apabila tidak dapat dijelaskan adanya abnormalitas anatomik, fisiologik,
radiologik dan histopatologik sebagai penyebabnya.7
Proses defekasi yang normal memerlukan keadaan anatomi dan inervasi
normal dari rektum yang terbentuk dari ganglion simpatis L2 - S4, otot puborektal
dan sfingter ani. Rektum adalah organ sensitif yang mengawali proses defekasi.
Tekanan pada dinding rektum akan merangsang sistem saraf intrinsik rektum yang
terdiri dari pleksus Meissner, pleksus Aurbachii, dan pleksus mukosa kecil
sehingga menyebabkan relaksasi sfingter ani interna, yang dirasakan sebagai
keinginan untuk defekasi. Ganglia ini berfungsi mengatur kontraksi dan relaksasi
otot halus (lebih dominan relaksasi). Ganglia ini juga berintegrasi dan terlibat
dalam semua kerja usus, yaitu absorbsi, sekresi, dan motilitas. Sfingter anal
eksterna kemudian menjadi relaksasi dan feses dikeluarkan mengikuti peristaltik
kolon melalui anus. Bila relaksasi sfingter interna tidak cukup kuat, maka sfingter
anal eksterna akan berkontraksi secara reflek, selanjutnya sesuai dengan kemauan.
Otot puborektal akan membantu sfingter anal eksterna sehingga keinginan
defekasi juga menghilang.6
Pada konstipasi, feses yang terkumpul di rektum dalam waktu lebih dari
satu bulan menyebabkan dilatasi rektum. Akibatnya mengurangi aktivitas
peristaltik yang mendorong feses keluar sehingga menyebabkan retensi feses yang
semakin banyak. Peningkatan volume feses pada rektum menyebabkan
kemampuan sensorik rektum berkurang sehingga retensi feses makin mudah
terjadi.6
6
REKTUM
SARAF INTRINSIK (pleksus Meissner, pleksus
Aurbachii, dan pleksus mukosa kecil)
RELAKSASI SFINGTER INTERNA
DEFEKASI
KONSTRIKSI ANUS
Otot puborektal
LAMA
REFLEKS DEFEKASI HILANG
RELAKSASI SFINGTER EXTERNA
KONSTRIKSI SFINGTER EXTERNA
Isi usus
lemah
kuat
Patofisiologi Defekasi
Gambar 1. Patofisiologi Defekasi1
(Sumber : Konstipasi. SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya, 2006. )
VI. MANIFESTASI KLINIS
Pada anamnesis didapatkan riwayat berkurangnya frekuensi defekasi. Bila
konstipasi menjadi kronik, jumlah defekasi per hari atau per minggu mungkin
bukan indikator terpercaya untuk konstipasi pada seorang anak. Biasanya, pola
defekasi yang jarang terdapat pada awal proses, yang mungkin terjadi beberapa
bulan atau tahun sebelum pasien menemui dokter. Dengan terjadinya retensi tinja,
gejala dan tanda lain konstipasi berangsur muncul seperti nyeri dan distensi
abdomen, yang sering hilang sesudah defekasi. Penting dicatat adanya riwayat
tinja yang keras dan/atau tinja yang sangat besar yang mungkin menyumbat
saluran toilet. Kecepirit (soiling) di antara tinja yang keras sering salah di
diagnosis sebagai diare. Seorang anak yang mengalami konstipasi biasanya
mengalami anoreksia dan kurangnya kenaikan berat badan, yang akan mengalami
perbaikan bila konstipasinya diobati. Upaya menahan tinja dapat disalahtafsirkan
7
sebagai upaya mengejan untuk defekasi. Berbagai posisi tubuh, menyilangkan
kedua kaki, menarik kaki kanan dan kiri bergantian ke depan dan belakang
merupakan manuver menahan tinja dan kadangkala perilaku tersebut menyerupai
kejang.1,4,6
Inkontinensia urin dan infeksi saluran kemih, seringkali berkaitan dengan
konstipasi pada anak. Kadangkala, retensi urin, megakistik, dan refluks
vesikoureter ditemukan pada anak dengan konstipasi kronis. Jika feses lama
berada di rektum, lebih banyak bakteria yang berkolonisasi di perineum sehingga
akan meningkatkan risiko infeksi saluran kemih. Penelitian menemukan bahwa
dengan mengobati konstipasi akan menurunkan risiko rekurensi dari infeksi
saluran kemih.1,4,6
Pada pemeriksaan klinis didapatkan distensi abdomen dengan bising usus
normal, meningkat atau berkurang. Massa abdomen teraba pada palpasi abdomen
kiri dan kanan bawah dan daerah suprapubis. Pada kasus berat, massa tinja kadang
dapat teraba di daerah epigastrium. Fisura ani serta ampula rekti yang besar dan
lebar merupakan tanda penting pada konstipasi. Pemeriksaan fisik yang penting
yang membedakan konstipasi organik dan fungsional dapat dilihat pada Tabel 3. 1
8
Perbandingan antara Konstipasi Fungsional dengan Penyakit Hirschsprung
Gejala Konstipasi fungsional Penyakit Hirschsprung
Mekonium terlambat Jarang Sering
Onset Setelah 2 tahun Saat lahir
Failure to thrive Jarang Sering
Fecal incontinence Sering Hampir tidak pernah
Riwayat adanya fissura Sering Jarang
Distensi abdomen Jarang Sering
Enterocolitis Tidak Bisa terjadi
Colok dubur Terdapat feses Kosong
Tinja menyemprot bila
telunjuk dicabut
Gagal tumbuh Jarang Sering
Tabel 4. Perbandingan antara Konstipasi Fungsional dengan Penyakit Hirschsprung.1
(Sumber : Konstipasi. USU. 2011)
VII. DIAGNOSIS
Langkah pertama yang penting dilakukan adalah menyingkirkan
kemungkinan pseudokonstipasi. Pseudokonstipasi merujuk pada keluhan orang
tua bahwa anaknya menderita konstipasi padahal tidak ada konstipasi. Pada
anamnesis perlu ditanyakan mengenai konsistensi tinja dan frekuensi defekasi.
Pada pemeriksaan fisik, palpasi abdomen yang cermat dan colok dubur perlu
dilakukan. Banyak orang tua mengeluh bayinya sering menggeliat, wajahnya
memerah, dan tampak mengejan kesakitan waktu berhajat. Semua itu normal dan
bukan pertanda adanya konstipasi. Bila tinja anak lunak dan pada pemeriksaan
fisik tidak ditemukan kelainan, maka tidak ada konstipasi berapa kalipun
frekuensi defekasi. Orang tua merasa anaknya memiliki masalah defekasi bila
tidak melihat anaknya defekasi dalam sehari. Oleh karena itu, sebelum
memikirkan berbagai etiologi konstipasi, penting sekali mengidentifikasi kasus
pseudokonstipasi dan memberi edukasi kepada orang tua mengenai hal ini. 1,6
9
Bila memang terdapat konstipasi, langkah berikut adalah membedakan
apakah konstipasi berlangsung akut atau kronis. Dikatakan konstipasi akut bila
keluhan berlangsung kurang dari 1 – 4 minggu dan konstipasi kronis bila keluhan
berlangsung lebih dari 1 bulan.1,4,6
Penyebab konstipasi akut yang paling sering adalah konstipasi fungsional,
fisura ani, infeksi virus dengan ileus, diet, dan obat. Tetapi perlu dipikirkan
kelainan yang mengancam kehidupan, seperti obstruksi usus, dehidrasi dan
botulisme infantil. Salah satu penyebab tersering konstipasi akut adalah infeksi
virus. Infeksi virus dapat menyebabkan ileus nonspesifik dan berkurangnya
frekuensi defekasi. Anak juga mengalami anoreksia serta kehilangan banyak
cairan melalui saluran nafas dan demam.1
Pada konstipasi kronis keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan. Konstipasi
kronis biasanya fungsional, tetapi perlu dipertimbangkan adanya penyakit
Hirschsprung karena berpotensi menimbulkan komplikasi yang serius.1
Gambar 2. Langkah diagnosis dan penatalaksanaan konstipasi.7
(Sumber: Konstipasi. SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya. 2006)
10
Waktu transit kolon
Normal Abnormal Evaluasi psikiatris
Trial terapeutika Defekasi yang
abnormal, mengedenUji fungsi dasar panggul.
Proktografi defekasi
Intraktabel konstipasi
Ulangi pemeriksaan waktu transit
Normal Abnormal
Pengobatan empiris
Defek anatorektum
Normal Disfungsi dasar panggul
Trial Terapeutika
Pembedahan rektum Biofeedback
Respon (-) : Total kolektomi & ileoreltostomi
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan pada kasus-kasus tertentu yang
diduga mempunyai penyebab organik.1,7
1. Pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat kaliber kolon dan massa
tinja dalam kolon. Pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan colok
dubur tidak dapat dilakukan atau bila pada pemeriksaan colok dubur tidak
teraba adanya distensi rektum oleh massa tinja.1,7
2. Pemeriksaan barium enema untuk mencari penyebab organik seperti
Morbus Hirschsprung dan obstruksi usus. 1,7
3. Pemeriksaan darah terutama pemeriksaan fungsi tiroid T4 dan TSH
dilakukan untuk memastikan diagnosis, apabila ditemukan kadar T4 rendah
disertai kadar TSH yang meningkat maka diagnosis bisa ditegakkan untuk
menyingkirkan diagnosis banding lainnya. 1,7,8
4. Pemeriksaan radiologis berupa pemeriksaan osifikasi tulang (bone age).
Biasanya pada hipotiroidisme ada ketidak sesuaian antara bone age dan
chronological age.9
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Keadaan yang dapat menjadi diagnosis banding konstipasi berupa
malposisi anus, penyakit Hirschsprung, serta hipotiroidsme yang ternyata paling
sering memberikan gejala utama konstipasi retensif yang menahun.
1. Malposisi Anus
Malposisi anus kongenital yang berat biasanya telah tampak sejak lahir,
sedangkan bentuk malposisi yang lebih ringan seringkali tidak tampak. Pada
pemeriksaan perineum tampak index anogenital lebih besar dari 0,34 pada wanita
dan lebih besar dari 0,45 pada pria. Anogenital index adalah perbandingan antara
jarak dari permukaan posterior vagina atau skrotum ke anus, dibagi jarak
seluruhnya ke ujung coccygeus.3,4
Pada anus ektopik anterior, kanalis analis yang dikelilingi oleh sfingter ani
internus berada di bagian anterior daerah perineal, sedangkan sfingter ani
eksternus tetap terpisah pada lokasinya yang biasa di posterior. Anus dan sfingter
11
terletak lebih anterior dari anus yang normal, keduanya terletak di bagian anterior
perineum. Dalam keadaan seperti ini wanita akan menunjukkan gejala lebih sering
dan konstipasi sering sudah mulai tampak sejak dini pada masa neonatus, dan
pada anak yang lebih besar, rasa tidak nyaman merupakan gejala-gejala yang
paling sering dikeluhkan.3,4
2. Penyakit Hirschsprung
Penyakit Hirschsprung (megakolon konginetal) disebabkan oleh karena
tidak adanya pleksus otonomik Meisner dan Auerbach di dalam dinding usus,
yang biasanya terbatas di daerah kolon. Peristaltik atau abnormalitas pada segmen
kolon yang terlibat mengakibatkan spasme otot polos yang berkesinambungan dan
obstruksi parsial atau komplit dengan penimbunan isi usus dan dilatasi bagian
usus yang lebih proksimal yang mempunyai inervasi yang normal.3,4
Walaupun insidensnya sangat jarang yaitu 1:5000, penyakit ini masih
merupakan salah satu masalah bedah yang paling penting oleh karena paling
sering menimbulkan gejala konstipasi pada anak. Penyakit ini diturunkan secara
dominan autosomal.3,4
Pada penderita dengan aganglionik totalis, gambaran klinis tampak segera
setelah lahir. Kegagalan mengeluarkan mekonium dan jarangnya defekasi yang
berkepanjangan akan mengakibatkan gejala obstruksi yang jelas dengan gejala
muntah dengan warna kehijauan dan distensi abdomen yang jelas. Dalam
mengevaluasi penderita dengan konstipasi dan enkopresis janganlah lupa untuk
memikirkan adanya penyakit Hirschsprung dari konstipasi retentif yang kronik.3,4
3. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme kongenital dipakai kalau kelainan kelenjar tiroidea sudah
ada pada waktu lahir atau sebelumnya. Kalau kelainan tersebut sudah ada pada
anak yang sebelumnya normal, maka lebih baik dipakai istilah hipotiroidisme
juvenilis atau didapat.9
Angka kejadian di berbagai negara bervariasi dengan kisaran antara 1 per
3000 – 4000 kelahiran hidup. Sebagian besar penelitian memperlihatkan
12
perbandingan angka kejadian laki-laki dengan perempuan adalah 1 : 2. Hipotiroid
congenital merupakan penyebab retardasi mental yang dapat dicegah bila
ditemukan dan diobati sebelum usia 1 bulan.10
Pada bayi baru lahir biasanya gejala belum terlihat jelas. Setelah beberapa
minggu gejala akan terlihat lebih menonjol. Ikterus fisiologis biasanya lebih lama,
kurang mau minum, sering tersedak, pergerakan bayi pasif, lidah yang besar dan
sering menderita kesukaran bernapas, konstipasi, suara menangis serak, pucat,
biasanya bayi lahir matur atau lebih bulan, dan terdapat riwayat gangguan tiroid
dalam keluarga, penyakit ibu saat hamil, obat antitiroid yang sedang diminum,
dan terapi sinar.10
IX. PENATALAKSANAAN
Tata laksana meliputi :
Edukasi orang tua. Edukasi pada orang tua ini dapat diberikan mengenai
pengertian konstipasi, meliputi penyebab, gejala maupun terapi yang dapat
diberikan. 1,5,6
Evakuasi atau pembersihan skibala. Adalah awal yang sangat penting
untuk dilakukan sebelum memulai terapi rumatan. Skibala dapat
dikeluarkan dengan obat per oral atau per rectal. Pemberian obat secara
oral merupakan pengobatan yang tidak invasive namun memerlukan
ketaatan dalam meminum obat. Sebaliknya pemakaian obat melalui rectal
memberikan efek yang cepat namun memberikan efek psikologis yang
kurang baik pada anak dan dapat menimbulkan trauma pada anus. Obat
per oral yang biasa dipakai adalah mineral oil, larutan polietilen glikol,
laktulosa, sorbitol. Mineral oil (paraffin liquid) dengan dosis
15-30ml/tahun umur (maksimum 240 ml sehari) kecuali pada bayi.
Larutan polietilen glikol diberikan 20ml/kg/jam (maksimum 1000ml/jam)
diberikan melalui NGT selama 4 jam perhari. Evakuasi tinja dengan obat
per rectum dapat menggunakan enema fosfat hipertonik (3ml/kg BB 1-2
kali sehari maksimum 6 kali enema), enema garam fisiologis (600-
13
1000ml). Pada bayi digunakan enema gliserin 2-5ml. Evakuasi tinja
dilakukan selama 3 hari berturut-turut agar evakuasi tinja sempurna. 1,5,6
Terapi rumatan untuk mencegah kekambuhan , yang meliputi :
1. Intervensi diet, anak dianjurkan banyak minum,serta
mengkonsumsi karbohidrat dan serat. 1,5,6
2. Modifikasi prilaku dan toilet training. Segera setelah makan anak
dianjurkan untuk buang air besar, beri waktu sekitar 10-15 menit
bagi anak untuk buang air besar. Bila dilakukan secara teratur akan
mengembangkan reflek gastrokolik pada anak. 1,5,6
3. Pemberian laksatif seperti laktulosa, sorbitol dan paraffin liquid. 5,6
Apabila terjadi konstipasi kronik, rujuk ke dokter subspesialis
gastrohepatologi anak.
Bedah
Diperlukan pada kasus Hirschsprung, striktura ani dan adanya kelainan
organik. 5,6
Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan subspesialis lainnya, dll)
Bila terjadi konstipasi kronik lebih dari 3 bulan, rujuk ke konsultan
gastrohepatologi. 5,6
X. PROGNOSIS
Keberhasilan pengobatan konstipasi sangat tergantung dari penyebabnya.
Anak dengan inkontinensia feses yang volunter tanpa disertai adanya mega
rektum dan impaksi (kemacetan) sangat resisten terhadap pengobatan. Anak
dengan keadaan seperti ini seringkali disertai gangguan tingkah laku yang berat,
dan memerlukan evaluasi dan pengobatan psikiatri. Selain itu, angka keberhasilan
tindakan pembedahan kolon pada penderita konstipasi yang intraktabel sangat
tergantung pada ketepatan diagnosis praoperasi.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. USU. Konstipasi. 2011 [cited 2013 Maret 18]. Available from :
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31236/4/Chapter II.pdf
2. Tehuteru E. S.,Hegar B., Firmansyah A. Pola Defekasi pada
anak. Sari Pediatri Vol. 3. Penerbit FKUI. Jakarta:2001
3. Mansjoer, Arif. Konstipasi. Kapita Selekta Kedokteran – Gastroenterologi
Anak. Media Aesculapius FKUI. Jakarta :2000
4. Yusri D. Sofni S. Yorva S., Konstipasi Pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak, Universitas Andalas/RS Dr. M. Djamil, Padang, Sumatera Barat,
Indonesia. CDK 200/vol.40 no.1 th.2013
5. Syarif, Badriul Hegar. Konstipasi Fungsional. Sari Pediatri Vol. 6. Penerbit
FKUI. Jakarta :2004
6. Wendy S. Biggs, M.D., William H. Dery, M.D. Evaluation and Treatment
of Constipation in Infants and Children, Michigan State University
College of Human Medicine, East Lansing, Michigan [online]. 2006 Feb
1;73(3):469-477 [cited 2013 March 18]. Available from:
http://www.aafp.org/afp/2006/0201/p469.html
7. Alpha Fardah A., IG. M. Reza Gunadi Ranuh, Subijanto Marto Sudarmo.
Konstipasi. Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran
UNAIR Surabaya [online]. 2006 [cited 2013 March 18]. Available from:
http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-
cmis232.htm
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konstipasi – Standar Pelayanan Medis
Kesehatan Anak Edisi I 2004. Badan Penerbit IDAI. 2005.
9. Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak FKUI . Buku kuliah jilid 1 Ilmu
Kesehatan Anak hal 266. InfoMedika.Jakarta: 1985.
10. E. Behrman, Richard. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 12 Bagian 3.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
15