refarat-konstipasi

24
KONSTIPASI I. PENDAHULUAN Defekasi merupakan salah satu aktivitas manusia yang harus dilalui di dalam kehidupan sehari-harinya. Pola defekasi pada anak sangat bervariasi dan sangat bergantung pada fungsi organ, susunan saraf, pola makan, serta usia anak. Menilai pola defekasi pada anak berarti menilai frekuensi defekasi, konsistensi dan warna tinjanya. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di beberapa negara di Amerika, Eropa, dan Asia-Pasifik diketahui bahwa terjadi penurunan frekuensi defekasi sesuai dengan bertambahnya usia anak, sedangkan perubahan konsistensi dan warna tinja sesuai dengan pola makan. Sejauh ini belum pernah dilaporkan tentang pola defekasi pada anak Indonesia. 1,2 Konstipasi pada anak sering menimbulkan masalah yang cukup serius. Konstipasi umumnya memberikan gejala berupa rasa cemas sewaktu defekasi oleh karena rasa nyeri yang dirasakan, nyeri perut rekuren kronis, sampai keadaan penurunan nafsu makan dan gangguan pertumbuhan. 1,2 Konstipasi ini terjadi sebagai akibat kegagalan kolon mengeluarkan isi lumen atau adanya peningkatan tahanan luar oleh karena disfungsi pelvis dan anorektal 1

Upload: nur-ilmi-rahmiati

Post on 01-Dec-2015

47 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: refarat-konstipasi

KONSTIPASI

I. PENDAHULUAN

Defekasi merupakan salah satu aktivitas manusia yang harus dilalui di

dalam kehidupan sehari-harinya. Pola defekasi pada anak sangat bervariasi dan

sangat bergantung pada fungsi organ, susunan saraf, pola makan, serta usia anak.

Menilai pola defekasi pada anak berarti menilai frekuensi defekasi, konsistensi

dan warna tinjanya. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di beberapa

negara di Amerika, Eropa, dan Asia-Pasifik diketahui bahwa terjadi penurunan

frekuensi defekasi sesuai dengan bertambahnya usia anak, sedangkan perubahan

konsistensi dan warna tinja sesuai dengan pola makan. Sejauh ini belum pernah

dilaporkan tentang pola defekasi pada anak Indonesia.1,2

Konstipasi pada anak sering menimbulkan masalah yang cukup serius.

Konstipasi umumnya memberikan gejala berupa rasa cemas sewaktu defekasi oleh

karena rasa nyeri yang dirasakan, nyeri perut rekuren kronis, sampai keadaan

penurunan nafsu makan dan gangguan pertumbuhan.1,2

Konstipasi ini terjadi sebagai akibat kegagalan kolon mengeluarkan isi

lumen atau adanya peningkatan tahanan luar oleh karena disfungsi pelvis dan

anorektal yang menyebabkan kesulitan untuk defekasi. Manifestasi klinis yang

tampak dapat bersifat minimal, seringkali bersifat sementara tetapi dapat berulang.

Keadaan ini dapat terjadi pada segala usia, dapat sembuh sendiri tetapi juga dapat

menetap sampai dewasa. 1-3

Konstipasi harus dianggap sebagai suatu gejala bukan diagnosis, oleh

karena keadaan ini mungkin merupakan manifestasi dari berbagai kelainan atau

sebagai akibat sekunder dari suatu pengobatan. Pada anak-anak, konstipasi yang

tidak teratasi dapat menyebabkan berbagai hal yang tidak diinginkan seperti

enkopresis, enuresis, sakit perut berulang, dan prolaps rektum. 1-3

1

Page 2: refarat-konstipasi

II. EPIDEMIOLOGI

Konstipasi pada anak merupakan masalah di seluruh dunia dengan

prevalensi bervariasi dari 0,7% sampai 29,6%. Konstipasi terdiagnosis pada 3%

anak pra sekolah dan 1% - 2% pada anak sekolah yang berobat pada dokter anak.

Keluhan yang berhubungan dengan defekasi ditemukan pada 25% anak yang

berobat jalan pada dokter gastoenterologi anak. Diperkirakan prevalensi

konstipasi pada populasi anak secara umum bervariasi antara 0,3%-8%. Pada

anak, konstipasi fungsional merupakan tipe yang paling banyak ditemui, kira-kira

90%-97% dari seluruh kasus konstipasi.1,3,4

III. DEFINISI

Berbagai batasan konstipasi dapat kita temui dalam literatur, yang pada

umumnya didasarkan pada frekuensi defekasi yang jarang, konsistensi feses yang

keras dan kesulitan dalam pengeluaran feses. Francin Paath, Loenig-Baucke, dan

Ravell menggunakan batasan sederhana yaitu defekasi kurang dari 3 kali

seminggu. Sedangkan Arisman dan Rubiana lebih menekankan pada kesulitan

pengeluaran feses tanpa memperhitungkan frekuensi.1-4

North American Society of Pediatric Gastroenterology and Nutrition

(NASPGAN) 2006 mendefenisikan konstipasi sebagai kelambatan atau kesulitan

dalam defekasi yang terjadi dua minggu atau lebih dan cukup membuat pasien

menderita. Jadi ada dua komponen penting dalam definisi ini: a) kelambatan

artinya penurunan frekuensi defekasi kurang dari 3 kali seminggu, b) kesulitan

dalam defekasi. Seorang anak mungkin bisa buang air besar setiap hari tetapi jika

disertai kesulitan dalam pengeluaran feses disebabkan karena konsistensinya

(berak keras dan besar), itu disebut konstipasi. Di lain pihak, jika seorang anak

defekasi dua atau tiga hari sekali namun fesesnya lunak dan tidak ada kesulitan

dalam bab, ini tidak disebut konstipasi.1

Kriteria ROMA II membedakan definisi konstipasi fungsional kronik pada

dewasa, anak dan bayi. Anak dikatakan mengalami konstipasi kronik fungsional

2

Page 3: refarat-konstipasi

bila tidak ada bukti kelainan anatomi, endokrin, atau metabolik dan terdapat gejala

berikut selama minimal 2 minggu, yaitu pada anak yang berusia kurang dari 4

tahun, terdapat frekuensi defekasi kurang 3 kali seminggu atau bila terdapat nyeri

saat defekasi dan retensi feses walaupun frekuensi defekasi 3 kali seminggu atau

lebih. Pada anak berusia > 4 tahun agak berbeda, digunakan kriteria berikut, yaitu

(1) frekuensi defekasi kurang atau sama dengan dua kali seminggu tanpa

menggunakan laksatif, (2) dua kali atau lebih episode soiling/enkopresis dalam

seminggu, dan (3) teraba massa feses (skibala) di abdomen atau rektum Pada

pemeriksaan fisis.5

Sedangkan berdasarkan kriteria ROMA III, Konstipasi pada bayi/balita

dan anak ditegakkan bila terdapat minimal 2 atau lebih dari kriteria berikut:1,5

Bayi/ balita (usia < 4 tahun)

Dalam 1 bulan paling kurang terdapat 2 kriteria di bawah ini:

≤ 2 x defekasi/minggu

≥ 1 x episode inkontinensia/minggu setelah memperoleh toilet skill

Riwayat retensi feses yang berlebihan atau riwayat sangat nyeri atau “sembelit”

Terdapat massa feses yang besar di rektum

Terdapat riwayat feses yang berukuran besar yang menyumbat toilet

Keadaan tersebut dapat disertai dengan gejala iritabel, penurunan nafsu makan

atau tidak nafsu makan.

Hal ini juga dapat disertai oleh feses yang berukuran besar

Anak usia > 4 tahun

Dalam 2 bulan paling kurang terdapat 2 kriteria di bawah ini:

≤ 2 x defekasi/minggu

≥ 1 x episode inkontinensia/minggu

Riwayat posisi menahan atau BAB tertahan

Riwayat nyeri saat buang air besar atau tinja yang keras

Terdapat massa feses yang besar di dalam rektum

Riwayat feses yang berukuran besar yang menyumbat toilet

Tabel 1. Kriteria Roma III untuk konstipasi fungsional

(Sumber : Konstipasi Fungsional. Sari Pediatri volume 6 No. 2. 2004)

3

Page 4: refarat-konstipasi

Frekuensi Normal Defekasi pada Bayi dan Anak

UmurNilai Rata-rata defekasi

per minggu

Nilai Rata-rata defekasi

per hari

0 – 3 bulan

ASI

Formula

5 – 40

5 – 28

2,9

2,0

6 – 12 bulan 5 – 28 1,8

1 – 3 tahun 4 – 21 1,4

> 3 tahun 3 – 14 1,0

Tabel 2. Frekuensi Normal Defekasi pada Bayi dan Anak.

(Sumber : Evaluation and treatment of Constipation in infants and children, Michigan State

University College of Human Medicine, East Lansig, Michigan. 2006)

IV. ETIOLOGI

Pada sebagian besar anak, penyebab konstipasi adalah fungsional,

karenanya tidak terdapat bukti obyektif untuk terjadinya suatu keadaaan patologis.

Hampir 95% konstipasi pada anak disebabkan oleh kelainan fungsional dan hanya

5% disebabkan oleh kelainan organik. Di antara penyebab organik, penyakit

Hirschprung adalah penyebab tersering. Walaupun demikian, pada neonatus

penyebab organik lebih sering daripada penyebab fungsional. Bila terjadi

konstipasi pada neonatus harus dipikirkan penyebab organik terlebih dahulu

seperti penyakit Hirschprung dan hipothyroidism.1

Konstipasi fungsional sebagian besar berkaitan dengan rasa nyeri saat

defekasi yang mengakibatkan penahanan feses secara sadar oleh seorang anak

dengan harapan defekasi yang tidak menyenangkan dapat dihindari. Berbagai

kejadian dapat menyebabkan rasa nyeri saat defekasi seperti toilet training terlalu

dini, perubahan makanan, kurang minum, dan meningkatnya kehilangan cairan

(dehidrasi), asupan susu yang berlebihan (susu mengandung rendah serat dan

tinggi kalsium), intoleransi terhadap susu sapi dapat bermanifestasi konstipasi

(8%), sebagian besar IgE-mediated dengan karakteristik utamanya infiltrasi

eosinofil, kejadian yang menyebabkan stres, menderita penyakit yang lama, tidak

4

Page 5: refarat-konstipasi

tersedianya toilet, atau penundaan defekasi karena anak tersebut terlalu sibuk.

Hal-hal tersebut di atas akan menyebabkan pemanjangan stasis feses dalam kolon,

dengan reabsorpsi cairan, dan peningkatan ukuran dan konsistensi feses.1

Penyebab Konstipasi pada Anak Dan Neonatus1

Neonatus/bayi Meconium plug Penyakit Hirschsprung Fibrosis kistik Malformasi anorektal bawaan,

termasuk anus imperforata, stenosis ani, anal band

Chronic idiopathic intestinal pseudo obstruction

Endokrin: hipotiroid Alergi susu sapi Metabolik: diabetes insipidus,

renal tubular acidosis Retensi tinja Perubahan diet

Batita dan umur 2-4 tahun Fisura ani, retensi tinja Toilet refusal Alergi susu sapi Penyakit Hirschprung segmen

pendek Penyakit saraf: sentral atau

muskular dengan hipotoni Medula spinalis:

meningomielokel, tumor, tethered cord

Usia sekolah Retensi tinja

Ketersediaan toilet terbatas

Keterbatasan kemampuan

mengenali rangsangan fisiologis

Preokupasi dengan kegiatan lain

Tethered cord

Remaja Irritable bowel syndrome

Jejas medulla spinalis

(kecelakaan, trauma)

Diet

Anoreksia

Kehamilan

Laxative abuse

Tabel 3. Penyebab Konstipasi pada Neonatus dan Anak.

(sumber : Konstipasi pada Anak. Universitas Andalas, Sumatera Barat, Indonesia. 2013)

V. PATOFISIOLOGI

Konstipasi dapat terjadi apabila salah satu atau lebih faktor yang terkait

dengan faktor anatomi dan fisiologi dalam proses mekanisme defekasi terganggu.

5

Page 6: refarat-konstipasi

Gangguan dapat terjadi pada kekuatan propulsif, sensasi rektal ataupun suatu

obstruksi fungsional pengeluaran (functional outlet). Konstipasi dikatakan

idiopatik apabila tidak dapat dijelaskan adanya abnormalitas anatomik, fisiologik,

radiologik dan histopatologik sebagai penyebabnya.7

Proses defekasi yang normal memerlukan keadaan anatomi dan inervasi

normal dari rektum yang terbentuk dari ganglion simpatis L2 - S4, otot puborektal

dan sfingter ani. Rektum adalah organ sensitif yang mengawali proses defekasi.

Tekanan pada dinding rektum akan merangsang sistem saraf intrinsik rektum yang

terdiri dari pleksus Meissner, pleksus Aurbachii, dan pleksus mukosa kecil

sehingga menyebabkan relaksasi sfingter ani interna, yang dirasakan sebagai

keinginan untuk defekasi. Ganglia ini berfungsi mengatur kontraksi dan relaksasi

otot halus (lebih dominan relaksasi). Ganglia ini juga berintegrasi dan terlibat

dalam semua kerja usus, yaitu absorbsi, sekresi, dan motilitas. Sfingter anal

eksterna kemudian menjadi relaksasi dan feses dikeluarkan mengikuti peristaltik

kolon melalui anus. Bila relaksasi sfingter interna tidak cukup kuat, maka sfingter

anal eksterna akan berkontraksi secara reflek, selanjutnya sesuai dengan kemauan.

Otot puborektal akan membantu sfingter anal eksterna sehingga keinginan

defekasi juga menghilang.6

Pada konstipasi, feses yang terkumpul di rektum dalam waktu lebih dari

satu bulan menyebabkan dilatasi rektum. Akibatnya mengurangi aktivitas

peristaltik yang mendorong feses keluar sehingga menyebabkan retensi feses yang

semakin banyak. Peningkatan volume feses pada rektum menyebabkan

kemampuan sensorik rektum berkurang sehingga retensi feses makin mudah

terjadi.6

6

Page 7: refarat-konstipasi

REKTUM

SARAF INTRINSIK (pleksus Meissner, pleksus

Aurbachii, dan pleksus mukosa kecil)

RELAKSASI SFINGTER INTERNA

DEFEKASI

KONSTRIKSI ANUS

Otot puborektal

LAMA

REFLEKS DEFEKASI HILANG

RELAKSASI SFINGTER EXTERNA

KONSTRIKSI SFINGTER EXTERNA

Isi usus

lemah

kuat

Patofisiologi Defekasi

Gambar 1. Patofisiologi Defekasi1

(Sumber : Konstipasi. SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya, 2006. )

VI. MANIFESTASI KLINIS

Pada anamnesis didapatkan riwayat berkurangnya frekuensi defekasi. Bila

konstipasi menjadi kronik, jumlah defekasi per hari atau per minggu mungkin

bukan indikator terpercaya untuk konstipasi pada seorang anak. Biasanya, pola

defekasi yang jarang terdapat pada awal proses, yang mungkin terjadi beberapa

bulan atau tahun sebelum pasien menemui dokter. Dengan terjadinya retensi tinja,

gejala dan tanda lain konstipasi berangsur muncul seperti nyeri dan distensi

abdomen, yang sering hilang sesudah defekasi. Penting dicatat adanya riwayat

tinja yang keras dan/atau tinja yang sangat besar yang mungkin menyumbat

saluran toilet. Kecepirit (soiling) di antara tinja yang keras sering salah di

diagnosis sebagai diare. Seorang anak yang mengalami konstipasi biasanya

mengalami anoreksia dan kurangnya kenaikan berat badan, yang akan mengalami

perbaikan bila konstipasinya diobati. Upaya menahan tinja dapat disalahtafsirkan

7

Page 8: refarat-konstipasi

sebagai upaya mengejan untuk defekasi. Berbagai posisi tubuh, menyilangkan

kedua kaki, menarik kaki kanan dan kiri bergantian ke depan dan belakang

merupakan manuver menahan tinja dan kadangkala perilaku tersebut menyerupai

kejang.1,4,6

Inkontinensia urin dan infeksi saluran kemih, seringkali berkaitan dengan

konstipasi pada anak. Kadangkala, retensi urin, megakistik, dan refluks

vesikoureter ditemukan pada anak dengan konstipasi kronis. Jika feses lama

berada di rektum, lebih banyak bakteria yang berkolonisasi di perineum sehingga

akan meningkatkan risiko infeksi saluran kemih. Penelitian menemukan bahwa

dengan mengobati konstipasi akan menurunkan risiko rekurensi dari infeksi

saluran kemih.1,4,6

Pada pemeriksaan klinis didapatkan distensi abdomen dengan bising usus

normal, meningkat atau berkurang. Massa abdomen teraba pada palpasi abdomen

kiri dan kanan bawah dan daerah suprapubis. Pada kasus berat, massa tinja kadang

dapat teraba di daerah epigastrium. Fisura ani serta ampula rekti yang besar dan

lebar merupakan tanda penting pada konstipasi. Pemeriksaan fisik yang penting

yang membedakan konstipasi organik dan fungsional dapat dilihat pada Tabel 3. 1

8

Page 9: refarat-konstipasi

Perbandingan antara Konstipasi Fungsional dengan Penyakit Hirschsprung

Gejala Konstipasi fungsional Penyakit Hirschsprung

Mekonium terlambat Jarang Sering

Onset Setelah 2 tahun Saat lahir

Failure to thrive Jarang Sering

Fecal incontinence Sering Hampir tidak pernah

Riwayat adanya fissura Sering Jarang

Distensi abdomen Jarang Sering

Enterocolitis Tidak Bisa terjadi

Colok dubur Terdapat feses Kosong

Tinja menyemprot bila

telunjuk dicabut

Gagal tumbuh Jarang Sering

Tabel 4. Perbandingan antara Konstipasi Fungsional dengan Penyakit Hirschsprung.1

(Sumber : Konstipasi. USU. 2011)

VII. DIAGNOSIS

Langkah pertama yang penting dilakukan adalah menyingkirkan

kemungkinan pseudokonstipasi. Pseudokonstipasi merujuk pada keluhan orang

tua bahwa anaknya menderita konstipasi padahal tidak ada konstipasi. Pada

anamnesis perlu ditanyakan mengenai konsistensi tinja dan frekuensi defekasi.

Pada pemeriksaan fisik, palpasi abdomen yang cermat dan colok dubur perlu

dilakukan. Banyak orang tua mengeluh bayinya sering menggeliat, wajahnya

memerah, dan tampak mengejan kesakitan waktu berhajat. Semua itu normal dan

bukan pertanda adanya konstipasi. Bila tinja anak lunak dan pada pemeriksaan

fisik tidak ditemukan kelainan, maka tidak ada konstipasi berapa kalipun

frekuensi defekasi. Orang tua merasa anaknya memiliki masalah defekasi bila

tidak melihat anaknya defekasi dalam sehari. Oleh karena itu, sebelum

memikirkan berbagai etiologi konstipasi, penting sekali mengidentifikasi kasus

pseudokonstipasi dan memberi edukasi kepada orang tua mengenai hal ini. 1,6

9

Page 10: refarat-konstipasi

Bila memang terdapat konstipasi, langkah berikut adalah membedakan

apakah konstipasi berlangsung akut atau kronis. Dikatakan konstipasi akut bila

keluhan berlangsung kurang dari 1 – 4 minggu dan konstipasi kronis bila keluhan

berlangsung lebih dari 1 bulan.1,4,6

Penyebab konstipasi akut yang paling sering adalah konstipasi fungsional,

fisura ani, infeksi virus dengan ileus, diet, dan obat. Tetapi perlu dipikirkan

kelainan yang mengancam kehidupan, seperti obstruksi usus, dehidrasi dan

botulisme infantil. Salah satu penyebab tersering konstipasi akut adalah infeksi

virus. Infeksi virus dapat menyebabkan ileus nonspesifik dan berkurangnya

frekuensi defekasi. Anak juga mengalami anoreksia serta kehilangan banyak

cairan melalui saluran nafas dan demam.1

Pada konstipasi kronis keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan. Konstipasi

kronis biasanya fungsional, tetapi perlu dipertimbangkan adanya penyakit

Hirschsprung karena berpotensi menimbulkan komplikasi yang serius.1

Gambar 2. Langkah diagnosis dan penatalaksanaan konstipasi.7

(Sumber: Konstipasi. SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya. 2006)

10

Waktu transit kolon

Normal Abnormal Evaluasi psikiatris

Trial terapeutika Defekasi yang

abnormal, mengedenUji fungsi dasar panggul.

Proktografi defekasi

Intraktabel konstipasi

Ulangi pemeriksaan waktu transit

Normal Abnormal

Pengobatan empiris

Defek anatorektum

Normal Disfungsi dasar panggul

Trial Terapeutika

Pembedahan rektum Biofeedback

Respon (-) : Total kolektomi & ileoreltostomi

Page 11: refarat-konstipasi

Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan pada kasus-kasus tertentu yang

diduga mempunyai penyebab organik.1,7

1. Pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat kaliber kolon dan massa

tinja dalam kolon. Pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan colok

dubur tidak dapat dilakukan atau bila pada pemeriksaan colok dubur tidak

teraba adanya distensi rektum oleh massa tinja.1,7

2. Pemeriksaan barium enema untuk mencari penyebab organik seperti

Morbus Hirschsprung dan obstruksi usus. 1,7

3. Pemeriksaan darah terutama pemeriksaan fungsi tiroid T4 dan TSH

dilakukan untuk memastikan diagnosis, apabila ditemukan kadar T4 rendah

disertai kadar TSH yang meningkat maka diagnosis bisa ditegakkan untuk

menyingkirkan diagnosis banding lainnya. 1,7,8

4. Pemeriksaan radiologis berupa pemeriksaan osifikasi tulang (bone age).

Biasanya pada hipotiroidisme ada ketidak sesuaian antara bone age dan

chronological age.9

VIII. DIAGNOSIS BANDING

Keadaan yang dapat menjadi diagnosis banding konstipasi berupa

malposisi anus, penyakit Hirschsprung, serta hipotiroidsme yang ternyata paling

sering memberikan gejala utama konstipasi retensif yang menahun.

1. Malposisi Anus

Malposisi anus kongenital yang berat biasanya telah tampak sejak lahir,

sedangkan bentuk malposisi yang lebih ringan seringkali tidak tampak. Pada

pemeriksaan perineum tampak index anogenital lebih besar dari 0,34 pada wanita

dan lebih besar dari 0,45 pada pria. Anogenital index adalah perbandingan antara

jarak dari permukaan posterior vagina atau skrotum ke anus, dibagi jarak

seluruhnya ke ujung coccygeus.3,4

Pada anus ektopik anterior, kanalis analis yang dikelilingi oleh sfingter ani

internus berada di bagian anterior daerah perineal, sedangkan sfingter ani

eksternus tetap terpisah pada lokasinya yang biasa di posterior. Anus dan sfingter

11

Page 12: refarat-konstipasi

terletak lebih anterior dari anus yang normal, keduanya terletak di bagian anterior

perineum. Dalam keadaan seperti ini wanita akan menunjukkan gejala lebih sering

dan konstipasi sering sudah mulai tampak sejak dini pada masa neonatus, dan

pada anak yang lebih besar, rasa tidak nyaman merupakan gejala-gejala yang

paling sering dikeluhkan.3,4

2. Penyakit Hirschsprung

Penyakit Hirschsprung (megakolon konginetal) disebabkan oleh karena

tidak adanya pleksus otonomik Meisner dan Auerbach di dalam dinding usus,

yang biasanya terbatas di daerah kolon. Peristaltik atau abnormalitas pada segmen

kolon yang terlibat mengakibatkan spasme otot polos yang berkesinambungan dan

obstruksi parsial atau komplit dengan penimbunan isi usus dan dilatasi bagian

usus yang lebih proksimal yang mempunyai inervasi yang normal.3,4

Walaupun insidensnya sangat jarang yaitu 1:5000, penyakit ini masih

merupakan salah satu masalah bedah yang paling penting oleh karena paling

sering menimbulkan gejala konstipasi pada anak. Penyakit ini diturunkan secara

dominan autosomal.3,4

Pada penderita dengan aganglionik totalis, gambaran klinis tampak segera

setelah lahir. Kegagalan mengeluarkan mekonium dan jarangnya defekasi yang

berkepanjangan akan mengakibatkan gejala obstruksi yang jelas dengan gejala

muntah dengan warna kehijauan dan distensi abdomen yang jelas. Dalam

mengevaluasi penderita dengan konstipasi dan enkopresis janganlah lupa untuk

memikirkan adanya penyakit Hirschsprung dari konstipasi retentif yang kronik.3,4

3. Hipotiroidisme

Hipotiroidisme kongenital dipakai kalau kelainan kelenjar tiroidea sudah

ada pada waktu lahir atau sebelumnya. Kalau kelainan tersebut sudah ada pada

anak yang sebelumnya normal, maka lebih baik dipakai istilah hipotiroidisme

juvenilis atau didapat.9

Angka kejadian di berbagai negara bervariasi dengan kisaran antara 1 per

3000 – 4000 kelahiran hidup. Sebagian besar penelitian memperlihatkan

12

Page 13: refarat-konstipasi

perbandingan angka kejadian laki-laki dengan perempuan adalah 1 : 2. Hipotiroid

congenital merupakan penyebab retardasi mental yang dapat dicegah bila

ditemukan dan diobati sebelum usia 1 bulan.10

Pada bayi baru lahir biasanya gejala belum terlihat jelas. Setelah beberapa

minggu gejala akan terlihat lebih menonjol. Ikterus fisiologis biasanya lebih lama,

kurang mau minum, sering tersedak, pergerakan bayi pasif, lidah yang besar dan

sering menderita kesukaran bernapas, konstipasi, suara menangis serak, pucat,

biasanya bayi lahir matur atau lebih bulan, dan terdapat riwayat gangguan tiroid

dalam keluarga, penyakit ibu saat hamil, obat antitiroid yang sedang diminum,

dan terapi sinar.10

IX. PENATALAKSANAAN

Tata laksana meliputi :

Edukasi orang tua. Edukasi pada orang tua ini dapat diberikan mengenai

pengertian konstipasi, meliputi penyebab, gejala maupun terapi yang dapat

diberikan. 1,5,6

Evakuasi atau pembersihan skibala. Adalah awal yang sangat penting

untuk dilakukan sebelum memulai terapi rumatan. Skibala dapat

dikeluarkan dengan obat per oral atau per rectal. Pemberian obat secara

oral merupakan pengobatan yang tidak invasive namun memerlukan

ketaatan dalam meminum obat. Sebaliknya pemakaian obat melalui rectal

memberikan efek yang cepat namun memberikan efek psikologis yang

kurang baik pada anak dan dapat menimbulkan trauma pada anus. Obat

per oral yang biasa dipakai adalah mineral oil, larutan polietilen glikol,

laktulosa, sorbitol. Mineral oil (paraffin liquid) dengan dosis

15-30ml/tahun umur (maksimum 240 ml sehari) kecuali pada bayi.

Larutan polietilen glikol diberikan 20ml/kg/jam (maksimum 1000ml/jam)

diberikan melalui NGT selama 4 jam perhari. Evakuasi tinja dengan obat

per rectum dapat menggunakan enema fosfat hipertonik (3ml/kg BB 1-2

kali sehari maksimum 6 kali enema), enema garam fisiologis (600-

13

Page 14: refarat-konstipasi

1000ml). Pada bayi digunakan enema gliserin 2-5ml. Evakuasi tinja

dilakukan selama 3 hari berturut-turut agar evakuasi tinja sempurna. 1,5,6

Terapi rumatan untuk mencegah kekambuhan , yang meliputi :

1. Intervensi diet, anak dianjurkan banyak minum,serta

mengkonsumsi karbohidrat dan serat. 1,5,6

2. Modifikasi prilaku dan toilet training. Segera setelah makan anak

dianjurkan untuk buang air besar, beri waktu sekitar 10-15 menit

bagi anak untuk buang air besar. Bila dilakukan secara teratur akan

mengembangkan reflek gastrokolik pada anak. 1,5,6

3. Pemberian laksatif seperti laktulosa, sorbitol dan paraffin liquid. 5,6

Apabila terjadi konstipasi kronik, rujuk ke dokter subspesialis

gastrohepatologi anak.

Bedah

Diperlukan pada kasus Hirschsprung, striktura ani dan adanya kelainan

organik. 5,6

Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan subspesialis lainnya, dll)

Bila terjadi konstipasi kronik lebih dari 3 bulan, rujuk ke konsultan

gastrohepatologi. 5,6

X. PROGNOSIS

Keberhasilan pengobatan konstipasi sangat tergantung dari penyebabnya.

Anak dengan inkontinensia feses yang volunter tanpa disertai adanya mega

rektum dan impaksi (kemacetan) sangat resisten terhadap pengobatan. Anak

dengan keadaan seperti ini seringkali disertai gangguan tingkah laku yang berat,

dan memerlukan evaluasi dan pengobatan psikiatri. Selain itu, angka keberhasilan

tindakan pembedahan kolon pada penderita konstipasi yang intraktabel sangat

tergantung pada ketepatan diagnosis praoperasi.

14

Page 15: refarat-konstipasi

DAFTAR PUSTAKA

1. USU. Konstipasi. 2011 [cited 2013 Maret 18]. Available from :

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31236/4/Chapter II.pdf

2. Tehuteru E. S.,Hegar B., Firmansyah A. Pola Defekasi pada

anak. Sari Pediatri Vol. 3. Penerbit FKUI. Jakarta:2001

3. Mansjoer, Arif. Konstipasi. Kapita Selekta Kedokteran – Gastroenterologi

Anak. Media Aesculapius FKUI. Jakarta :2000

4. Yusri D. Sofni S. Yorva S., Konstipasi Pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan

Anak, Universitas Andalas/RS Dr. M. Djamil, Padang, Sumatera Barat,

Indonesia. CDK 200/vol.40 no.1 th.2013

5. Syarif, Badriul Hegar. Konstipasi Fungsional. Sari Pediatri Vol. 6. Penerbit

FKUI. Jakarta :2004

6. Wendy S. Biggs, M.D., William H. Dery, M.D. Evaluation and Treatment

of Constipation in Infants and Children, Michigan State University

College of Human Medicine, East Lansing, Michigan [online]. 2006 Feb

1;73(3):469-477 [cited 2013 March 18]. Available from:

http://www.aafp.org/afp/2006/0201/p469.html

7. Alpha Fardah A., IG. M. Reza Gunadi Ranuh, Subijanto Marto Sudarmo.

Konstipasi. Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran

UNAIR Surabaya [online]. 2006 [cited 2013 March 18]. Available from:

http://www.pediatrik.com/isi03.php?

page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-

cmis232.htm

8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konstipasi – Standar Pelayanan Medis

Kesehatan Anak Edisi I 2004. Badan Penerbit IDAI. 2005.

9. Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak FKUI . Buku kuliah jilid 1 Ilmu

Kesehatan Anak hal 266. InfoMedika.Jakarta: 1985.

10. E. Behrman, Richard. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 12 Bagian 3.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

15