225023522 referat konstipasi anak

37
BAB I PENDAHULUAN Pola defekasi yang normal umumnya dipandang sebagai petanda anak sehat. Sementara orang tua sangat memperhatikan frekuensi defekasi dan karakteristik anaknya. Konstipasi merupakan masalah yang biasa ditemukan pada anak sehingga memicu orang tua untuk memeriksakan anaknya. 1 Perubahan pola diet merupakan salah satu penyebab utama tingginya kejadian konstipasi. Konstipasi umumnya memberikan gejala berupa rasa cemas sewaktu defekasi karena nyeri yang dirasakan, nyeri perut berulang, sampai keadaan penurunan nafsu makan dan gangguan pertumbuhan. 2 Konstipasi merupakan masalah yang sering terjadi pada anak prevalensinya diperkirakan 0,3% sampai 8%. Menurut Van den Berg MM, prevalensi konstipasi 0,7% sampai 26,9%. Pada studi retrospektif oleh Loening-Baucke tahun 2005 didapatkan prevalensi konstipasi pada anak sampai usia 1 tahun mencapai 2,9% dan meningkat pada tahun kedua,yaitu sekitar 10,1%. Sejumlah 97% kasus konstipasi anak disebabkan oleh konstipasi fungsional dengan 1

Upload: idahrachman515

Post on 19-Nov-2015

110 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

anak

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUANPola defekasi yang normal umumnya dipandang sebagai petanda anak sehat. Sementara orang tua sangat memperhatikan frekuensi defekasi dan karakteristik anaknya. Konstipasi merupakan masalah yang biasa ditemukan pada anak sehingga memicu orang tua untuk memeriksakan anaknya.1Perubahan pola diet merupakan salah satu penyebab utama tingginya kejadian konstipasi. Konstipasi umumnya memberikan gejala berupa rasa cemas sewaktu defekasi karena nyeri yang dirasakan, nyeri perut berulang, sampai keadaan penurunan nafsu makan dan gangguan pertumbuhan.2 Konstipasi merupakan masalah yang sering terjadi pada anak prevalensinya diperkirakan 0,3% sampai 8%. Menurut Van den Berg MM, prevalensi konstipasi 0,7% sampai 26,9%. Pada studi retrospektif oleh Loening-Baucke tahun 2005 didapatkan prevalensi konstipasi pada anak sampai usia 1 tahun mencapai 2,9% dan meningkat pada tahun kedua,yaitu sekitar 10,1%. Sejumlah 97% kasus konstipasi anak disebabkan oleh konstipasi fungsional dengan kejadian yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bekkali NL mendapatkan usia anak yang menderita konstipasi fungsional dan rectal fecal impaction(RFI) berkisar antara 4-16 tahun.2Keluhan konstipasi sering menjadi alasan orang tua membawa anaknya berobat. Keluhan yang berhubungan dengan konstipasi ditemukan pada 3% anak yang berobat ke pusat pelayanan primer dan 25% berobat ke spesialis Gastroenterologi. Konstipasi tidak dipengaruhi oleh status sosial, ekonomi dan jumlah anak.Konstipasi harus dianggap suatu gejala, bukan diagnosis, keadaan ini merupakan manifestasi berbagai kelainan atau sebagai akibat sekunder dari suatu pengobatan.2

Penyebab konstipasi bermacam-macan dan perlu penanganan yang tepat. Kasus konstipasi ringan yang memerlukan terapi adekuat beberapa kasus memerlukan tindakan segera sementara kasus konstipasi kronis memerlukan kesabaran dan penangan yang cermat.1

BAB IITINJAUAN PUSTAKAFisiologi dan pola Buang Air BesarMekanisme buang air besar dirangsang oleh gerakan peristaltik akibat adanya masa tinja di dalam rektum. Rangsangan sensori pada kanal anus akan menurunkan tonus sfingter anus internus, sehingga terjadilah proses defekasi.2

GAMBAR 1Fisiologi kolon

Dua refleks defekasi yang terjadi:3 Refleks defekasi intrinsikKetika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus unuk memulai gelombang peristaltik mendekati anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, sfingter anal interna tidak menutup dan bila sfingter ani externa tenang maka feses keluar. Refleks defekasi parasimpatisKetika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sacrum 2-4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal-sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik melemaskan sfingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi intrinsik.

GAMBAR 2 Fisiologi defekasi

Relaksasi otot puborektal yang menyebabkan mekanisme yang berperan dalam proses buang air besar. Selain itu proses buang air besar dirangsang oleh adanya gerak peristaltik akibat adanya masa tinja di dalam rektum. Rangsangan sensori pada kanal anus akan menurunkan tonus sfingter anus internus sehingga terjadi proses defekasi. Proses diawali dengan relaksasi otot puborektal yang menyebabkan sudut anorektal melebar, diikuti oleh relaksasi otot levator yang menyebabkan pembukaan kanal anus. Buang air besar terjadi akibat adanya bantuan dari tekanan intra-abdominal yang meningkat akibat penutupan glottis, fiksasi diafragma, dan kontraksi otot abdomen. Frekuensi BAB mempunyai korelasi dengan watu transit gastrointestinal. Anak-anak dengan frekuensi BAB kurang dari 4 kali seminggu memiliki waktu transit lebih dari 33 jam. Keadaan ini lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan anak yang mempunyai pola BAB normal.1,2,3

GAMBAR 3 Fisiologi defekasi

Frekuensi BAB pada anak menurun seiring dengan pertambahan usia. Berikut ini merupakan frekuensi normal defekasi pada anak:

Tabel 1 frekuensi normal defekasi pada anak

Umur Defekasi/mingguDefekasi/hari

0-3 bulan ASI Formula5-405-282,92,0

6-12 bulan5-281,8

1-3 tahun4-211,4

>3 tahun3-141,0

1. DefinisiIDAI memiliki definisi konstipasi yaitu ketidakmampuan melakukan evakuasi tinja secara sempurna, yang tercermin dari 3 aspek yaitu, berkurangnya frekuensi berhajat biasanya, tinja lebih keras dari sebelumnya, dan pada palpasi abdomen teraba massa tinja (skibala) dengan atau tanpa disertai enkopresis. Konstipasi adalah kesulitan defekasi atau berkurangnya frekuensi defekasi tanpa melihat apakah tinjanya keras atau tidak. (Rogers). Konstipasi merupakan kesulitan defekasi yang terjadi menimbulkan nyeri dan distress pada anak. (Lewis &Muir). Konstipasi adalah suatu perubahan dalam frekuensi dan konsistensi dibandingkan pola defekasi individu yang bersangkutan yaitu frekuensi berhajat lebih jarang dan tinja lebih keras dari biasanya. (Abel). Definisi lainnya adalah buang air besar kurang dari 3 kali per minggu atau riwayat buang air besar dengan tinja yang banyak dan keras. (Steffen dan Loening Baucke). 12. Epidemiologi Sekitar 3% kunjungan dan 10-15% ditangani oleh gastroenterologi anak merupakan kasus konstipasi kronis. 90-95% merupakan konstipasi fungsional, hanya 5-10% yang mempunyai penyebab organik. Pada 5-10% bayi dan anak konstipasi disebabkan kelainan anatomis, neurologis, atau penyebab lain.13. Patofisiologi Proses normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rektum. Regangan tersebut menimbulkan refleks relaksasi dari sfingter anus interna yang akan direspons sampai individu mencapai toilet. Untuk proses defekasi, sfingter anus eksterna dan muskulus puborektalis mengadakan relaksasi sedemikian rupa sehingga sudut antara kanal anus dan rektum terbuka, membentuk jalan lurus bagi tinja untuk keluar melalui anus. Kemudian mendorong tinja keluar melalui anus. Pada keadaan normal, epitel sensorik di daerah anus rektum memberitahu individu mengenai sifat tinja, apakah padat, cair, gas, atau kombinasi ketiganya.1,2Kolon berfungsi menyimpan dan mengeringkan tinja cair yang diterimanya dari ileum. Makan maupun minum merupakan stimulus terjadinya kontraksi kolon (refleks gastrokolik) yang diperantarai oleh neuropeptida pada sistem saraf usus dan koneksi saraf visera. Kandungan nutrisi tinja cair dari ileum yang masuk ke kolon akan menentukan frekuensi dan konsistensi tinja. Kurangnya asupan serat (dietary fiber) sebagai kerangka penyebab konstipasi. Berat tinja berkaitan dengan asupan serat makanan. Tinja yang besar akan dievakuasi lebih sering. Waktu singgah melalui saluran pencernaan lebih cepat apabila mengkonsumsi banyak serat. Waktu singgah pada bayi berusia 1-3 bulan adalah 8,5 jam. Waktu singgah meningkat dengan bertambahnya usia, dan pada dewasa berkisar antara 30-48 jam. Berkurangnya aktivitas fisik pada individu yang sebelumnya aktif menjadi tidak aktif merupakan predisposisi. Stress dan perubahan aktivitas rutin sehari-hari dapat mengubah frekuensi defekasi, seperti liburan, berkemah, masuk sekolah kembali setelah liburan, ketersediaan toilet dan masalah psikososial, dapat menyebabkan konstipasi.1Kebiasaan menahan tinja (retensi tinja) yang berulang akan meregangkan rektum dan kemudian kolon sigmoid yang menampung bolus tinja berikutnya. Tinja yang berada di kolon akan terus mengalami reabsorbsi air dan elektrolit dan membentuk skibala. Seluruh proses akan berulang dengan sendirinya, yaitu tinja yang keras dan makin besar-nyeri waktu berhajat dan seterusnya.4,5

GAMBAR 4 Patofisiologi konstipasi

Bila konstipasi menjadi kronik, massa tinja berada di rektum, kolon sigmoid, dan kolon desenden dan bahkan seluruh kolon. Distensi tinja kronis sebagai akibat retensi tinja menyebabkan menurunnya kemampuan sensor terhadap volume tinja, yang sebetulnya merupakan panggilan atau rangsangan untuk berhajat.4Lingkaran setan terus berlangsung: tinja keras-nyeri waktu berhajat-retensi tinja-tinja makin banyak-reabsorbsi air-tinja makin keras dan makin besar-nyeri waktu berhajat-dan seterusnya.1

GAMBAR 5Lingkaran konstipasi

4. EtiologiPenyebab tersering konstipasi pada anak adalah11. Fungsional2. Fisura ani3. Infeksi virus dengan ileus4. Diet5. Obat-obatan: anestesi, analgesik narkotik, opuat, antikolinergik dan simpatomimetik, antikonvulsan dan diet ketogenik, antimotilitas, antipsikotik, anti depresan, barium untuk pemeriksaan radiologis, penghambat kanal kalsium, antidisritmia, mineral (alumunium, kalsium, besi, timbal, merkuri, arsen, bismuth), antiinflamasi non steroid.

Jika diet anak berubah juga akan mengakibatkan konstipasi akut, hal ini sering terjadi pada saat liburan. Bila diet mengandung banyak susu atau rendah buah dan sayuran, kemungkinan penyebab konstipasi adalah faktor diet. Dalam hal ini, modifikasi diet lebih diutamakan pada laksatif. Perubahan diet dari ASI ke formula ke susu penuh (full cream) pada anak usia 1 tahun dapat mebimbulkan konstipasi pada beberapa anak/bayi. Pada konstipasi kronis keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan. Konstipasi kronis biasanya fungsional, tetapi perlu dipertimbangkan adanya penyakit Hirschprung karena berpotensi menimbulkan komplikasi yang serius.4,5Tabel 2 Penyebab konstipasi berdasarkan umur

Neonatus/Bayi Meconium plug Penyakit Hirschprung Fibrosis kistik Malformasi anorektal bawaan, termasuk anus imperforata, stenosis ani, anal band Chronic idiopatic intestinal pseudo-obstruction Endokrin: hipotiroid Alergi susu sapi Metabolik: diabetes insipidus, renal tubular asidosis Retensi tinja Perubahan diet

Toddler dan umur 2-4 tahun Fissura ani, retensi tinja Toilet refusal Alergi susu sapi Penyakit Hirschprung segmen pendek Penyakit saraf: sentral atau muskular dengan hipotoni Medulla spinalis: meningomielokel, tumor, tethered cord

Usia sekolah Retensi tinja Ketersediaan toilet terbatas Keterbatasan kemampuan mengenali rangsang fisiologis Preokupasi dengan kegiatan lain Tethered cord

Adolesen Irritabel bowel syndrome Jejas medulla spinalis (kecelakaan, trauma) Diet Anoreksia Kehamilan Laxative abuse

Segala usia efek samping obat, perubahan diet, paska operasi riwayat operasi anal-rektum retensi tinja dan enkoporesis akibat distensi tinja kronis perubahan aktivitas fisik, dehidrasi hipotiroid

5. Gejala KlinisPenyebab tersering konstipasi adalah menahan defekasi akibat pengalaman nyeri pada defekasi sebelumnya, biasanya disertai fissura ani. Pada anamnesis didapatkan riwayat berkurangnya frekuensi defekasi. Bila konstipasi menjadi kronik, jumlah defekasi per hari atau per minggu mungkin bukan indikator terpercaya untuk konstipasi pada anak. Awalnya ditandai dengan gejala pola defekasi yang jarang dan sudah berjalan beberapa bulan atau tahunan. Biasanya timbul gejala lainnya seperti distensi abdomen yang hilang sesudah defekasi, tinja keras, dan atau sangat besar yang menyumbat, tinja yang cair diantara yang keras. Anoreksia dan kurangnya kenaikan berat badan yang akan membaik jika konstipasi sudah diatasi. Berbagai posisi menahan tinja dapat pula diamati pada anak-anak seperti menyilangkan kedua kaki, menarik kaki kanan dan kiri bergantian kedepan dan ke belakang (seperti berdansa) merupakan manuver untuk menahan tinja yang jika diamati kadang menyerupai kejang.1,2,4,5Inkontinensia urin dan infeksi saluran kemih seringkali berkaitan dengan konstipasi pada anak. Kadangkala, retensi urin, megakistik, dan refluks vesikoureter ditemukan pada anak dengan kostipasi kronis.1Pemeriksaan fisik didapatkan distensi abdomen dengan bising usus normal, meningkat, atau berkurang. Massa abdomen dapat teraba atau pada kasus yang kronis didapatkan massa tinja di daerah epigastrium. Fissura ani serta ampula rekti yang besar dan lebar merupakan tanda penting pada konstipasi.Tabel 3 Pemeriksaan fisik pada anak dengan konstipasi

Abdomen Distensi Hati dan limpa Massa tinja

Inspeksi anus Posisi Adanya tinja di sekitar anus atau celana Eritema sekitar anus Skin tags Fissura ani

Colok dubur Kedutan anus Tonus anus Massa tinja Adanya tinja Konsistensi Adakah massa lain Tinja menyemprot bila jari dicabut Darah dalam tinja

Punggung dan spina Lesung Berkas rambut

Neurologi Tonus Kekuatan Refleks kremaster Refleks tendon

Tabel 4 temuan pada pemeriksaan fisik yang membedakan konstipasi organik dari fungsional

Gagal tumbuh Distensi abdomen Hilangnya lengkung lumbosakral Pilonidal dimple covered by a tuft hair Kelainan pigmentasi di garis tengah spina (lumbosakral) Agenesis sakrum Bokong datar Letak anus di depan Patulous anus Ampula rekti kosong padahal teraba massa tinja pada palpasi abdomen Tinja menyemprot bila telunjuk dicabut pada pemeriksaan colok dubur Darah dalam tinja Hilangnya kedutan anus Hilangnya reflek kremaster Tonus dan kekuatan otot ekstremitas bawah turun Hilang atau menurunnya fase relaksasi refleks tendon ekstremitas bawah

Pada pemeriksaan manometri anak dengan konstipasi kronis adalah meningkatnya ambang rangsang sensasi rektum. Dengan pengobatan jangka panjang, hal ini dapat kembali normal. Pada sebagian kasus yang sembuh meninggalkan sensasi rektum yang abnormal sehingga memicu kekambuhan.Kontraksi puborektalis paradoksal merupakan kontraksi sfingter ani eksterna dan m.puborektalis yang kurang selama upaya defekasi, merupakan temuan yang biasa pada pemeriksaan manometri anorektum anak dengan konstipasi kronis.

GAMBAR 6Konstipasi dengan enkopresis

6. DiagnosisMenentukan diagnosis konstipasi minimal didapatkan salah satu gejala berikut2(1) Defekasi kurang dari 3 kali seminggu(2) Nyeri saat BAB(3) Impaksi rektum(4) Adanya massa feses di abdomenKriteria untuk anak berusia diatas 4 tahun agak berbeda, digunakan kriteria sebagai berikut:2(1) Frekuensi BAB kurang atau sama dengan dua kali seminggu tanpa menggunakan laksatif(2) Dua kali atau lebih episode soiling/enkopresis dalam seminggu(3) Teraba masa feses di abdomen atau rektum pada pemeriksaan fisik.Konstipasi dikatakan akut jika keluhan berlangsung kurang dari 1-4 minggu dan dikatakan kronis bila berlangsung lebih dari 1 bulan. Pada konstipasi akut dikatakan mengancam nyawa apabila tampak tanda obstruksi usus, dehidrasi dan botulisme infantil. Penyebab tersering konstipasi akut adalah infeksi virus yang menyebabkan berkurangnya frekuensi defekasi dan ileus nonspesifik.1,2Petunjuk penting dari konstipasi adalah umur pada saat awitan gejala timbul. Jika gejala didapatkan sejak lahir kemungkinan disebabkan penyakit Hirschprung. Bila gejala timbul pada saat usia toilet training (> 2 tahun) kemungkinan penyebabnya fungsional.Lebih dari 90% konstipasi pada anak tergolong konstipasi fungsional, beberapa etiologinya merupakan multifaktorial.

GAMBAR 7Kteria roma untuk menentukan konstipasi fungsional

GAMBAR 8Perbedaan konstipasi fungsional dan penyakit Hirschprung

7. KomplikasiNyeri perut atau rektum dan enkopresis atau kebocoran (tidak disengaja;involuntary) tinja cair atau lembek di sekitar massa tinja merupakan komplikasi primer konstipasi pada anak, hal inilah yang mendorong orang tua membawa anaknya ke dokter. Enuresis terjadi lebih dari 40% anak dengan enkorporesis. Beberapa kasus enuresis menghilang apabila massa tinja dievakuasi sehingga memungkinkan kandung kemih mengembang. Kompilikasi urologis lainnya adalah dilatasi kolon distal sehingga meningkatkan frekuensi miksi dan obstruksi ureter kiri, kemudian dapat menyebabkan berkurangnya tonus kolon yang mengakibatkan invaginasi, yang dapat bermanifestasi prolaps rekti setelah defekasi. Prolaps kolon ringan yang berlangsung lama dapat berakibat ulkus iskemik pada dinding mukosa rektum (ulkus soliter) yang secara klinis tampak sebagai tinja yang berlendir dan berdarah apapun konsistensi tinjanya. Iritasi difus pada kolon akibat tinja yang amat keras bahkan dapat menyebabkan protein-losing enteropathy.4,5,6Sindrom stasis terlihat pada pseudo-obstruksi. Stigma sosial yang berkaitan dengan sering flatus dan kecepirit yang menimbulkan bau tidak sedap dapat mempengaruhi anak. Sebagian besar anak dengan enkorporesis kronis akan menyangkal bila ditanyakan mengenai masalah enkorporesisnya dan bahkan sering menyembunyikan celana dalamnya karena kecepirit.6Tabel 5 Komplikasi konstipasi kronis pada anak

Nyeri: anus atau abdomen Fissura ani Enkopresis Enuresis Infeksi salurah kemih/obstruksi ureter Prolaps rektum Ulkus soliter Sindrom stasis Bakteri tumbuh lampau Fermentasi karbohidrat, maldigesti Dekonjugasi asam empedu steatorea

8. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan dilakukan pada kasus tertentu yang dicurigai mempunyai penyebab organik.1,2,4,5,61. Foto polos abdomenMelihat kaliber kolon dan massa tinja di kolon. Bila rectal toucher tidak dapat dilakukan atau tidak teraba adanya distensi rektum oleh massa tinja.2. Barium enemaMencari penyebab seperti Morbus Hirschprung dan obstruksi usus.3. Biopsi hisap rektumMelihat adanya ganglion mukosa rektum secara histopatologis untuk memastikan adanya penyakit Hirschprung.4. ManometriMenilai motilitas kolon5. Lainnya, mencari penyebab organik lain, seperti hipotiroidisme, ultrasonografi abdomen, MRI

GAMBAR 9Foto polos abdomen

9. TatalaksanaTatalaksana konstipasi fungsional meliputi:1. Edukasi orangtua Anak dianjurkan banyak minum dan mengkonsumsi karbohidrat dan serat. Buah-buahan seperti pepaya, semangka, bengkuang, dan melon yang mengandung banyak serat dan air betujuan untuk melunakkan tinja. Serat dan sorbitol banyak didapatkan pada prune, pear, dan apel dapat dikonsumsi dalam bentuk jus untuk meningkatkan frekuensi defekasi dan melunakkan tinja.1,7Makanan berserat akan mudah dihancurkan oleh bakteri di dalam usus. Makanan serat dibedakan menjadi 2 bentuk yaitu insoluble fibre dan soluble fibre. Selain itu serat dapat meningkatkan retensi air shingga dapat melunakkan tinja, mempercepat waktu singgah di dalam kolon dan meningkatkan frekuensi BAB.2,72. Evakuasi tinja (disimpaction)Fecal impaction adalah massa tinja (skibala) yang teraba pada regio abdomen bawah, rektum yang dilatasi dan penuh dengan tinja yang ditemukan pada rectal toucher atau tinja yang berlebihan dalam kolon yang terlihat pada foto abdomen.1Evakuasi perlu dilakukan sebelum terapi rumatan, dilakukan dengan obat oral atau rektal. Program dilakukan selama 2-5 hari sampai evakuasi lengkap dan sempurna.1Pada terapi per oral, digunakan mineral oil (parafin liquid) dosis 15-30 ml/tahun umur (maksimal 240ml per hari) kecuali bayi. Larutan polietilen glikol (PEG) 20 ml/kg/jam (maksimal 1000 ml/jam) diberikan dengan pipa nasogstrik selama 4 jam per hari.1evakuasi dengan obat per rektal menggunakan enema fosfat hipertonik (3 ml/kg 2 kali sehari maksimal 6 kali enema), enema garam fisiologis (600-1000 ml) atau 120 ml mineral oil. Pada bayi digunakan suposituria/enema gliserin 2-5 ml.13. Terapi rumatan1Setelah evakuasi berhasil terapi dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan. Terapi rumatan meliputi intervensi diet, modifikasi perilaku dan pemberian laksatif untuk menjamin interval defekasi yang normal dengan evakuasi tinja yang sempurna.4. Modifikasi perilakuToilet training segera setelah makan pagi dan malam, anak dianjurkan untuk buang air besar. Berikan waktu 10-15 menit bagi anak untuk BAB. Bila dilakukan secara teratur mengembangkan refleks gastrokolik pada anak berhasil melakukan defekasi. Sebaiknya berikan pujian pada anak disetiap usahanya untuk BAB.6Anak dilatih untuk meningkatkan sensasi rektum, menguatkan dan mengontrol sfingter anus, serta meningkatkan koordinasi kontraksi dan relaksasi otot secara benar. Beberapa penulis mengemukakan bahwa latihan ini berguna untuk konstipasi kronis dan enkopresis, namum beberapa laporan terakhir meragukan efektifitasnya, karena mereka tidak menemukan hasil yang berbeda dengan terapi konvensional. Pada anak dengan soiling akibat nonretensi tinja, penambahan laksatif pada terapi biofeedback training juga tidak memperlihatkan hasil yang berbeda dibanding terapi biofeedback training saja. Peran pembedahan pada kasus konstipasi pada anak hanya pada kasus tertentu, seperti obstruksi pelvic outlet, inersia kolon, atau kombinasi keduanya.2,7Bila cara diatas tidak berhasil, perlu dikonsulkan ke ahli psikiatri anak. Berikut ini kriteria untuk merujuk anak dengan konstipasi kepada psikiatri antara lain:(1) Kecurigaan kearah psikopatologi primer(2) Psikopatologi sekunder yang berhubungan dengan konstipasi(3) Tidak responsif terhadap terapi yang telah diberikan dengan alasan yang tidak jelas5. Medika mentosaObat umumnya masih diperlukan pada terapi rumatan. Laktosa (larutan 70%) dapat diberikan dengan dosis 1-3 ml/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian. Mineral oil (parafin liquid) diberikan 1-3 ml/kgBB/hari, tetapi tidak diberikan pada bayi dan anak dengan gangguan ginjal. Bila respon terapi belum memadai, mungkin perlu ditambahkan cisapride 0,2 mg/kgBB/kali untuk 3-4 kali per hari selama 4-5 minggu. Terapi rumatan dapat dikurangi kemudian dihentikan. Pengamatan masih perlu dilakukan karena angka kekambuhan tinggi, dan pada pengamatan jangka panjang banyak anak yang masih memerlukan terapi rumatan sampai adolesen.16. KonsultasiEvidence based medicine dan konstipasi1Rekomendasi umum Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat merupakan bagian penting dari evaluasi komperhensif bayi atau anak dengan konstipasi (III). Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat ternyata cukup untuk mendiagnosis konstipasi fungsional pada banyak kasus (III). Uji darah samar dalam tinja dianjurkan pada semua bayi dengan konstipasi dan pada anak dengan konstipasi yang juga mengalami sakit perut, gagal tumbuh, diare atau riwayat keluarga menderita polip atau kanker kolorektal (III). Pada kasus tertentu, pemeriksaan foto polos abdomen, bila diinterpretasi dengan benar, dapat bermanfaat dalam mendiagnosis fecal impaction (II-2). Biopsi rektum dengan pemeriksaan histopatologis dan manometri rektum merupakan satu-satunya cara yang akurat untuk menyingkirkan penyakit Hirschsprung (II-1). Pada kasus tertentu, pengukuran waktu singgah dengan petanda radioopak dapat menentukan apakah terdapat konstipasi (II-3).Rekomendasi untuk bayi Pada bayi, evakuasi feses dapat dilakukan dengan supositoria gliserin. Enema harus dihindari (II-3). Pada bayi, jus yang mengandung sorbitol, seperti jus prune, pear, dan apel, dapat mengurangi konstipasi (II-3). Barley malt extract, corn syrup, latulosa atau sorbitol (laksatif osmotik) dapat digunakan sebagai pelunak tinja (III). Mineral oil (parafin) dan laksatif stimulan tidak dianjurkan pada bayi (III).Rekomendasi untuk anak Pada anak, evakuasi tinja dapat dilakukan dengan pengobatan peroral atau rektal termasuk enema (II-3). Pada anak, diet seimbang yang mengandung whole grains, buah dan sayuran dianjurkan sebagai bagian pengobatan konstipasi (III). Pemakaian obat-obatan dikombinasikan dengan modifikasi perilaku dapat mengurangi waktu remisi pada anak dengan konstipasi fungsional (I). Mineral oil (pelicin) dan magnesium hidroksida, laktulosa dan sorbitol (laksatif osmotik) merupakan obat yang aman dan efektif (I). Terapi emergensi dengan pemberian laksatif stimulan dapat dilakukan pada kasus-kasus tertentu (II-3). Senna dan bisakodil (laksatif stimulan) dapat bermanfaat pada kasus tertentu yang sulit ditangani (II-1). Cisapride telah terbukti bermanfaat sebagai laksatif pada beberapa penelitian (walaupun tidak semua) dan dapat digunakan pada kasus tertentu (I). Larutan elektrolit polietilen glikol (PEG), diberikan dalam dosis rendah dalam waktu lama, mungkin merupakan alternatif pengobatan efektif pada konstipasi yang sulit diatasi (III).Catatan:Kategori kualitas bukti adalah sebagai berikut:IBukti diperoleh dari minimal satu penelitian RCTII-1Bukti diperoleh dari penelitian kohort atau kasus-kontrol tanpa randomisasiII-2Bukti diperoleh dari penelitian kohort atau kasus-kontrol, terutama pada lebih dari 1 senter atau pusat penelitianII-3Bukti penelitian dari laporan kasus berkala dan multipel dengan atau tanpa intervensiIIIPendapat ahli yang didasarkan pada pengalaman klinis, penelitian deskriptif, atau laporan komite ahli

Kegagalan Terapi2Kegagalan terapi terjadi pada 20% anak dengan konstipasi fungsional. Anak yang cenderung mengalami kegagalan terapi umumnya adalah mereka yang telah mengambil keuntungan di balik keadaan konstipasinya, misalnya mendapatkan perhatian orangtua yang sebelumnya tidak didapatkannya.

BAB IVKESIMPULAN

Konstipasi sering ditemukan pada anak, baik yang akut maupun kronis. Sebagian besar (90%) konstipasi pada anak merupakan konstipasi fungsional. Pada sebagian besar kasus, anamnesis dan pemeriksaan fisik saja sudah cukup memadai untuk penatalaksanaan anak dengan konstipasi. Pada sebagian kecil kasus, yang diduga penyebabnya organik, beberapa pemeriksaan perlu dilakukan untuk memastikan penyebabnya. Pengobatan konstipasi terdiri dari evakuasi tinja bila terjadi skibala dan dilanjutkan dengan terapi rumatan yang terdiri dari obat, modifikasi perilaku, edukasi pada orangtua dan konsultasi. Terapi memerlukan waktu lama (berbulan-bulan) dan memerlukan kerjasama yang baik dengan orangtua. Prognosis umumnya baik sepanjang orangtua dan anak dapat mengikuti program terapi dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA1. Firmansyah A. Konstipasi pada anak. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar gastroenterologi-hepatologi. Jakarta: Badan penerbit IDAI, 2010. h.201-14 2. Dianne Yusri. Konstipasi pada Anak. Kalbemed. From web http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_200Konstipasi%20Anak.pdf. Diakses 2 maret 2015.3. Endyarni B, Syarif H Badriul. Konstipasi Fungsional.Sari Pediatri, Vol. 6, No. 2, September 2004. 75-904. Guyton & Hall. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: ECG5. Wyllie R. Constipation. Dalam : Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson Text Book of Pediatrics. 18thed. Philadelphia: Saunders Elsevier, 2007. h.1525-65 6. Constipation in children. Diunduh dari: http://www.emedicinehealth.com/constipation_in_chldren/article_em.htm.Diakses 1 maret 20157. World Gastroenterology Organisation. World gastroenterology organization practice guidelines: constipation. WGO. 2007. 8. Borowitz S. Constipation. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/928185-overview.Diakses 28 februari 2015

5