referat anak baru
TRANSCRIPT
Referat
HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS
Oleh :
Preseptor :
Dr. EniYantri, Sp. A (K)
Pembimbing :
Dr. AmaliaNasar
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. M. DJAMIL PADANG
2012
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin >5 mg/dL dan secara klinis tampak pewarnaan
kuning pada kulit dan membran mukosa yang disebut ikterus.(Kamilah Budhi Rahardjani: Kadar
Bilirubin Neonatus dengan dan Tanpa Defisiensi Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase yang
Mengalami atau Tidak Mengalami Infeksi).. Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena
klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% neonatus cukup bulan
yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan keadaan ini. (abdulrahman
sukadi, neonatologi IDAI). Angka kejadian hiperbilirubinemia lebih tinggi pada neonatus
kurang bulan. (Emil Azlin: Efektifitas fototerapi ganda dan fototerapi tunggal dengan tirai
pemantul sinar pada jaundice)
Bilirubin berasal dari degradasi heme yang merupakan komponen. Pada neonatus, hepar
belum berfungsi secara optimal, sehingga proses konjugasi bilirubin tidak terjadi secara
maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan akumulasi bilirubin tak terkonjugasi didalam darah
yang mengakibatkan neonatus terlihat bewarna kuning pada sklera dan kulit. (abdulrahman
sukadi, neonatologi IDAI). Bilirubin dalam darah terdiri dari dua bentuk, yaitu bilirubin direk
danbilirubin indirek. Bilirubin direk larut dalam air dan dapat dikeluarkan melaluiurin.
Sedangkan bilirubin indirek tidak larut dalam air dan terikat pada albumin.Bilirubin total
merupakan penjumlahan bilirubin direk dan indirek. 4,9
Pada kebanyakan neonatus baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan
fenomena transisional yang normal, tetapi pada beberapa neonatus, terjadi peningkatan bilirubin
secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan menyebabkan kematian dan
bila neonatus tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan menimbulkan sekuele
nerologis. Dengan demikian, setiap neonatus yang mengalami kuning harus dibedakan apakah
ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta dimonitor apakah
mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia berat. (Kamilah
Budhi Rahardjani: Kadar Bilirubin Neonatus dengan dan Tanpa Defisiensi Glucose-6-Phosphate
Dehydrogenase yang Mengalami atau Tidak Mengalami Infeksi)
Tujuan utama dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia adalah untuk mengendalikan
agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapatmenbimbulkan kernikterus atau
ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung dari hiperbilirubinemia pada
neonatus. 1,4,5
1.2 Batasan Masalah
Makalah ini membahas tentang Hiperbilirunemia Pada Neonatus.
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui tentang definisi, etiologi, epidemiologi, patogenesis, gejala klinis,
diagnosa, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosa dari Hiperbilirunemia Pada Neonatus.
1.4 Metode Penulisan
Metode yang dipakai adalah tinjauan kepustakaan dengan merujuk pada berbagai literatur.
1.5 Manfaat Penulisan
Melalui penulisan makalah ini diharapkan akan bermanfaat dalam memberikan informasi
dan pengetahuan tentang Hiperbilirunemia Pada Neonatus.
BAB II
HIPERBILIRUBINEMIA
2.1 Definisi
Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin serum total >5 mg/dL (86
μmol/L). Hiperbilirubinemia tampak sebagai ikterus, yaitu warna kuning pada kulit dan
mukosa yang disebabkan karena deposisi produk akhir katabolisme heme.
Hiperbilirubinemia merupakan kejadian yang sering dijumpai pada minggu-minggu pertama
setelah lahir. (Baginda P. Gangguan Perkembangan Neurologis Pada Bayi dengan Riwayat
Hiperbilirubinemia. Universitas Diponogoro. Semarang. 2007.h.1-95.)
Hiperbilirubinemia neonatorum telah sejak lama dikenal. Penggunaan istilah
Kernikterus telah digunakan sejak awal tahun 1900 untuk menyebutkan pewarnaan kuning
pada basal ganglia neonatus yang meninggal akibat hiperbilirubinemia berat. Sejak tahun
1950 hingga 1970, terjadi peningkatan insiden penyakit Rhesus hemolitik dan kernikterus
sehingga pediatrisian menjadi lebih agresif dalam penatalaksanaan ikterus. Meskipun
demikian, beberapa faktor telah merubah manajemen penatalaksanaan ikterus.1
2.2 Klasifikasi
a. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang paling sering terjadi pada bayi baru lahir di minggu
pertama kehidupannya, transiet, murni disebabkan oleh peningkatan bilirubin tak
terkonyugasi akibat proses fisiologis pada neonates. Proses tersebut antara lain karena
penurunan level glukoronil transferase, tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup
eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) , belum matangnya fungsi hepar. Jika ikterus
fisiologis, maka harus:7
1. Tidak muncul pada hari pertama
2. Total bilirubin serum yang naik harus < 5 mg/dL dengan puncak < 12,9 mg/dL pada
hari ke 3 – 4 untuk bayi aterm dan < 15 mg/dL pada hari ke 5 – 7 untuk bayi
prematur
3. Bilirubin terkonjugasi harus < 2 mg/dL
4. Ikterus tidak menetap > 1 minggu pada bayi aterm dan > 2 minggu bagi bayi
prematur
b. Ikterus non fisiologis merujuk kepada keadaan sebagai berikut :6
1. Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam
2. Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi
3. Peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dL/jam
4. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari (muntah, letargis, malas menetek,
penurunan BB yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak stabil)
5. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi
kurang bulan
2.2 Epidemiologi
Hiperbilirubinemia terjadi pada hampir setiap bayi baru lahir yang mengalami tingkat serum bilirubin tak terkonjugasi lebih dari 30mmol /L (1,8 mg/dl) selama minggu pertama kehidupan. Insidens hiperbilirubinemia di Indonesia pada bayi baru lahir di beberapa RS pendidikan antara lain RSCM, RS Dr Sardjito, RS Dr Soetomo, RS Dr Kariadi bervariasi dari 13,7% hingga 85%. Insidensi ikterus non fisiologis di RSU Dr Soetomo Surabaya 9,8% (tahun 2002) dan 15,66% (tahun 2007). ( Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, Oktober 2008)
Dalam sebuah studi tahun 2003 di Amerika Serikat, sekitar 4,3% dari 47.801 bayi memiliki total serum bilirubin yang tinggi. Insiden hiperbilirubinemia di dunia dipengaruhi oleh berbagai etnisitas dan kondisi geografis. Insiden lebih tinggi terjadi pada orang asia timur dan indian amerika disbanding orang kulit hitam. Orang Yunani yang hidup di Yunani memiliki insiden yang lebih tinggi daripada yang keturunan yunani yang tinggal di luar yunani.
2.3 ETIOLOGI
1. Peningkatan produksi bilirubin melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya :
Hemolisis yang meningkat misalnya inkompabilitas darah fetomaternal (Rh dan ABO)
Peningkatan jumlah hemoglobin polistemia (twin to twin sindrom). Defisiensi enzim kongenital (G6PD,piruvat kinase)
2.Gangguan konjugasi dan transportasi Defisiensi albumin malnutrisi, obat-obatan(aspirin, sulfadiazin), hipoksia menggangu ikatan protein. Defisiensi UDPGt
Criggler-Najjar Syndrome Hipotiroidisme, imaturitas hepar, hipoglikemia. Defisiensi ligandin (protein Y, glutation S-transferase B) anoksia/hipoksia.
3. Gangguan ekskresi Obstruksi pada hepar. Misalnya, hepatitis, toksoplasmosis dan sifilis yang menghasilkan toksin
yang langsung menyerang hati, anomali kongenital. Obstruksi pada saluran empedu. Misalnya, batu saluran empedu. Peningkatan siklus enterohepatik Penurunan asupan enteral, stenosis pilorik, ileus mekonium,atresia/stenosis usus, Hirschprung Disease
PATOFISIOLOGI
Metabolisme bilirubin
Bilirubin diproduksi dari degradasi hemoglobin. Hemoglobin didegradasikan oleh heme
oxygenase, menghasilkan pelepasan besi dan pembentukan Carbon Monoksida dan
biliverdin. Biliverdin kemudian dikonversikan menjadi bilirubin oleh bilirubin reduktase.
Bilirubin yang terbentuk ini bersama albumin diangkut ke hepar. Bilirubin ini disebut
bilirubin indirek yang mempunyai sifat larut dalam lemak, tidak larut dalam air, dapat
melalui plasenta. Dalam bentuk bilirubin indirek ini, bilirubin sulit untuk diekskresikan
( karena sifatnya yag larut lemak ) dan bisa dengan mudah melewati sistem saraf pusat,
toksik bagi saraf sehingga bisa terjadi kernikterus.5
Pada saat komplek bilirubin mencapai membrane plasma hepatosit albumin terikat pada
reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin ditransfer melalui sel membrane yang berikatan
dengan ligandin (protein Y) mungkin juga dengan protein ikatan sistolik lainnya. Bilirubin
indirek dikonjugasikan oleh Uridine Diphophate Glucuronosyltransferase ( UDPGT ) dalam
bentuk bilirubin direk. Bilirubin direk tidak larut dalam lemak tetapi larut dalam air, non –
toxic dan tidak dapat melewati sawar darah otak. Kemudian dikeluarkan dari hepar melalui
kanalikuli empedu ke dalam traktus digestivus kemudian keluar bersama dengan feses atau
direabsorpsi kembali. Akan tetapi, bilirubin direk tidak dapat langsung direabsorpsi kecuali
jika dikonversikan kembali menjadi bentuk indirek oleh enzim b glukoronidase yang terdapat
dalam usus. Reabsorpsi bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk dikonyugasi
kembali disebut sirkulasi entero hepatic.5,6
Keterangan gambar :Heme dilepaskan dari hemoglobin sel darah merah atau dari hemoproteins lainnya yang terdegradasi oleh proses enzimatik yang melibatkan heme oxygenase, yang membutuhkan NADPH dan oksigen, dan mengakibatkan pelepasan besi dan pembentukan karbon monoksida dan biliverdin. Metalloporphyrins, analog sintetis heme, secara kompetitif dapat menghambat heme oxygenase aktivitas (ditunjukkan oleh X). Biliverdin yang kemudian dirubah menjadi bilirubin oleh reduktase biliverdin enzim. Karbon monoksida dapat mengaktifkan guanylyl cyclase (GC) dan mengarah pada pembentukan guanosin monofosfat siklik (cGMP). Bilirubin yang terbentuk diambil oleh hati dan terkonjugasi dengan glucuronides untuk membentuk bilirubin monoglucuronide atau diglucuronide (BMG dan BDG, masing-masing), dalam reaksi dikatalisis oleh uridin difosfat dan monofosfat glucuronosyltransferase. Para glucuronides bilirubin kemudian diekskresikan ke dalam lumen usus tetapi dapat deconjugated oleh bakteri sehingga bilirubin yang diserap ke dalam sirkulasi, seperti yang ditunjukkan.
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produkis bilirubin berasal dari katabolisme heme
haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10
mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 minggu/kgBB/hari. Peningkatan produksi
bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup eritrosit bayi lebih pendek ( 70-90 hari)
dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom
yang meningkat, dan reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkuasi enterohepatik).7
DIAGNOSIS
Anamnesis
1. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi
intra uterin, infeksi intranatal)
2. Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi
3. Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya
4. Riwayat inkompatibilitas darah
5. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.4,5,7,9
Pemeriksaan Fisik
Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6mg/dl atau 1000mikro mol/L (1mg/dl = 17,1 mikro mol/L).
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari
kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat
lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama
pada neonatus yang kulitnya gelap.
Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.
Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan
subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan
kemungkinan penyebab ikterus tersebut. 5,9
Klasifikasi hiperbilirubinemia
Usia Ikterus terlihat pada Derajat ikterus
Hari 1Hari 2Hari 3dst
Setiap ikterus yang terlihatLengan dan tungkaiTangan dan kaki
Ikterus berat
Ikterus lutut/siku/lebih Ikterus patologis
Ikterus usia 3-13 hari
Ikterus segera setelah lahirIkterus pada hari pertamaIkterus pada usia ≥ 14 hari
Bayi kurang bulanTinja pucatTanda patologis (-)
Ikterus fisiologis
Peter Cooper, A. Suryono, Indarso F., Managing Newborn Problems : A Guidefor doctor, nurses and midwises, WHO, 2008)
Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 4 Evaluasi Laboratorium Hiperbilirubinemia Neonatal
Indication AssessmentsJaundice in the first 24 hours TSB or TcB levelJaundice excessive for infant's age TSB or TcB levelReceiving phototherapy or TSB level increasing rapidly
Blood type and Coombs' testCBC and peripheral blood smearConjugated bilirubin levelConsider reticulocyte count; G6PD and end-tide carbon monoxide (corrected) levelsRepeat TSB measurement in four to 24 hours
TSB level approaching exchange transfusion threshold or not responding to phototherapy
Reticulocyte count; G6PD, albumin, and end-tide carbon monoxide (corrected) levels
Elevated conjugated bilirubin level Urine culture, urinalysisConsider sepsis evaluation
Prolonged jaundice (more than 3 weeks) or sick infant
TSB and conjugated bilirubin levelsCheck results of newborn thyroid and galactosemia screen
CBC = complete blood count; G6PD = glucose-6-phosphate dehydrogenase; TcB = transcutaneous bilirubin; TSB = total serum bilirubin.
Sumber: American Academy of Pediatrics Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation [published correction appears in Pediatrics. 2004;114(4):1138]. Pediatrics. 2004;114(1):300.
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus yang
mengalami ikterus. 4,5,9 ‘Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan
kadar serum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid
untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 µmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus
yang sedang mendapat terapi sinar. 5,11
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus
antara lain :
• Golongan darah dan ‘Coombs test’
• Darah lengkap dan hapusan darah
• Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc
• Bilirubin direk
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan
tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan
terapi sinar ataukah tranfusi tukar.4,5,9
Guna mengantisipasi komplikasi yang mungkin timbul, maka perlu diketahui daerah letak kadar
bilirubin serum total (gambar …..) besrta faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat.
(tabel…)
Gambar 1. Normogram Bhutani (di kutip dari Rennie J.M and Roberton NRC. Neonatal Jaundice
In : A Manual of Neonatal Intensive Care 4thEd, Arnold, 2002 : 414-432)
Tabel Faktor risiko hiperbilirubinemia berat bayi usia kehamilan ≥35 minggu
Faktor risiko mayor
Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada daerah riiko tinggi
Ikterus yang muncu dalam 24 jam pertama kehidupan Inkompatibilitas golongan darah dengan tes antiglobulin direk yang positif atau penyakit
hemolitik lainnya (defisiensi G6PD) Umur kehamilan 35-36 minggu Riwayat aak sebelumnya yang mendapat fototerapi Sefalhematom atau memar yang bermakna ASI eksklusif dengan cara perawatan tidak baik dan kehilangan berat badan yang
berlebihan Ras Asia Timur
Faktor risiko minor
Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada daerah risiko sedang
Umur kehamilan 37-38 minggu Sebelum pulang, bayi tampak kuning Riwayat anak sebelumnya kuning Bayi makrosomia dari ibu DM Umur ibu ≥25 tahun Laki-laki
Faktor risiko kurang (faktor-faktor ini berhubungan dengan menurunnya risiko ikterus yng signfikan, besarnya risiko sesuai dengan urutan yang tertulis makin ke bawah risiko makin rendah)
Kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada daerah risiko rendah
Umur kehamilan ≥41 minggu Bayi mendapat susu formula penuh Kulit hitam Bayi dipulangkan setelah 72 jam
Sumber: Buku Ajar Neonatologi2
Algoritme Manajemen
Semua bayi baru lahir di klinik maupun di rumah sakit harus mengikuti alur manajemen/tata
laksana ikterus neonatorum untuk bayi baru lahir di ruang perawatan bayi
1. Setiap neonatus dinilai adakah ikterus pada usia 8-12 jam setelah lahir.
2. Jika ada ikterus cukup berat secara visual sebelum usia 24 jam periksa serum bilirubin total
(TSB) atau bilirubin kutaneus total (TCB).
3. Ukur TSB/TCB dan evaluasi setiap jam.
4. Jika TSB/TCB di atas 90 persentil, penyebab ikterus; terapi, bila memenuhi kriteria; ulang
TSB setiap 24 jam
5. Jika tidak melebihi 95 persentil, evaluasi TSB, masa gestasi, usia dalam jam postnatal, dan
terapi jika memenuhi kriteria
6. Jika fasilitas laboratorium ada, lakukan pemeriksaan.
• bilirubin total serum dan bilirubin direk
• golongan darah ABO, Rhesus
• uji antibodi direk (Coombs)
• serum albumin
• hitung eritrosit lengkap dengan hitung jenis, morfologi eritrosit, retikulosit.
• enzim G6PD
• bila mungkin ETCO, urin
Tata laksana
Tata laksana umum meliputi, hidrasi pemberian cairan sesuai dengan berat badan dan usia
postnatal, obat obatan (fenobarbital, tin-protoporphyrin), dan pemberian albumin sebelum
dilakukan transfusi tukar.
Prevensi terhadap ensefalopati bilirubin.Terapi terhadap ancaman ensefalopati bilirubin adalah fototerapi (intensif ), apabila tidak
memenuhi kriteria/indikasi fototerapi
Mekanisme kerja fototerapiBaik sinar biru (400-550 nm), sinar hijau (550-800nm) maupun sinar putih (300-800 nm)
akan mengubah bilirubin indirek menjadi bentuk yang larut dalam air untuk diekskresikan
melalui empedu atau urine dan tinja. Sewaktu bilirubin mengabsorpsi cahaya, terjadi reaksi
kimia yaitu isomerisasi, selain itu terdapat juga konversi ireversibel menjadi isomer kimia
lainnya yang disebut lumirubin yang secara cepat dibersihkan dari plasma saluran empedu.
Lumirubin merupakan produk terbanyak dari degradasi bilirubin akibat terapi sinar (fototerapi).
Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang
diekskresikan lewat urin. Fotoisomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan
secara langsung bisa diekskresikan melalui empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang dapat
diekskresikan melalui urin.
Indikasi FototerapiPetunjuk fototerapi (menurut AAP, 2004) tertera pada Setiap neonatus yang tidak memenuhi
kriteria terapi sinar sebagai berikut: Perhatian: selama fototerapi (intensif ) ulang TSB
setiap 2-3 jam / 4-24 jam
1. Apabila TSB = 25 mg/dl bayi sehat, atau = 20 mg/dl bayi sakit/BKB diperlukan transfusi
tukar.
2. Bayi dengan hemolitik isoimun dengan fototerapi intensif TSB meningkat diperlukan transfusi
tukar. Apabila memungkinkan berikan imunoglobulin 0,5 – 1 gr/kg > 2 jam, ulangi dalam 12 jam
bila perlu.
3. Apabila berat badan turun >12%, dehidrasi berikan formula/ASI peras/cairan intravena
(kristaloid).
4. Apabila TSB tidak menurun, atau TSB berubah pada kadar transfusi tukar, atau rasio
TSB/albumin melebihi fig. 4 à pertimbangkan transfusi tukar.
5. Tergantung penyebab hiperbilirubinemia, setelah terapi sinar distop dan setelah pulang,
periksa TSB setelah 24 jam kemudian.
Transfusi TukarTransfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah darah pasien yang dilanjutkan
dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang
sampai sebagian besar darah pasien tertukar (Fried, 1982). Pada pasien hiperbilirubinemia,
tindakan tersebut bertujuan mencegah ensefalopati bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin
indirek dari sirkulasi. Pada bayi hiperbilirubinemia karena isoimunisasi, transfusi tukar
mempunyai manfaat lebih karena akan membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi
darah neonatus. Hal tersebut akan mencegah terjadinya hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki
kondisi anemianya.
Indikasi transfusi tukar
• Gagal dengan intensif fototerapi.
• Ensefalopati bilirubin akut (fase awal, intermediate, lanjut/advanced) yang ditandai gejala
hipertonia, melengkung, retrocolli, opistotonus, panas, tangis melengking.
Darah donor untuk transfusi tukar
• Darah yang digunakan golongan O.
• Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood.
Pada penyakit hemolitik Rhesus, jika darah dipersiapkan sebelum persalinan harus golongan O
dengan Rhesus (-), lakukan cross match terhadap ibu. Jika darah dipersiapkan setelah kelahiran,
caranya sama, hanya dilakukan cross match dengan bayinya.
• Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, Rhesus (-) atau Rhesus yang sama
dengan ibu atau bayinya. Cross match terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah
antibodi anti A dan anti B. Biasanya memakai eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk
memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
• Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen tersensitisasi
dan harus di-cross match terhadap ibu.
• Pada hiperbilirubinemia non imun, lakukan typing dan cross match darah donor terhadap
plasma dan eritrosit pasien/bayi.
• Transfusi tukar memakai 2 kali volume darah ( 2 kali exchange), yaitu 160 ml/kgBB sehingga
akan diperoleh darah baru pada bayi yang dilakukan transfusi tukar sekitar 87%.
Komplikasi Hiperbilirubinemia
KERNIKTERUS
Kernikterus adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya bilirubin
indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak. Bayi yang mempunyai kadar bilirubin lebih dari 20
mg/dL, akan mengalami kernikterus. Insidensi pada otopsi bayi prematur dengan
hiperbilirubinemia adalah 2-16 %. 1, 2, 3, 4
Sawar darah otak (blood brain barrier) adalah suatu lapisan yang terdiri dari pembuluh darah
kapiler yang mempunyai sel endotel dengan tight junction khas yang berfungsi membatasi serta
mengatur pergerakan molekul antara darah dan SSP. Pada kondisi sawar darah otak normal yang
dapat menembus barier ini adalah bilirubin indirek bebas (yang tidak terikat albumin). Pada
kondisi abnormal adanya brain injury (trauma serebral) diperberat keadaan hipoksemia,
acidemia, hiperkapnia, hipoalbumin, bilirubin yang terikat pun dapat melewati/menembus sawar
darah otak.
Mekanisme deposisi asam bilirubin pada lapisan lipid membran sel dan mekanisme masuknya
bilirubin menembus sawar darah otak ke dalam sel syaraf.
Bilirubin indirek bebas yang bersifat lipofilik Bilirubin indirek bebas yang bersifat
lipofilik dapat menembus sawar darah otak dan masuk ke sel neuron otak, selanjutnya terjadi
presipitasi dalam memran sel syaraf. Keadaan asidosis, hipoalbulminemia akan meningkatkan
jumlah bilirubin bebas ke dalam jaringan otak. Bilirubin indirek dalam plasma berikatan dengan
albumin. Suasana asam bilirubin indirek cenderung membentuk mono-anion (bilirubin acid)
serta menyebabkan penurunan afinitas albumin-bilirubin indirek. Pada bentuk tersebut akan
meningkatkan presipitasi didalam jaringan serta dapat menembus sawar otak. P-glikoprotein (P-
gp) adalah suatu substrat dalam sawar darah otak yang dapat membatasi masuknya bilirubin ke
dalam SSP. Pada kerusakan sawar otak, zat tersebut mengalami penurunan sehingga bilirubin
indirek bebas dapat menembus sawar otak yang mengakibatkan presipitasi bilirubin indirek di
dalam SSP.
Berdasarkan temuan histologi dan biofisika penelitian Madan (2005) mekanisme
toksisitas bilirubin terhadap sel syaraf adalah sebagai berikut.
• Bilirubin masuk ke dalam sel-sel neuron sehingga menyebabkan,
- pertukaran Na – K berkurang.
- akumulasi cairan sel syaraf meningkat.
- pembengkakan akson syaraf.
- menurunkan potensial membran dan potensial aksi.
- mengurangi aktifitas ”auditory brain stem responses”
- mengurangi fosforilasi protein kinase dan synapstosis.
- mengurangi tyrosin uptake sintesis dopamin.
- mengurangi uptake methionine dan thymidine.
- merusak mitokondria.
- pada penelitian memakai isotop 31p secara invitro maupun invivo bilirubin dapat
menyebabkan perubahan metabolisme energi sel syaraf.
• Gangguan neurotransmisi merupakan tahap awal dan toksisitas bilirubin yang bersifat
reversibel pada aktifitas auditory brain stem responses.
Patogenesis kernikterus
• Mekanisme penting terhadap toksisitas bilirubin adalah menghambat enzim fosforilase sinapsis
1 dan reseptor non channel N-methyl-D-aspartate
yang berfungsi untuk pelepasan neurotransmiter. • Penumpukan bilirubin akan menimbulkan
perubahan potensial membran dan potensial aksi yang akan mempengaruhi transmisi neuro-
transmiter sinaps. • Hal yang esensial pada patogenesis ensefalopati bilirubin dan ireversibel
adalah kerusakan mitokondria sebagai akibat dari presipitasi bilirubin acid dalam membran
fosfolipid, sehingga menyebabkan disfungsi mitokondria.
Table 1 : Patofisiologi kernikterus (saripediatri IDAI)
Tabel 2 : Manifestasi klinis kernikterus (New England Journal Of Medicine) 5
Manifestasi klinis ensefalopati bilirubin terdiri dari 2 tahapan sesuai dengan proses perjalanan
penyakit.
fase akut yang diikuti ensefalopati bilirubin akut, dan fase kronis yaitu ensefalopati bilirubin
kronis yang disebut juga kern ikterus.
1. Ensefalopati bilirubin akut.
a. Fase awal (early phase) Timbulnya beberapa hari pertama kehidupan. Klinis BBL tampak
ikterus berat (lebih dari Kramer 3). Terjadi penurunan kesadaran, letargi, mengisap lemah dan
hipotonia. Terapi dini dan tepat akan memberikan prognosis lebih baik.
b. Fase intermediate (intermediate phase) Merupakan lanjutan dari fase awal, tindakan terapi
transfusi tukar emergensi dapat mengembalikan perubahan susunan syaraf pusat dengan cepat.
Fase ini ditandai stupor yang moderat/sedang, ireversibel, hipertonia dengan retrocollis otot-otot
leher serta opistotonus otot-otot punggung, panas, tangis melengking (high-pitched cry) yang
berlanjut berubah menjadi mengantuk dan hipotonia.
c. Fase lanjut (advanced phase) Fase ini terjadi pada BBL setelah usia 1 minggu kehidupan yang
ditandai dengan retrocollis dan opistotonus yang lebih berat, tangisnya melengking, tak mau
minum/ menetek, apnea, panas, stupor dalam sampai koma, kadang-kadang kejang dan
meninggal. Dalam fase ini kemungkinan kerusakan SSP ireversibel/menetap.4
2. Ensefalopati bilirubin kronis (chronic bilirubin encephalopathy/kern icterus) Ensefalopati
bilirubin kronis disebut juga kernikterus. Perjalanan penyakit berlangsung lamban setelah bentuk
akut terjadi awal tahun pertama kehidupan. Secara klinis dibedakan dalam 2 fase.
Fase awal, terjadi dalam tahun pertama kehi-dupan dengan gejala klinis hipotonia, hiperefleksi,
keterlambatan perkembangan motorik milestone dan timbulnya refleks tonik leher.
Fase setelah tahun pertama kehidupan. Gejala klinis refleks tonik leher (tonic-neck reflex)
menetap setelah tahun pertama kehidupan terjadi gangguan ekstrapiramidal, gangguan visual,
pendengaran, defek kognitif, gangguan terhadap gigi, gangguan intelektual minor dapat terjadi.
- Gangguan ekstrapiramidal, koreoathetosis merupakan kelainan umum yang nampak.
Ekstremitas atas biasanya lebih berat daripada ekstremitas bawah. Keadaan tersebut disebab- kan
adanya kerusakan pada ganglia basalis yang mana merupakan gambaran klasik/khas dari
ensefalopati bilirubin kronis.
- Gangguan penglihatan, gerakan bola mata terganggu, paralisis dari upward gaze. Kelainan
tersebut sebagai akibat dari kerusakan nukleus nervus kranialis di batang otak.
- Gangguan pendengaran, kelainan pendengaran merupakan kelainan yang menetap dan paling
berat ditemukan, tuli pendengaran terhadap frekuensi tinggi, baik derajat ringan sampai berat.
Kelainan ini disebabkan kerusakan nukleus kokhlearis di batang otak serta nervus auditorius
yang sangat peka terhadap toksisitas bilirubin indirek walaupun pada kadar yang relatif rendah.
Tampak secara klinis keterlambatan perkembangan bicara, oleh sebab itu pemeriksaan fungsi
pendengaran harus dilakukan secepat mungkin pada bayi berisiko tinggi terhadap ensefalopati
bilirubin kronis. Pada anak dengan gangguan ini sering diberikan alat bantu dengar atau implant
koklea dan memberikan hasil yang baik.
- Gangguan pada gigi, dapat dijumpai adanya displasia dental-enamel setelah usia bayi bulan ke-
9.
- Gangguan/defek kognitif, pada kernikterus tidak mencolok atetosis atau korea dengan defek
pendengaran yang terjadi dapat memberikan impresi salah dari gangguan mental (mental
retardasi).4,5,6
Tanda-tanda dan gejala-gejala kernikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir pada
bayi cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi prematur. Tanda-tanda awal bisa tidak
terlihat jelas dan tidak dapat dibedakan dengan sepsis, asfiksia, hipoglikemia, pendarahan
intrakranial dan penyakit sistemik akut lainnya pada bayi neonatus. Lesu, nafsu makan jelek dan
hilangnya refleks Moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim. Selanjutnya, bayi dapat tampak
sangat sakit, tidak berdaya disertai refleks tendo negatif dan kegawatan pernapasan. Opistotonus,
dengan fontanela yang mencembung, muka dan tungkai berkedut, dan tangisan melengking
bernada tinggi dapat menyertai. Pada kasus yang lanjut terjadi konvulsi dan spasme, kekakuan
pada bayi dengan lengan yang terekstensi dan berotasi ke dalam serta tangannya menggenggam.2
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdurachman Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. 2002. Ikterus Neonatorum.
Perinatologi. Bandung. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 64-84.
2. Behrman, Kliegman, Jenson. 2004. Kernicterus. Textbook of Pediatrics. New Yorkl. 17th
edition. Saunders. 596-598.
3. Garna Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 97-103
4. http://rarediseases.about.com/cs/kernicterus/a/090703.htm
5. http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/kernicterus.htm
6. http://emedicine.medscape.com/article/975276-overview#a0104
7. http://www.kernicterus.org/
8. James E. Colleti;2007 An emergency medicine approach to neonatal hyperbilirubinemia
dalam Emergency Medicine Clinic of North America, Elsevier Saunder :2007.
9.Clohety JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. Dalam: Manual of Neonatal Care, Edisi ke 3.
Boston: Little Brown Company;1991:289-99.
10. Abdulrahman S. Hiperbilirubinemia. Dalam: Sholeh M, Ari Y, Rizalya Dewi, Gatot IS,
Ali U, penyunting. Neonatologi. Jakarta:IDAI;2008.h.147-169.