prosiding risbinakes 2010 ok
TRANSCRIPT
HUBUNGAN RIWAYAT ASUPAN
PROTEIN, KALSIUM DAN PHOSPOR
DENGAN KEJADIAN FRAKTUR
TULANG FEMUR ATAU TIBIA DI
POLIKLINIK ORTOPEDI DI RSUD ULIN
BANJARMASIN TAHUN 2010
Mahpolah, M.Kes, Rijanti A, DCN., M.Kes,
Magdalena, A, M.Kes
PENDAHULUAN
Salah satu masalah kesehatan yang
perlu mendapatkan perhatian serius
adalah masalah osteoporosis.
Osteoporosis atau tulang keropos adalah
suatu penyakit yang ditandai dengan
berkurangnya kepadatan massa tulang
yang menyebabkan tulang rapuh dan
mudah patah. Diperkirakan dalam
kehidupan manusia resiko terjadinya
fraktur >40% pada wanita dan 13% pada
pria. Penyakit ini sebenarnya banyak
terjadi pada masa usia lanjut, namun
dapat terjadi pada usia muda (25 tahun)
(1 ).
Tulang mempunyai peranan
sebagai tempat persediaan kalsium.
Sekitar 99% kalsium terdapat dalan
tulang dan gigi, 1% sisanya dalam cairan
tubuh dan jaringan lunak. Agar tubuh
dapat berfungsi dengan baik, maka
tingkat kalsium yang konstan harus tetap
terjaga di dalam plasma darah. Pada
orang dewasa sehat, terjadi perputaran
kalsium yaitu 500 mg kalsium masuk ke
tubuh dan 500 mg yang dilepas oleh
tulang setiap hari. Oleh karena itu apabila
asupan kalsium tidak memadai maka
tulang akan melepaskan kalsium ke
dalam darah untuk memenuhi 500 mg. Hal
ini diatur oleh hormone paratiroid/ PTH,
dan tirokalsitonin dari kelenjar tiroid.
Ketidak seimbangan antara jumlah kalsium
yang diserap dan jumlah kalsium yang
dilepas dalam jangka waktu yang lama,
maka persediaan kalsium di dalam tulang
akan menipis dan menyebabkan rendahnya
massa tulang dan kepadatan tulang,
sehingga meningkatkan resiko osteoporosis
( 2 ).
Penyimpanan mineral dalam tulang
akan mencapai puncaknya sekitar umur 20-
30 tahun. Pada massa ini jika massa tulang
tercapai dengan kondisi maksimal akan
dapat menghindari terjadinya osteoporosis
pada usia lanjut dan massa tulang wanita
mulai berkurang pada umur 35 tahun.
Pencapaian puncak massa tulang akan
menjadi rendah jika individu kurang
berolahraga, konsumsi kalsium
rendah,merokok dan minum alkohol.
Kepadatan tulang menyusut 1,5-1 %
pertahun hingga masa menopause dan
sepanjang 5 tahun pasca menopause laju
penyusutan tulang meningkat menjadi 3-5
% (3,4).
Berdasarkan penelitian oleh
Puslitbang Gizi dan Makanan tahun 2002 ,
rata-rata konsumsi kalsium masyarakat
Indonesia hanya 254 mg/hari, oleh karena
itu Depkes RI pada Konferensi pers Walls
MOO tahun 2007 menyatakan kebutuhan
kalsium anak usia 1-3 tahun sebanyak 500
mg , uisa 4-15 tahun sebanyak 700 mg/hari
dan orang dewasa untuk mencegah
1
osteoporosis sebesar 800-1200 mg/hari
(3).
Berdasarkan data Riskesda 2007
angka kejadian fraktur tulang di
Indonesia sebesar 4,5% dan Kalimantan
Selatan sebesar 2,2%. Data Perosi 2007
didapatkan resiko osteoporosis usia 50
tahun ke atas sebesar 32.3% wanita dan
28,8% pria . Kasus osteoporosis tahun
2005 di Jakarta yaitu pada fraktur tulang
femur/paha sebanyak 14,7% dan di
Surabaya sebanyak 16,78% fraktur
panggul, 18.15% fraktur pergelangan
tangan dan 2,73% fraktur tulang
belakang.
Pada tahun 2007 di Kota
Banjarmasin pernah dilakukan survey
tingkat resiko. dengan hasil 32,1% resiko
kasus ringan, 50,8% resiko kasus sedang
dan 17,08% resiko kasus berat. Data
tersebut menggambarkan sudah ada
kecenderungan resiko terjadinya
osteoporosis pada masyarakat
Banjarmasin ( 5,6).
Sementara data konsumsi protein di
Indonesia rata-rata sebanyak 55,5 ± 26,4
gr, Kalimantan Selatan 58,7 ± 25,6 gr per
kapita perhari. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat daya beli untuk makanan
khususnya sumber protein pada
masyarakat Kalimantan Selatan berada di
atas data nasional.
Berdasarkan data BPS tahun 2009,
tingkat konsumsi riil perkapita di Kota
Banjarmasin tahun 2007 dan 2008
mengalami kenaikan sebesar 0,79% dari
Rp 633.870,- menjadi Rp 638.870,-.
Tingkat konsumsi riil perkapita memberikan
gambaran tingkat daya beli masyarakat dan
dapat mempengaruhi derajat kesehatan .
Tingkat konsumsi pengeluaran
makan/kapita sebagai salah satu ukuran
tingkat standar hidup layak yang
dikelompokkan menjadi pengeluaran untuk
makanan dan pengeluaran non makanan.
Pada tahun 2008 pengeluaran untuk
makanan sebesar 42,85% menurun dari
tahun 2007 yaitu 49,17% (7).
Peningkatan konsumsi
pengeluaran/kapita untuk konsumsi pangan
penting sekali diperhatikan terutama
konsumsi akan sumber protein protein,
kalsium, phospor karena telah diketahui
mempunyai efek pada tulang. Pencegahan
yang dapat dilakukan melalui makanan
adalah meningkatkan konsumsi pangan
sumber protein, kalsium, dan Phospor.
Konsumsi kalsium akan efektif bila
perbandingan dengan phospor tidak lebih
dari 2:1. Selain itu perlu menghindari
makanan yang menghambat penyerapan
kalsium seperti merokok, minuman
beralkohol, kopi, oksalat (1, 2).
Beberapa peneliti menilai asupan
protein, kalsium dan phospor dengan
menggunakan metode food frekuensi
quesioner semi kuantitatif menyebutkan
bahwa asupan kalsium ada hubungannya
dengan densitas tulang. Hasil yang
diperoleh tidak berbeda dengan metode
recall 3 X 24 jam (8,9).
2
Pada penilaian asupan protein,
kalsium dan phospor dengan dikontrol
faktor pengganggu, dapat mencerminkan
terpenuhinya kebutuhan kalsium dari
tubuh. Hal ini agar tidak terjadi pelepasan
kalsium tulang untuk memenuhi kalsium
darah. Bila tanpa adanya gangguan
produksi dari hormone paratiroid/ PTH,
dan tirokalsitonin oleh kelenjar tiroid
karena adanya suatu penyakit dapat
menjadi gambaran apabila terjadi
rendahnya asupan kalsium, protein dan
phospor dalam jangka waktu lama, maka
akan terjadi banyak pelepasan kalsium
tulang untuk memenuhi kalsium darah
tersebut (8,9,2).
Selain itu faktor penyerapan
kalsium dari makanan sebagai penyebab
terjadinya keropos tulang, juga sangat
dipengaruhi oleh jumlah asupan protein,
phosphor, dan vitamin D dari makanan,
serta berbagai faktor penghambat seperti
adanya oksalat, asam pitat dari sayuran
bayam dan serealia.Terlebih bagi wanita
yang akan mulai masuk masa menopause.
Akibat keropos tulang tersebut dapat
menyebabkan terjadinya fraktur pada
tulang paha (femur ) dan tulang kering
(tibia). Hal ini akan menjadi penghalang
bagi aktifitas seseorang yang masih
produktif (10).
Data dari RSUD Ulin Banjarmasin
tahun 2003-2006 kasus fraktur tulang
yang dirawat di ruang ortopedi
menduduki urutan ke 1 sampai dengan 6
dengan jumlah yang meningkat dari tahun
ketahun. Pada poli rawat jalan tahun 2006
terdapat 677 kasus nyeri tulang dan fraktur
dengan rata-rata kunjungan perhari 2
pasien .Pada tahun 2007 terjadi peningkatan
kasus nyeri tulang dan fraktur sebanyak
1326 ( 43,9%) , dengan rata-rata kunjungan
perhari 3-4 pasien. Kasus terbanyak adalah
pada kasus nyeri tulang belakang , fraktur
tibia dan femur ( 11). Penelitian Prihartini,
2006 pada 3 propinsi Sulawesi Utara,
Yogjakarta, Jawa Barat didapat juga
proporsi risiko osteoporosis karena
disebabkan asupan kalsium rendah adalah
sebesar 22.3% (12).
Berdasarkan alasan di atas, maka
peneliti ingin menilai bagaimana hubungan
riwayat protein, kalsium dan phosphor
dengan kejadian fraktur tulang femur atau
tibia di Poliklinik Ortopedi RSUD Ulin
Banjarmasin.
Adapun tujuan penelitian adalah:
Menganalisis hubungan tingkat pengeluaran
makan/ kapita, riwayat asupan protein,
kalsium dan phospor dengan kejadian fraktur
tulang tibia atau femur di Poliklinik
Orthopedi RSUD Ulin Banjarmasin Tahun
2010 dan menilai faktor resiko (OR).
METODE PENELITIAN
A. Lokasi penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
observasional dilaksanakan di poliklinik
bedah ortopedi dan poli mata RSUD Ulin
Banjarmasin
B. Waktu penelitian
3
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Juni s.d Agustus 2010
C. Desain penelitian
Penelitian analitik dengan desain
kasus dan kontrol dengan
mengeksplorasi penyebab kejadian
fraktur tulang meliputi data identitas
diri yaitu umur, jenis kelamin dan
tingkat pengeluaran makan/kapita,
riwayat asupan protein, kalsium dan
phospor.
D. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian meliputi:
1.Formulir frekuensi makanan (FFQ
semikuantitatif)
2.Formulir data pasien
3.Kuesioner
E. Populasi dan sampel
1. Populasi adalah seluruh pasien yang
berobat di Poliklinik RSUD Ulin
Banjarmasin.
2. Sampel terdiri dari kasus dan kontrol
Kasus yaitu: penderita fraktur tulang
tibia atau femur yang berobat di
poliklinik bedah Ortopedi RSUD Ulin
Banjarmasin dengan kriteria inklusi:
- Umur produktif: 30-55 tahun.
- Bersedia sebagai subjek penelitian
Kriteria eksklusi:
- Pasien tidak menderita penyakit
ginjal kronik dengan melihat kadar
ureum, kreatinin dan cct yang
menyebabkan kalsium darah dibuang
ke jaringan lain karena ada
peningkatan phospor, pankreatitis
kronik, hipo dan hiperparatiroidisme
yang dapat mempengaruhi kadar
kalsium dalam darah rendah dan
tinggi , dan tidak menderita hemofilia
yaitu darah sulit berhenti (25).
Kriteria ini dapat dilihat dari
hasil laboratorium atau dengan
menanyakannya kepada dokter yang
merawat.
Kontrol :
- Pasien yang ada di poliklinik mata
RSUD Ulin tidak mengalami fraktur
tulang femur atau tibia.
- Tidak mempunyai penyakit hipo dan
hipertiroid, gagal ginjal kronik,
hemophilia, pankreatitik kronik.
- Kriteria yang disamakan dengan kasus
yaitu: jenis kelamin dan umur.
F. Teknik pengumpulan data
Teknik Pengumpulan data :
a. Data primer:
- Identitas responden diperoleh
dengan menggunakan
kuesioner.
- Riwayat asupan protein,
kalsium dan phospor dengan
menanyakan kebiasaan makan
kurang lebih seminggu yang
lalu sebagai gambaran
kebiasaan responden. Diambil
dengan menggunakan formulir
FFQ semikuantitatif dan
kuesioner (19).
4
b. Data sekunder:
- Gambaran responden mengenai
jenis fraktur dan data klinis dengan
melihat medical record pasien.
- Data jenis fraktur dan data klinis
diperoleh dari medical record
pasien.
G. Teknik pengolahan data:
a. Data identitas responden: diolah
dengan menggunakan tabel
distribusi frekuensi.
Meliputi:
- Distribusi responden menurut
kelompk umur
- Distribusi responden menurut
jenis kelamin
- Distribusi responden menurut
tingkat pengeluaran
makan/kapita
- Data riwayat asupan makan
diolah dengan menggunakan
tabel distribusi frekuensi.
Distribusi responden menurut
riwayat asupan protein, yaitu:
Kurang : < 80% Kecukupan
protein (<40 gr)
Cukup : 80%-100% kecukupan
protein (40-55 gr)
Lebih : >100% Kecukupan
protein (>55gr)
- Distribusi responden menurut
riwayat asupan kalsium, yaitu:
Kurang : < 80% kebutuhan
kalsium (640mr)
Cukup : 80%-100% kebutuhan
kalsium (640-800 mg)
Lebih : >100% kebutuhan
kalsium (>800 mg)
-Distribusi responden menurut
riwayat asupan phospor, yaitu|:
Kurang : < 80% kebutuhan phospor
(480 mg)
Cukup : 80%-100% kebutuhan
phospor (480-600 mg)
Lebih : >100% kebutuhan
phosphor (>600 mg)
Data distribusi riwayat asupan protein,
kalsium, phospor dengan kejadian
fraktur tulang tibia atau femur.
H. Analisis Data :
ANALISI UNIVARIAT:
Untuk mendapat gambaran distribusi
frekuensi variabel independen yang beskala
ordinal yaitu umur, tingkat pengeluaran
makan/kapita, riwayat asupan protein,
kalsium dan phospor pada responden.
ANALISIS BIVARIAT:
Untuk melihat hubungan antara variabel
independen dan dependen pada responden .
Uji statistik yang digunakan yaitu Uji
chi square dengan program komputer
dengan p < 0.05:
1. Untuk melihat hubungan tingkat
pengeluaran makan/kapita dengan
kejadian fraktur femur atau tibia.
5
2. Untuk melihat hubungan riwayat
asupan protein dengan kejadian
fraktur femur atau tibia
3. Untuk melihat hubungan riwayat
asupan kalsium dengan kejadian
fraktur femur atau tibia
4. Untuk melihat hubungan riwayat
asupan phospor dengan kejadian
fraktur femur atau tibia.
Pada desain kasus kontrol
digunakan model regresi logistik ganda
untuk mengetahui derajat hubungan yaitu
Odd Rasio (OR) dengan membandingkan
odds pada kelompok terekspos dengan odds
kelompok tidak terekspos.
ANALISIS MULTIVARIAT:
Untuk menilai adanya interaksi
pada semua variabel independen terhadap
variabel dependen secara bersama-sama
dan menganalisis faktor resiko yaitu:
berapa seringnya terdapat paparan pada
kasus dibandingkan kontrol dengan nilai
Odd Ratio (OR) menggunakan model
regresi logistic ganda.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Responden
Penelitian ini dimulai pada bulan
Juni sampai dengan Juli 2010 , bertempat di
poliklinik Ortopedi dan poli mata RSUD
Ulin Banjarmasin.
Responden terdiri dari sampel dan
kontrol berjumlah 26 orang dengan
menyamakan jenis kelamin antara sampel
dan kontrol yaitu sebanyak 13 orang
perempuan dan 13 orang laki-laki. Sampel
dan kontrol diperoleh dengan memperhatikan
kriteria inklusi dan ekslusi, yaitu dengan cara
mengamati hasil laboratorium dan
menanyakan ke dokter. Hasil pemeriksaan
kadar ureum, kreatinin, T3 dan 4 semua
pasien tidak ada, karena hasil pemeriksaan
klinis dokter tidak ada mengarah pada
penyakit yang disebut dalam kriteria inklusi.
Hasil penilaian kalsium darah diperiksa ,
yaitu semua masih batas normal yaitu antara
8.8-10.6 mg, yang berarti tubuh masih dapat
mengusahakan sedemikian rupa sehingga
kadar kalsium berada dalam keadaan normal.
B. Keterbatasan penelitian.
Keterbatasan dalam penelitian ini
adalah waktu penelitian terbatas dan untuk
mencari kasus dengan fraktur bukan karena
kecelakaan atau benturan keras sulit
diperoleh, sehingga penelitian untuk kasus
diambil semua kasus fraktur femur atau tibia
yang datang ke poliklinik ortopedi dengan
tetap memperhatikan kriteria eksklusi, yaitu
tidak menderita gagal ginjal, hipertiroid,
hemolisis yaitu dengan melihat hasil
pemeriksaan kalsium darah.
Penelitian ini tidak dilakukan
pemeriksaan kalsium urin untuk dapat
mengetahui jumlah kalsium yang dapat
diabsorpsi di saluran cerna, dan menilai
bioavaibilitas absorpsi kalsium. Bila diketahui
absorpsi kurang dari pemeriksaan kadar
kalsium urin, dan kadar kalsium darah
normal, maka dapat dipastikan sudah adanya
6
pelepasan kalsium dari tulang berarti
terjadi gangguan keseimbangan kalsium
dalam tubuh.
Tidak dilakukan penilaian faktor-
faktor penghambat dari absorpsi kalsium
darah, seperti oksalat dari makanan,
aktivitas fisik, vitamin Cdll.
C. Karakteristik responden
C.1. Umur dan jenis kelamin responden
Umur dan jenis kelamin responden
disamakan antara kasus dan kontrol.
Diperoleh dengan cara wawancara
menggunakan kuesioner. Jenis kelamin
kasus maupun kontrol yaitu masing-masing
Pria dan wanita sebanyak 50% dan
sebagian besar (50%) berusia di atas 40
tahun. Pada usia di atas 40 tahun
pembentukan tulang maksimal telah lewat.
Karena pada saat usia di atas 30 tahun
pembentukan tulang maksimal telah
berkurang (osteoblast) dan pengeluaran
kalsium tulang (osteoklas) mulai terjadi
( 1 ). Pada usia di atas 40 tahun mulai
terjadi penurunan absorpsi kalsium,
sehingga dimungkingkan sudah ada
pelepasan kalsium tulang (osteoklas) untuk
memenuhi kadar kalsium darah. Distribusi
umur responden dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan umur
Umur Kasus Kontroln % n %
<30 tahun 4 15,4 4 15,430-40 tahun
9 34,6 9 34,6
>40 tahun 13 50,0 13 50,0Total 26 100 26 100
C.2. Tabel pendidikan terakhir
Pada kelompok kasus dan kontrol
sama-sama mempunyai proporsi tingkat
pendidikan SMA serta pendidikan lanjut D3
dan Perguruan Tinggi terbanyak. Namun
pada kelompok kasus masih ada 6 orang
(23.1%) tingkat pendidikan SD. Hal ini dapat
dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan
Umur Kasus Kontroln % n %
SD 6 23,1 0 0SMP 5 19,2 10 38,5SMA 8 30,8 8 30,8D3 6 23,1 4 15,4PT 1 3,8 4 15,4Total 26 100 26 100
D. Jenis Pekerjaan responden
Jenis pekerjaan responden pada
sebagian besar sebagai pegawai swasta dan
PNS yaitu sebesar 76.9% pada kelompok
kasus dan 61.5% kelompok kontrol dan
selebihnya sebagai ibu rumah tangga. Sebagai
pekerja swasta dan PNS bisa dikatakan tidak
banyak melakukan aktivitas fisik secara
konsisten. Menurut Metz. Jill, 1993 jenis
pekerjaan dengan banyak aktivitas fisik yang
dilakukan secara konsisten dengan durasi >
90 menit/minggu mempunyai hubungan linear
positif dengan densitas tulang (27). Kurang
kegiatan fisik menyebabkan ekskresi kalsium
tinggi dan pembentukan tulang tidak
maksimal. Namun aktifitas fisik yang terlalu
berat pada usia menjelang menopause justru
7
dapat menyebabkan penyusutan tulang
(14). Hal ini dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan
Kasus Kontroln % n %
Swasta 12 461 9 34,6PNS 5 30,8 7 26,9Ibu rumah tangga
8 23,1 10 38,5
Total 26 100 26 100
E.Jumlah anggota keluarga
Jumlah anggota keluarga pada
sampel hampir sama berjumlah 4 dan 5
orang yaitu sebanyak 8 orang (30,8%) dan
yang beranggotakan 3 orang sebanyak 5
orang (19,2%). Pada kontrol terbanyak
beranggotakan 4 orang yaitu sebanyak 13
orang (50,0%) dan beranggotakan 5 orang
sebanyak 6 orang (23,1%). Terlihat bahwa
antara kasus dan kontrol mempunyai
hampir sama jumlah anggota keluarga yaitu
4 dan 5 orang.
F. Pengeluaran makan perkapita
Pengeluaran perkapita adalah
keadaan pengeluaran konsumsi keluarga
per bulan dibagi dengan jumlah anggota
keluarga. Tingkat konsumsi riil perkapita
tahun 2008 di Kota Banjarmasin
mengalami kenaikan sebesar 0.79% dari Rp
633.870,- menjadi Rp 638.870,-. Tingkat
konsumsi riil perkapita memberikan
gambaran tingkat daya beli masyarakat dan
dapat mempengaruhi derajat kesehatan.
Tingkat konsumsi pengeluaran/kapita
sebagai salah satu ukuran tingkat standar
hidup layak yang dikelompokkan menjadi
pengeluaran untuk makanan dan pengeluaran
non makanan. Pada tahun 2008 pengeluaran
untuk makanan sebesar 42,85% (Rp 273.75,-)
menurun dari tahun 2007 yaitu 49,17% (Rp
311.673,-) (7). Hal ini menggambarkan
bahwa dengan tingkat pendapatan meningkat,
bertambah pula keperluan non pangan,
sehingga proporsi pengeluaran untuk makan
menurun. Hasil penelitian diperoleh tingkat
pengeluaran untuk makan pada kelompok
kasus rata-rata Rp 255.613,- perkapita dan
kelompok kontrol Rp 291.410,-.Hal ini
menunjukkan Rata-rata tingkat pengeluaran
untuk makan perkapita baik kasus dan kontrol
di bawah rata-rata perkapita penduduk
Banjarmasin.
G. Gambaran pola makan responden
Berdasarkan kuesioner diperoleh
bahwa pada kelompok sampel pola makan
sekarang dengan dahulu sebelum terjadi
fraktur hampir semua tidak berbeda (96,2%)
dan pada kelompok kontrol semuanya (100%)
tidak berbeda. Hampir semua responden
mempunyai pola makan sebelum dan sesudah
sakit yaitu 3 x sehari. Makanan pokok yang
sering dikonsumsi yaitu beras. Bahan
makanan lain yaitu seperti tepung terigu
untuk kue tradisional Banjar. Konsumsi
protein hewani yang sering yaitu telur , ikan
air tawar. Protein nabati yaitu tempe , tahu
dan kacang kedele. Sayuran yang sering
dikonsumsi yaitu bayam, daun singkong dll.
Mereka hampir jarang mengkonsumsi susu
atau hasil olahnya. Diharapkan sumbangan
8
kalsium dapat diperoleh dari susu dan hasil
olahnya. Jenis susu yang paling dikonsumsi
yaitu susu kental manis.
H. Gambaran konsumsi tablet kalsium
responden.
Mengenai kebiasaan mengkonsumsi
tablet kalsium sebelum terjadi trauma pada
kelompok sampel yaitu sebanyak 21 orang
(80,8%) tidak pernah mengkonsumsi tablet
kalsium dan pada kelompok kontrol
semuanya tidak pernah mengkonsumsi
tablet kalsium.
Seseorang di atas usia 40 tahun
kepadatan tulang mulai berkurang,
sehingga harus mengkonsumsi kalsium
yang cukup untuk mencukupi kebutuhan
kalsium/ hari yaitu sebanyak 800 mg dan
usia di atas 50 tahun dibutuhkan kalsium
1000-1200 mg/hari agar tidak terjadi
pengambilan kalsium dari tulang untuk
memenuhi kebutuhan kalsium tubuh( 28 ).
Berdasarkan hasil penelitian
ternyata pada kelompok sampel hanya 5
orang (19,2%) yang mengkonsumsi tablet
kalsium dalam sehari dan pada kelompok
kontrol semuanya tidak mengkonsumsi
tablet kalsium dalam sehari. Hal ini
menunjukkan bahwa pengertian tentang
perlunya asupan kalsium untuk memenuhi
kebutuhan kalsium dalam sehari belum
dipahami oleh sebagian besar responden.
Sedangkan rata-rata konsumsi kalsium
dalam sehari pada orang Indonesia masih
jauh di bawah kebutuhan yaitu 254 mg/hari
( 3 ).
I. Gambaran riwayat konsumsi protein
responden.
Berdasarkan hasil penilaian rata-rata
asupan protein dengan metode food frekuensi
semi kuantitatif, diperoleh bahwa rata-rata
konsumsi protein pada kasus adalah 54.2 gr
lebih rendah dari data konsumsi protein untuk
Kalimantan Selatan yaitu 58.7 gr.
Berdasarkan tingkat konsumsi protein
diperoleh sebanyak 8 orang (30,8%) masih
kurang dan masing-masing 9 orang (34,6%)
masuk dalam kategori cukup dan lebih. Hal
ini menunjukkan bahwa konsumsi protein
total masih ada yang kurang dari kecukupan
yang dianjurkan ( rata-rata 55 gram /hari).
Bahan makanan hewani yang sering
dikonsumsi adalah ikan air tawar dan telur.
Untuk protein nabati rata-rata yang sering
dikonsumsi sebanyak 26,3 gr lebih sedikit
dari jumlah hewani yang dikonsumsi rata-rata
yaitu 27,8 gram. Hal ini dapat dilihat pada
tabel 4.
Tabel 4. Distribusi responden
berdasarkan konsumsi protein
Konsumsi protein
Kasus Kontroln % N %
Kurang 8 30,8 8 30,8Cukup 9 34,6 8 30,8 Lebih 9 34,6 10 38,5Total 26 100 26 100
Peranan protein dalam
menyumbangkan kalsium dari makanan
sangat penting. Berdasarkan penelitian
bahwa konsumsi protein yang berlebih dari
sumber hewani dapat membawa suasana asam
sehingga menyebabkan kalsium banyak
terbuang di urin (17). 9
Pada kelompok kontrol konsumsi
protein sebanyak 10 orang (38,5%)
termasuk konsumsi protein lebih ,
sedangkan masing-masing 8 orang (30,8%)
masuk kategori kurang dan cukup. Rata-
rata konsumsi protein hewani sebanyak
26.19 gr dan nabati 23.98 gr. Pada
kelompok kontrol proporsi konsumsi
protein lebih masih lebih besar
dibandingkan kelompok kasus. Konsumsi
protein yang tinggi khususnya hewani dapat
menyebabkan meningkatnya ekskresi
kalsium di urin.
J. Gambaran konsumsi kalsium
responden
Gambaran konsumsi kalsium
responden baik kelompok kasus dan
kontrol masing-masing sebanyak 25 orang
(96.2%) masuk kategori konsumsi kalsium
kurang. Jumlah kalsium yang dikonsumsi
dalam sehari masih di bawah 80%
kebutuhan kalsium (< 640 mg). Hal ini
dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Distribusi responden berdasarkan konsumsi kalsium
Mereka mempunyai pola kebiasaan
makan sangat rendah sumber kalsium
seperti susu. Kelompok kasus dan kontrol
sering mengkonsumsi sejumlah lauk
hewani, seperti daging, ikan namun jumlah
yang dikonsumsi belum mencukupi
kalsium yang dianjurkan. Susu sebagai
sumber kalsium belum mencukupi secara
kualitas dan kuantitas baik pada kasus
ataupun kontrol. Jenis susu yang banyak
dikonsumsi adalah susu kental manis dan
jumlah yang dikonsumsi tidak cukup untuk
memenuhi jumlah kalsium yang dibutuhkan.
Kebiasaan mengkonsumsi kalsium
dari makanan sebelum terjadi fraktur antara
kasus dan kontrol tidak berbeda secara
proporsi, hal ini menggambarkan pola makan
sumber kalsium masyarakat yang berobat di
RSUD Ulin Banjarmasin sama.
K. Gambaran riwayat konsumsi Phospat
responden
Gambaran riwayat konsumsi phospor
pada kasus sebanyak 11 orang (42.3%)
termasuk katergori kurang, 5 orang (19.2%)
masuk kategori cukup dan 10 orang (38.5%)
masuk kategori lebih. Pada kelompok kontrol
sebanyak 12 orang (46.2%) masuk dalam
kategori kurang, dan 7 orang (26.9%) masing-
masing masuk kategori cukup dan lebih.
Konsumsi phosfor banyak terdapat pada
protein hewani. Hal ini dapat dilihat pada
tabel 6 .
Tabel 6. Distribusi responden berdasarkan konsumsi phospor
Konsumsi Phospor
Kasus Kontroln % n %
Kurang 11 42.3 12 46.2Cukup 5 19.2 7 26.9Lebih 10 38.5 7 26.9Total 26 100 26 100
Pada tabel di atas terlihat bahwa pada
kelompok kasus proporsi konsumsi phospor
lebih ( > 480 mg /hari) yaitu 38.5% lebih
Konsumsi kalsium
Kasus Kontroln % n %
Kurang 25 96.2 25 96.2Cukup 0 0 1 3.8Lebih 1 3.8 0 0Total 26 100 26 100
10
besar dari kontrol yaitu 26.9% Sementara
proporsi konsumsi phospor kurang ( <480
mg) pada kasus dan kontrol hampir sama
yaitu 42.3% dam 46.2%.
Menurt Altmasir, 2003 bahwa
phospor sangat membantu dalam
pembentukan tulang bersama kalsium dan
mempengaruhi absorpsi kalsium (1). Rasio
Kalsium dan phospor yang dikonsumsi
perhari sangat membantu absorsi Kalsium.
Rasio kalsium dan phospor yang tepat
untuk membantu konsumsi kalsium adalah
1-2:1 . Apabila rasio absorpsi kalsium dan
phospor kurang atau lebih dari rasio yang
dianjurkan, maka absorpsi kalsium akan
terganggu. Bila dilihat dari konsumsi
masing-masing kalsium dan phospor, pada
kelompok kasus proporsi konsumsi kalsium
kurang mempunyai proporsi yang besar
(96.2%) sedangkan konsumsi phospor pada
kasus ada yang lebih. , jadi kemungkinan
rasio kalsium dan phospor nilainya <1-2:1.
Hal ini memungkinkan terjadi gangguan
absorpsi kalsium. Sementara pada kontrol
keadaan konsumsi kalsium kurang juga
tinggi dan proporsi konsumsi phospor
kurang, lebih tinggi dari kasus dan ada
konsumsi phospor lebih (26.9%). sehingga
walau kecenderungan gangguan absorpi
kalsium juga ada namun kejadiannya lebih
rendah dari pada kasus.
L. Hubungan tingkat pengeluaran
makan dengan kejadian fraktur
Tingkat pengeluaran perkapita
untuk makan ternyata antara kasus dan
kontrol sama yaitu di bawah rata-rata untuk
tingkat Kalimantan Selatan. Sehingga
menunjukkan bahwa tingkat pemenuhan
untuk makan yang baik khususnya sumber
kalsium seperti susu dan hasil olahnya masih
belum tercapai. Dan bila dilihat dari latar
belakang pekerjaan rata-rata keluarga
mempunyai pekerjaan di swasta atau pegawai
negeri sipil, dengan tingkat pendapatan
menengah. Rendahnya pengeluaran untuk
makan dimungkinkan bahwa kebutuhan selain
makan masih lebih diutamakan sehingga
kebutuhan untuk pemenuhan makanan tinggi
kalsium tidak terlalu diperhatikan. Terlihat
dari mereka jarang mengkonsumsi bahan
makanan olah dari susu, seperti keju, ice
cream, yoghurt dll) dan mereka lebih
mengutamakan sumber protein yang berasal
dari hewani seperti ikan, telur dll.
M. Hubungan riwayat konsumsi protein
dengan kejadian fraktur.
Rata-rata riwayat konsumsi protein
pada kasus dan kontrol adalah 54,2 gram dan
50,1 gr pada kontrol . Data tersebut
menunjukkan rata-rata konsumsi protein pada
responden sudah di atas 80% rata-rata
kecukupan protein yaitu 44 gr dan lebih
rendah dari rata-rata untuk Kalimantan
Selatan (58.7 gr). Baik kasus maupun pada
kontrol lebih banyak mengkonsumsi sumber
hewani dari pada sumber nabati. Pola
konsumsi orang Kalimantan Selatan lebih
banyak mengkonsumsi sumber lauk hewani
yaitu ikan air tawar dibandingkan dengan
konsumsi nabati seperti halnya tempe, tahu
11
atau kacang-kacangan. Hal ini berbeda
dengan penelitian Shellyana, 2008 dimana
konsumsi protein pada pasien fraktur tulang
hanya sebanyak 23,2 gr/hari. Hal ini jauh di
bawah angka kecukupan ( 29 ).
Konsumsi protein yang tinggi dari
hewani membuat resiko pengeluaran
kalsium urin meningkat karena pada
suasana asam dapat meningkatkan ekskresi
kalsium melalui urin, sehingga
keseimbangan kalsium dalam tubuh
menjadi negatif. Selain itu sumber protein
baik hewani ataupun nabati juga tinggi
kandungan phospornya seperti daging dan
ikan. Jumlah konsumsi phospor yang tinggi
bila melebihi rasio kalsium banding
phospor yaitu 1-2:1 akan menghambat pula
absorpsi kalsium dari makanan ( 14 ). Hal
ini sesuai penelitian dari Meikawati
Wulandari dkk, .yaitu bahwa asupan
protein berhubungan dengan kepadatan
tulang dengan r=0.315 dan p = 0.004 ( 30 ).
Hubungan konsumsi protein dengan
kejadian fraktur pada responden didapatkan
dan OR=0,85 (CI 95%:0,26-2,79) berarti
tidak ada hubungan yang bermakna secara
statistik antara asupan protein dengan
kejadian fraktur tulang dengan derajat
kekuatan lemah . Pada kelompok kontrol
proporsi konsumsi protein dengan kategori
lebih mempunya proporsi lebih besar dari
pada kelompok kasus yaitu kontrol 38,5%
dan kasus 34,6%. Pada kelompok kontrol
rata-rata konsumsi protein hewani lebih
besar dari protein nabati yaitu 26,19 gr dan
23,98 gram. Sedangkan pada kelompok
kasus konsumsi protein hewani lebih besar
sedikit dari konsumsi protein nabati yaitu
27.88 gr dan 26.33 gr . Menurut Sellmeyer
Deborah dkk., tahun 2001 bahwa tingginya
rasio asupan protein hewani dan nabati dapat
mempercepat resiko terjadinya fraktur tulang
pinggang ( 24 ) dan Beasley Jeannette, 2010
ada hubungan asupan protein nabati rendah
menyebabkan kurangnya densitas tulang
( 34). Penelitian Kestetter Jane E, dkk, 2003
dan Metz Jill A, 1993 diet tinggi protein
menyebabkan juga hiperkalsiuria (22). Hal ini
pada responden tidak ada perbedaan antara
kedua kelompok tersebut, karena sama-sama
proporsi konsumsi protein lebih mempunyai
proporsi yang hampir sama dan juga
konsumsi protein nabati sama-sama lebih
sedikit daripada konsumsi protein hewani.
Namun kemungkinan sudah ada peningkatan
absorpsi kalsium dari tulang untuk memenuhi
kadar kalsium yang kemungkinan menurun
akibat tingginya proporsi protein hewani dan
nabati pada kedua kelompok. Bila diperiksa
kalsium urin akan nampak tingkat ekskresi
kalsium urin akibat tingginya rasio protein
hewani terhadap nabati.
Selain itu pada kasus ada beberapa
responden yang juga mengkonsumsi tablet
kalsium, dan kelompok kontrol semuanya
tidak mengkonsumsi tablet kalsium. Hal ini
dimungkinkan sebagai salah satu penyebab
juga ada faktor-fakor lain yang juga
menyebabkan tidak ada hubungan yang
bermakna yaitu antra lain: faktor berat
ringannya aktivitas ,adanya faktor
12
penghambat absorpsi kalsium seperti
oksalat, asam fitat dan obat-obatan,
konsumsi natrium, Indeks Massa Tubuh dll
( 1, 30). Berbeda dengan penelitan oleh
Muller Ronald G, James R Cherham
yaitu ada hubungan intake protein hewani
yang rendah (p=0.01) dan intake protein
nabati tinggi (p=0.02) dengan kejadian
fraktur tulang (21).
N. Hubungan Riwayat Asupan Kalsium
dengan Kejadian Fraktur.
Riwayat asupan kalsium sangat
menentukan kepadatan tulang seseorang
untuk mencegah terjadinya fraktur karena
osteoporosis. Kekurangan kalsium pada
masa pertumbuhan dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan. Dan pada orang
dewasa usia 50 tahun ke atas, sering terjadi
kehilangan kalsium dari tulang. Hal ini
karena semakin tua kemampuan untuk
menyerap kalsium akan menurun, karena
semakin tua enzim laktase untuk mencerna
susu semakin berkurang ( 1). Kebanyakan
kalsium hanya terserap setengah dari
kalsium yang ada dalam makanan yang
dikonsumsi. Ditambah pula pada usia
semakin tua asupan kalsium juga sedikit.
Hasil uji statistik Pearson chi-square
diperoleh p p=0,368 (>0,05) dan OR= 0 (CI
95%:0,06-16,95) berarti tidak ada
hubungan yang bermakna antara riwayat
konsumsi kalsium dengan kejadian fraktur
tulang femur dan tibia dengan derajat
hubungan yang lemah. Pada kelompok
kasus maupun kontrol proporsi asupan
kalsium dengan katergori kurang menduduki
proporsi paling besar yaitu semua sebesar 25
orang (96,2%). Rata-rata konsumsi kalsium
perhari pada kelompok kasus dan kontrol
masih lebih rendah dari angka kecupan
kalsium yang dianjurkan , yaitu 331,5 gr pada
kasus dan 270,6 gr pada kontrol. Angka
kecukupan kalsium yang dianjurkan adalah
640-800 mg/hari. Hal ini terlihat dari
kebiasaan responden dalam mengkonsumsi
makanan sumber kalsium dengan frekwensi
dan jumlah yang kurang yaitu seperti
mengkonsumsi sumber kalsium seperti susu
dan hasil olahnya. Jenis susu yang sering
dikonsumsi responden adalah susu kental
manis sementara hasil olah dari susu mereka
hampir tidak pernah mengkonsumsi seperti
keju, yoghurt dll.
Hasil uji statistik di atas sesuai dengan
penelitian Susanti Eka, I.D.P.Pramantara,
Retno Pangastuti, tahun.2006 mengenai
hubungan asupan kalsium dengan kejadian
osteoporosis pada pria di Kecamatan Duren
Sawit, Jakarta Timur yaitu tidak ada
hubungan yang bermakna antara asupan
kalsium dengan densitas massa tulang
(P>0.05)(31) dan sesuai juga dengan
penelitian Owusu William, dkk, 2003 bahwa
konsumsi lebih dari 2.5 gelas/hari (600 ml)
dibandingkan dengan konsumsi susu perhari
240 ml atau kurang mempunyai RR
1.06(95% CI = 0.69-1.62) dengan p=0.82).
Ada faktor lain yang harus dikendalikan
seperti umur, status merokok, IMT, aktivitas
fisik, konsumsi alkohol( 32 ).
13
O. Hubungan Riwayat Asupan Phospor
dengan Kejadian Fraktur.
Phospor sangat diperlukan dalam
proses pembentukan tulang bersama dengan
kalsium dengan rasio kalsium : phospor 1-
2:1. Bila lebih dari rasio tersebut maka akan
menghambat absorpsi kalsium. Pada
penelitian ini berdasarkan uji statistik tidak
terdapat hubungan bermakna antara riwayat
asupan phospor dengan kejadian fraktur
tulang dengan kekuatan hubungan yang
lemah yaitu p = 0,636 (p>0,05) dan OR=
1,696 (CI 95%:0,525-5,48). Proporsi
asupan phospor dengan kategori kurang
pada kasus dan kontrol lebih besar dari
proporsi konsumsi phospor kategori lebih .
Namun dalam hal ini proporsi konsumsi
phospor kategori lebih pada kasus lebih
besar dari kontrol , sehingga hal ini
menunjukkan sudah terjadi adanya
hambatan dalam absorpsi kalsium pada
kasus.Namun karena tidak dilakukan
pemeriksaan kalsium urin, maka tidak
diketahui berapa yang diabsorpsi oleh
tubuh. Pada kondisi absorpsi kalsium
kurang, tubuh berusaha untuk selalu
memenuhi kebutuhan kalsium dalam darah.
Dan apabila terjadi gangguan absorpsi
kalsium dalam tubuh akibat perbandingan
yang tinggi akan phospor, hormon
paratiroid mengatur pelepasan kalsium dari
tulang , sehingga lama kelamaan tulang
akan rapuh karena pengurangan kalsium
tulang(1, 33).
Rata-rata asupan phospor per hari
pada kasus adalah 571,150 mg dan pada
kontrol sebanyak 519,577 mg dan rata-rata
konsumsi kalsium pada kasus dan kontrol
yaitu 331.5 mg dan 270.6 mg. Konsumsi
phospor masih lebih besar dari 80% AKG
yaitu 480 mg/hari. Bila dibandingkan dengan
rata-rata asupan kalsium sehari pada kasus
dan kontrol, ternyata pada kedua kelompok
tersebut asupan phospor perhari lebih besar
dari asupan kalsium perhari, berarti rasio
kalsium dan phospor 1:>1. Hal ini walaupun
tidak ada hubungan secara bermakna antara
konsumsi phospor dengan kejadian fraktur,
namun kemungkinan sudah terjadi gangguan
absorpsi kalsium sebagai dampak dari rasio
yang tidak sesuai tersebut. Namun dalam
penelitian ini tidak dilakukan pemeriksaan
kalsium dalam urin untuk menggambarkan
jumlah kalsium yang diabsoprsi. Menurut
Altmatsier , 2003 bahwa jumlah kalsium yang
diekskresi melalui urin mencerminkan jumlah
kalsium yang diabsorpsi (1).
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Responden berjenis kelamin pria dan
wanita masing-masing sebanyak 50% dan
berusia di atas 40 tahun serta
berpendidikan sebagian besar lulus SMA.
2. Tingkat pengeluaran untuk makan pada
kelompok kasus rata-rata Rp 255.613,-
perkapita dan kelompok kontrol Rp
291.410,-. di bawah rata-rata perkapita
penduduk Banjarmasin.
14
3. Baik kasus maupun pada kontrol lebih
banyak mengkonsumsi sumber hewani
dari pada sumber nabati
4. Baik kelompok kasus dan kontrol
sebanyak masing-masing 25 orang
(96.2%) kurang mengkonsumsi
kalsium.
5. Pada kedua kelompok asupan phospor
perhari lebih besar dari asupan kalsium
perhari, berarti rasio kalsium dan
phospor 1:>1
6. Tidak ada hubungan yang bermakna
antara asupan protein dengan kejadian
fraktur tulang dengan p =0,946 (>0,05)
dan OR=0,85 (CI 95%:0,26-2,79).
7. Tidak ada hubungan yang bermakna
antara riwayat konsumsi kalsium
dengan kejadian fraktur tulang femur
dan tibia dengan p=0,368 (>0,05) dan
OR= 0 (CI 95%:0,06-16,95)
8. Tidak terdapat hubungan bermakna
antara riwayat asupan phospor dengan
kejadian fraktur tulang dengan p =
0,636 (p>0,05) dan OR= 1,696 (CI
95%:0,525-5,48).
9. Tidak dapat dilakukan perhitungan
interaksi karena analisis bivariat antara
variabel tingkat pengeluaran, riwayat
konsumsi protein, kalsium dan phospor
tidak ada yang bermakna secara
statistik.
B. Saran
1. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar
kalsium dalam urin untuk mengetahui
jumlah kalsium yang dapat diabsorpsi.
2. Menambah variabel lain untuk dapat
memastikan penyebab terjadinya fraktur
tulang femur dan tibia, seperti:
a. asupan serat
b. adanya oksalat
c. aktivitas fisik
d. kebiasaan merokok
e. kebiasaan minum kopi
f. Melakukan penilaian kalsium dalam
urin. dengan kasus fraktur femur atau
tibia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Almatsier, Sunita (2002). Mineral
dalam Prinsip Gizi. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka,.
2. Anonim. Gaya hidup
http://www.keluarga sehat .com.
Diakses tanggal 8-11 -2007.
3. Anonim. Tanya Jawab dengan Dokter
Ahli Osteoporosis.
www.medicastore.com.2006Diakses
tanggal 22-1-2008.
4. Apriadji Wied Harry, 2001. Nanas
Cukup Ampuh Memerangi Keropos
Tulang. Sedap Sekejap Edisi 2/II-
Pebruari 2001.
5. HTA Indonesia, 2005. Penggunaan
Bone Densitometry pada Osteoporosis,
halaman 1.
6. Data Penelitian Produk Susu Anlene.
Tahun 2007.
7. BPS,2008. Index Pembangunan
Manusia kota Banjarmasin tahun 2008.
8. Francis etal, 1997. A Comparison of
Bone Density and Dietary intake in
15
Postmenopausal Women who are
Receiving and not Receiving
Hormone Replacement Therapy.
Journal of the American Dietetic
Association volume 97, Issue 9, 1
September 1997, p. A64.
9. Jensen Keith, etal. Development of a
food frequency questionnaire to
estimate calcium intake of Asian,
Hispanic and Shite Youth. Journal of
the American Dietetic Association,
Volume 104, Issue 5, May 2004,
p.762-769.
10. Satalic Zvonimir, et al. Short food
frequency questionnaire can
discriminate inadequate an adequate
calcium intake in Croatian
postmenopausal women. Nutrition
Research 27 (2007), 543-547.
11. RSUD Ulin Banjarmasin. Laporan
tahunan Kunjungan Rawat Jalan
2006-2007.
12. Prihartini Sri, 2007. Faktor
Determinan Risiko Osteoporosis di
Tiga Propinsi di Indonesia. Http://
www.p3gizi.litbang.depkes.go.id/.
Diakses tanggal 17-2-2010.
13. HTA Indonesia, 2005. Penggunaan
Bone Densitometry pada
Osteoporosis. Hal 4.
14. Ardy, 2010. Keseimbangan Kalsium
penting untuk cegah
Osteoporosis.Http://
www.p3gizi.litbang.depkes.go.id/.
Diakses tanggal 20-1-2010.
15. Astawan Made, 2009. Tulang tidak
hanya butuh Kalsium.
www.medicastore.com.2006. Diakses
tanggal 13-8-2010.
16. Depkes RI, 2005. Angka Kecukupan
Gizi Rata-rata yang dianjurkan.
17. Medicastore, 2008. Penyebab
Osteoporosis dan faktor Resiko
osteoporosis. www.medicastore.com..
Diakses tanggal 22-1-2008.
18. Anonim, 2008. Nyeri Tulang pada
Penyakit Ginjal. http://www.keluarga
sehat .com. Diakses tanggal 4-2-3008.
19. Supariasa, 2002. Penilaian Status Gizi.
Penerbit Buku Kedokteran.
20. Munger Ronald, et.al, Prospective study
of dietary protein intake and risk of hip
fracture in postmenopausal women.
American Journal Clinical Nutrition
1999: USA.
21. Morin Patricia Fracois Hermann, Patrick
Amman. A Rapid Self Administered
food frequency questionnaire for the
evaluation of dieteaty protein intake.
Clinical Nutrition vol.24, Issue 5,
October 2005, p.768-774.
22. Kestetter Jane E et.al, Low protein
intake: the Impact on calsium and bone
homeostasis in Humans. The Journal of
Nutrition. Di akses tanggal 3 April
2010.
23. Spenser H et.al, Do protein and
phosphours cause calsium loss?
Prospective study of dietary protein
intake and risk of hip fracture in
16
postmenopausal women. American
Journal Clinical Nutrition 1999: USA.
24. E. Deborah Sellmeyer et.al. A high
ratio of dietary animal to vegetable
protein increases the rate of bone loss
and the risk of fracture in
postmenopausal women. American J
Clinical Nutrition 2001: 73; 118-22.
25. Gibson Rosalind, 1993. Nutritional
Assesment a Laboratory Manual.
Oxford University Press.
26 Lemeshow Stanley, 1990. Besar
Sampel dalam Penelitian. Gadjah
Mada University Press: Jogjakarta.
27. Metz. Jill, John JB Anderson and
Philip N. Intake of Calcium,
Phosporus and protein, and physical
activity level are related to radial
Bone Mass in young adult women.
American Journal Clinical Nutrition
1993: 58; 537-42.
28. Anonim. Tulang tak hanya butuh
kalsium. Nutrition Thur, 13-8-2009.
29. Shellyana, 2008. Gambaran asupan
protein, vitamin D, kalsium, phospor
serta perbandingan kalsium dan
phospor pada penderita nyeri tulang
dan fraktur pasien rawat jalan
poliklinik Ortopedi RSUD Ulin
Banjarmasin 2008. skripsi
30. Meikawati Wulandari, S, Fatimah
Muis, SA. Nugraheni. Faktor yang
berhubungan dengan kepadatan tulang
remaja (studi di SMAN 3 Semarang).
Program Magistern Gizi Masyarakat
Universitas Diponegoro. Thesis.
31.Susanti Eka, IDP. Pramantara Retno
Pangastututi.Asupan Kalsium, vitamin
D, Kafein, merokok, Indeks Massa
Tubuh dan hubungannya dengan
kejadian osteoporosis pada pria di
kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur.
32. Feskanich Diane, Walter C, Willet dan
Graham A Colditz. Calsium, vitamin D,
milk consumption, and is prospective
study among post menopause women.
American Journal of Clinical Nutrition
2003 Vol 77, n0.2; 504-511.
33. Medicastore. Penyebab osteoporosis dan
factor risiko osteoporosis. .www.osteo .
Diakses tanggal 22-1-2008.
34. Beasley Jeannette M. Beasley, 2010. Is
Protein Intake Associated with Bone
Mineral Density in Young Women.
American Journal Clinical Nutrition
91:1311-1316, May 2010.
17