probklu03-20

12

Click here to load reader

Upload: febriramadian

Post on 25-Oct-2015

12 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sawit

TRANSCRIPT

Page 1: probklu03-20

Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

199

PEMANFATAN LAHAN PADA KELAPA SAWIT MUDA DENGAN TEMU-TEMUAN SEBAGAI TANAMAN SELA

MUCHAMAD YUSRON dan M. JANUWATI

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Jl. Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111

ABSTRAK

MUCHAMAD YUSRON dan M. JANUWATI. Pemanfatan Lahan pada Kelapa Sawit Muda dengan Temu-Temuan sebagai Tanaman Sela. Isu internasional untuk “kembali ke alam” dan perkembangan industri obat asli Indonesia memperluas peluang pemanfaatan tanaman obat. Kebutuhan bahan baku tanaman obat dari tahun ke tahun terus meningkat, sehingga perlu dukungan iptek dan peningkatan potensi masyarakat. Tanaman temu-temuan merupakan bahan baku utama obat asli Indonesia (jamu), cukup toleran terhadap tingkat naungan sampai 40%. Dengan demikian tanaman ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai tanaman sela di bawah kelapa sawit. Namun, dalam pemilihan jenis harus memperhatikan syarat tumbuh temu-temuan dan serapan pasarnya. Upaya perbaikan fisik lahan harus dilakukan dengan modifikasi sehingga diperoleh tingkat toleran yang diinginkan, dan diperoleh kondisi pertumbuhan dan produksi rimpang yang optimum pada ekosistem kelapa sawit. Teknik budidaya temu-temuan yang benar harus diperhatikan agar diperoleh tingkat produksi yang tinggi, dapat memberikan tingkat keuntungan tinggi, sehingga usahatani polikultur layak diterapkan.

Kata kunci: Kelapa sawit, tanaman obat dan polikultur

PENDAHULUAN

Dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi perubahan dalam banyak aspek, baik bersifatnya regional, nasional maupun internasional. Salah satu perubahan internasional yang terjadi adalah keinginan ‘kembali ke alam’, baik dalam bidang kesehatan maupun makanan. Isue ini memberi peluang yang sangat luas terhadap pemanfaatan tumbuhan baik yang berpotensi sebagai obat asli Indonesia (jamu/obat tradisional), maupun tumbuhan penghasil bahan baku industri dan simplisia untuk ekspor.

Kebutuhan industri jamu terhadap bahan baku berupa simplisia kering berkisar 8.000 ton kering per tahun (DITWASKES, 1998) yang berasal dan 152 spesies. Dari jumlah tersebut, temu-temuan merupakan jenis yang paling banyak dibutuhkan oleh industri jamu (37,87%), diikuti oleh Umbelifirae (9,65%), Myristaceae (8,7%) dan Piperaceae (5,8%) (SUDIARTO et al., 1991). Potensi alam dan industri obat yang besar tersebut perlu dimanfaatkan secara bijaksana dan berdaya guna, dengan melibatkan iptek dan potensi masyarakat. Berbagai kemajuan teknologi memang telah dicapai dalam pengembangan tanaman obat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Pemanfaatan Obat Asli Indonesia (OAI) telah lama menjadi salah satu cara pengobatan masyarakat. Turunnya daya beli terhadap obat paten luar negeri sebagai akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan meningkatkan peran OAI dalam meningkatkan kesahatan masyarakat. Disisi lain, meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pemanfaatan OAI dalam sistem pengobatan nasional dan upaya pelestarian lingkungan (keanekaragaman hayati Indonesia), menuntut peranan iptek mulai dan pengadaan bahan baku sampai pemanfaatan secara bertanggung jawab.

Page 2: probklu03-20

Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

200

Spesies yang digunakan dalam pengobatan asli mencapai 180 spesies tumbuhan dari berbagai jenis. Pada tahun 2000 tercatat ada 965 buah Industri obat asli (jamu) di seluruh Indonesia yang terdiri dan 872 industri kecil obat trasional (IKOT) dan 93 industri obat tradisional (IOT) dengan nilai jual produknya mencapai sekitar Rp. 152 trilyun (SUDIARTO dan RAHARDJO, 2003). Nilai tersebut belum termasuk nilai dari industri jamu gendong. Jumlah tersebut meningkat 60 kali lipat dibandingkan dengan nilai tahun 1991. Demikian pula ekspor simplisia menunjukkan nilai yang cukup menggembirakan.

Menurut data dan Ditjen Tanman Pangan dan Hortikultura, nilai ekspor beberapa jenis tumbuhan simplisia yaitu Jahe Segar, Jahe Kering, Kunyit, Temulawak, Kumis kucing dan Gingseng Roots ke manca negara pada tahun 1997 memcapai nilai lebih dari 16 juta USD (DITWAS, DEPKES, 2000). Ternyata volume serapan simplisia tanaman obat dan nilai ekspor simplisia pada 1993 telah mencapal 70.682 ton yang nilainya 29 16 juta USD, sedang nilai ekspor simplisia berikut olahannya (jamu dan obat) mencapai 39.32 juta USD (SUDIARTO dan KEMALA, 2000).

Beberapa jenis simplisia yang mempunyai serapan besar adalah temulawak, jahe, lengkuas, cabe jamu, temu hitam, kencur, adas, lempuyang gajah, pulasari, kedawung, kunyit dan lempuyang wangi. Hal ini perlu dipertahankan bahkan perlu ditingkatkan, baik jenis maupun jumlahnya karena peningkatan ekspor ini akan menopang pembangunan di bidang ekonomi. Kebijaksanaan dalam ekspor bahan obat ini akan ditingkatkan dalam bentuk ekstrak, sediaan galenik lainnya atau hasil isolasinya, sehingga bahan tersebut dapat disimpan lama. Peningkatan bentuk olahan tersebut memberi peluang penyerapan tenaga kerja terdidik dan pelaksanaan ekspor dapat disesuaikan agar situasi yang menguntungkan (BALITTRO, 1999).

Sebagai gambaran selama tahun 1997, konsumen di Amerika Serikat menghabiskan sekitar US$ 12 milyar untuk belanja makanan tambahan (dietary supplement), US$ 3,6 milyar diantaranya untuk belanja obat-obat asal tumbuhan (herbal remedies). Diperkirakan permintaan terhadap obat-obat tradisional akan meningkat mencapai US$ 5,9 milyar pada tahun 2000 (ANONYMOUS, 1999).

PELUANG DAN PENGEMBANGAN SISTIM USAHA TANI TANAMAN OBAT

Kegiatan sistem usahatani tanaman obat hendaknya dilakukan berdasarkan perencanaan yang baik, sehingga antara kebutuhan pasar dan penyediaan simplisia haruslah sinkron, baik jenis dan volumenya. Jenis komoditas yang banyak diserap industri obat tradisional yaitu temulawak, jahe, lempuyang gajah, cabe jamu, lengkuas, kedawung, lempuyang wangi, kencur, pulasari, kunyit, adas dan bengle (SUDIARTO dan KEMALA, 2000). Diantara komoditas-komoditas golongan temu-temuan tersebut yang sudah dibudidayakan secara baik antara lain jahe, kencur, temulawak, lengkuas, lempuyang wangi, lempuyang gajah dan bengle.

Beberapa dan tanaman obat ini telah diteliti aspek kelayakan usahataninya dan umumnya menunjukkan kelayakan usahatani yang cukup menguntungkan. Terhadap kontribusi pendapatan petani dan tanaman obat beragam tergantung jenis tanaman dan lokasi budidayanya. Kelayakan usahatani beberapa tanaman obat telah diteliti antara lain jahe gajah, kunyit, temulawak, lengkuas, kencur, adas, cabe jamu, katuk dan kapulaga (SUDIARTO dan KEMALA, 2000). Kecuali kunyit, dan usahatani komoditas-komoditas memberikan angka B/C ratio di atas 1 atau menguntungkan. Demikian juga trend permintaan tanaman obat positif yang berkisar 8,26 – 62,67%. Sebagian besar simplisia tersebut tergolong tanaman semusim sehingga pasokan akan cepat dipenuhi apabila harganya menguntungkan petani.

Page 3: probklu03-20

Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

201

Beberapa simplisia yang diekspor adalah kapolaga, jahe, temulawak, temu ireng, bangle, lempuyang dan lain-lain. Dengan demikian lebih membuka peluang dan pengembangan sistim usahatani komoditas tersebut, secara swadaya petani maupun dengan menerapkan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), yaitu kerjasama antara petani penghasil dan perusahaan industri maupun pengekspor. Sistem usahatani dapat ditempuh melalui pola tanam yaitu secara :

• Monokultur, untuk jenis tanaman obat golongan temu-temuan yang dibutuhkan dalam volume besar

• Polikultur (tumpang sari, tanaman sela, tanaman lantai) untuk jenis tanaman obat yang dibutuhkan dalam volume kecil.

TEMU-TEMUAN SEBAGAI TANAMAN SELA

Dalam pemanfaatan tanaman sela, berbagai hal yang menyangkut aspek teknis, lingkungan dan sosial perlu diperhatikan, antara lain : (1) kompatibilitas antara tanaman pokok dan tanaman sela tidak ada pengaruh saling merugikan, (2) minimal dalam persaingan cahaya, air, hara dan C02, (3) tidak memi!ki hama dan penyakit yang sama dan (4) sedapatnya memiliki pengaruh yang saling menguntungkan dalam memenuhi kebutuhan hara dan di dalam menghindarkan serangan hama dan penyakit (WAHID, 1992), dan (5) jenis tanaman obat atau pangan dipilih yanq diminati petani dan dapat meningkatkan pendapatan petani, dan dapat berperan sebagai “cash crop” dari usaha tani komoditas uatama

Keluarga empon-empon atau temu-temuan (Zingiberaceae) dapat ditanam dalam polatanam monokultur maupun tumpangsari/ganda, baik dengan tanaman semusim maupun tanaman tahunan. Komoditas ini dapat digolongkan sebagai tanaman sela semusim, tetapi termasuk kelompok umur panjang karena dipanen pada umur kurang Iebih setahun sampai dua tahun. Sehingga dalam pengembangan diantaranya dapat ditanam jenis tanam sela lain, yaitu dan kelompok tanaman semusim umur pendek, yaitu tanaman yang dapat dipanen kurang Iebih umur 4 bulan (misalnya palawija, padi gogo, sayuran, tembakau). Polatanam demikian dikenal sebagai “Tumpangsari Ganda” atau “Multilevel Cropping” (Tabel 1.).

Tabel 1. Beberapa contoh kombinasi tumpangsari ganda (multilevel cropping) dari tanaman tahunan dan semusim (umur panjang dan pendek) di India

Tanaman Tahunan Tanaman sela I (Tan. umur panjang ± 1 th.)

Tanaman sela II (Tan. semusim umur pendek ± 3 bln.)

Kelapa dan Pinang Kunyit, jahe, lada, pisang, pepaya, ketela pohon, ubi, nenas

Kacang-kacangan, sayuran, wortel bit, jagung, bunga matahari, gandum

Kopi dan Teh Kunyit, jahe, nenas, pisang, ubi talas

Kacang-kacangan, gandum, bunga matahari

Pohon buah-buahan umur muda (mis. Mangga, Alpokad, Lechi)

Kunyit, jahe, pisang, papaya, anggur, ubi talas

Kacang-kacangan, bit, jagung, sayuran, bunga matahari

Pohon buah-buahan umur tua (mis. Mangga. Alpokad, Lichi, Jeruk)

Kunyit, jahe, papaya, ketumbar, ubi talas

Kacang-kacangan, jagung, ubi-ubian, bunga matahari

Sumber: RAM (1980)

Page 4: probklu03-20

Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

202

Peluang pengembangan temu-temuan diantara kelapa sawit cukup besar, karena intensitas naungan yang dapat ditolerir komoditas temu-temuan dapat mencapai 40% (PRIBADI et al.,2000). Tingkat intensitas naungan dan intensitas radiasi harus diperhatikan dalam pengembangan tanaman sela, karena penurunan intensitas radiasi menyebabkan lambatnya proses petumbuhan tanaman temu-temuan. Misalnya, budidaya kunyit di bawah tegakan kelapa memperlambat laju tumbuh tanaman atau juga menurunkan input energi pada pertumbuhan dan pengisian rimpang sampai 50%, sehingga produktivitas yang diperoleh hanya 68% (SATHEESAN dan RAMADASAR, 1980).

Kombinasi pertanaman temu-temuan di bawah kelapa, ternyata tidak menunjukkan pengaruh kompetisi terhadap faktor hara dan air, bahkan dengan pemupukan yang dilakukan untuk temu-temuan pada umumnya dapat meningkatkan produksi kelapa sampai 32% dan peningkatan pendapatan petani (Tabel 3 dan 4).

Tabel 2. Produksi kunyit dan jahe di bawah kelapa pada intensitas naungan 40%

Parameter Terbuka Di bawah tegakan kelapa

Penurunan produktivitas (%)

Produksi rimpang kunyit (ton/ha) 1 Indek panen (kunyit)

7,0 60,3

4,8 56,5

66,4

Produksi rimpang jahe gajah (ton/ha) 2 33,7 20,6 61,1 1 SATHEESAN dan RAMADASAR (1980), di India 2 JANUWATI, HERYANA dan LUNTUNGAN (2000), di Sukabumi

Tabel 3. Rataan produktivitas dan polatanam kelapa dan temu-temuan

Produksi tanaman KeIapa (butir/ha) Temu-temuan (ton/ha) No. Pola tanam

96/99 99/00 98/99 99/00 Rataan 1. Kelapa+ jahe 6.199,20 6.642,00 20,58 - 20,58 2. Kelapa+ kencur 3.842,40 6.494,40 4,10 6,37 5,24 3. Kelapa + temu awak 5.461,20 7.084,80 35,52 31,80 32,66 4. Kelapa+temu lreng 4.870,80 7.084,80 15,45 17,89 16,67 5 Kelapa + kunyit 6.199,20 7.527,60 17,55 27,66 22,61 6. Kelapa+ Ienekuas 7 822 80 6.642 00 16,70 16,52 16,61 7. Kelapa (monokultur) 3.837,60 5.756,40 - - -

Sumber: SUJARMOKO dan SRIWULAN (2002)

Tabel 4. Benefit Cost-Ratio dan masing-masing pola tanam

No Pola tanam Pendapatan rata-rata (Rp 000) B/C ratio 1. Kelapa+jahe 11.41020 210 2. Kelapa + kencur 3.67986 160 3. Kelapa + temu lawak 2,953,20 1,63 4. Kelapa + temu ireng 1.263,62 1,29 5. Kelapa + kunyit 5.096,86 2,15 6. Kelapa + Iengkuas 1.206,96 1,30 7. Kelapa (monokultur) 868,80 1,83

Sumber: SUJARMOKO dan SRIWULAN (2002)

Page 5: probklu03-20

Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

203

Untuk memperoleh gambaran produktivitas temu-temuan yang dikembangkan sebagai tanaman sela disampaikan beberapa hasil penelitian diantaranya:

• Tanaman kencur dan kunyit dapat dikembangkan di bawah tegakan tanaman sengon yang telah berumur 3 tahun. Jarak tanam kencur varietas besar 20 cm x 20 cm, sedang kunyit dengan jarak tanam 30 cm x 50 cm. Pupuk yang diberikan 150 kg Urea, 150 kg SP-36, 150 kg KCI dan 10 ton pupuk kandang per hektar. Produktivitas kencur 4-5 ton/ha lahan tanaman sengon sedangkan kunyit nya 4-7 ton/ha lahan tanaman sengon (JANUWATI dan YUSRON, 2000).

• Tanaman jahe dikombinasikari dengan cabe rawit yang ditanam di bawah tegakan sengon memberikan pendapatan yang cukup menguntungkan, dengan nilai B/C rasio 1.74. Tingkat produktivitas jahe cukup tinggi, yaitu 5-12 ton/ha, dan produksi cabe rawit diperoleh 0,8-1,5 ton/ha lahan pertanaman sengon (JANUWATI dan PRIBADI, 2000).

• Dari tumpangsari kunyit dan kencur dengan tanaman legum (kacang tanah, kacang hijau dan kacang tunggak) di bawah sengon umur 3 tahun di Boyolali, diperoleh produktivitas kencur ± 8.8 ton/ha kencur dan kacang tanah 1.24 ton/ha atau kacang hijau 1.15 ton/ha. Nilai B/C dan pendapatan petani tertinggi diperoleh pada pola tanam kencur + kacang tanah, yaitu 1.68, kemudian diikuti dan kombinasi kencur + kacang hijau dan kencur + kacang tunggak, yaltu 1.14 dan 1.19 (JANUWATI dan PRIBADI, 2000).

STRATEGI PENGEMBANGAN TEMU-TEMUAN DI LAHAN KELAPA SAWIT

Dalam upaya memanfaatkan temu-temuan sebagai tanaman sela berbagai hal perlu diantisipasi sejak awal. Diharapkan terdapat kompatibilitas (adanya kesesuaian) antara tanaman kelapa sawit dan temu-temuan. Kesesuaian disini menyangkut kebutuhan fisik tanaman temu-temuan dan tidak mengganggu tanaman kelapa sawit untuk dikembangkan di ekosistem daerah pengembangan kelapa sawit. Selain itu antara tanaman kelapa sawit dan temu-temuan tidak saling merugikan, seperti pengaruh negatif adanya alelopati, dan sebagainya.

Kompetisi atau persaingan antara tanaman kelapa sawit dengan temu-temuan pada dasarnya tidak dapat dihindari. Namun hendaknya dilakukan upaya memperkecil persaingan terhadap kebutuhan hara, air dan CO2, baik untuk kelapa sawit maupun temu-temuan.

Tanaman temu-temuan menghendaki tanah yang cukup gembur, dan tidak tahan genangan air, sehingga upaya perbaikan fisik dan kimia tanah, meliputi pemberian kapur, pemupukan (organik dan anorganik), pembuatan saluran drainase, akan memberikan pertumbuhan dan produksi rimpang yang optimum. Penentuan jenis temu-temuan hendaknya memperhatikan kebutuhan lingkungan tumbuhnya (Tabel 6). Oleh karena itu apabila kondisi lingkungan kurang sesuai perlu dilakukan modifikasi sehingga dicapai suatu tingkat toleran yang diinginkan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam budidaya temu-temuan diantara kelapa sawit antara lain:

lklim

Secara umum daerah dengan tipe iklim A, B dan C menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson adalah sesuai untuk pembudidayaan tanaman temu-temuan (SURATMAN et al., 1987). Namun demikian untuk mendapatkan gambaran secara lebih baik mengenai pengaruh beberapa faktor iklim

Page 6: probklu03-20

Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

204

secara parsial terhadap pertumbuhan tanaman temu-temuan perlu diketahui pula unsur-unsur iklim yang berpengaruh, antara lain :

a. Curah hujan

Peranan air dalam perkembangan umbi/rimpang sangat besar, sehingga apabila kekurangan akan sangat menghambat perkembangan umbi (WIROATMODJO, 1989). Menurut SURATMAN et al. (1987) bahwa tanaman temu-temuan tumbuh baik pada curah hujan antara 2.500-4.000 mm/th. Bobot rimpang yang dihasilkan meningkat dengan neningkatnya curah hujan.

Tabel 6. Kebutuhan lingkungan tumbuh beberapa jenis temu-temuan

Jenis tanaman Elevasi m (dpl)

Curah hujan mm/th

Periode kering (bulan)

Intensitas sinar (%)

Jenis tanah

Kemasaman tanah (pH) Drainase

Jahe merah, Jahe putih kecil

300-900 2000-3000

1-4 60-100 Latosol Andosol

5,5-6,5 Baik

Kencur 50-500 2000-3000

1-4 50-100 Latosol Andosol

5,0-6,0 Sedang

Kunyit 100-900 1500-3000

1-5 50-100 Latosol Andosol

PMK

5,0-6,0 Sedang

Temulawak 100-900 1500-3000

1-5 50-100 Latosol Andosol

PMK

5,0-6,0 Sedang

Kapolaga 300-900 2000-3000

1-4 40-60 Latosol Andosol

PMK

5,0-6,0 Sedang

Sumber: JANUWATI et al. (1996)

Dikemukakan bahwa untuk pertumbuhan optimal tanaman temu-temuan menghendaki 7-9 bulan basah sebelum stadia senescence. Sedang JANUWATI et al. (1992) mengemukakan bahwa kebutuhan air jahe setara dengan palawija, yaitu 5 mm/hari. Jadi untuk pengembangan sebaiknya dipilih daerah yang mempunyai sebaran air yang merata.

Untuk daerah yang sebaran hujan yang jarang atau daerah kurang basah sangat dianjurkan menggunakan pupuk kandang dengan dosis tinggi (lebih dari 20 ton/ha), karena pupuk kandang mempunyai kapasitas memegang air yang tinggi sehingga tanaman tidak kekurangan air. Dengan demikian penyiraman dapat diperjarang. Selain itu penggunaan mulsa (jerami, sekam dan lain-lain) dapat dianjurkan karena dapat menekan kehilangan air dalam tanah (JANUWATI dan SURMAINI, 1999) dan cara tanamnya menggunakan sistem bedengan (lebar 120 cm) bukan dengan sistem guludan, yaitu lebar 40 cm (JANUWATI et al., 1999).

Page 7: probklu03-20

Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

205

b. Ketinggian tempat

Ketinggian yang optimum bagi pertumbuhan dan produksi temu-temuan adalah 100-900 m dpl. (ANONYMOUS, 1980). Optimal tinggi tempat ini erat hubungannya dengan derajat suhu yang juga sangat berpengaruh terhadap laju berbagai proses fisiologik tanaman.

c. Intensitas cahaya

Tanaman temu-temuan termasuk tanaman senang matahari karena selama pertumbuhan tanaman menghendaki banyak sinar matahari (SUDIARTO, 1978). Sehingga keadaan ternaungi akan terjadi penurunan produktivitas tanaman. Intensitas naungan yang dapat ditolerir temu-temuan adalah sampai 40%.

d. Suhu udara

Kisaran suhu yang memungkinkan pertumbuhan temu-temuan optimum adalah 25-30°C (TOMIOKA, 1974). Temperatur di atas 35°C akan menghanguskan daun, kemudian daun mengering. Sedangkan makin rendah suhu maka umur tanaman temu-temuan akan semakin panjang (HADAD et al., 1989).

Lingkungan perakaran

Faktor-faktor lingkungan di bawah tanah yang patut mendapat perhatian dalam pengelolaan dan budidaya temu-temuan antara lain jenis tanah, tekstur dan struktur, ketersediaan hara, keasaman tanah (pH), kedalaman tanah, kelembaban tanah dan drainase.

Tanah yang sesuai adalah yang mempunyai struktur gembur dan subur. Tekstur lempung berpasir, liat berpasir, dimana perbandingan fraksi liat, pasir dan debu berimbang. Bahan organik tinggi dan drainase balk. Jenis tanah hatosol, andosol, grumosol atau podsolik merah kuning.

Tanaman temu-temuan dapat tumbuh pada keasaman tanah (pH) 4.3-7.4, tetapi pH optimum untuk temu-temuan adalah 6.8-7.0. Pemberian kapur pertanam 1-3 ton/ha, memberikan produksi rimpang lebih besar dengan kulit lebih mengkilap (BALITTRO, 1991).

Kelembaban tanah (jumlah air) yang tersedia bagi tanaman sangat berpengaruh pada pertumbuhan temu-temuan. Kekurangan air akan memperlambat pertumbuhan vegetatif dan akhirnya sangat mempengaruhi produksi rimpang baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Cekaman air dapat menyebabkan daun dan batang menjadi layu dan akhirnya mengering, bahkan mati. Tanaman berumur muda Iebih peka terhadap kekurangan air, sehingga dapat mengakibatkan kegagalan pembentukan rimpang.

Pembibitan

Rimpang untuk bahan bibit sebaiknya ditumbuhkan (disemaikan) terlebih dahulu dengan maksud agar keluar tunas-tunasnya dan pertumbuhan tanaman di lapangan akan serentak dan seragam. Caranya dengan menyimpan bahan rimpang di tempat yang teduh dan cukup lembab.

Page 8: probklu03-20

Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

206

Pengolahan tanah

Pengolahan tanah dilakukan agar diperoleh keadaan tanah yang gembur dengan cara menggarpu dan mencangkul tanah sedalam ± 30 cm. Tanah hendaknya dibersihkan dan ranting-ranting dan sisa-sisa tanaman yang sukar lapuk.

Untuk tanah yang mempunyai lapisan olah tipis, pengolahan tanahnya harus hati-hati disesuaikan dengan lapisan tanah tersebut dan jangan dicangkul atau digarpu terlalu dalam sehingga tercampur antara lapisan olah dengan lapisan tanah bawah, hal ini dapat mengakibatkan tanaman kurang subur tumbuhnya.

Saluran drainase harus diperhatikan, terutama pada lahan yang datar jangan sampai terjadi genangan (drainase kurang baik) sehingga memacu berkembangnya bibit penyakit terutama layu bakteri.

Penggunaan aIas sekam 5 ton/ha dapat dianjurkan terutama apabila tanahnya kurang porous sehingga dapat meningkatkan kegemburan tanah dan dapat memperbesar diameter rimpang (WIROATMODJO, 1989).

Penanaman

Jarak tanam disesuaikan dengan jenis tanaman misalnya jahe dianjurkan 60-80 cm antar baris dan 30-40 cm dalam baris, umumnya 40 x 60 cm, kencur 20 x 20 cm, kunyit atau temulawak 50 cm x 75 cm dan kapolaga 1 x 1 m. Dimaksudkan agar dalam pembumbunan tidak mengalami kesu!itan.

Penanaman dapat dilakukan secara bedengan maupun guludan, disesuaikan dengan kondisi lahan. penanaman secara bedengan paling banyak dijumpai pada waktu sekarang ini, dimaksudkan agar drainase optimum.

Pemupukan

Tanaman temu-temuan banyak menyerap unsur hara, oleh karena itu pemupukan diperlukan terutama di lahan yang kurang subur/miskin hara.

Pengapuran dilakukan terutama pada tanah dengan pH < 5 dianjurkan penggunaan 1-3 ton kaptan/ha, sehingga diperoleh tanah déngan pH ± 7 (netral).

Pupuk dasar meliputi pupuk kandang, pupuk P dan K. Pupuk kandang diberikan seminggu sebelum tanam, SP36 dan KCI diberikan seluruhnya pada saat tanam. Dosis pemupukan tergantung pada jenis temu-temuan.

a. Pupuk kandang: 20-40 ton/ha, untuk semua jenis temu-temuan, yang diberikan pada setiap penanaman. Sebaiknya pupuk kandang sapi atau domba yang sudah matang. Peranan pupuk kandang dalam peningkatan bobot rimpang produksi temu-temuan per rumpun sangat nyata (BARUS et al., 1989).

b. Pupuk P: 200-500 kg/ha SP-36.

c. Pupuk K: 200 - 500 kg KCI/ha.

d. Dosis pupuk N untuk temu-temuan adalah 200 - 500 kg urea/ha. Cara pemberiannya minimaI diberikan menjadi 3 kali. Pemupukan pertama pada saat tanaman sudah mencapai 3-4 anakan,

Page 9: probklu03-20

Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

207

yaitu pada umur 1-2 bulan. Pemupukan kedua dan ketiga diberikan selang sebulan tiap pemberian.

Pemeliharaan

Pemeliharaan perlu dilakukan agar tanaman dapat tumbuh dengan baik antara lain meliputi penyiangan gulma, penyulaman dan pembumbunan.

Sampai tanaman berumur 6-7 bulan banyak tumbuhan gulma, maka harus dijaga di sekitar perakaran harus bersih dari gulma. Penyiangan dilakukan dengan hati-hati agar akar tanaman tidak terputus. Penyiangan ini dilakukan 3-5 kali. Untuk mengurangi gangguan gulma dapat digunakan mulsa tebal dan jerami sebanyak 10 ton/ha bobot segar setelah tanam. Hal ini dapat meningkatkan bobot rimpang segar sebesar 35%, demikian juga mulsa sekam yang tebal (5-10 cm) sangat efektif menekan gulma dan mengurangi intensitas pembumbunan. Mulsa dihamparkan terutama di sepanjang barisan bibit yang baru ditanam, agar tanah tetap lembab dan tunas yang baru tumbuh agak terlindungi. Tetapi untuk daerah yang berdrainase kurang baik penggunaan mulsa tebal tersebut tidak dianjurkan karena dapat mendorong timbulnya serangan penyakit terutama penyakit layu bakteri. Penggunaan herbisida pra tumbuh dapat menekan gulma sampai 2 bulan saja, hal ini dapat dianjurkan karena dapat mengurangi biaya produksi (BALITTRO, 1991).

Menyulam tanaman yang tidak tumbuh atau mati dilakukan sampai 1-1.5 bulan setelah tanam dengan memakai bibit cadangan agar pertanaman seragam.

Pembumbunan mulai dilakukan pada waktu telah terbentuk rumpun dengan 4-5 anakan, maksudnya agar rimpang muncul dapat selalu ditutup dengan tanah. Pembumbunan harus dilakukan agar rimpang yang terbentuk di atas bibit dapat tumbuh dengan baik, sehingga dapat mempertahankan mutu rimpang. Disamping itu dengan dilakukan pembumbunan maka drainase di sepanjang barisan tanaman selalu terkontrol.

Pengendalian hama dan penyakit

Hama-hama yang menyerang pertanaman temu-temuan antara lain:

a. Ulat Daun. Menggerek daun tua dan muda. Pemberantasan dilakukan dengan penyemprotan diazinon, monocrotophos, dan lain-lain.

b. Ulat Tanah. Menggerek pangkal batang sehingga tampak tanam menjadi layu dengan tiba-tiba. Dengan tanda kalau tajuk ditarik akan mudah lepas dan nampak di pangkal batang bekas digerek. Pemberantasan dengan carbofuran.

c. Lalat Penggerek Rimpang (Mimegralla coereleifrons Macq.). Menggerek masuk ke dalam rimpang sehingga nampak terjadi pembusukan pada rimpang. Ulat ini adalah larva dan lalat rimpang yang merupakan hama gudang (WIKARDI dan BALFAS, 1989). Pemberantasan ulat ini dengan insektisida sistemik, misalnya carbofuran.

d. Nematoda Rimpang (Radopholus similis). Nematoda ini merusak rimpang sehingga menjadi busuk, warna rimpang’ kehitam-hitaman. Pemberantasan dengan carbofuran. Adanya serangan nematoda ini memudahkan serangan penyakit.

e. Layu Bakteri (Pseudomonas zingiber). Penyakit layu bakteri merupakan penyakit yang paling berbahaya dan dapat mengakibatkan kegagalan panen, terutama pada jahe. Penyakit ini dapat

Page 10: probklu03-20

Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

208

terbawa atau melalui bibit dan juga dan lokasi penanaman. Tanaman yang terserang harus segera dicabut dan dibakar. Pengembangan penyakit ini sangat cepat. Bekas lubang tanam diberi kapur, tindakan isolasi pertanaman yang sakit perlu dilakukan. Maka tindakan pencegahan yang dianjurkan adalah:

• Menggunakan bibit yang sehat dan kebun yang diawasi.

• Melakukan seleksi bibit secara ketat.

• Jangan menanam temu-temuan di areal yang pernah terjangkit penyakit ini selama 3-4 tahun.

• Melakukan rotasi tanaman dengan tanaman yang bukan inang penyakit layu.

f. Bercak Daun (Phylosticta zingiber). Penyakit ini menimbulkan bercak daun yang berwarna putih. Pada tingkat serangan tinggi daun kelihatan rusak, menguning, mengecil dan daun muda yang baru muncul akan menampak gejala khlorosis. Penyakit bercak daun ini dapat dicegah dengan manzoceb, benomyl, dan lain-lain, sedang pada serangan yang serius dilakukan penanggulangan dengan menambah interval penyemprotan 2x seminggu sampai tidak nampak gejala serangan lagi.

KESIMPULAN

Peningkatan industri obat asli Indonesia meningkatkan peluang pengembangan tanaman temu-temuan. Pengembangan tersebut perlu didukung dengan iptek dan peningkatkan potensi masyarakat, sehingga diharapkan dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi.

Tanaman temu-temuan dapat dibudidayakan baik dengan pola monokultur maupun polikultur. Dengan sifat tanaman temu-temuan yang toleran terhadap naungan sampai 40%, memberikan peluang pengembangannya di bawah tegakan kelapa sawit (TBM). Namun, dalam pemilihan jenis harus memperhatikan syarat tumbuh temu-temuan dan serapan pasarnya.

Upaya perbaikan fisik lahan harus dilakukan dengan modifikasi sehingga diperoleh tingkat toleran yang diinginkan, dan diperoleh kondisi pertumbuhan dan produksi rimpang yang optimum pada ekosistem kelapa sawit. Teknik budidaya temu-temuan yang benar harus diperhatikan agar diperoleh tingkat produksi yang tinggi, dapat memberikan tingkat keuntungan tinggi, sehingga usahatani polikultur layak diterapkan.

DAFTAR PUSTAKA

ANONYMOUS. 1999. What’s old is new again. Interactions. Majalah Alumni University of Michigan, College of Pharmacy.

ANONYMOUS. 1980. The Philippines recommends for ginger. Philippine Council for Agric. and Research, Los Banos, Laguna. Philippines.

BALITTRO. 1991. Laporan Penelitian Perakitan Teknologi Tepat Guna Tanaman Temu-temuan menunjang Intensifikasi Tanaman Obat di Jawa Tengah. BALITTRO – ARM. 36 hal.

BALITTRO. 1999. Program Penelitian Tanaman Obat dan Atsiri. Penyusunan Prioritas dan Design Program Penelitian Tanaman Industri. Bogor, 10-11 Maret 1999. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

Page 11: probklu03-20

Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

209

BARUS, A, SANTOSA dan SUDIARTO. 1990. Pengaruh pupuk kandang terhadap pertumbuhan dan produksi jahe gajah. Prosiding Simposium Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Bogor, 25-27 Juli 1989. pp. 857-859.

DITWASKES. 2000. Konsep Pengembangan Obat Asli Indonesia. Jakarta, 29 Pebruari 2000.

DITWASKES. 1998. Data Pemakaian Simplisia Dalam dan Luar Negeri. Direktorat Pengawasan Obat Tradisional. Ditjen POM.

HADAD E.A., E. PRIBADI R., TARYONO dan 0. Rostiana. 1989. Pertumbuhan dan hasil jahe pada ketinggian tempat yang berbeda. Bull. Perhimpi Vol. I No.1.

JANUWATI., M., dan E. SURMAINI. 1999. Manipulasi permukaan tanah untuk meningkatkan efisiensi serapan hara, produktivitas dan mutu rimpang jahe. Lap. Tek. BALITTRO. 1997/1998 : 89 – 94.

JANUWATI., M., E. SURMAINI dan N. HERYANA. 1999. Manipulasi permukaan tanah untuk meningkatkan efisiensi serapan hara, produkstifitas dan mutu rimpang jahe. Lap. Tek. 1998/1999. BALITTRO.

JANUWATI, M., R. ROSMAN DAN EMMYZAR. 1996. Pemanfaatan Tanaman Obat Sebagai Tanaman Sela. Prodising Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat. Bogor, 28-29 Nopember 1995, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. pp.185-195

JANUWATI, M. dan E.R. PRIBADI. 2000. Usahatani pola tumpangsari temu-temuan dan kacang-kacangan di bawah tegakan hutan rakyat. Makalah Temu Usaha Tanaman Obat. Diselenggarakan oleh Ditjen Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial di Semarang, 8 Nopember 2000. I8p.

JANUWATI, M., N. HERYANA dan H.T LUNTUNGAN. 2000. Pertumbuhan Prodksi jahe gajah (Zingiber officinale var officinale Rosc) sebagai tanaman sela diantara tegakan pohon kelapa (Cocos nucifera L). J. Habitat, Faperta Unibraw. 8(3): 65-70

JANUWATI, M., J. WIROATMODJO dan IKHA DEWI. 1992. Pengaruh jenis pupuk dan tingkat pemupukan N terhadap pertumbuhan dan produktivitas jahe (Z. Officinale Rosc.) var. Badak. Bul. Argon. IPB XX (3) : 61-71.

JANUWATI, M., dan M. YUSRON. 2000. Usaha tani temu-temuan di bawah tegakan hutan rakyat di sentra produksi tanaman obat di jawa Tengah. Prosiding Kongres Nasional Obat Tradisonal Indonesia dalam Menuju Pemanfaatan Obat Tradisonal Dalam Pelayanan Kesehatan di Surabaya, 20-22 Nopember 2000. hal 289 – 294.

PRIBADI, E.R., M. JANUWATI dan M. YUSRON. 2000. Potensi tanaman obat sebagai tanaman sela di bawah tegakan hutan rakyat. Prosiding Simposium Nasional dan Kongres VII PERAGI, Bogor, 21-23 Maret 200. pp. 336-344.

RAM, M. 1980. High Yielding Varieties of Crops. Mohan Primlani, Oxford & IBH, New Delhi. 676p.

SATHEESAN K.V and A. RAMADASAR. 1980. Growth and productivity of tumeric grown as a pure and as an intercrop in coconut garden. Proceeding of National Seminar on Ginger and Tumeric. Calicut, Kerala, India, April 8-9: 69-75

SUDIARTO. 1978. Petunjuk Bercocok Tanam Jahe. Circular No. 29. Lembaga Penelitian Tanaman Industri.

SUDIARTO. 1978. Budidaya tanaman jahe di Indonesia dan penelitian beberapa aspek budidaya LPTI, Bogor, 17 hlm.

SUDIARTO, ABISONO dan ONDARI. 1974. Pedoman Bercocok Tanam Temulawak. Balittro, Bogor.

SUDIARTO dan M. RAHARDJO. 2003. Membangun agribisnis berbasis tanaman obat melalui teknologi berorientasi mutu. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Vol. 9/1. Juni 2003.

SUDIARTO dan S. KEMALA. 2000. Tumbuhan dan tanaman obat yang prospektif untuk dikembangkan. Dalam Hutan dan Kebun Sebagai Sumber Obat Nasional. Litbang Hutbun.

Page 12: probklu03-20

Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi

210

SUJARMOKO, B. dan I. SRIWULAN. 2002. Polatanam kelapa dengan tanaman temu-temuan. Warta Litbang Tantri, 8(1): 16-18.

SURATMAN, E. JAUHARI, E.M. RAHMAT dan SUDIARTO. 1987. Petunjuk Bercocok Tanam Jahe. Circular No. 39. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 33 hlm.

TOMIOKA, Y. 1974. Recommendations for the growing of cucumber and ginger in the Philippines and the processing of salted products for export to Japan. Tokai Tsukemoto Mfg. Co. Ltd. Publication.

WIKARDI, E.A. dan R. BALFAS. 1989. Lalat rimpang pada tanaman jahe. Simposium I Hasil-hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Bogor, 25-27 Juli 1989. pp. 882-887

WIROATMODJO, J. 1989. Upaya agronomi untuk ukuran jahe (Zingiber officinale Rosc.) yang memenuhi permintaan ekspor. Seminar Hasil-hasil Penelitian IPB, yang dibiayai oleh Ditbinletabnas, Bogor, 12-13 Juni 1989.

WAHID, P. 1992. Peningkatan intensitas tanaman melalui tanaman sela dan campuran. Prosiding Temu Usaha Pengembangan Hasil Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Jakarta, 2-3 Desember 1992, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

DISKUSI

Pertanyaan:

1. Mohon dapat diluruskan pengertian: hasil, produksi dan produktivitas. Dalam makalah ini penulis mencampur-adukkan pengertian-pengertian tersebut

2. Penggunaan pupuk kandang > 20 ton/ha (hal 8) untuk setiap periode penanaman atau setiap tahun atau hanya satu kali pemberian? Apakah angka tersebut berlaku untuk setiap jenis tanah?

3. Daftar Pustaka mohon dapat dicek kembali

Editing:

1. Pada halaman 4 tertulis:”Sehingga dalam pengembangan diantaranya dapat ditanam jenis tanaman sela lain dan kelompok tanaman semusim umur pendek, yaitu tanaman yang dapat dipanen kurang lebih umur 4 bulan (misalnya palawija, padi gogo, sayuran, tembakau. Berapa bulan umur tembakau apakah 4 bulan?

2. Tabel 3, 4 dan 5 sebaiknya disebutkan sumbernya.

3. Nama-nama merk dagang dalam makalah ini sebaiknya diganti dengan nama bahan aktif

4. Daftar Pustaka mohon dapat dicek kembali