print.docx

15
Nama : Rizqi Alvira Rachma Putri No. Absen : 28 Kelas : X IIS 1 A. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional Bank Syariah 1. Islam memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah SWT sehingga cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai ajaran Islam 2. Bank syariah mendorong nasabah untuk mengupayakan pengelolaan harta nasabah (simpanan) sesuai ajaran Islam 3. Bank syariah menempatkan karakter/sikap baik nasabah maupun pengelolaan pada posisi yang sangat penting dan menempatkan sikap akhlakul karimah sebagai sikap dasar hubungan antara nasabah dan bank 4. Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip kesederajatan dan prinsip ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah atas jalannya usaha bank syariah 5. Prinsip bagi hasil: Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi Besarnya nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan Tidak ada yang meragukan keuntungan bagi hasil

Upload: alvira-sich-sone-yoonique

Post on 12-Jan-2016

6 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: print.docx

Nama : Rizqi Alvira Rachma Putri

No. Absen : 28

Kelas : X IIS 1

A. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional

Bank Syariah

1. Islam memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah SWT

sehingga cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai ajaran Islam

2. Bank syariah mendorong nasabah untuk mengupayakan pengelolaan harta nasabah

(simpanan) sesuai ajaran Islam

3. Bank syariah menempatkan karakter/sikap baik nasabah maupun pengelolaan pada posisi

yang sangat penting dan menempatkan sikap akhlakul karimah sebagai sikap dasar hubungan

antara nasabah dan bank

4. Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip

kesederajatan dan prinsip ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah

atas jalannya usaha bank syariah

5. Prinsip bagi hasil:         Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi         Besarnya nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang

diperoleh         Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah

pendapatan         Tidak ada yang meragukan keuntungan bagi hasil         Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek

itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak

  Bank Konvensional

1. Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah diantaranya memperoleh hasil yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga

Page 2: print.docx

pinjaman (mengoptimalkan interest difference). Dilain pihak kepentingan pemakai dana (debitor) adalah memperoleh tingkat bunga yang rendah (biaya murah). Dengan demikian terhadap ketiga kepentingan dari tiga pihak tersebut terjadi antagonisme yang sulit diharmoniskan. Dalam hal ini bank konvensional berfungsi sebagai lembaga perantara saja

2. Tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakang

3.Sistem bunga:         Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank         Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.         Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik         Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi

Pebandingan Paradigma Bank Syariah dan Bank Konvensional

FAKTOR BANK KONVENSIONAL BANK SYARIAH

Hubungan bank

dengan nasabahInvestor dengan investor Kreiditur dan debitur

Sistem pendapata

nusahaBunga, Fee Bagi hasil, Marjin, Fee

OrganisasiTidak terdapat struktur pengawasan

syariah

Terdapat struktur pengawasan syariah

yaitu Badan Pengawas Syariah

Penyaluran

PembiayaanLiberal untuk tujuan keuntungan

Adanya batasan-batasan,

memperhatikan unsur moral dan

lingkungan.

Tingkat risiko

umum

dalam usaha

Risiko menengah-tinggi karena

adanya transaksi spekulasi

Risiko menengah-rendah karena

malarang transaksi spekulasi

Penanggung

resikoinvestasiSatu sisi hanya pada bank

Dua sisi yaitu bank dan nasabah

(deposan maupun debitur).

Selain perbedaan paradigma, terdapat pula perbedaan dasar kegiatan usaha bank konvensional dan bank syariah :

Page 3: print.docx

Tabel Perbedaan Dasar Kegiatan Usaha Perbankan Syariah dan Konvensional

Dasar Kegiatan usahaBank

KonvensionalBank Syariah Keterangan

Kredit (bunga) √Penyaluran kredit atau

peneneman dana lainnya.

Pembiayaan (bagi hasil) √Prinsip mudharabah dan

musyarakah

Jual Beli √ Prinsip bai / salam

Sewa-beli √ Prinsip ijarah

Simpanan dana (bunga) √ Deposito, tabungan, atau giro

Investasi dana (bagi hasil) √Investasi tidak terbatas,

deposito, tabungan , giro.

Investasi terbatas/khusus √

Prinsip mudharabah muqayadah

‘1’

Jasa perbankan √ √

Prinsip ujrah (bank

syariah), fee base income(bank

konvensional)

B. Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional

1. KonsepAsuransi Syariah: Sekumpulan orang yang saling bantu membantu, saling menjamin, dan bekerja sama antara satu dengan yang lainnya, dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru`Asuransi Konvensional: Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan pergantian kepada tertanggung.

2. Asal UsulAsuransi Syari’ah: Dari Al-Aqilah, kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang. Kemudian disyahkan oleh Rasulullah menjadi hukum Islam, bahkan telah tertuang dalam konstitusi pertama di dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung RasulullahAsuransi Konvensional: Dari masyarakat Babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Dan tahun 1668 M di Coffe House London beracdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.

3. Sumber Hukum

Page 4: print.docx

Asuransi Syari’ah: Bersumber dari wahyu Ilahi. Sumber hukum dalam syariah Islam adalah Al-Qur`an, Sunnah atau kebiasaan rasul, Ijma`, Fatwa Sahabat, Qiyas, Istihsan, `Urf (tradisi), dan Mashalih Mursalah.Asuransi Konvensional: Bersumber dari pikiran manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum alami dan contoh sebelumnya

4. MAGRIB (maisir, gharar, riba)Asuransi Syari’ah: Bersih dari adanya praktek Gharar, Maisir, dan RibaAsuransi Konvensional: Tidak selaras dengan syariah Islam karena adanya Maisir, Gharar dan Riba; Hal yang diharamkan dalam muamalah

5. Dewan Pengawas SyariahAsuransi Syari’ah: Ada, yang berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktek-praktek muamalah yang bertentang dengan prinsip-prinsip syariahAsuransi Konvensional: Tidak ada, sehingga dalam banyak prakteknya bertentangan dengan kaidah-kaidah syara`

6. AkadAsuransi Syari’ah : Akad tabarru` dan akad tijarah (mudharabah, wakalah, wadiah, syirkah, dan sebagainya)Asuransi Konvensional: Akad jual beli (akad mu`awadah, akad idz`aan, akad gharar, dan akad mulzim)

7. Jaminan RiskAsuransi Syari’ah: Sharing of Risk, saling menanggung antara satu peserta dengan peserta lainnya (ta`awun)Asuransi Konvensional: Transfer of Risk dari tertanggung kepada penaggung

8. Pengelola danaAsuransi Syari’ah: Pada produk-produk saving (life) terjadi pemisahan dana, yaitu dana tabarru` (derma) dan dana peserta, sehingga tidak mengenal istilah dana hangus. Sedangkan untuk term insurance (life) dan general Insurance semuanya bersifat tabarru`.Asuransi Konvensional: Tidak ada pemisahan dana, yang berakibat pada terjadinya dana hangus (untuk produk saving – life).

9. InvestasiAsuransi Syari’ah: Dapat melakukan investasi sesuai ketentuan perundang-undangan, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Bebas dari riba dan tempat-tempat investasi yang terlarang

Page 5: print.docx

Asuransi Konvensional: Bebas melakukan investasi dalam batas-batas ketentuan perundang-undangan, dan tidak terbatasi pada halal dan haramnya obyek atau sistem investasi yang digunakan

10.Kepemilikan danaAsuransi Syari’ah: Dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau kontribusi, merupakan milik peserta (shohibul mal), asuransi syariah hanya sebagai pemegang amanah (mudharib) dalam mengelola dana tersebut.Asuransi Konvensional: Dana yang terkumpul dari premi peserta seluruhnya menjadi milik perusahaan. Dan perusahaan bebas menggunakan dan menginvestasikan kemana saja.

11. Unsur premiAsuransi Syari’ah: Iuran atau kontribusi terdiri dari unsur tabarru` dan tabungan (yang tidak mengandung unsur riba). Tabarru` juga dihitung dari tabel mortalita, tetapi tanpa perhitungan bunga tehnik.Asuransi Konvensional: Unsur premi terdiri dari: tabel mortalita (mortality tables), bunga (interest), biaya-biaya asuransi (cost of insurance)

12. LoadingAsuransi Syari’ah: Pada sebagian asuransi syariah loading (komisi agen) tidak dibebankan pada peserta tapi dari dana pemegang saham, tapi sebagian yang lainnya mengambilkan dari sekitar 20-30 persen saja dari premi tahun pertama. Dengan demikian nilai tunai tahun pertama sudah terbentukAsuransi Konvensional: Loading pada asuransi konvensional cukup besar terutama diperuntukkan untuk komisi agen, bisa menyerap premi tahun pertama dan kedua. Karena itu nilai tunai pada tahun pertama dan kedua biasanya belum ada (masih hangus).

13. Sumber Pembayaran KlaimAsuransi Syari’ah: Sumber pembayaran klaim diperoleh dari rekening tabarru`, dimana peserta saling menanggung satu sama lainnya. Jika salah satu peserta mendapat musibah, maka peserta lainnya ikut menanggung bersama resiko tersebutAsuransi Konvensional: Sumber biaya klaim adalah dari rekening perusahan, sebagai konsekwensi penanggung terhadap tertanggung. Murni bisnis dan tidak ada nuansa spiritual

14. Sistem AkuntansiAsuransi Syari’ah: Menganut konsep akuntansi cash basis, mengakui apa yang benar-benar telah ada, sedangkan accrual basis dianggap bertentang dengan syariah karena

Page 6: print.docx

mengakui adanya pendapatan, harta, beban atau hutang yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Sementara apakah itu benar-benar dapat terjadi hanya Allah yang tahu.Asuransi Syari’ah: Menganut konsep akuntansi cash basis, mengakui apa yang benar-benar telah ada, sedangkan accrual basis dianggap bertentang dengan syariah karena mengakui adanya pendapatan, harta, beban atau hutang yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Sementara apakah itu benar-benar dapat terjadi hanya Allah yang tahu.

15. KeuntunganAsuransi Syari’ah:Profit yang diperoleh dari surplus underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi, bukan seluruhnya menjadi milik perusahaan, tetapi dilakukan bagi hasil (mudharabah) dengan pesertaAsuransi Konvensional: Keuntungan yang diperoleh dari surplus underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi seluruhnya adalah merupakan keuntungan perusahaan.

16. Misi dan VisiAsuransi Syari’ah: Misi yang diemban dalam asuransi syariah adalah: Misi aqidah, misi Ibadah (ta`awun), misi Iqtishodi (ekonomi), dan misi pemberdayaan ummat (social)Asuransi Konvensional: Secara garis besar misi utama dari asuransi konvensional adalah misi ekonomi dan misi social.

C. Hukum Tentang Asuransi

A . Pandangan Ulama’ yang Mengharamkan Asuransi

Dalam pemilahan pendapat seperti ini dilakukan agar dapat menggambarkan secara tegas

mana Ulama yang mengharamkan adanya Asuransi. Pendapat yang pertama yaitu segala asuransi

dalam segala aspeknya adalah haram, termasuk Asuransi Jiwa, Asuransi Sosial, Maupun

Asuransi Komersial. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Ulama seperti Sayid Sabiq

(pengarang Fiqh as-Sunnah), Abdullah Al- Qalqili (Mufti Yordan), Muhammad Yusuf Qordawi

(pengarang al-Halal wa al-Haram fi al-Islam), dan Muhammad Bakhit Al-Muth’i (Mufti Mesir).

Menurut pandangan kelompok ini asuransi diharamkan karena beberapa alasannya diantara lain

adalah:

1. Asuransi mengandung unsur perjudian (Maisyir) yang dilarang dalam Islam.

2. Asuransi mengandung ketidak pastian (Gharar).

3. Asuransi mengandung unsur riba/ranten yang secara jelas dan tegas dlarang dalam

Islam.

Page 7: print.docx

4. Asuransi bersifat eksploitasi karena jika peserta tidak sanggup melanjutkan

pembayaran premi sesuai dengan perjanjian maka premi hangus/ hilang atau

dikurangi secara tidak adil (peserta dizalimi).

5. Premi-premi yang sudah dibayarkan seringkali akan diputar dalam praktik-praktik

riba.

6. Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang yang bersifat tidak

tunai (akad sharf).

7. Pada Asuransi Jiwa menjadikan hidup/mati seseorang sebagai obyek bisnis, yang

berarti mendahului takdir Allah (Anshori, 2008:10).

Selain itu juga, menurut pandangan Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah jilid 3, menyatakan

bahwa asuransi tidak termasukMudharabah yang shahih, melainkan mudharabah yang fasidyang

tentu hukumnya secara syarak bertentangan dengan hukum akad asuransi, ditinjau dari segi

undang-undang. Hal ini terjadi karena tidak mungkin dapat dikatakan bahwa perusahaan

(syirkah) menyumbang orang yang mengasuransikan dengan pembayaran. Akad asuransi ditinjau

dari segi aturan mainnya adalah akad perolehan berdasarkan perkiraan (Anshori, 2008:11).

Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i, Mufti Mesir, ketika ia diminta oleh rezim Ottoman

untuk memberikan pendapatnya mengenai persoalan ini. Surat yang berisikan jawabannya

dicetak dan diterbitkan oleh Nile Press di Mesir pada tahun 1324 H (1906 M). Menurut dia, uang

jaminan untuk harta dimungkinkan dalam salah satu dari dua hal: dalam kasus kafalah

(pemberian uang jaminan) atau dalam kasus kerusakan pada harta. Syarat-syarat pada kafalah

tidak berlaku bagi kontrak asuransi, karena kerusakan pada harta yang diasuransikan bukan

disebabkan oleh perusahaan asuransi. Tidak ada alasan untuk membebankan

pertanggungjawaban atas perusahaan asuransi jika harta yang diasuransikan hilang, terutama

karena sebab-sebab pertanggungjawabannya tidak cukup menurut hukum Islam. Maka, ia

mengambil argumen yang diajukan oleh Ibn ‘Abidin dan berpendapat bahwa kontrak asuransi

tidak berlaku, karena perusahaan asuransi atau pengusaha asuransi asing memikul sendiri hal

yang tidak mengikatnya menurut hukum Islam. (Muslehuddin, 1999:152)

Mahdi Hasan, Mufti India, melarang praktik asuransi dikarenakan:

1. Asuransi tak lain adalah riba berdasarkan kenyataan bahwa tidak ada kesetaraan

antara dua pihak yang terlibat, padahal kesetaraan demikian wajib adanya.

Page 8: print.docx

2. Asuransi juga adalah perjudian, karena ada penggantungan kepemilikan pada

munculnya risiko.

3. Asuransi adalah pertolongan dalam dosa, arena perusahaan asuransi, meskipun

milik negara, toh merupakan institusi yang mengadakan transaksi dengan riba.

4. Dalam asuransi jiwa juga ada unsur penyuapan (risywah), karena kompensasi di

dalamnya adalah untuk sesuatu yang tidak dapat dinilai. (Ali, 2004:143)

Hasan Ali dalam bukunya menuliskan, bahwa alasan utama pengharaman

Asuransi, menurut Masjfuk Zuhdi, yaitu premi-premi yang telah dibayarkan oleh

para pemegang polis diputar dalam prektik riba. (2004:142)

B. Pandangan Ulama’ yang Menghalalkan Asuransi

Sedangkan Ulama yang menyatakan bahwa asuransi hukumnya halal atau diperbolehkan

dalam Islam dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf (pengarang Ilmu Ushul al-Fiqh), Mustafa

Ahmad Zarqa (Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syariah Universitas Syiria), Muhammad

Yusuf Musa (Guru Besar Hukum Islam di Universitas Cairo Mesir), Muhammad Nejatullah

Siddiq, dan Abdurahman Isa (pengarang kitab al-Muamallah al-Haditsah wa Ahkamuha).

Adupun beberapa alasan yang mereka kemukakan yaitu:

1. Tidak ada nash (al-Qur’an dan Sunnah) yang secara jelas dan tegas melarang

kegiatan asuransi.

2. Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak baik penanggung maupun

tertanggung.

3. Saling menguntungkan kedua belah pihak

4. Asuransi dapat berguna bagi kepentingan umum, sebab premi yang terkumpul

dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan. Atau

dengan kata lain lemaslahatan dari usaha asuransi lebih besar dari pada

mudharatnya.

5. Asuransi dikelola berdasarkan akad mudharabah (bagi hasil).

6. Asuransi termasuk kategori koperasi (Syirkah Taawuniyah), usaha bersama yang

didasarkan pada prinsip tolong-menolong.

Page 9: print.docx

7. Asuransi dianologikan (diqiyaskan) dengan dana pensiunan seperi Taspen.

(Anshori, 2008:11-12)

Sedangkan menurut pendapat Ormas Islam, Nahdhatul Ulama memutuskan bahwa

Asuransi Jiwa hukumnya haram kecuali memenuhi syarat-syarat berikut: (1) Asuransi tersebut

harus mengandung tabungan (saving). (2) Peserta yang ikut program asuransi harus berniat

menabung. (3) Pihak perusahaan asuransi menginvestasikan dana peserta dengan cara-cara yang

dibenarkan oleh syariat Islam ( bebas dari gharar, maisir dan riba). (4) Apabila peserta

mengundurkan diri sebelum jatuh tempo dana yang telah dibayarkan kepada pihak asuransi tidak

hangus.

Lain halnya untuk Asuransi kerugian hal itu menurut NU diperbolehkan dengan

ketentuan sebagai berikut:

1. Apabila asuransi kerugian tersebut merupakan persyaratan bagi objek-objek yang

menjadi agunan bank.

2. Apabila asuransi kerugian tersebut tidak dapat dihindari karena terkait dengan

ketentuan-ketentuan pemerintah, seperti asuransi untuk barang-barang ekspor dan

impor (Anwar, 2007:27-28).

Muhammad Yusuf Musa berpendapat, Asuransi dalam segala jenisnya adalah contoh

kerjasama berguna bagi masyarakat. Asuransi jiwa bermanfaat bagi peserta asuransi dan juga

bagi perusahaan asuransi. Karenanya, tida ada ruginya menurut hukum Islam jika ia bebas dari

bunga, yakni peserta asuransi hanya mengambil yang sudah dibayarnya tanpa tambahan apa pun

jika ia hidup lebih lama dari masa asuransi, dan jika dia mati maka para ahli warisnya mendapat

kompensasi. Ini sah menurut hukm Islam. (Muslehuddin, 1999:154)

C. Pendapat Ulama’ yang menghalalkan Asuransi Tertentu

Pandangan yang menyatakan bahwa asuransi yang bersifat sosial diperbolehkan dan yang

bersifat komersial diharamkan. Pendapat yang ketiga ini antara lain dianut oleh Muhammad Abu

Zahra (Guru besar hukum islam pada Universitas Cairo, Mesir). Alasan bahwa asuransi yang

bersifat sosial diperbolehkan karena jenis asuransi sosial tidak mengandung unsur-unsur yang

dilarang dalam islam, sedangkan asuransi yang bersifat komersial tidak diperbolehkan karena

mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam islam.(Anshori, 2008:12). Beliau juga

Page 10: print.docx

menyatakan bahwa asuransi kendaraan untuk perbaikannya tidak dilarang. . . tetapi asuransi jiwa

adalah semacam perjudian, karena tidak ada pembenaran bagi seseorang, yang memberikan

hanya sebagian dari suatu jumlah, untuk berhak mendapat seluruhnya jikalau ia mati dan

mengambil apa yang telah dibayarkannya disertai keuntungan jikalau ia hidup lebih lama dari

masa asuransi. Ini tidak lain adalah riba. (Muslehuddin, 1999: 153)

Berdasarkan dari organisasi islam, misalnya PP Persatuan Islam (Persisi), melalui Dewan

Hisbah mengharamkan praktik asuransi konvensional. Demikian pula Muhammadiyah, yang

dalam muktamarnya di malang tahun 1987 juga mengharamkan Asuransi yang mengandung

unsur Gharar dan judi kecuali Asuransi yang diselenggarakan oleh pemerintah seperti Taspen,

Astek dan Jasa Raharja dengan pertimbangan bahwa didalamnya mengandung kemaslahatan

yang dibenarkan secara islam (Anshori, 2008:13)

D. Pandangan yang Menyatakan Bahwa Asuransi Adalah Subhat

Alasannya yaitu karena tidak ada dalil yang menyatakan secara tegas bahwa asuransi

adalah haram, begitu juga tidak ada dalil yang secara tegas menyatakan bahwa asuransi itu

diperbolehkan. Dengan demikian maka, dalam Islam apabila berhadapan dengan hukum yang

sifatya subhat adalah lebih baik ditinggalkan. (Anshori, 2008:12)

D . Hukum Tentang Bank

A. Kelompok yang mengharamkan

Ulama yang mengharamkan riba di antaranya adalah Abu Zahra ( guru besar Fakultas

Hukum Kairo, Mesir), dan Muhammad Abdullah Al-A’rabi (Kairo). Mereka berpendapat bahwa

hukum bank adalah haram, sehingga kaum Muslimin dilarang mengadakan hubungan dengan

bank yang memakai system bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa.

B. Kelompok yang tidak mengharamkan

Ulama yang tidak mengharamkan di antaranya adalah Syekh Muhammad Syaltut dan

A.Hasan. Mereka mengatakan bahwa kegiatan bermuamalah kaum Muslimin dengan bank bukan

merupakan perbuatan yang dilarang. Bunga bank di Indonesia tidak bersifat ganda, sebagaimana

digambarkan dalam QS. Ali Imran (3):130.

Page 11: print.docx

C. Kelompok yang menganggap syubhat ( samar )

Bank merupakan perkara yang belum jelas kedudukan hukumnya dalam Islam karena bank

merupakan sebuah produk baru yang tidak ada nasnya. Hal-hal yang belum ada nas dan masih

diragukan ini yang dimaksud dengan barang syubhat ( samar ). Karena untuk kepentingan umum

atau manfaat sosial yang sangat berarti bagi umat, maka berdasarkan kaidah usul ( maslahah

mursalah ), bank masih tetap digunakan dan dibolehkan. Namun ketentuan ini hanya untuk bank

pemerintah ( non-swasta), dan tidak berlaku untuk bank swasta dengan alasan tingkat kerugian

pada bank swasta sangat tinggi di banding dengan bank pemerintah.