print.docx
TRANSCRIPT
Nama : Rizqi Alvira Rachma Putri
No. Absen : 28
Kelas : X IIS 1
A. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
Bank Syariah
1. Islam memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah SWT
sehingga cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai ajaran Islam
2. Bank syariah mendorong nasabah untuk mengupayakan pengelolaan harta nasabah
(simpanan) sesuai ajaran Islam
3. Bank syariah menempatkan karakter/sikap baik nasabah maupun pengelolaan pada posisi
yang sangat penting dan menempatkan sikap akhlakul karimah sebagai sikap dasar hubungan
antara nasabah dan bank
4. Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip
kesederajatan dan prinsip ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah
atas jalannya usaha bank syariah
5. Prinsip bagi hasil: Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi Besarnya nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang
diperoleh Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan Tidak ada yang meragukan keuntungan bagi hasil Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek
itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
Bank Konvensional
1. Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah diantaranya memperoleh hasil yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga
pinjaman (mengoptimalkan interest difference). Dilain pihak kepentingan pemakai dana (debitor) adalah memperoleh tingkat bunga yang rendah (biaya murah). Dengan demikian terhadap ketiga kepentingan dari tiga pihak tersebut terjadi antagonisme yang sulit diharmoniskan. Dalam hal ini bank konvensional berfungsi sebagai lembaga perantara saja
2. Tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakang
3.Sistem bunga: Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
Pebandingan Paradigma Bank Syariah dan Bank Konvensional
FAKTOR BANK KONVENSIONAL BANK SYARIAH
Hubungan bank
dengan nasabahInvestor dengan investor Kreiditur dan debitur
Sistem pendapata
nusahaBunga, Fee Bagi hasil, Marjin, Fee
OrganisasiTidak terdapat struktur pengawasan
syariah
Terdapat struktur pengawasan syariah
yaitu Badan Pengawas Syariah
Penyaluran
PembiayaanLiberal untuk tujuan keuntungan
Adanya batasan-batasan,
memperhatikan unsur moral dan
lingkungan.
Tingkat risiko
umum
dalam usaha
Risiko menengah-tinggi karena
adanya transaksi spekulasi
Risiko menengah-rendah karena
malarang transaksi spekulasi
Penanggung
resikoinvestasiSatu sisi hanya pada bank
Dua sisi yaitu bank dan nasabah
(deposan maupun debitur).
Selain perbedaan paradigma, terdapat pula perbedaan dasar kegiatan usaha bank konvensional dan bank syariah :
Tabel Perbedaan Dasar Kegiatan Usaha Perbankan Syariah dan Konvensional
Dasar Kegiatan usahaBank
KonvensionalBank Syariah Keterangan
Kredit (bunga) √Penyaluran kredit atau
peneneman dana lainnya.
Pembiayaan (bagi hasil) √Prinsip mudharabah dan
musyarakah
Jual Beli √ Prinsip bai / salam
Sewa-beli √ Prinsip ijarah
Simpanan dana (bunga) √ Deposito, tabungan, atau giro
Investasi dana (bagi hasil) √Investasi tidak terbatas,
deposito, tabungan , giro.
Investasi terbatas/khusus √
Prinsip mudharabah muqayadah
‘1’
Jasa perbankan √ √
Prinsip ujrah (bank
syariah), fee base income(bank
konvensional)
B. Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
1. KonsepAsuransi Syariah: Sekumpulan orang yang saling bantu membantu, saling menjamin, dan bekerja sama antara satu dengan yang lainnya, dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru`Asuransi Konvensional: Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan pergantian kepada tertanggung.
2. Asal UsulAsuransi Syari’ah: Dari Al-Aqilah, kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang. Kemudian disyahkan oleh Rasulullah menjadi hukum Islam, bahkan telah tertuang dalam konstitusi pertama di dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung RasulullahAsuransi Konvensional: Dari masyarakat Babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Dan tahun 1668 M di Coffe House London beracdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.
3. Sumber Hukum
Asuransi Syari’ah: Bersumber dari wahyu Ilahi. Sumber hukum dalam syariah Islam adalah Al-Qur`an, Sunnah atau kebiasaan rasul, Ijma`, Fatwa Sahabat, Qiyas, Istihsan, `Urf (tradisi), dan Mashalih Mursalah.Asuransi Konvensional: Bersumber dari pikiran manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum alami dan contoh sebelumnya
4. MAGRIB (maisir, gharar, riba)Asuransi Syari’ah: Bersih dari adanya praktek Gharar, Maisir, dan RibaAsuransi Konvensional: Tidak selaras dengan syariah Islam karena adanya Maisir, Gharar dan Riba; Hal yang diharamkan dalam muamalah
5. Dewan Pengawas SyariahAsuransi Syari’ah: Ada, yang berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktek-praktek muamalah yang bertentang dengan prinsip-prinsip syariahAsuransi Konvensional: Tidak ada, sehingga dalam banyak prakteknya bertentangan dengan kaidah-kaidah syara`
6. AkadAsuransi Syari’ah : Akad tabarru` dan akad tijarah (mudharabah, wakalah, wadiah, syirkah, dan sebagainya)Asuransi Konvensional: Akad jual beli (akad mu`awadah, akad idz`aan, akad gharar, dan akad mulzim)
7. Jaminan RiskAsuransi Syari’ah: Sharing of Risk, saling menanggung antara satu peserta dengan peserta lainnya (ta`awun)Asuransi Konvensional: Transfer of Risk dari tertanggung kepada penaggung
8. Pengelola danaAsuransi Syari’ah: Pada produk-produk saving (life) terjadi pemisahan dana, yaitu dana tabarru` (derma) dan dana peserta, sehingga tidak mengenal istilah dana hangus. Sedangkan untuk term insurance (life) dan general Insurance semuanya bersifat tabarru`.Asuransi Konvensional: Tidak ada pemisahan dana, yang berakibat pada terjadinya dana hangus (untuk produk saving – life).
9. InvestasiAsuransi Syari’ah: Dapat melakukan investasi sesuai ketentuan perundang-undangan, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Bebas dari riba dan tempat-tempat investasi yang terlarang
Asuransi Konvensional: Bebas melakukan investasi dalam batas-batas ketentuan perundang-undangan, dan tidak terbatasi pada halal dan haramnya obyek atau sistem investasi yang digunakan
10.Kepemilikan danaAsuransi Syari’ah: Dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau kontribusi, merupakan milik peserta (shohibul mal), asuransi syariah hanya sebagai pemegang amanah (mudharib) dalam mengelola dana tersebut.Asuransi Konvensional: Dana yang terkumpul dari premi peserta seluruhnya menjadi milik perusahaan. Dan perusahaan bebas menggunakan dan menginvestasikan kemana saja.
11. Unsur premiAsuransi Syari’ah: Iuran atau kontribusi terdiri dari unsur tabarru` dan tabungan (yang tidak mengandung unsur riba). Tabarru` juga dihitung dari tabel mortalita, tetapi tanpa perhitungan bunga tehnik.Asuransi Konvensional: Unsur premi terdiri dari: tabel mortalita (mortality tables), bunga (interest), biaya-biaya asuransi (cost of insurance)
12. LoadingAsuransi Syari’ah: Pada sebagian asuransi syariah loading (komisi agen) tidak dibebankan pada peserta tapi dari dana pemegang saham, tapi sebagian yang lainnya mengambilkan dari sekitar 20-30 persen saja dari premi tahun pertama. Dengan demikian nilai tunai tahun pertama sudah terbentukAsuransi Konvensional: Loading pada asuransi konvensional cukup besar terutama diperuntukkan untuk komisi agen, bisa menyerap premi tahun pertama dan kedua. Karena itu nilai tunai pada tahun pertama dan kedua biasanya belum ada (masih hangus).
13. Sumber Pembayaran KlaimAsuransi Syari’ah: Sumber pembayaran klaim diperoleh dari rekening tabarru`, dimana peserta saling menanggung satu sama lainnya. Jika salah satu peserta mendapat musibah, maka peserta lainnya ikut menanggung bersama resiko tersebutAsuransi Konvensional: Sumber biaya klaim adalah dari rekening perusahan, sebagai konsekwensi penanggung terhadap tertanggung. Murni bisnis dan tidak ada nuansa spiritual
14. Sistem AkuntansiAsuransi Syari’ah: Menganut konsep akuntansi cash basis, mengakui apa yang benar-benar telah ada, sedangkan accrual basis dianggap bertentang dengan syariah karena
mengakui adanya pendapatan, harta, beban atau hutang yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Sementara apakah itu benar-benar dapat terjadi hanya Allah yang tahu.Asuransi Syari’ah: Menganut konsep akuntansi cash basis, mengakui apa yang benar-benar telah ada, sedangkan accrual basis dianggap bertentang dengan syariah karena mengakui adanya pendapatan, harta, beban atau hutang yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Sementara apakah itu benar-benar dapat terjadi hanya Allah yang tahu.
15. KeuntunganAsuransi Syari’ah:Profit yang diperoleh dari surplus underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi, bukan seluruhnya menjadi milik perusahaan, tetapi dilakukan bagi hasil (mudharabah) dengan pesertaAsuransi Konvensional: Keuntungan yang diperoleh dari surplus underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi seluruhnya adalah merupakan keuntungan perusahaan.
16. Misi dan VisiAsuransi Syari’ah: Misi yang diemban dalam asuransi syariah adalah: Misi aqidah, misi Ibadah (ta`awun), misi Iqtishodi (ekonomi), dan misi pemberdayaan ummat (social)Asuransi Konvensional: Secara garis besar misi utama dari asuransi konvensional adalah misi ekonomi dan misi social.
C. Hukum Tentang Asuransi
A . Pandangan Ulama’ yang Mengharamkan Asuransi
Dalam pemilahan pendapat seperti ini dilakukan agar dapat menggambarkan secara tegas
mana Ulama yang mengharamkan adanya Asuransi. Pendapat yang pertama yaitu segala asuransi
dalam segala aspeknya adalah haram, termasuk Asuransi Jiwa, Asuransi Sosial, Maupun
Asuransi Komersial. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Ulama seperti Sayid Sabiq
(pengarang Fiqh as-Sunnah), Abdullah Al- Qalqili (Mufti Yordan), Muhammad Yusuf Qordawi
(pengarang al-Halal wa al-Haram fi al-Islam), dan Muhammad Bakhit Al-Muth’i (Mufti Mesir).
Menurut pandangan kelompok ini asuransi diharamkan karena beberapa alasannya diantara lain
adalah:
1. Asuransi mengandung unsur perjudian (Maisyir) yang dilarang dalam Islam.
2. Asuransi mengandung ketidak pastian (Gharar).
3. Asuransi mengandung unsur riba/ranten yang secara jelas dan tegas dlarang dalam
Islam.
4. Asuransi bersifat eksploitasi karena jika peserta tidak sanggup melanjutkan
pembayaran premi sesuai dengan perjanjian maka premi hangus/ hilang atau
dikurangi secara tidak adil (peserta dizalimi).
5. Premi-premi yang sudah dibayarkan seringkali akan diputar dalam praktik-praktik
riba.
6. Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang yang bersifat tidak
tunai (akad sharf).
7. Pada Asuransi Jiwa menjadikan hidup/mati seseorang sebagai obyek bisnis, yang
berarti mendahului takdir Allah (Anshori, 2008:10).
Selain itu juga, menurut pandangan Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah jilid 3, menyatakan
bahwa asuransi tidak termasukMudharabah yang shahih, melainkan mudharabah yang fasidyang
tentu hukumnya secara syarak bertentangan dengan hukum akad asuransi, ditinjau dari segi
undang-undang. Hal ini terjadi karena tidak mungkin dapat dikatakan bahwa perusahaan
(syirkah) menyumbang orang yang mengasuransikan dengan pembayaran. Akad asuransi ditinjau
dari segi aturan mainnya adalah akad perolehan berdasarkan perkiraan (Anshori, 2008:11).
Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i, Mufti Mesir, ketika ia diminta oleh rezim Ottoman
untuk memberikan pendapatnya mengenai persoalan ini. Surat yang berisikan jawabannya
dicetak dan diterbitkan oleh Nile Press di Mesir pada tahun 1324 H (1906 M). Menurut dia, uang
jaminan untuk harta dimungkinkan dalam salah satu dari dua hal: dalam kasus kafalah
(pemberian uang jaminan) atau dalam kasus kerusakan pada harta. Syarat-syarat pada kafalah
tidak berlaku bagi kontrak asuransi, karena kerusakan pada harta yang diasuransikan bukan
disebabkan oleh perusahaan asuransi. Tidak ada alasan untuk membebankan
pertanggungjawaban atas perusahaan asuransi jika harta yang diasuransikan hilang, terutama
karena sebab-sebab pertanggungjawabannya tidak cukup menurut hukum Islam. Maka, ia
mengambil argumen yang diajukan oleh Ibn ‘Abidin dan berpendapat bahwa kontrak asuransi
tidak berlaku, karena perusahaan asuransi atau pengusaha asuransi asing memikul sendiri hal
yang tidak mengikatnya menurut hukum Islam. (Muslehuddin, 1999:152)
Mahdi Hasan, Mufti India, melarang praktik asuransi dikarenakan:
1. Asuransi tak lain adalah riba berdasarkan kenyataan bahwa tidak ada kesetaraan
antara dua pihak yang terlibat, padahal kesetaraan demikian wajib adanya.
2. Asuransi juga adalah perjudian, karena ada penggantungan kepemilikan pada
munculnya risiko.
3. Asuransi adalah pertolongan dalam dosa, arena perusahaan asuransi, meskipun
milik negara, toh merupakan institusi yang mengadakan transaksi dengan riba.
4. Dalam asuransi jiwa juga ada unsur penyuapan (risywah), karena kompensasi di
dalamnya adalah untuk sesuatu yang tidak dapat dinilai. (Ali, 2004:143)
Hasan Ali dalam bukunya menuliskan, bahwa alasan utama pengharaman
Asuransi, menurut Masjfuk Zuhdi, yaitu premi-premi yang telah dibayarkan oleh
para pemegang polis diputar dalam prektik riba. (2004:142)
B. Pandangan Ulama’ yang Menghalalkan Asuransi
Sedangkan Ulama yang menyatakan bahwa asuransi hukumnya halal atau diperbolehkan
dalam Islam dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf (pengarang Ilmu Ushul al-Fiqh), Mustafa
Ahmad Zarqa (Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syariah Universitas Syiria), Muhammad
Yusuf Musa (Guru Besar Hukum Islam di Universitas Cairo Mesir), Muhammad Nejatullah
Siddiq, dan Abdurahman Isa (pengarang kitab al-Muamallah al-Haditsah wa Ahkamuha).
Adupun beberapa alasan yang mereka kemukakan yaitu:
1. Tidak ada nash (al-Qur’an dan Sunnah) yang secara jelas dan tegas melarang
kegiatan asuransi.
2. Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak baik penanggung maupun
tertanggung.
3. Saling menguntungkan kedua belah pihak
4. Asuransi dapat berguna bagi kepentingan umum, sebab premi yang terkumpul
dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan. Atau
dengan kata lain lemaslahatan dari usaha asuransi lebih besar dari pada
mudharatnya.
5. Asuransi dikelola berdasarkan akad mudharabah (bagi hasil).
6. Asuransi termasuk kategori koperasi (Syirkah Taawuniyah), usaha bersama yang
didasarkan pada prinsip tolong-menolong.
7. Asuransi dianologikan (diqiyaskan) dengan dana pensiunan seperi Taspen.
(Anshori, 2008:11-12)
Sedangkan menurut pendapat Ormas Islam, Nahdhatul Ulama memutuskan bahwa
Asuransi Jiwa hukumnya haram kecuali memenuhi syarat-syarat berikut: (1) Asuransi tersebut
harus mengandung tabungan (saving). (2) Peserta yang ikut program asuransi harus berniat
menabung. (3) Pihak perusahaan asuransi menginvestasikan dana peserta dengan cara-cara yang
dibenarkan oleh syariat Islam ( bebas dari gharar, maisir dan riba). (4) Apabila peserta
mengundurkan diri sebelum jatuh tempo dana yang telah dibayarkan kepada pihak asuransi tidak
hangus.
Lain halnya untuk Asuransi kerugian hal itu menurut NU diperbolehkan dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Apabila asuransi kerugian tersebut merupakan persyaratan bagi objek-objek yang
menjadi agunan bank.
2. Apabila asuransi kerugian tersebut tidak dapat dihindari karena terkait dengan
ketentuan-ketentuan pemerintah, seperti asuransi untuk barang-barang ekspor dan
impor (Anwar, 2007:27-28).
Muhammad Yusuf Musa berpendapat, Asuransi dalam segala jenisnya adalah contoh
kerjasama berguna bagi masyarakat. Asuransi jiwa bermanfaat bagi peserta asuransi dan juga
bagi perusahaan asuransi. Karenanya, tida ada ruginya menurut hukum Islam jika ia bebas dari
bunga, yakni peserta asuransi hanya mengambil yang sudah dibayarnya tanpa tambahan apa pun
jika ia hidup lebih lama dari masa asuransi, dan jika dia mati maka para ahli warisnya mendapat
kompensasi. Ini sah menurut hukm Islam. (Muslehuddin, 1999:154)
C. Pendapat Ulama’ yang menghalalkan Asuransi Tertentu
Pandangan yang menyatakan bahwa asuransi yang bersifat sosial diperbolehkan dan yang
bersifat komersial diharamkan. Pendapat yang ketiga ini antara lain dianut oleh Muhammad Abu
Zahra (Guru besar hukum islam pada Universitas Cairo, Mesir). Alasan bahwa asuransi yang
bersifat sosial diperbolehkan karena jenis asuransi sosial tidak mengandung unsur-unsur yang
dilarang dalam islam, sedangkan asuransi yang bersifat komersial tidak diperbolehkan karena
mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam islam.(Anshori, 2008:12). Beliau juga
menyatakan bahwa asuransi kendaraan untuk perbaikannya tidak dilarang. . . tetapi asuransi jiwa
adalah semacam perjudian, karena tidak ada pembenaran bagi seseorang, yang memberikan
hanya sebagian dari suatu jumlah, untuk berhak mendapat seluruhnya jikalau ia mati dan
mengambil apa yang telah dibayarkannya disertai keuntungan jikalau ia hidup lebih lama dari
masa asuransi. Ini tidak lain adalah riba. (Muslehuddin, 1999: 153)
Berdasarkan dari organisasi islam, misalnya PP Persatuan Islam (Persisi), melalui Dewan
Hisbah mengharamkan praktik asuransi konvensional. Demikian pula Muhammadiyah, yang
dalam muktamarnya di malang tahun 1987 juga mengharamkan Asuransi yang mengandung
unsur Gharar dan judi kecuali Asuransi yang diselenggarakan oleh pemerintah seperti Taspen,
Astek dan Jasa Raharja dengan pertimbangan bahwa didalamnya mengandung kemaslahatan
yang dibenarkan secara islam (Anshori, 2008:13)
D. Pandangan yang Menyatakan Bahwa Asuransi Adalah Subhat
Alasannya yaitu karena tidak ada dalil yang menyatakan secara tegas bahwa asuransi
adalah haram, begitu juga tidak ada dalil yang secara tegas menyatakan bahwa asuransi itu
diperbolehkan. Dengan demikian maka, dalam Islam apabila berhadapan dengan hukum yang
sifatya subhat adalah lebih baik ditinggalkan. (Anshori, 2008:12)
D . Hukum Tentang Bank
A. Kelompok yang mengharamkan
Ulama yang mengharamkan riba di antaranya adalah Abu Zahra ( guru besar Fakultas
Hukum Kairo, Mesir), dan Muhammad Abdullah Al-A’rabi (Kairo). Mereka berpendapat bahwa
hukum bank adalah haram, sehingga kaum Muslimin dilarang mengadakan hubungan dengan
bank yang memakai system bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa.
B. Kelompok yang tidak mengharamkan
Ulama yang tidak mengharamkan di antaranya adalah Syekh Muhammad Syaltut dan
A.Hasan. Mereka mengatakan bahwa kegiatan bermuamalah kaum Muslimin dengan bank bukan
merupakan perbuatan yang dilarang. Bunga bank di Indonesia tidak bersifat ganda, sebagaimana
digambarkan dalam QS. Ali Imran (3):130.
C. Kelompok yang menganggap syubhat ( samar )
Bank merupakan perkara yang belum jelas kedudukan hukumnya dalam Islam karena bank
merupakan sebuah produk baru yang tidak ada nasnya. Hal-hal yang belum ada nas dan masih
diragukan ini yang dimaksud dengan barang syubhat ( samar ). Karena untuk kepentingan umum
atau manfaat sosial yang sangat berarti bagi umat, maka berdasarkan kaidah usul ( maslahah
mursalah ), bank masih tetap digunakan dan dibolehkan. Namun ketentuan ini hanya untuk bank
pemerintah ( non-swasta), dan tidak berlaku untuk bank swasta dengan alasan tingkat kerugian
pada bank swasta sangat tinggi di banding dengan bank pemerintah.