presentasi kasus rehab medik
TRANSCRIPT
Laporan Kasus Rehabilitasi Medik,
WANITA 39 TAHUN DENGAN PARESE NERVUS VII (FASCIALIS) LOWER MOTOR
NEURON (LMN) DEXTRA (BELLS PALSY)
Oleh:
Bachels Joko Suwito A. (G 99122002)
DR. dr. Hj. Noer Rachma, Sp KFR
dr. Tri Lastiti, Sp KFR
dr. Desy K. Tandyo, Sp KFR
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2012
LAPORAN KASUS
I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Ny TMS
Umur : 39 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Suku : Jawa
Agama : Katolik
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Jl. Nangka Raya 02/09, Kerten, Laweyan, Surakarta, Jawa
Tengah
No. RM : 01213076
Tanggal pemeriksaan : 19 Agustus 2013
B. Data Dasar
1. Keluhan Utama
Mulut merot ke kiri.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan konsulan dari bagian neurologi dengan diagnosa Klinis
parese N. VII dextra LMN, topis N. VII dextra LMN, etiologi idiopatik.
Pasien datang dengan keluhan mulut merot ke sisi kiri. Keluhan dirasakansejak
4 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Dirasakan tiba-tiba merot setelah pasien
terkena angin dan hawa dingin di rumah barunya. Selain mulut merot pasien juga
mengeluhkan wajah bagiankanan dirasakan agak tebal, wajah kanan tak dapat
tersenyum, bila makan makanan mengumpul di pipi kanan, dahi tak dapat di gerakan
dan kelopak mata tidak dapat menutup penuh. Awalnya pasien juga mengeluhkan
mata kanan mengeluarkan air mata terus waau pasien tidak sedang sedih namun
sekarang sudah tidak keluar lagi. Mata perih disangkal. Gangguan merasakan manis
atau asam pasien disangkal.
Dua hari SMRS pasien membeli obat bernama methilprednisolon yang
dibelinya di apotek, diminum 3 kli sehari, namun keluhan tidak berkurang.
Mual, disangkal, muntah disangkal, badan panas disangkal, nyeri telinga
kadang-kadang bila terkena hawa dingin, hidung tersumbat disangkal, jatuh
disangkal, nyeri kepala disangkal, Kelemahan anggota gerak disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
A. Riwayat keluhan serupa : (+), 19 tahun SMRS karena terkena angin
dingin
B. Riwayat sakit ginjal : disangkal
C. Riwayat sakit jantung : disangkal
D. Riwayat tekanan darah tinggi : (+), tidak tahu sejak kapan, tak rutin kontrol
E. Riwayat sakit kuning : disangkal
F. Riwayat trauma : disangkal
G. Riwayata keganasan : disangkal
H. Riwayata keganasan : disangkal
I. Riwayat allergi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
A. Riwayat keganasaan : disangkal
B. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
C. Riwayat penyakit gula : disangkal
D. Riwayat sakit ginjal : disangkal
E. Riwayat sakit liver : disangkal
J. Riwayat allergi : disangkal
K. Riwayat sakit kuning : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi dan Kebiasaan
Pasien adalah seorang wanita, 39 tahun, Sebagai Ibu rumah tangga. Rutin
mengikuti kegiatan bermasyarakat, ke gereja.
Pasien biasa makan 3 kali sehari dengan nasi, sayur, dan lauk-pauk (tahu,
tempe). Jarang berolahraga. Berobat dengan biaya jamkesmas.
6. Anamnesis Sistem
A. Kepala : nyeri kepala (-), nggliyer (-)
B. Sistem Indera
Mata : pandangan dobel (-/-), penglihatan kabur (-/-),
kelopak mata dapat menutup -/+, air mata keluar
+/-, mata perih -/-.
Hidung : mimisan (-), pilek (-), tersumbat (-)
Telinga : Pendengaran berkurang (-), berdenging (-), keluar
Cairan (-), nyeri telinga (-)
C. Mulut : senyum -/+, mencucu -/+, gigi goyang (-), gusi
berdarah (-), nyeri gigi (-)
D. Tenggorokan : sulit menelan (-), suara serak (-),
E. Sistem respirasi : sesak nafas (-), batuk (-)
F. Sistem kardiovaskuler : nyeri dada (-), berdebar-debar (-)
G. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), sakit perut (-), gangguan
Buang air besar (-)
H. Sistem muskulo skeletal : kesemutan ujung-ujung jari kaki (-), kram (-),
demam (-), lemas (-),
I. Sistem genitourinaria : Buang air kecil lancer, nyeri BAK (-), darah
(-)
J. Ekstremitas atas : luka (-/-), ujung jari terasa
dingin (-/-), kesemutan di kedua tangan (-), bengkak
(-/-)
K. Ekstremitas bawah : luka (-/-), ujung jari terasa dingin (-/-), kesemutan
di kedua kaki (-), bengkak (-/-)
L. Sistem integumentum : rasa gatal (-), mudah berkeringat (-), suka hawa
dingin (-)
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum : Composmentis E4 V5 M6, , gizi kesan cukup
B. Tanda vital : Tekanan darah : 110/ 80 mmHg
Heart rate : 72 kali per menit
Respiration rate : 22 kali per menit
Suhu : 36,70 Celcius
C. Pemeriksaan neuologis:
1. Kesadaran : Composmentis E4 V5 M6
2. Fungsi luhur : dalam batas normal
3. Fungs sensorik : Dalam batas normal
4. Fungsi motorik :
Kekuatan Tonus R. Fisiologis R. Patologis
5 5 N N +2 +2 - -
5 5 N N +2 +2 - -
1. Meningeal sign : Kaku kuduk (-), Burdzinski I (-),Burdzinski II (-), Kernik (-),
Laseque (-)
2. Nervi Craniales :
N.II, III : Pupil isokor, 3mm/ 3mm, reflek cahaya +/+
N.III, IV, IV : Pergerakan bola mata dalam batas normal
N.V : Refleks kornea +/+, sensorik wajah +/+
N.VII : Inspeksi : lipatan nasolabial kanan turun, sudut mulut kanan turun
Mengerutkan dahi -/+
Menutup mata -/+
Tersenyum -/+
Mencucu -/+
Menggembungkan pipi -/+
Mengangkat dahi mencong ke kiri
Skala UGO FISH
Posisi Nilai Persentase (%)
0, 30, 70, 100
Skor
Istirahat 20 70 14
Mengerutkan dahi 10 30 3
Menutup mata 30 70 21
Tersenyum 30 30 9
Bersiul 10 30 3
Total 50
N.VIII : Fungsi pendengaran +/+
N.IX, X : Dalam batas normal
N.XI : Dalam batas normal
N.XII : Dalam batas normal
D. Kulit :warna sawo matang, turgor menurun (-), ikterik (-)
E. Kepala :bentuk mesocephal, rambut warna hitam mudah rontok (-)
F. Mata :konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor dengan
diameter (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), lensa keruh (-/-)
G. Telinga : nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-), bloody discharge (-)
H. Hidung :nafas cuping hidung (-), sekret (-), deviasi septum (-)
I. Mulut :sianosis (-), papil lidah atrofi (-), stomatitis (-), gusi berdarah (-),
massa (-)
J. Leher : trakhea di tengah, tak teraba pembesaran limfonodi.
K. Thorax : bentuk normochest, pektus carinatus, simetris, retraksi intercostal (-/-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis tak kuat angkat, teraba di SIC V linea mid calvicularis
sinistra
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo
Inspeksi
Statis : normochest, simetris, sela iga tidak melebar.
Dinamis : pengembangan dada kanan = kiri, sela iga tidak melebar, retraksi
intercostal (-), retraksi supraklavikula (-).
Palpasi
Statis : simetris
Dinamis :pergerakan kanan = kiri
fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi
Kanan :sonor
Kiri :sonor
Auskultasi
Kanan : suara dasar vesikuler,suara tambahan (-)
Kiri : suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)
L. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, distended (-), sikatriks (-), retraksi
epigastrium (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : tympani, liver span 8 cm di linea mid clavikularis dextra dan 5 cm pada
linea mid sternalis, pekak alih (-)
Palpasi : dinding perut supel, nyeri tekan (-) region epigastrium, hepar tidak
teraba, lien tidak teraba, undulasi (-).
M. Ekstremitas :
Extremitas superior Extremitas inferiorDextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -Akral dingin - - - -Luka - - - -
III. ASSESTMENT
K : Parese N. VII dextra LMN
T : Nervus VII (Fascialis) dextra LMN
E : Idiopatik (Bells Palsy)
IV. DAFTAR MASALAH
A. Problem Medis : Parese Nervus VII (Fascialis) Dextra LMN
B. Problem Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi : Sudut mulut tertarik ke kanan dan kelopak mata kiri tidak bisa
menutup rapat dengan baik
2. Terapi wicara : tidak ada.
3. Okupasi Terapi : Pada saat makan, makanan cenderung berkumpul ke sisi kiri.
Sedangkan pada saat minum, air keluar menetes dari sudut sisi
kiri
4. Sosiomedik : tidak ada
5. Ortesa-protesa : tidak ada
6. Psikologi : Pasien merasa malu dengan keadaan ini
V. TERAPI
A. Terapi Medikamentosa :
1. Methil prednisolon tab 3 x mg 5 (5 hari I), turunkan 2 x mg 5 (5 hari II)
2. Mecobalamin tab 3 x 500 mg
3. Metampiron (k/p) 2 x 1
B. Rehabilitasi Medik:
1. Fisioterapi :
Evaluasi :
a. Kontak (+), pengertian baik
b. Angkat alis (±), mata kiri tidak bisa menutup rapat dengan baik
c. Sudut mulut tertarik ke kanan
d. Pada saat makan, makanan cenderung berkumpul di sisi kiri
e. Pada saat minum/berkumur, air keluar menetes dari sudut mulut kiri
Program :
a. Short Wave Diatermi pada Foramen Stilomastoideus Sinistra
b. Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak volunter otot wajah
c. Latihan gerak volunter wajah sisi kanan di depan cermin dengan gerakan
mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, bersiul/meniup, mengangkat
sudut mulut.
2. Terapi wicara : tidak dilakukan
3. Okupasi terapi :
Evaluasi :
a. Sudut mulut tertarik ke kanan
b. Pada saat makan, makanan cenderung berkumpul di sisi kiri
c. Pada saat minum/berkumur, air keluar menetes dari sudut mulut kiri
Program :
a. Latihan penguat otot wajah dengan memberikan latihan menutup mata,
mengerutkan dahi, meniup lilin, tersenyum, meringis
b. Latihan meningkatkan aktivitas kerja sehari-hari dengan berkumur, latihan
makan dengan mengunyah di sisi kanan, minum dengan sedotan
4. Sosiomedik : tidak dilakukan
5. Ortesa-Protesa : tidak dilakukan
6. Psikologi :
Evaluasi :
a. Penderita merasa sedikit cemas dan malu
b. Keinginan penderita untuk sembuh sangat besar
c. Penderita menjalankan aturan rehabilitasi medik
Program :
a. Memberikan dorongan mental supaya penderita tidak merasa cemas dan malu
dengan penyakitnya
b. Memberikan dorongan mental agar penderita rajin menjalankan program
rehabilitasi dan melakukan home progame yang diberikan agar penyakitnya
cepat sembuh
7. Home Programe :
a. Perawatan mata :
1) Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari
2) Memakai kacamata hitam saat bepergian siang hari
3) Sebelum tidur, kelopak mata ditutup secara pasif
b. Kompres dengan air hangat pada sisi wajah sebelah kiri selama 20 menit
c. Massage wajah sebelah kiri ke arah atas dengan menggunakan tangan dari
sebelah kiri
d. Latihan meniup lilin dengan jarak semakin dijauhkan, makan dengan
mengunyah di sisi kanan, minum dengan sedotan dan mengunyah permen karet
VI. IMPAIRMANT, DISABILITY, DAN HANDICAP
Impairment : Parese Nervus Fascialis dextra LMN
Disability : Penurunan fungsi otot wajah.
Handicap : Kesulitan bicara dan Wajah berekspresi.
VII. PLANING
Planning Edukasi :
1. Penjelasan tentang penyakit dan komplikasi yang terjadi
2. Penjelasan tentang penatalaksanaan yang sedang dilakukan terhadap pasien
3. Penjelasan home exercise dan kepatuhan pelaksanaan terapi
Planning Monitoring:
Evaluasi hasil terapi medikamentosa dan rehabilitasi medik
VIII.TUJUAN
1. Perbaikan keadaan umum sehingga mempersingkat waktu perawatan.
2. Mencegah terjadinya komplikasi yang dapat memperburuk keadaan.
3. Meminimalkan impairment, disability dan handicap.
4. Membantu penderita sehingga mampu mandiri dalam menjalankan aktivitas sehari-
hari.
5. Edukasi perihal home exercise.
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : Ad sanam
Ad sanam : Ad sanam
Ad fungsionam : Ad sanam
TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi
saat ini, diharapkan bisa mewujudkan pembangunan kesehatan dalam penyelenggaraan
upaya kesehatan untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi penduduk agar terwujud
kesehatan masyarakat yang optimal. Upaya pelayanan kesehatan masyarakat semula hanya
berupa penyembuhan saja, secara berangsur-angsur berkembang sehingga mencakup
upaya peningkatan (promotif), upaya pencegahan (preventif), upaya penyembuhan
(kuratif) dan upaya pemulihan (rehabilitatif), yang bersifat menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan dengan melibatkan peran serta masyarakat. 1
Fisioterapi merupakan bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu
atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi
tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual,
peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutik dan mekanis), pelatihan fungsi, dan
komunikasi.1,2
Bell’s palsy adalah penyakit yang ditandai dengan parese nervus fasialis perifer yang
hingga saat ini penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) 1,2,3 dan bersifat akut.4 Banyak yang
mencampuradukkan antara Bell’s palsy dengan paresis nervus fasialis perifer lainnya yang
penyebabnya diketahui.1
Penderita mengetahui kelumpuhan fasialis biasanya dari teman atau keluarga atau
pada saat bercermin atau sikat gigi/berkumur. Biasanya penderita mulai merasa takut,
malu, rendah diri, mengganggu kosmetik dan kadangkala jiwanya tertekan terutama pada
wanita dan pada penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia untuk tampil di
muka umum. Seringkali timbul pertanyaan didalam hatinya, apakah wajahnya bisa
kembali secara normal atau tidak.1,2,5
Rehabilitasi medik pada penderita Bell’s palsy diperlukan dengan tujuan membantu
memperlancar vaskularisasi, pemulihan kekuatan otot-otot fasialis dan mengembalikan
fungsi yang terganggu akibat kelemahan otot-otot fasialis sehingga penderita dapat
kembali melakukan aktivitas kerja sehari-hari dan bersosialisasi dengan masyarakat.
II. DEFINISI
Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-
neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada
bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen
tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.6,7
Istilah Bell’s Palsy (kelumpuhan bell) biasanya digunakan untuk kelumpuhan nervus
facialis jenis perifer yang timbul secara akut, yang penyebabnya belum diketahui, tanpa
adanya kelainan neurologik lain. Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy
kelumpuhannya akan sembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya
sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. 4
III. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, insidensi Bell’s palsy sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4
buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari
seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering terjadi pada
wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin,
tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin
berlebihan.1
IV. ANATOMI FISIOLOGI
a) Nervus Facialis
Nervus Facialis terdiri dari dua nucleus motoris di batang otak, yang terdiri dari:
(1) Nucleus Motorik Superior yang bertugas menerima impuls dari gyrus presentralis
kortek serebri kedua belah sisi kanan-kiri dan mengirim serabut-serabut saraf ke
otot-otot mimik di dahi dan orbikularis occuli.1,2
(2) Nucleus Motoris Inferior yang bertugas menerima impuls hanya dari gyrus
presentralis dari sisi yang berlawanan dan mengirim serabut-serabut saraf ke otot-
otot mimik bagian bawah dan platisma.1
Serabut-serabut nervus facialis didalam batang otak berjalan melingkari
nucleus nervus abducens sehingga lesi di daerah ini juga diikuti dengan
kelumpuhan nervus abducens. Setelah keluar dari batang otak, nervus facialis
berjalan bersama nervus intermedius yang bersifat sensoris dan sekretorik.
Selanjutnya berjalan berdekatan dengan nervus oktavus bersama-sama masuk ke
dalam canalis austikus internus dan berjalan ke arah lateral, masuk ke canalis
falopii (pars petrosa). Kemudian nervus facialis masuk ke dalam cavum timpani
setelah membentuk ganglion genikulatum.
Di dalam cavum timpani nervus facialis membelok tajam ke arah posterior
dan horizontal (pars timpani). Saraf ini berjalan tepat di atas foramen ovale,
kemudian membelok tegak lurus ke bawah (genu eksternum) di dalam canalis
falopii pars mastoidea. Bagian saraf yang berada didalam canalis falopii pars
timpani disebut nervus facialis pars horizontalis, sedang yang berjalan didalam
pars mastoidea disebut nervus facialis pars vertikalis atau desenden. Saraf ini
keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stylomastoideus. Setelah keluar dari
foramen stylomastoideus, syaraf ini bercabang-cabang dan berjalan di antara lobus
superfisialis dan profundus glandula parotis dan berakhir pada otot-otot mimik di
wajah.3
Dalam perjalanan nervus facialis memberikan cabang :
(1) Dari ganglion genikulatum mengirimkan serabut saraf melalui ganglion
sfenopalatinum sebagai saraf petrosus superfisialis mayor yang akan menuju
glandula lakrimalis.
(2) Cabang lain dari ganglion genikulatum adalah saraf petrosus superficialis minor
yang melalui ganglion otikum membawa serabut sekreto-motorik ke kelenjar
parotis.
(3) Dari nervus facialis pars vertikalis, memberikan cabang-cabang :
(a) Saraf stapedius yang mensarafi m.stapedius. Kelumpuhan saraf ini
menyebabkan hiperakusis.
(b) Saraf korda timpani yang menuju ⅔ lidah bagian depan dan berfungsi sensorik
untuk perasaan lidah (rasa asam, asin dan manis). Selain itu saraf korda
timpani juga mempunyai serabut yang bersifat sekreto-motorik yang menuju
ke kelenjar liur submaksilaris dan sublingualis (Chusid, 1983)
b) Otot-otot wajah
Otot-otot pada wajah beserta fungsinya masing-masing dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
No Nama Otot Fungsi Persarafan
1 M.Frontalis Mengangkat alis N. Temporalis
2 M.Corrugator supercili Mendekatkan kedua pangkal alis N. Zigomatikum dan
N.Temporalis
3 M.Procerus Mengerutkan kulit antara kedua
alis
N. Zigomatikum,
N.Temporalis,
N. Buccal
4 M. Orbicularis Oculli Menutup kelopak mata N.Fasialis, N.Temporalis,
N. Zigomatikus
5 M. Nasalis Mengembang
Kan cuping hidung
N. Fasialis
6 M. Depresor anguli oris Menarik ujung mulut ke bawah N. Fasialis
7 M. Zigomaticum mayor
dan M. Zigomatikum
minor
Tersenyum N. Fasialis
8 M. Orbicularis oris Bersiul N. Fasialis
N. Zigomatikum
9 M. Buccinator Meniup sambil menutup mulut N. Fasialis,
N. Zigomatikum,
N. Mandibular,
N. Buccal
10 M. Mentalis Mengangkat dagu N. Fasialis dan
N. Buccal
11 M. Platysma Meregangkan kulit leher N. Fasialis
V. ETIOLOGI
Etiologi dari Bell’s palsy memang belum pasti, tetapi ada 4 teori yang dihubungkan
dengan etiologi Bell’s palsy yaitu : 1,5
a. Teori Iskemik vaskuler
Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan
regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis.
b. Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah Herpes Simplex
Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1).
c. Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan
atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis
fasialis.
d. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi
virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.
e. Pengaruh udara dingin
Udara dingin menyebabkan lapisan endotelium dari pembuluh darah leher atau
telinga rusak, sehingga terjadi proses transdusi (proses mengubah dari suatu bentuk
kebentuk lain) dan mengakibatkan foramen stilomastoideus bengkak. Nervus facialis
yang melewati daerah tersebut terjepit sehingga rangsangan yang dihantarkan
terhambat yang menyebabkan otot-otot wajah mengalami kelemahan atau lumpuh.
VI. PATOFISIOLOGI
Apapun sebagai etiologi Bell’s palsy, proses akhir yang dianggap bertanggungjawab
atas gejala klinik Bell’s palsy adalah proses edema yang selanjutnya menyebabkan
kompresi nervus fasialis. Gangguan atau kerusakan pertama adalah endotelium dari
kapiler menjadi edema dan permeabilitas kapiler meningkat, sehingga dapat terjadi
kebocoran kapiler kemudian terjadi edema pada jaringan sekitarnya dan akan terjadi
gangguan aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan asidosis yang mengakibatkan
kematian sel. Kerusakan sel ini mengakibatkan hadirnya enzim proteolitik, terbentuknya
peptida-peptida toksik dan pengaktifan kinin dan kallikrein sebagai hancurnya nukleus dan
lisosom. Jika dibiarkan dapat terjadi kerusakan jaringan yang permanen.
VII. GAMBARAN KLINIS
Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya kelumpuhan pada
salah satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin atau saat sikat gig/berkumur
atau diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa salah satu sudutnya lebih rendah. Bell’s
palsy hampir selalu unilateral. Gambaran klinis dapat berupa hilangnya semua gerakan
volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menghilang
sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau
berkumur air menetes dari sudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura
papebra melebar serta kerut dahi menghilang.
Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka kelopak mata pada sisi yang
lumpuh akan tetap terbuka (disebut lagoftalmus) dan bola mata berputar ke atas. Keadaan
ini dikenal dengan tanda dari Bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena
kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga
menimbulkan epifora.1,6 Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang
lumpuh tidak mengembung.6 Disamping itu makanan cenderung terkumpul diantara pipi
dan gusi sisi yang lumpuh.1 Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, tidak didapati
gangguan lain yang mengiringnya, bila paresisnya benar-benar bersifat “Bell’s palsy”.6
VIII. DIAGNOSA
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa serta beberapa pemeriksaan fisik, dalam
hal ini yaitu pemeriksaan neurologis.
a. Anamnesa :
1. Rasa nyeri.
2. Gangguan atau kehilangan pengecapan.
3. Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di
ruangan terbuka atau di luar ruangan.
4. Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran
pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.
b. Pemeriksaan :
1. Pemeriksaan neurologis ditemukan paresis N.VII tipe perifer.
2. Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal : 6,8
1. Mengerutkan dahi
2. Memejamkan mata
3. Mengembangkan cuping hidung
4. Tersenyum
5. Bersiul
6. Mengencangkan kedua bibir
a) Skala Ugo Fisch
Dinilai kondisi simetris atau asimetris antara sisi sehat dan sisi sakit
pada 5 posisi :
Posisi Nilai Persentase (%)
0, 30, 70, 100
Skor
Istirahat 20
Mengerutkan dahi 10
Menutup mata 30
Tersenyum 30
Bersiul 10
Total
Penilaian persentase :
1. 0 % : asimetris komplit, tidak ada gerakan volunter
2. 30 % : simetris, poor/jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat ke
asimetris komplit daripada simetris normal.
3. 70 % : simetris, fair/cukup, kesembuhan parsial yang cenderung
ke arah normal
4. 100% : simetris, normal/komplit
b) Manual Muscle Testing (MMT) otot-otot wajah
Untuk menilai kekuatan otot fasialis yang mengalami paralisis
digunakan skala Daniel and Worthinghom’s Manual Muscle Testing,
Yaitu :
1. Nilai 0 (zero) : Tidak ada kontraksi yang tampak
2. Nilai 1 (trace) : Kontraksi minimal
3. Nilai 3 (fair) : Kontraksi sampai dengan simetris sisi normal
dengan maksimal
4. Nilai 5 (normal ) : Kontraksi penuh, terkontrol simetris.
Diagnosa Klinis : Ditegakkan dengan adanya paresis N.VII perifer dan bukan sentral. Umumnya
unilateral
Diagnosa Topik :
Letak LesiKelainan
motorik
Gangguan
pengecapan
Gangguan
pendengaran
Hiposekresi
saliva
Hiposekresi
lakrimalis
Pons-meatus akustikus + + + + +
internus tuli/hiperakusis
Meatus akustikus
internus-ganglion
genikulatum
+ + +
Hiperakusis+ +
Ganglion genikulatum-N.
Stapedius+ + +
Hiperakusis+ -
N.stapedius-chorda
tympani+ + + + -
Chorda tympani + + - + -
Infra chorda tympani-
sekitar foramen
stilomastoideus
+ - - - -
Diagnosa etiologi : Sampai saat ini etiologi Bell’s palsy yang jelas tidak diketahui.
IX. DIAGNOSA BANDING 1,6
1. Otitis Media Supurativa dan Mastoiditis
2. Herpes Zoster Oticus
3. Trauma kapitis
4. Sindroma Guillain – Barre
5. Miastenia Gravis
6. Tumor Intrakranialis
7. Leukimia
X. PROGNOSIS 9
Sembuh spontan pada 75-90 % dalam beberapa minggu atau dalam 1-2 bulan. Kira-
kira 10-15 % sisanya akan memberikan gambaran kerusakan yang permanen.
XI. KOMPLIKASI
a. Crocodile tear phenomenon
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul
beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah
dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar
lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.1
b. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri; selalu
timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan
timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya
dahi.1,4 Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami
regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.1
c. Hemifacial spasm
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak
terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan.1,4 Pada stadium awal hanya
mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya.
Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi
bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun
kemudian.1
d. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih jelas
terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila kembalinya
fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot wajah istirahat, tetapi
menjadi jelas saat otot wajah bergerak.4
XII. TERAPI
a. Terapi medikamentosa : Golongan kortikosteroid sampai sekarang masih
kontroversi 1,2,3 Juga dapat diberikan neurotropik.3
b. Terapi operatif : Tindakan bedah dekompresi masih kontroversi 1,2
c. Rehabilitasi Medik
XIII. REHABILITASI MEDIK PADA PENDERITA BELL’S PALSY
Sebelum kita membahas mengenai rehabilitasi medik pada Bell’s palsy maka akan
dibicarakan mengenai rehabilitasi secara umum. Rehabilitasi medik menurut WHO adalah
semua tindakan yang ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta
meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integritas sosial.
Tujuan rehabilitasi medik adalah : 10
a. Meniadakan keadaan cacat bila mungkin
b. Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin
c. Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja dengan
apa yang tertinggal.
Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan efisien maka
diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter, fisioterapis, okupasi terapis,
ortotis prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial medik dan perawat rehabilitasi
medik.
Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu dari segi
medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bell’s palsy adalah
untuk mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah dan membantu mengatasi
problem sosial serta psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas
kegiatan sehari-hari. Program-program yang diberikan adalah program fisioterapi, okupasi
terapi, sosial medik, psikologi dan ortotik prostetik, sedang program perawat rehabilitasi
dan terapi wicara tidak banyak berperan.
a. Program Fisioterapi
1. Pemanasan 1, 10
a) Pemanasan superfisial dengan infra red.
b) Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave
Diathermy
2. Stimulasi listrik 1,8
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk
mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan
memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya
adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru,
meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2
minggu setelah onset.
3. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa
mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat
sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan
konsentrasi penuh).
Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan
maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy diberi gentle
massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek
mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot.1,3
Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak
volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek mekanik terhadap
pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam
laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan
meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan.11
Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua
gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.
b. Program Terapi Okupasi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah. Latihan
diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu
diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan sampai
melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan
menggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan
dahi di depan cermin.5
c. Program Sosial Medik
Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan
sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas
sosial medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin
untuk sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan
dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan
di tempat kerja atau melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja
sama penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk kesembuhan
penderita.5
d. Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa
cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau
penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan
umum, maka bantuan seorang psikolog sangat diperlukan.5
e. Program Ortotik – Prostetik
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut yang
sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi
intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “Y” plester dilakukan jika dalam
waktu 3 bulan belum ada perubahan pada penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal
ini dilakukan untuk mencegah teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan
mencegah terjadinya kontraktur.
f. Home Progame
1. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit
2. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi
wajah yang sehat
3. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum
dengan sedotan, mengunyah permen karet
4. Perawatan mata :
1. Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari
2. Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari
3. Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur
DAFTAR PUSTAKA
1. Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang :
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81
2. Maisel RH, Levine SC. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam : Adams dkk. Boies Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit EGC, 1997 : 139-52
3. Rusk HA. Disease of the Cranial Nerves. In : Rehabilitation Medicine. 2nd ed. New York :
Mc Graw Hill, 1971 : 429-31
4. Lumbantobing SM. Saraf Otak : Nervus Fasial. Dalam : Neurologi Klinik Pemeriksaan
Fisik dan Mental. Jakarta : FK Universitas Indonesia, 2004 : 55-60
5. Thamrinsyam. Beberapa Kontroversi Bell’s Palsy. Dalam : Thamrinsyam dkk. Bell’s
Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR, 1991 : 1-7
6. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian Rakyat,
1985 : 311-17
7. Walton SJ. Disease of Nervous System, 9th ed. English : ELBS, 1985 :113-6
8. Thamrinsyam. Penilaian Derajat Kekuatan Otot Fasialis. Dalam : Thamrinsyam dkk.
Bell’s Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR, 1991 :
31-49
9. Raymond D, Adam S, Maurice V. Disease of the Cranial Nerves. In : Principles of
Neurology. 5th ed. New York : Mc Graw Hill, 1994 : 1174-5
10. Kendall FP, Mc Creary EK. Muscle Testing and Function; 3th ed. Baltimore : William &
Wilkins, 1983 : 235-48
11. Reyes TM, Reyes OBL. Hydrotherapy, Massage, Manipulation and Traction. Volume 2
Philippines : U. S. T Printing Office, 1977 : 78-84, 210