presentasi kasus medik - b20

49
Berkas Portofolio Kasus Medis BAB I ILUSTRASI KASUS A. Identitas Pasien No. Rekam Medis: 527846 Nama : Tn. Y Umur : 44 tahun Jenis kelamin : Laki-laki Agama : Islam Suku / Bangsa : Sunda / Indonesia Pendidikan : SMA Pekerjaan : Karyawan Tanggal pemeriksaan : 11 September 2013 B. Anamnesis ( Alloanamnesis / Autoanamnesis ) Keluhan Utama Diare Kronis sejak 1 bulan SMRS Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan membawa rujukan dari klinik dengan hasil pemeriksaan B20 dan ingin memulai pengobatan. Keluhan pasien diawali dengan diare yang dirasakan sejak 1 bulan SMRS, berwarna kuning, cair, tidak ada darah dan tidak disertai lendir, sebanyak 1 hingga 11 kali dalam sehari. Keluhan disertai dengan panas badan dan meriang yang muncul hilang timbul, nafsu makan yang turun serta penurunan berat badan secara drastis dalam 2 bulan terakhir.

Upload: ayu-niken-savitri

Post on 20-Oct-2015

308 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Berkas Portofolio Kasus Medis

BAB I

ILUSTRASI KASUS

A. Identitas Pasien No. Rekam Medis: 527846

Nama : Tn. Y

Umur : 44 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Suku / Bangsa : Sunda / Indonesia

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Karyawan

Tanggal pemeriksaan : 11 September 2013

B. Anamnesis ( Alloanamnesis / Autoanamnesis )

Keluhan Utama

Diare Kronis sejak 1 bulan SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan membawa rujukan dari klinik dengan hasil

pemeriksaan B20 dan ingin memulai pengobatan.

Keluhan pasien diawali dengan diare yang dirasakan sejak 1 bulan SMRS,

berwarna kuning, cair, tidak ada darah dan tidak disertai lendir, sebanyak 1

hingga 11 kali dalam sehari. Keluhan disertai dengan panas badan dan

meriang yang muncul hilang timbul, nafsu makan yang turun serta penurunan

berat badan secara drastis dalam 2 bulan terakhir.

Keluhan juga disertai dengan timbulnya rasa gatal berulang pada tangan

pasien, munculnya bercak putih pada bagian pinggir mulut, di sekitar bagian

dalam mulut, lidah dan langit – langit mulut sejak 2 minggu SMRS.

Riwayat nyeri disertai bintil berisi air disekitar batang tubuh disangkal.

Riwayat benjolan di sekitar leher, ketiak dan pangkal paha disangkal.

Riwayat batuk lama, sesak nafas, keringat malam dan riwayat TB paru

disangkal. Riwayat infeksi menular seksual diakui pada 5-6 tahun SMRS.

Riwayat pemakaian jarum suntik disangkal. Riwayat memiliki tato disangkal,

riwayat penggunaan jarum suntik dan obat – obatan disangkal, Pada riwayat

Berkas Portofolio Kasus Medis

aktivitas seksual didapatkan pasien memiliki 2 orang istri, dan sebelum

berkeluarga pasien memiliki riwayat berganti – ganti pasangan seksual pada

5-6 tahun SMRS.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama dengan

pasien.

Riwayat Alergi

Pasien tidak memiliki riwayat alergi.

C. Pemeriksaan Fisik

A. Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan.

Kesadaran : Compos mentis.

Tanda vital

- Tekanan Darah : 130/80 mmHg.

- Nadi : 84 x/menit.

- Suhu : 36,60C.

- Frekuensi Pernapasan : 20 x/menit.

- Berat Badan : 62 kg.

Kepala : Normocephal

Mata : Konjungtiva Anemis - / -, Sklera Ikterik - / -

Hidung : PCH (-)

Mulut : POC (-)

Oral Plaque (+) a.r perioral, lidah, palatum

Leher : Tidak ada perbesaran kelenjar getah bening

Thoraks : Cor S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo VBS kanan=kiri, Ro - / -,

Wheezing - / -

Berkas Portofolio Kasus Medis

Abdomen : Dalam batas normal

Genitalia : Ulkus / luka (-), kutil (-)

Ekstremitas : Akral hangat (+)

Tampak hiperpigmentasi generalisata

pada kedua lengan, sebagian besar

berbentuk bulat, sebagian timbul,

sebagian datar, multipel, diameter 1 -3

cm

D. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium Darah

Pemeriksaan Radiologi

Hb 12,8 g/dl Eritrosit 3,9 % Anti-HIV 1 Reaktif

Leukosi

t

8800

/mm

Ht 35,6 Anti-HIV 2 Reaktif

LED 35

mm/jam

Trombosit 387.000 /mm3 Anti-HIV 3 Reaktif

Basofil 0 % SGOT 42 U/L CD4

Absolut

33L

(N=410-1590)Eosinofi

l

0 % SGPT 56 U/L

Batang 1 % GDS 123 mg/dl CD4 % 4L

(N=31-60%)Segme

n

89 % Ureum 17 mg/dl

Limfosit 7 % Kreatinin 0,7 mg/dl HbsAg Negatif

Monosit 3 %

Berkas Portofolio Kasus Medis

Ekspertise:

Pulmo: Corakan bronkovaskular paru normal, hilus baik

Cor : CTI = 50%

Aorta Elongasi

Sinus dan diafragma naik

Kesan: Elongasi aorta

E. Diagnosis Kerja

B20 stadium III dengan infeksi oportunistik:

- Diare kronik

- Kandidiasis Oral

- Prurigo

F. Penatalaksanaan

Berkas Portofolio Kasus Medis

- Cotrimoxazole 1 x 960 mg

- Nystatin drop 4 x 1 ml

- Fluconazole 2 x 1 tab

- Kontrol Poli Pelangi

- Saran Pemeriksaan Lab Darah untuk CD4

G. Prognosis

Quo Ad vitam : Dubia ad malam

Quo Ad functional : Dubia ad malam

H. Perjalanan Penyakit

Berkas Portofolio Kasus Medis

Tanggal Keadaan pasien Laboratorium Tatalaksana

19/09/13 BB: 62 kg

S: Os merasakan bercak putih disekitar mulut berkurang. Frekuensi diare menurun 1 kali / hari. Lemas (+), Keringat dingin (+)

Cotrimoxazole 1 x 960 mg

Nystatin drop 4 x 1 ml

Fluconazole 2 x 1 tab

Kontrol Poli Pelangi

26/09/13 T: 120/80 mmHg

BB: 60 kg

S: -

(Sampel darah per 19/09/14)

CD4 Absolut: 33 sel/l

(N = 410 – 1590 sel/l)

CD4 %: 4%

(N = 31 – 60%)

Cotrimoxazole Forte 1 x 1 tab

Neurodex 1 x 1 tab

Ranitidin 2 x 1 tab

Lansoprazole 1 x 1 tab

11/10/13 T: 120/80 mmHg

BB: 61 kg

S: -

Informed Consent ARV

Duviral 2 x 1

Neviral 2 x1

Cotrimoxazole Forte 1 x 1

18/10/13 T: 110/80 mmHg

BB: 62 kg

S: -

Duviral 2 x 1

Neviral 2 x1

Cotrimoxazole Forte 1 x 1

25/10/13 T: 110/80 mmHg

BB: 62 kg

S: -

Duviral 2 x 1

Neviral 2 x1

Cotrimoxazole Forte 1 x 1

08/11/13 T: 110/80 mmHg

BB: 65 kg

S: gusi bengkak (+)

Duviral 2 x 1

Neviral 2 x1

Cotrimoxazole Forte 1 x 1

21/11/13 T: 110/80 mmHg

BB: 62 kg

S: Batuk, pilek, sakit tenggorokan, panas, lemas

Duviral 2 x 1

Neviral 2 x1

Cotrimoxazole Forte 1 x 1

Tremenza 3 x 1

Paratusin 3 x 1

20/12/13 T: 100/70 mmHg

BB: 62 kg

S: -

Duviral 2 x 1

Neviral 2 x1

Cotrimoxazole Forte 1 x 1

20/01/14 T: 120/70 mmHg

BB: 62 kg

Hb: 11,5 mg/dl Duviral 2 x 1

Neviral 2 x1

Berkas Portofolio Kasus Medis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

AIDS (Acquired lmmunodeficiency Sydrome) adalah sindrom atau kumpulan gejala

penyakit yang disebabkan akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang diakibatkan oleh

HIV (Human Immunodeficiency Virus). Penyakit ini pertama kali ditemukan pada tahun

1981 di Amerika Serikat dan sampai saat ini telah menyerang sebagian besar negara

didunia. Penyakit ini berkembang secara pandemi, menyerang baik negara maju maupun

negara yang sedang berkembang.

2.1 Definisi HIV / AIDS

AIDS dapat diartikan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh

menurunnya sistem kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human

Immunodeficiency Virus). Penyakit ini ditandai oleh infeksi oportunistik dan atau beberapa

jenis keganasan tertentu. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.

HIV/AIDS dapat juga berupa sindrom akibat defisiensi imunitas seluler tanpa

penyebab lain yang diketahui, ditandai dengan infeksi oportunistik dan keganasan berakibat

fatal. Munculnya sindrom ini erat hubungannya dengan berkurangnya zat kekebalan tubuh

dimana proses ini memerlukan proses panjang yaitu sekitar 5-10 tahun.

Penderita HIV akan dinyatakan sebagai penderita AIDS ketika menunjukkan gejala

atau penyakit tertentu yang merupakan akibat penurunan daya tahan tubuh yang disebabkan

virus HIV atau tes darah menunjukkan jumlah CD4 < 200/mm3.

Karena AIDS bukan penyakit maka AIDS tidak menular, yang berperan sebagai

agen penyakit adalah HIV yaitu virus yang menyebabkan kekebalan tubuh sehingga

mencapai masa AIDS. Virus ini terdapat dalam larutan darah, cairan sperma dan cairan

Berkas Portofolio Kasus Medis

vagina, dan dapat menular melalui kontak darah atau cairan tersebut. Pada cairan tubuh lain

konsentrasi HIV sangat rendah sehingga tidak bisa menjadi media atau saluran penularan.

Seseorang yang baru saja terinfeksi HIV tidak akan menunjukan gejala khusus.

Berbulan-bulan atau bertahun - tahun seseorang yang sudah terinfeksi dapat bertahan tanpa

menunjukkan gejala klinis yang khas namun akhirnya baru tampak pada tahap AIDS.

Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu

sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman

dan tempat masuk kuman (port’d entrée).

Virus HIV terbukti menyerang sel Limfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya.

Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Banyak cara yang diduga menjadi

cara penularan virus HIV, namun hingga kini yang diketahui adalah melalui :

a. Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan

penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen

dan cairan vagina . Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada

pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah

pasangan seks dan jenis hubungan seks. Risiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV

cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap.

1) Homoseksual

Di dunia barat, tingkat promiskuitas homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40

tahun dari semua golongan usia. Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku

seksual risiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif

menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan

mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami perlukaan pada saat

berhubungan secara anogenital.

Berkas Portofolio Kasus Medis

2) Heteroseksual

Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada

promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun

wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

b. Transmisi Non Seksual

1) Transmisi Parenteral

Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lain (alat tindik) yang terkontaminasi,

misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang

tercemar secara bersama-sama. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.

2) Produk Darah

Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun

1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena

darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Risiko tertular infeksi/HIV lewat

trasfusi darah adalah lebih dari 90%.

c. Transmisi Transplasental Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak

mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan

sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah

2.2 Virus HIV

Penyebab AIDS adalah virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV).

HIV merupakan virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili

lentivirinae, genus Lentivirus dan berdasarkan strukturnya merupakan virus RNA

(Ribonucleic Acid) dengan berat molekul 9,7 kb dan diamter sekitar 100nm.

HIV memiliki tonjolan eksternal yang terbentuk dari 2 protein utama yang

menyusun envelope HIV, yaitu gp120 yang terletak di bagian luar dan gp41 yang terletak di

Berkas Portofolio Kasus Medis

transmembran. Protein gp120 memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor CD4+, sedangkan

gp41 berperan dalam proses internalisasi struktur atau fusi membran. Di antara

nukleokapsid dan kapsul virus terdapat matriks protein. Di dalamnya terdapat 2 untai RNA

yang pada masing – masing untaiannya memiliki sejumlah gen spesifik sesuai dengan

spesies virusnya, antara lain gag (fungsi struktural virus), pol (fungsi struktural dan sintesis

DNA), serta env (untuk fusi kapsul virus dengan membran plasma sel pejamu). RNA

diliputi oleh kapsul berbentuk kerucut yang terdiri atas sekitar 2000 kopi p24 protein virus

dan dikelilingi kapsid selubung (envelope). Selain itu juga terdapat tiga protein spesifik

untuk virus HIV, yaitu enzim reverse transkriptase (RT), protease (PR), dan integrase (IN).

Gambar 2.2.1 Struktur virus HIV

2.3 Peran Sel Limfosit T CD4+ dalam Sistem Imun

2.3.1 Limfosit

Limfosit merupakan bagian dari sel darah putih yang berjumlah sekitar 20 – 35%

dari seluruh jumlah leukosit yang beredar. Salah satu sifat penting dari limfosit adalah

motilitas limfosit yang dapat menembus dinding kapiler dan meninggalkan aliran darah lalu

bergerak bebas dalam jaringan ikat tubuh sehingga limfosit dapat ditemukan dalam

Berkas Portofolio Kasus Medis

pembuluh darah, pembuluh limfa atau jaringan ikat. Dapat pula ditemukan pada timus,

nodus limfatik, limpa dan jaringan limfoid pada mukosa saluran cerna, saluran napas dan

saluran kemih. Limfosit terdiri atas tiga tipe yaitu sel limfosit B (23%), sel limfosit T (65%),

dan NK cells (7%).

Limfosit B berasal dari sel induk sumsum tulang dan bertahan selama beberapa

bulan beredar melalui darah, nodus limfatik, limpa dan saluran limfatik secara berulang –

ulang. Peredaran tersebut yang dapat bertemu dan mengenali antigen yang pernah memasuki

tubuh. Identifikasi limfosit B dengan melihat antibodi atau imunoglobulin sebagai protein

membran integral pada permukaannya yang berfungsi sebagai sistem imun humoral.

Beberapa sitokin bekerja pada sel B sehingga dapat meningkatkan proliferasi dan

diferensiasi menuju sel yang dapat mensekresi imunoglobulin.

Limfosit T juga berasal dari sel induk sumsum tulang namun setelah memasuki

darah, sel T keluar dari peredaran darah untuk menuju dan menetap di Timus lalu

berproliferasi. Sel T bersifat sangat spesifik antigen, pada membran plasmanya terdapat

protein protein reseptor spesifik yanng terdiri atas dua rantai polipeptida ( dan ).

Diferensiasi sel T dalam timus menghasilkan populasi yang memaparkan reseptor

dengan kekhususan berbeda. Sel dengan reseptor yang dapat mengenali molekul MHC

individu itu sendiri akan mati di timus. Eliminasi sel reaktif tersebut berakibat tersisanya

populasi sel T matang yang hanya sanggup bereaksi dengan antigen asing yang berasal dari

luar tubuh. Selama diferensiasi, limfosit T juga memaparkan molekul permukaan antibodi

monoklonal dimana antibodi yang bereaksi dengan penanda yang sama akan dikelompokkan

ke dalam Cluster of Differentiation (CD). Diantaranya yang sering disinggung adalah CD4+

yang berfungsi sebagai sel T-helper dalam produksi antibodi yang mengenali MHC Class II

sedangkan CD8+ berfungsi sebagai sel T sitotoksik yang merupakan sel efektor dalam

respon sel untuk melisis antigen dan mengenali MHC Class I.

Berkas Portofolio Kasus Medis

Sel NK merupakan limfosit yang berukuran lebih besar dari limfosit pada umumnya,

berperan pada aktivitas sitotoksik non spesifik dalam melawan infeksi virus dan sel tumor.

2.3.2 Sel Limfosit T CD4+

CD4+ sangat umum digunakan untuk mengetahui tingkat sistem imun dari penderita

HIV / AIDS. Selain itu penghitungan CD4+ juga digunakan untuk menentukan terapi,

melihat respon terapi, serta penentuan pemberian profilaksis patogen oportunistik pada

penderita HIV / AIDS. Pemeriksaan jumlah limfosit T CD4+ dengan menggunakan flow

cytometri biasanya dilakukan secara berkala setiap 3 – 6 bulan sekali pada pasien HIV /

AIDS dan dianggap sangat bermanfaat dalam memprediksi perkembangan infeksi

oportunistik. Jumlah CD4+ sendiri dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pada

infeksi akut, tindakan operasi besar, maupun pemberian kortikosteroid. Namun hal ini

dianggap tidak signifikan pada penderita penyakit kronis seperti HIV / AIDS. Pemakaian

obat Anti Retro Viral (ARV) dapat meningkatkan jumlah CD4+ sebanyak 50 sel / mm3

dalam pemakaian 4 hingga 8 minggu kemudian meningkat sebanyak 50 – 100 sel / mm3

setiap tahunnya.

2.4 Patogenesis HIV / AIDS

Infeksi HIV terjadi saat HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper

dengan melekatkan dirinya pada protein permukaan CD4+. CD4+ berikatan dengan gp120

yang berupa glikoprotein yang terdapat pada selubung virus HIV. Setelah terjadi ikatan

maka RNA virus masuk kedalam sitoplasma sel dan berubah menjadi DNA dengan bantuan

enzim RT. Setelah terbentuk DNA, virus menerobos masuk kedalam inti sel. Dalam inti sel,

DNA HIV disatukan pada DNA sel yang terinfeksi dengan bantuan enzim integrase. Waktu

Berkas Portofolio Kasus Medis

sel yang terinfeksi menggandakan diri, DNA HIV diaktifkan dan membuat bahan baku

untuk virus baru. Virus yang belum matang mendesak ke luar sel yang terinfeksi dengan

proses yang disebut budding atau tonjolan. Virus yang belum matang melepaskan diri dari

sel yang terinfeksi. Kemudian, virus baru menjadi matang dengan terpotongnya bahan baku

oleh enzim protease dan kemudian dirakit menjadi virus yang siap bekerja.

Gambar 2.4.1 Patogenesis Virus HIV

Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV untuk

menghancurkan sistem imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun untuk

menghancurkan HIV. Penyakit HIV/AIDS dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat

diatasi sempurna oleh respons imun adaptif dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid

perifer yang kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa

jumlah virus di plasma dan jumlah sel CD4+ dalam darah.

Berkas Portofolio Kasus Medis

Setelah terjadi infeksi primer, sel dendrit di epitel akan menangkap virus kemudian

bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yaitu CCR5 yang

berperan dalam pengikatan HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV

ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel CD4+

melalui kontak langsung antar sel. Dari jaringan limfoid, HIV masuk ke dalam aliran darah

dan kemudian menginfeksi organ-organ tubuh.

Beberapa hari setelah paparan pertama HIV, replikasi virus dalam jumlah banyak

dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai

sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik infeksi virus). Setelah terjadi penyebaran

infeksi HIV, terbentuk respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen

virus. Respons imun ini dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus yang

menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.

Setelah terjadi infeksi akut dilanjutkan dengan fase kedua dimana kelenjar getah

bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem

imun masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul

manifestasi klinis infeksi HIV. Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel

tidak mengandung HIV. Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat terdeteksi

dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang

dikenal dengan “ masa window period “

Kendati demikian, penghancuran sel CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung

dan jumlah sel CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang. Pada awal penyakit, tubuh dapat

menggantikan sel CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun

siklus infeksi virus, kematian sel dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya

menyebabkan penurunan jumlah sel CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.

Berkas Portofolio Kasus Medis

Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain dan respons imun

terhadap infeksi tersebut menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid.

Penyakit HIV berjalan ke fase akhir yang disebut AIDS dimana terjadi destruksi seluruh

jaringan limfoid perifer, jumlah sel CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan

viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma,

kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal dan degenerasi susunan saraf pusat.

Gambar 2.4.1 Perjalanan Penyakit HIV dan Penurunan CD4 tanpa Antiretroviral

Virus HIV yang menginfeksi seseorang dapat menimbulkan gejala klinis berbeda-

beda. Lesi-lesi yang muncul sesuai dengan tahap infeksi, mulai dari akut sampai dengan

gambaran AIDS yang sempurna (full-blown AIDS). Kecepatan perkembangan penyakit

bervariasi antar individu, berkisar antara 6 bulan hingga lebih 20 tahun. Waktu yang

diperlukan untuk berkembang menjadi AIDS adalah sekitar 10 tahun.

2.5 Diagnosis HIV / AIDS

Diagnosis HIV positif dapat ditegakkan dari beberapa hal. Penentuan diagnosis awal

dapat dilihat dari riwayat penyakit-penyakit yang pernah diderita yang menunjukkan gejala

Berkas Portofolio Kasus Medis

HIV dan pada pemeriksaan fisik terdapat tanda-tanda infeksi oportunistik. Selain itu riwayat

pergaulan atau aktivitas seksual dapat membantu menegakkan diagnosa AIDS karena dapat

menjadi sumber informasi awal penularan penyakit.

Tabel 2.5.1 Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi HIV

Selain itu, kelainan kulit merupakan gejala klinis yang mudah dikenali pada HIV /

AIDS. Kelainan tersebut dapat disebabkan oleh:

1. Infeksi Virus: Herpes Zooster (VZV), Verucca Vulgaris dan Condyloma Acuminata

(HPV), Oral Hairy Leukoplakia (EBV)

2. Infeksi Bakteri: Folikulitis, furunkulosis, impetigo, ektima

Berkas Portofolio Kasus Medis

3. Infeksi Jamur: Kandidiasis, Dermatofitosis

4. Infeksi Parasit: Scabies

5. Dermatitis non spesifik: Erupsi obat, Sindrom Steven Johnson, Seboroik dermatitis,

Psoriasis, Xerosis, Erupsi papular pruritik

6. Kanker: Sarkoma kaposi dan Limfoma Non Hodgkin

Gambar 2.5.1 Kelainan kulit pada HIV berhubungan dengan CD4 dan lama infeksi

Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV selalu disertai dengan konseling pra tes

dan pasca tes serta informed consent. Untuk mendeteksi infeksi HIV, dapat dilakukan tes

langsung untuk mendeteksi virus HIV atau secara tidak langsung dengan cara mendeteksi

antibodi. Tes antibodi HIV lebih murah dan lebih cepat serta memiliki spesifitas yang setara

dibandingkan pemeriksaan langsung untuk mendeteksi virus HIV.

Pemeriksaan laboratorium infeksi HIV, terdiri atas tes A1. A2 dan A3. Tes inisial (A1)

biasanya menggunakan rapid test. Hasil A1 yang positif akan diperiksa ulang dengan

menggunakan tes yang memiliki prinsip dasar tes yang berbeda dan / atau menggunakan

preparasi antigen yang berbeda dari tes pertama untuk meminimalkan adanya hasil positif

palsu, biasanya dengan cara Enzym-linked immunosorbent assay (ELISA) atau pemeriksaan

sejenis yang memiliki spesifisitas lebih tinggi dari rapid test yang pertama. Kemudian untuk

tes konfirmasi akhir (A3) dapat menggunakan Western Blot (WB), Indirect

Berkas Portofolio Kasus Medis

Immunofluorescence Assay (IFA) atau radio-immunoprecipitation assays (RIPA). Antibodi

biasanya terdeteksi dalam 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut

masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil

”negatif”, maka dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku berisiko.

Gambar 2.5.1 Bagan Alur Pemeriksaan Laboratorium Infeksi HIV Dewasa

Berkas Portofolio Kasus Medis

Tabel 2.5.1 Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1

2.6 Penatalaksanaan HIV / AIDS

Setelah penderita dinyatakan terinfeksi HIV, maka selanjutnya dilakukan penilaian

stadium klinis, penilaian imunologis (pemeriksaan jumlah CD4+) dan penilaian virologi.

Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk

memulai terapi antiretroviral, menilai status supresi imun pasien, menentukan infeksi

oportunistik yang sudah dan sedang terjadi serta menentukan kombinasi ARV yang sesuai.

2.6.1 Stadium Klinis HIV / AIDS

Stadium Klinik HIV/ AIDS ditetapkan menurut CDC dan WHO. CDC melakukan

penentuan stadium klinik berdasarkan jumlah temuan CD4 dan disesuaikan dengan gejala

penderita. WHO menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS terdiri dari 4 stadium.

Tabel 2.6.1 Stadium klinik HIV/AIDS menurut jumlah CD4 berdasarkan CDC

Berkas Portofolio Kasus Medis

Tabel 2.6.2 Stadium klinik HIV/AIDS berdasarkan WHO

2.5.2 Penilaian Imunologi

Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA. Pemeriksaan CD4

melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan pasien yang memerlukan pengobatan

profilaksis IO dan terapi ARV. Rata rata penurunan CD4 adalah sekitar 70-100

Berkas Portofolio Kasus Medis

sel/mm3/tahun, dengan peningkatan setelah pemberian ARV antara 50 – 100

sel/mm3/tahun. Jumlah limfosit total (TLC) tidak dapat menggantikan pemeriksaan CD4.+.

2.5.3 Penilaian Laboratorium

Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan merupakan persyaratan mutlak untuk

menginisiasi terapi ARV. Pemeriksaan CD4 dan viral load juga bukan kebutuhan mutlak

dalam pemantauan pasien yang mendapat terapi ARV, namun pemantauan laboratorium atas

indikasi gejala yang ada sangat dianjurkan untuk memantau keamanan dan toksisitas pada

ODHA yang menerima terapi ARV. Hanya apabila sumberdaya memungkinkan maka

dianjurkan melakukan pemeriksaan viral load pada pasien tertentu untuk mengkonfirmasi

adanya kemungkinan gagal terapi menurut kriteria klinis dan imunologis.

2.5.4 Persiapan Lain

Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan matang dengan konseling

kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya. Untuk ODHA yang

memulai ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan

Kotrimoksasol 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini bertujuan untuk mengkaji kepatuhan

pasien untuk minum obat,dan menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih

antara kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek

samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.

Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian

profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan, yaitu profilaksis primer yaitu

pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu infeksi yang belum pernah

Berkas Portofolio Kasus Medis

diderita dan profilaksis sekunder yang merupakan pemberian pengobatan pencegahan yang

ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya

Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan

kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi

HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidensi infeksi bakterial, parasit

(Toxoplasma) dan Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) dengan dosis TMP/SMZ

160/800mg per oral 1 tablet per hari atau TMP/SMZ 80/400 per oral 2 tablet per hari.

Pemberian kotrimoksasol untuk mencegah terjadinya PCP dan Toxoplasmosis disebut

sebagai Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK), selain dianjurkan bagi ODHA

dengan CD4 <200 namun juga bagi ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4)

termasuk perempuan hamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat

menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam jiwa pada ibu

hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala klinis supresi imun (stadium

klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil

harus melanjutkan profilaksis kotrimoksasol.

2.5.5 Tatalaksana Farmakologi

Secara umum penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri atas beberapa jenis yaitu

pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV),

pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi opportunistik menyertai infeksi

HIV/AIDS dan pengobatan suportif.

a. Terapi antiretroviral (ARV)

Terapi HIV/AIDS saat ini adalah terapi kimia yang menggunakan obat ARV yang berfungsi

menekan perkembangbiakan virus HIV. Obat ini adalah inhibitor dari enzim yang

Berkas Portofolio Kasus Medis

diperlukan untuk replikasi virus seperti reverse transcriptase (RT) dan protease. Tujuan

terapi ARV diantaranya adalah:

1. Mengurangi morbiditas dan mortalitas terkait HIV

2. Memperbaiki mutu hidup

3. Memulihkan dan memlihara fungsi kekebalan

4. Menekan replikasi virus semaksimal mungkin dalam jangka waktu lama

Obat ARV terdiri dari beberapa golongan, yaitu:

Nucleoside Reverse Transcriptase Iinhibitor (NRTI) merupakan analog nukleosida.

Obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim reverse transkriptase selama

proses transkripsi RNA virus pada DNA host. Analog NRTI akan mengalami

fosforilasi menjadi bentuk trifosfat, yang kemudian secara kompetitif mengganggu

transkripsi nukleotida. Akibatnya rantai DNA virus akan mengalami terminasi. Obat

yang termasuk dalam golongan NRTI antara lain Abacavir (ABC), Zidovudine

(ZDV atau AZT), Emtricitabine (FTC), Zalcitabine (ddC), Didanosine (ddI),

Lamivudine (3TC) dan Stavudine (d4T), Tenofovir.

Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) akan berikatan langsung

dengan enzim reverse transkriptase dan menginaktifkannya. Obat yang termasuk

NNRTI antara lain Efavirenz (EFV) Nevirapine (NVP), Delavirdine.

Protease Inhibitor (PI) bekerja dengan menghambat protease yang berfungsi

memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Dengan

pemberian PI, produksi virion dan perlekatan dengan sel pejamu masih terjadi,

namun virus gagal berfungsi dan tidak infeksius terhadap sel. Yang termasuk

golongan PI antara lain Nelfinavir (NFV), Ritonavir (RTV), Atazanavir (ATV),

Fos-Amprenavir (FPV), Indinavir (IDV), Lopinavir (LPV) and Saquinavir (SQV).

Berkas Portofolio Kasus Medis

Pada penggunaan ARV, perlu diperiksa adanya ketersediaan pemeriksaan jumlah

CD4. Jika tidak tersedia maka didasarkan pada penilaian klinis.

Tabel 2.5.5.1 Waktu Pemberian Obat Antiretroviral

Namun, terdapat beberapa infeksi oportunistik yang perlu diredakan sebelum terapi ARV

dimulai seperti pada tabel berikut:

Tabel 2.5.5.2 Waktu Pemberian Obat Antiretroviral dengan Infeksi Oportunistik

Terapi Antiretroviral yang dianjurkan saat ini menggunakan kombinasi minimal tiga

obat antiretroviral. Terapi ini terbukti efektif dalam menekan replikasi virus (viral load)

sampai dengan kadar di bawah ambang deteksi. Panduan yang ditetapkan untuk pemilihan

Obat ARV Lini Pertama adalah:

2 NRTI + 1 NNRTI

Kombinasi ini mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan kombinasi obat yang lain dan

membutuhkan biaya yang lebih sedikit karena terdapat generiknya. Terapi lini pertama

Berkas Portofolio Kasus Medis

dapat juga mengkombinasikan 3 obat golongan NRTI apabila obat golongan NNRTI sulit

untuk diperoleh. Maka terapi ARV dapat dimulai dengan salah satu dari kombinasi berikut:

AZT + 3TC +NVP Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine

AZT + 3TC +EFV Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz

TDF + 3TC (atau FTC) + NVP Tenofovir +Lamivudine / Emtricitabine + Nevirapine

TDF + 3TC (atau FTC) + EFV Tenofovir +Lamivudine / Emtricitabine + Efavirenz

Tabel 2.5.5.3 Kombinasi terapi ARV lini pertama

Regimen lain yang dapat juga dipertimbangkan adalah regimen triple NRTI:

AZT + 3TC+ TDF

Regimen ini digunakan hanya jika pasien tidak dapat menggunakan obat berbasis

NNRTI, seperti pada koinfeksi TB/HIV terkait dengan interaksinya terhadap Rifampisin,

pad ibu hamil dan hepatitis terkait dengan efek hepatotoksik dari NVP / EFV / PI.

Tabel 2.5.5.4 Terapi ARV lini pertama

Evaluasi pengobatan dapat dilihat dari jumlah CD4+ di dalam darah dan dapat

digunakan untuk memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV. Selain itu

Berkas Portofolio Kasus Medis

dapat pula terjadi toksisitas terkait ketidakmampuan untuk menahan efek samping dari obat,

sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat dipantau secara klinis,

baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan fisik pasien, atau dari hasil pemeriksaan

laboratorium. Penilaian klinis toksisitas harus dibedakan dengan sindrom pemulihan

kekebalan (immuno reconstitution inflammatory syndrome / IRIS), yaitu keadaan yang dapat

muncul pada awal pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai oleh timbulnya infeksi

oportunistik beberapa minggu setelah ART dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap

infeksi oportunistik yang semula subklinik. Keadaan tersebut terjadi terutama pada pasien

dengan gangguan kebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi imunologi dapat pula

menimbulkan gejala atipik dari infeksi oportunistik.

Apabila setelah memulai terapi minimal 6 bulan dengan kepatuhan yang tinggi tetapi

tidak terjadi respon terapi yang kita harapkan, maka perlu dicurigai kemungkinan terjadinya

Gagal Terapi. Kriteria gagal terapi menurut WHO menggunakan 3 kriteria, yaitu kriteria

klinis, imunologis dan virologis.

Berkas Portofolio Kasus Medis

Tabel 2.7.3 Langkah pertimbangan untuk mengganti terapi ARV

Terapi lini kedua digunakan bila pasien mengalami intoleransi berat terhadap NNRTI

(Efavirenz atau Nevirapine) atau pada kasus kegagalan terapi, yaitu dengan:

2 NRTI + Boosted-PI

Protease Inhibitor (PI) yang diperkuat oleh Ritonavir (ritonavir-boosted) ditambah 2 NRTI,

dengan pemilihan Zidovudine (AZT) atau Tenofovir (TDF) tergantung yang digunakan pada

lini pertama dan ditambah dengan 3TC. PI yang ada di Indonesia dan dianjurkan digunakan

adalah Lopinavir/ritonavir (LPV/r). Atau dapat pula diberikan:

Berkas Portofolio Kasus Medis

TDF atau AZT + 3TC +LPV/r

Efek samping ARV pun perlu diperhatikan karena dapat mengganggu kepatuhan

pengobatan. Efek samping yang cukup sering dijumpai, diantaranya:

b. Terapi Infeksi Oportunistik

Infeksi oportunistik adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas AIDS,

dengan angka sekitar 90%. Terapi antibiotik atau kemoterapeutik disesuaikan dengan

infeksi yang berasal dari mikroorganisme dengan virulensi rendah yang ada di sekitar kita,

sehingga jenis infeksi sangat tergantung dari lingkungan dan cara hidup penderita.

Hampir 65% penderita HIV/AIDS mengalami komplikasi pulmonologis dimana

pneumonia karena P.carinii merupakan infeksi oportunistik tersering, diikuti infeksi M

tuberculosis, pneumonia bakterial dan jamur.

Pada pneumonia yang sedang-berat atau berat, penderita di rawat di rumah sakit

karena mungkin memerlukan bantuan ventilator. Obat pilihan adalah kotrimoksazol

intravena dosis tinggi selama 21 hari. Penderita yang berespon baik dengan antibiotika

intravena, dapat melanjutkan terapi dengan antibiotika per oral untuk jika sudah

Berkas Portofolio Kasus Medis

memungkinkan. Hipoksemia yang signifikan (PaO2 < 70 mmHg atau gradien arterial-

alveoler > 35), memerlukan kortikosteroid dan diberikan sesegera mungkin (dalam 72 jam)

sebelum terapi antibiotika untuk menekan risiko komplikasi dan memperbaiki prognosis.

Pada kasus-kasus ringan-sedang dapat diberikan kotrimoksazol oral dengan dosis 2 x 960

mg selama 21 hari.

Tuberkulosis paru (TB paru) masih merupakan problem penting pada infeksi

HIV/AIDS dan menjadi penyebab kematian pada sekitar 11% penderita. Penatalaksanaan

TB paru dengan infeksi HIV pada dasarnya sama dengan tanpa infeksi HIV. Umumnya

pengobatan OAT akan diberikan terlebih dahulu sebelum memulai ARV.

Terdapat interaksi antara obat ARV dengan OAT, terutama rifampicin karena

rangsangannya terhadap aktivitas sistem enzim liver sitokrom P450 yang memetabolisme PI

dan NNRTI, sehingga terjadi penurunan kadar PI dan NNRTI dalam darah sampai kadar

sub-terapeutik yang berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya resistensi obat.

Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau menghambat sistem enzim ini

dan berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah. Interaksi obat-obat ini akhirnya

berakibat tidak efektifnya sehingga terjadi penurunan kadar PI dan NNRTI dalam darah

sampai kadar sub-terapeutik yang berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya

resistensi obat. Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau menghambat

sistem enzim ini dan berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah. Interaksi obat-

obat ini akhirnya berakibat tidak efektifnya obat ARV dan terapi tuberkulosis serta

meningkatnya risiko toksisitas obat, sehingga pemakaian bersama tidak direkomendasikan.

Sarkoma Kaposi jenis endemik, merupakan manifestasi keganasan yang paling

sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS. Penyakit yang disebabkan Cytomegalovirus ini

ditandai dengan lesi-lesi tersebar di daerah mukokutan, batang tubuh, tungkai atas dan

bawah, muka dan rongga mulut. Bentuk lesi berupa makula eritematosa agak menimbul,

Berkas Portofolio Kasus Medis

berwarna hijau kekuningan sampai violet. Cara penularannya melalui kontak seksual.

Karsinoma sel skuamosa tipe in situ maupun invasif di daerah anogenital; limfoma terutama

neoplasma sel limfosit B; keganasan kulit non melanoma serta nevus displastik dan

melanoma, merupakan neoplasma lainnya yang sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS.

Radiasi, kemoterapi dan imunomodulator interferon dapat dicoba, yang sebenarnya

ditujukan untuk memperpanjang masa hidup, sehingga lama terapi sulit ditentukan.

Berkas Portofolio Kasus Medis

Tabel 2.7.5 Infeksi Oportunistik pada penderita HIV/AIDS

Berkas Portofolio Kasus Medis

BAB III

DISKUSI

No Pertanyaan Jawaban

1 Berapa lama waktu inkubasi virus

HIV?

Dari waktu pajanan pertama virus HIV hingga

menghasilkan hasil yang positif di laboratorium,

akan dibutuhkan waktu sekitar 2 minggu hingga

3 bulan.

2 Bagaimana aturan minum obat

ARV?

Obat ARV diminum setiap hari seumur hidup,

satu kali dalam sehari dan dalam waktu yang

sama

3 Kapan harus melakukan penggantian

ARV lini pertama menjadi ARV lini

kedua?

Penggunaan ARV lini kedua dilakukan saat

ditemukan adanya indikasi gagal terapi dengan

ARV lini pertama. Kegagalan terapi dapat

dievaluasi dalam 6 bulan penggunaan ARV dan

dilihat berdasarkan kegagalan klinis, kegagalan

imunologis dan kegagalan virologis. Kegagalan

klinis diindikasikan saat ditemukannya kembali

infeksi oportunistik, kegagalan imunologis

dilihat berdasarkan penurunan CD4 seperti pada

awal pengobatan ataupun jumlahnya yang selalu

kurang dari 100 sel/mm3, sedangkan kegagalan

virologis dinilai berdasarkan jumlah viral load

lebih dari 5000 copies/ml

4 Seberapa sering harus melakukan

pemeriksaan CD4?

Pemeriksaan CD4 baiknya dilakukan setiap 6

bulan sekali, pada ODHA yang bergejala

maupun yang tidak

5 Bagaimanakah pemberian ARV

untuk profilaksis setelah pajanan?

Kapankah waktu yang paling baik?

Profilaksis setelah pajanan paling baik dilakukan

sebelum 3 jam dan maksimal 48 hingga 72 jam

setelah pajanan. ARV yang diberikan adalah

kombinasi AZT +3TC + EFV atau AZT + 3TC +

LPV/r diberikan selama 1 bulan.

Berkas Portofolio Kasus Medis

6 Setelah pemberian profilaksis setelah

pajanan, kapan harus dilakukan

pemeriksaan laboratorium untuk

memeriksa status HIV?

Pemeriksaan laboratorium untuk HIV dilakukan

dalam waktu 3 bulan setelah pajanan dan diulang

kembali pada 6 bulan setelah pajanan

7 Mengapa infeksi oportunistik yang

muncul pada setiap individu berbeda

– beda?

Tidak ada kekhususan dalam infeksi oportunistik

yang muncul pada setiap individu. Masing –

masing akan mengalami perjalanan stadium 1,

2 ,3 hingga 4. Penemuan infeksi oportunistik

pada saat diagnosis hanyalah berdasarkan

keluhan subjektif yang pasien rasakan dan hasil

anamnesis riwayat infeksi oportunistik

sebelumnya.

Berkas Portofolio Kasus Medis

Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan

Pengobatan bagi ODHA. Jakarta. 2006. Lang GK. Ophtalmology. New York :

Thieme. 2000.

2. Djoerban, Zubairi. HIV-AIDS di Indonesia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk (editor). Jakarta. Pusat

Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2007: Hal 1825-9

3. Yayasan Spiritia: Lembaran Informasi tentang HIV / AIDS untuk ODHA.

Jakarta. 2003.

4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Tatalaksana

Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta:

Kementrian Kesehatan RI. 2012.

5. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Situasi HIV/AIDS di

Indonesia Tahun 1987 – 2006. Jakarta. 2006.

6. Fauci, A., Braunwald, E., Kasper, D., Hauser S., Longo., D., Jameson, J.,

Loscalzo. 2012. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th. Ed. USA:

McGraw – Hill.

7. UNAIDS Hari Aids Sedunia Report 2012. UNAIDS LI 2012. Kaiser Family

Foundation. (Diunduh pada 16 Februari 2014). Tersedia di:

http://www.amfar.org/about_hiv_and_aids/facts_and_stats/statistics__worldwide

8. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia 2012. (Diunduh pada 14 Februari

2014). Tersedia di: http://pppl.depkes.go.id/infopenyakit?id=67

Berkas Portofolio Kasus Medis

9 . Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,

Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds.Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed.

Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

10. Djoerban, Zubairi. HIV-AIDS di Indonesia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk (editor). Jakarta. Pusat

Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2007: Hal 1825-9