presentasi kasus anes moewardi
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan yang
meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami
pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi
inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun.
Anestesia untuk pasien yang harus dibedah secara darurat mempunyai
kekhususan karena keadaan umum pasien dapat sangat bervariasi dari yang masih
normal sehat sampai yang menderita penyakit dasar berat yang kemudian masih
dibebani lagi dengan kelainan bedahnya. Tidak hanya sampai disini saja karena
pemakaian obat-obatan juga dapat berinteraksi dengan obat-obat anestesia. 1
Anestesi spinal merupakan salah satu macam anestesi regional. Pungsi lumbal
pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun 1891. Anestesi spinal subarachnoid
dicoba oleh Corning, dengan menganestesi bagian bawah tubuh penderita dengan
kokain secara injeksi columna spinal. Efek anestesi tercapai setelah 20 menit, mungkin
akibat difusi pada ruang epidural. Indikasi penggunaan anestesi spinal salah satunya
adalah tindakan pembedahan pada daerah papila mamae kebawah, termasuk pada kasus
bedah darurat daerah abdomen.2
Pada umumnya masalah yang dihadapi oleh dokter anestesi pada kasus bedah
darurat daerah abdomen adalah : (1) Keterbatasan waktu untuk melakukan evaluasi pra
anestesia yang lengkap, (2) Pasien sering dalam keadaan takut gelisah, (3) Lambung
sering berisi cairan dan makanan, (4) Sistem hemodinamik sering terganggu, keadaan
umum sering buruk (hipotensi,takikardi), (5) Menderita cidera ganda, (6) Kelainan yang
harus dibedah kadang-kadang belum diketahui dengan jelas, (7) Riwayat sebelum sakit
sering tak diketahui, (8) Komplikasi/penyakit yang ada kadang-kadang tidak dapat
diobati dengan baik sebelum pembedahan. Keadaan terakhir ini yang sering
menyebabkan mortalitas pasien bedah darurat menjadi tinggi dibanding dengan bedah
elektif. 1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PERSIAPAN PRA ANESTESI
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan
tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:
1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):1
a. ASA I Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan
faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
b. ASA II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas
16%.
c. ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
d. ASA IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa,
tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
e. ASA V pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat .1
B. PREMEDIKASI ANESTESI
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan
dari premedikasi antara lain :1
1. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2
2. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
3. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
4. memberikan analgesia, misal pethidin
5. mencegah muntah, misal : droperidol, metoklopropamid
6. memperlancar induksi, misal : pethidin
7. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
8. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
9. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin
C. ANESTESI SPINAL
Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan obat
analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri
dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi motorik dapat terpengaruh
sebagian atau seluruhnya, sedang penderita tetap sadar.
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila kita
menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara
vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial) atau L4-L5 (obat
lebih cenderung berkumpul di kaudal).
Indikasi : anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi abdomen
bagian bawah (termasuk appendektomi), perineum dan kaki. Anestesi ini memberi
relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi didapat dengan lidokain hanya sekitar 90
menit. Bila digunakan obat lain misalnya bupivakain, sinkokain, atau tetrakain, maka
lama operasi dapat diperpanjang sampai 2-3 jam.
Kontra indikasi : pasien dengan hipovolemia, anemia berat, penyakit jantung,
kelainan pembekuan darah, septikemia, tekanan intrakranial yang meninggi.
1. Untuk tujuan klinik, pembagian tingkat anestesi spinal adalah sebagai berikut:
a. Sadle block anestesi, yang kena pengaruhnya adalah daerah lumbal bawah dan
segmen sakrum.
b. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah umbilikus / Th X
di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan sakral.
3
c. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk thoraks
bawah, lumbal dan sakral.
d. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk daerah
thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
e. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih tinggi.
2. Teknik anestesi :
a. Perlu mengingatkan penderita tentang hilangnya kekuatan motorik dan
berkaitan keyakinan kalau paralisisnya hanya sementara.
b. Pasang infus, minimal 500 ml cairan sudah masuk saat menginjeksi obat
anestesi lokal.
c. Posisi lateral dekubitus adalah posisi yang rutin untuk mengambil lumbal
pungsi, tetapi bila kesulitan, posisi duduk akan lebih mudah untuk pungsi.
Asisten harus membantu memfleksikan posisi penderita.
d. Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista iliaka kanan kiri
akan memotong garis tengah punggung setinggi L4-L5.
e. Palpasi : untuk mengenal ruangan antara 2 vertebra lumbalis.
f. Pungsi lumbal hanya antara L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1.
g. Setelah tindakan antiseptik daerah punggung pasien dan memakai sarung
tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan jarum lumbal no.
22 lebih halus no. 23, 25, 26 pada bidang median dengan arah 10-30 derajat
terhadap bidang horisontal ke arah kranial pada ruang antar vertebra lumbalis
yang sudah dipilih. Jarum lumbal akan menembus berturut-turut beberapa
ligamen, yang terakhir ditembus adalah duramater subarachnoid.
h. Setelah stilet dicabut, cairan LCS akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan larutan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Cabut
jarum, tutup luka dengan kasa steril.
i. Monitor tekanan darah setiap 5 menit pada 20 menit pertama, jika terjadi
hipotensi diberikan oksigen nasal dan ephedrin IV 5 mg, infus 500-1000 ml
NaCl atau hemacel cukup untuk memperbaiki tekanan darah.
4
3. Obat yang dipakai untuk kasus ini adalah :
BupivakainBupivakain (Decain, Marcain) adalah derivat butil yang 3 kali lebih kuat
dan bersifat long acting (5-8 jam). Obat ini terutama digunakan untuk anestesi
daerah luas (larutan 0,25%-0,5%) dikombinasi dengan adrenalin 1:200.000.
derajat relaksasinya terhadap otot tergantung terhadap kadarnya. Presentase
pengikatannya sebesar 82-96%. Melalui N-dealkilasi zat ini dimetabolisasi
menjadi pipekoloksilidin (PPX). Ekskresinya melalui kemih 5% dalam keadaan
utuh , sebagian kecil sebagai PPX, dan sisanya metabolit-metabolit lain. Plasma
t1/2 1,5-5,5jam. Untuk kehamilan, sama dengan mepivakain dapat digunakan
selama kehamilan dengan kadar 2,5-5 mg/ml. Dari semua anestetika lokal,
bupivakain adalah yang paling sedikit melintasi plasenta.3,4
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37oC adalah 1,003-
1,008. Anestesi lokal dengan berat jenis yang sama dengan CSS disebut isobarik
sedangkan yang lebih berat dari CSS adalah hiperbarik. Anestesi lokal yang
sering digunakan adalah jenis hiperbarik yang diperoleh dengan mencampur
anestesi lokal dengan dekstrosa.
Anestesi Lokal Berat Jenis Sifat Dosis
Bupivakain (decain)
0,5% dalam air 1,005 Isobarik 5-20 mg (1-4 mL)
0,5% dalam dekstrosa 8,25% 1, 027 Hiperbarik 5-15 mg (1-3mL)
Pethidin Pethidin merupakan narkotik yang sering digunakan untuk premedikasi.
Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan induksi, mengurangi
kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia pra dan pasca bedah,
memudahkan melakukan pemberian pernafasan buatan , dan dapat diantagonis
dengan naloxon.
5
Pethidin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat
menyebabkan hipotensi orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan
pada pasien dengan hipovolemia. Juga dapat menyebabkan depresi pusat
pernapasan di medulla yang dapat ditunjukkan dengan respon turunnya CO2.
mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi narkotik pada pusat muntah di
medulla. Posisi tidur dapat mengurangi efek tersebut.5
Sediaan : dalam ampul 100 mg/ 2cc
Dosis : 1 mg/ kgBB
Pemberian : IV, IM, Intradural
4. Keuntungan dan kerugian anestesi spinal :
a. Keuntungan
1). Respirasi spontan
2). Lebih murah
3). Ideal untuk pasien kondisi fit
4). Sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi paru pada pasien
dengan perut penuh
5). Tidak memerlukan intubasi
6). Pengaruh terhadap biokimiawi tubuh minimal
7). Fungsi usus cepat kembali
8). Tidak ada bahaya ledakan
9). Observasi dan perawatan post operatif lebih ringan
b. Kerugian
1). Efeknya terhadap sistem kardiovaskuler lebih dari general sistem
2). Menyebabkan post operatif headache.
5. Komplikasi tindakan anestesi spinal
a. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah
dengan pemberian cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum
tindakan
6
b. Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok
sampai T-2
c. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf phrenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
d. Trauma pembuluh darah
e. Trauma saraf
f. Mual-muntah
g. Gangguan pendengaran
h. Blok spinal tinggi atau spinal total
D. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk
:
1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada
ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk
dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 1 0
Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
2. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi :
Ringan= 4 ml/kgBB/jam.
Sedang= 6 ml / kgBB/jam
Berat = 8 ml / kgBB/jam.
7
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari
10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali
volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali
darah yang hilang.
3. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
E. PEMULIHAN
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan
untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar batu loncatan sebelum
pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU.
Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi
yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
F. Appendisitis Akut6
Epidemiologi
Insidens appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, namun demikian dalam tiga-empat dasawarsa terakhir menurun secara
bermakna. Kejadian ini diduga disebabkan oleh peningkatan penggunaan makanan
berserat dalam menu sehari-hari. Insidens laki-laki dan perempuan umumnya
sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens laki-laki lebih tinggi.
Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan, mungkin karena tidak diduga. Insidens tertinggi pada
kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun.
Etiologi
Appendisitis akut merupakan infeksi bakteria dan berbagai hal berperan sebagai
penyebabnya. Yang diduga ialah erosi mukosa appendiks karena parasit seperti
Entomoeba Histolytica, kebiasaan makan rendah serat, dan pengaruh konstipasi.
8
Appendiks pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini menimbulkan keluhan berulang di perut kanan
bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
sebagai mengalami eksaserbasi akut.
Gambaran Klinik
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari
oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsangan peritoneum lokal.
Keluhan utama sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya
nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan
bawah ke titik Mc Burney. Di titik Mc Burney dirasakan lebih tajam dan lebih
jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada
nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi.
Pemeriksaan
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,50C. Bila suhu
lebih tinggi, mungkin terjadi perforasi. Pada palpasi didapatkan nyeri pada regio
iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya
rangsangan peritoneum parietale. Nyeri perut kanan bawah ini merupakan kunci
diagnosis. Tanda khusus:
1. Rebound Phenomena: Pada bagian appendiks ditekan pelan-pelan kemudian
dilepaskan secara mendadak, akan terasa nyeri.
2. Rovsing sign: Dilakukan penekanan pada sepertiga SIAS sinistra, akan
terasa sakit di daerah appendiks karena ileum bergerak ke kanan menyentuh
appendiks sehingga terasa nyeri.
3. Mc Burney Sign: Dilakukan penekanan pada daerah Mc. Burney akan terasa
sakit.
9
4. Ten Horn Sign: Testis kanan ditarik akan menimbulkan rasa nyeri di
appendiks karena funiculus spermaticus ditarik sehingga peritoneum
bergerak menyentuh appendiks.
5. Psoas Sign: Pasien tidur terlentang, kaki kanan genu lurus dan pasien
diminta mengangkat, dan diberikan perlawanan akan menimbulkan rasa
nyeri di daerah appendiks.
6. Obturator Sign: Pasien terlentang, kemudian dilakukan antefleksi dan
endorotasi articulatio coxae dan diberikan perlawanan, akan menimbulkan
rasa nyeri di daerah appendiks.
Pemeriksaan 4,5, dan 6 merupakan tanda appendisitis yang letak
retrocaecal.
Diagnosis
Pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis
appendisitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20 % kasus. Kesalahan
diagnosis lebih sering pada perempuan terutama yang masih muda sering timbul
gangguan yang mirip appendisitis akut. Keluhan itu berasal dari genetalia
interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekolog
lain.
Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis appendisitis akut bila
diagnosis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit
dengan pengamatan setiap 1-2 jam.
Laboratorium
Pemeriksaan jumlah leukosit membantu menegakkan diagnosis
appendisitis akut. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih pada
kasus dengan komplikasi.
Diagnosis Banding
- Gastroenteritis
- Demam Dengue
- Limfadenitis mesenterika
- Salpingitis Akut Kanan
- Kehamilan di Luar Kandungan
10
- Kista Ovarium Terpuntir
- Endometriosis Eksterna
- Urolitiasis Ureter Kanan
11
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. H
Umur : 51 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
No RM : 01040123
Diagnosis pre operatif : Appendicitis Akut
Macam Operasi : Cito appendektomi
Macam Anestesi : Anestesi regional
Tanggal masuk : 30 November 2010 jam 14.00
Tanggal Operasi : 30 November 2010
B. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI
1. Anamnesa
a. Keluhan utama : Nyeri pada perut kanan bawah
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien adalah konsulan dari bagian bedah dengan keterangan
appendisitis akut yang akan dilakukan cito appendektomi.
Sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien merasakan nyeri
pada perut kanan bawah, nyeri dirasakan terus menerus mulai dari bagian
bawah umbilicus kemudian menjalar kearah perut bagian kanan atas. Nyeri
timbul, disertai gejala panas, serta mual-muntah. Pasien kemudian dibawa ke
RS dr.Oen Sawit, panas dan nyeri hanya sedikit berkurang. Karena nyeri
perut terasa semakin menghebat maka pasien dirujuk ke RSDM. Sesak napas
(-), batuk (-), nyeri kepala (-), makan & minum terakhir hari ini jam 12.00
WIB. Tidak ada keluhan pada BAB dan BAK.
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat asma : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
12
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat Penyakit jantung : disangkal
2. Pemeriksaan Fisik:
a. Keadaan umum : tampak sakit sedang, CM, GCS E4V5M6, gizi kesan cukup
b. Vital sign :
Nyeri perut kanan bawah
T :120/80 mmHg
N : 84 x/menit
Rr : 20 x/menit
S : 36,80C
BB : 60 kg
TB : 165 cm
c. Status Generalis :
Kepala : Mesocephal , Jejas (-)
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Reflek Cahaya (+/+), Isokor
(3mm/3mm)
Hidung : Sekret (-), Darah (-), jejas (-)
Jalan nafas : tersumbat (-), ompong (-), gigi palsu (-), mallampati I, oedem
(-), kekakuan sendi rahang (-), kaku leher (-)
Telinga : Sekret (-), darah (-)
Leher : JVP tidak meningkat, KGB tidak membesar
Thorax : retraksi (-)
Cor I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis tidak kuat angkat
P : Batas jantung kesan tidak melebar
A : Bunyi jantung I-II intensitas normal,reguler,bising (-)
Pulmo I : Pengembangan dada kanan=kiri
P : Fremitus raba kanan=kiri
P : Sonor/sonor
A : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
13
Abdomen I : Perut setinggi dada, jejas (-), darm countur/darm steifung (-)
P : supel, nyeri tekan (+) pada titik Mc.Burney, nyeri lepas (-)
P : Tympani, nyeri ketok (+) di daerah Mc.Burney
A: Peristaltik normal
Pemeriksaan khusus :
1. Rectal Toucher : TMSA dbn, ampula tidak kolaps, mucosa licin, nyeri
tekan pada jam 10.00 - 11.00 (+), feses (-), STLD (-).
2. Psoas sign (+), Obturator sign (+), Rebound phen (+), Rovsing sign (+)
Ekstremitas : Oedem akral dingin
3. Pemeriksaan laboratorium :
Hemoglobin
Hct
Eritrosit
Lekosit
Trombosit
Gol. Darah
GDS
HBsAg
:
:
:
:
:
:
:
:
14,8 g/dl
44,7 %
4,71.106/ ul
20,3.103/ ul
175.103/ ul
O
117 mg/dl
negatif
Eosinofil
Basofil
Netrofil batang
Granulosit
Limfosit
Monosit
Na : 134
K : 4,1
Clorida : 104
:
:
:
:
:
:
-
-
-
95%
4%
1%
EKG : Sinus Rytme 80 x/ mnt
Foto Thorax PA : Cor dan Pulmo dalam batas normal.
Konsul Jantung : Tidak ada kontra indikasi dilakukan appendektomi
4. Kesimpulan :
Kelainan sistemik : ( + )
Kegawatan : ( + )
Status fisik ASA : II E
14
C. RENCANA ANESTESI
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis ( + )
b. Puasa > 6 jam
c. Infus RL 40 tetes / menit
2. Jenis Anestesi : Regional Anestesi
3. Teknik Anestesi : Spinal Blok Anestesi, Spinal needle no 25 L3-4 medial
4. Premedikasi : Ondansetron 4 mg, midazolam 5 mg
5. Induksi : Bupivakain (Decain) 10 mg + Pethidin 25 mg intradural
6. Maintenance : 02 = 3 L/menit
7. Monitoring : tanda vital selama operasi tiap 10 menit, cairan, perdarahan,
ketenangan pasien dan tanda-tanda komplikasi anestesi
8. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan
D. TATA LAKSANA ANESTESI
1. Di ruang Persiapan
a. Cek persetujuan operasi
b. Periksa tanda vital dan keadaan umum
c. Lama puasa > 6 jam
d. Cek obat-obat dan alat anestesi
e. Infus RL 40 tetes/menit
f. Injeksi Ondansetron 4 mg, midazolam 5 mg IV
g. Posisi terlentang
h. Pakaian pasien diganti pakaian operasi
2. Di ruang Operasi
a. Jam 20.50 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang
b. Jam 20.55 mulai dilakukan anestesi spinal dengan prosedur sebagai
berikut :
1). Pasien minta duduk dengan punggung flexi maksimal.
15
2). Dilakukan tindakan antisepsis pada daerah kulit punggung bawah
pasien dengan menggunakan larutan iodin 1% + Alkohol 70%
3). Menggunakan sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan
menyuntikkan jarum spinal no 25 pada bidang median dengan arah
10-30 derajat terhadap bidang horisontal ke arah kranial pada ruang
antar vertebra lumbal 3-4.
4). Setelah jarum sampai di ruang subarachnoid yang ditandai dengan
menetesnya cairan LCS, stilet dicabut dan disuntikkan Bupivakain
0,5% 10 mg + Pethidin 25 mg .
5). Lokasi penyuntikan ditutup dengan perban.
6). Pasien dikembalikan pada posisi telentang, dan kepala
diekestensikan, Canul oksigen dipasang pada hidung dengan
maintenance O2 3 L/menit.
c. Jam 21.00 tensi 95/45 infus RL dipercepat dan diberikan efedrin 10 μg
d. Jam 21.05 operasi dimulai, selama operasi dimonitor tanda vital dan
saturasi O2 tiap 10 menit.
e. Jam 21.10 tensi 97/50 infus RL diganti HAES dipercepat dan diberikan
efedrin 10 μg
f. Jam 22.00 Operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.
Monitoring Selama Anestesi
Jam Tensi Nadi SaO2 RR KeteranganInfus RL
20.50 118/77 81 100 % 20 Masuk ruang OP20.55 117/78 80 100 % 20 Induksi Decain 20 mg 21.00 95/45 91 99 % 2421.05 100/55 90 99 % 22 O2 3 L/menit. Operasi
dimulai, tanda vital tetap dimonitor
21.10 97/50 84 100% 20 Infus HAES21.15 115/65 78 100 % 2021.20 118/69 77 100 % 20 Infus RL21.25 122/75 72 100 % 2021.30 121/76 80 100 % 1821.35 120/77 86 100 % 1621.40 121/76 88 100 % 2021.45 120/78 84 100 % 21
16
21.50 121/70 82 100 % 21 Infus RL21.55 121/74 79 100 % 2222.00 122/76 82 100 % 2022.05 124/78 86 100 % 20 Operasi selesai
3. Di ruang pemulihan
a. Jam 22.05 : pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dalam keadaan
sadar penuh, dalam keadaan posisi terlentang, diberikan O2 3 liter/menit
b. Jam 22.15 : Pasien dipindah ke Bangsal.
Instruksi Pasca Anestesi
a. Rawat pasien posisi terlentang, kontrol vital sign. Bila tensi turun di bawah
90 mmHg, infus dipercepat. Bila muntah, berikan Ondansetron 1 ampul/4
mg. Bila kesakitan, berikan Ketorolac 1 amp/30 mg.
b. Lain-lain
- Anti biotik dari bagian bedah.
- Analgetik dari bagian bedah
- Post operasi cek Hb, bila < 10 mg/dL, transfusi sampai dengan Hb > 10
mg/dL.
- Kontrol balance cairan
- Monitor vital sign
Monitoring pasca Anestesi
Jam Tensi Nadi SaO2 RR22.00
120/77 74 99% 20
22.10
123/75 75 99% 20
17
BAB IV
PEMBAHASAN
Banyak hal yang harus diperhatikan dalam melakukan tindakan anestesi pada
kasus ini. Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesa, pemeriksaan fisik akan
dibahas masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi.
A. PERMASALAHAN DARI SEGI MEDIK
1. Cito oleh karena jika tidak segera dilakukan tindakan dapat berakibat fatal pada
pasien ( dapat terjadi syok sepsis ).
2. Meningkatnya laju metabolisme tubuh karena radang, dimana kebutuhan cairan
dapat meningkat, sehingga pasien dapat mengalami dehidrasi.
3. Timbulnya takikardi kemungkinan besar penyebabnya adalah karena rangsangan
nyeri yang sangat pada daerah perut. Kemungkinan lain adalah dehidrasi, tapi
tidak ditemukan tanda-tanda fisik lain yang mendukung adanya dehidrasi.
B. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH
1. Cito (termasuk gawat abdomen) yang tidak segera dilakukan pembedahan dapat
terjadi ruptur appendiks dan perforasi.
2. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi.
3. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan)
Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan teknik
anestesi yang aman untuk operasi yang lama, juga perlu dipersiapkan darah untuk
mengatasi perdarahan tetapi pada pasien ini belum perlu diberikan darah.
C. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI
1. Pemeriksaan pra anestesi
Operasi pada penderita ini, adalah operasi cito, sehingga persiapan untuk
operasi tidak sebaik pada operasi yang elektif. Namun pada penderita ini telah
dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :
a. Puasa lebih dari 6 jam untuk operasi
18
b. Pemeriksaan laboratorium darah
Dari hal tersebut diatas permasalahan yang timbul adalah :
- Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum dilakukan
anestesi dan operasi.
- Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan
keadaan umum penderita.
Dalam memperbaiki keadaan umum dan mempersiapkan operasi pada
penderita perlu dilakukan :
- Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS.
- Puasa paling tidak 6 jam untuk mengosongkan lambung, sehingga bahaya
muntah dan aspirasi dapat dihindarkan.
Jenis anestesi yang dipilih adalah anestesi secara regional karena memiliki keuntungan yaitu :
- Bahaya kemungkinan terjadinya aspirasi kecil karena pasien dalam keadaan
sadar.
- Relaksasi otot yang lebih baik.
- Analgesi yang cukup kuat.
2. Premedikasi : Ondansetron 4 mg dan midazolam 5 mg
3. Anestesi spinal : Bupivakain 10 mg dan Pethidin 25 mg.
4. Maintenance : Oksigen 3 liter/menit.
Pada kasus ini, yang dilakukan anestesi spinal, saat operasi terjadi penurunan
tekanan darah. Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal biasanya sering terjadi.
Hipotensi dapat terjadi pada sepertiga pasien yang menjalani anestesi spinal. Hipotensi
terjadi karena :
- Penurunan venous return ke jantung dan penurunan cardiac out put.
- Penurunan resistensi perifer.
Jika tekanan darah sistolik turun di bawah 75 mmHg atau terdapat gejala-gejala
penurunan tekanan darah, maka harus cepat diatasi untuk menghindari cedera ginjal,
jantung dan otak, di antaranya dengan memberikan oksigen dan menaikkan kecepatan
tetesan infus dan jika perlu diberikan vasokonstriktor seperti pada pasien ini diberikan
efedrin 10 μg yang telah diencerkan jika tekanan sistolik dibawah 100 mmHg.
19
Penurunan venous return juga dapat menyebabkan bradikardi. Untuk mengatasi
bradikardi yang terjadi dapat diberikan sulfas atropin 0,25 mg IV.
Anestesi spinal terutama yang tinggi dapat menyebabkan paralisis otot
pernafasan, abdominal, intercostal. Oleh karenanya, pasien dapat mengalami kesulitan
bernafas. Untuk mencegah hal tersebut, perlu pemberian oksigen yang adekuat dan
pengawasan terhadap depresi pernafasan yang mungkin terjadi.
5. Terapi Cairan
Perhitungan cairan pada kasus ini adalah (BB = 60 kg)
Defisit cairan karena puasa 6 jam = 2 X 60 X 6 = 720 cc
Kebutuhan cairan selama operasi + kebutuhan operasi besar (lama 1jam) :
= (2 X 60 X 1) + (8 X 60 X 1)
= 120 + 480
= 600 cc
Perdarahan selama operasi ± 100 cc
EBV pada pasien ini = 70 X 60 kg = 4200 cc. Persentase perdarahan =
100/4200 X 100% = 2,38 % dari EBV.
Jadi kebutuhan cairan total = 720 + 600 + 100 = 1420 cc Jumlah cairan
yang telah diberikan :
1. Pra operasi : 500 cc
2. Saat operasi : 1500 cc
Total cairan yang diberikan 2000 cc, sedikit berlebih 580 cc, sehingga
pengawasan terhadap pemberian cairan masih diperlukan saat pasien
berada di bangsal, diperhatikan kemungkinan terjadinya overload dan
produksi urin.
20
BAB V
KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi
pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus pengelolaan anestesi umum pada operasi cito
appendektomi pada penderita dewasa laki-laki, umur 51 tahun, status fisik ASA II E.
Dengan diagnosis appendisitis akut dengan menggunakan teknik regional anestesi dengan
Block Subarachnoid, vertebrae lumbal 3-4
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada
diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat
ditekan seminimal mungkin.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti dan
segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruangan pemulihan juga tidak
terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI, CV Infomedia, Jakarta.
2. Boulton T.H., Blogg C.E., (1994). Anesthesiology, cetakan I. EGC, Jakarta.
3. Morgan G.E., Mikhail M.S., (1992). Clinical Anesthesiology. 1st ed. A large
medical Book
4. Michael B D., (1994),Penuntun Praktis Anestesi. cetakan I. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
5. Ery L., (1998), Belajar Ilmu Anestesi. FK Univ. Diponegoro. Semarang.
6. Wim de Jong, 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit Buku kedokteran
EGC, Jakarta.
22