pr radiologi 1
DESCRIPTION
prTRANSCRIPT
Nama : Auliza Wihardias
NIM : 112011101012
1. Meski semua ibadah kepada Allah adalah baik, tapi shalat adalah ibadah yang terbaik.
Demikian dinyatakan oleh Al-Qur’an. Hadis, dan ungkapan para ulama dan sufi.
Rasulullah bersabda : “Sebaik-baiknya amal adalah shalat pada waktunya.” Sayidina Ali
bin Abi Thalib menyatakan : “Sesungguhnya amal perbuatan yang paling disukai Allah
adalah shalat. Bahkan, ia diriwayatkan melafazkan kata : “Shalat …shalat …” pada detik-
detik terakhir sebelum kematiannya. Sedangkan Imam Ja’far al-Shadiq – seorang
pemimpin umat, sufi, dan filosof, guru Imam Abu Hanifah dan Imam Malik -- juga
menyeru : “Sesungguhnya sebaik-baik amal di sisi Allah pada hari kiamat adalah shalat.”
Namun, kita bertanya-tanya, kalau sedemikian penting nilai shalat dalam keseluruhan
ajaran Islam, mengapa kita seolah tak banyak melihat manfaat shalat bagi orang-orang
yang melakukannya? Mengapa negara-negara Muslim, yang di dalamnya banyak orang
melakukan shalat, justru tertinggal dalam hal-hal yang baik dari negara-negara non-
Muslim, dan menjadi “juara” dalam hal-hal yang buruk, seperti korupsi, misalnya?
Mengapa tak jarang kita lihat orang yang tampak rajin menjalankan shalat, bahkan shalat
jama’ah di masjid-masjid, tak memiliki akhlak yang dapat dicontoh? Apakah Allah Swt.,
telah melakukan kekeliruan ketika menyatakan bahwa “Innash-shalata tanhaa ‘anil
fakhsyaa’I wal-munkar (Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan
mungkar”? Apakah salah Rasul-Nya ketika menyatakan bahwa “jika shalat seseorang
baik maka baiklah semua amalnya?” Shadaqa Allah al-‘Azhim wa shadaqa Rasul Allah
(Sungguh benar Allah Yang Maha Agung dan Rasul-Nya).
Jika ada kekeliruan dan kesalahan, maka itu tentu terletak pada pemahaman kita tentang
firman Allah Swt., dan tentang shalat yang benar. Mari, untuk itu, kita simak ayat lain
dalam Kitab-Suci-Nya :
“(Lukman menasihati putranya :) Hai Anakku, dirikanlah shalat dan perintahkanlah
(kepada manusia) untuk mengerjakan yang makruf dan cegahlah (mereka) dari berbuat
mungkar. Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya itu
termasuk urusan-urusan yang tegas (diwajibkan oleh Allah) (QS. 31 : 17). Tampak dalam
ayat yang barusan dikutip bahwa perintah mendirikan shalat dipisahkan dari perintah
mengerjakan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Dengan kata lain, keduanya
terpisah. Maknanya akan menjadi jelas ketika kita simak sabda Rasulullah, yang
tampaknya dimaksudkan untuk menafsirkan ayat tersebut, sebagai berikut :
“Laa shalaata li man la tanhaahu shalatahu ‘anil fakhsyaa’i wal munkar (Tak melakukan
shalat orang-orang yang shalatnya tak menghindarkanya dari kekejian dan
kemungkaran)” . Jadi, alih-alih sebagai jaminan bahwa orang yang shalat pasti tercegah
dari perbuatan keji dan mungkar, maka ayat tersebut mesti difahami sebagi definisi shalat
yang sesungguhnya. Bahwa shalat yang benar akan termanifestasikan dalam kebaikan
akhlak.
Menjelaskan lebih jauh pengertian ini, Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan :
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya shalat itu merupakan anugerah Allah untuk manusia
sebagai penghalang dan pemisah (dari keburukan). Oleh karena itu, sesiapa yang ingin
mengetahui sejauh mana manfaat shalatnya, hendaklah ia memperhatikan apakah
shalatnya mampu menjadi penghalang dan pemisah dirinya dari perbuatan keji dan
mungkar. Shalat yang diterima (oleh Allah) adalah hanya sejauh yang mencegah
pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar”
Shalat yang tak memiliki sifat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar tak memiliki
nilai sebagai shalat yang benar, sehingga ia tertolak, sebagaimana dinyatakan dalam hadis
yang lain : “Adakalanya seseorang shalat terus-menerus selama 50 tahun namun Allah
tak menerima satu pun dari shalatnya.”
Nah, pertanyaan yang tidak-bisa-tidak akan muncul adalah : seperti apakah shalat yang
benar, yang diterima oleh Allah, itu?
Shalat dan Keharusan Khusyuk
Allah berfirman : “Sesungguhnya shalat itu amat berat kecuali bagi orang-orang yang
khusyuk” (QS. : 45). Jika ayat ini dibaca dengan teliti, akan kita dapati bahwa ia memiliki
“pemahaman terbalik” (inverse logics atau mafhum mukhalafah) bahwa shalat hanya
memiliki nilai jika dilakukan dengan khusyuk.
Khusyuk bermakna kesadaran penuh akan kerendahan kehambaan (‘ubudiyah) diri kita
sebagai manusia di hadapan keagungan Rububiyyah (Ketuhanan). Sikap khusyuk ini
timbul sebagai konsekuensi kecintaan sekaligus ketakutan kita kepada Zat Yang Maha
Kasih dan Maha Dahsyat ini. Sebagai implikasinya, orang yang memiliki sikap seperti ini
akan berupaya memusatkan seluruh pikiran – seluruh keberadaannya – kepada
Kehadiran-Nya dan membersihkannya dari apa saja yang selain Allah. Tidak bisa tidak
ini berarti hadirnya hati. Tanpa kehadiran hati, shalat kehilangan nilainya. Rasulullah
bersabda : “Shalat yang diterima adalah sekadar hadirnya hati.”
Diriwayatkan pula darinya saaw. bahwa “dua rakaat shalat orang yang khusyuk lebih
bernilai ketimbang 1000 rakaat shalat orang yang tak peduli.” Kepada Abu Dzar Rasul
saaw. mengajarkan : “Dua rakaat shalat pendek yang disertai dengan tafakur adalah lebih
baik dari shalat sepanjang malam dengan hati yang lalai.”
Di kesempatan lain Rasul saaw. menamsilkan :
“Tak akan diterima shalat seseorang yang dilakukan bagai seekor burung yang mematuk-
matuk makanannya.” Mudah dipahami bahwa seekor burung -- sebagai hewan, yang tak
memiliki hati atu perasan sebagimana manusia - yang sedang mematuk-matuk
makanannya melakukan hal itu secara instinktif, sebagai bagian dari keharusannya untuk
bertahan hidup Berbeda halnya dengan manusia. Bahkan ketika sedang kelaparan,
manusia menikmati makanannya itu. Bukan hanya melahapnya, atau bahkan sekadar
menikmati rasanya, melainkan juga menghayati cara penyajian dan suasana yang
melingkupi waktu makan itu. Apatah pula ketika ia sedang menghadap kepada suatu Zat
yang Maha Agung sekaligus Maha Lambut (Lathif) sebagaimana Allah Subhana-Hu wa
Ta’ala. Jika hati tiada hadir, maka apa makna shalat, yang dikatakan sebagai sarana
pertemuan kita dengan-Nya? [undzurilaina]
2. Khusyu’ dalam ibadah kedudukannya seperti ruh/jiwa dalam tubuh manusia1, sehingga
ibadah yang dilakukan tanpa khusyu’ adalah ibarat tubuh tanpa jasad alias mati.
Oleh karena itu, Allah Ta’ala memuji para Nabi dan Rasul Shallallahu’alaihi
Wasallam dengan sifat mulia ini, yang mereka adalah hamba-hamba-Nya yang memiliki
keimanan yang sempurna dan selalu bersegera dalam kebaikan. Allah Ta’ala berfirman:
{ خاشعين لنا وكانوا ورهبا رغبا ويدعوننا الخيرات في يسارعون كانوا هم {إن“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan)
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdoa kepada Kami dengan berharap
dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ (dalam beribadah)” (QS al-
Anbiyaa’: 90).
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang shaleh dengan sifat-sifat
mulia yang ada pada mereka, di antaranya sifat khusyu’:
{ والصادقين والقانتات والقانتين والمؤمنات والمؤمنين والمسلمات المسلمين إنوالمتصدقات والمتصدقين والخاشعات والخاشعين والصابرات والصابرين والصادقات
أعد والذاكرات كثيرا ه الل والذاكرين والحافظات فروجهم والحافظين والصائمات والصائمين
عظيما وأجرا مغفرة لهم ه {الل“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang
mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan
perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan
yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka
ampunan dan pahala yang besar” (QS al-Ahzaab: 35).
Bahkan Allah Ta’ala menjadikan sifat agung ini termasuk ciri utama orang-orang yang
sempurna imannya dan sebab keberuntungan mereka2, dalam firman-Nya:
{ خاشعون صالتهم في هم ذين ال المؤمنون، أفلح {قد
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang
khusyu’ dalam shalatnya” (QS al-Mu’minuun: 1-2)”.
Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memohon kepada
Allah Ta’ala sifat mulia ini dalam doa beliau Shallallahu’alaihi Wasallam: “Ya Allah,
hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin,
kumpulkanlah aku di dalam golongan orang-orang miskin pada hari kiamat”3.
Arti “orang miskin” dalam hadits ini adalah orang yang selalu merendahkan diri, tunduk
dan khusyu’ kepada Allah Ta’ala4.
Arti khusyu’ dan hakikatnya
Secara bahasa khusyu’ berarti as-sukuun (diam/tenang) dan at-tadzallul (merendahkan
diri). Sifat mulia ini bersumber dari dalam hati yang kemudian pengaruhnya terpancar
pada anggota badan manusia.
Imam Ibnu Rajab berkata: “Asal (sifat) khusyu’ adalah kelembutan, ketenangan,
ketundukan, dan kerendahan diri dalam hati manusia (kepada Allah Ta’ala). Tatkala Hati
manusia telah khusyu’ maka semua anggota badan akan ikut khusyu’, karena anggota
badan (selalu) mengikuti hati, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam: “Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika
segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal
daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal
daging itu adalah hati manusia”.
Maka jika hati seseorang khusyu’, pendengaran, penglihatan, kepala, wajah dan semua
anggota badannya ikut khusyu’, (bahkan) semua yang bersumber dari anggota
badannya”5.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Para ulama sepakat (mengatakan) bahwa khusyu’
tempatnya dalam hati dan buahnya (tandanya terlihat) pada anggota badan”6.
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Khusyu’ dalam shalat adalah hadirnya hati
(seorang hamba) di hadapan Allah Ta’ala dengan merasakan kedekatan-Nya, sehingga
hatinya merasa tentram dan jiwanya merasa tenang, (sehingga) semua gerakan (angota
badannya) menjadi tenang, tidak berpaling (kepada urusan lain), dan bersikap santun di
hadapan Allah, dengan menghayati semua ucapan dan perbuatan yang dilakukannya
dalam shalat, dari awal sampai akhir. Maka dengan ini akan sirna bisikan-bisikan (Setan)
dan pikiran-pikiran yang buruk. Inilah ruh dan tujuan shalat”7.
Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf ketika beliau melihat seorang laki-laki
yang bermain-main dalam shalatnya: “Seandainya hati orang ini khusyu’ maka akan
khusyu’ semua anggota tubuhnya”8.
Lebih lanjut, imam al-Bagawi memaparkan makna ini dalam ucapan beliau: “Para ulama
berbeda (pendapat) dalam makna khusyu’, Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu berkata:
“(Orang-orang yang khusyu’ adalah) mereka yang selalu tunduk dan merendahkan diri
(kepada Allah Ta’ala). al-Hasan (al-Bashri) dan Qatadah berkata: “(Mereka adalah)
orang-orang yang selalu takut (kepada-Nya)”. Muqatil berkata: “(Mereka adalah) orang-
orang yang merendahkan diri (kepada-Nya)”. Mujahid berkata: “Khusyu’ adalah
menundukkan pandangan dan merendahkan suara”. Khusyu’ (artinya) mirip dengan
khudhu’, cuma khudhu’ ada pada (anggota) badan, sedangkan khusyu’ ada pada hati,
badan, pandangan dan suara. Allah Ta’ala berfirman:
{ حمن للر األصوات {وخشعت
“Dan (pada hari kiamat) khusyu’lah (merendahlah) semua suara kepada Yang Maha
Pemurah” (QS Thaahaa: 108)”9.
Khusyu’ adalah buah manis dari ilmu yang bermanfaat
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah berdoa:
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat,
dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak
dikabulkan”10.
Dalam hadits yang agung ini, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menggandengkan
empat perkara yang tercela ini, sebagai isyarat bahwa ilmu yang tidak bermanfaat
memiliki tanda-tanda buruk, yaitu hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak pernah puas,
dan doa yang tidak dikabulkan11, nu’uudzu billahi min dzaalik.
Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa ilmu yang tidak
menimbulkan (sifat) khusyu’ dalam hati maka ini adalah ilmu yang tidak bermanfaat”12.
Maka hadits ini merupakan argumentasi yang menunjukkan bahwa sifat khusyu’ adalah
termasuk buah yang manis dan agung dari ilmu yang bermanfaat.
Imam al-‘Ala-i berkata: “Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (dalam hadits
ini) menggandengkan antara memohon perlindungan (kepada Allah Ta’ala) dari ilmu
yang tidak bermanfaat dan dari hati yang tidak khusyu’, (maka) ini mengisyaratkan
bahwa ilmu yang bermanfaat adalah yang mewariskan sifat khusyu’ (dalam diri
manusia)”13.
Lebih lanjut, imam Ibnu Rajab menjelaskan keterikatan antara ilmu yang bermanfaat dan
sifat khusyu’ dalam ucapan beliau: “Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang merasuk dan
menyentuh hati manusia, kemudian menumbuhkan dalam hati ma’rifatullah (mengenal
Allah Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha
sempurna) dan meyakini kemahabesaran-Nya, (demikian pula) rasa takut, pengagungan,
pemuliaan dan cinta (kepada-Nya). Tatkala sifat-sifat ini telah menetap dalam hati
(seorang hamba), maka hatinya akan khusyu’ lalu semua anggota badannyapun akan
khusyu’ mengikuti kekhsyu’an hatinya”14.
Inilah keutamaan khusyu’ yang merupakan buah utama ilmu yang bermanfaat, sekaligus
merupakan ilmu yang pertama kali diangkat oleh Allah Ta’ala dari muka bumi ini15,
sebagaimana dalam hadits riwayat Abu Darda’ Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Yang pertama kali diangkat (oleh Allah) dari
umat ini adalah sifat khusyu’, sehingga (nantinya) kamu tidak akan melihat lagi seorang
yang khusyu’ (dalam ibadahnya)”16.
Khusyu’ dalam shalat
Sifat khusyu’ dituntut dalam semua bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala,
akan tetapi dalam ibadah shalat, sifat yang agung ini lebih terlihat wujud dan pengaruh
positifnya.
Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata: “Sungguh Allah telah mensyariatkan bagi hamba-
hamba-Nya berbagai macam ibadah yang akan tampak padanya kekhusyu’an (anggota)
badan (seorang hamba) yang bersumber dari kekhusyu’an, ketundukan dan kerendahan
diri dalam hatinya. Dan termasuk ibadah yang paling tampak padanya kekhusyu’an
adalah ibadah shalat. Allah Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang khusyu’ dalam shalat
mereka dalam firman-Nya:
{ خاشعون صالتهم في هم ذين ال المؤمنون، أفلح {قد
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang
khusyu’ dalam shalatnya” (QS al-Mu’minuun: 1-2)”17.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin berkata: “Para ulama menafsirkan (arti)
khusyu’ dalam shalat yaitu diamnya anggota badan yang disertai dengan ketenangan
(dalam) hati. Maksudnya: menghadirkan/mengkonsentrasikan hati dalam shalat dan
menjadikan anggota badan tenang, maka tidak ada perbuatan sia-sia dan bermain-main
(dalam shalat) disertai hati yang hadir berkonsentrasi menghadap ke pada Allah Ta’ala.
Tatkala hati (seorang hamba) menghadap kepada Allah Ta’ala yang maha mengetahui isi
hati, maka pasti hamba tersebut akan (meraih) khusyu’ (dalam shalatnya) dan
memusatkan pikirannya kepada Zat yang dia sedang bermunajat kepada-Nya, yaitu Allah
Ta’ala. Kalau demikian khusyu’ adalah sifat ruhani dalam diri manusia yang
menimbulkan ketenangan dalam hati dan anggota badan”18.
Ciri inilah yang ada pada orang-orang yang sempurna keimanannya, para Shahabat
Radhiallahu’anhum, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
{ جود الس أثر من وجوههم في {سيماهم
“Tanda-tanda meraka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud” (QS al-Fath: 29).
Imam Mujahid dan beberapa ulama ahli tafsir lainnya berkata tentang makna ayat ini:
“Yaitu Khusyu’ (dalam shalat) dan tawadhu’ (sikap merendahkan diri)”19.
Lebih lanjut, imam Ibnu Katsir menjelaskan manfaat dan faidah besar dari shalat yang
khusyu’ dalam membawa seorang mukmin untuk merasakan kemanisan iman dan
menjadikan shalatnya sebagai qurratul ‘ain (penyejuk/penghibur hati) baginya. Beliau
berkata20: “Khusyu’ dalam shalat hanyalah akan diraih oleh orang yang hatinya tercurah
sepenuhnya kepada shalat (yang sedang dikerjakannya), dia hanya menyibukkan diri dan
lebih mengutamakan shalat tersebut dari hal-hal lainnya. Ketika itulah shalat akan
menjadi (sebab) kelapangan (jiwanya) dan kesejukan (hatinya), sebagamana sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits riwayat imam Ahmad dan an-Nasa-
i, dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda: “Allah menjadikan qurratul ‘ain (penyejuk/penghibur hati) bagiku pada (waktu
aku melaksanakan) shalat”21.
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepada Bilal
Radhiallahu’anhu:
“Wahai Bilal, senangkanlah (hati) kami dengan (melaksanakan) shalat”22.
Cara untuk meraih khusyu’
Dikarenakan sifat khusyu’ sumbernya dari dalam hati manusia, maka sifat ini hanya bisa
diraih dengan taufik dan anugerah dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, cara utama untuk
meraih sifat mulia ini dan sifat-sifat agung lainnya dalam agama adalah dengan banyak
berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, imam Mutharrif bin ‘Abdillah bin asy-Syikhkhiir berkata: “Aku
mengingat-ingat apakah penghimpun segala kebaikan, karena kebaikan itu banyak;
puasa, shalat (dan lain-lain). Semua kebaikan itu ada di tangan Allah Ta’ala, maka jika
kamu tidak mampu (memiliki) apa yang ada di tangan Allah Ta’ala kecuali dengan
memohon kepada-Nya agar Dia memberikan semua itu kepadamu, maka berarti
penghimpun (semua) kebaikan adalah berdoa (kepada Allah Ta’ala)”23.
Kemudian sifat khusyu’ akan diraih insya Allah dengan seorang hamba mengenal Allah
Ta’ala dengan cara yang benar,melalui pemahaman terhadap nama-nama-Nya yang maha
indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna. Inilah ilmu yang paling mulia dalam
Islam dan merupakan jalan utama untuk meraih semua sifat dan kedudukan yang mulia di
sisi Allah Ta’ala.Imam Ibnul Qayyim berkata: “Orang yang paling sempurna dalam
penghambaan diri (kepada Allah Ta’ala) adalah orang yang menghambakan diri (kepada-
Nya) dengan (memahami kandungan) semua nama dan sifat-Nya yang (bisa) diketahui
oleh manusia”24.
Imam Ibnu Rajab al-Hambali memaparkan hal ini dalam ucapan beliau:
“Asal (sifat) khusyu’ yang terdapat dalam hati tidak lain (bersumber) dari ma’rifatullah
(mengenal Allah Ta’ala dengan memahami nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-
sifat-Nya yang maha sempurna), mengenal keagungan-Nya, kemuliaan-Nya dan
kesempurnaan-Nya. Sehingga barangsiapa yang lebih mengenal Allah maka dia akan
lebih khusyu’ (kepada-Nya).
Sifat khusyu’ dalam hati manusia dalam hati manusia bertingkat-tingkat
(kesempurnaannya) sesuai dengan bertingkat-tingkatnya pengetahuan (dalam) hati
manusia terhadap Zat yang dia tunduk kepada-Nya (Allah Ta’ala) dan sesuai dengan
bertingkat-tingkatnya penyaksian hati terhadap sifat-sifat yang menumbuhkan
kekhusyu’an (kepada Allah Ta’ala).
Ada hamba yang (meraih) khusyu’ (kepada-Nya) karena penyaksiannya yang kuat
terhadap kemahadekatan dan penglihatan-Nya (yang sempurna) terhadap apa yang
tersembunyi dalam hati hamba-Nya, sehingga ini menimbulkan rasa malu kepada Allah
Ta’ala dan selalu merasakan pengawasan-Nya dalam semua gerakan dan diamnya hamba
tersebut.
Ada juga yang (meraih) khusyu’ karena penyaksiannya terhadap kemahasempurnaan dan
kemahaindahan-Nya, sehingga ini menjadikannya tenggelam dalam kecintaan kepada-
Nya serta kerinduan untuk bertemu dan memandang wajah-Nya.
(Demikian pula) ada yang meraih khusyu’ karena penyaksiannya terhadap kerasnya
siksaan, pembalasan dan hukuman-Nya, sehingga ini membangkitkan rasa takutnya
kepada Allah.
Maka Allah Ta’ala Dia-lah yang memperbaiki hati hamba-hamba-Nya yang tanduk dan
remuk hatinya kepada-Nya. Allah Ta’ala maha dekat kepada hamba-Nya yang
bermunajat kepada-Nya dalam shalat dan menempelkan wajahnya ke tanah ketika sujud,
sebagaimana Dia maha dekat kepada hamba-Nya yang berdoa, memohon dan meminta
ampun kepada-Nya atas dosa-dosanya di waktu sahur. Dia maha mengabulkan doa
hamba-Nya serta memenuhi permohonannya, dan tidak ada sebab untuk memberbaiki
kekurangan seorang hamba yang lebih agung dari kedekatan dan pengabulan doa dari-
Nya”25.
Pemaparan imam Ibnu Rajab di atas merupakan makna firman Allah Ta’ala:
{ العلماء عباده من ه الل يخشى ما {إن“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-
orang yang berilmu (mengenal Allah Ta’ala)” (QS Faathir:28).
Imam Ibnu Katsir berkata: “Arti (ayat ini): Hanyalah orang-orang yang berilmu dan
mengenal Allah yang memiliki rasa takut yang sebenarnya kepada Allah, karena semakin
sempurna pemahaman dan penegetahuan (seorang hamba) terhadap Allah, Zat Yang
Maha Mullia, Maha kuasa dan Maha Mengetahui, yang memiliki sifat-sifat yang maha
sempurna dan nama-nama yang maha indah, maka ketakutan (hamba tersebut) kepada-
Nya semakin besar pula”26.
3. Sabar merupakan sebuah kata yang ringan diucapkan, namun sangat bermakna dalam
kehidupan. Dengannya, perjalanan hidup seseorang akan selalu terbimbing di atas
kebenaran. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ضياء بر والص“Kesabaran itu adalah cahaya.” (HR. Muslim no. 223, dari sahabat Abu Malik al-Asy’ari
radhiyallahu ‘anhu)
Al-Hafizh an-Nawawi rahimahumallah berkata, “Sesungguhnya kesabaran adalah amalan yang
terpuji dan pelakunya akan selalu terbimbing di atas kebenaran.” (Syarh Shahih Muslim 3/101)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah berkata, “Sebuah petunjuk (al-huda) tidak akan
diraih melainkan dengan ilmu, sedangkan kemudahan untuk beramal dengan ilmu (ar-rasyad)
tidak akan diraih melainkan dengan kesabaran.” (Majmu’ Fatawa 10/40)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahumallah berkata, “Sesungguhnya Allah l menjadikan sabar
sebagai kuda tunggangan yang tak kenal lelah, pedang yang tak pernah tumpul, prajurit yang
pantang menyerah, benteng kokoh yang tak bisa dihancurkan dan ditembus. Sabar merupakan
saudara kandung kemenangan. Di mana ada kesabaran, di situ ada kemenangan.” (Uddatush
Shabirin, hlm. 4)
Secara etimologis, sabar mempunyai arti menahan. Maksudnya, menahan kalbu dari rasa kesal
terhadap ketentuan Allah Subhanahu wata’ala (takdir), menahan lisan dari berkeluh kesah, dan
menahan anggota badan dari perbuatan maksiat, seperti menampar-nampar pipi, merobekrobek
baju, mencabut-cabut rambut, dan yang semisalnya. Di atas tiga asas itulah kesabaran dibangun.
(al-Wabilush Shayyib karya al-Imam Ibnul Qayyim, hlm. 5)
Adapun hakikat sabar itu sendiri adalah sebuah budi pekerti luhur yang dapat menahan seseorang
dari perbuatan yang tidak baik. Sabar termasuk salah satu dari kekuatan batin (psikis) yang dapat
menstabilkan jiwa seseorang sehingga menjadi baik dan lurus. (Uddatush Shabirin, hlm. 11)
Di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, sabar disebutkan dalam beberapa bentuk lafadz yang
mempunyai kandungan makna berbeda-beda;
1. Shabr ( صبر ): kesabaran yang dilakukan dengan mudah.
2. Tashabbur ( ر .kesabaran yang dilakukan dengan upaya dan perjuangan :( تصب
3. Ishthibar ( اصطبار ): puncak dari tashabbur ( ر Maksudnya, puncak dari kesabaran yang .( تصب
dilakukan dengan upaya dan perjuangan.
4. Mushabarah ( مصابرة ): kesabaran yang dilakukan di medan laga saat berhadapan dengan
musuh. (Lihat Uddatush Shabirin, hlm. 15—16)
Ditinjau dari sisi keterkaitannya dengan Allah Subhanahu wata’ala, sabar terbagi menjadi tiga,
1. Sabar dengan Allah Subhanahu wata’ala ( ashshabru billah). Maksudnya, memohon
pertolongan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan meyakini bahwa Dia-lah Dzat yang
menjadikan seorang hamba bersabar. Betapa pun seseorang mampu bersabar maka semua itu
berkat pertolongan dari Allah Subhanahu wata’ala, bukan kemampuan dirinya semata.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ه بالل إال صبرك وما واصبر“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan
Allah.” (an-Nahl: 127)
Makna ayat di atas, jika Allah Subhanahu wata’ala tidak memberikan pertolongan kepadamu
untuk bersabar, niscaya engkau tidak akan mampu bersabar.
2. Sabar karena Allah Subhanahu wata’ala( ashshabru lillah). Maksudnya, kesabaran yang
dilakukan karena kecintaan kepada Allah Subhanahu wata’ala, menginginkan wajah-Nya, dan
taqarub kepada-Nya. Bukan untuk menonjolkan diri, ingin dipuji orang, dan tujuan buruk
lainnya.
3. Sabar bersama Allah Subhanahu wata’ala (ashshabru ma’allah).
Artinya, kesabaran seorang hamba bersama syariat Allah l dan segala ketentuan hukum-Nya
secara berkesinambungan, berteguh diri di atas syariat dan hukum tersebut, berjalan di atasnya,
serta menjalankan segala konsekuensinya. Hidupnya selalu dikendalikan oleh syariat dan hukum
tersebut, kapan saja dan di mana saja ia berada.
Demikianlah kondisi seseorang yang bersabar bersama Allah Subhanahu wata’ala. Ia senantiasa
menjadikan dirinya berada di atas segala yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan
dicintai-Nya. Kesabaran yang seperti ini adalah jenis kesabaran yang paling berat dan sulit.
Itulah kesabaran yang ada pada diri ash-shiddiqin (orangorang yang sangat kuat keyakinannya
kepada Allah Subhanahu wata’ala). (Madarijus Salikin karya al-Imam Ibnul Qayyim, 2/157)
Dalam ranah kehidupan beragama, para ulama mengklasifikasi sabar menjadi tiga,
1. Sabar di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala, dengan selalu mengerjakan segala
perintah-Nya Subhanahu wata’ala.
2. Sabar dari perbuatan maksiat, selalu menahan diri dari segala yang dilarang oleh Allah
Subhanahu wata’ala.
3. Sabar atas segala musibah yang menimpa. (Lihat Qaidah fish Shabr karya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah hlm. 90—91, Syarh Shahih Muslim karya al-Hafizh an-Nawawi 3/101, Madarijus
Salikin 2/156, dll.)
Perbuatan apa sajakah yang dapat meniadakan (menafikan) kesabaran? Menurut al-Imam Ibnul
Qayyim rahimahumallah dalam Uddatush Shabirin (hlm. 228), hal-hal yang menafikan
kesabaran adalah rasa kesal dalam kalbu, berkeluh kesah dengan lisan kepada selain Allah
Subhanahu wata’ala, dan melakukan perbuatan maksiat, seperti menampar-nampar pipi,
merobek-robek baju, mencabut-cabut rambut, dan yang semisalnya.
Bagaimana halnya dengan berkeluh kesah kepada Allah Subhanahu wata’ala, apakah menafikan
kesabaran? Berkeluh kesah kepada Allah Subhanahu wata’ala, tidak menafikan kesabaran. Hal
ini sebagaimana yang terjadi pada diri Nabi Ya’qub q yang berkeluh kesah kepada Allah
Subhanahu wata’ala,
تعلمون ال ما ه الل من وأعلم ه الل إلى وحزني ي بث أشكو ما إن قال“Ya’qub menjawab, ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan
kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tiada mengetahuinya’.” (Yusuf: 86)
Meski demikian, Allah Subhanahu wata’ala menyitir ucapan Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam yang
lainnya,
الحكيم العليم هو ه إن بهمجميعا يأتيني أن ه الل عسى �فصبرجميل � “Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka
semuanya kepadaku. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”
(Yusuf: 83)
Adapun menyampaikan kesulitan yang dihadapi (curhat) kepada makhluk, jika untuk meminta
bimbingan dan bantuan untuk menghilangkan kesulitan tersebut, tidak menafikan kesabaran.
Misalnya, keluhan pasien kepada dokter, orang yang dizalimi kepada seseorang yang dapat
membelanya, atau curhat seseorang yang sedang mengalami problem kepada orang lain yang
diharapkan bisa memberikan solusinya.
Bagaimanakah dengan rintihan di kala sakit? Menurut al-Imam Ibnul Qayyim rahimahumallah
dalam Uddatush Shabirin (hlm. 229), rintihan di kala sakit ada dua macam; rintihan yang
mengandung keluh kesah maka hukumnya makruh, sedangkan rintihan untuk melepas
kegundahan dan menghibur diri maka tidak mengapa.