poligami perspektif islam dan hukum posi

73
“Aisyah, Poligami tidak semudah itu. Ada banyak hal yang harus aku pertanggung- jawabkan. Kamulah satu-satunya yang ku pilih atas nama Alllah” (Ayat-Ayat Cinta) Prolog Islam sebagai agama yang memberikan rahmatan lil’alamin bagi segenap umat manusia didunia diturunkan dengan maksud untuk menyelamatkan manusia dari kebathilan dan kemusyrikan. Hal ini ditandai dengan diturunkannya ayat-ayat suci Al-Qur’an pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad Saw yang berlaku sebagai ajaran norma dan nilai untuk menjalankan kehidupan, baik dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi yang kedua-duanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain; keduanya harus diraih dalam batas-batas kodrat kemanusiaan. Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan “ atau “hafalan”, atau dalam tafsiran lain bisa diartikan sebagai “kitab-kitab yang berisi firman Allah yang diwahyukan kepada Muhammad dalam bahasa Arab dan sampi kepada kita (umat muslim) melalui periwayatan yang tidak putus atau (tawatur) . Dalam konteks kehidupan duniawi, kita sebagai seorang muslim pastinya menyadari bahwa Al-Qur’an sebagai kitab pedoman umat muslim memiliki tujuan dasar untuk menjaga jiwa, akal, keturunan umat manusia, harta kekayaan, dan agama itu sendiri Dalam konteks keturunan, Al-Qur’an memberikan petunjuk bagi umatnya untuk menikah, membentuk keluarga sakinah dan warrohmah guna menghasilkan keturunan yang baik. Maka tidak salah bila dikatakan bahwa perkawinan memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia, tidak hanya sebagai legalitas hubungan badan semata namun merupakan suatu bentuk perbuatan

Upload: ag-idles

Post on 15-Apr-2016

249 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

TRANSCRIPT

Page 1: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

“Aisyah, Poligami tidak semudah itu. Ada banyak hal yang harus aku pertanggung-

jawabkan. Kamulah satu-satunya yang ku pilih atas nama Alllah” (Ayat-Ayat Cinta)

PrologIslam sebagai agama yang memberikan rahmatan lil’alamin bagi segenap

umat manusia didunia diturunkan dengan maksud untuk menyelamatkan manusia dari kebathilan dan kemusyrikan. Hal ini ditandai dengan diturunkannya

ayat-ayat suci Al-Qur’an pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad Saw yang berlaku

sebagai ajaran norma dan nilai untuk menjalankan kehidupan, baik dalam kehidupan

duniawi dan ukhrawi yang kedua-duanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain;

keduanya harus diraih dalam batas-batas kodrat kemanusiaan. Al-Qur’an secara

harfiah berarti “bacaan “ atau “hafalan”, atau dalam tafsiran lain bisa diartikan sebagai

“kitab-kitab yang berisi firman Allah yang diwahyukan kepada Muhammad dalam

bahasa Arab dan sampi kepada kita (umat muslim) melalui periwayatan yang tidak

putus atau (tawatur) . Dalam konteks kehidupan duniawi, kita sebagai seorang muslim

pastinya menyadari bahwa Al-Qur’an sebagai kitab pedoman umat muslim memiliki

tujuan dasar untuk menjaga jiwa, akal, keturunan umat manusia, harta kekayaan, dan

agama itu sendiri

Dalam konteks keturunan, Al-Qur’an memberikan petunjuk bagi umatnya untuk menikah, membentuk keluarga sakinah dan warrohmah guna menghasilkan keturunan yang baik. Maka tidak salah bila dikatakan bahwa perkawinan memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia, tidak hanya sebagai legalitas hubungan badan semata namun merupakan suatu bentuk perbuatan hukum yang berawal dari perikatan lahir dan bathin antara laki-laki dan perempuan yang dilakukan tanpa ada paksaan maupun suruhan oleh orang lain, ini merupakan suatu bentuk perjanjian yang sakral karena dilegalkan oleh agama sebagai keyakinan trasendental kedua mempelai.

Hal ini dipertegas dalam Surah An-Nisa Ayat 19 yang menyatakan:

“Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang

Page 2: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

nyata. Dan bergaulah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah memberikan kebaikan yang banyak padanya”Sedangkan dalam hadist nabi diuraikan oleh dalam Hadist Riwayat Bukhari,

yang menyatakan secara eksplisit :

“Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasullah saw memuji Allah dan menyanjungNya seraya bersabda : “Tetapi aku berpuasa, berbuka, shalat, tidur dan mengawini wanita. Barang siapa yang benci kepada sunnahku (caraku) ia bukan dari golonganku”Perkawinan adalah sebagai sunnatullah yang berlaku umum pada semua

mahkluk, terutama kepada manusia sebagai mahkluk yang diciptakan paling sempurna

di muka bumi. Ikatan perkawinan dalam Islam merupakan suatu ikatan yang sangat

kuat (mitsaqan ghalizha) yang menyatukan laki-laki dan perempuan dalam wadah

keluarga yang penuh ketentraman, rasa kasih dan sayang. Sehingga, tidak bisa

dinafikan bahwa dasar dari perkawinan adalah rasa saling mempercayai dan kesetiaan

antar suami dan istri dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga. Namun

bukan hal yang langka (bahkan sering ditemui) dalam kehidupan berumah tangga

sering terjadi pertentangan dan beda pendapat antara suami dan istri baik dalam skala

kecil maupun besar.

Permasalah yang acap kali menjadi isu perceraian rumah tangga adalah

poligami. Secara etimologi, Poligami bisa diartikan sebagai:” suatu perkawinan yang

banyak atau lebih dari seorang”. Sedangkan dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai:

“Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya

dalam waktu yang bersamaan atau suatu adat seorang laki-laki beristri lebih dari

seorang perempuan” . Istilah poligami sudah sering didengar dan selalu menyedot

banyak perhatian, karena hal ini telah dipraktekkan sejak ribuan tahun silam, tetapi

tetap hangat dan menarik untuk dibahas. Ibarat buah durian yang akan menyakiti orang

yang tertimpa karena durinya yang tajam, namum tetap diburu karena sensasi “rasa”

dan “aroma” yang sangat luar biasa.

Page 3: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

Mungkin masih segar dalam ingatan, ketika pada medio tahun 2008, Indonesia

diguncang demam film Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang bersetting kehidupan anak kost

yang jauh merantau di negeri firaun Mesir untuk menuntut ilmu, sosok tersebut

digambarkan sebagai pribadi yang cerdas, baik hati dan alim. Sosok tersebut bernama

Fahri, yang pada ending film tersebut diceritakan memperistri dua orang wanita cantik

Aisyah dan Maria. Film tersebut sangat menarik dan kontroversial karena sungguh

merepresentasikan kehidupan yang nyata dan mungkin sering terjadi di seluruh

belahan dunia tanpa terkecuali Indonesia. Kalangan pembela hak-hak wanita (Feminist)

bahwa pernah berkomentar sinis bahwa film tersebut sebaiknya diganti judulnya

menjadi Ayat-Ayat Lelaki. Komentar dari kalangan feminist tersebut bisa menjadi tolak

ukur kegelisahan para kaum wanita dalam menghadapi kemungkinan dirinya “tertimpa”

poligami. Apakah nantinya praktek poligami yang memang secara normatif sah dan

halal dalam Islam, akan bernasib sama seperti dengan “perceraian” yang halal namun

sekaligus dibenci? Apakah kedepannya (dan mungkin sudah terjadi) banyak kalangan lelaki melakukan poligami semaunya dengan menggunakan apologi menghindari zina yang jelas dilarang dalam Al-Qur’an dan Hadist atau dengan alasan ingin meniru perilaku (poligami) Nabi Muhammad? Tulisan sederhana ini akan mencoba

melacaknya.

Poligami dalam Al-Qur’anSecara normatif, Al-Qur’an secara ekspisit membolehkan praktek poligami, Allah

Swt menyatakan dalam surat An-Nisa ayat (3):

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berbuat adil terhadap (hak-hak)

perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan

(lain) yang kamu senangi : dua, tiga, empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan

mampu berbuat adil , maka (nikahilah) seorang saja , atau hamba sahaya

perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak

berbuat zalim”

Ayat diatas yang sering menjadi bahan perdebatan terutama bagi para

memerhati hak-hak wanita dan gender. Secara sekilas memang terkesan ayat diatas

sangat bias gender, dimana laki-laki diposisikan lebih tinggi dari perempuan, laki-laki

cenderung mendapatkan banyak kelebihan, keistimewaan dan kemudahan

Page 4: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

dibandingkan kaum perempuan, yang cenderung dieksploitasi oleh laki-laki, karena

secara nurani tiada perempuan yang mau diduakan,dibagi cinta oleh perempuan lain,

sekiranya begitu pula perasaan laki-laki bila diduakan oleh istrinya. Kritik terhadap

praktek poligami secara ekplisit disampaikan oleh para aktivis hak-hak wanita

(Feminist) di Arabia dan Mesir yang menulis suatu tuduhan yang memberatkan tentang

status wanita dalam masyarakat Islam:

“ Tidak seorang pun dapat mengkaji kisah tragis wanita dibawah Islam tanpa

suatu kerinduan dan doa yang sungguh-sungguh bahwa sesuatu yang memadai

dapat dilaksanakan. Kita merasa kasihan dan sedih terhadap wanita Islam

berkerudung”

Lebih lanjut Samuel M. Zwener mengemukakan kritiknya tentang suatu

gambaran suram dan sama sekali tidak sehat dari kehidupan rumah tangga dimana

wanita diasingkan dan dicap dengan citranya yang rendah sebagai satu penyebab

utama meratanya kerusakan moral dalam keluarga poligami Islam.

“Kehidupan keluarga yang sehat adalah tidak mungkin. Anak-anak tumbuh dalam suatu

suasana intrik beracun, berahi yang subur, bahasa buruk, dan amoral tanpa malu.

Mereka dikotori sejak dari masa muda.”

Kecaman terhadap poligami oleh para feminist terjadi karena poligami sering

sekali disalah tafsirkan oleh beberapa kalangan, terutama bagi kalangan-kalangan yang

memahami dan memaknai ayat-ayat Al-Qur’an hanya dari segi tekstual semata, tanpa

mau memperhatikan aspek konstektualitas dan sejarah (Asbabun Nuzul) dari ayat-ayat

Al-Qur’an. Sebagi contoh ayat diatas (An-Nisa :3) dianggap sebagai harga mati akan sahnya perkawinan poligami, yang pada akhirnya akan melanggar nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat. Jumlah istri yang dihalal kan untuk dinikahi pun bervariasi sesuai dengan tafsiran masing-masing kalangan, ada yang menafsirkan jumlah maksimal istri adalah empat orang, sembilan orang bahkan sampai duapuluh orang.

Sejatinya, poligami yang berdasarkan atas godaan syahwat nakal semata yang dibungkus oleh “legalitas semu” tersebut tidak bisa dibenarkan dalam Hukum Islam, karena pernikahan dapat berubah-ubah hukumnya dari halal, haram, sunnah, dan makhruh, sesuai dengan tujuan menikah itu sendiri . Apabila

Page 5: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

seseorang menikah hanya untuk bertujuan untuk “melegalkan” perzinahan, maka itu dapat diklasifikasikan sebagai “nikah yang haram” (ahkamul khamsah) . Karena dasar dari perkawinan adalah komitmen dan cinta kasih bukan nafsu semata. Poligami yang dilakukan lewat penafsiran sempit ini, memang telah menodai

komitmen suci dalam berumah tangga, menafikan nilai-nilai keadilan dan melunturkan

kasih dan cinta dalam keluarga yang sudah lama dibina.

Memahami poligami dalam Islam, tidak cukup hanya dengan mengartikan satu

ayat secara tekstual, ayat-ayat Al-Qur’an harus dipahami secara menyeluruh, holistik

dan filsafati. Bila kita hanya mencermati satu ayat saja (ayat 3) maka, akan timbul bias

gender dalam poligami, tapi apabila kita memperhatikan ayat-ayat yang relevan dengan

poligami, maka akan terlihat dasar filsafati dari ayat-ayat tersebut, seperti yang

tercantum dalam Surah An-Nisa : 2, yaitu:

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka,

janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu

makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, (tindakan menukar dan

memakan) itu adalah dosa yang besar” .

Bila kita mencermati ayat-ayat Al-Qur’an secara konstektual maka akan tergambar latar belakang (Asbabun Nuzul) dari poligami dalam Islam. Ayat ini diturunkan pada masa Perang Uhud (3 Syawal) dimana pada saat itu pasukan Islam yang dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw menderita kekalahan dari kaum Quraisy, sebanyak lebih dari 70 orang tentara (laki-laki) meninggal dunia, meninggalkan keluarga, anak-anak menjadi yatim piatu dan istri-istri mereka menjadi janda. Kejadian inilah yang menjadi alasan diturunkannya ayat diatas sebagai anjuran untuk mengawini para janda-janda perang dan menafkahi anak-anak mereka. Kalau dicermati, maka ayat poligami di Al-Qur’an bukan merupakan bentuk anjuran, tapi lebih sebagai solusi dari keadaan darurat.

Apabila kita berkaca pada pengalaman umat manusia, keadaan darurat tersebut

juga sering terjadi dalam keadaan perang, dimana banyak tentara-tentara (laki-laki)

yang gugur dimedan perang, sehingga semakin mempertajam selisih jumlah kuantitatif

laki-laki dan perempuan. Menurut Encyclopedia Britannica (1984), dalam Perang Dunia

ke-I (1914-1918) tercatat hampir 8 juta tentara tewas di medan tempur, Perang Dunia

Page 6: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

ke-II (1939-1945) tercatat lebih dari 60 juta, dan dalam Perang Irak-Iran (1979-1988),

hampir 82.000 wanita Iran dan 100.000 wanita Irak menjadi janda . Dalam keadaan

darurat seperti diatas, poligami memainkan peranan penting sebagai solusi untuk

menyeimbangkan jumlah laki-laki dan perempuan, dan menafkahi janda-janda dan

anak-anak yatim piatu.

Apabila kita berkaca pada realitas kehidupan kontemporer, memang poligami masih diterima “setengah-hati” oleh masyarakat yang masih menjaga adat kesakralan perkawinan dan komitmen rumah tangga. Namun poligami jelas berbeda dengan perceraian, walaupun kedua-duanya halal untuk dilakukan, namun perceraian lebih memberi dampak buruk dari pada poligami, karena dalam perceraian terjadi destruksi ikatan dan hubungan yang telah terjalin, hal inilah yang membuat Allah Swt sangat membenci perceraiaan.

Sementara poligami, menambah jalinan hubungan baru, tetapi dalam poligami juga sering terdapat emosi kebencian namun hadir dalam suasana yang berbeda. Hal ini karena suami tidak dapat berperan secara adil, tidak mendapatkan ridha dari istri pertama dan problem-problem psikologi yang dialami istri pertama dan keluarganya. Tentang pentingnya menjalankan keadilan dalam keluarga poligami, Allah SWT memberikan anjuran dalam surah An-Nisa Ayat 129, sebagai berikut:

“Dan kamu tidak akan pernah berlaku adil kepada istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”Selain mengaitkan poligami dengan aspek emosional dan psikologi istri yang

diduakan, kerancuan dalam menafsirkan esensi dari poligami juga sering terjadi dengan alasan untuk menghindari prilaku berzina, oleh banyak kalangan (laki-laki) sering berujar: “lebih baik kawin (poligami) lagi, dari pada berbuat zina “. Alasan ini menurut penulis sangatlah “cengeng” karena kita selaku umat muslim sudah

menyadari dan mengetahui bahwa zina itu dilarang (haram hukumnya) oleh Islam,

Page 7: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

seperti yang diamanahkan Allah SWT dalam surah Al-Isra’ ayat 32 yang menyatakan:

“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan

suatu jalan yang buruk”

Sedangkan terkait alasan melakukan poligami guna untuk meniru perilaku Nabi, juga sangat tidak dapat diterima, karena seorang Nabi, seperti Nabi Muhammad SAW, memang sosok manusia pilihan yang tidak dapat ditiru-tiru oleh umatnya. Meniru kebiasaan dan perilaku beliau secara wajar mungkin dapat diterima sebagai anjuran sunah nabi, namun meniru secara an sich dan berlebihan tidaklah wajar. Hal ini dapat dijelaskan oleh Allah SAW dalam surah Al-Ahzab ayat 50, yang menyatakan:

“Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah engkau berikan maskawinnya dan hamba sahaya yang engkau miliki, termasuk apa yang engkau peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu, dan perempuan Mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi ingin menikahinya, sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk semua orang Mukmin. Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki agar tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” .Jadi sebenarnya, sebagian besar tradisi agama di dunia (terutama Islam),

berpendapat bahwa bukan teks agama (secara normatif) yang menjadi sebab masalah

ketidakadilan dan kesetaraan gender antara suami/pria dan istri/wanita, namun lebih

kepada penafsirannya. Julia Cleves Mosse, dalam penelitiannya meneliti hampir semua

teks kitab suci, termasuk Al-Qur’an. Berkesimpulan bahwa agama menawarkan

kemungkinan pembebasan dan perbaikan terhadap posisi wanita (istri) baik dalam

ranah privat/keluarga maupun publik/masyarakat . Bahkan dalam ranah publik, seorang

istri/wanita pun dapat berperan dalam menjalankan kekuasaan. Dalam tradisi

Page 8: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

masyarakat Islam, wanita memberi sumbangan penting terhadap sufisme dan ilmu

keagamaan seperti yang dipraktekkan oleh Rabbiatul Adawiyah pada jaman

kekhalifahan Islam Timur di Bahdad (Irak).

Poligami dalam Hukum Positif IndonesiaUndang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dibuat dengan tujuan

utama untuk meningkatkan kualitas manusia sebagai anggota keluarga . UU ini lahir

sebagai jawaban atas berbagai macam kasus poligami dan poliandri yang sewenang-

wenang dilakukan oleh masyarakat. UU ini pada prinsipnya dimaksudkan untuk

mengubah sistem poligami menjadi monogami dan sekaligus sebagai sarana efektif

untuk melindungi kedudukan wanita dalam keluarga supaya lebih terlindungi dari

eksploitasi laki-laki dalam hubungan sebagai suami istri. Sebagaimana tercantum

dalam Pasal 3 ayat 1, yang menyatakan: (1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan

seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh

mempunyai seorang suami. Namun pemakaian asas monogami dalam UU tersebut

tidaklah dilakukan dengan tegas, bahkan ada yang beranggapan bahwa asas

monogami tersebut bersifat terbuka , dalam artian poligami masih tetap dilegalkan (sah)

terhadap orang yang menurut hukum dan agama (Islam) yang dianutnya mengizinkan

seorang suami beristri lebih dari seorang. Dengan demikian UU ini tersebut juga pro

terhadap poligami, seperti yang dapat dipahami dalam Pasal 3 Ayat 2, yang

menyatakan: (2) Pengadilan, dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk

beristri lebih dari satu seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan.

Dari kedua ayat-ayat diatas, dapat dianalisa perihal politik hukum pembentukan

UU Perkawinan tersebut yang dapat dikategorikan sebagai UU yang responsif, dalam

artian UU tersebut merupakan suatu produk hukum yang dihasilkan dari aspirasi-

aspirasi yang hidup dimasyarakat (terutama umat muslim) pada umumnya. Namun

bukan berarti UU tersebut tidak memiliki cela, konsewensi dari dianutnya asas

monogami terbuka adalah hilangnya konsistensi dari pemerintah untuk melaksanakan

asas monogami, pemerintah terlihat ragu dalam memilih antara asas poligami ataukah

asas monogami. Sehingga UU tersebut cenderung terlihat “abu-abu”, selain itu UU

Page 9: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

tersebut juga membawa dampak psikologis bagi para wanita yang merasa kurang

terlindungi hak-haknya dari ancaman praktek poligami, walaupun izin untuk melakukan

poligami dilandasi oleh perjanjian, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 5 Ayat 1, namun

perjanjian tersebut dirasa masih belum cukup dapat memberikan rasa adil dalam

berpoligami.

Praktek poligami, secara historis dan kultural tidak dapat dipisahkan oleh budaya

patriarki, yang tidak hanya dianut oleh masyarakat Arab pra-Islam dan suku-suku

nomadent di Afrika bagian Timur, namun juga merujuk kepada sistem yang secara

historis berasal dari hukum Yunani dan Romawi, dimana suami sebagai kepala rumah

tangga memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak (untouchable) atas semua

anggota keluarganya. Patriakhi tersebut pada perkembangannya menjadi suatu

gerakan dominasi (dominance movement) pris/suami atas wanita/istri dan anak-anak

didalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi pria/suami terhadap semua lingkup

kemasyarakatan lainnya. Relasi yang mengikuti budaya patriarki, adalah relasi patron-

clan; atau ketertundukan, kesakralan perintah suami/pria terhadap istri/wanita dan

anak-anaknya. Relasi inilah yang pada akhirnya menimbulkan ketidak adil dan

kesewenangan didalam rumah tangga.

Seorang wanita dalam kedudukannya sebagai seorang istri, hendaknya dipandang sebagai sebuah bagian terpenting dalam suatu keluarga. Karena mereka memainkan peran yang sangat signifikan terhadap tumbuh kembangnya keluarga dan anak-anak mereka. Suami dan istri dalam suatu keluarga hendaknya tunduk kepada suatu prinsip kesetaraan, persamaan, keadilan dan kemitraan dalam berkeluarga, yang nantinya akan menciptakan suasana harmoni dan tidak menimbulkan perasaan ekstrimitas diantara keduannya. Kesetaraan dalam hubungan suami istri meliputi kesetaraan dalam hal kedudukan dalam tata hukum dan undang-undang nasional, begitu pula dalam pola relasi hidup sehari-hari dalam keluarga dan masyarakat dimana tidak ada diskriminasi antara suami terhadap istrinya. Prinsip kedua, menurut penulis sangat urgent untuk diperhatikan adalah prinsip keadilan dalam berumah tangga. Seorang suami sebagai kepala rumah tangga dituntut untuk dapat berlaku adil terhadap istrinya dan terhadap anak-anak mereka, barometer keadilan inilah yang sangat sulit

Page 10: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

dipenuhi oleh keluarga poligami, walaupun ada beberapa pihak (suami) yang meng-klaim sudah berlaku adil terhadap istri-istrinya. Anjuran untuk berlaku adil juga diamanahkan dalam Al-Qur’an, surah Al-A’raf Ayat 29, yang menyatakan:

“Katakanlah, “Tuhanku menyuruhku berlaku adil. Hadapkanlah wajahmu (kepada Allah) pada setiap shalat, dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya. Dan kamu akan dikembalikan kepadanya sebagaimana kamu diciptakan semula”Sedangkan prinsip persamaan dan kemitraan dalam berkeluarga dipandang

sebagai sebuah kondisi dimana suami dan istri memiliki kesamaan hak dan kewajiban

yang terwujud dalam kesempatan, kedudukan , peranan yang dilandasi oleh sikap dan

perilaku saling bantu membantu, dan saling mengisi disemua bidang kehidupan .

Prinsip-prinsip diatas bertujuan untuk menciptakan hubungan yang harmonis,

berkeadilan dan mewujudan kemitrasejajaran yang merupakan tanggung jawab

bersama suami dan istri.

POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF FIQIH

Asas perkawinan dalam hukum Islam adalah monogami. Ketentuan ini

didasarkan ayat 3 surat al-Nisa’: “maka jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil,

maka kawinlah seorang istri saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian

itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Kelanjutan dari perkawinan monogamy,

adalah perkawinan poligami yaitu perkawinan seorang suami (laki-laki) dengan lebih

dari seorang istri. Kebalikan dari perkawinan poligami adalah poliandri yaitu seorang

wanita (istri) mempunyai lebih dari seorang laki-laki (suami). Perkawinan ini dilarang

oleh hokum Ilsm berdasarkan surat al-Nisa ayat 24 yang menyebutkan bahwa

janganlah kamu kawini seorang wanita yang sedang bersuami. Dilihat dari segi wanita

yang bersangkutan, maka ketentuan ayat ini berupa larangan untuk berpoliandri.

Sedangkan dilihat dari segi seorang laki-laki yang akan berpoligami, ayat ini berarti

melarang berpoligami terhadap wanita yang sedang bersuami.

Firman Allah surat al-Nisa’ ayat 3 berbunyi :

Page 11: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

, فان ورباع ثالث و مثنى النساء من لكم طاب ما فانكحوا اليتامى في تقسطوا اال خفتم وان

تعدلوا اال ادنى ذلك ايمانكم ملكت اوما فواحدة تعدلوا اال خفتم

Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan

yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu

senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil,

maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu meiliki. Yang demikian itu

lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS An-Nisa’ : 3)

Para ulama fiqh sepakat bahwa kebolehan poligami dalam perkawinan

didasarkan pada firman Allah Swt. surat al-Nisa’ ayat 3 diatas. Ayat 3 al-Nisa’ ini masih

ada kaitannya dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 2 al-Nisa’. Ayat 2 mengingatkan

kepada para wali yang mengelola harta anak yatim, bahwa mereka berdosa besar jika

sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik dengan yang jelek dengan

jalan yang tidak sah ; sedangkan ayat 3 mengingatkan kepada para wali anak wanita

yatim yang mau mengawini anak yatim tersebut, agar si wali itu beritikad baik dan adil

dan fair, yakni si wali wajib memberikan mahar dan hak-hak lainnya kepada anak yatim

wanita yang dikawininya. Ia tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk memeras

dan menguras harta anak yatim atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin

dengan orang lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah ra waktu ditanya oleh Urwah

bin al-Zubair ra mengenai maksud ayat 3 surat al-Nisa’ tersebut. Jika wali anak wanita

yatim tersebut khawatir atau takut tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka ia

(wali) tidak boleh mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya itu,

tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang isteri sampai dengan

empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya. Jika ia takut tidak

bisa berbuat adil terhadap isteri-isterinya, maka ia hanya beristeri seorang, dan ini pun

ia tidak boleh berbuat dholim terhadap isteri yang seorang itu. Apabila ia masih takut

pula kalau berbuat zalim terhadap isterinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin

dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.

Ayat 3 surat al-Nisa sebagaimana yang ditulis dimuka secara ekplisit seorang

suami boleh beristri lebih dari seorang sampai batas maksimal empat orang dengan

Page 12: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

syarat mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya itu. Ayat ini melarang menghimpun

dalam saat yang sama lebih dari empat orang istri bagi seorang pria. Ketika turun ayat ini, Rasulullah memerintahkan semua pria yang memiliki lebih dari empat istri, agar segera menceraikan istri-istrinya sehingga maksimal setiap orang hanya memperistrikan empat orang wanita. M. Quraish Shihab lebih lanjut menegaskan bahwa ayat ini, tidak membuat satu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syari’at agama dan adat istiadat sebelum ini. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan. Bukankah kemungkinan mandulnya seorang istri atau terjangkit penyakit parah, merupakan satu kemungkinan yang tidak aneh? Bagaimana jalan keluar bagi seorang suami, apabila menghadapi kemungkinan tersebut? Bagaimana ia menyalurkan nafsu biologis atau memperoleh dambaannya untuk memiliki anak? Poligami ketika itu adalah jalan yang paling ideal. Tetapi sekali lagi harus di ingat bahwa ini bukan berarti anjuran, apalagi kewajiban. Itu diserahkan kepada masing-masing menurut pertimbangannya. Al-Qur’an hanya memberi wadah bagi mereka yang menginginkannya.

Musfir al-Jahrani kebolehan poligami di dalam al-qur’an adalah untuk

kemaslahatan di dunia dan akherat. Poligami bertujuan untuk memelihara hak-hak

wanita dan memelihara kemuliaannya. Kebolehan poligami terdapat pesan-pesan

strategis yang dapat diaktualisasikan untuk kebahagiaan manusia. Poligami memiliki nilai sosial ekonomis untuk mengangkat harkat dan martabat wanita. Muh. Abduh berpendapat bahwa poligami merupakan tindakan yang tidak boleh dan haram. Poligami hanya dibolehkan jika keadaan benar-benar memaksa seperti tidak dapat mengandung. Kebolehan poligami juga mensyaratkan kemampuan suami untuk berlaku adil. Ini merupakan sesuatu yang sangat berat, seandainya manusia tetap bersikeras untuk berlaku adil tetap saja ia tidak akan mampu membagi kasih sayangnya secara adil. Muhammad Asad mengatakan bahwa kebolehan poligami hingga maksimal empat istri dibatasi dengan syarat, “jika

Page 13: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

kamu punya alasan takut, tidak mampu memperlakukan adil terhadap istri , maka kawinilah satu, karena untuk membuat perkawinan majemuk ini hanya sangat mungkin dalam kasus-kasus yang luar biasa dan dalam kondisi yang luar biasa.

Masjfuk Zuhdi menjelaskan bahwa Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau madarat daripada manfaatnya. Karena manusia menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Poligami bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan isteri-isteri dan anak-anak dari isteri-isterinya, maupun konflik antara isteri beserta anak-anaknya masing-masing. Oleh sebab itu, hukum asal perkawinan dalam Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisir sifat atau watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam dalam keluarga monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati, dengki dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat membahayakan keutuhan keluarga. Dengan demikian, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya isterinya ternyata mandul (tidak dapat membuahkan keturunan), isteri terkena penyakit yang menyebabkan tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang isteri.

POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF KHI

KHI memuat poligami pada bagian IX dengan judul ,”Beristri lebih dari satu

orang” yang diungkap dari pasal 55-59.Pada pasal 55 dinyatakan :

1. Beristri lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan ,terbatas hanya

sampai empat orang istri.

2. Syarat utama beristri lebih dari satu orang ,suami harus mampu berlaku adil

terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

Page 14: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2 tidak mungkin dipenuhi,suami

dilarang beristri lebih dari satu orang.

Lebih lanjut dalam KHI pasal 56 dijelaskan :

1. Seorang suami yang akan menikah lebih dari satu orang harus mendapat izin

dari Pengadilan Agama

2. Pengajuan permohonan izin dimaksudkan pada ayat 1 dilakukan menurut tata

cara

Sebagaimana diatur dalam BAB VIII PP No.9 Tahun 1975 :

1. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua,ketiga,atau keempat yang tidak

mempunyai izin dari Pengadilan Agama ,tidak mempunyai kekuatan hukum.

Alasan-alasan suami yang diperbolehkan berpoligami menurut Pengadilan

Agama sama dengan yang disebut oleh pasal 4 UUP.

Selanjutnya pada pasal 59 juga digambarkan betapa besarnya wewenang

Pengadilan Agama dalam memberikan keizinan .Sehingga bagi istri yang tidak mau

memberikan persetujuan suaminya untuk berpoligami ,persetujuan itu dapat diambil alih

oleh Pengadilan Agama.Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perundang-

undangan Indonesia telah mengatur agar laki-laki yang melakukan poligami adalah laki-

laki yang benar-benar:1.mampu secara ekonomi menghidupi dan mencukupi seluruh

kebutuhan(sandang,pangan,papan) keluarga (istri-istri dan anak-anak

2. Mampu berlaku adil terhadap istri-istri dananak-anak dari suami poligami tidak

disia-siakan.

Ketentuan hukum yang mengatur tentang poligami seperti telah diuraikan di atas

an mengikat semua pihak,pihak yang akan melangsungkan poligami dan pegawai

pencatat perkawinan.Apabila mereka melanggar pasal-pasal di atas dikenakan sanksi

pidana.Hal ini diatur pada bab IX pasal 45 PP No.9 tahun 1975.

Page 15: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

Peraturan tentang perkawinan di Indonesia dilandasi asas monogami terbuka.

Perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri dimungkinkan bila

dikehendaki ataupun disetujui oleh phak-pihak yang bersangkutan, hanya saja hal itu

dapat dilakukan, apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh

pengadilan. Hal ini diatur dalam UU No. 1/1974 pasal 3(2), pasal 4 (1) dan pasal 5 (1)

dan (2). Dan untuk kelancaran pelaksanaan UU No. 1/1974, telah dikeluarkan PP No.

9/1975, yang mengatur pelaksanaan dari UU tersebut.

Pada dasarnya aturan pembatasan, penerapan syarat-syarat dan kemestian

campur tangan penguasa yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 diambil alih

seluruhnya oleh KHI. Di antara prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur

dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 56, 57, 58, dan 59, di mana pada pasal 57

mengatur persyaratan keluarnya izin berpoligami dari Pengadilan Agama.

Pasal 57 berbunyi:

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan

beristri lebih dari seorang apabila:

• Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

• Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

• Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Kalau umat Islam mempedomani pasal 57 di atas serta terkait yaitu pasal 55, 56,

dan 58, maka tipis kemungkinan orang berpoligami. Walaupun pasal 55 ayat (1) KHI

memberi peluang bolehnya beristri sampai empat orang dalam waktu yang bersamaan,

tetapi pasal 57 ini mengunci dengan persyaratan yang ketat. Meskipun dibolehkan

poligami dengan syarat adil, itupun dapat dilakukan hanya sebagai pintu darurat saja.

Pembolehan poligami dengan syarat yang ketat tersebut dapat dilaksanakan dengan

bukti-bukti yang autentik.

POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF UU NO 1/1974

Page 16: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

Kendatipun UUP perkawinan menganut asas monogami seperti yang terdapat di

dalam pasal 3 yang mengatakan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri

dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, namun pada bagian yang

lain dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan.

Untuk kasus poligami untuk beristri lebih dari satu orang dengan ketentuan

jumlah istri dalam waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai 4 orang. Adapun

syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap istri-

istrinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika si suami tidak bisa memenuhi maka suami

dilarang beristri lebih dari satu, disamping itu si suami harus terlebih dahulu mendapat

ijin dari pengadilan agama, jika tanpa ijin dari pengadilan agama maka perkawinan

tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pengadilan agama baru dapat memberikan ijin kepada suami untuk berpoligami

apabila ada alasan yang tercantum dalam pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan 1/1974 :

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Disamping syarat-syarat tersebut yang merupakan alasan untuk dapat

mengajukan poligami juga harus dipenuhi syarat-syarat pendukung yaitu :

1. Adanya persetujuan dari istri

2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-

anaknya

3. Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya.

Page 17: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya poligami

dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan akan tetapi sekalipun telah ada

persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan

dari istri pada sidang pengadillan agama. Persetujuan dari istri yang dimaksudkan tidak

diperlukan bagi suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan

dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian dan apabila tidak ada khabar dari

istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang

mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama. Dapat diambil contoh apabila si istri

ada di Luar Negeri menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) selama 2 tahun atau lebih

misalnya atau bisa juga karena selama minimal 2 tahun si istri memang tidak ada kabar

beritanya. Persetujuan secara lisan ini nantinya si istri akan dipanggil oleh Pengadilan

dan akan didengarkan oleh majelis hakim, tidak hanya istri tetapi suami juga akan

diperlakukan hal yang sama. Kemudian pemanggilan pihak-pihak ini dilakukan menurut

tata cara yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam pasal 390

HIR dan pasal-pasal yang berkaitan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 disebutkan bahwa untuk

memperoleh ijin melakukan poligami hanya dapat diberikan oleh pejabat yang

berwenang apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan

ketiga syarat kumulatif sebagaimanan disebutkan dalam pasal 10 ayat 2 dan 3 PP

Nomor 10 tahun 1983. Akan tetapi dari hasil penelitian pernah ada permohonan ijin

poligami pegawai negeri sipil yang diajukan kepada pejabat atasannya tidak memenuhi

alasan dan istri tidak memenuhi kewajibannya sebagai istri akibat tindakan suami itu

sendiri yang hanya menuntut haknya saja tanpa mau melaksanakan kewajibannya

dengan semestinya. Dalam hal ini kesalahan tidak dapat dilimpahkan kepada istri. Dan

kasus-kasus semacam ini juga sering sekali terjadi.

Seorang pegawai negeri sipil yang akan melakukan poligami harus memenuhi

persyaratan-persyaratan sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975.

Syarat-syarat komulatif itu antara lain :

Page 18: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

1. Adanya persetujuan tertulis dari istri.

2. Adanya kepastian bahwa suami menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-

anak.

3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil kepada istri dan anak mereka.

Dalam pasal 1 ayat 1 PP Nomor 10 tahun 1983 bahwa pegawai negeri sipil yang

akan beristri lebih dari seorang wajib memperoleh ijin dari pejabat dimana dalam surat

permintaan ijin sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 tadi harus dicantumkan

alasan yang lengkap yang mendasari permintaan untuk beristri lebih dari seorang.

Permintaan ijin itu harus diajukan kepada pejabat melalui saluran hirarki. Dalam hal ini

setiap alasan yang menerima permintaan ijin dari Pegawai Negeri Sipil dalam

lingkungannya untuk melakukan poligami wajib memberikan pertimbangan dan wajib

meneruskan kepada pejabat melalui saluran hirarki dalam jangka waktu selambat-

lambatnya 3 bulan terhitung mulai tanggal menerima permintaan surat itu.

Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-

istrinya dan anak-anak dengan memperlihatkan :

1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh

bendahara tempat bekerja.

2. Surat keterangan pajak penghasilan.

3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.

Dalam PP Nomor 10 tahun 1983 pejabat dari Pegawai Negeri Sipil yang

bersangkutan akan memberikan ijin apabila ternyata :

1. Tidak bertentangan dengan ajaran atau peraturan agama yang dianut oleh

Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.

2. Memenuhi syarat alternatif dan semua syarat komulatif .

Page 19: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

3. Tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.

4. Tidak bertentangan dengan akal sehat.

5. Tidak ada kemungkinan mengganggu tugas kedinasan yang dinyatakan dalam

surat keterangan atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, serendah-

rendahnya pejabat eselon IV atau setingkat dengan itu.

Adapun proses dalam acara pengadilan agama dimana dalam pemeriksaan

pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan. Pemeriksaan

pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterima

surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. Apabila pengadilan berpendapat

bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari satu maka pengadilan

memberikan putusannya yang berupa ijin untuk beristri lebih dari seorang.

Pengadilan didalam memberikan pertimbangan terhadap pegawai negeri sipil

yang mengajukan permohonan untuk beristri lebih dari seorang dengan melihat apakah

hukum membolehkannya atau tidak yaitu dengan memperlihatkan ketentuan undang-

undang yang berlaku serta memperhatikan kelengkapan syarat-syarat maupun alasan-

alasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974,

Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun

1983 dan juga Kompilasi Hukum Islam.

Berbicara mengenai perkawinan poligami, yang tentu saja dilakukan oleh

seorang suami ini, ada beberapa contoh kasus yang dapat diambil dimana jika diamati

banyak sekali terjadi di sekitar lingkungan kita.

Contoh kasus yang terjadi : Apabila ada seorang suami yang mempunyai

keinginan untuk melakukan poligami tetapi suami ini tidak mendapatkan persetujuan

dari istrinya untuk melaksanakan perkawinan poligami, sedangkan si perempuan yaitu

calon istri dari suami ini sudah terlanjur berbadan dua atau dengan kata lain si

perempuan ini sudah dalam keadaan hamil dan hanya tinggal menunggu tanggal

kelahirannya saja. Kemudian dari kasus ini akan timbul pertanyaan, Bagaimana

Page 20: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

tindakan selanjutnya yang harus diambil jika si istri yang syah tetap tidak mau

memberikan persetujuan perkawinan poligami yang akan dilakukan oleh suaminya ?

Seorang suami jika dia akan melakukan perkawinan poligami pada dasarnya

tetap harus memenuhi syarat-syarat yang telah diatur dan telah ditentukan didalam

Undang-Undang Perkawinan Nomor. 1 tahun 1974, dimana salah satu syarat yang

utama yang harus dipenuhi adalah adanya persetujuan dari istri. Persetujuan inipun

seperti telah dikemukakan di awal yaitu ada persetujuan tertulis dan persetujuan secara

lisan yang akan didengar oleh hakim pada saat sidang pengadilan berlangsung. Jadi

jika dilihat dari kacamata hukum positif, sorang suami ini tetap tidak bisa melaksanakan

perkawinan poligami seperti yang diinginkannya tanpa adanya persetujuan dari istri.

KESIMPULAN

Hukum Perkawinan Islam membolehkan bagi seorang suami melakukan

poligami dengan syarat yakin atau menduga kuat mampu berlaku adil terhadap istri-

istrinya, sebagaimana yang di isyaratkan oleh kata kunci 3 surat al-Nisa’: “maka jika

kamu takut tidak akan mampu berlaku adil, maka kawinlah seorang istri saja“.

Kebolehan poligami ini bukan anjuran tetapi salah satu solusi yang diberikan dalam

kondisi khusus kepada mereka (suami) yang sangat membutuhkan dan memenuhi

syarat tertentu.

Makna keadilan sebagai syarat poligami bukan pada keadilan makna batin

(seperti cinta dan kasih sayang) tetapi keadilan pada hal-hal yang bersifat material dan

terukur. Sebagaimana di isyaratkan oleh ayat 129 surat al-Nisa’dan latar belakang

sosiologis sebab turun ayat poligami (ayat 3 al-Nisa’).

Para ulama Fikih tidak membahas secara spesifik tentang persyaratan

berpoligami. Syarat umum yang dipegang hanya kemampuan bersikap adil dan

memberi nafkah. Ijma’ sukuti menegaskan bahwa seorang suami yang hendak

berpoligami dan telah memenuhi kedua syarat tersebut dapat melakukannya tanpa

perlu adnya izin dari hakim (qadhi).

Page 21: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

Adanya KHI yang di dalamnya mengatur tentang poligami khususnya pasal 57

berlandaskan pada beberapa prinsip yaitu memperketat persyaratan dan prosedur

perkawinan untuk mengeliminir praktek-praktek poligami yang menyimpang dari konsep

dasar dan tujuan perkawinan dalam Islam. Aturan KHI tersebut berpatokan pada

aktualisasi maqashid syari’ah.

Namun demikian, pesyaratan yang terlalu ketat dalam KHI itu perlu

dipertimbangkan lagi dengan memberi kelonggaran secukupnya. Hal ini mengingat

banyaknya masyarakat yang tidak peduli dengan aturan tersebut dan melakukan

poligami “liar” atau bahkan berselingkuh dengan “wanita idaman lain (WIL)” karena

tidak mampu memenuhi persyaratan yang ketat untuk mendapatkan izin berpoligami

dari Pengadilan Agama.

Di sisi lain, tidak cukup bagi muslimin dan muslimat jika hanya memahami

legalitas berpoligami saja, mereka juga wajib memahami syariat Islam tentang hakikat

dan tujuan perkawinan, sehingga berpoligami betul-betul menjadi solusi dan bukan

malah menjadi sumber masalah dalam rumah tangga. Demikian pula, mereka perlu

memahami aturan teknis berpoligami itu sendiri. Hal ini penting untuk menekan angka

kesalahan praktek berpoligami di tengah masyarakat muslim.

KesimpulanFenomena poligami, yang marak diperbincangkan saat ini hendaknya dimaknai

secara lebih dewasa dan komprehensif, dan janganlah terjebak pada suatu penafsiran

terhadap teks-teks Al-Qur’an dengan cara yang sempit dan tekstual semata. Namun

haruslah ditafsirkan dengan menggunakan akal, logika, dan secara kontektual sehingga

dapat dimaknai sesuai dengan Asbabul Nuzul yang diinginkan oleh Allah Swt.

Wanita, sebagai salah satu ciptaan Allah Swt, pastinya diciptakan dengan tujuan

tertentu, yang pasti mulia dan penting bagi kehidupan dan keseimbangan kosmos dan

kosmik di alam semesta ini. Hendaknya juga mereka dihormati sesuai dengan kodrat

dan perannya baik dalam lingkup privat/keluarga maupun lingkup publik/masyarakat.

Hukum Poligami Di Negara Indonesia dan Tunisia

Page 22: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

Seperti yang dikatakan oleh M Zaki Saleh dalam karya tulisnya, Istilah poligami

berasal dari bahasa Latin polygamia (poly dan gamia) atau gabungan kata bahasa

Yunani poly dan gamy dari akar kata polus (banyak) dan gamos (kawin). Jadi secara

harfiyah poligami berarti perkawinan dalam jumlah banyak. Sedangkan secara

terminologi poligami adalah suatu praktik atau kondisi (perkawinan) lebih dari satu istri,

suami, pasangan, yang dilakukan pada satu waktu (bersamaan). Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia, poligami didefinisikan sebagai sistem perkawinan yang salah satu

pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.

Jika menilik definisi poligami di atas, tampak tidak ada perbedaan istilah antara

perkawinan yang dilakukan oleh pria (suami) atau wanita (istri), apabila dilakukan lebih

dari satu pasangan dan dilakukan pada saat bersamaan (masih dalam ikatan

perkawinan dengan pasangan lain), maka praktik tersebut masuk dalam cakupan

terminologi poligami. Namun di kalangan umum, istilah ini justeru sering dibatasi

wilayah penggunaannya khusus bagi perkawinan jamak yang dilakukan seorang pria

(suami). Padahal bentuk perkawinan yang terakhir disebut ini secara terminologi dikenal

dengan istilah poligami. Jika ia dilakukan oleh wanita maka disebut dengan istilah

poliandri. Dalam The Encyclopedia Americana disebutkan:

“Poligamy is a form of poligamy in which one male is married to more than one female.

Poliandry is a form of poligamy in which one female is married to more than one male.”

Lawan kata poligami adalah monogami, berasal dari bahasa Latin monogamia, atau

paduan kata dari bahasa Yunani, mono dan gamy, yang berakar dari kata monos (satu,

tunggal, sendirian) dan gamos (perkawinan). Secara simpel monogami dapat diartikan

dengan perkawinan tunggal (hanya ada satu ikatan perkawinan). Sedangkan secara

terminologi, monogami memiliki dua pengertian:

Suatu kebiasaan atau kondisi dari perkawinan yang dilakukan hanya pada satu orang

(pasangan) pada satu waktu.

Suatu keadaan dimana perkawinan satu pasangan berlangsung bagi seumur hidup.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah monogami telah mengalami

penyempitan cakupan. Dalam hal ini monogami diartikan sebagai sistem yang

Page 23: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu istri pada jangka waktu tertentu.

Untuk pengertian yang relatif sama juga digunakan istilah lain, yakni monogini.

Khusus dalam tulisan ini, penulis masih tetap menggunakan istilah poligami dan

monogami sebagai acuan. “Ketidak tepatan” dalam penggunaan istilah poligami dan

monogami sebagaimana dikemukakan di atas untuk sementara dikesampingkan,

beralih kepada istilah yang “terlanjur” lebih populer dikenal.

Indonesia

Sebelum pemberlakuan UU Perkawinan No. 1/1974 di Indonesia, seorang laki-laki

muslim cukup mudah untuk melakukan perkawinan poligami. Ia hanya diminta untuk

melaporkan perkawinan barunya kepada petugas pencatat perkawinan dan bersikap

adil kepada para istrinya. Secara substansial Hukum Perkawinan merubah keadaan ini,

walaupun sesungguhnya masih bersifat mendua. Di satu sisi, prinsip yang menyatakan

bahwa perkawinan yang merupakan institusi monogami dianggap telah mendasari

ketentuan-ketentuan hukum tersebut (Pasal 3); dan memang salah satu tujuan utama

dari UU Perkawinan adalah untuk menekan tingkat perkawinan poligami. Di sisi lain, UU

tersebut memperkenankan laki-laki untuk mempunyai lebih dari seorang istri jika ia

mampu memenuhi persyaratan dari sejumlah ketentuan UU tersebut, diperbolehkan

oleh agamanya, dan memperoleh izin dari Pengadilan Agama. Meskipun hak tersebut

tetap dipertahankan, namun secara prosedur administratifnya tidaklah mudah, secara

umum ia membatasi kemungkinan terjadinya penggunaan hak tersebut secara

sewenang-wenang.

Ketentuan yang sama tetap dipertahankan dalam Kompilasi Hukum Indonesia (KHI)

yang ditetapkan pada tahun 1991. Pengadilan dalam hal ini memainkan peran penting

dalam pemberian izin kepada suami untuk berpoligami. Meskipun demikian baik UU No.

1 /1974 maupun KHI tidak mencantumkan sanksi hukum terhadap pihak yang

melakukan pelanggaran. Sanksi poligami diatur dalam Peraturan Pemerintah No.9

tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974, disebutlkan bahwa pelaku poligami

tanpa izin Pengadilan dapat dijatuhi hukuman denda Rp. 7.500,-. Sanksi hukum juga

Page 24: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

dikenakan kepada petugas pencatat yang melakukan pencatatan perkawinan seorang

suami yang akan berpoligami tanpa izin Pengadilan dengan hukuman kurungan

maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,-.

Dalam pada itu, hukuman yang relatif berat dijatuhkan bagi Pegawai Negeri Sipil yang

berpoligami di luar ketentuan yang ditetapkan. Disebutkan dalam Surat Edaran

No.48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 45/1990 tentang perubahan atas

PP No. 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, bahwa

PNS dan atau atasan/pejabat, kecuali Pegawai Bulanan di samping pensiunan, dijatuhi

salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan

Disiplin PNS.

Berbagai ketentuan dalam UU Perkawinan No. 1/1974 maupun dalam KHI mengenai

poligami di atas pada dasarnya tidak bertentangan dengan konsep mazhab-mazhab

konvensional, termasuk mazhab Syafi‘i. Hampir sama dengan Hukum Keluarga

Malaysia, persyaratan bagi seorang suami yang ingin berpoligami juga dihubungkan

dengan kewajiban suami yang diatur dalam konsepsi fikih tradisional, yakni

kemampuan memberi nafkah dan dapat berlaku adil kepada para istri. Begitu pula

dengan kondisi darurat istri yang dimadu tampaknya dikaitkan dengan alasan fasakh.

Lebih jauh produk hukum ini juga diorientasikan untuk mengangkat status wanita dan

memberikan perlindungan kepada mereka, suatu hal yang sejalan dengan semangat

Alquran dan Sunnah Rasul.

Meskipun kini perkawinan poligami telah dan agaknya akan menjadi hal yang jarang

terjadi di Indonesia, namun efektifas hukum yang mengatur poligami kelihatannya

masih diragukan. Di antara faktor penyebabnya adalah sanksi hukum atas pelanggaran

UU ini, denda Rp. 7.500,- atau penjara 3 bulan, sudah dianggap tidak sesuai kondisi

saat ini. Hukuman tersebut tidak cukup keras mencegah pelanggaran hukum tersebut.

Selain itu masih terjadinya dualisme hukum di Indonesia: Hukum Islam tradisional

versus hukum negara, mengakibatkan para pelaku poligami lebih memilih berlindung

Page 25: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

pada hukum Islam tradisional yang mengabsahkan poligami tanpa khawatir akan

dijatuhi hukuman seperti yang diberlakukan oleh Hukum Islam “produk negara”.

Tunisia

Tunisia merupakan negara berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden.

Negara yang beribukotakan Tunis ini menjadikan Islam sebagai agama resmi negara.

Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah muslim Sunni, bermazhab Maliki dan

sebagian Hanafi, karena itu dalam persoalan perdata, kedua mazhab tersebut sama-

sama dipergunakan. Namun banyak di antara berbagai dinasti yang pernah berkuasa di

Tunisia baik asing maupun asli Tunisia memiliki keyakinan yang berbeda-beda, seperti

Dinasti Syi’ah Fatimiyah sekitar abad X. Setelah dinasti ini tumbang, praktis kaum

Syi’ah menjadi kelompok minoritas. Demikian pula mazhab Hanafi yang membentuk

minoritas kecil di Tunisia, namun memberi pengaruh penting di negeri ini sampai

protektorat Perancis datang pada tahun 1883.

Langkah nasionalisme bangsa Tunisia dipelopori gerakan kalangan elit intelektual yang

dikenal dengan Young Tunisans, yang bertujuan mengasimilasi (memadukan)

peradaban Perancis sampai akhirnya mereka dapat mengatur negara mereka sendiri.

Mereka menggerakkan semangat egalitarisme, namun Perancis tidak menanggapinya

secara serius. Langkah yang lebih serius dalam gerakan dasar nasionalis yang terjadi

hanya sesaat sebelum dan sesudah Perang Dunia I dalam sebuah gerakan yang

dipimpin oleh Abd al-Aziz Thaalbi. Langkah ketiga datang pada tahun 1930-an saat

seorang pengacara muda, Habib Bourguiba, memutuskan hubungan dengan

DESTOUR PARTY dan memproklamasikan Neo-Destour. Prancis mengakui otonomi

Tunisia pada tahun 1955 dan kemerdekaannya pada Maret 1956. Pada tahun 1957

negara Tunisia memilih Bourguiba sebagai presiden pertamanya.

Setelah merdeka pada 20 Maret 1956, Tunisia segera menyusun berbagai

pembaharuan dan kodifikasi hukum berdasarkan mazhab Maliki dan Hanafi. Upaya

pembaharuan ini didasarkan pada penafsiran liberal terhadap Syariah, terutama yang

Page 26: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

berkaitan dengan hukum keluarga. Lahirlah Majallat al-Ahwal asy-Syak¡iyyah yang

kontroversial. Di bawah kepemimpinan Presiden Habib Bourguiba Tunisia menjadi

negara Arab pertama yang melarang poligami. Majallat itu sendiri mencakup materi

hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak, yang berbeda dengan

ketetapan hukum Islam klasik. Pada perkembangan selanjutnya, Majallat atau Undang-

Undang Status Personal tahun 1956 ini telah mengalami beberapa kali perubahan,

penambahan, dan modifikasi lebih jauh melalui amandemen Undang-undang sampai

dengan tahun 1981. Selanjutnya pemerintah Tunisia pada saat itu membentuk sebuah

komite di bawah pengawasan Syeikh al-Islam yaitu Muhammad Ju‘ayad untuk

memberlakukan undang-undang secara resmi. Syekh Universitas Zaituna juga ikut

berpartisipasi dalam komite tersebut. Dengan menggunakan sumber-sumber yang

diperoleh, dari hasil-hasil komite Lai’hat, hukum keluarga ala Mesir, Yordania, Syiria,

dan Turki Usmani. Komite tersebut mengajukan rancangan undang-undang hukum

keluarga kepada pemerintah, dan akhirnya diberlakukanlah undang-undang tersebut

pada tahun 1956.

Undang-Undang tersebut terdiri dari 167 pasal yang ditulis dalam 10 jilid yang dianggap

cukup komprehensif, meskipun belum memuat undang-undang mengenai kewarisan.

Undang-undang ini telah mengalami tujuh kali amandemen selama periode 1958-1966.

Terakhir kali Undang-Undang ini diamandemen pada tahun 1981 (UU No. 7/1981),

yang memperkenalkan beberapa modifikasi penting dari undang-undang sebelumnya.

Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut, yaitu:

Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki;

Untuk penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi

perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri;

Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;

Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan

adanya perbedaan dari mazhab klasik;

Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas;

Page 27: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

Undang-Undang Tunisa tersebut berlaku bagi semua warga negara Tunisia, khususnya

setelah tercapai kesepakatan dengan Perancis pada 1 Juli 1957 . dari berbagai

pembaharuan yang terdapat dalam UU baru ini, ada dua hal yang (awalnya) mendapat

respon negatif dari sejumlah kalangan, yaitu larangan poligami dan keharusan

perceraian di pengadilan.

Berkaitan dengan kriminalisasi poligami di Tunisia, pasal 18 menyatakan:

Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya

benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu

tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya .

Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957

yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak pernikahan kedua, sementara ia

masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama.

Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai hukuman, menurut

ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman yang sama.

Dalam Pasal 18 UU mengenai Status Perorangan tahun 1957 Tunisia di atas secara

tegas menetapkan bahwa poligami dilarang . Larangan ini konon mempunyai landasan

hukum pada ayat lain dalam Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib

menikah dengan seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-

istrinya (Q.S. an-Nisa [4] : 3). Ternyata, baik dari pengalaman maupun pernyataan

wahyu (Q.S. an-Nisa [4]: 128), keadilan yang dimaksud tidak akan dapat dipenuhi. Akan

tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqaha’ salaf, dengan alasan cukup masuk akal,

menyatakan bahwa Alquran tidak dapat begitu saja dianggap bertentangan dengan diri

sendiri; dan, karena itu, keadilan yang dituntut oleh “ayat poligami” tersebut harus

ditafsirkan sebagai hal-hal yang dapat dilakukan oleh suami, dan bukan perasaan batin

(cinta)nya.

Ada dua alasan yang dikemukakan Tunisia melarang poligami: pertama, bahwa institusi

budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan atau masa transisi umat

Islam, tetapi dilarang pada masa perkembangan atau masyarakat berbudaya; dan

kedua, bahwa syarat mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada

Page 28: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

istri, sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi saw. yang mampu berlaku adil

terhadap istri-istrinya.

Sebelum kehadiran hukum ini para kadi di Tunisia terdiri dari kadi-kadi bermazhab

Hanafi dan bermazhab Maliki, meskipun rakyat pada umumnya menganut mazhab

Maliki. Namun sekarang hukum baru yang bercorak eklektik ini justeru dinyatakan

berlaku bagi semua orang Islam (dan lebih lanjut telah diterima oleh dan dinyatakan

berlaku bagi orang-orang Yahudi), sehingga semua mahkamah dijadikan satu jenis dan

semua jurisdiksi peradilan berada di tangan pengadilan-pengadilan nasional. Presiden

Bourguiba secara terang-terangan menyatakan bahwa “ide-ide yang berlaku di masa

lampau, pada saat sekarang ternyata bertentangan dengan hati nurani manusia—

misalnya tentang poligami dan perceraian yang sekarang diatur dengan hukum baru itu,

dan juga semua masalah yang muncul dalam kehidupan moderin saat ini.” Ia

menyatakan bahwa Islam telah membebaskan jiwa dan menyuruh manusia untuk

meninjau kembali hukum-hukum agama sehingga mereka dapat menyesuaikannya

dengan kemajuan yang dicapai manusia. Pernyataan ini jelas jauh berbeda dengan

pandangan-pandangan dari kalangan Salaf.

Selain itu, para reformis di Tunisia menegaskan bahwa di samping seorang suami

harus memiliki kemampuan finansial untuk menghidupi para istri, Alquran juga

mensyaratkan pelaku poligami harus dapat berlaku adil kepada mereka. Aturan Al-

Quran ini juga harus ditafsirkan, tidak hanya sekedar sebuah desakan moral, namun

merupakan preseden kondisi hukum bagi poligami, dalam artian bahwa tidak satupun

perkawinan kedua dapat diizinkan kecuali dan sampai terbukti dapat berlaku sama

(egaliter) dimana para istri diperlakukan dengan adil. Namun melihat kondisi sosial dan

ekonomi modern sepertinya sikap adil merupakan suatu hal yang mustahil. Ketika

kondisi dasar poligami tidak dapat terpenuhi Hukum Tunisia secara singkat menyatakan

“poligami adalah dilarang.”

Tunisia dapat dianggap contoh terdepan bagaimana, pasca 1945, pembaruan

cenderung lebih didasarkan pada hal yang dinyatakan sebagai hak negara Muslim,

Page 29: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

lewat penguasanya, untuk berijtihad. Tunisia menghapus hak poligami melalui Pasal

18 UU Status Personal Tunisia 1956, yang didasarkan pada penafsiran ulang Surat an-

Nisa ayat 3. Tunisia menyamakan keadilan tidak saja dengan nafkah (topangan

finansial), namun juga dengan cinta dan kasih sayang. Dinyatakan pula bahwa hanya

Nabi saw. yang dapat berlaku adil kepada dua orang stri dengan cara demikian; oleh

karena itu, dalm kondisi sekarang, anggapan tak terbantahkannya adalah bahwa

seorang suami muslim tidak mungkin memenuhi persyaratan Alquran.

Yang dimaksud dengan poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak

memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.

Sedangkan lawan dari poligami adalah monogami, yaitu sistem yang memperbolehkan

seorang laki-laki mempunyai satu istri.

Di negara indonesia perbuatan poligami diperbolehkan, dengan syarat jika suami akan

melakukan poligami harus mendapat persetujuan dari si istri, dapat berlaku adil dan

memperoleh izin dari Pengadilan Agama. Sedangkan sanksi yang dijatuhkan kepada

suami yang melakukan poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama diatur dalam

Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974,

disebutlkan bahwa pelaku poligami tanpa izin Pengadilan dapat dijatuhi hukuman

kurungan maksimal 3 bulan dan denda Rp. 7.500,-. Sanksi ini juga ditujukan kepada

petugas pencatat yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan

berpoligami tanpa izin Pengadilan.

Sedangkan di negara Tunisia perbuatan poligami dilarang keras. Hal ini didasarkan

pada surat An-Nisa’ ayat 3, yang artinya: “seorang laki-laki wajib menikah dengan

seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya (Q.S. an-Nisa

[4] : 3)”. Dengan dasar tersebut kemudian negara Tunisia membuat UU tentang

pernikahan, yaitu UU No. 3 tahun 1957.

Berkaitan dengan sanksi yang dijatuhkan kepada seseorang yang melanggar UU

tersebut adalah:

Page 30: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

Siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir,

lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda

sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.

Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957

yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak pernikahan kedua, sementara ia

masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman yang sama.

Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai hukuman, menurut

ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman yang sama.

Daftar Pustaka

Saleh, M Zaki, Tren Kriminalisasi Dalam Hukum Keluarga Di Negara-negara Muslim.

Anderson, James Norman Dalrymple (J.N.D), Islamic law in the Modern World, Edisi

Indonesia: Hukum Islam di Dunia Moderen, terj. Machnun Husein, CV. Amarpress,

Surabaya.

Anderson, Norman, Law Reform in the Muslim World, The Athlone Press, London,

1976.

Gupta, Kiran, “Polygamy Law Reform in Modern Status” dalam Islamic Law and

Comparative Law, vol XVIII, No. 2 Thaun 1992.

Morris, William, The Heritage Illustrated Dictionary of the English Language, Vol. II,

Houghton Mifflin Campany, Boston, 1979.

Entri “Islam” dalam Ilan Yeshua (CEO), The New Encylopaedia Britannica, vol. 22,

Edisi, XV, Encylopaedia Britannica, Inc., Chicago, 2003.

Larry A. Barrie, “Tunisia” dalam Reeva S. Simon, Philip Mattar, Richard W. Bulliet

(Ed.s), hlm. 1798.

Sumber Rujukan: http://my-dock.blogspot.com/2014/01/hukum-poligami-di-negara-

indonesia-dan.html#ixzz3wRJEw6yq

BAB I

PENDAHULUAN

Page 31: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

A. Latar belakang penulisan

Meskipun Indonesia dan Malaysia mempunyai banyak kesamaan dalam beberapa hal,

seperti Negara dengan mayoritas muslim terbanyak, sama-sama mempunyai adat dan

ras melayu dan menggunakan Hukum Islam, tetapi untuk masalah hukum perkawinan

kedua Negara ini sangat berbeda jauh dalam hal pengaturan maupun penerapannya.

Oleh karena hal itulah penulis mengangkat dan mengambil tema hukum perkawinan di

antara kedua negara tersebut. Sebagai bahan perbandingan dan pembelajaran untuk

mencari persamaan serta perbedaan yang timbul dalam masalah hukum perkawinan

ini.

PERMASALAHAN

Berikut adalah permasalahan yang bisa penulis ambil :

• Apa saja persamaan dan perbedaan hukum perkawinan di Negara Indonesia dengan

Negara Malaysia?

• Apa yang melatarbelakangi persamaan dan perbedaan tersebut?

• Bagaimanakah prosedur pencatatan perkawinan di Negara Indonesia dengan Negara

Malaysia? Apa saja persyaratannya?

• Bagaimanakah prosedur Poligami di Malaysia?

• Bagaimanakah prosedur perkawinan campuran di Negara Malaysia?

• Bagaimanakah Prosedur perceraian di Negara Malaysia?

• Bagaimanakah prosedur perkawinan untuk nonmuslim di Negara Malaysia?

BAB III

PEMBAHASAN

A. Persamaan dan perbedaan Hukum Perkawinan Indonesia dengan Malaysia

Page 32: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

Dalam hal hukum perkawinan dan tata cara perkawinan, Indonesia dan Malaysia

mempunyai beberapa kesamaan, yaitu :

1. Adanya Undang-Undang khusus yang mengatur masalah perkawinan dan

perceraian.

2. Adanya wali hakim apabila wali dari pihak-pihak keluarga tidak bisa mewakilkan.

3. Adanya kursus Pranikah bagi pasangan yang ingin menikah dan taklik talak ketika

akad nikah diberlangsungkan.

4. Sama-sama mengizinkan Poligami (dengan syarat dan ketentuan yang berlaku).

5. Adanya Pengadilan Agama yang mengatur masalah hukum kekeluargaan untuk

orang Islam. Tetapi dalam hal ini, di Malaysia dikenal dengan Pengadilan Syari’ah.

6. Sama-sama mengizinkan perkawinan campuran.

7. Sama-sama mempunyai pengadilan khusus untuk mengatur masalah perkawinan

dan perceraian nonmuslim.

Sedangkan perbedaan-perbedaannya, yaitu :

1. Karena Malaysia adalah Negara Federal, maka di setiap wilayah dalam Negara

Malaysia (dalam hal ini adalah Negara bagian) terdapat perbedaan dalam hal prosedur

untuk mengajukan perkawinan dan perceraian.

2. Selain itu terdapat perbedaan dari segi umur pada Laki-laki yang ingin menikah.

3. Malaysia tidak mencantumkan atau memasukkan Perjanjian perkawinan dalam

Hukum perkawinannya.

4. Meskipun Malaysia adalah bekas jajahan Inggris, tetapi dalam hal penindakan

penyimpangan Poligami dan pasangan yang berbuat Zina, Malaysia menerapkan

konsep Hukum yang lebih tegas. [1]

Lalu apa yang melatarbelakangi terjadinya persamaan dan perbedaan tersebut?

Hal ini bisa dilihat dari sistem hukum Malaysia dan Indonesia yang berbeda, karena

Malaysia merupakan Negara bekas jajahan Inggris sedangkan Indonesia merupakan

Negara bekas jajahan Belanda. Jika dilihat dari hukum yang dibawa oleh kedua Negara

penjajah tersebut maka kita juga bisa melihat bahwa Inggris merupakan Negara yang

menganut sistem hukum Anglo saxon, yang berarti Inggris lebih memakai Yurisprudensi

untuk mengambil suatu tindakan hukum. Sedangkan Belanda merupakan Negara yang

Page 33: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

menganut sistem hukum Eropa kontinental, yang berarti bahwa Belanda lebih memakai

Undang-Undang untuk mengambil suatu tindakan hukum.

Selain itu, bentuk negara, sistem pemerintahan dan sumber hukum dari kedua negara

ini berbeda sehingga dalam pengaturan hukum dan penerapan hukumnya pun juga

berbeda.

B. Prosedur Perkawinan di Indonesia

• Perkawinan

Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 9 tahun 1975 tantang pelaksanaan UU No. 1

tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1 dan 2, “Pencatatan perkawinan dari

mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh

Pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 32 tahun 1954

tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk”. Sedangkan ayat duanya menyatakan :

“Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut

agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai

Pencatat Perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai

perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan”.

Untuk prosedur pencatatan perkawinan dan tata cara Perkawinan, bisa dilihat pada

pasal 5 sampai pasal 9, Pasal 10 sampai pasal 13 Peraturan Pemerintah RI No. 9

tahun 1975.

“Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai”. Ayat 2 : “Untuk

melangsungkan perkawinan, seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh

satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. (Pasal 6 ayat 1 dan 2 tentang

Syarat-syarat Perkawinan)

“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)

tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. (pasal 7)

• Perkawinan Campuran

Menurut Pasal 57 yang di maksud dengan Perkawinan Campuran dalam UU No. 1

tahun 1974 ialah “Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum

Page 34: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganengaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Sedangkan prosedurnya adalah sebagai berikut :

• Sesuai dengan UU Yang Berlaku

Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-

Undang Perkawinan dan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat

Perkawinan diantaranya: ada persetujuan kedua calon mempelai, izin dari kedua

orangtua/wali bagi yang belum berumur 21 tahun, dan sebagainya (lihat pasal 6 UU

Perkawinan).

• Surat Keterangan dari Pegawai Pencatat Perkawinan

Bila semua syarat telah terpenuhi, mintalah kepada pegawai pencatat perkawinan untuk

memberikan Surat Keterangan dari pegawai pencatat perkawinan masing-masing

pihak, --calon istri dan calon suami,-- (pasal 60 ayat 1 UU Perkawinan). Surat

Keterangan ini berisi keterangan bahwa benar syarat telah terpenuhi dan tidak ada

rintangan untuk melangsungkan perkawinan. Bila petugas pencatat perkawinan

menolak memberikan surat keterangan, maka kita dapat meminta Pengadilan

memberikan Surat Keputusan, yang menyatakan bahwa penolakannya tidak beralasan

(pasal 60 ayat 3 UU Perkawinan).

Surat Keterangan atau Surat Keputusan Pengganti Keterangan ini berlaku selama

enam bulan. Jika selama waktu tersebut, perkawinan belum dilaksanakan, maka Surat

Keterangan atau Surat Keputusan tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5 UU

Perkawinan).

• Surat-surat yang harus dipersiapkan

Ada beberapa surat lain yang juga harus disiapkan, yakni :

a. Untuk calon suami :

Calon suami harus melengkapi surat-surat dari daerah atau negara asalnya. Untuk

dapat menikah di Indonesia, ia juga harus menyerahkan "Surat Keterangan" yang

menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan kawin dengan WNI. SK ini dikeluarkan

oleh instansi yang berwenang di negaranya. Selain itu harus pula dilampirkan:

Page 35: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

* Fotokopi Identitas Diri (KTP/pasport)

* Fotokopi Akte Kelahiran

* Surat Keterangan bahwa ia tidak sedang dalam status kawin; atau

* Akte Cerai bila sudah pernah kawin; atau

* Akte Kematian istri bila istri meninggal

* Surat-surat tersebut lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penterjemah

yang disumpah dan kemudian harus dilegalisir oleh Kedutaan Negara WNA tersebut

yang ada di Indonesia.

b. Untuk calon istri :

* Fotokopi KTP

* Fotokopi Akte Kelahiran

* Data orang tua calon mempelai

* Surat pengantar dari RT/RW yang menyatakan bahwa tidak ada halangan untuk

melangsungkan perkawinan

• Pencatatan Perkawinan (pasal 61 ayat 1 UU Perkawinan)

Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta Perkawinan

(kutipan buku nikah) oleh pegawai yang berwenang. Bagi yang beragama Islam,

pencatatan dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat

Nikah Talak Cerai Rujuk. Sedang bagi yang Non Islam, pencatatan dilakukan oleh

Pegawai Kantor Catatan Sipil.

• Legalisir Kutipan Akta Perkawinan

Kutipan Akta Perkawinan yang telah di dapatkan, masih harus dilegalisir di Departemen

Hukum dan HAM dan Departemen Luar Negeri, serta didaftarkan di Kedutaan negara

asal suami.

Dengan adanya legalisasi itu, maka perkawinan sudah sah dan diterima secara

internasional, baik bagi hukum di negara asal suami, maupun menurut hukum di

Indonesia.

• Poligami

Page 36: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

Pasal 40 menyebutkan “Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari

seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan”.

Untuk Prosedurnya sendiri bisa dilihat pada pasal 41 sampai pasal 44 :

“Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

• Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah :

a. Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

b. Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.

• Ada atau tidaknya perjanjian dari istri, baik perjanjian lisan maupun tertulis, apabila

perjanjian itu merupakan perjanjian lisan, perjanjian itu harus diiucapkan di depan

sidang Pengadilan.

• Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri dan anak-

anak, dengan memperhatikan :

a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara

tempat bekerja; atau

b. Surat keterangan pajak penghasilan; atau

c. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan;

• Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan

anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk

yang ditetapkan untuk itu”. (Pasal 41)

• Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada pasal 40 dan 41, pengadilan

harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan.

• Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga

puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampirannya. (Pasal 42)

• Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri

lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk

beristri lebih dari seorang. (Pasal 43)

• Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami

yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang

dimaksud dalam pasal 43. (Pasal 44)

Page 37: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

• Perceraian

Menurut pasal 19, Perceraian dapat terjadi karena alasan sebagai berikut :

• Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi dan lain sebagainya

yang sukar disembuhkan;

• Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) bulan berturut-turut tanpa

izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

• Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih

berat setelah perkawinan berlangsung;

• Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain;

• Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;

• Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak

ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

“Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang

akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya

yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan

alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk

keperluan itu”. (Pasal 14)

“Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud dalam pasal 14

dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat

dan juga istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan

dengan maksud perceraian itu”. (Pasal 15)

“Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya, kepada Pengadilan

yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat”. (Pasal 20 ayat 1)

“Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 19 No. 2 diajukan kepada

Pengadilan di tempat kediaman penggugat”. “Gugatan tersebut dalam ayat 1 dapat

diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah”.

(Pasal 21 ayat 1 dan 2)

“Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 19 No. 6 diajukan kepada

Pengadilan di tempat kediaman penggugat”. (Pasal 22 ayat 1)

Page 38: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

“Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami-istri mendapat hukuman

penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagaimana dimaksud dalam

pasal 19 No. 3, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat

cukup menyampaikan salinan pututsan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai

keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum

yang tetap”. (Pasal 23)

“Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau

tergugat, Pengadilan dapat :

• Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;

• Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;

• Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang

menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri”. (Pasal 24 ayat 2)

“Sesaat setelah dilakukan sidang Pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang

dimaksud dalam pasal 16, ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang

terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada pegawai

pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian”. (Pasal

17)

C. Prosedur Perkawinan di Malaysia

• Perkawinan

Prosedur Permohonan kebenaran menikah di Wilayah Persekutuan :

(A.) Formulir permohonan kebenaran menikah "Formulir 1" berlaku bagi semua

pemohon yang tinggal di Wilayah Persekutuan saja atau untuk pemohon yang

berdomisili di Wilayah Persekutuan tetapi tinggal di luar Wilayah Persekutuan.

(B.) Formulir permohonan harus di isi dengan lengkap dalam dua (2) salinan dengan

menggunakan tinta hitam atau biru dan disahkan oleh Penolong Pendaftar Perkawinan,

Perceraian dan Ruju 'bagi daerah masing-masing.

(C.) Menghapus kata salah atau ditindih adalah tidak sah.

Page 39: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

(D.) Pemohon dan wali harus hadir di depan Penolong Pendaftar Perkawinan,

Perceraian dan Ruju 'daerah ketika menandatangani formulir tersebut untuk tujuan

verifikasi.

(E.) Asisten Pendaftar Perkawinan, Perceraian dan Ruju 'daerah harus memastikan

formulir aplikasi di isi dengan lengkap dan dokumen-dokumen berhubungan dengan

disertakan sebelum menandatangani formulir itu beserta dengan cop jabatan Penolong

Pendaftar Perkawinan, Perceraian dan Ruju' daerah.

Lampiran-lampiran dokumen sebagai berikut :

A. Permohonan menikah di Wilayah bagi pasangan dalam Wilayah Persekutuan

Perempuan

1. Salinan Kartu Identitas.

2. Salinan Kartu Pengenalan Wali yang sah.

3. Salinan surat mati jika Wali Akrab telah meninggal dunia.

4. Salinan surat nikah orangtua.

5. Surat tanda tangan Wali Jauh jika Wali tidak tinggal Wilayah Persekutuan atau tidak

dapat hadir dihadapan Penolong Pendaftar Perkawinan, Perceraian dan Ruju 'daerah.

6. Surat pernyataan Cerai yang asli jika bercerai.

7. Salinan surat mati dan salinan surat nikah jika kematian suami.

8. Sertifikat Kursus Pra Pernikahan jika umur kurang dari 40 tahun.

9. Surat izin menikah dari Angkatan (bat D 193) jika anggota militer.

10. Surat izin menikah kali pertama dari Departemen Kepolisian jika anggota polisi.

11. Surat Izin menikah dari Mahkamah Syariah jika pemohon menikah di bawah umur.

12. Salinan Surat janji atau Kartu janji memeluk agama Islam dari Departemen Agama

Islam Negeri dan surat pembubaran perkawinan dari Mahkamah Syariah atau

Pengadilan Sipil atau Surat Cerai sebelum memeluk agama Islam jika pernah menikah.

13. Surat Wakalah Wali jika Wali tidak dapat hadir di dalam majlis akad nikah.

14. Surat izin menikah secara Wali Hakim dari Mahkamah Syariah jika sekiranya

perkawinan dilakukan secara Wali Hakim.

15. Berdomisili / tinggal di wilayah Federasi. Jika alamat tempat tinggal di Wilayah

Persekutuan tetapi alamat pada kartu identitas bukan didalam Wilayah Persekutuan,

Page 40: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

perlu konfirmasi anak daerah dari Penolong Pendaftar NCR dengan mengemukakan

tagihan pajak pintu rumah tersebut.

Lelaki

1. Salinan Kartu Identitas.

2. Surat janji bujang dari majikan jika bekerja dengan majikan atau surat janji Sumpah

Bujang dari Komisioner Sumpah jika majikan.

3. Surat pernyataan Cerai jika bercerai.

4. Salinan surat mati dan salinan surat nikah jika kematian isteri.

5. Sertifikat kursus pra perkawinan jika umur kurang dari 45 tahun.

6. Surat izin menikah dari Angkatan (bat D 193) jika anggota militer.

7. Surat izin menikah kali pertama dari Departemen Kepolisian jika anggota polisi.

8. Surat izin menikah di bawah umur dari Mahkamah Syariah jika di bawah umur.

9. Surat izin berpoligami dari Mahkamah Syariah (bagi permohonan poligami).

10. Salinan Surat janji atau Kartu janji memeluk agama Islam dari Departemen Agama

Islam Negeri dan surat pembubaran perkawinan dari Mahkamah Syariah atau

Pengadilan Sipil atau Surat Cerai / Surat Pembubaran Perkawinan sebelum memeluk

agama Islam jika pernah menikah.

11. Berdomisili / tinggal di wilayah Federasi. Jika alamat tempat tinggal di Wilayah

Persekutuan tetapi alamat pada kartu identitas bukan didalam Wilayah Persekutuan,

perlu konfirmasi anak daerah dari Penolong Pendaftar NCR dengan mengemukakan

tagihan pajak pintu rumah tersebut.

B. Permohonan untuk menikah di Wilayah bagi pasangan Perempuan dalam Wilayah

dan Lelaki luar Wilayah.

Perempuan

1. Salinan kartu identitas beralamat di Wilayah Persekutuan atau surat konfirmasi anak

daerah jika alamat tempat tinggal di Wilayah Persekutuan tidak sama di dalam kartu

identitas.

2. Salinan kartu identifikasi wali yang sah.

3. Salinan surat mati jika wali akrab telah meninggal dunia.

Page 41: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

4. Salinan surat nikah orang tua pemohon.

5. Surat tanda tangan wali jauh jika wali tidak tinggal di Wilayah Persekutuan atau tidak

dapat hadir di depan Penolong Pendaftar.

6. Surat pernyataan cerai jika mau bercerai.

7. Salinan surat mati dan salinan surat nikah jika kematian suami.

8. Sertifikat kursus pra pernikahan jika umur kurang dari 40 tahun.

9. Surat izin menikah dari Angkatan (bat D 193) jika anggota militer.

10. Surat izin menikah kali pertama dari Departemen Kepolisian jika anggota polisi.

11. Surat izin menikah di bawah umur dari Mahkamah Syariah jika di bawah umur.

12. Salinan surat / surat janji atau kartu memeluk agama Islam dari Departemen Agama

Islam Negeri dan surat pembubaran perkawinan dari Mahkamah Syariah atau

Pengadilan Sipil atau surat cerai sebelum memeluk agama Islam jika pernah menikah.

13. Surat Wakalah Wali jika wali tidak dapat hadir di dalam majlis akad nikah.

14. Surat izin menikah secara wali hakim dari Mahkamah Syariah jika Wali Nasab.

Lelaki

1. Surat izin menikah dari kantor agama / negeri pria berdomisili / tinggal.

C. Permohonan kebenaran menikah di bawah umur (Lelaki di bawah umur 18 tahun

dan Perempuan di bawah umur 16 tahun)

i. Pemohon harus mengajukan dokumen untuk kebenaran menikah dan dua saksi di

kalangan keluarga dekat di Unit Perkawinan, Cerai dan Ruju '.

ii. Proses mendaftarkan kasus di Mahkamah Syariah akan di buat oleh pemohon atas

nasihat dan panduan oleh registrar. Perkawinan dapat dilakukan setelah mendapat

perintah pengadilan.

Sebab-sebab perpindahan Wali Nasab kepada Wali Hakim.

1. Wali aqrab dalam ihram haji / umrah.

2. Tidak memiliki wali nasab.

3. Wali aqrab sengaja enggan.

Page 42: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

4. Anak tidak sah taraf.

5. Saudara baru yang tiada wali nasab.

6. Wali aqrab hendak menikah dengan pemohon yang tiada wali setingkat.

7. Wali tidak jauh (hilang) yang tidak dapat di kesan.

8. Wali nasab berada jauh lebih dari dua marhalah (93KM).

D. Pendaftaran Perkawinan bagi pemohon bukan beragama Islam (Permohonan

pendaftaran biasa)

* Pemohon harus hadir ke kaunter JPN / Kantor Perwakilan Malaysia di luar negara

saat permohonan dan daftar perkawinan.

* Tempat permohonan berdasarkan alamat yang tertera dalam Mykad (warga negara)

dan alamat tempat tinggal (bukan warga negara) di Malaysia.

* Pemohon bukan warga negara harus berdomisili di daerah pernikahan selama periode

7 hari sebelum melakukan permohonan pendaftaran pernikahan di kantor JPN yang

berlaku.

* Pengupacaraan akan dilakukan setelah 21 hari tetapi tidak melebihi masa 6 bulan dari

tanggal permohonan.

* Dokumen dukungan:

1. Kartu Pengenalan bagi warga negara.

2. Paspor bagi bukan warga negara beserta salinan fotostat informasi diri dan tanggal

kedatangan di Malaysia.

3.1 (satu) keping gambar berwarna ukuran (32mm X 38mm) berlatar belakang biru

untuk setiap seorang.

4. Jika pemohon bertaraf Duda / Janda silahkan ajukan dekrit Nisi Mutlak

5. Jika pemohon bertaraf Duda / Balu silahkan ajukan Sertifikat Kematian pasangan

6. Pemohon bukan warga negara - kemukakan Surat Konfirmasi Status Perkawinan

dari negara pemohon yang telah diendorskan oleh pihak Kedutaan Malaysia di negara

Page 43: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

pemohon atau Kedutaan negara pemohon di Malaysia berikut disahkan oleh Bagian

Konsular, Kementerian Luar Negeri (Wisma Putra), Putrajaya

* Formulir Pendaftaran - JPN.KC02

*Pembayaran: -

1. Sertifikat Pernikahan = RM20.00

2. Sertifikat = RM10.00

* Peringatan pada hari Pengupacaraan Perkawinan

- Pastikan kedua pasangan dan saksi-saksi membawa Kartu Identitas / Paspor asal

- Kedua pihak yang akan menikah WAJIB berpakaian sopan dan rapi.

- T-shirt (berkolar @ Tidak berkolar) / Jeans / sandal / Seluar pendek-TIDAK

DIPERBOLEHKAN.

- Dua (2) orang saksi dewasa berusia 21 tahun ke atas yang dapat dipercaya

E. Permohonan konfirmasi perceraian / pembatalan Perkawinan

* Pemohon

* Perlu hadir ke kaunter JPN Kantor pusat untuk permohonan konfirmasi perceraian /

pembatalan perkawinan

* Permohonan dapat dilakukan melalui counter atau pos

* Dokumen dukungan: -

1. Kartu Pengenalan bagi warga negara (Salinan jika permohonan dilakukan melalui

pos).

2. Paspor bagi bukan warga negara.

3. Dekrit Nisi Mutlak / Perintah Pembatalan Perkawinan ASAL atau Salinan Yang Diakui

Sah oleh Pengadilan yang berlaku.

4. Surat permohonan dari Kantor Pengacara jika permohonan dilakukan melalui

pengacara.

*Formulir Pendaftaran - JPN.KC15

*Pembayaran: -

1. Gratis

Page 44: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

* Pemohon sendiri atau pengacara yang ditunjuk saja dapat membuat permohonan

konfirmasi.

• Perkawinan Campuran

D. Permohonan menikah di Wilayah bagi pasangan Perempuan Dalam Wilayah dan

lelaki bukan warganegara

Perempuan

1. Salinan kartu identitas beralamat di Wilayah Persekutuan atau surat konfirmasi anak

daerah jika alamat tempat tinggal di Wilayah Persekutuan tidak sama di dalam kartu

identitas.

2. Salinan kartu identifikasi wali yang sah.

3. Salinan surat mati jika Wali Akrab telah meninggal dunia.

4. Surat tanda tangan Wali jauh jika wali tidak tinggal di Wilayah Persekutuan atau tidak

dapat hadir di hadapan Penolong Pendaftar.

5. Surat pernyataan cerai jika bererai.

6. Salinan surat mati dan salinan surat nikah jika kematian suami.

7. Sertifikat kursus pra perkawinan jika umur kurang dari 40 tahun.

8. Surat kebenaran menikah dari Angkatan (bat D 193) jika anggota militer.

9. Surat izin menikah kali pertama dari Departemen Kepolisian jika anggota polisi.

10. Surat izin menikah di bawah umur dari Mahkamah Syariah jika di bawah umur.

11. Salinan surat / surat janji atau kartu memeluk agama Islam dari Departemen Agama

Islam Negeri dan surat pembubaran perkawinan dari Mahkamah Syariah atau

Pengadilan Sipil atau surat cerai sebelum memeluk agama Islam jika pernah menikah.

12. Surat Wakalah Wali jika wali tidak dapat hadir di dalam majlis akad nikah.

13. Surat izin menikah secara Wali Hakim dari Mahkamah Syariah jika menggunakan

wali hakim.

Lelaki

1. Salinan paspor (muka depan paspor dan cop entri) dan visa yang masih berlaku

digunakan.

2. Surat izin menikah dari kedutaan bagi pemegang paspor Visa Sosial.

Page 45: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

3. Surat izin dari kedutaan bagi pemegang paspor Visa Sosial dan surat konfirmasi dari

Kementerian Luar (bagi warga Pakistan saja).

4. Surat izin menikah dari Kantor Pendaftar Nikah Cerai dan Ruju 'Singapura dan

disahkan oleh kedutaannya (bagi warga Singapura).

5. Surat janji sumpah dan surat izin dari imigrasi jika tidak ada kedutaan dari Malaysia.

6. Surat dari kedutaan, Department Agama, persetujuan dan Surat Lampiran 7, 8, 10

dan 11 PMA No.2. (Bagi warga negara Indonesia saja).

7. Surat konfirmasi memeluk agama Islam dari Departemen Agama Islam Negeri dan

surat pembubaran perkawinan dari Mahkamah Syariah atau Pengadilan Sipil atau surat

cerai sebelum memeluk agama Islam jika pernah menikah.

E. Permohonan menikah di Wilayah bagi pasangan Lelaki dalam Wilayah dan

Perempuan bukan warganegara

Lelaki

1. Salinan kartu identitas beralamat di Wilayah Persekutuan atau surat konfirmasi anak

daerah jika alamat tempat tinggal di Wilayah Persekutuan tidak sama di dalam kartu

identitas.

2. Surat janji bujang dari majikan jika bekerja dengan majikan atau Surat janji Sumpah

jika bekerja sendiri atau tidak bekerja.

3. Surat pernyataan Cerai jika bercerai.

4. Salinan surat mati dan salinan surat nikah jika kematian isteri.

5. Sertifikat kursus pra pernikahan jika umur kurang dari 45 tahun.

6. Surat izin menikah dari Angkatan (bat D 193) jika anggota militer.

7. Surat izin menikah kali pertama dari Departemen Kepolisian jika anggota polisi.

8. Surat izin menikah di bawah umur dari Mahkamah Syariah jika di bawah umur.

9. Surat izin berpoligami dari pengadilan Syariah (bagi permohonan berpoligami).

10. Salinan surat / surat janji atau kartu memeluk agama Islam dari Departemen Agama

Islam Negeri dan surat pembubaran perkawinan dari Mahkamah Syariah atau

Pengadilan Sipil atau surat cerai sebelum memeluk agama Islam jika pernah menikah.

Perempuan

Page 46: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

1. Salinan paspor (muka depan paspor dan cop kemasukan) dan visa masih berlaku.

2. Salinan paspor dan wali yang sah.

3. Salinan surat mati jika Wali Akrab telah meninggal dunia.

4. Surat pernyataan Cerai jika bercerai.

5. Salinan surat mati dan salinan surat nikah jika kematian suami.

6. Surat Wakalah Wali jika wali tidak dapat hadir di dalam majlis akad nikah.

7. Salinan surat / surat janji atau kartu memeluk agama Islam dari Departemen Agama

Islam Negeri dan surat pembubaran perkawinan dari Mahkamah Syariah atau

Pengadilan Sipil atau surat cerai sebelum memeluk agama Islam jika pernah menikah.

8. Surat izin menikah secara Wali Hakim dari Mahkamah Syariah jika menggunakan

wali hakim.

• Poligami

Berdasarkan UU perkawinan Malaysia tentang boleh atau tidaknya seorang laki-laki

melakukan poligami, ada tiga hal yang perlu dibicarakan, yakni: syarat-syarat, alasan-

alasan pertimbangan boleh tidaknya poligami, dan prosedur. Dalam perundang-

undangan Malaysia tidak ada penegasan tentang prinsip perkawinan.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi :

Pertama, poligami tanpa izin lebih dahulu dari pengadilan tidak boleh didaftarkan.

Kedua, poligami tanpa izin lebih dahulu dari pengadilan boleh didaftarkan dengan

syarat lebih dahulu membayar denda atau menjalani hukuman yang telah ditentukan.

Alasan-alasan pertimbangan bagi pengadilan untuk memberi izin atau tidak ada tiga

pihak : pihak isteri, pihak suami, dan pihak orang-orang yang terkait.

Adapun yang bersumber dari pihak isteri adalah: karena kemandulan, keudzuran

jasmani, karena kondisi fisik yang tidak layak atau tidak mungkin melakukan hubungan

seksual, sengaja tidak mau memulihkan hak-hak persetubuhan, atau isteri gila.

Sedangkan pertimbangan dari pihak suami, yang sekaligus menjadi syarat boleh

berpoligami, adalah:

Page 47: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

1. suami mempunyai kemampuan untuk menanggung semua biaya isteri-isteri dan

orang-orang yang akan menjadi tanaggungannya kelak dengan perkawinannya

tersebut;

2. suami berusaha berbuat adil di antara para isterinya.

Adapun pertimbangan dari pihak orang-orang terkait, yang lebih tepat disebut orang-

orang yang terkena akibat dari poligami, adalah : bahwa perkawinan tersebut tidak

menjadikan isteri-isteri yang sudah dinikahi menjadi dimudaratkan, poligami tersebut

tidak merendahkan langsung terhadap tarap hidup (martabat) orang-orang yang

sebelumnya menjadi tanggungannya.

Sedangkan prosedur untuk berpoligami ada tiga langkah:

• Suami mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin dari hakim, bersama

persetujuan atau izin dari pihak isteri/isteri-isterinya.

• Pemanggilan pemohon dan isteri atau isteri-isteri, sekaligus pemeriksaan oleh

pengadilan terhadap kebenaran pemohon.

• Putusan pengadilan berupa penerimaan atau penolakkan terhadap permohonan

pemohon.

Suami yang melakukan poligami yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan

yang ditetapkan, secara umum dapat dikenai hukuman berupa hukuman denda

maksimal seribu ringgit atau kurungan maksimal enam bulan atau keduanya.

• Perceraian

Adapun alasan perceraian dalam perundang-undangan Keluarga Muslim di negara-

negara Malaysia sama dengan alasan-alasan terjadinya fasakh. Dalam undang-undang

perak dan pahang ada lima alasan, yaitu:

• Suami impoten atau mati pucuk;

• Suami gila, mengidap penyakit kusta, atau vertiligo, atau mengidap penyakit kelamin

yang bisa berjangkit, selama isteri tidak rela dengan kondisi tersebut;

• Izin atau persetujuan perkawinan dari isteri (mempelai putri) diberikan secara tidak

sah, baik karena paksaan kelupaan, ketidaksempurnaan akal atau alasan-alasan lain

yang sesuai dengan syariat;

Page 48: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

• Pada waktu perkawinan suami sakit syaraf yang tidak pantas kawin;

• Atau alasan-alasan lain yang sah untuk fasakh menurut syariah.

Adapun sebab-sebab terjadinya perceraian dalam Undang-undang Muslim Malaysia

mayoritas menetapkan empat sebab dengan proses masing-masing, yakni :

• Perceraian dengan talak atau perintah mentalak.

• Tebus talak.

• Syiqaq.

Hanya Undang-undang serawak yang mencantumkan sebab li’an.

Proses atau langkah-langkah perceraian dengan talak, secara umum adalah sebagai

berikut:

• Mengajukan permohonan perceraian ke pengadilan, yang disertai dengan alasan.

• Pemeriksaan yang meliputi pemanggilan oleh pihak-pihak oleh pengadilan dan

mengusahakan pengadilan.

• Putusan.

Juru damai yang diangkat dalam proses perdamaian diutamakan dari keluarga dekat

yang berperkara. Kalau juru damai yang diangkat dianggap kurang mampu

menjalankan tugasnya, bisa diganti dengan juru damai lain yang dianggap lebih

mampu. Adapun masa usaha mendamaikan adalah maksimal enam bulan, atau lebih

dengan persetujuan pengadilan, kecuali Kelantan yang menetapkan tiga bulan. Kalau

para pihak tidak mau didamaikan, pegawai yang ditunjuk harus membuat laporan dan

melampirkan hal-hal yang perlu dipikirkan kaitannya dengan akibat perceraian, seperti

nafkah dan pemeliharaan anak sebelum dewasa, pembagian harta dan lain-lain.

Dalam proses peradamaian ada kemungkinan mendatangkan pengacara atau pembela,

dengan izin juru damai. Setelah usaha perdamaian itu tidak membuahkan hasil,

pengadilan mengadakan sidang untuk ikrar talak, yang idealnya diikrarkan oleh suami.

Adapun proses perceraian dengan tebus talak, kalau sudah disepakati kedua belah

pihak, adalah setelah pihak-pihak menyetujuinya dan menyelesaikan pembayaran yang

sudah disetujui, pengadilan menyuruh suami untuk melakukan ikrar talak, dan talaknya

akan jatuh talak bain sughra (tidak boleh dirujuk lagi).

Page 49: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

Proses perceraian dengan taklik talak adalah isteri melapor tentang terjadinya

pelanggaran taklik talak. Kalau pihak pengadilan mempertimbangkan benar terjadi,

maka diadakan sidang perceraian yang kemudian direkam untuk dicatatkan.

Sedangkan proses perceraian karena ada masalah di antara para pihak (syiqaq), pada

dasarnya mempunyai proses yang sama dengan proses perceraian talak yang tidak

disetujui salah satu pihak dan proses tebus talak, yakni didahului dengan pengangkatan

juru damai sampai putusan cerai, kalau tidak bisa didamaikan. Bahkan Kelantan

membuat proses yang sama antara talak dan syiqaq. Karena itu secara prinsip, dalam

proses perceraian dengan talak, tebus talak, taklik talak, dan percekcokkan, antara

suami isteri mempunyai hak yang sama, dan pada akhirnya untuk dapat bercerai harus

dengan persetujuan bersama atau keputusan Pengadilan Agama.

Hal-hal lain yang penting dicatat tentang proses perceraian adalah pertama, ikrar talak

(perceraian) harus di depan pengadilan. Kedua, perceraian harus didaftarkan, dan

perceraian yang diakui hanyalah perkawinan yang sudah didaftarkan. Seorang janda

boleh kawin lagi kalau sudah mempunyai :

• Surat yang dikeluarkan berdasarkan undang-undang; atau

• Salinan perceraian, atau

• Pengakuan cerai dari hakim.

Demikian juga seorang yang ditinggal mati boleh nikah lagi kalau sudah mempunyai

surat keterangan kematian.

Sebagai tambahan, semua undang-undang di Malaysia mencantumkan murtad sebagai

alasan perceraian. Tetapi tidak dengan sendirinya terjadi perceraian, melainkan dengan

putusan hakim.

Kesimpulan:

Proses menikah di Malaysia lebih ribet dan susah dibanding dengan Indonesia,

mungkin karena Negara Malaysia adalah negara Federal jadi tiap-tiap wilayah di

Malaysia mempunyai hukum yang berbeda-beda. tapi itu justru kelebihan dari Hukum

Perkawinan di Malaysia agar tak ada orang yang mudah saja kawin cerai atau poligami.

Page 50: Poligami Perspektif Islam Dan Hukum Posi

DAFTAR PUSTAKA • UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia. • Afandi,

Prosedur Poligami di Negara Malaysia, 2009, www.aafandia.wordpress.com • Prosedur

permohonan Kebenaran menikah di Wilayah Persekutuan, www.alshahir.com.my. •

Departemen Daftar Negara Malaysia, Pendaftaran Perkahwinan bagi pemohon bukan

beragama Islam, www.jpn.com.my. • Prosedur perkawinan Campuran di Indonesia,

LBH Apik, www.jurnalhukum.blogspot.com • Anggota Parlemen Malaysia diadili karena

Poligami tanpa izin, 2010, www.republika.co.id • Sistem Hukum di Negara Malaysia,

Gatot Sugiharto, 2008, www.gats.blogspot.com.

Footnote: [1] Hal ini bisa dilihat pada kasus yang menimpa seorang anggota Parlemen

Malaysia yang ketahuan menikah untuk kedua kalinya di bawah tangan dengan

seorang wanita berusia 32 tahun tanpa persetujuan istri pertama dan pengadilan.

Anggota Parlemen tersebut telah diadili pada tanggal 21 April 2009 dan Putusannya

akan dibacakan pada tanggal 18 Mei 2009. Pasangan ini kemungkinan akan didenda

1.000 ringgit Malaysia atau penjara selama enam bulan, atau bahkan keduanya.

www.republika.co.id.