peringatan - elibrary.unisba.ac.idelibrary.unisba.ac.id/files2/skr.14.63.10050.pdf · 1.1.4 zat-zat...

Download PERINGATAN - elibrary.unisba.ac.idelibrary.unisba.ac.id/files2/skr.14.63.10050.pdf · 1.1.4 Zat-zat yang Terkandung dalam Kulit Pisang ... V.11Hasil evaluasi viskositas sediaan

If you can't read please download the document

Upload: phungdat

Post on 02-Mar-2018

230 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

  • PERINGATAN !!! Bismillaahirrahmaanirraahiim

    Assalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

    1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi

    2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini

    3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah

    4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah

    Selamat membaca !!!

    Wassalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

    UPT PERPUSTAKAAN UNISBA

  • FORMULASI KRIM TABIR SURYA FRAKSI ETIL ASETAT

    KULIT PISANG AMBON PUTIH [Musa(AAA group)] DAN

    PENENTUAN NILAI FAKTOR PELINDUNG SURYA (FPS)

    FRAKSI ETIL ASETAT SECARA IN VITRO

    SKRIPSI

    Oleh :

    MITA PERMATA SARI

    NPM: 10060310050

    PROGRAM STUDI FARMASI

    FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

    UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

    1435 H / 2014 M

  • ii

    FORMULASI KRIM TABIR SURYA FRAKSI ETIL ASETAT

    KULIT PISANG AMBON PUTIH [Musa (AAA group)] DAN

    PENENTUAN NILAI FAKTOR PERLINDUNG SURYA (FPS)

    FRAKSI ETIL ASETAT SECARA IN VITRO

    SKRIPSI

    Diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk

    menyelesaikan pendidikan dan memperoleh gelar Sarjana Farmasi

    pada Program Studi Farmasi FMIPA Unisba

    Oleh:

    MITA PERMATA SARI

    NPM: 10060310050

  • iii

    JULI 1435 H / 2014 M

    BANDUNG

    JUDUL : FORMULASI KRIM TABIR SURYA FRAKSI ETILASETAT

    KULIT PISANG AMBON PUTIH [Musa (AAA group)] DAN

    PENENTUAN NILAI FAKTOR PELINDUNG SURYA (FPS)

    FRAKSI ETIL ASETAT SECARA IN VITRO

    NAMA : MITA PERMATA SARI

    NPM : 10060310050

    Setelah membaca Skripsi ini dengan seksama, menurut pertimbagan kami telah memenuhi

    persyaratan ilmiah sebagai Skripsi

    Menyetujui

    Pembimbing Utama Pembimbing Serta

    Amila Gadri, M.Si., Apt. Fitrianti Darusman, S.Si,Apt.

    NIK. D. 07.0.442 NIK. D. 08.0.476

    Mengetahui

    Dekan FMIPA Unisba Ketua Program Studi Farmasi

    M. Yusuf Fajar Drs., M.Si Embit Kartadarma, DR., M.App.Sc., Apt.

  • iv

    NIP. 1956102619821001 NIK. D. 06.0.437

    MOTTO

    Dan milik Allah semua apa yang ada di langit dan di bumi, dan kepada Allah dikembalikan

    segala urusan (QS. Al-Imraan 3 : 109)

    Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan

    diri mereka sendiri (QS. Ar-Radu 13 : 11)

    Allah akan meninggikan orang-orang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu

    beberapa derajat (QS. Al-Mujadalah 58 : 11)

    Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari

    suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada

    Tuhan-mulah hendaknya kamu berharap (QS. Al-Insyirah 94 : 6 - 8)

  • v

    Kutipan atau saduran baik sebagian

    ataupun seluruh naskah, harus

    menyebutkan nama pengarang dan

    sumber aslinya, yaitu Program Studi

    Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu

    Pengetahuan Alam, Universitas Islam

    Bandung.

  • vi

    RIWAYAT PENULIS

    BIODATA

    Nama : MITA PERMATA SARI

    Tempat/ Tgl. Lahir : BANDUNG, 17/09/1991

    Jenis Kelamin : PEREMPUAN

    Agama : ISLAM

    Pekerjaan : MAHASISWA

    Alamat : JL. CETARIP KIDUL DLM IV NO.8

    RT/RW : 005/007

    Desa/Kel : KOPO

    Kecamatan : BOJONGLOA KALER

    Telepon : 083829151453

    Nama Ibu Kandung : ENUNG HARYATI

    Nama Ayah Kandung : CECEP MULYADI

    Alamat Orang Tua : JL. CETARIP KIDUL DLM IV NO.8

    RT/RW : 005/007

    Desa/Kel : KOPO

    Kecamatan : BOJONGLOA KALER

    Telepon : 082216796844

    PENDIDIKAN

    1. SDN BABAKAN TAROGONG V,Bandung (1997-2003)

    2. SMPN 24 BANDUNG, Bandung (2003-2006)

    3. SMAN 18 BANDUNG, Bandung (2006-2009)

    4. FARMASI UNISBA, Bandung (2010-2014)

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Bismillahhirrohmaanirohim

    Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat, nikmat, hidayat, dan

    karunia yang telah diberikan-Nya, sehingga Skripsi ini dapat diselesaikan,

    Tugas akhir dengan judul Formulasi Krim Tabir Surya Fraksi Etil Asetat

    Kulit Pisang Ambon Putih [Musa(Aaa Group)] Dan Penentuan Nilai Faktor

    Pelindung Surya (FPS) Fraksi Etil Asetat Secara In Vitro ini ditunjukan untuk

    memenuhi persyaratan akademik guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi

    Universitas Islam Bandung.

    Skripsi Menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan, dan doa dari berbagai

    pihak, tugas akhir ini tidak aka dapat diselesaikan tepat pada waktunya Oleh karena

    itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-esarnya kepada semua pihak

    yang telah membantu dalam proses pengerjaan Skripsi ini, yaitu kepada:

    1) Kedua orang tua yang telah memberikan motivasi kepada penulis, baik moril

    maupun materi serta doa dan restu

    2) Kakak kandung Fitri Mulyati dan Wawan Setiawan Rtelah memberikan

    motivasi kepada penulis, baik moril maupun materi.

    3) Bapak M. Yusuf Fajar, Drs., M.Si. selaku Dekan Fakultas Matematika dan

    Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Bandung.

    4) Bapak Embit Kartadarma, DR., MAppSc., Apt. selaku Ketua Program Studi

    Farmasi

    5) Ibu Amila Gadri, M.Si., Apt. selaku Pembimbing Utama yang telah

    meluangkan waktunya dan memberikan bimbingan serta masukan kepada

    Penulis

    6) Ibu Fitrianti Darusman, S.Si., Apt. selaku Pembimbing Serta yang telah

    meluangkan waktunya dan memberikan bimbingan serta masukan kepada

    Penulis

  • viii

    7) Ibu Fetri Lestari M.Si., Apt. selaku Dosen Wali penulis yang selalu

    membimbing penulis selama kuliah di Unisba.

    8) Seluruh Dosen Fakultas MIPA Unisba khususnya dosen-dosen prodi Farmasi

    dan Staf Administrasi.

    9) Para Laboran yang telah membantu dan memberikan dukungan.

    10) Rully Adhi Nugroho yang telah menbantu dalam segala hal.

    11) Teman-teman seperjuangan atas dukungan semangat yang kalian berikan serta

    kebersamaan yang telah kita lalui selama mengerjakan tugas akhir di

    laboratorium.

    Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan maupun penyajian dalam

    tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan

    hati penulis menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dan dapat

    memberi manfaat bagi para pembaca. Akhir kata, semoga tugas akhir ini dapat

    bermanfaat bagi semua pihak yang membaca. Amin.

    Bandung, 15 Ramadhan 1435 H

    15 Juli 2014 M

    Penulis

  • ix

    DAFTAR ISI

    Halaman

    KATA PENGANTAR .................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

    DAFTAR TABEL .......................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi

    KATA LAMPIRAN ....................................................................................... vii PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

    BAB

    I TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 3 1.1 Pisang Ambon Putih (Musa (AAA group))....................................... 3

    1.1.1 Taksonomi Pisang ........................................................................ 3

    1.1.2 Morfologi Pisang ......................................................................... 4

    1.1.3 Khasiat dan Kegunaan ................................................................. 4

    1.1.4 Zat-zat yang Terkandung dalam Kulit Pisang ............................. 4

    1.2 Kulit ..................................................................................................... 5

    1.2.1 Anatomi Kulit .............................................................................. 6

    1.2.2 Fungsi Kulit ................................................................................. 9

    1.2.3 Efek Radiasi Sinar Matahari Terhadap Kulit ............................... 10

    1.2.4 Mekanisme Perlindungan Alami Kulit ........................................ 11

    1.3 Tabir Surya ......................................................................................... 12

    1.3.1 Syarat Tabir Surya ....................................................................... 12

    1.4 Faktor Pelindung Surya (FPS) .......................................................... 13

    1.4.1 Pengukuran Nilai FPS.................................................................. 14

    1.4.2 Penentuan FPS Secara In Vitro .................................................... 15

    1.5 Krim ..................................................................................................... 18

    1.5.1 Zat Tambahan pada Sediaan Krim............................................... 19

    1.6 Praformulasi ....................................................................................... 20

    1.6.1 Tween 80 ..................................................................................... 20

    1.6.2 Spaan 80 ...................................................................................... 21

    1.6.3 Parafin Cair ................................................................................. 21

    1.6.4 Setil Alkohol ............................................................................... 21

    1.6.5 Metil Paraben .............................................................................. 22

    1.6.6 Propil Paraben ............................................................................. 23

    1.6.7 Tokoferol Asetat ......................................................................... 23

    1.6.8 Gliserin ....................................................................................... 23

    1.7 Metode Ekstraksi .............................................................................. 24

    1.7.1 Cara Dingin .................................................................................. 24

    1.7.2 Cara Panas................................................................................... 26

    II METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 28

  • x

    III ALAT DAN BAHAN ...................................................................... 31 3.1 Alat .................................................................................................... 31

    3.2 Bahan ................................................................................................. 31

    IV PROSEDUR PENELITIAN ........................................................... 32 4.1 Pengambilan Sample Bahan Tanaman ............................................. 32

    4.2 Karakteristik Mutu Kulit Buah Pisang Ambon dan Ekstrak ........ 32

    4.2.1 Penapisan Kadar Abu .................................................................. 32

    4.2.2 Penetapan Kadar Sari Larut Etanol .............................................. 33

    4.2.3. Penetapan Kadar Sari Larut Air .................................................. 33

    4.3 Penapisan Fitokimia ........................................................................... 34

    4.3.1 Alkaloid ....................................................................................... 34

    4.3.2 Flavonoid .................................................................................... 34

    4.3.3 Saponin dan Kuinon .................................................................... 35

    4.3.4 polifenol dan Tanin ..................................................................... 35

    4.3.5 Steroid dan Triterpenoid ............................................................. 36

    4.4 Ekstraksi .............................................................................................. 36

    4.5 Penentuan Nilai faktor Pelindung Surya (FPS) secara In Vitro ..... 37

    4.6 Evaluasi Orientasi Formula Sediaan ............................................... 38

    4.6.1 Penentuan HLB Butuh ................................................................. 38

    4.6.2 Uji Sentrifugal............................................................................. 38

    4.6.3 Uji Freeze-thaw .......................................................................... 38

    4.7 Formula Sediaan Tabir Surya ........................................................... 39

    4.8 Evaluasi Sediaan Krim Tabir surya ................................................. 39

    4.8.1 Evaluasi Organoleptik ................................................................. 40

    4.8.2 Evaluasi pH Sediaan .................................................................. 40

    4.8.3 Evaluasi Viskositas ..................................................................... 40

    V HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 41

    VI KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 53 6.1 Kesimpulan .......................................................................................... 53

    6.2 Saran .................................................................................................... 53

    DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 54

    LAMPIRAN ........................................................................................... 57

  • xi

    DAFTAR TABEL

    Tabel Halaman

    I.1 Kandungan kulit buah pisang ............................................................................ 5

    I.2 Keefektifan sediaan tabir surya berdasarkan nilai SPF ..................................... 15

    IV.1Fomulasi krim fraksi kulit buah pisang ambon putih ....................................... 39

    V.1 Hasil perameter standar kulit pisang ambon putih ........................................... 42

    V.2 Hasil penapisan fitokimia ekstrak dan fraksi etil asetat kulit pisang ................ 44

    V.3 Hasil FPS fraksi etil asetat kulit pisang ambon putih dan metil sinamat ........ 45

    V.4 Orientasi nilai HLB butuh minyak zaitun ....................................................... 46

    V.5 Orientasi nilai HLB butuh Parafin cair ........................................................... 46

    V.6 Uji sentrifugasi ................................................................................................ 46

    V.7 Uji sentrifugasi ................................................................................................ 47

    V.8 Formulasi sediaan krim tabir surya fraksi etil asetat kulit pisang .................. 48

    V.9 Hasil evaluasi organoleptis ............................................................................. 49

    V.10Hasil pengukuran pH ..................................................................................... 50

    V.11Hasil evaluasi viskositas sediaan ................................................................... 51

  • xii

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar Halaman

    I.1 Pisang ambon putih (AAA group) ................................................................. 3

    I.2 Kulit pisang .................................................................................................... 5

    I.3 Bagian-bagian kulit ........................................................................................ 6

    II.1 Diagram alir penelitian ................................................................................. 30

  • xiii

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran Halaman

    1 Surat determinasi ............................................................................................... 56

    2 Penetapan parameter standar ............................................................................. 57

    3 Perhitungan rendemen fraksi ............................................................................. 60

    4 penentuan nilai faktor pelindung surya (FPS) .................................................. 61

    5 Sertifikat metil sinamat .................................................................................... 65

    6 Formula sediaan .............................................................................................. 66

    7 viskositas ......................................................................................................... 67

    8 Uji stasitik viskositas ....................................................................................... 68

  • 1

    PENDAHULUAN

    Radikal bebas terdapat di lingkungan sekitar kita salah satunya berasal dari

    sinar UV, yang mengkatalisis terbentuknya radikal bebas. Dalam beberapa hal sinar

    ultra violet bermanfaat untuk manusia diantaranya untuk mensintesa vitamin D dan

    juga berfungsi untuk membunuh bakteri. Namun disamping manfaat tersebut sinar

    ultra violet dapat merugikan manusia apabila terpapar pada kulit manusia dalam

    jangka waktu yang lama. Dampak buruk bagi kulit manusia, diantaranya

    menyebabkan kulit terbakar (sunburn), penggelapan kulit (darkening), merusak kulit

    dan menyebabkan noda-noda gelap pada kulit (dark spots). Kerusakan kulit yang

    terjadi dalam pemaparan jangka panjang akan memberikan efek yang bersifat

    kumulatif akibat pemaparan sinar matahari berlebihan yang terus menerus dalam

    waktu yang panjang, antara lain adalah penuaan dini kulit dan kemungkinan kanker

    kulit (Lowe dkk., 1990: 73). Oleh karena adanya dampak negatif dari sinar UV, maka

    diperlukan perlindungan terhadap sinar UV. Salah satu cara yang dapat dilakukan

    untuk meminimumkan jumlah UV yang berpenetrasi ke dalam kulit adalah dengan

    menggunakan tabir surya. Indonesia sebagai negara tropis dengan pemamparan sinar

    matahari yang cukup tinggi sangat membutuhkan sediaan kosmetik yang berperan

    sebagai tabir surya.

    Pisang ambon selama ini lebih banyak dimanfaatkan sebagai makanan atau

    pencuci mulut dan kurang mendapat perhatian untuk dimanfaatkan sebagai sediaan

  • 2

    kosmetik yang lebih bernilai, terutama pada kulit buahnya. Kulit buah pisang banyak

    mengandung senyawa yang bermanfaat salah satunya adalah memiliki kandungan

    antioksidan tinggi yang dapat menetralisir radikal bebas. Berdasarkan penelitian

    Someya (2002), kulit buah pisang Cavendish memiliki aktivitas antioksidan yang

    lebih tinggi dibandingkan dengan daging buahnya. Jenis senyawa antioksidan yang

    dapat diisolasi dari kulit buah pisang yaitu golongan flavonoid. Jenis flavonoid yang

    teridentifikasi adalah naringenin dan rutin (Kanazawa dan Sakakibara, 2000), serta

    katekin, galokatekin dan epikatekin (Someya et al., 2002). Flavonoid dan tannin

    merupakan beberapa senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan yang berpotensi

    sebagai tabir surya (Suryanto,2012).

    Telah banyak dilakukan penelitian sediaan tabir surya, tapi sampai saat ini

    belum ada yang menjadikan kulit buah pisang ambon sebagai krim tabir surya dan

    belum ada penelitiannya. Kulit buah pisang ambon dipilih dalam penelitian ini untuk

    memanfaatkan limbah kulit buah pisang ambon yang belum dimanfaatkan secara

    optimal sebagai bahan kosmetik tabir surya, dan pisang ambon merupakan jenis

    pisang yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia.

    Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa

    permasalahan yaitu, bagaimana penentuan nilai FPS pada fraksi etil asetat kulit buah

    pisang ambon putih secara in vitro dan formulasi tabir surya fraksi etil asetat kulit

    buah pisang ambon putih yang stabil secara farmasetika.

  • 3

    Tujuan dari penelitian ini adalah memanfaatkan kulit buah pisang ambon

    putih yang merupakan limbah menjadi bahan baku kosmetik tabir surya, serta

    mendapat formula sediaan krim yang memenuhi persyaratan farmasetik.

  • 3

    BAB I

    TINJAUAN PUSTAKA

    1.1. Pisang Ambon Putih [Musa (AAA group)]

    Pisang (Musa paradisiaca) atau banana (Inggris) dari genus Musa, famili

    Musaceae adalah tumbuhan berbatang lunak. Merupakan tanaman tropis yang

    banyak dijumpai di Asia Tenggara. Perkebunan pertama ada di Papua Nugini,

    tetapi sekarang sudah meluas di daerah tropis yang berjumlah sekitar 107 negara

    (Agoes, 2010: 73).

    1.1.1. Taksonomi pisang (Backer, C.A. & Bakhuizen van den Brink, Jr. R. C., 1968)

    Gambar I.1. Pisang Ambon Putih

    Divisi : Magnoliophyta

    Kelas : Liliopsida (Monocots)

    Anak kelas : Zingiberidae

    Bangsa : Zingiberales

    Nama suku / familia : Musaceae

    Nama Jenis / species : Musa (AAA group) pisang ambon putih

    Sinonim : -

    Nama umum : pisang ambon putih (Indonesia).

  • 4

    1.1.2. Morfologi pisang

    Tumbuhan pisang berbatang cukup tinggi, bisanya berbatang palsu

    (pseudostem). Tinggi dapat mencapai 2-8 meter dengan daun yang

    panjangnya mencapai 3,5 meter. Tiap pseudosterm dapat menghasilkan

    satu tandan buah warna hijau yang saat masak menjadi kuning. Tandan

    dapat terdiri atas 3-20 sisir yang masing-masing mengandung sampai 20

    biji pisang. Rata-rata satu tandan beratnya 30-50 kg, buah pisang rata-rata

    beratnya masing-masing 125 g yang terdiri atas 75% air dan 25% bahan

    padat. Buah dilapisi kulit dengan bagian daging pisang di dalam. Baik

    kulit ataupun daging pisang dapat dikonsumsi mentah atau dimasak. Buah

    pisang kaya akan vitamin B6, vitamin C, dan kalium (Azwar, 2010: 73).

    1.1.3. Khasiat dan kegunaan

    Berdasarkan penelitian Someya (2002), kulit buah pisang

    Cavendish memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan

    dengan daging buahnya. Jenis senyawa antioksidan yang dapat diisolasi

    dari kulit buah pisang yaitu golongan flavonoid.

    1.1.4. Zat-zat yang terkandung dalam kulit pisang

    Buah pisang mengandung banyak mengandung mineral dan

    vitamin yang dibutuhkan tubuh seperti kalsium dan vitamin A, bahkan

    kulit kaya akan manfaat. Dalam satu buah pisang, 1/3 bagiannya adalah

    kulitnya kulit pisang mengandung vitamin B6, karbohidrat, fosfor, protein,

    vitamin C, dan beberapa zat lainnya yang berguna untuk kesehatan tubuh.

    Zat lain yang terkandung dalam kulit pisang adalah vitamin B6 dan

    serotonin yang berguna untuk kesehatan mata. Kulit pisang dapat diolah

  • 5

    dengan sedemikian rupa dan diekstrak untuk menjaga kesehatan retina dan

    kerusakan yang diakibatkan oleh cahaya yang berlebih (Indah, 2013: 33).

    Berikut ini adalah rincian komposisi zat-zat gizi yang terkandung dalam

    kulit pisang:

    Gambar I.2. Kulit Pisang

    Tabel I.1. Kandungan Kulit Buah Pisang

    Sumber: Balai Penelitian Industri, Jatim Surabaya (1982)

    1.2. Kulit

    Kulit merupakan selimut yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki

    fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan

    luar (Iswari, 2007). Kulit menutupi dan melindungi permukaan tubuh, serta

    bersambung dengan selaput lendir yang melapisi rongga-rongga dan lubang-

    No Zat Gizi Kadar

    1 Air (g) 6,90

    2 Karbohidrat (g) 18,50

    3 Lemak (g) 2,11

    4 Protein (g) 0,32

    5 Kalsium (mg) 715

    6 Fosfor (mg) 117

    7 Zat besi (mg) 1,60

    8 Vitamin B (mg) 0,12

    9 Vitamin C (mg) 17,50

  • 6

    lubang masuk. Kulit yang di dalamnya terdapat ujung saraf peraba mempunyai

    banyak fungsi, antara lain membantu mengatur suhu tubuh dan mempunyai

    sedikit kemampuan ekskretori, sekretori, dan absorpsi (Evelyn, 2009: 290).

    Gambar I.3 Bagian-bagian kulit

    1.2.1. Anatomi kulit

    Kulit dibagi menjadi dua lapisan, yaitu epidermis atau kutikula dan

    dermis atau krium. Epidermis tersusun atas epithelium berlapis dan terdiri

    atas sejumlah lapisan sel yang disusun atas dua lapis yang yang jelas

    tampak: selapis lapisan tanduk dan selapis zona germinalis (Evelyn, 2009:

    291).

    Lapisan epidermal adalah lapisan tanduk terletak paling luar, dan tersusun

    atas tiga lapisan sel yang membentuk epidermis, yaitu:

    a. Stratum korneum. Selnya tipis, datar. Seperti sisik dan terus-menerus

    dilepaskan.

    b. Stratum lusidum. Selnya mempunyai batas tegas tetapi tidak ada

    intinya.

    c. Stratum granulosum. Selapis sel yang yang jelas tampak berisi inti dan

    granulosum.

  • 7

    Zona germinalis terletak di bawah lapisan tanduk dan terdiri atas dua

    lapisan epitel yang berbentuk tegas, yaitu:

    a. Sel berduri, yaitu sel dengan fibril halus yang menyambung sel yang

    satu dengan yang lainnya di lapisan ini, sehingga setiap sel seakan-akan

    berduri.

    b. Sel basal. Sel ini terus-menerus memproduksi sel epidermis baru. Sel

    ini disusun dengan teratur, berderet dengan rapat membentuk lapisan

    pertama atau lapisan dua sel pertama dari sel basal yang duduk di atas

    papilla dermis.

    Epidermis tidak berisi pembuluh darah. Saluran kelejar keringat

    menembus epidermis dan mendampingi rambut. Sel epidemis membatasi

    folikel rambut. Dia atas permukaan epidermis terdapat garis lekukan yang

    berjalan sesuai dengan papil dermis di bawahnya. Garis-garis ini berbeda-

    beda; pada ujung jari berbentuk ukiran yang jelas, yang pada setiap orang

    yang berbeda. Maka atas hal ini studi sidik jari dalam kriminologi

    dilandaskan (Evelyn, 2009: 293).

    Korium atau dermis tersusun atas jaringan fibrus dan jaringan ikat

    yang elastik. Pada permukaan dermis tersusun papil-papil kecil yang berisi

    ranting-ranting pembuluh darah kapiler.

    Ujung akhir saraf sensoris, yaitu sebagai peraba, terletak di dalam

    dermis. Kelenjar keringat yang berbentuk tabung berbelit-belit dan banyak

    jumlahnya, terletak di sebelah dalam dermis, dan salurannya yang keluar

    melalui dermis dan epidermis bermuara di atas permukan kulit di dalam

  • 8

    lekukan halus yang disebut pori. Ada beberapa kelenjar keringat yang

    berubah sifat yang dapat dijumpai di kulit sebelah dalam telinga, yaitu

    kelenjar serumen (Evelyn, 2009: 293).

    Kelenjar sebaseus adalah kelenjar kantong di dalam kulit.

    Bentuknya seperti botol dan bermuara di dalam folikel rambut. Kelenjar

    ini paling banyak terdapat di kepala dan wajah, yaitu sekitar hidung,

    mulut, dan telinga, dan sama sekali tak terdapat dalam kulit tapak tangan

    dan telapak tangan dan telapak kaki. Kelenjarnya dan salurannya dilapisan

    sel epitel. Perubahan di dalam sel ini berakibat sekresi berlemak yang

    disebut sebum. Pelengkap kulit. Rambut, kuku, dan kenjar sebaseus

    dianggap sebagai tambahan pada kulit. Rambut dan kuku adalah sel

    epidermis yang berubah. Rambut tubuh dari folikel rambut merupakan

    lekukan jeluk di dalam epidermis (Evelyn, 2009: 294).

    Folikel rambut dibatasi sel epidermis dan di atas dasarnya terdapat

    papil tempat awal rambut tumbuh. Dalam keadaan sehat, bila sehelai

    rambut rontok maka akan diganti sehelai lain yang tumbuh dari papil yang

    sama. Warna rambut disebabkan jumlah pigmen di dalam epidermis.

    Berhubungan dengan folikel rambut terdapat otot polos kecil, yaitu erector

    pilorum atau penegak rambut, terdapat juga kelenjar sebaseus yang

    mengeluarkan secret yang disebut sebum. Sebum ini memelihara kulit

    supaya empuk dan halus, dan rambut mengkilat (Evelyn, 2009: 294).

  • 9

    1.2.2. Fungsi kulit

    Kulit sebagai organ pengatur panas. Suhu tubuh seseorang adalah

    tetap, meskipun terjadi perubahan suhu lingkungan. Hal itu dipertahankan

    karena penyesuaian antara panas yang hilang dan panas yang dihasilkan,

    yang diatur oleh pusat pengaturan panas. Suhu normal tubuh, yaitu suhu

    visera dan otak adalah 36o samapai 37,5

    oC. Suhu kulit lebih rendah. Kulit

    adalah organ utama yang berurusan dengan pelepasan panas dari tubuh.

    Banyak panas juga hilang melalui paru-paru, dan sebagian kecil melalui

    feses dan urine (Evelyn, 2009: 295).

    Kulit sebagai indra peraba rasa sentuhan yang disebabkan

    rangsangan pada ujung saraf di dalam kulit berbeda-beda menut ujung

    saraf yang dirangsang. Perasaan panas, dingin, sakit, semua ini perasaan

    yang berlainan. Di dalam kulit terdapat tempat-tempat tertentu, yaitu

    tempat perabaan; beberapa sensitif (peka) terhadap dingin, beberapa

    terhadap panas, dan lain lagi terhadap sakit. Perasaan yang disebabkan

    tekanan yang dalam, dan perasaan yang memungkinkan seorang

    menentukan dan menilai berat suatu benda, timbul pada struktur lebih

    dalam, misalnya pada otot dan sendi (Evelyn, 2009: 295).

    Tempat penyimpanan kulit dan jaringan di bawahnya bekerja

    sebagai tempat penyimpanan air; jaringan adipose di bawah kulit

    merupakan tempat penyimpanan lemak yang utama pada tubuh, beberapa

    kemampuan melindungi dari kulit. Kulit relatif tak tertembus air, dalam

    arti menghidarkan hilangnya cairan dari jaringan dan juga menghindarkan

  • 10

    masuknya air ke dalam jaringan, misalnya bila tubuh terendam air.

    Epidermis menghalangi cedera pada struktur di bawahnya dan karena

    menutupi ujung akhir saraf sensorik di dalam dermis, maka kulit

    mengurangi rasa sakit (Evelyn, 2009: 296).

    1.2.3. Efek radiasi sinar matahari terhadap kulit

    Penyinaran matahari memiliki efek yang menguntungkan maupun

    merugikan tergatung dari frekuensi lama penyinaran, intensitas matahari

    dan jenis kulit. Efek yang menguntungkan dari penyinaran matahari adalah

    dapat merangsang pembentukan tulang oleh aktivasi vitamin D yang

    terdapat pada epidermis dengan sinar matahari. Sinar matahari juga dapat

    menyebabkan penyakit misalnya psoriasis, meningkatkan produksi

    melanin yang berfungsi sebagai tabir surya alami kulit (Lowe dkk.,

    1990:73) .

    Di samping efek menguntungkan, pemaparan sinar matahari yang

    berlebihan juga dapat berdampak buruk karena sinar matahari

    mengandung sinar ultra violet (UV) (Martini, 2001: 144). Penyinaran

    matahari yang singkat pada kulit dapat menyebabkan kerusakan epidermis

    sementara, gejalanya biasanya disebut sengatan surya. Sinar matahari

    menyebabkan eritema ringan hingga luka bakar yang nyeri pada kasus

    yang lebih parah. Penyinaran yang lama akan menyebabkan perubahan

    pada jaringan pengikat dalam korium. Keadaan tersebut menyebabkan

    kulit akan menyebabkan kulit akan menebal, kehilangan kekenyalan

  • 11

    sehingga kulit kelihatan keriput, hal ini disebabkan karena kulit kehilangan

    kapasitas ikat-air (Depkes RI, 1985: 339).

    Berdasarkan panjang gelombang dan efek fisiologisnya, sinar UV

    dibagi atas tiga kelompok, yaitu UV A, UV B, dan UV C. UV A memiliki

    panjang gelombang 320-400 nm yang menyebabkan warna coklat pada

    kulit tanpa terjadi inflamasi sehingga disebut daerah pigmentasi. UV B

    memiliki panjang gelombang 290-320 nm sehingga dapat menimbulkan

    terjadinya iritasi pada kulit. Hal ini menyebabkan rentang panjang

    gelombang UV B disebut daerah eritema. UV C memiliki panjang

    gelombang 200-290 nm dan tidak dapat mencapai permukaan bumi karena

    sebagian besar telah terserap oleh lapisan ozon (Martini, 2001: 147).

    1.2.4. Mekanisme perlindungan alami kulit

    Kulit sebagai lapisan pembungkus tubuh senantiasa mengalami

    pengaruh lingkingan luar, baik berupa sinar matahari, iklim maupun

    faktor-faktor kimiawi dan mekanisme kulit tidak saja harus menghilangkan

    pengaruh panas matahari, tetapi juga harus dapat mengatasi pengaruh

    bagian sinar matahari (Rostamailis, 2005: 43).

    Secara alami kulit manusia mempunyai sistem perlindungan

    terhadap paparan sinar matahari. Mekanisme pertahanan tersebut adalah

    dengan penebalan stratum korneum dan pigmentasi kulit. Perlindungan

    alami kulit terhadap sinar UV dengan panjang gelombang 300-325 nm

    terjadi karena adanya asam urokanik (0,6%) pada stratum corneum. Asam

    urokanik ini dapat menyerap sinar UV pada panjang gelombang tersebut.

  • 12

    Selain perlindungan asam urokanik, kulit juga memiliki pertahanan alami

    lainnya dengan peningkatan jumlah melanin dalam epidermis. Butir-butir

    melanin yang terdapat pada lapisan basal kulit akan berpindah ke stratum

    corneum apabila terjadi paparan sinar UV B yang kemudian akan

    teroksidasi oleh sinar UV A. Apabila kulit mengelupas maka butir-butir

    melanin tersebut akan terkelupas juga sehingga kulit kehilangan pelindung

    (Martini, 2001: 153).

    1.3. Tabir Surya

    Menurut Permenkes RI nomor 376/menkes/per/VIII/1990, tabir surya

    adalah zat yang dapat menyerap sedikitnya 85% sinar matahari pada panjang

    gelombang 290 sampai 320 nm tetapi dapat meneruskan sinar pada panjang

    gelombang lebih dari 320 nm. Efektivitas sediaan tabir surya dalam menahan

    paparan sinar matahari dan panas dipengaruhi oleh stabilitas bahan aktif dan

    stabilitas sediaan tabir surya tersebut (Wilkinson & Moore, 1982).

    1.3.1. Syarat tabir surya

    Menurut Wilkinson dan Moore (1982), hal-hal yang diperlukan

    diperhatikan dalam sediaan tabir surya adalah:

    1. Efektif dalam menyerap sinar eritmogenik pada rentang panjang

    gelombang 290-320 nm tanpa menimbulkan gangguan yang akan

    mengurangi efisiensinya atau yang akan menimbulkan toksik atau

    iritasi.

    2. Tidak mudah menguap dan resisten terhadap air dan keringat.

  • 13

    3. Memiliki sifat-sifat mudah larut yang sesuai untuk memberikan

    formulasi kosmetik yang sesuai.

    4. Tidak berbau dan memiliki sifat-sifat fisik yang memuaskan, misalnya

    daya lengketnya, dan lain-lain.

    5. Tidak menyebabkan toksik, tidak iritan, dan tidak menimbulkan

    sensitisasi.

    6. Dapat mempertahankan daya proteksinya selama beberapa jam.

    7. Stabil dalam penggunaan.

    8. Tidak memberikan noda pada pakaian.

    Tidak toksik dan dapat diterima secara dermatologis merupakan hal yang

    penting. Sebagai kosmetik, tabir surya sering digunakan dalam

    penggunaan harian pada daerah permukaan tubuh yang luas. Selain itu,

    tabir surya juga dapat digunakan pada bagian kulit yang telah rusak karena

    matahari. Tabir surya mungkin juga digunakan pada semua kelompok

    umur dan kondisi kesehatan yang bervariasi (Wilkinson & Moore, 1982:

    231).

    1.4. Faktor Pelindung Surya (FPS)

    Tingkat produk tabir surya yang melindungi dari kemerahan (eritema)

    digambarkan oleh Faktor Pelindung Surya (FPS). FPS adalah rasio dari dosis

    minimal eritema (MED) pada perlindungan kulit manusia oleh tabir surya pada

    MED tanpa adanya tabir surya. Dalam test FPS yang ditentukan oleh FDA, MED

    ditentukan terhadap semakin meningkatnya energi UV dan mengevaluasi respon.

  • 14

    MED dalam dosis rendah energi UV akan menyebabkan eritema dengan batas

    yang jelas di tempat terbuka.

    Produk tabir surya dipasaran saat ini diberi tanda nilai FPS mulai dari 2

    sampai 60. FPS merupakan rasio MED terlindungi ke MED tak terlindungi. Cara

    lainnya yaitu FPS berbanding terbalik dengan transmisi energi pemerahan.

    Sehingga

    ... (1.1)

    Oleh karena itu, tabir surya dengan FPS 2 mentransmisikan 50% energi

    pemerahan yang diterima, FPS 15 mentransmisikan 6,7%, dan tabir surya dengan

    FPS 30 mentransmisikan 3,3%. Tabir surya dengan FPS 50 masih akan

    mentrasmisikan 2%. Ini menggambarkan semakin berkurang keuntungan dari

    peningkatan nilai-nilai FPS (Schueller, 2003: 148).

    1.4.1. Pengukuran nilai SPF

    Pengukuran nilai SPF suatu sediaan tabir surya dapat dilakukan

    secara in vitro. Metode pengukuran nilai SPF secara in vitro secara umum

    terbagi dalam dua tipe. Tipe pertama adalah dengan mengukur serapan

    atau transmisi radiasi UV melalui lapisan produk tabir surya pada plat

    kuarsa atau biomembran. Tipe yang kedua adalah dengan menentukan

    karakteristik serapan tabir surya menggunakan analisis spektrofotometri

    larutan hasil pengenceran tabir surya yang diuji (Kaur & Saraf, 2010: 22).

    Penilaian SPF mengacu pada ketentuan FDA yang mengelompokan

    keefektifan sediaan tabir surya berdasarkan SPF (Wilkinson & Moore,

    1982: 248).

  • 15

    Tabel I.2. Keefektifan Sediaan Tabir Surya Berdasarkan Nilai SPF

    (Sumber: Wilkinson & Moore, 1982)

    1.4.2. Penentuan FPS secara in vitro

    a. Korelasi antara data spektrofotometri dan nilai FPS

    Hukum Lambert-beer yang berlaku untuk radiasi monokromatik,

    dinyatakan dengan menggunakan persamaan :

    (1.2)

    Io = insentitas radiasi yang datang, I = intensitas radiasi yagn

    diteruskan, = absorsitivitas, c = konsentrasi (moL/liter), l = panjang

    lintasan sel (cm), A = serapan.

    I, Io, , dan A ditentukan pada panjang gelombang tinggi. Jika kulit

    terkena sinar radiasi ultraviolet maka secara perlahan akan mengalami

    gejala kemerahan (eritema) lalu reaksi kulit terbakar (sunburn). Jika t0

    adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tanda kemerahan awal

    (Dosis Eritema Minimal/DEM), yang diuji setelah 16-24 paparan, kulit

    tanpa tabir surya menggunakan radiasi Io dan jika t adalah waktu yang

    diperlukan oleh kulit dengan tabir surya untuk menghasilkan tanda

    kemerahan yang sama, sehingga menyebabkan penurunan intensitas

    radiasi menjadi I sebelum mengenai kulit, maka dapat dituliskan dalam

    bentuk persamaan :

    SPF Katagori Proteksi Tabir Surya

    2 - 4 Proteksi minimal

    4 - 6 Proteksi sedang

    6 - 8 Proteksi ekstra

    8 - 15 Proteksi maksimal

    15 Proteksi ultra

  • 16

    Io.t0 = I.t (1.3)

    Penyusunan ulang persamaan diatas menjadi :

    Io/I = t/t0 = FPS... (1.4)

    FPS merupakan perbandingan antara waktu yang diperlukan untuk

    mencapai eritema minimal dengan tanpa tabir surya. Dengan demikian

    dapat juga dituliskan dalam persamaan :

    FPS = 10A.. (1.5)

    Persamaan (1.5) tampaknya tidak sesuai hukum Beer, bagian kanan

    persamaan itu adalah untuk radiasi monokromatik, sedangkan bagian kiri

    berlaku untuk radiasi polikromatik. Kemudian diciptakan suatu hipotesis

    untuk mencari korelasi antara FPS dengan data spektrofotometri hukum

    Beer menyatakan bahwa serapan larutan pada panjang gelombang tertentu

    linear terhadap konsentrasi jika panjang lintasan sel tetap. Sehingga secara

    logika, bahwa jumlah dua serapan pada panjang gelombang yang berbeda

    untuk larutan tunggal akan linear terhadap konsentasi. Kemudian

    disimpulkan bahwa n serapan untuk larutan tunggal juga linear terhadap

    konsentrasi, dapat dituliskan dalam bentuk persamaan:

    (1.6)

    Untuk panjang gelombang 1 cm, Km adalah tetapan

    proporsionalitas yang berhubungan dengan . Jika individual serapan yang

    dijumlahkan adalah nilai rata-rata dari serapan pada setiap interval kecil

    panjang gelombang ( ). Maka dari persamaan 1.6 dapat dibuat suatu

    persamaan baru sebagai berikut:

  • 17

    . (1.7)

    i adalah nilai terendah, n nilai tertinggi dari panjang gelombang

    yang diamati. Jika interval panjang gelombang cukup kecil maka dapat

    dituliskan suatu persamaaan:

    .. (1.8)

    n i

    Hukum Beer dapat pula dinyatakan sebagai berikut : luas kurva

    dibawah kurva (AUC) dari kurva serapan atas rentang panjang gelombang

    spesifik linear terhadap konsentrasi sehingga hukum Beer berlaku untuk

    radiasi polikromatik. Penyimpangan dari linearitas dapat terjadi jika

    serapan pada panjang gelombang tersebut juga menyimpang dari

    linearitas.

    Luas/(n-i) = = k.c (1.9)

    AUC (luas bawah kurva) antara n dan i dihitung dengan

    menjumlahkan luasan terkecil hingga luasan pada akhir kurva serapan

    (ketika nilai serapan 0,05). Luas dihitung menggunakan rumus trapesium.

    Hukum ini dapat digunakan untuk fenomena polikromatik. Cahaya

    ultraviolet penyebab reaksi kulit terbakar adalah fenomena polikromatik

    dapat digunakan untuk mencari koreksi antara data spektrofotometri dan

    nilai FPS. Hubungan tersebut adalah:

    (1.10)

    Log FPS = Luas / n-i = = As . (1.11)

  • 18

    = As adalah serapan tabir surya dan n=i adalah interval

    aktivitas eritemagenik.

    Sehingga secara teoritis persamaan 1.11 dapat digunakan untuk

    memperkirakan nilai FPS dari suatu larutan yang diukur dengan

    menghitung nilai AUC kurva serapan dibagi dengan interval panjang

    gelombang terkecil yang digunakan adalah 290 nm, sedangkan akhir kurva

    (nilai serapan 0,05) dianggap sebagai panjang gelombang tertinggi.

    Pengujian untuk menentukan nilai FPS yang biasa digunakan

    adalah dengan olesan setebal 20L per cm2. Simulasi menggunakan

    panjang lintasan sel 2 cm, maka konsentrasi larutan tabir surya 0,001%

    (=0,01 gram per liter). Jika penentuan FPS menggunakan sel kuvet 1 cm,

    maka perhitungan nilai FPS menjadi:

    Log FPS = [AUC / (n-i)] x2 .. (1.12)

    (Larasati, 2011).

    1.5. Krim

    Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih

    bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini

    secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai

    konsistensi relatif cair yang diformulasikan sebagai emulsi air dalam minyak atau

    minyak dalam air. Sekarang ini batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk

    yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau disperse mikrokristal asam-asam

    lemak atau alkohol berantai panjang dalam air yang dapat dicuci dengan air dan

    lebih ditunjukan untuk penggunaan kosmetik dan estetika (Depkes RI, 1995: 6).

  • 19

    1.5.1. Zat tambahan pada sediaan krim

    a. Zat penambah konsistensi

    Zat ini digunakan untuk menaikan konsistensi emulsi topical (krim).

    Bahan peningkat viskositas yang biasa digunakan antara lain setil

    alkohol (Swarbrick and Boylan, 1995: 138).

    b. Pengawet

    Penggunaan pengawet dimaksudkan untuk meningkatkan stabilitas

    fisik dan kimia sediaan dengan mencegah pertumbuhan

    mikroorganisme karena adanya fasa air yang merupakan medium

    pertumbuhan mikroorganisme. Contoh pengawet yang sering

    digunakan adalah propil paraben, metil paraben dan asam benzoat

    (Swarbrick and Boylan, 1995: 138).

    c. Dapar

    Penggunaan dapar dimaksudkan untuk mempertahankan pH

    stabilitas dari zat aktif. Pemilihan dapar yang digunakan

    berdasarkan pada ketercampurannya pada basis, zat aktif serta

    bahan pembantu lainnya (Swarbrick and Boylan, 1995: 138).

    d. Humektan/pelembab

    Pelembab digunakan dalam sediaan krim dengan tujuan menjaga

    kelembaban kulit dengan mencegah penguapan air dari permukaan

    kulit. Contoh pelembab antara lain adalah gliserol, propilen glikol

    dan PEG (polietilen glikol) (Swarbrick and Boylan, 1995: 139).

  • 20

    e. Antioksidan

    Penggunaan antioksidan dimaksudkan untuk mencegah oksidasi

    fasa minyak oleh cahaya yang dapat menimbulkan ketengikan dan

    mengganggu kestabilan sistem emulsi. Pada umumnya minyak

    yang dapat mengalami oksidasi adalah minyak nabati karena

    bersifat tidak jenuh. Contoh antioksidan yang umum digunakan

    antara lain alkil galat, tokoferol, butyl hidroksi anisol (BHA) dan

    butyl hidroksi toluene (BHT). Ion logam berat yang dapat

    mengkatalisasi terjadinya reaksi oksidasi dapat diikat dengan agen

    penghelat, seperti asam sitrat dan asam tartrat (Swarbrick and

    Baylan, 1995: 139).

    1.6. Praformulasi

    Studi praformulasi merupakan suatu proses optimasi suatu sediaan melalui

    penentuan dan pendefinisian sifat-sifat fisika dan kimia yang penting dalam

    penyusunan formulasi sediaan obat yang aman.

    1.6.1. Tween 80

    Tween 80 atau polyksietilen (20) sorbitan monooleat digolongkan

    ke dalam surfaktan non-ionik dengan nilai Hydrophilic-Lipophilic Balance

    (HLB) 15 dan berperan sebagai agen pengemulsi. Tween 80 merupakan

    cairan seperti minyak jernih, berwarna dan tidak larut dalam minyak

    mineral (Wade and Weller, 1994: 549).

  • 21

    1.6.2. Span 80

    Span 80 atau sorbitan monooleat adalah suatu surfaktan non ionik

    dengan nilai Hydrophilic-Lipophilic Balance (HLB) 4,3 yang sering kali

    digunakan sebagai agen pengemulsi bersama dengan Tween 80 dalam

    konsentrasi 1-10%. Span 80 berbentuk cairan kental berwarna kuning.

    Span merupakan kelarutan yang baik dalam minyak dan pelarut organik

    (Wade and Weller, 1994: 675).

    1.6.3. Parafin cair

    Paraffin cair atau minyak mineral berbentuk cairan transparan,

    tidak berwarna, kental praktis tidak berasa, tidak berbau dalam suhu sejuk

    dan sedikit berwarna jika dipanaskan. Paraffin cair praktis tidak larut

    dalam etanol (95%), gliserin dan air, larut dalam aseton, benzena,

    kloroform, karbon disulfide, eter dan petroleum eter. Penambahan sedikit

    surfaktan yang sesuai akan meningkatkan kelarutan. Paraffin cair dapat

    teroksidasi jika terkena panas dan cahaya. Paraffin cair merupakan minyak

    yang umum digunakan dalam kosmetik dan produk makanan. Untuk

    emulsi topical, paraffin cair digunakan dalam konsentrasi 1-32% (Wade

    and Weller, 1994: 481).

    1.6.4. Setil alkohol

    Setil alkohol adalah campuran alkohol alifatik padat yang

    digunakan secara luas dalam formulasi sediaan farmasi sebagai peningkat

    viskositas dengan konsentrasi 2-10%. Setil alkohol berupa malam

    berbentuk serpihan putih, licin, granul atau kubus, berwarna putih dengan

  • 22

    bau khas dan rasa lemah. Setil alkohol praktis tidak larut dalam air, etanol

    dan eter, kelarutan bertambah dengan naiknya suhu (Wade and Weller,

    1994: 75).

    1.6.5. Metil paraben

    Metil paraben atau nipagin digunakan sebagai pengawet

    antimikroba dalam kosmetik, produksi makanan dan formula farmasi.

    Metil paraben dapat digunakan sendiri ataupun dengan kombinasi paraben,

    zat anti mikroba lain. Bentuk metil paraben adalah Kristal tak berwarna

    serbuk Kristal putih dan tidak berbau. Metil paraben mempunyai aktivitas

    anti mikroba antara pH 4-8. Efek pengawetan akan menurun sebanding

    dengan meningkatnya pH. Metil paraben memiliki keaktifan paling lemah

    dari seluruh paraben. Aktivitasnya dapat diperbaiki dengan

    mengkombinasikan dengan paraben lain. Metil paraben larut dalam etanol,

    eter, propilen glikol, metanol, tidak larut dalam parafin cair dan air.

    Aktivitas antimikroba dari metil paraben menurun dengan keberadaan

    surfaktan non ionik seperti polisorbat 80. Namun, dengan penambahan

    propilen glikol (10%) telah dibuktikan dapat membantu aktivitas anti

    mikroba paraben ketika terdapat surfaktan non ionik karena dapat

    mencegah interaksi antara antimikroba dan polisorbat (Wade and Weller,

    1994: 441).

  • 23

    1.6.6. Propil paraben

    Propil paraben atau nipasol adalah senyawa paraben yang berfungsi

    sebagai pengawet antimikroba dalam kosmetik, produksi makanan dan

    formula farmasi. Propil paraben dapat digunakan sendiri ataupun

    dikombinasikan dengan paraben maupun antimikroba lain. Aktivitas

    antimikroba propil paraben efektif pada pH 4-8. Efek sebagai pengawet

    menurun dengan meningkatkatnya pH. Propil paraben lebih aktif melawan

    jamur daripada melawan bakteri dan lebih aktif melawan gram positif

    daripada gram negatif. Propil paraben sangat larut dalam aseton dan dalam

    eter, larut dalam etanl, dalam methanol, dalam propilen glikol, tidak larut

    dalam air. Aktivitas antimikroba dari propil paraben menurun dengan

    keberadaan surfaktan non ionik (Wade and Weller, 1994, 596).

    1.6.7. Tokoferol asetat

    Tokoferol asetat merupakan antioksidan yang ditambahkan untuk

    mencegah terjadinya ketengikan karena oksidasi oleh cahaya pada minyak

    tidak jenuh yang sifatnya antioksidan. Tokoferol asetat adalah antioksidan

    sejati mencegah oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas

    (Wade and Weller, 1994, 663).

    1.6.8. Gliserin

    Gliserin merupakan cairan tidak berwarna, tidak berbau, kental,

    cairan higroskopis, dan memiliki rasa manis kira-kira 0,6 kali semanis

    sukrosa.

  • 24

    Dalam formulasi farmasi topical dan kosmetik, gliserin digunakan sebagai

    humektan dan emolien. Gliserin digunakan sebagai pelarut atau cosolvent

    dalam krim dan emulsi (Wade and Weller, 1994: 295).

    1.7. Metode Ekstraksi

    Pengambilan bahan aktif dari suatu tanaman, dapat dilakukan dengan

    ekstraksi. Dalam proses ekstraksi ini, bahan aktif akan terlarut oleh zat penyari

    yang sesuai sifat kepolarannya. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa

    faktor seperti sifat dari bahan mentah obat, daya penyesuaian dengan tiap macam

    metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau

    mendekati sempurna (Ansel, 1989: 607). Metode-metode ekstraksi ang sering

    digunakan diantaranya:

    1.7.1. Cara dingin

    a. Maserasi

    Istilah maceration berasal dari bahasa latin macerare, yang artinya

    merendam. Maserasi merupakan proses paling tepat dimana

    simplisia yang sudah halus memungkinkan untuk direndam dalam

    menstrum samapai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga

    zat-zat yang mudah larut akan melarut. Dalam proses maserasi,

    simplisia yang akan diekstrasi biasanya ditempatkan pada wadah

    atau bejana yang bermulut lebar., bersama menstrum yang telah

    ditetapkan, bejana ditutup rapat dan isinya dikocok berulang-ulang

    lamanya biasanya berkisar dari 2-14 hari. Pengocokan

    memungkinkan pelarut segar mengalir berulang-ulang masuk ke

  • 25

    seluruh permukaan dari simplisia yang sudah halus (Ansel, 1989:

    607).

    Cara lain untuk pengocokan yang berulang-ulang ini dengan

    menempatkan simplisia dalam kantong kain yang berpori yang

    diikat dan digantungkan pada bagian atas menstrum, banyak

    persamaannya dengan kantong teh yang mudah larut, melarut

    dalam menstrum, maserat cenderung untuk turun ke dasar bejana

    karena adanya gaya berat dari cairan yang disebabkan oleh

    penambahan berat. Kemudian menstrum yang segar naik ke

    permukaan dan proses ini berlanjut secara siklis. Pencelupan

    kantong simplisia akan membantu kecepatan dari ekstraksi. Ekstrak

    dipisahkan dari ampasnya dengan memeras kantong simplisia dan

    membilasnya dengan penambahan menstrum baru, hasil pencucian

    merupakan tambahan ekstrak. Apabila maserasi dilakukan dengan

    simplisia yang tidak dalam kantong, ampasnya dapat dipisahkan

    dengan menapis atau menyaring (Ansel, 198: 608).

    b. Perkolasi

    Perkolasi adalah ekstrak dengan pelarut yang selalu baru sampai

    sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada

    suhu ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan,

    tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan atau

    penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak

  • 26

    (perkolat) yang jumlahnya satu sampai lima kali bahan (Depkes RI,

    2000: 10)

    1.7.2. Cara panas

    a. Sokhletasi

    Sokhletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru

    yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi

    ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan

    adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000: 10).

    b. Refluks

    Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada suhu titik didihnya,

    selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif

    konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan

    pengulangan proses pada residu pertama sampai tiga sampai lima

    kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes

    RI, 2000: 11).

    c. Dekok

    Penyari menggunakan simplisia dengan perbandingan dan derajat

    kehauasan tertentu. Cairan penyari air digunakan pada suhu 900C-

    950C selama 30 menit (Goeswin, 2009: 31).

    d. Digesti

    Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan) pada suhu

    yang lebih tinggi dari suhu ruangan (kamar), yaitu secara umum

    dilakukan pada suhu 40-500C (Depkes RI, 2000: 11).

  • 27

    e. Infus

    Sama seperti Decoctum, hanya saja waktu penyarian selama 15

    menit. Pada umumnya, penyari infusum ini dalam bentuk infus zat

    larut air dari simplisia tanaman. Penyarian dapat dilakukan dengan

    penambahan bahan tertentu untuk optimasi proses penyarian

    (Goeswin, 2009: 32).

  • 28

    BAB II

    METODOLOGI PENELITIAN

    Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit buah pisang

    ambon putih [Musa (AAA group)]. Determinasi tumbuhan uji dilakukan di

    Herbarium Bandungense Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi

    Bandung.

    Ekstraksi dilakukan dengan metode perebusan selama 2 jam. Ekstrak cair

    yang didapat kemudian dilakukan ektraksi cair - cair dengan kloroform, etil asetat,

    dan air, kemudian dikeringkan dengan metode Freeze Dryer. Tahap selanjutnya

    penetapan parameter standar simplisia dan ekstrak, serta penapisan fitokimia

    dilakukan terhadap ekstrak cair dan fraksi etil asetat kulit buah pisang ambon putih.

    Dari penentuan nilai FPS, diperoleh konsentrasi ekstrak yang akan digunakan

    dalam sediaan krim. Tahap selanjutnya adalah orientasi basis larutan dengan

    menentukan HLB butuh minyak zaitun dan paraffin cair dengan menggunakan

    emulgator kombinasi Tween 80 Span 80. Setelah itu ditentukan konsentrasi

    optimum surfaktan agar dihasilkan emulsi yang stabil kemudian dibuat krim dengan

    setil alkohol sebagai peningkat konsistensi, kombinasi metil paraben propil paraben

    sebagai pengawet, tokoferol asetat sebagai antioksidan larut minyak, dan gliserin

    sebagai humektan.

    Formula basis krim terbaik diperoleh berdasarkan uji stabilitas dengan metode

    freeze-thaw. Formula basis terbaik digunakan dalam pembuatan sediaan krim ekstrak

  • 29

    kulit pisang. Pada tahap akhir dilakukan evaluasi stabilitas dipercepat dari sediaan

    krim pada masing-masing formula meliputi pengamatan organoleptis, pH sediaan,

    dan pengukuran viskositas.

  • 30

    Diagram alir pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar II.1.

    Fraksinasi

    Metode freeze dry

    Gambar II.1. Diagram alir penelitian

    Pengumpulan dan penyiapan bahan

    Determinasi Tumbuhan Segar

    Ekstrak cair Penapisan

    Fiokimia

    Fraksi etil asetat

    Orientasi basis

    Penentuan nilai

    FPS secara in vitro

    Formulasi

    Ekstrak cair + kloroform

    Sediaan tabir

    surya

    Evaluasi Sediaan

    Ektrak air + etil asetat

    Evaporator

    Fraksi kering

  • 31

    BAB III

    ALAT DAN BAHAN

    3.1. Bahan

    Kulit pisang ambon putih [Musa (AAA group)], Tween 80, Span 80, minyak

    zaitum, parafin cair, metil paraben, profil paraben, setil alkohol, tokoferol asetat,

    Metil sinamat, gliserin, air suling, kloroform p.a, etil asetat, pereaksi Dragendorff,

    pereaksi Mayer, HCl, kloroform teknis, etanol 96%, serbuk magnesium, larutan besi

    (III) klorida, larutan hidroksida 1 N, eter, asam sulfat pekat.

    3.2. Alat

    Ultra turax, indikator pH universal, viscometer Brookfield, alat penggiling

    (blender), timbangan analitik, oven pengering, lemari pendingin, spatel, gelas ukur,

    gelas kimia, rak dan tabung reaksi, pipet tetes, mikro pipet, batang pengaduk,

    penangas air, corong pisah, rotary evaporator, kertas saring Whattman, alumunium

    foil, cawan porselen, wadah krim, dan spektrofotometer UV-Vis.

  • 32

    BAB IV

    PROSEDUR PENELITIAN

    4.1. Pengambilan Sampel Bahan Tanaman

    Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah pisang

    ambon putih yang akan diperoleh dari Cihanjuang, Lembang. Determinasi

    dilakukan di Herbarium Bandungense Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati,

    Institut Teknologi Bandung. Kulit yang digunakan adalah kulit buah pisang

    ambon lokal.

    4.2. Karakteristik Mutu Kulit Buah Pisang Ambon dan Ekstrak

    Karakterikstik mutu kulit buah pisang ambon, ekstrak cair dan fraksi,

    dengan cara penentuan kadar abu, penentuan kadar sari larut etanol, penentuan

    kadar sari larut air, dan penapisan fitokimia.

    4.2.1. Penapisan kadar abu

    Timbang simplisia sebanyak 2 gram yang telah digerus,

    dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, ratakan.

    Pijarkan perlahan- lahan hingga arang habis, dinginkan timbang hingga

    bobot tetap, timbang. Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah

    dikeringkan di udara.

    Kadar abu total (%) = x 100% .. (4)

    (DepKes RI, 2000: 17)

  • 33

    4.2.2. Penetapan kadar sari larut etanol

    Sebanyak 5 gram simplisia dimaserasi selama 24 jam dengan 100

    mL etanol (95%) menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali

    dikocok selama enam jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam

    lalu disaring dengan cepat untuk menghindarkan penguapan etanol.

    Sebanyak 20 mL filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal

    berdasarkan rata yang telah ditara, kemudian sisanya dipanaskan pada

    suhu 105oC hingga bobot tetap. Kadar sari larut dalam etanol dinyatakan

    dalam persen (%) dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di

    udara. Kadar sari larut etanol dihitung dengan rumus:

    . (5)

    (DepKes RI, 2000:31)

    4.2.3. Penetapan kadar sari larut air

    Sebanyak 5 gram simplisia dimaserasi selama 24 jam dengan 100

    mL air dan 10 tetes kloroform menggunakan labu bersumbat sambil

    berkali-kali dikocok selama enam jam pertama dan kemudian dibiarkan

    selama 18 jam lalu disaring. Sebanyak 20 mL filtrat diuapkan hingga

    kering dalam cawan dangkal berdasarkan rata yang telah ditara, kemudian

    sisanya dipanaskan pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Kadar sari larut

    dalam air dinyatakan dalam persen (%), dihitung terhadap bahan yang

    telah dikeringkan di udara. Kadar sari larut air dihitung dengan rumus:

  • 34

    (6)

    (DepKes RI, 2000:31)

    4.3. Penapisan Fitokimia

    Penapisan fitokimia meliputi pemeriksaan adanya golongan senyawa

    alkaloid, flavonoid, saponin, tannin, kuinon, steroid dan triterpenoid.

    4.3.1. Alkaloid

    Sebanyak dua gram serbuk ditambahkan dengan ammonia 25%

    kemudian digerus dalam mortar, ditambahkan 20 mL kloroform dan

    digerus kuat. Campuran disaring dan filtrat digunakan untuk percobaan

    (Larutan A). larutan A diteteskan pada kertas saring dan diberi pereaksi

    Dragendorff. Warna jingga yang timbul pada kertas saring menunjukan

    alkaloid positif. Sisa larutan A dieksraksi dua kali dengan HCl 10% lalu

    lapisan air atau fraksi asamnya dipisahkan (Larutan B). Masing-masing 5

    mL larutan B dalam tabung reaksi diuji dengan pereaksi Mayer, hasil

    positif bila endapan putih yang terbentuk bertahan selama 15 menit dan

    hasil positif pada uji dengan pereaksi Dragendorff bila terbentuk endapan

    merah bata yang bertahan selama 15 menit (Depkes RI, 1977: 141)

    4.3.2. Flavonoid

    Ke dalam 1 g serbuk ditambahakan 100 mL air panas, didihkan

    selama 5 menit kemudian disaring, filtrat disebut larutan C. ke dalam 5 mL

    larutan C, ditambahakan sedikit serbuk magnesium kemudian secara

    perlahan-lahan diteteskan campuran etanol 50% dengan asam klorida (1:1

  • 35

    v/v), ditambahakan amil alkohol dan dikocok. Larutan dibiarkan memisah.

    Warna kuning, jingga atau merah pada lapisan amil alkohol menunjukan

    adanya flavonoid (Depkes RI, 1997: 144).

    4.3.3. Saponin dan Kuinon

    Sebanyak 10 mL larutan C dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan

    dikocok vertical selama 10 detik, kemudian dibiarkan selama 10 menit.

    Terbentuknya busa selama kurang lebih 10 menit dengan ketinggian 1-10

    cm maka saponin positif. Busa ditambah dengan HCl 2N beberapa tetes,

    apabila busa hilang maka saponin negatif sedangkan jika busa tidak hilang

    maka saponin positif. Untuk pengujian kuinon ke dalam 5 mL larutan C

    ditambahkan beberapa tetes larutan natrium hidroksida 1 N. Warna merah

    menunjukkan adanya kuinon (Depkes RI, 1977: 144).

    4.3.4. Polifenol dan Tanin

    Sampel digerus dengan air hingga lumat, kemudian dipindahkan ke

    dalam tabung reaksi dan didihkan selama beberapa menit. Setelah disaring,

    filtrat dibagi dua bagian:

    Filtrat 1 : ke dalam filtrat 1 diteteskan FeCl3, terbentuknya warna biru

    hingga hitam menunjukkan adanya senyawa polifenol.

    Filtrate 2 : ke dalam filtrat 2 teteskan larutan gelatin, lalu diamati

    terjadinya endapan dan gumpalan. Adanya golongan senyawa tannin

    ditandai dengan terbentuknya warna hitam menandakan bahwa dalam

    senyawa tersebut terkandung tanin dan polifenol (Farnsworth, 1966: 264).

  • 36

    4.3.5. Steroid dan Triterpenoid

    Sejumlah satu gram serbuk bahan dimaserasi dengan 20 mL eter

    selama 2 jam kemudian disaring. Filtrat sebanyak 5 mL diuapkan dalam

    cawan penguap. Kedalam residu ditambahkan dua tetes asam asetat

    anhidrat dan satu tetes asam sulfat pekat (pereaksi Libermann Burchard).

    Terbentuknya warna biru sampai hijau menunjukan steroid positif. Warna

    merah sampai ungu menunjukan triterpenoid positif (Farnsworth, 1966:

    259).

    4.4. Ekstraksi

    Kulit buah pisang ambon yang masih segar dipotong-potong kecil

    berbentuk kubus ( 1 cm) dan ditimbang sebanyak 600 gram. Kulit pisang

    didihkan dalam 1800 mL aquades selama 5 menit. Campuran kulit pisang dan air

    dihomogenasi dengan cara diblender, kemudian dipanaskan pada suhu 90oC

    selama 2 jam dalam waterbath sambil sesekali diaduk. Hancurkan kulit pisang

    disaring dengan kain saring dan dilanjutkan dengan kertas saring menggunakan

    penyaring vakum. Ekstrak air kemudian dipekatkan dengan vacum rotary

    evaporator pada suhu 40C sampai volume menjadi 600 mL.

    Ekstrak air ditambahkan larutan air kloroform (1:1 v/v), dengan rincian

    setiap 100 mL ekstrak air ditambahkan larutan air : kloroform (300 mL), dishaker

    selama 30 menit, dituang kedalam labu pemisah dan dikocok, kemudian dibiarkan

    hingga terjadi pemisahan. Lapisan atas yang merupakan fase air diambil dan

    ditambahkan larutan air etil asetat (1:1 v/v) dengan rincian setiap 100 mL

  • 37

    ekstrak air, dilarutkan dalam larutan air : etil asetat (300 mL), dishaker selama 30

    menit, dituang kedalam labu pemisah. Lapisan atas yang merupakan fase etil

    asetat jernih agak berwarna kekuningan kemudian diuapkan pelarutnya dengan

    rotary evaporator, dimasukan dalam wadah tertutup (Humairani, 2007),

    kemuadian ekstrak dikeringkan dengan Freeze dryer hingga pelarut benar-benar

    hilang dan dapat ekstrak berwarna coklat.

    4.5. Penentuan Nilai Faktor Pelindung Surya (FPS) secara In Vitro

    Penentuan faktor perlindung surya (FPS) dilakukan dengan metode

    spektrofotometri, pengukuran serapan pada rentang panjang gelombang antara

    290 nm sampai akhir kurva serapan larutan yang diukur. Dari nilai serapan yang

    diperoleh, dibuat kurva nilai serapan terhadap panjang gelombang. Kemudian

    dihitung luas bawah kurva secara keseluruhan dari kurva tersebut.

    Fraksi etil asetat kulit buah pisang ambon dibuat larutan pada konsentrasi

    500 ppm, kemudian dilakukan absorbansi pada rentang panjang gelombang 290

    nm sampai panjang gelombang yang memberikan nilai serapan 0,05 (akhir dari

    kurva serapan), perubahan skala setiap 2,5 nm. Luas bawah kurva (AUC) kurva

    serapan dihitung pada setiap 2,5 nm dari panjang gelombang awal (1) sampai

    panjang gelombang akhir (n), kemudian semua nilai AUC dijumlahkan sebagai

    AUC total. Nilai FPS dihitung menggunakan rumus pada persamaan 1.12.

  • 38

    4.6. Evaluasi Orientasi Formula Sediaan

    Evaluasi orientasi basis krim dilakukan untuk menentukan basis yang terbaik

    untuk digunakan pada formulasi sediaan tabir surya. Evaluasi tersebut

    diantaranya:

    4.6.1. Penentuan HLB butuh

    Penentuan HLB butuh dibuat dengan kadar minyak dan HLB yang

    berbeda-beda. Minyak yang dipakai adalah minyak zaitun 20% dan parafin

    cair 20% dengan pengemulsi yang digunakan adalah Tween 80 Span 80

    sebanyak 10%. HLB butuh minyak zaitun dibuat mulai dari 8; 8,5; 9; 9,5

    dan 10. Untuk HLB butuh parafin cair dibuat mulai dari 10; 10,5; 11; 11,5

    dan 12, kemudian diamati stabilitas fisiknya selama 7 hari.

    4.6.2. Uji Setrifugasi

    Evaluasi dilakukan untuk mengetahui perubahan gravitasi terhadap

    kestabilan sediaan. Pengujian dilakukan selama 5 jam. Diamati ada

    tidaknya pemisahan fasa pada sediaan.

    4.6.3. Uji Freeze-thaw

    Evaluasi dilakukan untuk mengetahui pengaruh perubahan suhu

    terhadap kestabilan sediaan. Pengujian dilakukan selama 6 siklus. Satu

    siklus terdiri dari 48 jam disimpan pada suhu 4 C dan 48 jam pada suhu

    40 C. Diamati ada tidaknya pemisahan fasa pada suhu kamar pada akhir

    siklus ke-1, 2, 3, 4, 5, dan 6.

  • 39

    4.7. Formula Sediaan Tabir Surya

    Formula sediaan tabir surya dapat dilihat pada Tabel IV.1. formulasi

    dipilih dari orientasi basis dengan basis terbaik berdasarkan hasil uji penentuan

    HLB butuh dan uji freeze-thaw. Pembuatan sediaan krim tabir surya sama dengan

    yang dilakukan pada orientasi basis, namun dilakukan penambahan fraksi kulit

    pisang ambon putih dengan konsentrasi sesuai dengan hasil penentuan nilai FPS

    secara in vitro.

    Tabel IV. 1 Formulasi krim Fraksi kulit buah pisang ambon putih

    Keterangan: M1 = krim dengan basis minyak zaitun

    P1 = krim dengan basis parafin cair

    4.8. Evaluasi Sediaan Krim Tabir Surya

    Evaluasi sediaan krim tabir surya yang dilakukan yaitu uji stabilitas

    dipercepat pada sediaan yang baru dibuat, pengukuran dilakukan pada hari ke-1,

    7, 14, 21, dan 28 hari pada sediaan yang disimpan pada suhu 40C. pengukuran

    yang harus dilakukan diantaranya evaluasi organoleptis,viskositas, dan pH.

    M1 P1

    Fraksi kulit buah pisang ambon 1 1

    Tween 80 4,39 5,3

    Span 80 5,61 4,7

    Minyak zaitun 20 -

    Parafin cair - 20

    Setil alkohol 8 10

    Metil paraben 0,18 0,18

    Propil paraben 0,02 0,02

    gliserin 10 10

    Tokoferol asetat 0,05 0,05

    Aquades Ad.100 Ad. 100

    BahanFormula (% b/b)

  • 40

    4.8.1. Evaluasi organoleptik

    Pengamatan organoleptik terhadap sediaan krim dilakukan selama

    masa penelitian meliputi bau , warna, dan penampilan sediaan.

    4.8.2. Evaluasi pH sediaan

    Sediaan yang memiliki kestabilan fisik yang baik diukur pH-nya

    dengan indukator pH universal setiap selang waktu satu minggu.

    4.8.3. Evaluasi viskositas

    Sediaan diukur viskositasnya menggunakan alat viskometer.

    Sampel dimasukkan ke dalam wadah dengan volume 100 mL. Spindel

    yang sesuai dimasukkan ke dalam sediaan hingga tanda batas. Motor

    dinyalakan dan spindle dibiarkan berputar. Setelah penunjuk skala

    menunjukkan angka yang tetap, pengukuran dianggap selesai. Pengukuran

    viskositas dilakukan setiap selang waktu satu minggu.

  • 41

    BAB V

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas tabir surya dari fraksi etil

    asetat kulit pisang ambon putih dan mendapatkan formula sediaan krim tabir surya

    yang memenuhi persyaratan farmasetika. Penelitian ini meliputi pengumpulan

    bahan dan determinasi tanaman, penentuan parameter standar simplisia kulit buah

    pisang ambon, pembuatan ekstrak tanaman, penapisan fitokimia, penentuan nilai

    faktor pelindung surya (FPS) secara in vitro, orientasi formula sediaan krim tabir

    surya dan pembuatan sediaan dari fraksi etil asetat kulit pisang ambon putih

    dilanjutkan dengan evaluasi sediaan krim pada penyimpanan selama 28 hari.

    Kulit pisang ambon putih yang digunakan diperoleh dari daerah

    Cihanjuang, Lembang. Tahap determinasi dilakukan untuk mengetahui kebenaran

    identitas botani tumbuhan yang digunakan dalam penelitian. Determinasi

    dilakukan di Herbarium Bandungense Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut

    Teknologi Bandung. Hasil dari determinasi menyatakan bahwa tumbuhan yang

    digunakan dalam penelitian adalah benar buah pisang ambon putih [Musa (AAA

    group)]. Hasil determinasi dapat dilihat pada (Lampiran 1).

    Selanjutnya dilakukan penetapan parameter standar yang bertujuan untuk

    mengetahui karakteristik bahan simplisia yang digunakan. Parameter standar yang

    diuji meliputi penetapan kadar abu dan kadar sari. Penetapan kadar abu ditentukan

    untuk mengetahui senyawa anorganik yang terkandung dalam kulit buah pisang

    ambon putih. Kadar abu total menggambarkan kandungan senyawa anorganik

  • 42

    total dari sampel, sedangkan kadar abu tidak larut asam menggambarkan

    kandungan senyawa anorganik non fisiologis (cemaran lingkungan) (Depkes RI,

    2000: 7). Kadar sari dilakukan untuk menentukan jumlah senyawa aktif yang

    terekstraksi pada pelarut dari sejumlah simplisia. Pelarut yang digunakan yaitu air

    dan etanol. Data hasil parameter standar dapat dilihat pada Table V.1

    Tabel V.1 Hasil parameter standar kulit pisang ambon putih

    Proses ekstraksi dilakukan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

    Humairani pada tahun 2007. Proses ekstraksi dilakukan dengan cara direbus

    selama 5 menit. Perebusan ini dimaksudkan untuk menginaktifkan enzim

    polifenoloksidase yang dapat menyebabkan komponen polifenol pada kulit pisang

    mengalami kerusakan. Enzim ini dapat mengkatalisis terjadinya oksidasi fenol

    sehingga menghasilkan quinone yang sangat aktif yang dapat bereaksi dengan

    gugus amino dan sulfihidril pada protein dan enzim sehingga merubah

    karakteristik fisik, kimia dan nutrisi protein dan juga sifat sensori pangan serta

    menyebabkan terjadinya pencoklatan (Shahidi dan Naczk, 1995).

    Setelah dilakukan perebusan, kulit pisang beserta air rebusan diblender

    hingga hancur agar permukaan bahan lebih luas sehingga lebih mempermudah

    kerja pelarut selama proses ekstraksi. Kemudian kulit pisang yang telah diblender

    bersama air rebusan diekstrak dengan cara dipanaskan selama dua jam pada suhu

    Parameter Hasil % Literatur % (MMI, 1977)

    Kadar Abu Total 9.55 10

    Kadar Abu Tidak Larut Asam 1.15 10

    Kadar Sari Larut Air 5,312 - 6,72 -

    Kadar Sari Larut Etanol 5,988 - 8,594 -

  • 43

    90C. Dengan cara ini, komponen-komponen antioksidan yang pada umumnya

    bersifat larut air dapat terekstrak dari kulit pisang.

    Setelah proses ekstraksi dengan pelarut air, ekstrak disaring untuk

    memisahkan air dengan serat pisang. Penyaringan dilakukan dua tahap dengan

    tujuan mempermudah penyaringan ekstrak yang banyak mengandung serat,

    penyaringan pertama menggunakan kain saring kemudian dilanjutkan penyaringan

    dengan kertas whatman no. 1. Hal ini dilakukan agar pori-pori kertas saring tidak

    tersumbat dengan adanya getah dan pati yang menggumpal karena panas.

    Diketahui bahwa pisang mengandung karbohidrat yang cukup tinggi. Pada pisang

    yang belum matang, konsentrasi pati yang tinggi akan berkurang seiring dengan

    kematangan buah (Turner, 2001: 76).

    Ekstrak air kemudian dilarutkan dalam pelarut air-kloroform (1:1 v/v), dan

    diekstraksi cair-cair dengan cara dikocok kemudian dipisahkan pada labu

    pemisah. Fraksi kloroform bertujuan untuk menghilangkan senyawa-senyawa

    lemak yang masih terbawa pada ekstrak air. Fase air yang dari fraksi kloroform

    kemudian diambil dan diekstrak cair-cair lagi dengan pelarut air-etil asetat (1:1

    v/v). Fraksi etil asetat kemudian diambil untuk diuapkan dengan rotary

    evaporator dan dikeringkan dengan metode kering beku. Fraksinasi dengan etil

    asetat dimaksudkan untuk memperoleh flavon, flavonol, leukoantosianin dan

    beberapa polimer rendah (Ranganna, 1978). Dari hasil fraksi yang telah

    dikeringkan dapat dihitung rendemen fraksi, rendemen yang diperoleh adalah

    1,059%. Perhitungan rendemen fraksi dapat dilihat pada Lampiran 3.

  • 44

    Setelah melakukan fraksinasi, dilanjutkan dengan penapisan fitokimia

    pada ekstrak cair dan fraksi etil asetat kulit buah pisang ambon putih. Penapisan

    bertujuan untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terkandung dalam

    kulit buah dan ekstrak tersebut. Hasil penapisan fitokimia dapat dilihat pada

    Tabel V.2 berikut:

    Tabel V.2 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak dan Fraksi Etil Asetat Kulit Pisang Ambon Putih

    Keterangan : ( - ) = tidak terdeteksi

    ( + ) = terdeteksi

    Golongan senyawa antioksidan yang terdapat dalam kulit buah pisang yaitu

    flavonoid. Menurut Kanazawa dan Sakakibara (2000), jenis flavonoid yang

    teridentifikasi adalah naringenin atau rutin, serta menurut Someya (2002), terdapat

    katekin, galokatekin dan epikatekin.

    Setelah mendapatkan serbuk fraksi etil asetat kemudian dilakukan

    penentuan aktivitas tabir surya secara in vitro. Senyawa yang memiliki aktifitas

    tabir surya dengan mekanisme mengabsorpsi sinar UV pada rentang panjang

    gelombang sinar ultraviolet, yaitu 290-320 nm ditentukan nilai FPSnya dengan

    metode spektrofotometri. Pengujian dilakukan dengan mengukur absorbansi fraksi

    etil asetat pada konsentrasi 500 ppm dengan pembanding menggunakan Metil

    Golongan Senyawa Kimia Ekstrak Cair Fraksi Etil Asetat

    Alkaloid + +

    Polifenolat + +

    Flavonoid + +

    Sapoin - -

    Kuinon + +

    Tanin + -

    Monoterpen dan Seskuiterpen + +

    Triterpenoid dan Steroid - -

  • 45

    sinamat 10 ppm. Metil sinamat merupakan senyawa turunan sinamat yang dapat

    digunakan sebagai penyusun sediaan tabir surya yang mampu menyerap radiasi

    sinar UV pada panjang gelombang 240-320 nm dengan konsentrasi yang relatif

    rendah. Hal ini dibuktikan pada konsentrasi 10 ppm menghasilkan nilai FPS yang

    tinggi. Perhitungan nilai FPS dapat dilihat pada Lampiran 4. Nilai FPS untuk

    masing-masing sampel dapat dilihat pada Tabel V.3.

    Tabel V.3 Nilai FPS fraksi etil asetat kulit pisang ambon putih dan metil sinamat

    Dari hasil tabel diatas pengukuran nilai FPS pada sampel fraksi kulit pisang

    diperoleh konsentrasi yang berbeda tetapi nilai FPS yang didapat tidak berbeda

    jauh. Nilai FPS pada fraksi kulit pisang yang sangat rendah dibandingkan dengan

    pembanding metil sinamat karena tingkat kemurnian sampel. Dari hasil tersebut

    untuk mendapatkan nilai FPS yang tinggi dari fraksi kulit pisang ambon putih

    harus menggunakan konsentrasi yang tinggi.

    Sebelum dilakukan formulasi sediaan krim tabir surya sebaiknya

    dilakukan optimasi basis terlebih dahulu untuk mendapatkan formula yang tepat

    dan sediaan yang stabil. Dalam formulasi krim dibutuhkan pemilihan surfaktan

    dan peningkat viskositas yang tepat. Pemilihan surfaktan merupakan faktor yang

    penting untuk diperhatikan karena mutu dan kestabilan suatu emulsi banyak

    dipengaruhi oleh surfaktan yang digunakan. Pada penelitian ini minyak yang

    digunakan yaitu, minyak zaitun dan parafin cair. Digunakan kombinasi surfaktan

    HLB rendah dan HLB tinggi agar diperoleh HLB yang mendekati HLB butuh

    Sampel Konsentrasi (ppm) FPS

    Metil sinamat 10 37,242 15,5020

    Ekstrak kulit pisang 500 46,020 12,2318

  • 46

    minyak digunakan. Kombinasi surfaktan yang digunakan adalah tween 80 (HLB

    15) dan span 80 (HLB 4,3). Hasil uji nilai HBL butuh dapat dilihat pada Tabel

    V.4 dan Tabel V.5.

    Tabel V.4 Orientasi nilai HLB butuh minyak zaitun

    Tabel V.5 Orientasi nilai HLB butuh parafin cair

    Keterangan:

    : HLB butuh minyak zaitun dan parafin cair

    Setelah penentuan HLB butuh dilakuan uji sentrifugasi. Hasil uji

    sentrifugasi dapat dilihat pada Tabel V. 6 dan Tabel V.7

    Tabel V.6 Uji sentrifugasi

    HLB 8 HLB 8,5 HLB 9 HLB 9,5 HLB 10

    Minyak Zaitun 20 20 20 20 20

    Tween 80 3,45 4,39 4,39 4,85 5,3

    Span 80 6,54 6,07 5,61 5,14 4,7

    Setil Alkholol 8 8 8 8 8

    Aquadest Ad. 100 Ad. 100 Ad. 100 Ad. 100 Ad. 100

    KomposisiKonsentrasi %

    HLB 10 HLB 10,5 HLB 11 HLB 11,5 HLB 12

    Parafin Cair 20 20 20 20 20

    Tween 80 5,3 5,79 6,26 3,5 7,19

    Span 80 4,7 4,21 3,73 7,2 4,67

    Setil Alkholol 10 10 10 10 10

    Aquadest Ad. 100 Ad. 100 Ad. 100 Ad. 100 Ad. 100

    KomposisiKonsentrasi %

    HLB Minyak Zaitun Jam ke-5

    HLB 8 +++

    HLB 8.5 ++

    HLB 9 -

    HLB 9.5 +

    HLB 10 +++

  • 47

    Tabel V.7 Uji sentrifugasi

    Keterangan: = HLB butuh yang stabil = HLB butuh yang stabil (-) = tidak terjadi pemisahan (+) = sedikit memisah

    (++) = memisah

    (+++) = sangat memisah

    Hasil uji sentrifugasi kelima HLB butuh minyak zaitun dan parafin cair ini

    menunjukkan bahwa emulsi dengan HLB butuh minyak zaitun 9 merupakan

    emulsi yang stabil dan HLB butuh parafin cair adalah 10 karena tidak terjadi

    pemisahan pada emulsi. Uji sentrifugasi merupakan penetapan hukum Stokes

    dimana gaya gravitasi akan mengakibatkan peningkatan laju pengendapan. Gaya

    gravitasi yang ditingkatkan melalui cara sentrifugasi mengakibatkan peningkatan

    laju creaming. HLB butuh minyak zaitun 9 dan HLB butuh parafin cair 10

    membentuk tipe emulsi minyak dalam air karena tipe emulsi minyak dalam air

    mempunyai harga HLB 8 sampai 18 (Ansel, 1989).

    Untuk melihat kestabilan basis terhadap perubahan suhu ekstrim,

    dilakukan evaluasi freeze thaw pada suhu 4 C dan 40 C selama 6 siklus terhadap

    basis minyak zaitun HLB 9 dan basis parafin cair HLB 10. Hasil menunjukkan

    sediaan stabil hingga akhir siklus ke-6, sehingga pengaruh perubahan suhu

    ekstrim tidak mempengaruhi kestabilan basis emulsi. Proses freeze-thaw dapat

    berhasil tergantung dari kemampuan krim untuk segera pulih dari tekanan air

    kristal. Pada proses freeze, terbentuk kristal yang memiliki struktur lebih teratur

    HLB Parafin Cair Jam ke-5

    HLB 10 -

    HLB 10,5 +

    HLB 11 ++

    HLB 11,5 +++

    HLB 12 +++

  • 48

    dan rapat sehingga tidak dapat mengalu. Pada proses thaw, kristal akan mencair

    dan air akan kembali menyebar pada sistem. Jika kecepatan pemulihan dari krim

    lambat maka dapat terjadi ketidakstabilan (Joshita, 1998).

    Tahap selanjutnya adalah pembuatan sediaan krim tabir surya yang

    mengandung fraksi etil asetat dengan menggunakan formula basis krim terpilih.

    Penentuan jumlah fraksi etil asetat yang digunakan dalam formula berdasarkan

    hasil uji nilai FPS dan estetika yang sesuai. Berdasarkan hasil uji tersebut nilai

    FPS 46,020 didapat pada konsentrasi fraksi etil asetat 500 ppm, sehingga pada

    sediaan dibuat sebanyak 20 kali lipat konsentrasi yang digunakan pada uji FPS,

    yaitu 1%. Formula dapat dilihat pada Tabel V.8

    Tabel V.8 Formulasi sediaan krim tabir surya fraksi etil asetat kulit pisang ambon putih

    Keterangan: M1 = Formula dengan basis minyak zatiun P1 = Formula dengan basis parifin cair

    Fraksi kulit buah pisang ambon dalam formula merupakan zat aktif yang memiliki

    efek antioksidan. Tween 80 dan span 80 sebagai emulgator, minyak zaitun dan

    M1 P1

    Fraksi kulit buah pisang ambon 1 1

    Tween 80 4,39 5,3

    Span 80 5,61 4,7

    Minyak zaitun 20 -

    Parafin cair - 20

    Setil alkohol 8 10

    Metil paraben 0,18 0,18

    Propil paraben 0,02 0,02

    gliserin 10 10

    Tokoferol asetat 0,05 0,05

    Aquades Ad.100 Ad. 100

    BahanFormula (% b/b)

  • 49

    parafin cair sebagai fase minyak, setil alkohol sebagai peningkat viskositas yang

    dapat memperbaiki konsentrasi sediaan krim yang dibuat. Metil paraben dan

    propil paraben digunakan sebagai pengawet, dimana metil paraben memiliki

    aktivitas lebih pada kelompok jamur sedangkan propil paraben lebih untuk

    kelompok bakteri, sehingga kombinasi keduanya memberikan perlindungan

    terhadap kedua kelompok mikroorganisme tersebut. Tokoferol sebagai

    antioksidan untuk mencegah terjadinya reaksi oksidasi pada fasa minyak yang

    dapat menimbulkan adanya ketengikan. Gliserin digunakan sebagai humektan

    yang berfungsi untuk melembabkan kulit.

    Setelah membuat sediaan krim tabir surya kemudian dilakukan evaluasi

    stabilitas terhadap sediaan tersebut. Evaluasi yang dilakukan untuk melihat

    stabilitas sediaan adalah uji stabilitas dipercepat. Uji ini dilakukan dengan cara

    menyimpan sediaan pada suhu 40C selama 28 hari. Sediaan uji dievaluasi

    meliputi organoleptik, pH, dan viskositas pada hari ke- 1, 7, 14, 21, dan 28.

    Evaluasi organoleptik dilakukan untuk mengamati adanya ketidakstabilan sediaan

    secara visual yang ditandai dengan perubahan warna, bau, dan penampilan. Hasil

    evaluasi dapat dilihat pada Tabel V.9

    Tabel V.9 Hasil evaluasi organoleptis formula M1

    1 7 14 21 28

    Bau Khas Khas Khas Khas Khas

    Warna Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat

    Penampilan Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen

    Hari ke M1

  • 50

    Tabel V.10 Hasil evaluasi organoleptis formula P1

    Keterangan : : pemisahan dua fase

    Berdasarkan Tabel V.9 diperoleh hasil pengujian organoleptik sediaan

    krim tabir surya formula M1 dari hari ke-1 sampai hari ke-28 menunjukan sediaan

    yang stabil dan tetap homogen. Sedangkan pada sediaan krim tabir surya formula

    P1 dari hari ke-1 sampai hari ke-14 menunjukan sediaan yang stabil dan homogen,

    namun pada pengujian hari ke-21 sedian krim tabir surya mengalami pemisahan

    dua fasa (tidak homogen). Pemisahan ini semakin meningkat seiring dengan

    bertambahnya waktu penyimpanan sediaan. Hal ini disebabkan karena

    ketidakstabilan emulsi yang disebabkan oleh migrasi emulgator ke fase kontinyu

    air eksternal sehingga menyebabkan pecahnya tetesan air dalam. Air kemudian

    bermigrasi ke fase kontinyu air sehingga menyebabkan pemisahan fase dan

    kerusakan emulsi tersebut. Semakin lama waktu penyimpanan, kerusakan emulsi

    semakin meningkat.

    Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH indikator universal dapat

    dilihat pada Tabel V.11 berikut:

    Tabel V.11 Hasil Pengukuran pH

    1 7 14 21 28

    Bau Khas Khas Khas Khas Khas

    Warna Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat

    Penampilan Homogen Homogen Homogen Tidak Homogen Tidak Homogen

    P1Hari ke

    M1 P1

    1 5 5

    7 5 5

    14 5 5

    21 5 5

    28 5 5

    HaripH

  • 51

    Berdasarkan Tabel V.11 sediaan krim tabir surya yang telah dibuat

    memiliki pH yang stabil yaitu 5. pH ini masih berada dalam rentang pH yang

    diperbolehkan untuk digunakan pada kulit karena kulit manusia memiliki pH

    fisiologis berkisar antara 4,5 sampai 6,5. Jika terlalu asam akan menyebabkan

    iritasi pada kulit, dan jika terlalu basa akan menyebabkan gatal-gatal pada kulit

    dan kulit menjadi bersisik. Karena itu seharusnya pH kosmetik diusahakan sama

    atau sedekat mungkin dengan pH fisiologis kulit yaitu antara 4,5 6,5 demikian

    dapat disebut sediaan dengan pH balanced (Tranggono, 2007: 78).

    Selanjutnya dilakukan evaluasi viskositas sediaan, Evaluasi viskositas

    dilakukan untuk mengetahui konsistensi krim dan kestabilan sediaan terhadap

    penyimpanan pada suhu tinggi. Hasil evaluasi dapat dilihat pada Tabel V.12

    berikut:

    Tabel V.12 Hasil evaluasi viskositas sediaan

    Berdasarkan hasil uji statistika, diketahui bahwa terdapat perbedaan

    bermakna antara nilai viskositas awal dan viskositas akhir dalam sediaan dapat

    dilihat pada (Lampiran 8). Viskositas semakin menurun seiring dengan lama

    penyimpanan, hal ini disebabkan karena penurunan viskositas berhubungan

    dengan pemisahan fase. Pemisahan emulsi secara sempurna terjadi karena

    M1 P1

    1 3400 2193.171 3216.67 1075.097

    7 3433.33 680.685 2833.3 1154.701

    14 3633.33 550.757 2833.3 2179.449

    21 4090 332.916 2600 1012.834

    28 3666.67 288.675 2350 360.555

    Viskositas cPHari ke-

  • 52

    pembentukan tetesan yang lebih besar dengan penggabungan dari tetesan yang

    kecil.

    Beberapa dari pelarut dapat lepas, sehingga menyebabkan penurunan

    konsentrasi efektif dan penurunan ukuran molekul-molekul yang terdispersi. Hal

    tersebut dapat menyebabkan penurunan viskositas emulsi. Sedangkan viskositas

    menjadi naik akibat terjadinya ikatan Van der waals antar molekul emulsi seiring

    bertambahnya waktu penyimpanan. Viskositas dapat mempengaruhi stabilitas

    fisik jika terjadi perubahan yang drastis. Jika fase dispersi kurang rapat

    dibandingkan fase kontinyu menyebabkan creaming ke atas (Martin, 1993), yang

    berarti jika viskositas turun maka molekul-molekul pada sediaan (fase dispersi)

    menjadi kurang rapat dan dapat menurunkan stabilitas fisiknya karena bisa

    menyebabkan molekul-molekul ataupun globul emuls