perilaku kekerasan
TRANSCRIPT
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Umumnya klien dengan Perilaku Kekerasan dibawa dengan paksa ke Rumah sakit Jiwa.
Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi disertai bentakan dan pengawalan oleh
sejumlah anggota keluarga bahkan polisi. Perilaku kekerasan seperti memukul anggota
keluarga/orang lain, merusak alat rumah tangga dan marah-marah merupakan alasan utama
yang paling banyak dikemukakan oleh keluarga. Penanganan oleh keluarga belum memadai,
keluarga seharusnya mendapatkan pendidikan kesehatan tentang merawat klien
(manajemen perilaku kekerasan).
Dalam makalah ini kami akan mencoba untuk memberikan penjelasan dan penatalaksanaan
yang efektif dan aman terhadap pasien dengan perilaku kekerasan demi kesembuhan pasien
dan keluarga pasien.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Megetahui asuhan keperawatan yang efektif dan aman bagi penderita perilaku
kekerasan.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat mengetahui definisi perilaku kekerasan.
b. Dapat mengetahui etiologi, patofisiologi dan manifestasi klinis pada perilaku
kekerasan.
c. Mengetahui cara mengkaji status kesehatan klien berhubungan dengan gangguan
fungsi sistem syaraf meliputi pengkajian bio-psiko-kultural
d. Dapat mengidentifikasi tanda dan gejala pada kasus perilaku kekerasan.
e. Dapat melakukan diagnosa pada perilaku kekerasan.
f. Dapat memberikan intervensi pada perilaku kekerasan
C. Sistematika
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Sistematika
BAB II TINJAUAN TEORI
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN TEORI
I. DEFINISI
1. Pengertian
Marah
Kemarahan adalah suatu perasaaan atau emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap
kecemasan yang meningkat dan dirasakan sebagai ancaman. Perasaan marah yang
konstruktif dapat membuat perasaan lega.
Kemarahan adalah emosi yang normal pada manusia yakni respon emosional yang
kuat dan tidak menyenangkan terhadap suatu provokasi baik nyata maupun yang
dipersepsikan individu (Thomas, 1998). Kemarahan memberikan energi kepada
tubuh secara fisik untuk melakukan pertahanan diri, ketika dibutuhkan melalui
pengaktifan mekanisme respons “fight or flight” pada sistem saraf simpatis.
Walaupun kemarahan merupakan emosi yang normal pada manusia, kemarahan
seringkali dipersepsikan sebagai perasaan negatif. Banyak orang merasa tidak
nyaman mengungkapkan perasaan marahnya secara langsung. Akan tetapi,
kemarahan merupakan reaksi sehat dan normal yang dapat terjadi dalam merespon
situasi atau keadaan yang tidak adil, ketika hak seseorang tidak dihormati atau
ketika harapan individu tidak terpenuhi. Apabila individu dapat mengungkapkan
kemarahannya dengan asertif, penyelesaian masalah atau resolusi konflik dapat
terjadi.
Kemarahan menjadi konsep negatif ketika individu menyangkal atau menekan
perasaan marah atau ketika ia mengungkapkan secara tidak tepat. Menyangkal atau
menekan perasaan marah dapat terjadi jika individu merasa tidak nyaman
mengungkapkan perasaan marahnya. Hal ini dapat menimbulkan masalah fisik
seperti migrein, sakit kepala, ulkus atau penyakit arteri koroner atau masalah
emosional seperti depresi dan harga diri rendah.
Rentang respon marah
Respon adaptif respon maladaptif
Asertif frustasi pasif agresif perilaku kekerasan
Skema 1.1 Rentang respon marah
Perilaku asertif
Merupakan perilaku individu yang mampu atau mengungkapkan rasa marah atau
tidak setuju tanpa menyakiti atau menyalahkan orang lain. Dengan perilaku ini dapat
melegakan perasaan pada individu.
Frustasi
Merupakan respom perilaku individu akibat gagal mencapai tujuan.
Perilaku pasif
Merupakan perilaku individu yang tidak mampu untuk mengungkapkan perasaan
marah yang sedang dialami, dilakukan dengan tujuan menghindari suatu tuntutan
nyata.
Agresif
Merupakan suatu perilaku yang menyertai marah, merupakan dorongan mental
untuk bertindak dan masih terkontrol. Individu yang agresif bertindak dengan tidak
memperdulikan hak orang lain. Bagi individu ini, hidup adalah mean peperangan.
Biasanya individu kurang oercaya diri. Harga dirinya ditingkatkan dengan cara
menguasai orang lain untuk membuktikan kemampuan yang dimilikinya.
Violent (amuk)
Adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat dan disertai kehilangan kontrol yang
dapat merusak diri dan lingkungan.
Stres, cemas, harga diri rendah dan rasa bersalah dapat menimbulkan kemarahan
yang dapat mengarah kepada perilaku kekerasan. Respon terhadap marah dapat
diekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal dapat berupa
perilaku kekerasan, sedangkan secara internal dapat berupa depresi dan penyakit
fisik.
Permusuhan
Merupakan emosi yang diungkapkan melalui kata – kata yang melecehkan, tidak
adanya kerjasama, pelanggaran aturan atau norma atau perilaku mengancam yang
juga disebut agresi verbal (Schultz & Videbeck,1998). Permusuhan dapat
diperlihatkan oleh individu yang merasa terancam atau tidak beradaya. Perilaku
permusuhan dilakukan untuk mengintimidasi atau menyakiti orang lain secara
emosional dan dapat menimbulkan agresi fisik.
Agresi fisik
Ialah perilaku menyerang atau melukai orang lain atau mencakup perusakan
properti. Perilaku agresif ditujukan untuk menyakiti atau menghukum orang lain
atau memaksa seseorang untuk patuh.
Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan kata –
kata yang mudah dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain akan
memberikan perasaan puas, menurunkan ketegangan sehingga perasaan marah
dapat teratasi. Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan,
biasanya dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tentunya tidak
akan menyelesaikan masalah, bahkan dapat menimbulkan tingkah laku destruktif,
seperti tindakan kekerasan yang ditujukan kepada orang lain maupun lingkungan.
Perilaku yang tidak asertif seperti menekan perasaan marah dilakukan individu
karena merasa tidak kuat. Individu akan berpura pura tidak marah atau melarikan
diri dari rasa marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian
akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu saat dapat
menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri.
Perasaan kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis.
a. Kekerasan adalah kekuatan fisik yang digunakan untuk menyerang atau
merusak orang lain. Tindakan ini merupakan tindakan yang tidak adil dan sering
mengakibatkan cedera fisik
b. Penganiayaan adalah tindakan sengaja yang menyebabkan cedera fisik,
penderitaan jiwa atau keduanya
c. Kekerasan domestik (kekerasan dalam keluarga) adalah pola perilaku
mengancam atau memaksakan dari satu anggota keluarga (atau orang dekat)
pada anggota keluarga yang lain. Perilaku tersebut meliputi penganiayaan fisik,
pengabaian, penganiayaan psikologis, penganiayaan ekonomi dan penganiayaan
seksual
d. Penyiksa atau pelaku penyiksa adalah orang yang menciptakan kekerasan atau
menyiksa orang lain dan korban adalah orang yang menjadi kambing hitam,
target atau penerima penganiayaan atau kekerasan
2. Perilaku kekerasan dan penganiayaan
Jenis penganiayaan
a. Penganiayaan fisik meliputi pemukulan, penusukan, penembakan, pembakaran
dan pemerkosaan.
b. Pengabaian dicirikan dengan penghentian atau kegagalan memberikan asuhan
pribadi, kebutuhan pribadi (mis., makanan, air, rumah), kebersihan, perawatan
kesehatan, kontak sosial dan pendidikan serta pengawasan anak – anak.
c. Penganiayaan psikologi meliputi :
1) Serangan verbal dan ancaman bahaya fisik, biasanya untuk mengintimidasi
atau memanipulasi.
2) Sarkasme, penghinaan, merendahkan dan kritik.
3) Pola komunikasi yang tidak konsisten, termasuk menarik diri dan diam.
4) Isolasi korban (mis., mencegah korban berinteraksi dan berkomunikasi
dengan keluarga dan temen – temennya)
5) Pelanggaran hak – hak pribadi, seperti tidak mengijinkan korban
menghubungi keluarga, teman dan orang lain.
d. Penganiayaan ekonomi (ekspoitasi finansial) meliputi :
1) Mencuri uang atau harta korban
2) Menghalangi akses korban atas keuangan pribadinya
3) Penggunaan uang atau harta milik korban secara tidak tepat
e. Penganiayaan seksual adalah aktivitas seksual yang dipaksakan atau dibawah
tekanan, termasuk percakapan atau tindakan yang distimulasi secara seksual,
perabaan atau hubungan seksual yang tidak tepat, perkosaan dan inses (perilaku
seksual antar saudara kandung)
3. Statistik yang relevan
a. Penganiayaan anak
Penganiayaan anak atau perlakuan semena – mena terhadap anak umumnya
didefinisikan sebagai cedera yang sengaja dilakukan terhadap anak dan dapat
mencakup penganiayaan atau cedera fisik, pengabaian atau kegagalan
mencegah bahaya, kegagalanmemberi pengawasan atau perawatan emosional
atau fisik yang adekuat, penelantaran, penyerangan atau intrusi seksual dan
menyiksa secara terbuka atau mencederai (Binnet, 2000)
1) Dalam 3 dari 5 keluarga, seseorang anak dianiaya secara fisik oleh orang
dewasa.
2) Kira – kira 3 juta kasus penganiayaan anak dilaporkan setiap tahunnya dan
diperkirakan terdapat 10 sampai 20 kasus yang tidak dilaporkan untuk setiap
kasus yang dilaporkan.
3) Penganiayaan seksual terhadap anak – anak dialami oleh 33% wanita dan
20% pria yang berusia kurang dari 18 tahun.
4) Beberapa ahli mengatakan bahwa penganiayaan antar saudara kandung
merupakan bentuk kekerasan domestik yang paling banyak terjadi dan tidak
dikenal.
5) Penganiayaan dan pengabaian anak mengakibatkan 2000 sampai 4000
kematian setiap tahunnya di Amerika Serikat (Townsend, 1999)
b. Penganiayaan wanita
1) Sepertiga dari pasangan wanitanya dianiaya oleh pasangan prianya selama
beberapa waktu hubungan mereka.
2) Kekerasan domestik merupakan penyebab 22% sampai 35% wanita
mengunjungi UGD di rumah sakit
3) 23% dari semua wanita hamil yang mencari pelayanan pranatal merupakan
korban penganiayaan
4) Cedera yang terjadi pada wanita lebih banyak terjadi akibat pemukulan
dibandingkan pemerkosaan, penyerangan dan kecelakaan mobil bila
digabungkan (Townsend, 1999)
5) Satu diantara tujuh wanita menikah melaporkan telah diperkosa oleh
suaminya.
Penganiayaan pasangan ialah perlakuan semena – mena atau
penyalahgunaan seseorang oleh orang lain dalam konteks hubungan intim.
Penganiayaan dapat berupa penganiayaan emosional, psikologis, fisik,
seksual atau kombinasi semua tipe tersebut yang umum terjadi (Singer et
al.,1995). Penganiayaan psikologis antara lain, mengejek, meremehkan,
berteriak dan memekik, merusak barang dan mengancam serta bentuk
penganiayaan yang tidak kentara misalnya menolak berbicara dengan
korban atau berpura – pura tidak melihat korban.
Penganiayaan fisik dapat terlihat seperti mendorong korban.
c. Penganiayaan lansia
Adalah perlakuan semena – mena terhadap lansia oelh anggota keluarga atau
orang – orang yang merawat mereka. Penganiayaan tersebut meliputi
penganiayaan fisik dan seksual, penganiayaan psikologis, pengabaian, eksploitasi
finansial, menolak terapi medis yang adekuat. Individu yang menganiaya lansia
hampir selalu merupakan orang yang merawat lansia tersebut atau lansia
bergantung pada mereka dalam beberapa hal. Kebanyakan penganiayaan lansia
terjadi ketika salah satu lansia merawat pasangannya. Tipe penganiayaan
pasangan ini biasanya terjadi selama bertahun – tahun setelah disabilitas
membuat pasangan yang dianiaya tidak mampu merawat dirinya sendiri.
1) 1,5 juta lansia di Amerika mengalami penganiayaan atau pengabaian (Dept.
Of Health & Human Service, 1996)
2) Pasangan suami istri dan anak – anak yang sudah dewasa merupakan pelaku
penganiayaan lansia di rumah. Menurut penelitian, 37% dari kasus
penganiayaan yang dilaporkan dilakukan oleh anak – anak yang sudah
dewasa (wolfe, 1998).
4. Penganiayaan seksual terhadap anak – anak
Meliputi tindakan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa pada anak berusia
kurang dari 18 tahun. Tindakan ini dapat mencakup inses, pemerkosaan dan sodomi
yang dilakukan oleh seseorang atau dengan suatu benda, kontak oral- genital dan
tindakan pencabulan
a. Penganiayaan seksual terhadap anak – anak sangat mempengaruhi
perkembangan, menyebabkan harga diri rendah, membenci diri sendiri, sulit
mempercayai orang lain dan kontrol yang buruk terhadap impuls atau dorongan
agresif.
b. Terdapat korelasi yang tinggi antara penganiayaan seksual di masa kanak –
kanak dan gangguan psikiatrik di masa dewasa (mis., gangguan disosiatif,
gangguan penyalahgunaan zat) (Walker & Scott, 1998)
c. Anak – anak korban penganiayaan seksual sering mengalami gangguan stres
pascatrauma (post – traumatic stress disorder /PTSD).
5. Penyerangan seksual
Dicirikan dengan penggunaan paksa dalam aktifitas seksual apapun yang dilakukan
secara paksa berlawanan dengan kemauan orang tersebut.
a. Ciri – ciri pelaku penyerangan seksual
1) Pelaku penyerangan seksual biasanya adalah laki – laki, berusia antara 25
dan 44 tahun dan menikah atau tinggal bersama sebagai suami isteri pada
waktu melakukan pelanggaran ini.
2) Bila pelaku penyerangan seksual mempunyai riwayat perilaku kriminal pada
umumnya kejahatannya lebih terhadap harta benda dibanding orang lain.
3) Mayoritas pelaku penyerangan seksual tidak memilki riwayat penyakit jiwa
(Townsend, 1999)
b. Korban penyerangan seksual mengalami kekerasan dan ketidakberdayaan yang
sangat mendalam setelah kejadian
1) Efek langsung dapat berupa pola respon yang diekspresikan, yaitu korban
mengekspresikan perasaan takut, marah dan ansietas atau pole respon
terkendali, yaitu mekanisme defensif penyangkalan yang memungkinkan
yang memungkinkan korban menjadi tenang dan sabar.
2) Efek jangka panjang dapat meliputi gejala PTSD, sulit menjalani hubungan
dekat, gangguan depresi dan bahkan bunuh diri
6. Karakteristik kekerasan dalam rumah tangga
Dalam kekerasan keluarga, keluarga yang normalnya merupakan tempat yang aman
dan anggotanya merasa dicintai dan terlindungi dapat menjadi tempat yang paling
berbahaya bagi korban.
Tindak kekerasan dalam keluarga tidak terjadi secara acak, tetapi merupakan siklus
tiga fase yang dapat diprediksi :
a. Pembentukan ketegangan.
Pelaku menyalahkan korban atas masalah kehidupan yang dihadapi
b. Insiden penganiayaan serius
Ketegangan yang dirasakan pelaku bisa diredakan dengan tindakan atau insiden
penganiayaan.
c. Bulan madu
Penyiksa menjadi sangat menyesal dan berjanji bahwa insiden penganiayaan itu
tidak terjadi lagi.
Skema 2.6.1 siklus kekerasan
7. Karakteristik sistem keluarga tempat terjadinya kekerasan
a. Satu anggota atau lebih dalam keluarga sering menjadi titik fokus ansietas
keluarga dan sering disalahkan atas masalah – masalah yang terjadi
b. Peran keluarga bersifat stereotip dengan peran seksual tradisional yang kaku
dan perbedaan kekuasaan yang besar antara kedua orang tua (mis., salah satu
orang tua biasanya laki – laki, merupakan satu – satunya orang yang paling
berkuasa di dalam keluarga, sementara orang tua yang satunya diperlakukan
sebagai anak – anak bukan sebagai mitra yang setara)
c. Hubungan keluarga menekankan kontrol terhadap yang lain.
Anggota keluarga yang melakukan penganiayaan hampir selalu berada dalam
posisi berkuasa dan memiliki kendali terhadap korban, baik korban adalah anak,
pasangan atau lansia. Penganiayaan bukan hanya menggunakan kekuatan fisik
terhadap korban, tetapi juga kontrol ekonomi dan sosial.
Penganiaya seringkali adalah satu –satunya anggota keluarga yang membuat
keputusan, mengeluarkan uang atau diijinkan meluangkan waktu diluar rumah
bersama orang lain. Setiap indikasi ketidakpatuhan atau kemandirian anggota
keluarga baik yang nyata ataupun dibayangkan biasanya menyebabkan
peningkatan perilaku kekerasan (singer et al.,1995).
d. Keluarga tersebut menutup diri dari orang – orang di luar keluarga.
Anggota keluarga ini merahasiakan kekerasan dan sering kali tidak mengundang
orang lain datang ke rumah mereka atau tidak mengatakan kepada orang lain
apa yang terjadi.
Perilaku kekerasan
(ditunjukkan melalui tindakan kekerasan/serangan penganiayaan)
Munculnya ketegangan
(tuduhan, pertengkaran, keluhan, periode penyesalan
Sikap diam) periode bulan madu (penganiaya menyesal dan berjanji bahwa hal itu
tidak akan terjadi lagi,
memberi bunga atau hadiah)
e. Pola komunikasi mengalami disfungsional. Penyangkalan, penghindaran konflik,
pola keterikatan ganda, kasih sayang kondisional dan rasionalisasi penganiayaan
merupakan hal biasa.
8. Wanita sering memilih tetap berada dalam hubungan yang penuh penganiayaan
Sebagian dari alasan mereka, sebagai berikut (Chez, 1994):
a. Merasa tidak ada alternatif lain
b. Takut akan apa yang terjadi jika mereka pergi
c. Ketidakmampuan membiayai diri mereka sendiri dan anak – anak
d. Takut ditolak keluarga dan teman – teman
e. Terikat (mis., secara emosional, finansial) kepada penyiksanya atau karena
kepercayaan agama atau budaya
9. Tanda – tanda fisik penganiayaan
Korban anak – anak Wanita yang dianiaya Korban lansia
Penganiayaan fisik :
Perkembangan
terhambat
Memar
Bilur
Terkilir, dislokasi,
fraktur
Luka bakar akibat
rokok
Luka bakar akibat
cairan panas / api,
terutama yang
berbentuk seperti
kaos kaki atau sarung
tangan akibat dicelup
ke dalam cairan panas
Cedera internal
Cedera dalam
berbagai tahap
penyembuhan
Shaken baby syndrom
Cedera kepala,
bahu dan leher
Mata memar
Cedera selama
kehamilan
Terkilir,
dislokasi, fraktur
Memar, bilur
Bekas luka
berbentuk
benda yang
digunakan untuk
mencederai
Berulang kali
berkunjung ke
fasilitas
pelayanan
kesehatan,
terutama UGD
Keluhan nyeri
Kurang gisi atau
dehidrasi
Bau feses atau
urine
Kotoran, kutu
hewan atau
kutu rambut
pada orang
tersebut
Dikubitus, luka,
ruam kulit
Memar, lecet,
fraktur
Hematoma,
bekas
cengkraman
pada lengan
Berbagai cedera
dalam berbagai
tahap
(misal, perdarahan
intrakranial dan
intraokuler tanpa
trauma kepala yang
jelas)
Kotoran, kutu hewan,
kutu rambut pada
anak
tanpa cedera
jaringan
Berbagai cedera
dalam berbagai
tahap
penyembuhan
penyebuhan
Penganiayaan seksual
Enurisis
Labia dan rectum merah dan bengkak
Vagina sobek
Penyakit menular seksual
Infeksi urinaria kronis
Refleks gag hiperaktif
II. ETIOLOGI
Tidak ada faktor tunggal yang bertanggung jawab atas kekerasan domestik, melainkan
melibatkan berbagai faktor
1. Teori genetik
Genetik kariotip XYX juga terlibat dalam perilaku agresif dan menyimpang.
2. Teori psikobiologi
a. Penelitian menunjukkan bahwa stimulasi sistem limbik dapat menimbulkan
respons agresif dan kekerasan pada manusia.
b. Neurotransmiter, terutama noreprinefrin, dopamin dan serotonin berperean
penting dalam memperlancar dan menghambat agresi. Disregulasi zat – zat
tersebut dianggap berkaitan dnegan kekerasan.
c. Gangguan otak, terutama tumor dalam sistem limbik dan jobus temporalis dapat
menyebabkan seseorang melakukan kekerasan (Johnson, 1997)
3. Teori psikososial dan lingkungan
a. Teori keluarga.
Kekerasan terjadi pada keluarga yang mengalami disfungsional dengan berbagai
permasalahan seperti batasan yang tidak jelas, terperangkapnya individu dan
peran, koping yang buruk terhadap stres dan riwayat penganiayaan
multigenerasi.
b. Teori perilaku – kognitif.
Kekerasan dipelajari dari orang tua yang menggunakan penganiayaan sebagai
metode pendisiplinan. Pelaku penyiksaan mendapat pengetahuan bahwa
kekerasan dan agresi merupakan respon yang dapat diterima dan efektif
terhadap ancaman nyata atau khayalan.
c. Teori sosial budaya.
Perilaku agresif merupakan hasil dari budaya dan struktur sosial seseorang.
4. Beberapa pasien menunjukkan peningkatan terhadap risiko timbulnya perilaku
kekerasan (David A. Tomb,2003) :
a. Sindrom otak organik
Khususnya dengan kebingungan atau berkurangnya pengendalian impuls (misal
demensia, penggunaan obat – obatan pada usia lanjut, hipoglikaemi, infeksi SSP,
anoksia, asidosis metabolik)
b. Penyalahgunaan alkohol dan obat – obatan terutama dengan intoksikasi.
c. Skizoprenia, tipe paranoid dan katatonik.
d. Keadaan psikotik
e. Retardasi mental tertentu
f. Gangguan pemusatan perhatian yang berat dan hyperaktivitas pada usia
dewasa.
III. PENATALAKSANAAN
Pengobatan korban penganiayaan bergantung pada faktor – faktor yang mempengaruhi
klien, seperti jenis penganiayaan yang diderita, adanya cedera fisik, usia dan kondisi fisik
korban, serta keunikan lingkungan keluarga korban itu sendiri.
Petunjuk yang bermanfaat untuk menangani klien yang mengalami penganiayaan atau
trauma :
1. Klien memiliki banyak kekuatan yang mungkin tidak mereka sadarai. Perawat dapat
membantu mereka berubah dari sebagai korban menjadi individu yang bertahan
(survivor)
2. Perawat harus bertanya pada semua wanita tentang penganiayaan. Beberapa
wanita akan tidak senang dan marah, tetapi yang lebih penting adalah tidak
melewatkan kesempatan untuk membantu wanita yang menjawab, “ Ya, dapatkah
anda menolong saya?”
3. Perawat harus meminta klien fokus pada keadaan saat ini, bukan terus memikirkan
hal – hal menakutkan yang terjadi di masa lalu.
4. Biasanya perawat paling baik menangani individu yang bertahan dari penganiayaan
atau penganiaya itu sendiri. Kebanyakan perawat merasa terlalu sulit secara
emosional untuk menangani kedua kelompok tersebut.
IV. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Faktor Predisposisi
a. Biologis
Dalam otak system limbik berfungsi sebagai regulator/pengtur perilaku. Adanya lesi
pada hipotalamus dan amigdala dapat mengurang atau meningkatkan perilaku
agresif. Perangsangan pada system neurofisilogis dapat menimbulkan respon-respon
emosional dan ledakan agresif. Penurunan norepinefrin dapat menstimulasi perilku
agresif misalnya pada peningkatan kadar hormon testoteron atau progesteron.
Pengaturan perilaku agresif adalah dengan mengatur jumlah metabolisme biogenik
amino-norepinetrin.
b. Pisikologis
Menurut Lorenz, agresif adalah pembawaan individu sejak lahir sebagai respon
terhadap stimulus yang diterima. Respon tersebut berupa pertengkaran atau
permusuhan. Gangguan ekspresi marah disebabkan karena ketidakmampuan
menyelesaikan agresif yang menyebabkan individu berperilaku destruktif.
Sedangkan Freud menyatakan bahwa sejak dilahirkan individu akan mengalami
ancaman yang perlu diekpresikan. Perilku destruktif terjadi apabila ancaman
tersebut menguasai individu. Menurut Freud, agresi berasal dari rasa frustasi akibat
ketidakmampuan individu mencapai tujuan. Bila individu tidak mampu
mengekpresikan perasaannya individu akan marah pada dirinya. Frustasi dirasakan
sebagai ancaman yang menimbulkan kecemasan sehingga individu merasa harga
dirinya terganggu. Konflik juga merupakan ancaman bagi individu yang dapat
mencetuskan perilaku agresif. Persepsi yang salah terhadap konflik yang terjadi
dapat membuat individu menjadi agresif. Teori eksistensi yang dikemukakan oleh
Fromm menyatakan bahwa tingkah laku individu didasarkan pada kebutuhan hidup.
Bila tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara konstruktif individu
akan berperilaku agresif. Perilaku destruktif juga dapat disebabkan oleh kegagalan
mendapatkan eksistensi akibat kondisi sosial yang tidak sejalan dengan niat alasan
individu.
c. Sosialkultural
Norma-norma kulturul dapat digunakan untuk membantu memahami ekspresi
agresif individu. Teori lingkungan sosial mengemukakan bahwa norma yang
memperkuat perilakunya disebabkan oleh ekspresi marah yang pernah dialami
sebelumnya. Menurut Madden, orang-orang yang pernah memiliki riwayat ditipu
cendrung mudah marah; yang disebut “Acting Out” terhadap marah. Bila
privacy/pribadi terganggu oleh kondisi sosial maka responnya berupa agresif/amuk.
Teori belajar sosial menurut Robert; yang disempurnakan oleh Miller dan Dollar,
mengemukakan bahwa tingkah laku agresif dipelajari sebagai bagian dari proses
sosial. Agresif dipelajari dengan cara imitasi terhadap pengalaman langsung. Pola
subkultural cendrung menyebabkan imitasi tingkah laku agresi yang mengarah pada
amuk. Ahli teori sosial berpendapat bahwa komponen biologi tingkah laku agresif
berhubungan dengan aspek-aspek psikososial.
2. Stressor Presipitasi
a. Ancaman terhadap fisik: pemukulan, penyakit fisik.
b. Ancaman terhadap konsep diri: frustasi, harga diri rendah.
c. Ancaman eksternal: serangan fisik,kehilangan orang/benda berarti.
d. Ancaman internal: kegagalan, kehilangan perhatian.
3. Mekanisme Koping
Denial, mekanisme pertahanaan ini cendrung meningkatkan marah seseorang
karena sering digunakan untuk mempertahankan harga diri akibat
ketidakmampuannya.
Sublimasi, adalah dengan mengalihkaan rasa marah pada aktifitas lainnya.
Proyeksi, juga cendrung meningkatkan ekspresi marah karena individu berusaha
mengekpresikan marahnya terhadap orang/benda tanpa dihalangi.
Formasi, adalah perilaku pasif-agresif karena perasaannya tidak dikeluarkan
akibat ketidakmampuannya mengekspresikan kemarahannya atau memodifikasi
perilakunya. Pada saat-saat tertentu individu dapat menjadi agresif secara tiba-
tiba.
Represi, merupakan mekanisme pertahanan yang dapat menimbulkan
permusuhan yang tidak disadari sehingga individu bersifat eksploaitatif,
manipulatif, dan ekspresi lainnya yang mudah berubah.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko perilaku kekerasan : terhadap diri sendiri atau terhadap orang lain
2. Ketidak efektifan koping individu
C. Tujuan tindakan keperawatan
Tujuan umum : klien dapat mengontrol perilakunya dan adpat mengungkapkan
kemarahannya secara kontruktif
Tujuan khusus :
1. Klien dapat mengidentifikasi penyebab dan tanda-tanda perilaku kekerasan
2. Klien mampu memilih cara yang konstruktif dalam berespon
3. Klien mampu mendemonstrasikan perilaku yang terkontrol
4. Klien memperoleh dukungan keluarga daam mengontrol perilaku dan menggunakan
obat yang benar
D. Intervensi dan implementasi
Diagnosis : Resiko perilaku kekerasan : terhadap diri sendiri atau terhadap
orang lain.
Faktor resiko :
1. Acting out perilaku kekerasan fisik yang aktual atau potensial
2. Perusakan barang-barang
3. Gagasan membunuh atau bunuh diri
4. Bahaya fisik terhadap diri sendiri atau orang lain
5. Riwayat perilaku menyerang atau ditangkap
6. Gangguan pikiran
7. Agitasi atau gelisah
8. Tidak memiliki kontrol impuls
9. Waham halusinasi atau gejala psikotik lain
10. Penggunaan zat.
Kriteria hasil : klien akan :
1. Tidak membahayakan orang lain atau merusak barang
2. Mengurangi perilaku acting out
3. Mengalami penurunan agitasi atau gelisah
4. Mengalami penurunan rasa takut, cemas atau bermusuhan yang berkurang
5. Memperlihatkan kemampuan untuk melatih pengendalian internal terhadap perilakunya
6. Mengidentifikasi cara untuk mengatasi ketegangan dan perasaan yang agresif dengan
cara yang dekstruktif
7. Mengungkapkan perasaan cemas, takut dan marah atau bermusuhan secara verbal atau
dengan cara yang tidak dekstruktif.
Intervensi :
1. Bina hubungan saling percaya segera mungkin, idealnya sebelum perilaku agresif terlihat
R : dengan mengenal dan percaya pada anggota dan staff dapat mengurangi rasa takut
klien dan memfasilitasi komunikasi
2. Sadari faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya perilaku kekerasan atau
menandakan peningkatan agitasi. Gunakan komunikasi verbal atau obat PRN untuk
mengintervensi sebelum perilaku klien menjadi dekstruktif atau menjadi perilaku
kekerasan sehingga restrei fisik diperlukan
R : periode munculnya ketegangan seringkali mendahului perilaku kekerasan atau acting
out tetapi klien yang mabuk atau psikotik dapat melakukan perilaku kekerasan tanpa
peringatan
3. Kurangi stimulasi lingkungan seperti mematikan radio atau televisi atau mengurangi
voumenya
R : apabila klien merasa terancam ia dapat mengganggap stimulus sebagai suatu
ancaman. Klien tidak dapat menghadapi stimulus yang berlebih ketika mengalami agitasi
4. Yakinkan klien dengan tenang dan menghormati bahwa akan mengendalikan klien jika
ia tidapat mengendalikan dirinya, tetapi tidak mengancam klien
R : klien mungkin takut kehilangan kendali dan perlu diyakinkan bahwa jika hal itu terjadi
perawat akan mengendalikan klien.
5. Jangan menggunakan restrain fisik atau teknik fisik tanpa alasan yang cukup
R : klien memiliki hak untuk sesedikit mungkin restriksi dalam batas keamanan dan
pencegahan perilaku destruktif
6. Tetap menjaga jarak terhadap tubuh klien atau teritorial klien.
R : individu yang berpotensi melakukakn kekerasan memiliki zona jarak tubuh yang jauh
lebih besar daripada zona orang lain.
7. Bicara dengan klien dengan suara yang tenang dan pelan
R : menggunakan suara pelan dapat membantu menenangkan klien atau mencegah
peningkatan agitasi
8. Jangan memukul klien
R : keamanan fisik klien merupakan prioritas
9. Tetap sadari perasaan klien, martabat serta hak-haknya
R : klien adalah individu yang berharga tanpa memperhatikan perilakunya yang tidak
dapat diterima
10. Observasi klien dengan cermat, lengkapi catatan dan laporan dengan cepat sesuai
kebijakan rumah sakit atau unit
R : pencatatan informasi yang akurat adalah sangat penting.
Diagnosa : ketidak efektifan koping individu
Faktor resiko :
1. Tidak mampu melakukan koping
2. Tidak mampu menyelesaikan masalah
3. Kesulitan dalam hubungan interpersonal
4. Tidak memiliki rasa percaya
5. Perilaku deksrtuktif, merasa bersalah
6. Takut, cemas, menarik diri atau perilaku menarik diri
7. Perilaku manipulatif, isolasi sosial
Kriteria hasil : klien akan :
1. Mengkspresikan perasaan tidk berdaya, takut, marah, perasaan bersalah, cemas dan
sebagainya
2. Memperlihatkan berkurangnya perilaku menarik diri, depresi atau cemas
3. Memperlihatkan penurunan gejala terkait stress
4. Mengidentifikasi sistem pendukung di luar rumah sakit.
Intervensi :
1. Luangkan waktu dengan klien dan dorong klien mengekspresikan perasaannya.
R : situasi yang abusive menimbulkan berbagai perasaan yang perlu klien ekspresikan.
2. Beri pilihan kepada klien sebanyak mungkin, susun beberapa aktiviatas sesuai tingkat
pencapaian klien saat ini untuk memberi pengalaman yang berhasil
R : memberikan pilihan kepada klien menunjukkan bahwa klien memiliki hak untuk
membuat pilihan dan mampu melakukannya
3. Gunakan teknik bermain peran dan terapi kelompok untuk menggali dan menguatkan
perilaku yang efektif
R : klien dapat mencoba perilaku baru atau perilaku yang tidak biasanya dalam
lingkungan yang tidak mengancam ddan suportif.
4. Ajarkan ketrampilan koping dan ketrampilan menyelesaikan masalah kepada klien.
R : klien perlu mempelajari ketrampilan yang efektif dan membuat keputusannya
sendiri.
5. Dorong klien untuk berinteraksi dengan klien lain, dan anggota staff serta membina
hubungan dengan orang lain di luar rumah sakit
R : klien dalam hubunga abusive sering kali dikucilkan oleh masyarakat dan tidak
memiliki ketrampilan sosial atau rasa percaya diri
6. Bantu klien mengidentifikasi dan menghubungi sistem pendukung. Berikan informasi
tertulis kepada klien terutama jika ia memilih untuk kembali ke situasi abusive
R : klien dalam hubungan abusive seringkali dikucilkan dan tidak menyadari dukungan
atau sumber-sumber yang tersedia.
Prinsip yang perlu di perhatikan pada pengelolaan klien perilaku kekerasan adalah sebagai
berikut :
1. Seluruh staf sebaiknya diberi latihan khusus mengenai pencegahan dan pengelolaan
klien perilaku kekerasan termasuk bermain peran untuk memberikan intervensi
keperawatan
2. Pada pasien dengan kehilangan kendali secara akut, tangani segera dengan
pengekangan fisik. Untuk memberikan tindakan pengamanan staf sebaiknya dilakukan
secara kompak, tidak dibenarkan menghadapi klien perilaku kekerasan seorang diri
3. Berikan informasi atas tindakan yang akan di lakukan dan pemberian obat
4. Staf sebaiknya harus dapat melindungi bagian tubuh yang vital dari upaya perlukaan
5. Setelah situasi dapat ditangani, segera mungkin staf mendiskusikan insiden yang terjadi.
6. Setelah klien tenang dan dapat mengontrol perilakunya, berikan kesempatan untuk
mengekspresikan perasaanya
7. Berikan penguatan positif apabila klien dapat mengekspresikan perasaannya.
E. Evaluasi
Pada Klien:
1. Klien mampu menggunakan cara yang sehat jika kesal/jengkel (fisik, verbal, sosial,
spiritual)
2. Klien tidak melakukan perilaku kekerasan .
3. Klien menggunakan obat dengan benar.
4. Klien mampu melakukan kegiatan sehari-hari
Pada keluarga:
1. Keluarga mampu merawat klien.
2. Keluarga mengetahui kegiataan yang perlu klien lakukan dirumah (boleh diluar
jadwal).
3. Keluarga mengetahui cara pemberian obat dengan benar dan waktu follow-up.
Asuhan Keperawatan pada pasien dnegan perilaku kekerasan (RSJ Cimahi, Provinsi Jawa
Barat)
DK Perencanaan
Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi
Perilaku
kekerasa
n
Pasien mampu :
- Mengidentifikasi
penyebab dan
tanda perilaku
kekerasan
- Menyebutkan
jenis perilkau
kekerasan yang
pernah dilakukan
- Menyebutkan
akibat dari
perilaku
kekerasan yang
dilakukan
- Menyebutkan
cara mengontrol
perilaku
kekerasan
- Mengontrol
perilaku
kekerasannya
secara fisik :
1. Fisik
2. Sosial/verbal
3. Spiritual
4. Therapi
psikofarmaka
(patah obat)
Setelah...pertemuan
pasien mampu :
- Menyebutkan
penyebab, tanda,
gejala dan akibat
perilaku
kekerasan
- Memperagakan
cara fisik 1 untuk
mengontrol
perilaku
kekerasan
SP.1 (tgl......)
- Identifikasi
penyebab, tanda
dan gejala serta
akibat perilaku
kekerasan
- Latihan cara fisik
1
- Tarik napas
dalam
- Masukkan dalam
jadwal harian
pasien
Setelah pertemuan
pasien mampu :
- Menyebutkan
kegiatan yang
sudah dilakukan
- Memperagakan
cara fisik untuk
mengontrol
perilaku
kekerasan
SP.2 (tgl.....)
- Evaluasi kegiatan
yang lalu (SP.1)
- Latih cara fisik 2 :
- Pukul
kasur/bantal
- Masukkan dalam
jadual harian
pasien
Setelah... pertemuan
pasien mampu :
- Menyebutkan
kegiatan yang
sudah dilakukan
- Mempergunakan
cara sosial /
verbal untuk
mengontrol
perilaku
kekerasan
SP.3 ( tgl.....)
- Evaluasi kegiatan
yang lalu (SP1
dan SP 2)
- Latih secara
sosial/verbal
- Menolak dengan
baik
- Meminta dengan
baik
- Mengungkapkan
dengan baik
- Masukkan dalam
jadual harian
pasien
Setelah...pertemuan
pasien mampu :
- Menyebutkan
kegiatan yang
sudah dilakukan
- Memperagakan
cara spiritual
SP.4 (tgl....)
- Evaluasi kegiatan
yang lalu (SP1, 2
dan SP 3)
- Latih secara
spiritual :
- Berdoa
- Sholat
- Masukkan dalam
jadual harian
pasien
Setelah....pertemuan
pasien mampu :
- Menyebutkan
kegiatan yang
sudah dilakukan
- Memperagakan
cara patuh obat
SP. 5 (tgl....)
- Evaluasi kegiatan
yang lalu
(SP.1,2,3 dan
SP4)
- Latih patuh obat
- Meminum obat
secara teratur
dengan prinsip
5B
- Susun jadual
minum obat
secara teratur
- Masukkan jadual
harian pasien
Keluarga mampu
merawat pasien dirumah
Setelah .....petemuan
keluarga mampu :
- Menjelasakan
penyebab,
tanda / gejala,
akibat serta
mampu
memperagakan
cara merawat
SP.1 (tgl....)
- Identifikasi
masalah yang
dirasakan
keluarga dalam
merawat pasien
- Jelaskan tentang
P-K dari :
- - penyebab
- Akibat
- Cara merawat
- Latih 2 cara
merawat
- RTL keluarga /
jadual untuk
merawat pasien
Setelah ...pertemuan
keluarga mampu :
- Menyebutkan
kegiatan yang
sudah dilakukan
dan mampu
merawat serta
dapat membuat
RTL
SP.2 (tgl....)
- Evaluasi SP.1
- Latih (simulasi) 2
cara lain untuk
merawat pasien
- Latih langsung ke
pasien
- RTL kelg/jadual
keluarga untuk
merawat pasien
Setelah...pertemuan,
keluarga mampu :
- Menyebutkan
kegiatan yang
sudah dilakukan
dan mampu
merawat serta
dapat membuat
RTL
SP.3 (tgl....)
- Evaluasi SP1 dan
2
- Latih langsung ke
pasien
- RTL keluarga /
jadual keluarga
untuk merawat
pasien
Setelah... pertemuan,
keluarga mampu :
- Melaksanakan
follow up dan
rujukan serta
mampu
menyebutkan
kegiatan yang
sudah dilakukan
SP.4 (tgl.....)
- Evaluasi SP.1, 2
dan 3
- Latih langsung ke
pasien :
- - RTL keluarga :
- Follow Up
- Rujukan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kemarahan adalah suatu perasaaan atau emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap
kecemasan yang meningkat dan dirasakan sebagai ancaman. Perasaan marah yang
konstruktif dapat membuat perasaan lega.
Kemarahan adalah emosi yang normal pada manusia yakni respon emosional yang
kuat dan tidak menyenangkan terhadap suatu provokasi baik nyata maupun yang
dipersepsikan individu (Thomas, 1998). Kemarahan memberikan energi kepada
tubuh secara fisik untuk melakukan pertahanan diri, ketika dibutuhkan melalui
pengaktifan mekanisme respons “fight or flight” pada sistem saraf simpatis.
Walaupun kemarahan merupakan emosi yang normal pada manusia, kemarahan
seringkali dipersepsikan sebagai perasaan negatif. Banyak orang merasa tidak
nyaman mengungkapkan perasaan marahnya secara langsung. Kemarahan menjadi
konsep negatif ketika individu menyangkal atau menekan perasaan marah atau
ketika ia mengungkapkan secara tidak tepat. Menyangkal atau menekan perasaan
marah dapat terjadi jika individu merasa tidak nyaman mengungkapkan perasaan
marahnya. Hal ini dapat menimbulkan masalah fisik seperti migrein, sakit kepala,
ulkus atau penyakit arteri koroner atau masalah emosional seperti depresi dan harga
diri rendah. Menurut Lorenz, agresif adalah pembawaan individu sejak lahir sebagai
respon terhadap stimulus yang diterima. Respon tersebut berupa pertengkaran atau
permusuhan. Gangguan ekspresi marah disebabkan karena ketidakmampuan
menyelesaikan agresif yang menyebabkan individu berperilaku destruktif. Bila
individu tidak mampu mengekpresikan perasaannya individu akan marah pada
dirinya. Frustasi dirasakan sebagai ancaman yang menimbulkan kecemasan sehingga
individu merasa harga dirinya terganggu. Konflik juga merupakan ancaman bagi
individu yang dapat mencetuskan perilaku agresif. Persepsi yang salah terhadap
konflik yang terjadi dapat membuat individu menjadi agresif.
Prinsip yang perlu di perhatikan pada pengelolaan klien perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut :
8. Seluruh staf sebaiknya diberi latihan khusus mengenai pencegahan dan pengelolaan
klien perilaku kekerasan termasuk bermain peran untuk memberikan intervensi
keperawatan
9. Pada pasien dengan kehilangan kendali secara akut, tangani segera dengan
pengekangan fisik. Untuk memberikan tindakan pengamanan staf sebaiknya dilakukan
secara kompak, tidak dibenarkan menghadapi klien perilaku kekerasan seorang diri
10. Berikan informasi atas tindakan yang akan di lakukan dan pemberian obat
11. Staf sebaiknya harus dapat melindungi bagian tubuh yang vital dari upaya perlukaan
12. Setelah situasi dapat ditangani, segera mungkin staf mendiskusikan insiden yang terjadi.
13. Setelah klien tenang dan dapat mengontrol perilakunya, berikan kesempatan untuk
mengekspresikan perasaanya
14. Berikan penguatan positif apabila klien dapat mengekspresikan perasaannya.
Referensi
Issacs, Ann, 2005, Keperawatan Kesehatan Jiwa & psikiatrik, edisi 3, Jakarta : EGC
Riyadi S, Teguh Purwanto, 2009, Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta : Graha Ilmu
L. Videbeck, Sheila, 2008, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, Jakarta : EGC