peran notaris dalam perjanjian kredit pada pt. bank...
TRANSCRIPT
PERAN NOTARIS DALAM
PERJANJIAN KREDIT PADA PT. BANK PEMBANGUNAN
DAERAH (BPD) BALI
I KOMANG SUWIRYA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASAR
2013
LEMBAR PENGESAHAN
PERAN NOTARIS DALAM PERJANJIAN KREDIT PADA PT. BANK PEMBANGUNAN
DAERAH (BPD) BALI
Diajukan dan disusun oleh: I KOMANG SUWIRYA
P3600211072
Menyetujui: Komisi Penasihat
Ketua Anggota
Prof.Dr. Juajir Sumardi, S.H.,M.H. DR. Oky Deviany,S.H.,M.H. NIP. 19631028 199002 1 001 NIP. 19650906 199002 2 001
Mengetahui: Ketua Program Studi Magister Kenotariatan
Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H.,M.Si. NIP. 19600621 198601 2 001
PERNYATAAN
Nama : I Komang Suwirya
NIM : P3600211072
Menyatakan dengan sesungguhya bahwa tesis yang berjudul
“PERAN NOTARIS DALAM PERJANJIAN KREDIT PADA PT. BANK
PEMBANGUNAN DAERAH (BPD) BALI”, adalah benar-benar karya
saya sendiri. Hal yang bukan karya saya, dalam tesisi tersebut diberi
tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya di atas tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa
pencabutan tesis dan gelar yang telah saya peroleh dari tesis tersebut.
Makassar, Mei 2013
Yang membuat
pernyataan,
I Komang Suwirya
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta kesehatan
sehingga Tesis yang berjudul “Peran Notaris Dalam Perjanjian Kredit
Pada PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali“ .
Dalam penyusunan laporan ini, penulis telah banyak menerima
dukungan serta bantuan yang tak terhingga dari berbagai pihak, oleh
karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi, Sp.BO., selaku Rektor Universitas
Hasanuddin yang telah memberikan saya kesempatan
menuntut ilmu di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
2. Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.H., D.F.M selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, beserta Wakil Dekan I, Prof.
Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H., Wakil Dekan II, Dr. Anshori,
S.H., M.H., Wakil Dekan III, Romi Librayanto, S.H., M.H.
3. Prof. Dr. Juajir Sumardi, S.H., M.H. selaku Pembimbing I atas
ketulusan hati dan kesabarannya dalam membimbing,
mendukung dan mengarahkan penulis.
4. DR. Oky Deviany, S.H., M.H. selaku Pembimbing II atas diskusi-
diskusinya dan memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang
belum jelas dalam penulisan tesis ini.
5. Prof. Dr. Irwansyah, SH., M.H selaku Penguji yang telah banyak
memberikan masukan-masukan dan memberikan penjelasan
mengenai hal-hal yang belum jelas dalam penulisan tesis ini.
6. Dr. Hasbir, SH., M.H selaku Penguji yang telah banyak
memberikan masukan-masukan dan penjelasan mengenai hal-
hal yang belum jelas dalam penulisan tesis ini.
7. Dr. I Nyoman Putu Budiarta, SH.,M.H selaku Penguji yang telah
banyak memberikan masukan-masukan dan penjelasan
mengenai hal-hal yang belum jelas dalam penulisan tesis ini.
8. Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H.,M.Si. selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Universitas Hasanuddin.
9. Kahar Lahae.,SH.,MH yang sudah memberikan banyak
masukan untuk perbaikan tesis ini dan menunjukkan berbagai
kesalahan didalamnya.
10. Pengelola, Dosen Pengajar dan staf sekretariat Magister
Kenotariatan di Universitas Hasanuddin, yang telah banyak
membantu penulis selama mengikuti perkuliahan;
11. Pengelola, Dosen Pengajar dan staf sekretariat di Universitas
Warmadewa, yang telah banyak membantu penulis selama
mengikuti perkuliahan;
12. PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali yang telah
memberikan ijin penulis untuk melakukan penelitian.
13. Bapak I Nyoman Sudarma.,SH.,MH selaku Kepala Divisi Kredit
PT. Bank (BPD) Bali yang telah banyak membantu penulis
selama penelitian.
14. Ibu Wayan Suciati,S.E selaku Kepala Pengembangan Produk
dan Administrasi PT. Bank BPD Bali atas segala waktu dan
informasinya.
15. Ibu I Gusti Ayu Citrawati,S.E selaku Kepala Retil, Mikro Dan
Konsumtif atas segala waktu dan informasinya.
16. Bapak Made Arnaja.,SH selaku notaris yang kerjasama dengan
Bank BPD Bali atas segala waktu dan informasinya.
17. I Gst Suryawan.,SH.,MH selaku Ketua Program Kenotariatan di
Universitas warmadewa atas dukungannya secara moril.
18. I Kadek Sudarmawan, S.T., S.H. atas segala dukungannya
selama perkuliahan baik secara materi dan moril.
19. Temen-temen di Program Kenotariatan yang tidak henti-
hentinya memberikan motivasi selama perkuliahan.
20. Keluarga besar, Kakak, Adik, Bapak dan Ibu Mertua, Istri dan
Anak-anak yang kukasihi yang turut memotivasi penulis untuk
segera menyelesaikan tesisnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih
terdapat banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh karena itu
dengan rendah hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak.
Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi semua pihak yang berkepentingan dengan tesis ini.
Denpasar, April 2013
Penulis
ABSTRAK
I KOMANG SUWIRYA, Peran Notaris Dalam Perjanjian Kredit Pada PT.
Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali Dibimbing oleh Juajir Sumardi
dan Oky Deviany)
Akta otentik adalah suatu akta yang di buat dalam bentuk yang
ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat
umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.
Beberapa tujuan dari penelitian ini adalah pertama untuk mengetahui
manfaat perjanjian kedit dengan akta notariil jika bandingkan dengan akta
di bawah tangan, kedua untuk menganalisa perjanjian baku dalam
perjanjian kredit perbankan kaitannya dengan asas kebebasan
berkontrak, ketiga untuk mengetahui apakah perjanjian kredit antara
debitor dan Bank BPD Bali di buat atas dasar sepakat (konsensualisme)
dan keempat untuk mengetahui faktor apakah yang mempengaruhi
penggunaan jasa notaris di BPD Bali.
Metode penelitian yang di gunakan adalah melalui metode
pendekatan perundang-undangan dan empiris, dengan menggunakan
data primer dan data sekunder.
Perjanjian kredit yang di buat secara baku, namun tidak bertentangan
dengan aturan yang di larang dalam pasal 18 undang-undang nomor 8
tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, karena format baku hanya
merupakan format pokok dari perjanjian kredit perbankan dan masih di
mungkinkan adanya negosiasi. Bahwa perjanjian kredit antara debitor
dengan PT. Bank Pembangunan Daerah(BPD) Bali di bentuk atas dasar
kesepakatan (konsensualisme).
Kata kunci :Perjanjian Kredit dan Akta Otentik.
ABSTRACT
I KOMANG SUWIRYA, Notary Role In Credit Agreement at PT. Regional
Development Bank (BPD) Bali Guided by Juajir Sumardi and Oky Deviany
Authentic deed is a deed that is made in the form prescribed by the
Act, made by a public official or before the ruling to the place where the
deed made.
Some of the objectives of this study is the first to determine the
benefits extend credit agreement with a deed notarized if compared with
the deed under hand, both to analyze raw deal in terms of bank credit
agreement with the principle of freedom of contract, the third to determine
whether the loan agreement between the debtor and the Bank BPD Bali
made on the basis of agreed (consensualism) and the fourth to determine
whether the factors that influence the use of services of a notary in BPD
Bali.
The research method used is through a statutory approach and
empirical, using primary data and secondary data.
Credit agreements that are made by default, but not against the rules
prohibited in Article 18 of Law No 8 of 1999 on the protection of
consumers, because the raw format is the only format of the principal bank
credit agreement and is still in the possible existence of negotiations. That
the loan agreement between the debtor with PT. Regional Development
Bank (BPD) Bali in the form on the basis of an agreement (consensualism)
Keywords: Loan Agreement and Aauthentic Deed.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... ii
PERNYATAAN ..................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................ iv
ABSTRAK ............................................................................................ vi
DAFTAR ISI .......................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ............................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ........................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Notaris ...................................... 9
1. Notaris Sebagai Pejabat Umum .................................... 9
2. Kewenangan, Kewajiban Dan Larangan Dalam Kode
Etik Notaris(Pasal 15, 16, 17) ....................................... 12
3. Sanksi-Sanksi Bagi Pelanggar Ketentuan Undang-
Undang Jabatan Notaris Dan Kode Etik ....................... 20
B. Hubungan Notaris dengan Perbankan Dalam Suatu
Perjanjian . ......................................................................... .23
1. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya ......................... 24
2. Jangka waktu dan bentuk perjanjian …………………… 28
3. Hak dan Kewajiban Para Pihak .................................... 29
C. Tinjauan Umum tentang Perbankan .................................. .29
1. Pengertian Perbankan .................................................. 29
2. Asas, Fungsi dan Tujuan Perbankan di Indonesia ........ 30
3. Bank Pembangunan Daerah Bali (BPD Bali) ................ 32
4. Tujuan dan Fungsi Kredit .............................................. 33
D. Jaminan dalam Pemberian Kredit Perbankan .................. 35
1. Benda atau Barang yang di jaminkan ........................... 37
2. Benda Tetap/Tidak Bergerak ........................................ 38
3. Benda Bergerak ............................................................ 38
4. Jaminan Non Kebendaan ............................................. 39
5. Hak Tanggungan .......................................................... 40
a. Ciri-ciri Hak Tanggungan ... .......................................... 40
b. Obyek Hak Tanggungan................................................40
E. Kerangka Pikir................................................................. 42
F. Definisi Operasional Variabel........................................... 44
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Pendekatan ..................................... 46
B. Lokasi Penelitian .............................................................. 46
C. Populasi dan Sampel ....................................................... 46
D. Jenis Data ........................................................................ 47
E. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 47
F. Analisis Data ..................................................................... 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Peranan Notaris dalam Pembuatan Perjanjian Kredit
pada PT.Bank Pembangunan Daerah (BPD)………….…. 51
1. Kedudukan Notaris dalam Pembuatan Perjanjian pada
Kredit Modal Kerja..................................................... 63
2. Kedudukan Notaris dalam Pembuatan Perjanjian pada
Kredit Konsumtif .......................................................... 64
3. Kedudukan Notaris dalam Pembuatan Perjanjian pada
Kredit Investasi ............................................................ 66
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Jasa
Notaris ............................................................................... 91
1. Faktor Kebijaksanaan Bank .......................................... 91
2. Faktor Tingkat Risiko .................................................... 93
3. Faktor Besarnya Nilai Kredit ......................................... 93
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 95
B. Saran ................................................................................ 96
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Notaris memiliki peranan yang sangat penting dalam membantu
menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat, karena
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik sebagaimana yang di atur dalam Undang Undang Jabatan Notaris
Nomor 30 Tahun 2004 (UUJN). Kepastian dan perlindungan hukum itu
tampak melalui akta otentik yang dibuatnya sebagai alat bukti yang
sempurna di Pengadilan. Dikatakan sebagai alat bukti sempurna karena
akta otentik memiliki tiga kekuatan pembuktian yaitu kekuatan pembuktian
lahiriah (uitwendige bewijsracht), kekuatan pembuktian formal (formele
bewijskracht) dan kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht).
Menurut Tan Thong Kie,1 keberadaan Notaris : “tidak terlepas dari
kebutuhan masyarakat yang membutuhkan seseorang (figure) yang
harusnya memiliki Kharismatik, dan setiap penjelasannya bisa dipercaya,
tanda tangan serta cap yang di keluarkannya bisa memberi jaminan dan
menjadikan alat bukti yang kuat. Notaris juga merupakan seorang ahli
yang tidak memihak dan penasehat yang tidak ada cacat (onkreukbaar)
1 Tan Thong Kie, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, cet. I, (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2007), hal. 449.
atau (unimpeachhable), yang tidak tertutup dan bisa membuat suatu
perjanjian yang dapat melindungi sampai di kemudian hari. Berbeda
dengan seorang advocate/Pengacara, kalau pengacara membela hak-hak
seseorang ketika timbul suatu kesulitan, sementara seorang Notaris harus
berusaha untuk mencegah permasalahan itu2.
Notaris sebagai pejabat umum dapat memberikan jaminan serta
perlindungan hukum melalui formulasi akta otentik yang dibuatnya. Oleh
karena itu, maka Notaris dianggap sebagai profesi yang terhormat karena
bertugas melayani kepentingan masyarakat umum. Kedudukan yang
terhormat tersebut memberikan beban dan tanggungjawab bagi setiap
Notaris untuk menjaga wibawa dan kehormatan profesi Notaris.
Notaris sebagai suatu profesi memiliki perkumpulan yaitu Ikatan
Notaris Indonesia (INI) yang merupakan kelanjutan dari “de Nederlandsch-
Indische Notarieele Vereeniging” didirikan di Batavia pada tanggal 1 Juli
1908. Kongres Ikatan Notaris Indonesia tanggal 27 Januari 2005
menetapkan Kode Etik Notaris yang baru. Kode Etik Profesi Notaris
mengatur perilaku Notaris yang harus ditaati oleh setiap Notaris dalam
menjalankan jabatan dan juga di luar menjalankan jabatannya. Namun
demikian sanksi yang diberikan atas pelanggaran Kode Etik Notaris hanya
merupakan sanksi disipliner yang berlaku intern di dalam organisasi. Kode
Etik Notaris terdiri atas delapan bab yaitu ketentuan umum yang berisi
2Ibid.
pengertian-pengertian yang terdapat dalam Kode Etik Notaris; ruang
lingkup Kode Etik Notaris; kewajiban, larangan dan pengecualian; sanksi;
tata cara penegakan Kode Etik Notaris; pemecatan sementara; kewajiban
pengurus pusat; dan ketentuan penutup. Untuk menjamin pelaksanaan
Kode Etik Notaris, maka dibentuk Dewan Kehormatan.
Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris tidak
mencantumkan secara tegas larangan bagi Notaris untuk mengadakan
perjanjian dengan pihak manapun, namun dalam praktek pelaksanaan
perjanjian kerjasama antara Bank dengan Notaris seringkali tidak sesuai
dengan Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris, sehingga
seringkali Notaris menjadi tidak mandiri dan berpihak kepada pihak Bank.
Padahal dalam UUJN Pasal 16 ayat 1 huruf a mengatur, “Dalam
menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban: bertindak jujur, seksama,
mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam
perbuatan hukum”3. Aturan tersebut juga di tetapkan dalam ketentuan
Kode Etik Notaris yaitu dalam Pasal 3 ayat 4 yang mengatur “Notaris dan
orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris wajib:
bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggungjawab,
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan
Notaris ”4.
3 Indonesia, Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris, UU No. 30 tahun 2004, LN
No.117 Tahun 2004, TLN No. 4432. Ps. 16 ayat 1. 4 Ikatan Notaris Indonesia. Kode Etik Notaris, (Bandung: 27 Januari 2005). Ps. 3 ayat 4
Sementara itu, Perbankan memegang peranan yang amat penting
sebagai sumber permodalan dan lembaga keuangan. Sebagai lembaga
keuangan, bank amat dibutuhkan masyarakat karena itu aktivitas dan
kegiatan perbankan harus diselenggarakan secara selaras, teratur dan
berencana mengacu kepada kebijakan dan peraturan yang telah
dikeluarkan oleh Pemerintah, khususnya Peraturan Bank Indonesia.
Dalam menjalankan kegiatannnya Bank banyak menggunakan dana
masyarakat jika tidak dikelola dengan baik dalam menjalankan fungsi
intermediarynya atau salah urus, misalnya dalam bentuk pemberian kredit
risiko yang dihadapi akan berakhir menjadi kredit macet. Kredit macet
dapat disebabkan oleh berbagai variable yang mempengaruhinya. Untuk
itu tindakan Bank harus berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya jika
salah urus, asset Bank akan berkurang karena biaya yang dikeluarkan
sangat mahal dalam jangka panjang akan berdampak luas terhadap
kelangsungan operasional bank.
Peran Notaris sangat diperlukan dalam pengikatan agunan di Bank,
jika kredit yang disalurkan berjalan normal, dimana pengembaliannya
tepat pada waktunya, maka bank terhindar dari risiko, namum jika kredit
yang disalurkan tidak berjalan mulus, maka bank akan mengalami risiko
kredit macet. Dalam rangka penanganan kredit macet tersebut, seringkali
terjadi kesulitan dalam proses penyelesaiannya, dimana salah satu
penyebabnya adalah dikarenakan pengikatan agunan yang tidak
sempurnya yang dilakukan oleh Notaris, sehingga secara aktual Bank
akan menanggung kerugian.
Setiap orang membutuhkan kepastian hukum serta alat bukti otentik
atas perbuatannya. Oleh karena itu, perjanjian atau ikatan yang dibuat
oleh pihak Bank secara yuridis memerlukan bantuan Notaris dalam
kapasitasnya sebagai pejabat umum yang memiliki kewenangan membuat
akta otentik. Perjanjian atau pengikatan secara otentik yang dibuat oleh
Bank dengan nasabahnya tersebut, membutuhkan bantuan notaris. Hal ini
terjadi karena notaris berwenang untuk membuat suatu bentuk akta
otentik yang mampu memberikan perlindungan hukum kepada pihak-
pihak yang melakukan perjanjian.
Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No.30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, diatur bahwa: “ Notaris berwenang membuat
akta Autentik mengenai semua perbuatan perjanjian dan ketetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta
Autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse, dan salinan kutipan akta".
Dalam membuat Akta Notaril Notaris dapat memberikan saran-saran
jika terjadi perbedaan pendapat diantara para pihak dengan memberikan
masukan kepada mereka tentang bagaimana seharusnya permasalahan
itu ditempatkan. Akta Notaril yang dibuat dihadapan Notaris sebagai
pejabat umum memiliki pembuktian formal maupun pembuktian material,
sehingga dapat menunjang tegaknya prinsip kehati-hatian dalam proses
pemberian kredit oleh pihak bank.
Peran Notaris sangat dibutuhkan oleh bank, hal ini berkaitan dengan
risiko hukum atas harta kekayaan yang diagunkan oleh debitur sebagai
agunan kredit, jika kredit yang diberikan menjadi macet, penjualan agunan
tidak menimbulkan masalah bagi bank dikemudian hari. Oleh karena itu,
jasa notaris sangat dibutuhkan dalam dunia perbankan, karena aktifitas
perbankan yang banyak melakukan transaksi dengan pihak nasabah,
dimana transaksi tersebut dibuat dalam suatu perjanjian/kontrak. Untuk
menghindari terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki, misalnya
pengingkaran, maka pihak bank tidak ingin mengambil risiko, untuk itu,
maka perjanjian tersebut haruslah dibuat dalam bentuk akta otentik.
Salah satu bank daerah di Bali yang telah berperan dan banyak
membantu memberikan pinjaman kredit kepada masyarakat adalah PT.
Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali dengan status Bank Umum
Devisa, merupakan bank lokal yang mampu dan memiliki aktivitas
nasional dan internasional berdasarkan persetujuan Deputi Gubernur
Senior Bank Indonesia Nomor 6/32/KEP.DGS/2004 tanggal 11 Nopember
2004.
Jasa Notaris sebagai Pejabat Umum yang membuat akta-akta otentik
sangat dibutuhkan dalam kegiatan usaha perbankan, salah satunya
adalah dalam pembuatan akta perjanjian kredit perbankan yang
melibatkan Nasabah dan Bank, guna menjamin kebenaran dari isi yang
dituangkan dalam perjanjian kredit perbankan tersebut, supaya secara
publik kebenarannya tidak diragukan lagi.
Walaupun jasa notaris pada kegiatan perbankan pada PT. BPD Bali
memegang peranan penting, namun dalam kenyataan masih banyak
terjadi praktik kegiatan perbankan yang berkaitan dengan pembuatan
perjanjian masih dilakukan dengan tidak menggunakan jasa notaris. Oleh
karena itu, hal ini menimbulkan issue penelitian yaitu adanya dugaan
bahwa penggunaan jasa notaris pada PT. Bank Pembangunan Daerah
Bali belum dilakukan secara maksimal.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka penelitian ini menentukan permasalahan yang dibahas sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah peranan notaris dalam pembuatan perjanjian kredit
pada PT.Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penggunaan jasa Notaris
pada PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui peranan Notaris dalam pembuatan perjanjian kredit
pada PT.Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali.
2. Untuk mengetahui dan menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi
penggunaan jasa notaris dan kredit kredit yang di salurkan pada
PT.Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat di gunakan sebagai bahan
masukan dan sumbangan yang bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan di bidang hukum dalam hal ini Hukum Perjanjian
dan Hukum Perbankan.
2. Secara Praktis,
Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan sumbangan dan
masukan yang berguna bagi semua pihak terutama bagi pihak
PT.Bank Pembangunan Daerah Bali, dalam rangka meminimalisasi
risiko yang mungkin timbul dalam transaksi perbankan yang tidak
menggunakan jasa notaris.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Notaris
1. Notaris Sebagai Pejabat Umum
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Jabatan Notaris5. Istilah pejabat umum merupakan terjemahan
dari istilah openbare amtbtenaren yang terdapat dalam (Pasal 1 Peraturan
Jabatan Notaris dan Pasal 1868 BW) menyebutkan bahwa:
De notarissen zijn openbare ambetenaren, uitsluitend bevoegd, om authentieke akten op te maken wegens alle handelinggen, overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene algemeene verordening gebiedt of de belanghebbenden verlangen , dat bij authentiek geschrift bkijken zal, daarvan de dagteekening te verzekeren, de akten in bewaring te houden en daarvan grossen, afschriften en uittreksels uit te geven; alles voorzoover het opmaken dier akten door eene algemeene verordening niet ook aan andere ambtenaren of personen opgedragen of voor hebehouden is. Secara bebas Pasal 1868 BW tersebut di atas dapat diartikan bahwa
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang
berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik,
menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan
5 Indonesia, Peraturan Jabatan Notaris, Staatsblad No. 3 Tahun 1860. Ps. 1.
grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu
oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain.6
Notaris sebagai pejabat umum juga dapat ditelusuri pada Pasal 1868
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan “Suatu akta
otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
Undang-Undang, dan dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang
berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”.7
Dengan demikian jabatan notaris adalah jabatan publik tanpa perlu
atribut openbaar”.8 Berdasarkan rumusan tersebut Habib Adjie, memberi
karateristik Notaris sebagai berikut:
1. Sebagai Pejabat Umum. Jabatan Notaris merupakan suatu
lembaga yang diciptakan oleh Negara dan memiliki tugas yang
sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi
tertentu serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkup
pekerjaan tetap;
2. Notaris mempunyai kewenangan tertentu. Kewenangan dari
seorang pejabat (Notaris) ada aturan hukumnya agar tidak
bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya;
6 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia : Tafsiran Tematik Terhadap UU No. 30
tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, cet. I, (Jakarta: Refika Aditama, 2008), hal. 12.
7 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, cet. XXXIX, (Jakarta: Padya Paramita, 2008), hlm 475.
8 Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, cet. II, (Jakarta: Refika Aditama, 2009), hal. 31.
3. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah. Pasal 2 Undang-
Undang Jabatan Notaris menentukan bahwa Notaris diangkat dan
diberhentikan oleh pemerintah dalam hal ini menteri yang
membidangi hukum;
4. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya.
Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tapi
tidak menerima gaji, pensiun dari pemerintah, Notaris hanya
menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayani atau
dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak
mampu;dan
5. Akuntabilitas atas pekerjaan kepada masyarakat.9
Jadi pada dasarnya kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang memerlukan akte yang otentik dalam bidang hukum
perdata, sehingga Notaris mempunyai tanggungjawab untuk melayani
masyarakat baik dalam pembuatan akta perjanjian, kontrak-kontrak dan
lainnya yang sifatnya bisa di pertanggungjawabkan di hukum nantinya.
Masyarakat dapat menggugat secara perdata Notaris, dan menuntut biaya
ganti rugi, dan bunga jika teryata akta tersebut dapat dibuktikan kalau akta
tersebut dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini
merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat.
9 Adjie, op. cit.
2. Kewenangan, Kewajiban Dan Larangan Dalam Kode Etik
Notaris(Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17 UUJN)
Notaris dalam berperilaku dan menjalankan tugas, harus berpedoman
pada Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris. Kedua
aturan itu telah mengatur secara rinci kewenangan, kewajiban dan
larangan bagi Notaris.
Kewenangan bagi Notaris di atur dalam Pasal 15 Undang-Undang
Jabatan Notaris adalah:
1. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan
oleh Undang-Undang;
2. Notaris berwenang pula:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal
surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar
dalam buku khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan
yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam
surat yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. Membuat akta risalah lelang.
3. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.10
Secara garis besar kewenangan Notaris tersebut dalam Pasal 15
Undang-Undang Jabatan Notaris dapat dibagi menjadi kewenangan
umum Notaris, kewenangan khusus Notaris dan kewenangan Notaris
yang akan ditentukan kemudian.11 Sedangkan dalam ketentuan Kode Etik
Notaris tidak di jelaskan secara jelas kewenangan dari Notaris, namun
merujuk pada Pasal 1 ayat 4 Kode Etik Notaris mengenai ketentuan
umum dinyatakan bahwa Notaris adalah setiap orang yang memangku
dan menjalankan jabatan sebagai pejabat umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris,
maka dapat disimpulkan bahwa kewenangan yang di atur dalam Kode Etik
10
Indonesia, op. cit., ps. 15. 11
Adjie, op. cit., hal. 78.
Notaris sama dengan kewenangan yang di atur dalam ketentuan Undang-
Undang Jabatan Notaris.12 Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris
tersebut ternyata Notaris sebagai penjabat umum memperoleh wewenang
secara atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh
Undang-Undang Jabatan Notaris sendiri, jadi bukan berasal dari lembaga
lain seperti Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.13
Kewajiban dalam ketentuan Kode Etik Notaris di artikan sebagai
sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan yang harus dilakukan anggota
perkumpulan maupun orang lain yang memangku jabatan Notaris dalam
rangka menjaga dan memelihara citra serta wibawa lembaga Notariat dan
menjunjung tinggi keluhuran harkat dan martabat jabatan Notaris.14
Adapun kewajiban Notaris di atur dalam Pasal 16 Undang-Undang
Jabatan Notaris meliputi:
1. Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:
a. Bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya
sebagai bagian dari Protokol Notaris;
c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta;
12
Ikatan Notaris Indonesia, op. cit., ps. 1 ayat 4. 13
Adjie, op. cit., hal. 78. 14
Ikatan Notaris Indonesia, op. cit., ps. 1 ayat 10.
d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan
segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai
dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan
lain;
2. Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk
originali;
3. Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akta:
a. Pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
b. Penawaran pembayaran tunai;
c. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat
berharga;
d. Akta kuasa;
e. Keterangan kepemilikan; atau
f. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
4. Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih
dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang
sama, dengan ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata "berlaku
sebagai satu dan satu berlaku untuk semua";
5. Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa
hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap;
6. Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf k ditetapkan dengan Peraturan Menteri;
7. Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l tidak
wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak
dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan
memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan
dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf
oleh penghadap, saksi, dan Notaris;
8. Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l
dan ayat (7) tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan; dan
9. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk
pembuatan akta wasiat.15
Kode Etik Notaris juga mengatur mengenai kewajiban Notaris yang
dituangkan dalam Pasal 3 Kode Etik Notaris yaitu:
1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik;
2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan
Notaris;
3. Menjaga dan membela kehormatan perkumpulan ;
4. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggungjawab,
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah
jabatan Notaris;
15
Ikatan Notaris Indonesia. op. cit., ps. 16.
5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas
pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan;
6. Mengutamakan kepentingan pengabdian kepada kepentingan
masyarakat dan Negara;
7. Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa kenotarisan lainnya
untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorium;
8. Menetapkan satu kantor ditempat kedudukan dan kantor tersebut
merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan
dalam melaksnakana tugas dan jabatan sehari-hari;
9. Memasang satu buah papan nama di depan/ dilingkungan
kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x
60 cm atau 200 cm x80 cm, yang memuat:
a. Nama lengkap dan gelar yang sah;
b. Tanggal dan nomor surat keputusan pengangkatan yang
terakhir sebagai Notaris;
c. Tempat kedudukan;
d. Alamat kantor dan nomor telepon/ fax . dasar papan nama
bewarna putih dengan huruf bewarna hitam dan tulisan di
atas papan nama harus jelas dan mudah dibaca, kecuali
dilingkungan kantor tersebut tidak memungkinkan untuk
memasang papan nama di maksud.
10. Hadir, mengikuti, berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang
diselenggarakan oleh perkumpulan, menghormati, mematuhi,
melaksanakan setiap dan seluruh keputusan perkumpulan;
11. Membayar uang iuran perkumpulan secara tertib;
12. Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat
yang meninggal dunia;
13. Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium
ditetapkan perkumpulan;
14. Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pebuatan,
pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan dikantornya
kecuali karena alasan-alasan yang sah;
15. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam
melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling
memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati,
saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha
menjalin komunikasi dan tali silahturahim.
16. Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak
membedakan status ekonomi dan / status sosialnya;
17. Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut
sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain
namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam :
a. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
b. Penjelasan Pasal 19 ayat 2 UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang
jabatan Notaris;
c. Isi sumpah jabatan Notaris;
d. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Ikatan Notaris
Indonesia.16
Larangan Notaris merupakan suatu tindakan yang dilarang dilakukan
oleh Notaris, jika larangan ini dilanggar oleh Notaris, maka kepada Notaris
yang melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 85 Undang-Undang Jabatan Notaris. Pasal 17 Undang-Undang
Jabatan Notaris di uraikan larangan bagi Notaris meliputi:
1. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
2. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
3. Merangkap sebagai Pegawai Negeri;
4. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Negara;
5. Merangkap jabatan sebagai Advokat;
6. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
7. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar
wilayah jabatan Notaris;
8. Menjadi Notaris pengganti; atau
16
Ikatan Notaris Indonesia, op. cit., ps. 3.
9. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma
agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi
kehormatan dan martabat jabatan Notaris.17
Sedangkan larangan yang di atur dalam Pasal 4 Kode Etik Notaris
lebih mengedepankan mengenai perilaku Notaris dalam menjalankan
jabatannya yang meliputi:
1. Mempunyai lebih dari satu kantor baik kantor cabang ataupun
kantor perwakilan;
2. Memasang papan nama dan/ atau tulisan yang berbunyi
“notaris/kantor notaris” di luar lingkungan kantor;
3. Sanksi-Sanksi Bagi Pelanggar Ketentuan Undang-Undang
Jabatan Notaris Dan Kode Etik
Sanksi-sanksi merupakan bagian penutup dalam suatu peraturan
perundang-undangan. Adanya sanksi-sanksi tersebut dimaksudkan agar
Notaris dapat bertindak benar sehingga produk Notaris berupa akta
otentik dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada
para pihak yang membutuhkan. Undang-Undang jabatan Notaris
menetapkan sanksi-sanksi yang tegas terhadap masing-masing jenis
pelanggaran yang di atur dalam Pasal 84 yang menyatakan bahwa:
“Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49,
17
Indonesia, op. cit., ps. 17.
Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.”18
Sanksi untuk memberikan ganti rugi, biaya dan bunga seperti dalam
Pasal 84 Undang-Undang Jabatan Notaris dapat dikategorikan sebagai
sanksi perdata.19 Selain sanksi-sanksi yang yang diberikan terhadap
pelanggaran perbuatan tersebut di atas, Pasal 85 menambahkan aturan
mengenai pengenaan sanksi yang menyatakan:
a. Teguran tertulis;
b. Pemberhentian sementara;
c. Pemberhentian dengan hormat; atau
d. Pemberhentian dengan tidak hormat.20
Sanksi-sanksi yang terdapat dalam Pasal 85 Undang-Undang Jabatan
Notaris dapat dikategorikan sebagai sanksi administratif.21 Sanksi yang
terdapat dalam Pasal 84 dan Pasal 85 Undang-Undang Jabatan Notaris,
merupakan sanksi terhadap Notaris yang berkaitan dengan akta yang
dibuat di hadapan dan oleh Notaris. Artinya ada persyaratan tertentu atau
tindakan tertentu yang tidak dilakukan atau tidak dipenuhi oleh Notaris
dalam menjalankan tugas jabatan, berupa kewajiban dan larangan yang di
tercantum dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Sanksi-sanksi tersebut
merupakan sanksi yang dapat dijatuhkan oleh Majelis Pengawas terhadap
18
Indonesia, op. cit., ps. 84. 19
Adjie, op. cit., hal. 7. 20
Ibid., ps. 85. 21
Adji, loc. cit.
pelanggar kedua pasal tersebut.22 Berbeda dengan ketentuan yang di atur
dalam Undang-Undang Jabatan Notaris yang mengatur secara eksplisit,
Kode Etik Notaris menetapkan sanksi yang dikenakan kepada anggota
yang melakukan pelanggaran Kode Etik, secara garis besar sebagaimana
ternyata dalam Pasal 6 Kode Etik Notaris bahwa:
1. Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan
pelanggaran kode etik dapat berupa:
a. Teguran;
b. Peringatan;
c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan;
d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan; dan
e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan
perkumpulan.
2. Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap
anggota yang melanggar kode etik disesuaikan dengan kuantitas dan
kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut.23
Mengenai pengenaan sanksi pemecatan sementara kepada pelanggar
aturan dalam Kode Etik, Pasal 13 Kode Etik Notaris menyebutkan:
Tanpa mengurangi ketentuan yang mengatur tentang prosedur atau tata cara maupun penjatuhan sanksi secara bertingkat, maka
22 Dalam pelaksanaan pengawasan tersebut Menteri membentuk Majelis Pengawas,
berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris Majelis Pengawas terdiri dari: a. Majelis Pengawas Daerah; b. Majelis Pengawas Wilayah; dan c. Majelis Pengawas Pusat. Lihat: Indonesia, op. cit., ps. 68.
23 Ikatan Notaris Indonesia, op.cit., ps. 6.
terhadap seorang anggota perkumpulan yang telah melanggar Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan yang bersangkutan dinyatakan bersalah, serta dipidana berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pengurus wajib memecat sementara sebagai anggota perkumpulan disertai usul kepada kongres agar anggota perkumpulan tersebut dipecat dari anggota perkumpulan.24
Jadi kesimpulannya bahwa notaris setiap melakukan kewajibannya
sebagai badan yang berwenang hendaknya harus memperhatikan pasal-
pasal yang telah di jelaskan pada penjelasan tersebut di atas terutama
mengenai, kewenangan(pasal 15), kewajiban(pasal 16) dan larangan-
larangnya(pasal 17), guna menghindari hal-hal yang tidak di inginkan baik
dari masyarakat maupun notaris sendiri.
B. Hubungan Notaris dengan Perbankan Dalam Suatu Perjanjian
Perjanjian kredit merupakan perjanjian campuran yaitu perjanjian
yang mengandung dua atau lebih ketentuan-ketentuan Undang-Undang
dari perjanjian. Perjanjian yang di buat antara Bank dan Notaris
merupakan perjanjian yang di kehendaki oleh para pihak.
Hal tersebut sesuai dengan esensi dari perjanjian untuk melakukan
jasa-jasa tertentu dimana terdapat kewajiban dari pihak yang menerima
pekerjaan untuk menyelesaikan perbuatan-perbuatan jasa pembuatan
akta otentik sesuai keahliannya dan untuk itu pihak yang memberikan
24
Ibid., ps. 13.
pekerjaan wajib membayar harga penyelesaian pekerjaan tersebut (Fee)
sesuai dengan kesepakatan.
Berdasarkan keterangan di atas maka dalam tesis ini penulis terlebih
dahulu membahas dan menerangkan mengenai bentuk dan isi dari
perjanjian, sebagaimana di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata untuk menjadi bahan perbandingan dengan bentuk dan isi dari
perjanjian kerjasama yang secara hukum dapat dikatakan sejenis. Maksud
dan tujuan dari perbandingan ini adalah agar dapat diketahui apa dan
bagaimana ketentuan dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
dapat di adopsi di perjanjian kerjasama sehingga dapat lebih memberikan
perlindungan, keadilan dan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat
dalam perjanjian kerjasama.
1. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya
Berbicara mengenai ilmu hukum, pemahaman atau pengertian dirasa
sangat penting, karena dengan pengertian tersebut akan dapat
dikemukakan suatu pandangan atau pendapat. Tidak jarang pemahaman
dari suatu istilah berbeda-beda atau bahkan mempunyai pendapat yang
sama. Istilah perjanjian misalnya, sebagian kalangan mengartikan
perjanjian sama dengan kontrak.25
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1313, telah
memberikan pengertian dari Perjanjian bahwa “suatu perjanjian adalah
25
Tan Thong Kie membatasi istilah perjanjian sama dengan kontrak yang dalam bahasa belanda disebut oveerenkomst. Lihat : Tan Thong Kie, op. cit., hal. 365.
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih”.26
Pengertian perjanjian lainnya dikemukakan oleh Subekti yang dikutip
Daeng Naja bahwa “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal”.27
Hugo Grotius memberikan pengertian tersendiri mengenai perjanjian
atau kontrak sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini bahwa
“suatu kontrak adalah suatu tindakan sukarela dari seseorang dimana ia
berjanjisesuatu kepada orang lain dengan maksud bahwa orang lain itu
akan menerimanya”.28
Pengertian perjanjian tersebut oleh para sarjana hukum perdata, tidak
lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya
mengenai perjanjian sepihak saja dan terlalu luas karena dapat mencakup
perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin
merupakan perjanjian yang sifatnya berbeda dengan perjanjian yang di
atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada buku III dimana
kriterianya dapat dinilai secara materil atau dengan kata lain dinilai
dengan uang.29
26
R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, op. cit., hal. 338. 27
H. R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi : The Banker Hand Book, cet. I,(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 175.
28 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. cet. I, (Jakarta: PT Pustaka Utama Garfiti, 2009), hal. 24.
29 Mariam Darus Badrulzaman, Et. Al., Kompilasi Hukum Perikatan. cet. I, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 65.
Dari pengertian yang dikemukakan di atas, secara jelas terdapat
suatu konsesus antara para pihak, pihak yang satu setuju dan pihak
lainnya juga setuju untuk melaksanakan perjanjian kerjasama pada
dasarnya perjanjian kerjasama merupakan perjanjian timbal balik yaitu
perjanjian yangmenimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.
Perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kartini Muljadi dan Gunawan
Widjaja menyatakan dari rumusan pengertian perikatan yang diberikan
Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat empat unsur
perikatan, yaitu:
a. Bahwa perikatan itu adalah suatu hubungan hukum;
b. Hubungan hukum tersebut melibatkan dua atau lebih orang (pihak);
c. Hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam
lapangan hukum harta kekayaan; dan
d. Hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu
pihak dalam perikatan (prestasi).30
Namun, apabila kita berbicara mengenai pengertian perjanjian, maka
keempat unsur perikatan di atas termasuk dalam unsur perjanjian dan ada
baiknya apabila unsur tersebut ditambah dengan unsur lahirnya
perjanjian. Maksud unsur lahirnya perjanjian yaitu hubungan hukum yang
30
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya. cet. II, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 17.
terjadi antara para pihak timbul sejak adanya persetujuan atau kehendak
para pihak.31
Mengenai perjanjian kerjasama menurut Subekti Perjanjian untuk
melakukan jasa-jasa tertentu merupakan perjanjian dimana suatu pihak
menghendaki dari pihak lawannya dilakukan suatu pekerjaan untuk
mencapai suatu tujuan, untuk mana ia bersedia bayar upah.32 Biasanya
pihak lawan adalah seorang ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan
biasanya juga memasang tarif untuk jasanya itu. Upahnya biasanya
dinamakan honorarium. Dengan demikian inti dari perjanjian kerjasama
tersebut adalah adanya kewajiban dari salah satu pihak untuk melakukan
suatu perkerjaan tertentu berdasarkan keahliannya.
Perjanjian untuk melakukan suatu perbuatan, mengenai ketentuan
khusus yang mengaturnya dapat dilihat dalam Pasal 1239 dan 1240 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.33 Mengenai ketentuan umumnya,
sepanjang tidak telah diatur secara khusus, maka perjanjian kerjasama ini
tunduk pada peraturan–peraturan umum tentang perikatan yang termuat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pada asasnya ketentuan
31
Unsur tersebut menurut pandangan penulis didasari dari makna yang tersirat dari Pasal 1233 yang menyatakan “tiap-tiap perikatan dilahirkan , baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang”
32
Ibid., hal. 58.
33Pasal 1239 berbunyi “tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannyamendapat penyelesaiannya dalam kewajiban, memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”. Sedangkan Pasal 1240 berbunyi : “dalam pada itu si berpiutang adalah berhak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si berutang;
umum berlaku untuk semua perjanjian, kecuali ketentuan khusus
menyimpanginya.34 Ketentuan umum tentang perikatan yang lahir dari
perjanjian memang sangat diperlukan sehubungan dengan berlakunya
asas kebebasan berkontrak.
2. Jangka Waktu dan Bentuk Perjanjiannya
Keberadaan dari jangka waktu perjanjian bukanlah suatu syarat mutlak
terjadinya perjanjian. Meskipun bukanlah sesuatu yang penting untuk
berlakunya perjanjian, penulis tetap melihat bahwa penentuan jangka
waktu berlakunya perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu adalah
sangat penting. Pentingnya ditentukan jangka waktu untuk melindungi dan
memberikan kepastian hukum keberlakuan dari perjanjian.
Nantinya kalau ada salah satu yang bermasalah tidak boleh
menghentikan secara sepihak perjanjian tersebut sebelum lewat waktu
meskipun dengan dalih adanya wan prestai atau pelanggaran. Atas dasar
itulah sebaiknya dibuatkan perjanjian dengan harapan agar dapat
dibuktikan dengan jelas kapan jangka waktunya berakhir.
Sehingga jika masa jangka waktu pekerjaan berakhir yang ditentukan
telah lewat maka demi hukum perjanjian itupun juga berakhir tanpa perlu
suatu pemberhentian itu.35
34
J. Satrio, Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya, cet. III, (Bandung: Alumni, 1999), hal. 72.
35 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op. cit., hal. 53.
3. Hak dan Kewajiban Para Pihak
Dalam setiap perjanjian, pada umumnya selalu terdapat kewajiban
yang melekat pada masing-masing pihak. Kewajiban tersebut adalah
suatu prestasi yang harus dilakukan oleh para pihak agar perjanjian
tersebut dapat dilaksanakan. Prestasi pada umumnya ada untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.36 Kewajiban yang
terdapat dalam perjanjian yaitu penerima kredit (debitor) berkewajiban
untuk melaksanakan kewajibannya membayar kredit kepada pemberi
kredit (kreditor) sedangkan pemberi kredit berkewajiban untuk
memberikan uangnya atau sesuai dengan kredit yang di ajukan.
C. Tinjauan Umum tentang Perbankan
1. Pengertian Perbankan
Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan / bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.37
Prof. G.M. Verryn Stuart, bank adalah suatu badan yang bertujuan
memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya
36
Tan Thong Kie, op. cit., hal. 368.
37 Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (selanjutnya disebut Undang-undang Perbankan) pasal 1 ayat 2 tentang Perbankan
sendiri dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, maupun dengan
jalan memperedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral.38
Bank sangat penting dan berperan untuk mendorong pertumbuhan
perekonomian suatu bangsa karena bank adalah
1. Pengumpul dana dari SSU dan penyalur kredit DSU
2. Tempat menabung yang efektif dan proiduktif bagi masyarakat
3. Pelaksana dan memperlancar lalu lintas pembayaran
4. Penjamin penyerlesaian penyelesaian perdagangan dengan
menerbitkan L/C
5. Penjamin penyelesaian proyek dengan menerbitkan bank
garansi
2. Asas, Fungsi dan Tujuan Perbankan di Indonesia
Sebagai sebuah lembaga yang mempunyai kepercayaan terhadap
masyarakat. Dengan berbagai macam pelayanan bagi masyarakat. Asas
perbankan Indonesia dalam melaksanakan kegiatan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-
hatian. Dalam segi operasionalnya bank berjalan dengan prosedur yang
sangat tertata dengan rapi, sehingga pelaksanannya berjalan dengan
baik. Sedangkan fungsi utama perbankan adalah sebagai penghimpun
dan penyalur dana dari masyarakat. Begitu penting dan butuhnya
38
Thomas Suyatno, dkk,1997, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal 8
masyarakat akan bank itu sendiri, sehingga bank berjalan dan
berkembang pada saat ini.
Tujuan perbankan Indonesia untuk menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,
pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan rakyat
banyak.
Sebagai lembaga perantara, falsafah mendasari kegiatan usahanya
adalah kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu bank juga disebut
sebagai lembaga kepercayaan masyarakat yang ciri-ciri utamanya adalah
a. Dalam menerima simpanan dari surplus spending unit (SUU)
Bank hanya memberikan pernyataan tertulis yang menjelaskan
bahwa bank telah menerima simpanan dalam jumlah dan untuk
jangka waktu tertentu.
b. Dalam menyalurkan dana kepada deficit spending unit(DSU)
Bank tidak selalu meminta agunan berupa barang sebagai jaminan
atas pemberian kredit yang diberikan kepada DSU yang memiliki
reputasi baik.
c. Dalam melakukan kegiatannya bank lebih banyak menggunakan
dana masyarakat yang terkumpul dalam banknya dibandingkan
dengan modal dari pemilik atau pemegang saham bank.
Sebagai lembaga kepercayaan, bank dituntut untuk selalu
memperhatikan kepentingan masyarakat disamping kepentingan bank itu
sendiri dalam mengembangkan usahanya. Bank juga harus bermanfaat
bagi pembangunan ekonomi nasional sesuai dengan fungsinya sebagai
agen of development dalam rangka mewujudkan pemerataan,
pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas ekonomi.
3. Bank Pembangunan Daerah Bali (BPD Bali)
Bank Pembangunan Daerah Bali didirikan pada tanggal 5 Juni 1962
dengan Akta Notaris Ida Bagus Ketut Rurus Nomor 131 . Dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang Pokok
Bank Pembangunan Daerah Bali maka akta notaris tersebut dibatalkan
dan selanjutnya berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6/DPR.DGR/1965
Tanggal 9 Februari 1965 didirikanlah Bank Pembangunan Daerah Bali
dengan bentuk hukum Perusahaan Daerah.
Perubahan bentuk badan hukum Bank Pembangunan Daerah Bali
menjadi Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan Akta Pendirian Nomor 7
tanggal 12 Mei 2004 yang dibuat dihadapan Ida Bagus Alit Sudiatmika,
SH, Notaris di Denpasar yang telah mendapat pengesahan dari Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI berdasarkan Surat Keputusan No.
C-12858HT.01.01.TH 2004 tanggal 21 Mei 2004, Tambahan Berita
Negara RI No.50 tanggal 22 Juni 2004, dan telah disesuaikan dengan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
dengan Akta No. 25 tanggal 8 Agustus 2008 yang dibuat oleh I Made
Widiada,SH, Notaris di Denpasar yang disahkan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI berdasarkan Surat Keputusan No. AHU-
63398.AH.01.02. Tahun 2008 tanggal 15 September 2008, Tambahan
Berita Negara RI No.81 tanggal 7 Oktober 2008; dan telah mengalami
beberapa kali perubahan dengan perubahan terakhir Akta Nomor 19
tentang Berita Acara Rapat Pemegang Saham Luar Biasa PT Bank
Pembangunan Daerah Bali tanggal 8 Mei 2012 yang dibuat oleh I Made
Widiada, Sarjana Hukum, Notaris di Denpasar.
Pada tahun 2004 aktivitas PT. Bank Pembangunan Daerah Bali
ditingkatkan dari Bank Umum menjadi Bank Umum Devisa berdasarkan
persetujuan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Nomor
6/32/KEP.DGS/2004 tanggal 11 Nopember 2004.
Untuk meningkatkan kegiatan usaha PT. Bank Pembangunan Daerah
Bali modal dasar awal pendirian adalah Rp.75.000.000.000,00
ditingkatkan menjadi Rp. 250.000.000.000,00. Modal dasar tersebut
kemudian ditingkatkan menjadi Rp 1.000.000.000.000,00 (Satu Triliun
Rupiah) dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS - LB)
tahun 2004 yang dikukuhkan dengan Akta Nomor 49 tanggal 31 Agustus
2004.
4. Tujuan dan Fungsi Kredit
Kredit berarti kepercayaan, yakni kepercayaan dari kreditur bahwa
debiturnya akan mengembalikan pinjaman beserta bunganya sesuai
dengan perjanjian kedua belah pihak.
Fungsi kredit bagi masyarakat antara lain :
1. Memperluas lapangan kerja bagi masyrakat
2. Memperlancar arus barang dan uang
3. Meningkatkan produktivitas yang ada
4. Memperbesar modal kerja perusahaan
5. Memperluas hubungan kerja bagi masyarakat.
Tujuan penyaluran kredit antara lain :
1. Memperoleh pendapatan bank dari bunga kredit
2. Memanfaatkan dan memproduktifkan dana-dana yang ada
3. Melaksanakan kegiatan operasional bank
4. Memperlancar lalu lintas pembayaran
5. Menambah modal kerja perusahaan
Berdasarkan tujuan / kegunaannya kredit bank dibagi atas kredit
konsumtif, kredit modal kerja, dan kredit investasi. Berdasarkan jangka
waktu dibagi atas kredit jangka pendek, kredit jangka menengah, dan
kredit jangka panjang. Dan berdasarkan macamnya kredit dapat
dibedakan menjadi kredit aksep, kredit penjual, dan kredit pembeli.
Pinjaman (kredit) adalah salah satu layanan yang sangat banyak
menarik minat masyarakat dan menjadi andalan suatu bank. Karena itu
tidak heran jika ada yang mengatakan kredit usaha merupakan jantung
bank. Saat ini masyarakat, baik individu maupun badan/kelompok usaha
sudah tidak ragu lagi untuk meminjam ke bank, untuk memenuhi segala
kebutuhan hidup atau memperlancar usaha. Mereka menganggap bank
lebih aman ketimbang pergi ke rentenir misalnya, seperti yang dulu umum
terjadi pada masyarakat kita.
D. Jaminan dalam Pemberian Kredit Perbankan
Jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu zekerheid
atau cautie, yang secara umum mencakup cara-cara kreditur menjamin
dipenuhinya tagihannya, disamping pertanggung jawab umum debitur
terhadap barang-barangnya. Selain istilah jaminan, dikenal juga dengan
agunan.
Berdasarkan Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992, tentang Perbankan berbunyi : Kredit diberikan oleh Bank
mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus
memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi
resiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai
dengan yang diperjanjikan merupakan factor yang harus diperhatikan oleh
bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit,
bank harus melakukan penilaian seksama terhadap watak, kemampuan,
modal, agunan, dan prospek usaha dari debitur. Mengingat bahwa agunan
menjadi salah satu unsure jaminan pemberian kredit, maka apabila
berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas
kemampuan debitur mengembalikan hutangnya, agunan dapat berupa
barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang
bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat
yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain
yang sejenis dapat digunakan agunan. Bank tidak wajib meminta agunan
berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai,
yang lazim dikenal dengan “Agunan Tambahan”.
Tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk yang dijadikan
agunan tersebut dengan ketentuan tidak tersangkut sengketa. Surat tidak
sengketa tersebut dimintakan kepada lurah/camat dimana tanah itu
berada.
Dari penjabaran Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tersebut, dapat dibedakan jaminan menjadi 2(dua) macam yaitu :
1. Jaminan materiil (kebendaan), yaitu jaminan kebendaan; dan
2. Jaminan inmateriil (perorangan), yaitu jaminan perorangan.
Perjanjian jaminan kebendaaan, mempunyai ciri-ciri kebendaan dalam
arti jaminan kebendaan memberikan hak mendahului di atas benda-benda
tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda bersangkutan,
perjanjian ini dapat dibedakan menjadi 2(dua) macam yaitu :
Perjanjian jaminan perorangan merupakan perjanjian yang
menjaminkan harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin
pemenuhan perikatan yang bersangkutan, contohnya borgh, tanggung-
menanggung, perjanjian garansi tidak memberikan hak mendahului.
Perjanjian kredit yang telah disepakati mewajibkan dilampirkannya
jaminan, dalam hal demikian maka kita melihat peran notaris sebagai
pejabat yang dipercaya juga untuk mengatur pengikatan jaminan, selain
pembuatan akta perjanjian kredit.
1. Benda atau Barang yang di jaminkan
Dalam Hukum mengenai pengikatan jaminan, penggolongan atas
benda bergerak dan tidak bergerak mempunyai arti yang penting sekali.
Adanya perbedaan penggolongan tersebut juga akan menentukan jenis
lembaga jaminan/pengikatan jaminan mana yang dapat dibebankan atas
benda jaminan yang diberikan untuk menjamin pelunasan. Sifat perjanjian
jaminan adalah accessoir, yaitu tergantung pada perjanjian pokoknya.
Pemberian jaminan dari Debitur kepada Kreditur menimbulkan 2 (dua)
sifat hak jaminan yang dikenal secara umum, yaitu:
1. Hak jaminan yang bersifat umum, yaitu jaminan yang diberikan oleh
Debitur kepada Kreditur, tanpa memberikan hak saling mendahului
(konkuren) antara kreditur yang satu dengan kreditur lainnya.
2. Hak jaminan yang bersifat khusus, yaitu jaminan yang diberikan
oleh Debitur kepada Kreditur, dengan memberikan hak mendahului
dari kreditur lainnya, sehingga ia berkedudukan sebagai kreditur
privillege (preferent).
Pemberian Jaminan oleh Debitur kepada Kreditur semata-mata hanya
sebagai jaminan dalam pengembalian fasilitas kredit yang telah dinikmati
oleh Debitur apabila Debitur wanprestasi. Salah satu cara yang dilakukan
adalah dengan mengambil hasil dari penjualan barang jaminan tersebut.
Sehingga konsep dasar pemberian jaminan oleh Debitur adalah bukan
untuk dimiliki oleh Kreditur. Namun untuk mengantisipasi praktek
perbankan, dalam UU Perbankan No. 7 tahun 1992 tanggal 25 Maret
1992 (“UU Perbankan”) Pasal 12A disebutkan bahwa Bank dapat
membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun
di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik
agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik
agunan dalam hal Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank,
dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan
secepatnya.
2. Benda Tetap/Tidak Bergerak
Benda tetap atau barang tidak bergerak adalah suatu benda atau
barang yang tidak dapat bergerak atau tidak dapat dipindahkan secara
fisik, yaitu misalnya tanah dan bangunan, pekarangan dan apa yang
didirikan diatasnya, pohon dan tanaman ladang, mesin yang melekat pada
tanah dimana mesin tersebut berada, kapal laut serta kapal terbang.
3. Benda Bergerak
Benda bergerak atau barang bergerak adalah barang yang karena
sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan, yaitu misalnya kendaraan
bermotor, deposito, barang-persediaan (inventory), barang-barang
inventaris kantor, mesin, hewan ternak, tagihan, hak tagih atas klaim
asuransi, dan sebagainya.
Benda-benda tersebut di atas dapat dijadikan jaminan atas pelunasan
utang Debitur. Sedangkan pengikatan jaminan atas benda-benda tersebut
di atas adalah dengan Gadai atau Fidusia.
4. Jaminan Non Kebendaan
Selain jaminan kebendaan, jaminan lain yang dapat diterima sebagai
jaminan kredit adalah jaminan non kebendaan, yaitu Penanggungan.
Sesuai Pasal 1820 KUH Perdata Penanggungan adalah suatu
persetujuan pihak ketiga guna kepentingan Kreditur mengikatkan diri
untuk membayar utang Debitur bila Debitur tidak memenuhi kewajibannya.
Jaminan penanggungan biasanya diberikan dalam bentuk :
a. Jaminan Perorangan
b. Jaminan Perusahaan
c. Bank Garansi
d. Standby Letter Of Credit (“SBLC”).
Jaminan Perorangan atau Perusahaan diberikan oleh seseorang atau
Perusahaan untuk menjamin hutang pihak ketiga. Jaminan Perorangan
atau Jaminan Perusahaan ini biasanya hanya merupakan jaminan
tambahan dari jaminan pokok, artinya selain jaminan ini Bank biasanya
meminta jaminan lainnya. Demikian pula dalam melakukan eksekusi,
Bank akan mendahulukan jaminan pokok dulu sebagai pelunasan hutang,
apabila ternyata masih belum cukup barulah Bank melakukan eksekusi
terhadap jaminan perorangan atau perusahaan.
5. Hak Tanggungan
Hak Tanggungan diatur dalam UUHT. Hak Tanggungan adalah hak
jaminan yang dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut setiap
benda yang merupakan bagian dan kesatuannya, untuk pelunasan suatu
utang tertentu dan memberikan kedudukan yang diutamakan/preferent
kepada Kreditur tertentu terhadap Kreditur lain.
a. Ciri-ciri Hak Tanggungan
1. Memberikan kedudukan diutamakan (preferent) kepada
Krediturnya;
2. Selalu mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek
tersebut berada (droit de suite);
3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas;
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya;
5. Tidak dapat dibagi-bagi;
6. Bersifat accessoir/merupakan ikatan pada perjanjian pokok yakni
perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum hutang-piutang.
b. Obyek Hak Tanggungan
1. Hak Milik
2. HGB
3. HGU
4. Hak Pakai atas Tanah Negara
Hak atas tanah sebagaimana tersebut di atas dapat dibebani Hak
Tanggungan karena memenuhi 2 syarat, yaitu:
1. Terdaftar dalam buku tanah di Kantor Pertanahan (memenuhi
asas publisitas); dan
2. Dapat dipindahtangankan.
Hak Pakai atas Tanah Negara yang diberikan kepada instansi
Pemerintah, Badan Keagamaan dan Sosial dan Badan Perwakilan Negara
Asing yang tidak dibatasi jangka waktunya dan diberikan selama tanahnya
digunakan untuk keperluan tertentu wajib didaftarkan, tetapi karena
menurut sifatnya tidak dapat dipindah tangankan bukan merupakan obyek
Hak Tanggungan, sedangkan Hak Pakai atas Tanah Negara yang
diberikan kepada orang perorangan dan badan-badan hukum perdata,
karena memenuhi kedua persyaratan tersebut di atas, dapat dijadikan
obyek Hak Tanggungan.
Jadi apa yang di jelaskan di atas mengenai kebendaan baik yang
tetap atau tidak tetap dan yang bergerak atau tidak bergerak sudah pasti
bisa di jaminkan dalam pencarian kredit di bank dan tentunya akan di
sesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang di
perlukan oleh bank yang bersangkutan. Tentunya dari bank juga
mempunyai standarisasi penilaian barang atau benda yang bisa di
gunakan jaminan dalam melakukan proses keridit. Terkait dengan jaminan
kredit yang akan di outentikkan tentunya bank harus melibatkan badan
yang berwenag dalam hal ini Notaris yang akan membuatkan surat
perjanjian kredit sesuai dengan wewenang dan perannya sebagai notaris.
E. Kerangka Pikir
Dalam penelitian ini peneliti menetapkan dua variable penelitian yaitu
variable tentang penggunaan jasa notaris dalam pembuatan perjanjian
kredit, dan variabel faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan jasa
notaris.
Untuk variabel penggunaan jasa notaris maka indikator yang akan
diteliti adalah perjanjian dalam kredit Modal Kerja Produktif, kredit
konsumtif, dan kredit investasi. Sedangkan untuk variabel faktor-faktor
yang mempengaruhi penggunaan jasa Notaris maka indikatornya adalah
Sumber Daya Manusia, Besarnya Nilai Kredit, Kebijaksanaan Bank,
Tingkat Risiko.
Untuk memberikan gambaran umum dari variable penelitian maka
dapat dikemukakan Bagan Hubungan Antar Variabel sebagai berikut :
Bagan 1
Hubungan Antar Variabel
Peran Notaris Dalam Perjanjian Kredit Perbankan
1. 2.
Landasan Hukum : a. Psl 1868
KUHPerdata b. UU No. 30 Th. 2004
Tentang Jabatan Notaris
Landasan Teori a. Perjanjian Kredit b. Peran Notaris c. Faktor-faktor yang
mempengaruhi
Penggunaan Jasa Notaris
1. 2. 3.
Kredit Modal Kerja Kredit Konsumtif Kredit Investasi
Penggunaan jasa Notaris untuk meminimalkan risiko terjadinya sengketa perjanjian kredit.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
penggunaan jasa notaris
1. 2. 3.
Kebijaksanaan Bank Tingkat Risiko Besarnya Nilai Kredit
F. Definisi Operasional Variabel
1. Jasa Notaris adalah jasa yang dilakukan oleh Notaris dalam bentuk
pembuatan perjanjian kredit dan pengikatan hak tanggungan yang
terdapat pada PT. BPD Bali.
2. Kredit modal kerja adalah fasilitas kredit yang diberikan oleh PT. BPD
Bali kepada pihak Nasabah Debitur, untuk membiayai modal kerja
yang dibutuhkan dalam menjalankan usahanya.
3. Kredit Konsumtif adalah suatu fasilitas kredit diberikan oleh PT. BPD
Bali kepada nasabah untuk membiayai kegiatan konsumtifnya, atau
pembelian barang-barang dan/atau kebutuhan sehari-hari dari pihak
nasabah.
4. Kredit Investasi adalah fasilitas kredit yang diberikan oleh PT. BPD
Bali kepada nasabah debitur untuk membiayai pengadaan investasi
dalam suatu kegiatan usaha.
5. Kebijaksanaan Bank adalah seluruh peraturan dalam bentuk surat
edaran maupun keputusan yang diterbitkan baik oleh Bank Indonesia
maupun oleh Direksi PT. BPD Bali.
6. Tingkat Risiko adalah suatu keadaan yang mempunyai akibat
terhadap kegiatan pembiayaan oleh pihak PT. BPD Bali, khususnya
dalam proses kelancaran pengembalian kredit.
7. Besarnya nilai kredit adalah sejumlah kredit yang disetujui oleh pihak
PT. BPD Bali terhadap pembiayaan untuk modal usaha, investasi,
konsumtif.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Penelitian ini adalah penelitian hukum emperik, yaitu berusaha
mengungkap aspek hukum dalam praktik penggunaan jasa Notaris pada
perjanjian kredit perbankan, khususnya pada PT. Bank Pembangunan
Daerah (BPD) Bali.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan
perundang-udangan dan pendekatan empiris.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD)
Bali, dengan alasan bahwa PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali
merupakan bank yang telah banyak memberikan fasilitas kredit kepada
masyarakat dengan mendasarkan pada perjanjian kredit perbankan, yang
dalam praktiknya juga menggunakan jasa Notaris.
C. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah Direksi, Komisaris, bagian perkreditan,
bagian hukum, dan Nasabah peminjaman.
Sampel Penelitian yang diambil dalam penelitian ini dapat
dikemukakan sebagaimana di bawah ini:
a. Direksi sebanyak : 1 orang
b. Komisaris sebanyak : 1 orang
c. Bagian perkreditan : 3 orang
d. Bagian hukum : 1 orang
e. Nasabah Peminjam : 2 orang
Total Sampel : 8 orang
D. Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data normatif
dan data empirik, yang dapat diklasifikasi kedalam data primer dan data
sekunder.
Data primer yang dikumpulkan adalah dalam bentuk hasil wawancara
mendalam yang dilakukan terhadap sampel penelitian, sedangkan data
sekunder yang dikumpulkan berupa bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, surat
edaran, surat keputusan Bank Indonesia dan Direksi PT. BPD Bali, serta
bahan-bahan literatur dalam bentuk buku dan hasil penelitian terdahulu
yang memiliki kaitan dengan masalah penelitian ini.
E. Teknik Pengumpulan Data
Secara umum, dalam penelitian biasanya dibedakan antara data
yang diperoleh secara langsung dan data dari bahan pustaka. Data yang
diperoleh langsung dari sampel penelitian dinamakan data primer dan
yang diperoleh dari kepustakaan adalah data sekunder. Penelitian ini
menggunakan metode metode pengumpulan data yang tepat untuk
penulisan tesis ini, yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber pada data
primer dan data sekunder yang terdiri dari :
a. Data Primer dalam penelitian ini, akan dilakukan dengan cara
wawancara. Wawancara secara mendalam (deep interview) akan
dilakukan secara langsung kepada responden dan narasumber.
b. Data Sekunder, merupakan data yang diperlukan untuk
melengkapi data primer, dengan cara melakukan studi
kepustakaan.
Selain berupa peraturan perundang-undangan, data sekunder juga
dapat berupa pendapat para pakar yang ahli mengenai masalah-masalah
ini, yang disampaikan dalam berbagai litaratur baik dari buku-buku,
naskah ilmiah, laporan penelitian, media massa, dan lain-lain. Mengenai
data sekunder dalam bentuk bahan hukum, maka dapat diklasifikasi
sebagai berikut :
1. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan pustaka yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan berisikan
informasi yang dapat membantu menganalisis bahan hukum
primer. Adapun bahan sekunder yang digunakan oleh penulis,
terdiri dari tulisan-tulisan hasil karya para ahli hukum yang berupa
buku-buku, makalah-makalah, artikel-artikel, majalah, serta
dokumen-dokumen yang releven lainnya, yang materinya dapat
dipergunakan sebagai bahan acuan penulisan tesis ini.
2. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan
petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, yang berupa kamus diantaranya :
a. Kamus Bahasa Indonesia;
b. Kamus Hukum.
F. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif. Metode
ini memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari
perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia,
atau pola-pola yang dianalisis gejala-gejala yang timbul untuk
memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku. Terdapat
banyak alasan yang sahi mengapa metode ini dipilih, salah satunya
karena penelitian dalam tesis ini bersifat deskriptif. Metode kualitatif, dapat
digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena
yang sedikit diketahui, metode ini juga dapat memberi rincian yang
kompleks tentang fenomena yang sulit diungkap oleh metode kuantitatif.
Analisis data yang digunakan adalah metode analisis kualitatif, yaitu suatu
cara penelitian yang menitik beratkan pada data berbentuk kalimat serta
meneliti fakta dan sebab terjadinya masalah.
Setelah data dikumpulkan maka selanjutnya dilakukan
pengelompokan data dan dianalisis dengan menggunakan metode
analisis kualitatif untuk selanjutnya di tulis secara deskriptif analisis.
Vg gBAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B. Peranan Notaris dalam Pembuatan Perjanjian Kredit pada
PT.Bank Pembangunan Daerah (BPD)
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris yang di himpun dalam Undang-Undang Jabatan Notaris
yang selanjutnya di singkat dengan (UUJN). Lebih jelasnya pada pasal 1
UUJN, memberi pengertian mengenai notaris sebagai berikut:
“Adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta-akta otentik tentang semua perbuatan, perjanjian dan kewenangan seperti menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, memberikan grosse dan salinan atau kutipan dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang.” Dalam Pasal 1 PJN merupakan pelaksanaan dan ketentuan Pasal
1868 KUH Perdata yang mengatur: “suatu akta otentik adalah akta yang
dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh dan atau
dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, ditempat di mana
akta itu dibuat. “
Kesimpulan dari Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris tersebut adalah
membuat akta-akta otentik, yang menurut Pasal 1870 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata akan memberikan kepada pihak-pihak yang
membuatnya suatu pembuktian yang mutlak dan sempurna artinya bahwa
apa yang tertulis pada akta tersebut memang benar adanya.
Terdapat empat hal kewenangan notaris yang hendaknya di
perhatikan, yaitu :
a. Berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya
(Pasal 1 PJN);
b. Berwenang sepanjang mengenai orang, untuk kepentingan siapa
akta itu dibuat (Pasal 20 PJN);
c. Berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat
(Pasal 18 PJN); dan,
d. Berwenang sepanjang tempat kedudukan pembuatan akta itu
(Pasal 19 PJN)
Notaris, selain berwenang membuat akta otentik baik oleh maupun
dihadapannya, yang memang merupakan tugas pokoknya sehari-hari
notaris juga dapat melakukan tindakan sebagai berikut:
1. Bertindak sebagai penasehat hukum, terutama yang menyangkut
masalah hukum perdata dalam arti luas (privaat);
2. Melakukan pendaftaran (waarmerking) atas akta-akta atau surat-
surat di bawah tangan dan dokumen (stukken);
3. Melegalisasi tanda tangan;
4. Membuat dan mensahkan (waarmerking) salinan atau turunan
berbagai dokumen (copy collationee);
5. Mengusahakan disahkannya badan-badan seperti Perseroan
Terbatas/Yayasan agar memperoleh persetujuan/pengesahan
sebagai badan hukum dan Menteri Kehakiman dan HAM;
Dalam pemberian tugas inilah, terletak pemberian tanda
kepercayaan kepada para pejabat itu dan pemberian kekuatan
pembuktian kepada akta-akta yang mereka buat yang secara hukum
memiliki tiga kekuatan pembuktian, yakni :
1. Kekuatan Pembuktian Lahiriah/Luar;
Menurut A.Pittlo, kekuatan bukti lahiriah artinya bahwa suatu
surat yang kehilangannya seperti akta, diperlakukan sebagai
akta sampai terbukti sebaliknya. Senada dengan pendapat dari
Sudikno Mertokusumo, yang menyatakan bahwa Kekuatan
pembuktian lahiriah ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan
atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya yaitu bahwa
suatu yang tampaknya (dan lahir) seperti akta, dianggap
(mempunyai kekuatan) seperti akta sepanjang tidak terbukti
sebaliknya. Pada kekuatan pembuktian luar akta otentik berlaku
asas acta publica probant seseipsa, yang berarti bahwa suatu
akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi
persyaratan yang ditentukan, maka akta dimaksud dianggap
sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya. Sehingga tanda
tangan pejabat dalam akta yang bersangkutan dianggap asli
sampai terbukti sebaliknya.
2. Kekuatan Pembuktian Formal;
Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta otentik
dibuktikan bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan
dalam tulisan itu, sebagaimana yang tercantum dalam akta itu
dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh
pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan
disaksikannya di dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan
disaksikannya di dalam menjalankan jabatannya itu. Dalam arti
formal sepanjang mengenai akta partij, akta itu membuktikan dan
memberikan jaminan tentang kebenaran/kepastian tanggal dan
akta itu, kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta itu,
identitas dari orang-orang yang hadir, dan tempat dimana akta
itu dibuat serta kebenaran bahwa para pihak ada menerangkan
seperti yang diuraikan dalam akta itu. Sedangkan kebenaran dan
keterangan-keterangannya hanya pasti antara pihak-pihak itu
sendiri.
3. Kekuatan Pembuktian Material;
Kekuatan pembuktian materiil memberikan kepastian tentang
materi suatu akta, memberi kepastian tentang suatu peristiwa
bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan
seperti yang dimuat dalam akta. Kekuatan pembuktian material
terhadap akta otentik harus dianggap benar bahwa para pihak itu
betul sudah menghadap kepada pejabat umum (Notaris), pada
hari, tanggal yang disebutkan dalam akta, dan mereka sudah
menerangkan apa yang dituliskan dalam akta yang mana
terhadap apa yang diterangkan pada akta itu adalah benar.
Notaris dan aktanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan,
karena kedudukan akta notaris menjadi otentik disebabkan kedudukan
notaris sebagai pejabat publik yang telah ditentukan oleh Undang-undang.
Secara yuridis formal ada 2 (dua) jenis perjanjian atau pengikatan kredit
yang digunakan bank dalam melepas kreditnya, yaitu :
1. Perjanjian/pengikatan kredit dibawah tangan atau akta di bawah
tangan ; dan
2. Perjanjian/pengikatan kredit yang dibuat oleh dan dihadapan
notaris (notariil) atau akta otentik.
Akta/Perjanjian Kredit Dibawah Tangan adalah perjanjian pemberian
kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat di antara mereka
(kreditor dan debitor) tanpa notaris. Mengenai akta perjanjian kredit di
bawah tangan, terdapat beberapa hal yang perlu untuk diphami, yaitu:
1. Ada beberapa kelemahan, dari akta perjanjian kredit di bawah
tangan ini, yaitu antara lain:
a. Apabila suatu saat nanti terjadi wanprestasi oleh debitor,
yang pada akhirnya akan diambil tindakan hukum melalui
proses peradilan, maka apabila debitor yang bersangkutan
memungkiri tandatangannya, akan berakibat hilangnya
kekuatan hukum perjanjian kredit yang telah dibuat tersebut.
Dalam Pasal 1877 KUH Perdata disebutkan, bahwa jika
seorang memungkiri tulisan atau tandatangannya, maka
Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari pada
tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka
Pengadilan.
b. Bahwa oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para
pihak, di mana formulirnya telah disediakan oleh Bank, maka
bukan tidak mungkin terdapat kekurangan data-data yang
seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan
kredit. Bahkan bukan tidak mungkin, atas dasar pelayanan,
penandatanganan perjanjian dilakukan walaupun formulir
perjanjian masih dalam bentuk blangko / kosong.
Kelemahan-kelemahan ini pada akhirnya akan merugikan
bank, bila suatu saat berperkara dengan nasabahnya.
2. Arsip / File Surat Asli Mengenai hal ini, pada dasarnya juga
merupakan suatu kelemahan dari perjanjian yang dibuat di
bawah tangan, dalam arti bahwa apabila akta perjanjian kredit
yang dibuat di bawah tangan (aslinya) tersebut hilang karena
sebab apapun, maka bank tidak memiliki arsip/file asli mengenai
adanya perjanjian tersebut sebagai alat bukti. Hal ini akan
membuat posisi bank akan menjadi lemah bila terjadi
perselisihan.
3. Isian Blangko Perjanjian dalam hal perjanjian kredit di bawah
tangan, kemungkinan terjadinya seorang debitor mengingkari
atau memungkiri isi perjanjian adalah sangat besar. Hal ini
disebabkan dalam pembuatan akta perjanjian kredit,
form/blangkonya telah disiapkan oleh bank, sehingga debitor
dapat saja mengelak bahwa yang bersangkutan
menandatangani blangko kosong yang berarti ia tidak tahu
menahu tentang isi perjanjian tersebut.
Akta/Perjanjian Kredit Notariil (Otentik) adalah perjanjian pemberian
kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh dan atau di
hadapan notaris. Mengenai definisi akta otentik dapat dilihat pada Pasal
1868 KUH Perdata.
Dari ketentuan / definisi akta otentik yang diberikan oleh Pasal 1868
KUH Perdata tersebut dapat ditemukan beberapa hal:
1. Pihak yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris,
terkecuali wewenang tersebut diserahkan pada pejabat lain atau
orang lain. Pejabat lain yang dapat membuat akta otentik adalah
misalnya seorang Panitera dalam sidang pengadilan. Seorang
jurusita dalam membuat exploit seorang Jaksa atau Polisi dalam
membuat pemeriksaan pendahuluan, seorang Pegawai Catatan
Sipil yang membuat akta kelahiran atau perkawinan, atau
pemerintah dalam membuat peraturan, sedang orang lain adalah
yang dikenal sebagai onbezoldigde-hulpmagistraten ex Pasal 39
ayat (6) HIR yang dapat pula membuat proses verbal suatu akta
otentik.
2. Akta otentik dibedakan dalam; (1) yang dibuat “oleh” dan (2) yang
dibuat di hadapan pejabat umum. Dengan adanya perbedaan
antara dibuat oleh dan “dibuat dihadapan” notaris, maka ilmu
pengetahuan membedakan akta otentik itu antara “proses verbal
akta” yang dibuat oleh dan “partij akta” yang dibuat “
dihadapan”notaris. Dan jika dalam hal “membuat proses verbal
akta” adalah menulis apa yang dilihat dan yang dialami sendiri
oleh seorang notaris tentang perbuatan (handeling) dan kejadian
(daadzaken); membaca dan menandatangani hanya bersama
para saksi akta tersebut di luar hadirnya atau karena penolakan
para penghadap, maka dalam hal “membuat partij akta” , notaris
membaca isi akta tersebut, disusul oleh penandatanganan akta
tersebut oleh para penghadap dan para saksi, terakhir oleh
notaris itu sendiri.
3. Isi daripada akta otentik adalah; (1) semua “perbuatan”yang oleh
Undang-undang diwajibkan dibuat dalam akta otentik;dan (2)
semua “perjanjian” dan “penguasaan” yang dikehendaki oleh
mereka yang berkepentingan. Suatu akta otentik dapat berisikan
suatu “perbuatan hukum” yang diwajibkan oleh Undang-undang,
jadi bukan perbuatan oleh seorang notaris atas kehendaknya
sendiri, misalnya membuat testament, perjanjian kawin ataupun
membuat akta tentang pembentukan suatu PT., dapat pula
berisikan suatu perjanjian yang dikehendaki oleh para pihak
misalnya jual beli, sewa-menyewa atau penguasaan (beschikking)
misalnya pemberian.
4. Akta otentik memberikan kepastian mengenai / tentang
penanggalan. Seorang notaris memberi kepastian tentang
penanggalan dari pada aktanya yang berarti bahwa ia
berkewajiban menyebut dalam akta bersangkutan, tahun, bulan,
dan tanggal pada waktu mana akta tersebut dibuat. Pelanggaran
dari pada kewajiban tersebut berakibat akta tersebut kehilangan
sifat otentiknya dan dengan demikian hanya berkekuatan akta
dibawah tangan (Pasal 25 S.1860-3) Reglement tentang jabatan
notaris di Indonesia.
Mengenai akta perjanjian kredit notariil/otentik ini, ada beberapa hal
yang perlu diketahui, yaitu:
1. Kekuatan Pembuktian ; Pada suatu akta otentik terdapat 3 (tiga)
macam kekuatan pembuktian :
Pertama : membuktikan antara para pihak, bahwa mereka sudah
menerangkan apa yang ditulis dalam akta tadi (kekuatan
pembuktian formal);
Kedua : membuktikan antara para pihak yang bersangkutan,
bahwa sungguh-sungguh peristiwa yang disebut kan di situ telah
terjadi (kekuatan pembuktian material atau yang kita namakan
kekuatan pembuktian mengikat);
Ketiga : membuktikan tidak saja antara para pihak yang
bersangkutan tetapi juga terhadap pihak ketiga bahwa pada
tanggal tersebut dalam akta kedua belah pihak tersebut sudah
menghadap di muka pegawai umum (notaris) dan menerangkan
apa yang ditulis dalam akta tersebut (kekuatan pembuktian ke
luar).
2. Grosse Akta Pengakuan Hutang
Kelebihan lain dari pada akta perjanjian kredit / pengakuan
hutang yang dibuat secara notariil (otentik) yaitu dapatnya
dimintakan Grosse Akta Pengakuan Hutang tersebut. Khusus
grosse akta pengakuan hutang ini, mempunyai kekuatan
eksekutorial dan di samakan dengan keputusan kim. Oleh bank
diharapkan pelaksanaan eksekusinya tidak perlu lagi melalui
proses gugatan yang biasa menyita waktu lama dan memakan
biaya yang besar.
3. Ketergantungan Terhadap Notaris
Adanya legal officer pada bank juga mempunyai peran yang
besar dalam pembuatan akta perjanjian kredit, sehingga di
dalam mengadakan perjanjian kredit/pengakuan hutang oleh
atau dihadapan notaris, Legal Officer tetap dituntut peran
aktifnya guna memeriksa segala aspek hukum dan kelengkapan
yang diperlukan. Kemungkinan terjadi kesalahan/kekeliruan atas
suatu perjanjian kredit/pengakuan hutang yang dibuat secara
notariil dapat saja terjadi. Sehingga Legal Officer tidak secara
mutlak bergantung kepada notaris, melainkan notaris harus
dianggap sebagai mitra atau rekanan dalam pelaksanaan suatu
perjanjian kredit/pengakuan hutang. Dalam hubungan itu, bank
akan meminta notaris yang bersangkutan untuk berpedoman
kepada model perjanjian kredit yang telah disiapkan oleh bank.
Terhadap akta notariil ini, akan memberikan kekuatan pembuktian
yang sempurna bagi para pihak, sempurna dalam artian kebenaran
menyangkut isi akta yang berkaitan dengan kehendak para pihak, waktu
pelaksanaan berkaitan dengan tanggal dibuatnya akta dan kebenaran
para pihak yang menandatangani akta tersebut. Akta notariil sangat
penting, hal ini berhubungan erat dengan beban pembuktian terhadap
dokumen-dokumen pendukung terhadap lahirnya suatu perjanjian.
Pembuktian melalui akta notariil memiliki kekuatan yang berbeda
dengan akta di bawah tangan, terhadap akta di bawah tangan beban
pembuktian harus melalui proses persidangan biasa, dimana para pihak
dihadapkan pada pemeriksaan saksi menyangkut kebenaran para pihak,
kebenaran tandatangan dan kebenaran persetujuan para pihak dalam isi
perjanjian, pembuktian dengan akta di bawah tangan menjadi sangat fatal
lagi apabila ada pihak yang tidak mengakui kebenaran kehadirannya
menurut waktu dan tandatangan dalam akta di bawah tangan tersebut,
sehingga memerlukan beban pembuktian bagi pihak yang disanggah
untuk memberikan bukti-bukti lain. Terhadap akta notariil sebaliknya,
kebenaran dalam akta notariil sepanjang tidak ada pembuktian sebaliknya
dianggap sah, pihak yang menyanggah kebenarannya harus
membuktikan sanggahannya tersebut.
Di dalam pembuatan akta perjanjian kredit bank, sering dalam
praktek notaris dihadapkan pada persoalan kedudukannya sebagai
Pejabat Publik yang harus menjamin kehendak kuat para pihak yang
tertuang dalam isi perjanjian kredit tersebut, kehendak kuat ini termasuk
juga kebenaran dari persetujuan para pihak terhadap pembentukan isi
perjanjian kredit tersebut, namun biasanya dalam perjanjian kredit bank,
notaris harus bertindak kooperatif dengan menuruti keinginan bank seperti
menandatangani akta yang dibawa oleh debitor tanpa perlu kehadiran
kreditor sebagai penghadap yang sebenarnya tidak datang saat tersebut,
sehingga sebenarnya bank secara langsung telah mengatur kerja dari
notaris.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Ibu Wayan Suciati.,SE
Kepala Bagian Pengembangan Produk dan Administrasi PT. Bank
Pembangunan Daerah (BPD) Bali yang dilakukan pada tanggal 5 Maret
2013, khususnya pada, PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali
terdapat pedoman pembuatan perjanjian kredit dengan menggunakan
akta notariil dan akta di bawah tangan. Tidak diberlakukannya batasan
jumlah kredit yang diberikan untuk dilakukan dengan perjanjian kredit
secara notaril. Tindakan PT. BPD Bali menggunakan akta di bawah
tangan dan akta notariil ini lebih disebabkan adanya tuntutan efisiensi dan
biaya dalam pelayanan, khususnya dalam perjanjian kredit perbankan.
Dengan pembuatan format materi/isi perjanjian kredit secara standar jelas
akan memberikan kemudahan bagi pihak PT. BPD Bali untuk
menganalisis dan menutupi kelemahan-kelemahan yang dapat saja timbul
di kemudian hari yang disebabkan perkembangan dalam dunia hukum.
2. Kedudukan Notaris dalam Pembuatan Perjanjian pada Kredit
Modal Kerja
Kredit modal kerja yang disalurkan oleh PT. Bank Pembangunan
Daerah (BPD) Bali didasarkan pada Surat Keputusan Direksi Nomor:
183.102.110.2010.2 tentang BPP Perkreditan, khususnya pada Buku IX,
Sub Bab A tentang Kredit Modal Usaha.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Ibu Wayan Suciati SE
Kepala Pengembangan Produk dan Administrasi PT. Bank Pembangunan
Daerah (BPD) Bali yang di lakukan pada tanggal 5 Maret 2013
mengatakan bahwa untuk kredit modal kerja pada PT. BPD Bali, maka
terdapat kondisi yang sifatnya situasional, yaitu apabila kreditnya tidak
terlalu besar maka perjanjian kredit modal usaha dilakukan secara di
bawah tangan saja. Dalam hal ini pihak PT. BPD Bali telah membuat
perjanjian standar atau baku yang penandatanganannya dilakukan pada
saat proses pencairan akan dilakukan. Hal ini terdapat di dalam
pengaturan Pasal 21 dari Draft Perjanjian Kredit dari BPD Bali sebagai
berikut: “Perjanjian Kredit ini ditandatangani di Denpasar pada saat
realisasi dibuat dalam rangkap dua masing-masing bermaterai cukup dan
mempunyai kekuatan pembuktian sama-sama asli”.
Dengan memperhatikan kondisi yang terjadi pada proses pemberian
kredit modal usaha di PT. BPD Bali tersebut, maka peranan notaris dalam
pembuatan perjanjian pada skim kredit modal usaha belum sepenuhnya
dilaksanakan sehingga secara yuridis masih menimbulkan potensi risiko
pada proses pembuktian apabila terjadi sengketa antara pihak PT. BPD
dengan pihak nasabah debitur yang meminjam kredit untuk kebutuhan
modal usahanya.
Namun demikian, apabila perjanjian kredit tersebut dibebani dengan
hak tanggungan maka barulah pihak bank menggunakan jasa Notaris
dalam pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan.
Selama ini perjanjian kredit yang dibuat oleh pihak PT. BPD Bali
belum menggunakan perjanjian kredit yang dibuat oleh Notaris, akan
tetapi lebih cenderung pada perjanjian di bawah tangan dan perjanjian
yang dibuat di hadapan notaris saja.
3. Kedudukan Notaris dalam Pembuatan Perjanjian pada Kredit
Konsumtif
Kredit Konsumtif yang disalurkan oleh PT. Bank Pembangunan
Daerah (BPD) Bali secara aktual terdiri dari beberapa skim kredit yang
meliputi:
a. Kredit Multi Guna (KMG) berdasarkan SK Nomor:
0139.102.10.2008.2 tanggal 23 April 2008 tentang Skim KMG.
b. Kredit Aneka Guna (KAG) berdasarkan SK No.
145.102.110.2012.2 tanggal 18 Desember 2012 tentang Skim
Kredit Aneka Guna;
c. KPR Bali Dwipa berdasarkan SK No. 0069.102.110.2012.2
tentang Skim KPR Bali Dwipa;
d. Kredit Pensiunan berdasarkan SK No. 0146.102.10.2008.2
tentang Skim Kredit Pensiunan Bali Dwipa.
e. Kredit Kepada Para Anggota DPRD Prov/Kab/Kota berdasarkan
SK No. 0173.102.10.2009.2 tentang Skim kredit kepada anggota
DPRD.
f. Kredit Kepada Pengurus dan Pegawai Lembaga Pemasyarakatan
Desa berdasarkan SK No. 0013.102.110.2013.2 tentang KPP
LPD.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Ibu IGA Citrawati SE
Kepala Bagian Ritel, Mikro dan Konsumer PT. Bank Pembangunan
Daerah (BPD) Bali pada tanggal 5 Maret 2013 mengatakan bahwa untuk
semua skim kredit konsumtif pada PT. BPD Bali, maka perjanjian kredit
modal usaha dilakukan secara di bawah tangan saja. Dalam hal ini pihak
PT. BPD Bali telah membuat perjanjian standar atau baku yang
penandatanganannya dilakukan pada saat proses pencairan akan
dilakukan. Hal ini terdapat di dalam pengaturan Pasal 21 dari Draft
Perjanjian Kredit dari BPD Bali sebagai berikut: “Perjanjian Kredit ini
ditandatangani di Denpasar pada saat realisasi dibuat dalam rangkap dua
masing-masing bermaterai cukup dan mempunyai kekuatan pembuktian
sama-sama asli”.
Dengan memperhatikan kondisi yang terjadi pada proses pemberian
kredit konsumtif di PT. BPD Bali tersebut, maka peranan notaris dalam
pembuatan perjanjian pada skim kredit konsumtif belum dilaksanakan
sehingga secara yuridis masih menimbulkan potensi risiko pada proses
pembuktian apabila terjadi sengketa antara pihak PT. BPD dengan pihak
nasabah debitur yang meminjam kredit untuk kebutuhan modal usahanya.
3. Kedudukan Notaris dalam Pembuatan Perjanjian pada Kredit
Investasi
Kredit Investasi yang disalurkan oleh PT. Bank Pembangunan
Daerah (BPD) Bali didasarkan pada Surat Keputusan Direksi Nomor:
183.102.110.2010.2 tentang BPP Perkreditan, khususnya pada Buku IX,
Sub Bab B tentang Kredit Investasi.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Ibu Wayan Suciati SE
Kabag PPA dan Ibu IGA Citrawati Kabag RKM PT. Bank Pembangunan
Daerah (BPD) Bali pada tanggal 8 Maret 2013, mengatakan bahwa untuk
kredit investasi pada PT. BPD Bali, maka terdapat kondisi yang sifatnya
situasional pula, yaitu apabila kreditnya tidak terlalu besar maka perjanjian
kredit investasi dilakukan secara di bawah tangan saja. Dalam hal ini
pihak PT. BPD Bali telah membuat perjanjian standar atau baku yang
penandatanganannya dilakukan pada saat proses pencairan akan
dilakukan. Hal ini terdapat di dalam pengaturan Pasal 21 dari Draft
Perjanjian Kredit dari BPD Bali sebagai berikut: “Perjanjian Kredit ini
ditandatangani di Denpasar pada saat realisasi dibuat dalam rangkap dua
masing-masing bermaterai cukup dan mempunyai kekuatan pembuktian
sama-sama asli”.
Dengan memperhatikan kondisi yang terjadi pada proses pemberian
kredit investasi di PT. BPD Bali tersebut, maka peranan notaris dalam
pembuatan perjanjian pada skim kredit investasi belum sepenuhnya
dilaksanakan sehingga secara yuridis masih menimbulkan potensi risiko
pada proses pembuktian apabila terjadi sengketa antara pihak PT. BPD
dengan pihak nasabah debitur yang meminjam kredit untuk kebutuhan
investasinya.
Namun demikian, apabila perjanjian kredit tersebut dibebani dengan
hak tanggungan maka barulah pihak bank menggunakan jasa Notaris
dalam pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan, demikian pula
apabila yang diagunkan adalah benda bergerak maka pihak bank
menggunakan jasa notaris untuk pembuatan pengikatan fidusianya.
Selama ini perjanjian kredit yang dibuat oleh pihak PT. BPD Bali
belum menggunakan perjanjian kredit yang dibuat oleh Notaris, akan
tetapi lebih cenderung pada perjanjian di bawah tangan dan perjanjian
yang dibuat di hadapan notaris saja (legalisasi dan warmarking saja).
Pada dasarnya walaupun perjanjian antara debitor dan kreditor
dibuat dengan perjanjian di bawah tangan tetapi selanjutnya terhadap
perjanjian dalam hal-hal tertentu berdasarkan situasi kebijakan maka
dilakukan penandatangannya di hadapan notaris, setelah para pihak
dijelaskan maksud dari isi akta tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa
legalisasi yang dilakukan notaris terhadap akta perjanjian standar/baku
tersebut dapat diterima sebagai bukti yang kuat, yang sebenarnya isinya
telah disetujui oleh pihak debitor.
Pembuatan perjanjian kredit dengan akta notariil pada kredit kecil
akan menyebabkan biaya bertambah besar karena kredit yang diterima
harus dipotong berbagai macam biaya (yang sebenarnya debitor telah
dikenakan biaya provisi dan asuransi), maka nasabah kecil tersebut akan
menerima kredit yang banyak terpotong biaya-biaya termasuk juga biaya
SKMHT bila tanah jaminan tidak berada di lokasi kewenangan notaris.
Karena itu dengan pembuatan akta di bawah tangan, nasabah hanya
dikenakan biaya pendaftaran atau legalisasi yang biayanya ringan.
Terhadap nilai kredit berapa pun pinjemannya, akan dibuatkan perjanjian
kredit notariil yang diikuti dengan akta penjaminan (APHT), dan SKMHT
jika lokasi Notaris berbeda dengan jaminan. Sehingga biaya yang
dibebankan pada debitor adalah akta perjanjian kredit notariil dan
penjaminan notariil. Biaya-biaya terhadap akta tersebut dihitung sesuai
ketentuan yang ada di PT. Bank Pembangunan Daerah Bali.
Notaris dan aktanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan,
karena kedudukan akta notaris menjadi akta otentik disebabkan
kedudukan notaris sebagai pejabat publik yang telah ditentukan oleh
Undang-undang.
Perjanjian kredit perbankan, menurut kenyataannya ada yang dibuat
secara notariil dan ada juga yang dibuat di bawah tangan. Namun
terhadap akta yang dibuat di bawah tangan tersebut oleh bank dimintakan
pengesahan/warmerking pada notaris.
Akibat dari tindakan legalisasi tersebut maka secara prinsip hukum
sesuai dengan Peraturan Jabatan Notaris akta tersebut telah memiliki
kekuatan hukum sebagai alat pembuktian yang kuat, tindakan legalisasi
tersebut tidak merubah akta di bawah tangan menjadi akta otentik, akta
tersebut tetap akta di bawah tangan, dengan kekuatan pembuktian yang
lebih baik dari pada akta di bawah tangan yang tidak dilegalisasi.
Dalam praktek di Bank BPD Bali, pembuatan akta di bawah tangan
dianggap sama saja dengan pembuatan akta perjanjian kredit dengan
notariil, hal ini terlihat pada praktek sehari-hari yang tidak memaksakan
pembuatan akta perjanjian kredit harus dengan notariil, menurut
responden dari PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) di Bali hal
tersebut disebabkan bahwa dengan perjanjian kredit di bawah tangan
akan memberikan keamanan yang sama dengan akta notariil, pada
prinsipnya hal yang ingin dicapai oleh bank melalui perjanjian kredit
adalah kekuasaan atas jaminan apabila debitor wanprestasi, dengan akta
di bawah tangan dengan tujuan ini juga dapat terwujud, karena akta di
bawah tangan selanjutnya dapat ditindak lanjuti dengan menunjuk
lembaga jaminan seperti Hak Tanggungan melalui pembuatan Akta
Pembebanan Hak Tanggungan yang lebih memiliki sifat eksekutorial, jadi
melalui akta di bawah tangan pada dasarnya juga dapat
menyelenggarakan keinginan kreditor tersebut.
Tidak juga berarti bahwa akta notariil menjadi sesuatu yang tidak
perlu dibuat, karena kenyataannya dalam praktek pada PT. Bank
Pembangunan Daerah (BPD) Bali juga diketemukan adanya pembuatan
akta perjanjian kredit dengan akta notariil, berapa pun nilai kreditnya
perjabjian selalu di buat dengan akta notariil, menurut penulis kenyataan
ini dimaksudkan untuk memberikan kekuatan alat bukti yang lebih
terhadap dokumen, selain sebagai suatu prosedur standart, tindakan
demikian lebih ke unsur keamanannya.
Dalam beberapa kasus wanprestasi, terhadap perjanjian kredit
dengan akta notariil maupun di bawah tangan tidak menjadi persoalan
atau dasar keberatan, karena dalam kasus-kasus tersebut yang menjadi
pokok adalah pembuktian mengenai tindakan wanprestasi yang dilakukan
oleh debitor. Hal ini berkaitan dengan jaminan debitor, sehingga dalam
kasus-kasus wanprestasi debitor cenderung mencoba melepaskan beban
tanggung jawabnya dengan alasan adanya overmacht dalam dirinya
menyangkut kegiatan usaha dan kondisi perekonomian secara nasional.
Terhadap kasus-kasus wanprestasi, yang pada akhirnya
mempermasalahkan kedudukan akta perjanjian kreditnya dibuat secara
notariil atau akta di bawah tangan, dari hasil penelitian penulis tidak
diperoleh kasus tersebut.
Dari penjabaran diatas dapat dikemukakan manfaat akta notariil
dalam perjanjian kredit bank adalah sebagai alat bukti yang kuat dan
sempurna jika terjadi dalam hal debitor mempermasalahkan keabsahan
atau kebenaran akta perjanjian kredit yang telah dibuat, misalnya dengan
tidak mengakui adanya perjanjian kredit tersebut.Walaupun hal tersebut
belum pernah terjadi karena biasanya yang dipermasalahkan hanya
mengenai wanprestasi seperti yang telah diuraikan. Tetapi untuk
mengamankan kredit-kredit dalam jumlah yang besar, akta notariil tetap
diperlukan.
Antara akta di bawah tangan dengan akta notariil pada PT. Bank
Pembangunan Daerah (BPD) Bali secara praktek tidak memberikan
perbedaan yang cukup penting, karena eksistensi akta tidak menjadi
persoalan dalam suatu tindakan wanprestasi, yang menjadi persoalan
adalah wanprestasi itu sendiri, menyangkut bagaimana selanjutnya
tindakan debitor untuk membayar angsurannya.
Perjanjian berdasarkan definisi yang diberikan dalam Pasal 1313
KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Bapak Made Arnaja,
SH Notaris di denpasar, pada tanggal 12 Maret 2013 mengatakan bahwa
suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji
kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa ini timbul suatu hubungan
perikatan.
Dalam hukum perjanjian, ada asas penting yang perlu di perhatikan
adalah Asas Kebebasan Berkontrak. Asas ini dapat disimpulkan dari
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : “ Semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka
yang membuatnya “ .
Suatu perjanjian kredit bank, secara jelas akan mengikat kreditor dan
debitor untuk mentaati isi perjanjian tersebut, perjanjian tersebut akan
berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak.
Selain asas kebebasan berkontrak, hukum perjanjian juga
mengharuskan adanya kata sepakat dari mereka yang membuat
perjanjian, kata sepakat menjadi penting untuk menentukan lingkup dari
aturan tersebut, asas ini dikenal dengan Konsensualisme. Asas lainnya
adalah asas itikad baik, bahwa orang yang membuat perjanjian harus
dilakukan dengan itikad baik, Asas Pacta Sun Servanda, merupakan asas
dalam perjanjian yang berhubungan dengan mengikatnya suatu
perjanjian.
Terhadap penerapan asas kebebasan berkontrak yang pada
dasarnya berhadap-hadapan dengan larangan perjanjian baku, untuk hal
ini perlu dicermati ketentuan dari Pasal 18 Undang-undang Perlindungan
Konsumen yang isinya adalah hal-hal yang dilarang dalam penggunaan
klausula baku ;
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang
dan/atau jasa yang dibeli konsumen.
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang
atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
f. Dan klausula-klausula lainnya yang di anggap menyimpang.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak
dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas
yang pengungkapannya sulit dimengerti.
3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha
pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan
batal demi hukum.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang
bertentangan dengan Undang-undang ini.
Berdasarkan ketentuan diatas jelas penerapan asas kebebasan
berkontrak dalam perjanjian kredit bank yang dibuat secara baku,
bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf g “Menyatakan tunduknya
konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya”,
termasuk lingkupnya adalah penetapan ketentuan dimungkinkannya
penyesuaian suku bunga oleh kreditor kepada debitor sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Terhadap pertentangan perjanjian baku dengan asas kebebasan
berkontrak ini, sanksinya sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 18
ayat (3) dari Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah batal demi
hukum.
Di dalam perjanjian kredit perbankan, keberatan klausula baku
muncul pada pengaturan pasal 4 ayat (3) dariisi perjanjian kredit tersebut,
dimana secara sepihak bank mencantumkan klausula bahwa debitor
memberikan izin kepada kreditor untuk mengenakan dasar bunga yang
disesuaikan dengan tingkat suku bunga yang berlaku dikemudian hari
selama masa kredit.
Perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis, bentuk dan formatnya
diserahkan oleh Bank Indonesia kepada masing-masing bank untuk
menetapkannya, setidaknya harus mengatur hal-hal mengenai jumlah,
jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan-
persyaratan kredit lainnya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan
persetujuan kredit.
Hal-hal pokok tersebut harus selalu menjadi dasar dalam pembuatan
perjanjian kredit,dan sebenarnya dasar-dasar tersebut telah diterima
sebagai acuan pokok. Pada beberapa bank dilakukan tambahan sesuai
dengan kebutuhan dan dijadikan format perjanjian standar dalam kegiatan
perbankan khususnya dalam bidang perjanjian kredit.
Atas dasar hasil penelitian penulis di lapangan diketahui, bahwa akta
dalam perjanjian kredit yang ada di PT. Bank Pembangunan Daerah
(BPD) Bali menggunakan format baku, tetapi ada proses negoisasi
dengan nasabahnya sebelum perjanjian kredit tersebut disetujui oleh
pihak bank. Praktek perjanjian baku pada perjanjian kredit bank sudah
merupakan hal umum, tetapi terhadap praktek tersebut, diusahakan
adanya kehendak yang sama oleh para pihak untuk menuangkan
keinginannya dalam perjanjian. Keinginan yang sama ini oleh bank
diartikan dengan tidak adanya penolakan debitor terhadap isi perjanjian
sehingga debitor menandatangani kredit. Sedangkan notaris, sebagai
pejabat publik, selama tidak adanya keberatan dari pihak debitor tetap
menganggap bahwa perjanjian kredit bank tersebut memang merupakan
kesepakatan kedua pihak, sebab untuk menyatakan dan mencari
kebenaran baku tidaknya suatu perjanjiandi luar dari tugas dan
tanggungjawab notaris, pembuktian tersebut harus diungkapkan oleh
pihak yang merasa dirugikan.
Klasifikasi perjanjian baku secara umum adalah salah satu pihak
tidak terlibat, memiliki format yang sama, ciri-ciri ini adalah sama dengan
format perjanjian kredit bank. Dalam perjanjian baku tersebut, notaris lebih
berkedudukan sebagai “legislator”, dalam artian format tersebut dibuat
oleh bank dan ditandatangani oleh debitor di depan notaris. Terhadap
kenyataan ini notaris tetap beranggapan materi yang ada, merupakan
materi perjanjian yang dibentuk berdasarkan asas kebebasan berkontrak.
Sepanjang debitor bersedia menandatangani akta perjanjian tersebut
dianggap debitor mengerti dan menundukkan diri dalam perjanjian itu,
sehingga perjanjian tersebut berlaku sebagai Undang-undang baik bagi
debitor maupun kreditor.
Suatu proses lahirnya akta perjanjian kredit bank didahului dengan
adanya permohonan kredit dari debitor, selanjutnya jika proses penilaian
jaminan dan kelayakan debitor disetujui, kemudian dilakukan penentuan
besarnya kredit yang dapat diperoleh debitor, dan oleh bank diterbitkan
Surat Pemberitahuan Persetujuan Kredit (SPPK) yang berisi ; jumlah
kredit yang disetujui, bunga, jangka waktu, provisi dan biaya-biaya. Dalam
proses inilah terjadi negosiasi antara debitor dan kreditor. Setelah isi
SPPK disetujui dan ditandatangani oleh pihak debitor disinilah terjadi
kesepakatan para pihak, bukti SPPK tersebut yang menjadi dasar
pembuatan perjanjian kredit.
Perjanjian baku yang dibuat dalam perjanjian kredit pada PT. Bank
Pembangunan Daerah (BPD) Bali, tidak bertentangan dengan asas
kebebasan berkontrak, karena terhadap perjanjian baku tersebut tidak
terdapat suatu keinginan/iktikad yang sesungguhnya dari kreditor
menggunakan posisinya yang kuat tersebut untuk menekan debitor
menyetujui perjanjian kredit. Perjanjian baku dalam perjanjian kredit
perbankan baru dapat dikatakan bertentangan dengan asas kebebasan
berkontrak bila ada klausula yang tidak disadari/dimengerti debitor pada
waktu menandatanganinya, atau bilaada klausula yang sedemikian
mungkin menekan debitor sebagai pihak yang lemah dan terpaksa harus
menandatangani akta perjanjian tersebut. Hal-hal ini sangat subyektif
namun dapat diketahui akan secara tegas bertentangan bila debitor tidak
diberikan kesempatan melakukan negoisasi terhadap isi yang ada dalam
perjanjian kredit, kenyataan ini yang tidak ada dalam perjanjian kredit
perbankan yang dibuat dengan perjanjian baku tersebut.
Debitor dalam posisinya tetap diberikan kesempatan untuk
melakukan negoisasi sebelum ditandatangani akta perjanjiannya. Yang
perlu menjadi fokus kajian adalah kaitan penerapan asas kebebasan
berkontrak dan pertentangannya dengan klausula baku dalam perjanjian
kredit bank, sebagaimana yang telah penulis uraikan pada bagian
terdahulu, bahwa sebagian besar perjanjian kredit dibuat dengan
perjanjian baku, dengan demikian apakah perjanjian tersebut
bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak.
Menurut analisis penulis, pembuatan perjanjian baku dalam hal ini
tidak ada kaitannya dengan peranan notaris, karena sebenarnya
kehendak yang ada merupakan kehendak dari para pihak kreditor dan
debitor, notaris hanya menjembatani kepentingan tersebut, menjelaskan
maksud dari perjanjian.
Adanya tindakan perbankan yang memformatkan perjanjian kredit
dapat saja dikatakan adalah pembuatan perjanjian baku, namun perlu
juga diperhatikan bakunya perjanjian tersebut masih dalam alasan hukum
yang wajar, sehingga belum dapat dikatakan bertentangan dengan asas
kebebasan berkontrak, bank dalam hal ini membuat perjanjian baku hanya
untuk mengarahkan maksud dan isi pokok-pokok dari perjanjian kredit,
dan bukan berkehendak menjebak atau menyudutkan debitor pada posisi
yang tidak berdaya, perjanjian kredit yang menurut kita dibuat secara
baku, ternyata dalam aplikasi di lapangan masih dimungkinkan terjadinya
negoisasi, antara lain koreksi / perubahan karena negosiasi dari debitor
yang bersangkutan, terhadap hal ini penulis beranggapan maksud dari
perjanjian baku tersebut belum menyentuh aspek pertentangan seperti
yang dimaksud dari Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
Notaris dalam perjanjian tersebut hanya melakukan prosedur
pengesahan terhadap akta perjanjian kredit yang dianggap telah
disepakati oleh para pihak. Notaris membacakan, menjelaskan maksud
dan isi perjanjian kredit pada para pihak. Karena secara prosedur sebelum
akta tersebut dibawa dan dimintakan tandatangan notaris, telah terlebih
dahulu dibicarakan oleh pihak kreditor dan debitor.
Hukum perjanjian mempunyai sejumlah prinsip atau azas yang
mendasarinya. Ada beberapa asas penting dan di akui oleh para pakar
hukum perdata yang menjadi kerangka acuan dalam setiap membuat
perjanjian tentang apa saja. Adapun asas dimaksud adalah sebagai
berikut:
a. Asas kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak untuk
membuat perjanjian baik mengenai bentuk maupun isinya. Asas
ini juga disebut asas otonom yaitu adanya kewenangan
mengadakan hubungan hukum yang mereka pilih di antara
mereka. Asas kebebasan berkontrak ini berhubungan dengan isi
perjanjian (Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata).
b. Asas konsensualisme adalah suatu persesuaian kehendak yang
berhubungan dengan lahirnya suatu perjanjian (Pasal 1320 ayat
(1) KUH Perdata).
c. Asas kekuatan mengikat/kepastian hukum adalah setiap
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang artinya perjanjian itu dapat dipaksakan bilamana salah
satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Asas kekuatan
mengikat atau asas kepastian ini berhubungan dengan akibat
perjanjian (Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata).
Disamping asas-asas di atas, terdapat pula asas:
a. Asas persamaan hukum adalah menempatkan para pihak dalam
persamaan derajat walaupun ada perbedaan kulit, bangsa,
kepercayaan, dan lainnya. Kedua belah pihak dalam perjanjian
harus saling hormat menghormati dalam pemenuhan perjanjian.
b. Asas keseimbangan adalah bahwa kreditor mempunyai kekuatan
untuk menuntut pelunasan prestasi namun kreditor dan debitor
dibebankan untuk melaksanakan perjanjian dengan iktikad baik.
c. Asas moral adalah faktor-faktor yang memberi motivasi pada
yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum
didasarkan pada moral (kesusilaan) sebagai panggilan dari hati
nuraninya.
d. Asas kepatutan adalah asas yang berhubungan dengan isi
perjanjian artinya melalui asas ini kurang adanya hubungan
hukum ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
e. Asas kebiasaan adalah asas bahwa suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas akan tetapi juga
hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang diikuti.
Semua asas di atas ternyata dapat dikembalikan pada tiga asas :
a. Yang berhubungan dengan lahirnya suatu perjanjian yaitu
mencakup : asas konsensualisme, asas persamaan hukum, asas
keseimbangan dan asas kebiasaan.
b. Yang berhubungan dengan akibat perjanjian mencakup asas
kekuatan mengikat/kepastian hukum, asas moral dan asas
kepatutan.
c. Yang berhubungan dengan isi dari perjanjian adalah mencakup
asas kebebasan untuk membuat perjanjian atau otonom.
Menurut sejumlah prinsip atau asas hukum perjanjian tersebut,
perhatian dicurahkan pada tiga prinsip atau asas utama. Prinsip atau tiga
asas utama dianggap sebagai soko guru Hukum Perjanjian, memberikan
sebuah gambaran mengenai latar belakang cara berpikir yang menjadi
dasar Hukum Perjanjian. Satu dan lain karena sifat fundamental hal-hal
tersebut, maka asas-asas utama tersebut dikatakan sebagai asas atau
prinsip dasar.
Prinsip-prinsip atau asas fundamental yang menguasai Hukum
Perjanjian adalah :
1. Asas Konsensualisme Berdasarkan asas ini dimana perjanjian
dapat terjadi karena persesuaian kehendak (konsensus) para
pihak. Pada umumnya perjanjian itu dapat dibuat secara bebas
bentuknya, dan dibuat tidak secara formal, melainkan konsensual.
2. Asas Kekuatan Mengikat Pada asas kekuatan mengikat ini
menegaskan bahwa para pihak harus memenuhi apa yang telah
merupakan ikatan mereka satu sama lain dalam perjanjian yang
mereka adakan.
3. Asas Kebebasan Berkontrak Berdasarkan asas ini, kepada para
pihak diperkenankan membuat perjanjian sesuai dengan pilihan
bebas masing-masing dan setiap orang mempunyai kebebasan
untuk membuat perjanjian dengan siapa saja yang dikehendaki,
asal tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan.
Bila ini dikaji secara lebih mendalam, bahwa azas konsensualisme
menyangkut terjadinya sebuah perjanjian. Asas kekuatan mengikat
menyangkut akibat perjanjian, sedangkan asas kebebasan berkontrak
terutama berurusan dengan isi perjanjian meskipun diantara ketiga asas
tersebut harus dibedakan secara tegas, tetapi untuk memperoleh
pengertian yang benar, asas-asas tersebut harus dibahas secara
bersama-sama satu sama lain, mengingat ketiga asas tersebut
berhubungan erat satu dengan yang lainnya.
Berbicara asas konsensualisme secara khusus dalam kontrak
perjanjian, dimana asas tersebut dianut oleh Pasal 1320 KUH Perdata.
Berdasarkan asas konsensualisme tersebut dimana untuk terjadinya suatu
perjanjian cukup dengan sepakat saja dan perjanjian itu telah lahir pada
saat tercapainya consensus antara kedua belah pihak tentang hal-hal
pokok yang dimaksudkan di dalam perjanjian yang bersangkutan.
Kesepakatan mereka mengikat diri adalah asas essensial dari hukum
perjanjian. Asas ini sering disebut sebagai asas konsensualitas yang
menentukan adanya perjanjian. Di dalam asas ini terkandung arti
kemauan para pihak untuk saling mengikat diri, sebab dengan adanya
kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian ini akan
terpenuhi. Asas kepercayaan ini merupakan nilai etis yang bersumber
pada moral..
Bahwa asas konsensualisme harus disimpulkan dari Pasal 1320 dan
bukannya dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bilamana sudah tercapai
sepakat, maka sahlah perjanjian itu atau perjanjian itu berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, apa
yang sudah disepakati oleh pihak-pihak dan telah pula memenuhi
ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian tersebut mempunyai
kekuatan mengikat bagi pihak-pihak yang bersangkutan.
Persoalannya sekarang kaitannya dengan perjanjian standar kredit
bank adalah menyangkut ada dan tidaknya unsur konsensualisme dalam
perjanjian standar. Menyikapi hal ini ada kontroversi pandangan diantara
para sarjana (para ahli). Beberapa pakar hukum ada yang menolak
kehadiran perjanjian standar (baku). Sebaliknya beberapa pakar hukum
ada juga yang menerima perjanjian standar sebagai perjanjian yang
mengikat.
Pada suatu perjanjian kredit yang diadakan pihak-pihak tidak
memberikan kesempatan kepada debitor untuk mengadakan real
bargaining dengan bank (kreditor). Debitor tidak mempunyai kekuatan
untuk mengutarakan kehendak dan kebebasan dalam menentukan isi
perjanjian standar ini. Perjanjian ini mengandung kelemahan, karena
dalam perjanjian kredit tidak terkandung adanya kesepakatan (consensus)
dalam arti luas dari kedua belah pihak, melainkan hanya sepihak, karena
pihak pemohon dalam memberi kesepakatannya hanyalah fiktif belaka.
Dengan demikian perjanjian kredit bank seperti diuraikan di atas,
dikatakan tidak saja mengandung kelemahan tetapi juga menyimpang dari
asas-asas yang terkandung dalam Pasal 1320 jo. Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata.
Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa dasar berlakunya perjanjian
standar kredit itu didasarkan atas “fiksi” dan penerima kredit dianggap
menyetujuinya sesungguhpun didalam kenyataannya ia tidak mengetahui
isinya, perjanjian ini mengandung kelemahan karena syarat-syarat yang
ditentukan secara sepihak dan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan
itu karena posisinya yang lemah.
Kelemahan perjanjian standar ini juga disinyalir oleh beberapa ahli.
Dalam hal ini diantaranya Pitlo mengemukakan perjanjian standar ini
adalah suatu “dwangkontrak”karena kebebasan pihak-pihak yang dijamin
oleh Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata sudah dilanggar. Pihak yang lemah
(debitor) terpaksa menerima hal ini sebab mereka tidak mampu berbuat
lain. Terhadap perbuatan dimana kreditor secara sepihak menentukan isi
perjanjian standar, menurut Sluyter secara material melahirkan “Legio
Particuliere Wetgevers” (pembentukan undang-undang swasta).
Stein dalam hal ini juga mengemukakan bahwa dasar berlakunya
perjanjian ini adalah “de fictive van wil of vertrouwen” . Jadi tidak
kebebasan kehendak yang sungguh-sungguh ada pihak-pihak khusus
debitor. Bahwa asas konsensualisme terdapat di dalam Pasal 1320 jo.
Pasal 1338 KUH Perdata. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan
mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai
Undang-undang. Kebebasan kehendak di dalam perjanjian adalah
merupakan tuntutan kesusilaan. Hal-hal di atas menunjukkan bahwa
perjanjian standar bertentangan baik dengan asas-asas Hukum Perjanjian
Pasal 1320 jo. Pasal 1338 KUHPerdata maupun kesusilaan akan tetapi di
dalam praktek perjanjian tumbuh karena keadaan menghendakinya dan
harus diterima sebagai kenyataan.
Sebaliknya bagi mereka yang menerima kehadiran perjanjian standar
sebagai suatu perjanjian mengemukakan alasannya sebagai berikut :
a. Perjanjian standar (baku) diterima sebagai perjanjian berdasarkan
fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en
vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak
mengikat diri pada perjanjian itu.
b. Setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab
pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang
membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian standar
(baku), maka tanda tangan itu membangkitan kepercayaan
bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi
formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seseorang
menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.
c. Perjanjian standar (baku) mempunyai kekuatan mengikat,
berdasarkan kebiasaan (gebruk) yang berlaku di lingkungan
masyarakatdalam lalu lintas perdagangan.
Dengan adanya dua pandangan yang bertolak belakang tentang
perjanjian standar tersebut, maka penulis secara pribadi lebih condong
menyetujui pendapat yang terakhir. Secara yuridis formal perjanjian
standar sah dan mengikat dengan adanya penandatanganan perjanjian
tersebut oleh pihak-pihak penandatangan atau tanda tangan yang
dibubuhkan pada perjanjian standar itu merupakan satu bukti bahwa yang
bersangkutan atau pihak-pihak telah menyepakati tentang isi perjanjian
itu, atau dengan kata lain disini sudah ada unsur konsensualisme
(kesepakatan), sehingga karenanya perjanjian itu mengikat pihak-pihak.
Stein mencoba memecahkan masalah ini dengan mengemukakan
pendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian,
berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en
vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak
mengikat diri pada perjanjian itu, jika debitor menerima dokumen
perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju padaisi perjanjian tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Bapak Nyoman
Sudarma.,SH.,MH, Kepala Devisi perkreditan BPD Bali pada tanggal 18
Maret mengatakan, bahwa “Setiap orang yang menandatangani
perjanjian, bertanggungjawab pada isi dan apa yang ditanda tanganinya,
jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian
baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang
bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang
ditandatangani “. Tidak mungkin seorang menandatangani apa yang tidak
diketahui isinya.
Begitu pula bila dikaitkan dengan hubungan hukum yang terjadi
antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian dasarnya adalah
karena adanya unsur penawaran dan penerimaan. Ketika pihak yang satu
mengajukan penawaran (baik tertulis maupun tidak tertulis) dan kemudian
diterima oleh pihak yang lain (bisa dalam bentuk penandatanganan)
perjanjian maka pada saat itu telah terjadi “kata sepakat” (konsensus)
diantara pihak-pihak tidak peduli apa yang disepakati itu sesuai dengan
hati nurani atau tidak. Apapun alasan yang dapat dikemukakan bahwa
tidak seorangpun dalam suatu perjanjian dapat dihalangi untuk dapat
bebas memenuhi keinginan dan kebutuhannya, asalkan yang
bersangkutan dapat menerima segala persyaratan yang diajukan pihak
lainnya sebagai hal yang harus diterima, meskipun disanasini
mengandung unsur-unsur yang memberatkan. Hal yang demikian adalah
wajar karena posisi tawaran yang tidak sama diantara pihak-pihak.
Disetiap aspek kehidupan manusia, siapapun yang mempunyai posisi
tawar yang lebih kuat, akan lebih dapat memaksakan kehendaknya
kepada pihak lain. Ketika paksaan kehendak itu diterima oleh pihak
lainnya, maka hal itu sah dan mengikat, karena unsur kesepakatan
(konsensus) telah dipenuhi. Dengan adanya penandatanganan oleh
debitor atas perjanjian kredit yang ditawarkan oleh bank, maka itu dengan
demikian secara yuridis formal debitor telah menyetujui/menyepakati
syarat-syarat yang ada dalam perjanjian kredit tersebut.
Konsepsi perbuatan penawaran dan penerimaan dalam suatu
perjanjian ini adalah sesuai dengan ajaran umum bahwa perjanjian adalah
perbuatan hukum dua pihak (twuzijdige recrtshandeling ) berdasarkan
atas persetujuan persesuaian kehendak. Tetapi pandangan baru ini
menyatakan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara perbuatan
hukum penawaran dan perbuatan hukum penerimaan. Jadi dapat
disimpulkan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua
pihak dimana masing-masing melakukan perbuatan-perbuatan hukum
sepihak yaitu penawaran dan penerimaan. Demikian pula pandangan baru
ini diterapkan terhadap perjanjian kredit sebagai perjanjian standar, maka
pihak yang telah menerima melakukan perbuatan hukum penerima yang
akibat hukumnya dapat dipertanggungkan kepadanya. Sebenarnya
kenyataan sosial tentang perjanjian kredit sebagai perjanjian standar
bukanlah mengenai standarisasi dalam hal hubungan padaumumnya,
tetapi hanya mengenai ketidak seimbangan kedudukan diantara pihak-
pihak dalam perjanjian yang memerlukan pemikiran-pemikiran untuk
diseimbangkan, sehingga memenuhi aspek-aspek keadilan dari sudut
pandang kepentingan kedua belah pihak.
Kalangan perbankan dalam memberikan kredit kepada nasabah,
telah mempratekkan standar kontrak. Ketika bank telah mengambil
keputusan menyetujui permohonan kredit, bank menyerahkan formulir
perjanjian kepada nasabah. Dalam formulir (blanko) tersebut, pihak bank
telah menyusun isi perjanjiannya. Pada bagian-bagian tertentu antara lain
seperti identitas para pihak, jumlah kredit jangka waktu maupun jenis
barang jaminan sengaja dikosongkan untuk diisi. Maksud penyerahan
blanko ini, nasabah diminta untuk memberikan pendapatnya apakah ia
menyetujui atau tidak. Nasabah umumnya dapat menyetujui, jarang
ditemui ada nasabah yang tidak setuju dengan perjanjian demikian, sebab
nasabah dihadapkan pada keadaan yang akan menyulitkan dirinya,
apabila kreditnya tidak jadi diberikan maka proyeknya akan menjadi
terkatung-katung.
Memang tidak sedikit nasabah yang belum atau tidak mengetahui
hukum perjanjian dan hukum perkreditan, sehingga pada waktu
menandatangani kontrak yang demikian terpaksa menyetujuinya. Dalam
pendangan mereka kontrak standar bentuk dan isi perjanjian ditentukan
secara sepihak serta diberlakukan secara memaksa terhadap pihak yang
lainnya, dan karenanya penggunaan perjanjian ini tidak mengikuti asas
konsensualisme. Kata sepakat atau consensus sebagai salah satu syarat
sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata dipandang tidak ada,
karena kata sepakat/consensus diperoleh dengan paksaan.
Pandangan dari pihak bank (berdasarkan hasil wawancara dengan
Bapak Nyoman Sudarma.,SH.,MH) Kepala Divisi Perkriditan BPD Bali ,
bahwa perjanjian kredit terjadi pada saat pemohon kredit menyatakan
persetujuannya setelah ia mempelajari isi perjanjian sebagaimana kontrak
standar yang disodorkan kepadanya. Disinilah pemohon kredit dan pihak
bank telah tercapai kata sepakat baik berdasarkan teori kepercayaan
(vertrouwentheorie) maupun teori penerimaan (ontvangstheorie). Sejak
saat itu kedua belah pihak sudah terikat, walaupun perjanjian kredit
secara tertulis belum ditandatangani. Perjanjian kredit secara tertulis
hanya merupakan formalitas, berfungsi untuk kepentingan pembuktian
dan kepentingan administrasi.
Lahirnya perjanjian kredit tidak tepat bila dikaitkan dengan realisasi
tanpa mendasarkan kapan terjadinya kata sepakat para pihak.
Pelaksanaan perjanjian tidak selalu terjadi begitu penandatanganan
perjanjian selesai. Untuk melihat lahirnya perjanjian harus kembali melihat
kapan terjadinya kata sepakat. Jadi menurutnya dengan adanya kata
sepakat tersebut maka perjanjian kredit tersebut adalah sah dan mengikat
serta memenuhi unsur konsensualisme (ada kata sepakat) seperti
dimaksud Pasal 1320 KUHPerdata.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Jasa Notaris
Menurut Bapak Nyoman Sudarma.,SH.,MH, Kepala Divisi Kredit pada
PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali, mengatakan terdapat faktor
yang mempengaruhi penggunaan jasa notaris dalam proses pemberian
kredit yang disalurkan oleh pihak PT. BPD Bali, yang dapat dikemukakan
berdasarkan hasil penelitian di bawah ini.
1. Faktor Kebijaksanaan Bank
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Ibu Wayan
Suciati SE, Kepala Bagian Pengembangan Produk dan Administrasi
pada PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali pada tanggal 18
Maret 2013, dapat dikemukakan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi penggunaan jasa Notaris dalam proses perjanjian
kredit yang dilakukan adalah berdasarkan kebijaksanaan bank yang
dituangkan dalam surat keputusan direksi.
Dalam kaitan ini maka penggunaan jasa notaris ditentukan pada arah
kebijaksanaan perbankan, sehingga tidak seluruh perjanjian kredit
yang dilakukan oleh pihak PT. BPD Bali seluruhnya menggunakan
jasa Notaris.
Kebijaksanaan yang ditetapkan pada masing-masing skim kredit yang
ada di PT. BPD Bali dituangkan ke dalam Buku Pedoman Perusahaan
yang diterbitkan sebagai dasar dalam menjalankan kegiatan
perkreditan bagi masing-masing skim kredit yang ada.
Berdasarkan Buku Pedoman Perusahaan tersebut, maka terdapat
beberapa petunjuk perjanjian kredit yang tercantum di dalamnya yaitu:
a. Perjanjian kredit merupakan perikatan terhadap para pihak untuk
mendudukan hak dan kewajiban para pihak dalam kesepakatan
atau perjanjian pinjam meminjam antara debitur dengan bank;
b. Perjanjian kredit dibuat secara notaris atau di bawah tangan
dengan format standar atas dasar pedoman hukum perkreditan;
c. Perjanjian kredit harus ditandatangani oleh debitur yang benar-
benar mengajukan permohonan kredit, berwenang untuk
menandatangani dan cakap hukum. Apabila karena sesuatu dan
lain hal debitur yang berkompoten dalam perjanjian kredit tidak
dapat menandatangani PK maka kredit tidak dapat dicairkan;
d. Penandatanganan PK dan perjanjian accessoire melalui lembaga
kuasa tidak diperkenankan;
e. Apabila terdapat klausul-klausul dalam PK yang tidak sesuai
dengan keputusan kredit unit pengelola kredit dapat melakukan
perubahan-perubahan/renvoi dengan persetujuan divisi kredit dan
divisi yang menangani masalah hukum.
Berdasarkan Pedoman Keputusan Kredit dan Monitoring
sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
penggunaan jasa notaris pada perjanjian kredit di PT. BPD Bali turut
dipengaruhi oleh faktor kebijaksanaan dari pihak bank. Hal ini dapat
dilihat dari adanya ketentuan yang tidak mewajibkan seluruh
perjanjian kredit dilakukan secara notaril sebagaimana yang diatur
dalam buku pedoman perusahaan tersebut.
2. Faktor Tingkat Risiko
Berdasarkan wawancara dengan I Made Arnaja, SH. Sebagai notaris
yang telah melakukan kerjasama dengan pihak PT. Bank
Pembangunan Daerah (BPD) Bali, pada tanggal 15 Maret 2013 dapat
dikemukakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi
penggunaan jasa notaris dalam proses pemberian kredit di PT. BPD
Bali adalah tingkat risiko kredit yang diberikannya. Dalam hal ini,
apabila tingkat risiko kreditnya cukup besar, maka disyaratkan adanya
pembebanan jaminan sehingga umumnya kredit yang disalurkan
mewajibkan adanya jaminan, dan dalam praktiknya selalu
menggunakan jasa notaris.
Penggunaan jasa notaris dalam kaitan dengan kredit yang dianggap
memiliki risiko besar umumnya dilakukan melalui perjanjian kredit
yang dilanjutkan dengan legalisasi oleh pihak notaris. Keterlibatan
notaris selanjutnya dilakukan dengan membuat akta pembebanan hak
tanggungan (APHT) terhadap jaminan yang diagunkan, khususnya
jaminan benda tidak bergerak, dan dengan pengikatan fidusia pada
jaminan benda bergerak.
3. Faktor Besarnya Nilai Kredit
Menurut Ibu IGA Citrawati SE dan Ibu Wayan Suciati SE selaku
informan yang ada pada PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali,
ditemukan suatu keterangan bahwa untuk pemberian kredit dengan
nilai di atas Rp 5 milyar, mewajibkan menggunakan jasa notaris dalam
proses perjanjian kredit dan pengikatan hak tanggungannya,
sedangkan untuk nilai kredit yang jumlahnya di bawah Rp 5 Milyar
maka penggunaan jasa notaris didasarkan pada kebijaksanaan dari
pihak pemutus kredit.
Sedangkan kredit konsumtif yang diberikan kepada Pegawai Negeri
Sipil dalam praktiknya tidak menggunakan jasa notaris sehingga
perjanjian kredit yang dibuat hanyalah perjanjian kredit di bawah
tangan. Hal ini dilakukan oleh karena umumnya nilai kredit yang
disalurkan untuk kredit konsumtif nilainya cukup kecil dan khusus
untuk pegawai dengan dilakukan pemotongan gaji secara langsung
maka perjanjian kreditnya samasekali tidak menggunakan jasa
notaris.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana yang
telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwa peranan Notaris dalam pembuatan perjanjian kredit pada PT.
Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali sangat dibutuhkan, hal ini
terlihat dengan adanya perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh pihak
PT. BPD Bali dengan beberapa Notaris. Namun demikian, dalam
praktiknya perjanjian kredit yang dibuat antara pihak PT. BPD Bali
dengan pihak debitur tidak seluruhnya menggunakan jasa notaris,
padahal akta perjanjian kredit perbankan yang dibuat secara notariil
akan sangat bermanfaat bagi kreditor, khususnya terhadap kekuatan
pembuktiannya.
2. Perjanjian kredit perbankan yang dibuat oleh pihak PT. Bank
Pembangunan Daerah Bali (BPD) Bali dengan pihak nasabah debitur
tidak seluruhnya menggunakan jasa notaris. Hal ini dipengaruhi oleh
kebijaksanaan perbankan yang dijalankan oleh pihak direksi, tingkat
risiko kredit yang disalurkan, serta besarnya nilai kredit yang diberikan
kepada nasabah peminjam.
B. Saran
Dalam rangka ikut memberikan kontribusi terhadap permasalahan
yang dibahas, maka dapat kiranya diberikan saran-saran sebagai berikut :
1. Sebaiknya bank melakukan legalisasi dihadapan Notaris jika ada
perjanjian kredit dibuat dalam bentuk di bawah tangan, sehingga
dapat memberi pembuktian yang kuat.
2. Perbankan harus lebih membantu dalam hal negosiasi yang
dilakukan dengan debitor, sebab dengan begitu konsep perjanjian
baku semakin terlihat tidak ada pertentangannya dengan asas
kebebasan berkontrak, sekaligus sebagai bentuk membantu
perekonomian kecil yang baru mencoba berusaha.
3. Guna mencegah tindakan kesewenangan pihak bank dalam
menentukan isi perjanjian kredit, maka pihak pemerintah dalam
hal ini hendaknya dapat memberikan pengawasan serta
melakukan pendaftaran terhadap rancangan klausula baku
perjanjian sebelum disebarluaskan di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Budiono, Herlien. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan. Cet. 3. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007.
Kie, Tan Thong. Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris. Cet. 1. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007.
Kohar, A. Notaris Dalam Praktek Hukum. Cet. 1. Bandung: Alumni, 1983.
Naja, H. R. Daeng. Hukum Kredit dan Bank Garansi : The Banker Hand Book. Cet. 1. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005.
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia. Jati Diri Notaris Indonesia : Dulu, Sekarang Dan Di Masa Akan Datang. Cet. 1. Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2008.
Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia. Cet. 1. Jakarta: PT Pustaka Utama Garfiti, 2009.
----------, Aneka Perjanjian. Cet. 10. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995.
Tobing, G. H. S. Lumban. Peraturan Jabatan Notaris. Cet. 5. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 1999.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Perbankan, UU No. 182 tahun 1998, LN No.10 Tahun 1998, TLN No. 3790.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, TLN No. 3821
Indonesia. Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris, No. 30 tahun 2004, LN No.117 Tahun 2004, TLN No. 4432 .
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo. Cet. 39. Jakarta: Padya Paramita,2008.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No. 37 Tahun 1998.
Qiram Syamsudin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya,Liberty, Yogyakarta, 1985.
…………………………, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty,
Yogyakarta, 1989.
J. Satrio, Hukum Perikatan , Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Citra
Aditya Bakti, Bandung,1995.
Mariam Darus Badrulzaman,Perjanjian Kredit Bank, Alumni Bandung,
1980.
----------------------------------, Perlindungan Konsumen Dilihat Dari Sudut
Perjanjian Baku
, BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta, 1980.
----------------- KUHPerdata, Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,
Cetakan I, Edisi Kedua, Alumni 1996.
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia,
PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Alumni
Bandung, 1985.
R. Subekti , Hukum Perjanjian, Cetakan VI, PT.Intermasa Jakarta, 1979.
R. Subekti, Jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum
Indonesia,PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.