tesis pendekatan restoratif dalam penjatuhan...

179
DISUSUN OLEH: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 TESIS PENDEKATAN RESTORATIF DALAM PENJATUHAN SANKSI TINDAKAN BAGI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM CITRA PERMATA SARI P0902215038

Upload: dinhtuong

Post on 25-Mar-2019

242 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

DISUSUN OLEH:

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

TESIS

PENDEKATAN RESTORATIF DALAM PENJATUHAN SANKSI TINDAKAN BAGI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM

CITRA PERMATA SARI P0902215038

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa tesis mahasiswa :

Nama : CITRA PERMATA SARI

Nomor Induk : P0902215038

Judul Tesis : PENDEKATAN RESTORATIF DALAM

PENJATUHAN SANKSI TINDAKAN BAGI ANAK

YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian akhir magister.

Pembimbing I

Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.S NIP. 19631024 198903 1 002

Pembimbing II

Dr. Hj. Nur. Azisa, S.H.,M.H NIP. 19671010 199202 2 002

Makassar, Januari 2018

Kepala Program Studi Magister Hukum

Prof. Dr. A. Pangerang Moenta,S.H.,M.H.,DFM NIP. 19610828 1987031 001

ABSTRAK

CITRA PERMATA SARI. Pendekatan Restoratif Dalam Penjatuhan Sanksi Tindakan Bagi Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum (dibimbing oleh Muhadar dan Nur Azisa). Penelitian ini bertujuan menganalisis dan memperoleh pemahaman terhadap pendekatan restoratif yang diterapkan pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bagi Anak yang berkonflik dengan hukum dalam rangka upaya memberikan perlindungan hukum bagi Anak yang berkonflik dengan hukum tersebut. Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris, yaitu berupa implementasi perundang-undangan dalam hukum nasional menyangkut pendekatan restoratif dalam penjatuhan sanksi tindakan terhadap Anak yang berkonflik dengan hukum demi menjauhkan Anak dari pidana penjara dan stigma negatif di masyarakat. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap hakim, jaksa, dan pembimbing kemasyarakatan. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang anak yang berkonflik dengan hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai keadilan restoratif sudah terakomodir dalam sistem peradilan pidana anak. Pertimbangan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan putusan tindakan terhadap kasus kenakalan Anak, yaitu usia dari Anak, terpenuhinya semua unsur-unsur pasal dalam dakwaan, fakta di persidangan, berat ringannya tindak pidana yang dilakukan oleh Anak, pengulangan tindak pidana, serta tujuan dan manfaat dari penjatuhan pidana itu sendiri terhadap Anak yang berkonflik dengan hukum, dan penerapan keadilan restoratif dalam putusan pidana Anak No.14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.SGM telah sesuai dengan tujuan dibuatnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Kata kunci : anak yang berkonflik dengan hukum, pendekatan restoratif, sanksi tindakan.

ABSTRACT

CITRA PERMATA SARI. Restorative Approach in the imposition of Action Sanction to Children in Conflict with the law. (Supervised by Muhadar dan Nur Azisa). This research aimed to find analyze and gain an understanding of the restorative approach applied to law number 11 of 2012 on the Criminal Justice System for the children in conflict with the law. This research was empirical normative legal research that is the research on the implementation of provisions of legislation in national law concerning restorative approach in the imposition of action sanctions against children in conflict with the law in order to keep children from imprisonment and negative stigma in society. Data employed in this research were primary and secondary data. Primary data were collected through interview with judges, prosecutor, and community counselors. Secondary data were collected through library research on legislation stipulating children in conflict with the law. This research indicates that the value of restorative justice has been accommodated in the criminal justice system of children. Legal considerations by the judge in the decision of action against child delinquency cases, that are the age of the child, the fulfillment of all elements of the article in the indictment, the fact in the trial, the severity of the crime commited by the child, the repetition of criminal acts as well as the purpose and benefits of the Imposition of the penalty and the application of restorative justice in child criminal decision No.14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.SGM has been in accordance with the objective of law number 11 of 2012 on Criminal Justice System from Children. Key word : child in conflict with the law, approach restorative, action sanction.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT peneliti panjatkan, karena berkat

rahmat-Nya maka peneliti dapat menyelesaikan tesis berjudul

“PENDEKATAN RESTORATIF DALAM PENJATUHAN SANKSI

TINDAKAN BAGI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM”

dengan lancar.

Tesis ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan studi jenjang

Strata 2 guna meraih gelar Magister di Universitas Hasanuddin Makassar.

Selesainya tesis ini peneliti bermaksud mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, selaku Rektor Universitas

Hasanuddin beserta jajaran wakil rektornya.

2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin beserta jajaran wakil

dekannya.

3. Prof. Dr. Andi Pangeran Moenta, S.H., M.H., DFM., selaku Plh.

Ketua Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin.

4. Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.S., selaku pembimbing I yang telah

memberikan bimbingan, nasihat, dan arahan kepada peneliti

dalam penyusunan tesis ini.

5. Dr. Hj. Nur Azisa, S.H., M.H, selaku pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan, nasihat dan arahan kepada peneliti

dalam penyusunan tesis ini.

6. Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H., M.H., Prof.Dr. H.M.

Said Karim, S.H., M.H.,M.Si, Dr. Wiwie Heryani, S.H., M.H

selaku penguji yang memberi masukkan dalam ujian.

7. Ibunda Dr. Tamah, SH.,M.H, dan suami penulis Mappaewa

Syam. S.E.,M.M yang tak pernah berhenti mencurahkan kasih

sayangnya dan doa yang terus menerus sebagai bentuk

dukungan moril dan materil yang tak ternilai harganya, dan

putra penulis Arganta Satria.

8. Sahabat-sahabat penulis pada Kejari Gowa, Anita, Juandarita,

Wiwiek, Siska, A. Fatmawati, Ariani, Rina terima kasih untuk

bantuan dan motivasinya.

Semoga bantuan yang telah diberikan dengan ikhlas tersebut

mendapat imbalan dari Allah SWT. Peneliti menyadari dalam penulisan

tesis ini jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat

membangun sangat peneliti harapkan, semoga tesis ini dapat bermanfaat

bagi peneliti dan pembaca pada umunya.

Makassar, Januari 2018

Peneliti

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i PERSETUJUAN PEMBIMBING.............................................................................ii ABSTRAK.............................................................................................................iii ABSTRACT...........................................................................................................iv KATA PENGANTAR .............................................................................................v DAFTAR ISI .........................................................................................................vii BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 9

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 9 B. Rumusan Masalah .................................................................................. 16 C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 16 D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 17

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 18 A. Anak ........................................................................................................ 18

1. Pengertian Anak. ................................................................................ 18 2. Anak Yang Melakukan Tindak Pidana. ............................................. 21 3. Hak-Hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum ............................ 33

B. Sistem Sanksi Terhadap Anak ............................................................... 37 1. Pengertian .......................................................................................... 37

2. Jenis-Jenis Sanksi Terhadap Anak....................................................31 3. Prinsip Penjatuhan Sanksi Terhadap Anak ...................................... 40

C. Sistem Peradilan Pidana Anak. .............................................................. 45 D. Keadilan Restoratif Dalam Peradilan Pidana Anak .............................. 49

1. Pengertian .......................................................................................... 49 2. Penerapan Keadilan Restoratif ......................................................... 53

E. Landasan Teori ....................................................................................... 57 1. Teori Pertanggungjawaban ............................................................... 49 2. Teori Efektivitas Hukum .................................................................... 58 3. Teori Hukum Progresif....................................................................... 72

F. Kerangka Pikir ........................................................................................ 74 G. Bagan Kerangka Pikir ............................................................................. 78 H. Definisi Operasional ............................................................................... 79

BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................................ 81 A. Jenis Penelitian ...................................................................................... 81 B. Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 81 C. Lokasi Penelitian .................................................................................... 82 D. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 83 E. Teknik Analisis Data ............................................................................... 83

BAB IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...........................................77 A. Nilai Keadilan Restoratif Yang Terakomodir Dalam Sistem Peradilan Anak Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak............................................................................77 1. Diversi...................................................................................................77 2. Tujuan Pemidanaan……………………………………………………….86 3. Pemulihan Korban………………………………………………………...91 4. Jenis-Jenis Sanksi ………………………………………………………..97 5. Jenis Tindakan Dalam UU. No.11 Tahun 2012……………………….103

6. Jumlah Putusan Anak Di PN. Sungguminasa………………………..105 B. Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Putusan Tindakan Terhadap Anak……………………………………………………………….107 1. Fakta Persidangan..........................................................................109 2. Usia..................................................................................................112 3. Berat Ringannya Tindak Pidana ...................................................113 4. Pengulangan Tindak Pidana .........................................................115 5. Tujuan Dan Manfaat Pemidanaan..................................................119 6. Kepentingan Terbaik Bagi Anak....................................................124 C. Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Pidana Anak No.14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Sgm…………………………………………129 1. Kasus Posisi.....................................................................................129 2. Pertimbangan Yuridis......................................................................135 3. Pertimbangan Sosiologis...............................................................153 4. Laporan Bapas................................................................................159 5. Kepentingan Terbaik Bagi Anak....................................................161 BAB V. PENUTUP ……………......………………………………………………..165 A. KESIMPULAN ………………………………………………………………...165 B. SARAN…………………………………………………………………………169 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 168 LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan masyarakat manusia sehingga di dalam masyarakat selalu ada

sistem hukum, ada masyarakat dan ada norma hukum (ubi societas ibi

ius). Hal tersebut dimaksudkan oleh Cicero bahwa tata hukum harus

mengacu pada penghormatan dan perlindungan bagi keluhuran martabat

manusia. 1 Hukum berupaya menjaga dan mengatur keseimbangan antara

kepentingan atau hasrat individu yang egoistis dengan kepentingan

bersama agar tidak terjadi konflik.2 Kehadiran hukum justru ingin

menegakkan keseimbangan perlakuan antara hak perorangan dan hak

bersama. Secara hakiki hukum haruslah pasti dan adil sehingga dapat

berfungsi sebagaimana mestinya.

Konsep keadilan restoratif atau yang sering diterjemahkan sebagai

keadilan restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul sejak

era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. 3

Masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang

1 Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, (Jakarta: PT.

Refika Aditama, 2006) hal. 127 2 Ibid,hal. 121.

3 Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif, (Depok : Badan Penerbit FHUI, 2009) hal. 2.

bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.

Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan keadilan restoratif sebagai a

way of responding to criminal behavior by balancing the needs of the

community, the victims and the offenders,4 yang terjemahan bebasnya

adalah sebuah penyelesaian terhadap tindak pidana dengan cara

menyelaraskan kembali harmonisasi antara masyarakat, korban dan

pelaku.

Keadilan restoratif merupakan hal yang relatif baru di Indonesia.

Namun demikian, keadilan restoratif memiliki cara pandang yang berbeda

menurut Fruin J.A yaitu untuk pemenuhan rasa keadilan akibat suatu

tindak pidana.5 Pandangan Paulus Hadisuprapto, peradilan anak restoratif

berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap pelaku

delinkuensi anak tidak akan efektif tanpa adanya kerjasama dan

keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang menjadi

dasar adalah bahwa keadilan yang terpenuhi, apabila setiap pihak

menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam

proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari

interaksi mereka dengan sistem peradilan anak.6

Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 7upaya menuju

4 Handbook on Restorative Justic programme, (New York : United Nations,2006) Page 6.

5 Fruin. JA, Nederlandse Wetboeken, (Zwole : W.E.T Tjeenk Willink, 1996), page 1200-

1208. 6 Paulus Hadisuprapto (a), Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa

Datang,(Semarang: Diponegoro Universitry Press,2006), hal. 225 7 Indonesia (a), Undang-Undang Tentang Hukum Pidana, No. 1 Tahun 1946, LN No. 127

keadilan restorative bisa dilihat pada Pasal 45 dengan menyebutkan

bahwa dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa

yang berumur di bawah enam belas tahun karena melakukan suatu

perbuatan, hakim dapat menentukan : memerintahkan supaya yang

bersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau

pemeliharanya, tanpa dikenakan suatu pidana apapun; atau

memerintahkan supaya yang bersalah itu diserahkan kepada pemerintah

tanpa pidana apa pun, bila perbuatan tersebut merupakan kejahatan atau

salah satu pelanggaran berdasarkan pasal 489,490,492,496,497,503-

505,514,517-519,526,531,532,536 dan 540, serta belum lewat dua tahun

sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu

pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau

belum menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.

Hukum acara pidana yang diatur dalam Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP)8 tidak mengenal perdamaian sebagai

mekanisme penyelesaian suatu perkara, namun dalam penanganan

perkara pidana cukup banyak didapati bahwa petugas penegak hukum,

baik polisi maupun jaksa memilih untuk tidak memperpanjang proses

perkara dan mengajak pihak korban dan pelaku menyelesaikannya

melalui musyawarah. 9 Dalam Pasal 82 Undang-undang No. 11 Tahun

Tahun 1958. TLN No. 1660, ps.45. 8 Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, No. 8 Tahun 1981, LN

No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209. 9 Zulfa, op.cit., hal.164.

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan mengenai

alternative pemberian sanksi hukum bagi anak yaitu mengembalikan

kepada orangtua, wali atau orang tua asuh; menyerahkan kepada Negara

untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; atau

menyerahkan kepada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)

Menangani masalah anak yang berkonflik dengan hukum

hendaknya dilakukan dengan pendekatan secara kekeluargaan dan

sedapat mungkin menghindarkan anak dari lembaga peradilan.

Pengadilan bagi anak yang berkonflik dengan hukum menjadi upaya

terakhir setelah berbagai upaya yang dilakukan dengan pendekatan

kekeluargaan telah ditempuh.

Secara umum, prinsip-prinsip keadilan restoratif adalah :

1. Membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki

kerugian yang ditimbulkan oleh kesalannya.

2. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan

kapasitas dan kualitasnya disamping menagatasi rasa

bersalahnya secara konstruktif; Melibatkan para korban,

orangtua, keluarga besar, sekolah dan teman sebaya;

3. Mencipatakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan

masalah; menetapkan hubungan langsung dan nyata antara

kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.10

Metode keadilan restoratif yang digunakan adalah musyawarah

10

Makalah Potret Situasi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Di Indonesia,

(Jakarta:UNICEF Indonesia, 2004), hal.357.

pemulihan dengan melibatkan korban dan pelaku beserta keluarga

masing-masing, ditambah wakil masyarakat yang diharapkan dapat

mewakili lingkungan dimana tindak pidana dengan pelaku anak tersebut

terjadi. Dengan adanya dukungan dari lingkungan setempat untuk

menyelesaikan masalah di luar sistem peradilan anak diharapkan dapat

menghasilkan putusan yang tidak bersifat punitive, namun tetap

mengedepankan kepentingan dan tanggung jawab dari anak pelaku tindak

pidana, korban dan masyarakat.

Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari keadilan restoratif ini

adalah anak sebagai pelaku, korban dan saksi akan dilindungi oleh sistem

peradilan anak yang ramah anak dan peka gender dan oleh masyarakat.

Proses keadilan restoratif pada dasarnya merupakan upaya pengalihan

dari proses peradilan pidana menuju penyelesaian secara musyawarah,

yang ada pada dasarnya merupakan jiwa dari bangsa Indonesia, untuk

menyelesaikan permasalahan dengan cara kekeluargaan untuk mencapai

mufakat. Berdasarkan perundang-undangan yang diuraikan dan situasi

kondisi (fakta) yang terjadi selama ini, maka upaya penyelesaian masalah

anak yang berkonflik dengan hukum melalui upaya diversi dan keadilan

restoratif merupakan salah satu langkah yang tepat bagi penyelesaian

kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Untuk mengefektifkan

keadilan restoratif dalam rangka pemenuhan hak anak yang berhadapan

dengan hukum, perlu sosialisasi dan koordinasi dari berbagai pihak, yaitu

aparat penegak hukum, keluarga maupun tokoh masyarakat. Tanpa

sosialisasi tersebut maka penerapan keadilan restoratif menjadi sulit

diwujudkan sebagai alternatif penyelesaian masalah anak yang berkonflik

dengan hukum.

Dalam pandangan keadilan restoratif makna tindak pidana pada

dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada umumnya, yaitu

serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan

kemasyakatan, namun dalam sistem peradilan pidana saat ini, korban

utama atas terjadinya tindak pidana adalah Negara. Berdasarkan

pendekatan keadilan restoratif korban utama bukanlah Negara melainkan

masing-masing pihak baik pelaku maupun korban adalah korban utama.

Kejahatan menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan

akibat terjadinya suatu tindak pidana, karena itu dibutuhkan suatu proses

pencarian pemecahan masalah atas tindak pidana yang terjadi dengan

melibatkan korban, masyarakat dan pelaku dalam usaha perbaikan,

rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan tersebut.11

Walaupun konsep keadilan restoratif belum diterapkan dalam

sistem peradilan pidana umum yang berlaku secara resmi di Indonesia,

keadilan restoratif sebenarnya bukanlah suatu konsep yang sekali baru,

bahkah telah lama hidup dan berkembang dalam masyarakat, baik dalam

pandangan hukum adat maupun hukum islam. 15 Dalam penyelesaian

perkara pidana, pemulihan “kerusakan” yang timbul dilakukan dengan

melibatkan korban, pelaku dan masyarakat terkait agar tercapai

11

Zulfa, op. cit., hal.3

perdamaian. Perdamaian disini hadir dari semua pihak, dimana

masyarakat terkait khususnya korban memaafkan pelaku dan pelaku

memberikan ganti rugi kepada korban dan/atau masyarakat dengan

sesuatu yang telah disepakati, misalkan berupa uang, barang ataupun

perbuatan tertentu.

Adapun contoh lain kasus yang terkait dengan keadilan restoratif

dalam rangka pemenuhan hak anak yang berhadapan dengan hukum

adalah kasus 5 (lima) orang anak yang ikut melakukan pengerusakan

pada gedung DPRD Kabupaten Gowa saat terjadi aksi demonstrasi

penolakan Peraturan Daerah (PERDA) tentang Lembaga Adat Daerah

(LAD). Para Anak didakwa dengan Primair Pasal 187 Ayat (1) KUHP jo

Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP Atau Kedua Primair Pasal 170 Ayat (2)

Ke-1 KUHP subsidiair Pasal 170 Ayat (1) KUHP. Meskipun ancaman

pidana yang didakwakan terhadap para Anak di atas 7 (tujuh) tahun

dikarenakan dakwaan penuntut umum berbentuk subsidiaritas hakim

berdasarkan Pasal 3 Peraturan mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2014

tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana

Anak melaksanakan diversi akan tetapi tidak berhasil, dan dalam

putusannya hakim menjatuhkan pidana berupa tindakan kepada para

Anak dikembalikan kepada orang tua/walinya dengan ketentuan selama

maksimum 1 (satu) tahun berkewajiban melapor secara periodik serta

dalam pengawasan dan pembimbingan dari pembimbing

kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan atau apabila Anak tidak

melanjutkan pendidikan formal sekolahnya Anak akan ditempatkan di

LPKS (Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial) selama 1 (satu)

tahun.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka

penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pendekatan

Restoratif Dalam Penjatuhan Sanksi Tindakan Bagi Anak Yang

Berkonflik Dengan Hukum.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka

dirumuskan pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah nilai keadilan restoratif terakomodir dalam

sistem peradilan pidana anak menurut Undang-undang No. 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

2. Pertimbangan hukum apa yang digunakan oleh hakim dalam

menjatuhkan putusan tindakan terhadap kasus kenakalan

anak?

3. Bagaimana hakim menerapkan Keadilan Restoratif dalam

perkara yang dilakukan anak pelaku pengrusakan kantor

DPRD Kabupaten Gowa? (Studi Kasus Perkara No.

14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.SGM).

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Secara umum tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

mengkaji konsep keadilan restorative dalam peradilan anak di

Indonesia. Selain itu, memberikan masukan bagi aparatur

penegak hukum terutama hakim untuk bias mengupayakan

keadilan restoratif dalam pemulihan perkara pidana anak.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui sejauh mana nilai keadilan restoratif terakomodir

dalam sistem peradilan pidana anak menurut Undang-

undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak.

2. Mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

putusan pemidanaan terhadap kasus kenakalan anak.

3. Mengetahui cara hakim menerapkan Keadilan Restoratif

dalam perkara yang dilakukan anak pelaku pengrusakan

kantor DPRD Kabupaten Gowa? (Studi Kasus Perkara No.

14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.SGM)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis, memberikan gambaran yang jelas

mengenai bentuk pertanggungjawaban dan bentuk

perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan

hukum.

2. Manfaat akademis, menambah khazanah ilmu pengetahuan

bagi peneliti yang tertarik untuk malakukan kajian terhadap

objek penelitian serupa.

3. Manfaat praktis bagi masyarakat adalah memberikan

pengetahuan yang jelas mengenai pertanggjawaban pidana

terhadap terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dan

penerapan keadilan restoratif, sehingga diharapkan

masyarakat lebih memahami penerapan keadilan restoratif

dalam sistem peradilan pidana. Bagi pemerintah

diharapkan agar menyegerakan revisi terhadap peraturan-

peraturan yang belum memberikan kepastian hukum dalam

sistem peradilan pidana anak.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anak

1. Pengertian Anak.

Pengertian anak dalam Konvensi Hak Anak diartikan

sebagai:“For purpose of present Convention, a child means every

human being below the age eighteen years, under the law

applicable to the child: majority is attained earlier”. (yang dimaksud

dalam konvensi ini adalah setiap orang yang berusia di bawah

delapan belas ahun, kecuali berdasarkan Undang-undang yang

berlaku bagi anak, ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih

awal).12 Dengan demikian batasan usia dewasa menurut Konvensi

Hak-hak Anak adalah 18 tahun dengan pengecualian kedewasan

tersebut dicapai lebih cepat.

Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

13 memberikan definisi tentang anak sebagai berikut :” setiap

manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum pernah

menikah termasuk anak yang masih dalam kanudngan apabila hal

tersebut adalah demi kepentingannya”. Sedangkan dalam Undang-

undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diberikan

batasan mengenai siapa yang dimaksud dengan anak yaitu :

Seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan”. Dengan demikian pengertian

menurut kedua peraturan ini luas sekali. Karena termasuk anak

dalam kandunganpun diakui sebagai seorang anak. Tentunya jika

kepntingan hukum itu menghendaki.

12

Konvensi Hak-Hak Anak, disetujui oleh Majelis Umum PBB Tanggal 20 November 1987, pasal 1. 13

Indonesia (f), op.cit., Pasal 1 angka 1.

Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak14 menyebutkan bahwa “ Anak adalah seorang yang belum

mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin”. Penegasan ini

diuraikan lagi dalam penjelasannya bahawa batas usia dewasa 21

tahun ditetapkan karena berdasarkan pertimbangan kepentingan

usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan

pribadi dan kematangan mental seorang anak mencapai pada umur

tersebut. Melihat batasan usia dalam peraturan ini maka kita dapat

melihat bahwa batasan seorang anak sampai dengan usia 21

tahun, artinya kematangan anak ini akan lebih sempurna.

Pertimbagan usia 21 tahun ini sebetulnya didasarkan pada

ketentuan dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata15 yang

mengatur mengenai kedewasaan seseorang adalah setelah

mencapai usia 21 tahun.

Pengertian anak dalam Black’s Law Dictionary “young of

human species, generally under the age of puberty (under forteen)”

(anak diartikan sebagai seorang yang usianya belum mencapai

empat belas tahun)16 . dalam hal ini diakuinya variasi umur yang

berbeda di berbagai Negara untuk penyebutan seorang anak.17

Kamus peristilahan hukum dalam praktek mengartikan anak 14

Indonesa (g), Undang-undang Tentang Kesejahteraan Anak, No. 4 Tahun 1979,LN No. 33 Tahun 1979,TLN No. 3143, Pasal 1 angka 2. 15

Indonesia, Undang-undang Tentang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Staatsblad 1874 No. 23, Pasal 330. 16

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, (USA:St. Paul West Publishing, 1979), page 197. 17

Ibid.

sebagai turunan yang kedua.18 sedangkan Surat Edaran Jaksa

Agung No. SE-002/JA/4/1989 meminta agar terhadap anak yang

belum berusia 18 tahun diperlakukan tata tertib sidang anak.

Kamus Hukum menggunakan istilah pupil atau minderjarige onder

voogdilj sebagai pengertian dari anak yang di bawah

pengampuan19, lain halnya dalam Kamus Hukum Belanda

Indonesia menggunakan istilan strafrechtelijke minderjarigheid

artinya kebelum dewasaan menurut hukum pidana. 20

2. Anak Yang Melakukan Tindak Pidana.

Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak memberikan definisi tentang anak dalam pasal 1

angka 3 yaitu “Anak yang berkonflik dengan Hukum yang

selanjutnya disebut Anak adalah anak yang yang telah berumur 12

(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun

yang diduga melakukan tindak pidana.

Beijing Rules tidak menyebutkan secara pasti tentang cakupan

anak tersebut dilihat dari batas usianya. Beijing Rules

menggunakan istilah a juvenile untuk menyebut anak tanpa

menyebutkan usianya. “A juvenile is a child or young person who

under the respective legal system, may be dealt with for an offence

18

Yan Pramudya Puspa, Kamus Hukum, (Jakarta: Aneka Ilmu Sejarah, 1977) hal.581. 19

Arief S, Kamus Hukum Lengkap, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1995), hal.68. 20

M. Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda Indonesia, (Jakarta: Djambatan,1999) hal.297.

in a manner which is different from an adult)”.21

Mempertimbangkan apakah seorang anak dapat berbuat

sesuai dengan komponen-komponen moral dan psikologis dari

pertanggungjawaban criminal ; artinya apakah seorang anak

berdasarkan atas kejernihan pikiran dan pemahaman individu

dapat dianggap bertanggungjawab atas perilaku yang pada

dasarnya anti sosial. Jika usia pertanggungjawaban criminal

ditetapkan terlalu rendah atau jika tidak ada batas usia yang lebih

rendah sama sekali, pengertian tanggungjawab tidak akan memiliki

arti. Pada umumnya terdapat satu hubungan yang dekat antara

pengertian tanggungjawab terhadap perilaku krimnalitas atau yang

melanggar hukum pidana dengan hak-hak serta tanggung jawab

sosial lainnya).22

Beijing Rules tidak menyebutkan secara pasti tentang kapan

seorang anak dapat dipertanggunjawabkan atas perbuatannya.

Pengaturan mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana

seorang anak pelaku tindak pidana diatur dalam Article 4.1: “ in

those legal systems recognizing the concept of the age of criminal

responsibility for juveniles, the beginning of that age shall not be

fixed at too low an age level, bearing in mind the facts of emotional,

mental and intellectual maturity” (dalam sistem hukum yang

mengakui konsep batas usia pertanggungjwaban pidana untuk

21

Standard Minimum Rules For The Adminstration of Juvenile Justice (Beijing Rules), (New York : United Nation Departemen of Public Information, 1986), Article 2.2 (a). 22

Beijing Rules, op.cit. Article 4.

anak pelaku tindak pidana, permulaan atas usia

pertanggungjawaban itu janganlah ditetapka terlalu rendah, dengan

menyangkut faktor kematangan emosional anak, mental dan

intelektualitas anak).23

Dengan demikian Beijing Rules ini memberikan kebebasan bagi

tiap-tiap Negara untuk menetukan sendiri mengenai batas usia

pertanggung-jawaban seorang anak yang dapat

dipertanggungjawabkan, namun harus melihat kenyataan

emosional dari anak, mental dan pikirannya tersebut. Dalam

commentary rule 2.2 Beijing Rules ini disebutkan bahwa batas usia

anak adalah usia 7 sampai 18 tahun, artinya mulai usia 7 tahun

seorang anak itu dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya

namun tidak lebih dari 18 tahun. Batas usia pertanggungjawaban

pidana bagi anak dalam Undang-undang No.11 Tahun 2012 adalah

mulai 12 tahun sampai dengan 18 tahun. Hal ini sesuai dengan

ketentua Pasal 1 angka 3, yang mengatur mengenai batas usia

minimum bagi anak pelaku tindak pidana adalah 12 tahun. Awalnya

pada Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

usia minimum adalah 8 tahun tetapi diganti menjadi 12 tahun

(sesuai dengan Putusan MK No. 1/PUU-VIII/2010) Batas usia

minimum ini menunjukkan bahwa mulai kapan seorang anak pelaku

tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

23

Beijing Rules, op.cit., Article 4.1

Sedangkan usia 19 tahun menunjukkan batas usia maksimumnya,

artinya perkara anak tersebut akan disidangkan pada Pengadilan

anak atau Pengadilan dewasa.

Dalam Peraturan PBB lainnya yaitu United Nations Rules for

The Protection of Juveiles Deprived of Their Liberty disebutkan

bahwa : “A juvenile is every person under the age of 18. The age

limit below which it should not be permitted to deprive a child of his

or her liberty should be determined by law” (Seorang anak adalah

seorang yang berusia di bawah 18 tahun. Batas usia di bawah

dimana tidak diijinkan untuk menghilangkan kebebasan seorang

anak harus ditentukan oleh Undang-undang).24 Menurut pasal 45

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia25 dikatakan bahwa:

“Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig)

karena melakukan perbuatan sebelum berumur enam belas tahun,

maka Hakim dapat menentukan : Memerintahkan yang bersalah

supaya dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau

pemliharanya tanpa dijatuhi pidana apapun atau memerintahkan

supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana

apapun yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu

pelanggaran tersebut dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503,

505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, 541 serta belum lewat dua

tahun sejak dinyatakan salah karena kejahatan atau salah satu

24

Rules for The Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty, (New York : United Nation Resolution 45/113,1990) page.2. 25

Indonesia (a), op.cit.,pasal 45.

pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya menjadi tetap, atau

menjatuhkan pidana”. Dengan demikian dalam Kitab Undang-

undang Hukum Pidana tidak mengatur tentang batasan umur

seorang anak pelaku tindak pidana mulai

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mengenai kepastian

tentang hal ini tidak disebutkan dalam Pasal 45 tersebut.

Semuanya diserahkan kepada keyakinan hakim. Semuanya

diserahkan kepada keyakinan hakim. Terkait dengan pasal 45 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana tersebut menurut pendapat SR.

Sianturi : Bahwa sistem pertanggungjawaban pidana anak yang

dianut oleh KUHP (yang berlaku sekarang ini) adalah sistem

pertanggungjawaban yang menyatakan bahwa semua anak

(berusia 1 tahun sampai dengan 16 tahun), anak yang jiwanya

sehat, dianggap mampu bertanggungjawab dan dituntut.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak

menyebutkan secara eksplisit mengenai batas usia anak, akan

tetapi dalam Pasal 153 ayat (5) memberi wewenang kepada Hakim

untuk melarang “anak yang belum mencapai usia 17 tahun” untuk

menghadiri sidang, sedangkan Pasal 171 a menentukan bahwa

anak tanpa sumpah. Rancangan Kitab Undang-undang Hukum

Pidana mengatur juga mengenai batas usia pertanggungjawaban

anak pelaku tindak pidana yaitu, pada Pasal 113 disebutkan

bahwa:

(1) Anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun

melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan.

(2) Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang

berumur antara 12 (dua belas) tahun dan 18 (delapan belas)

tahun yang melakukan tindak pidana.26

Ketentuan ini mengatur tentang batas umur minimum untuk

dapat dipertanggungjawabkan secara pidana bagi seorang anak

yang melakukan tindak pidana. Penentuan batas usia 12 (dua

belas) tahun didasarkan pada pertimbangan psikologis yaitu

kematangan emosional, intelektual dan mental anak. Seorang anak

di bawah umur 12 (dua belas) tahun tidak dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana dan karena itu penyelesaian

kasusnya harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan

lainnya. Adanya batas umur 12 – 18 tahun bagi pelaku tindak

pidana anak ini, memberi konsekuensi bahwa untuk seorang anak

pelaku tindak pidana yang berumur kurang dari 12 tahun tidak

dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini memberikan kemajuan

tersendiri dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, yaitu

dengan tidak menetapkan batas usia yang terlalu rendah bagi anak

pelaku tindak pidana untuk mempertanggungjawabkan

perbuatannya. Dengan demikian menurut konsep KUHP, yang

26

Melly Setyawati dan Supriyadi Widodo Eddyono, Perlindungan Anak dalam Rancangan

KUHP, (Jakarta:ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2007), hal. 111.

menjadi subjek hukum adalah anak yang berumur 12 tahun

samapai 18 tahun, yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap

perbuatannya.27

Menurut Rupert Cross, yang dimaksud dengan anak adalah

setiap orang yang berumur kurang dari 14 tahun; seorang remaja

adalah setiap orang yang berumur 14 tahun tetapi belum mencapai

umur 17 tahun (a child is any person under the age or fourteen

years; a young person is any person who has attained the age or

fourteen years but has not attained the age of seventeen years). 28

Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa : Batas

umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak sekurang-

kurangnya 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan

belas) tahun dan belum kawin.

Paulus Hadisuprapto mengemukakan : “Batasan usia terhadap

seorang anak yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap

perbuatannya tersebut tidak ada keseragaman. Hal ini juga

dijumpai dalam perumusan batasan tentang pertanggungjwaban

pidana anak di berbagai Negara. Di Amerika Serikat, 27 negara

bagian menentukan batas umur antara 8-18 tahun, sementara 6

negara bagian menetukan batas umur antara 8- 17 tahun, ada pula

Negara bagian lain yang menentukan batas umur antara 8 – 16

27

Ibid., hal.111-112 28

Rupper Cross & P. Asterlev Jones, An. Introduction To Criminal Law, (London:Buterworth,1953) page.129.

tahun. Sementara itu, Inggiris menentukan batas umur antara 12 –

16 tahun. Sebagian besar Negara bagian Australia menentukan

batas umur antara 8 – 16 tahun. Negeri Belanda menentukan batas

umur antara 12 – 18 tahun. Negara-negara Asia, antara lain

Srilanka menentukan batas umum antara 8-16 tahun; Jepang dan

Korea menentukan batas umur antara 14 – 20 tahun; Taiwan

menentukan batas umur antara 14 – 18 tahun; Kamboja

menentukan batas umur antara 7 – 16 tahun; Malaysia

menentukakan batas umur antara 7 – 18 tahun; Singapura

menentukan batas umur antara 7 – 16 tahun.29 Task force on

Juvenile Delinquency Prevention menentukan seyogyanya batas

usia penentuan seorang anak sebagai anak dalam konteks

pertanggungjawaban pidananya ditetapkan usia terendah 10 tahun

dan batas atas antara 16 – 18 tahun.30

Dari apa yang dikemukakan di atas mengenai batas usia

pertanggungjawaban pidana bagi anak pelaku tindak pidana ini

memang tidak ada keseragaman. Hal ini tergantung dari masing-

masing Negara dalam melihat kematangan mental, intelektual dan

emosional seorang anak yang dapat dipertanggungjawabkan.

Namun semuanya sudah mengacu dan sesuai dengan ketentuan

yang diamanatkan oleh The Beijing Rules, bahwa batasan usia

seorang anak yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap

29

Paulus Hadisuprapto (b), Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penggulangan,(Jakarta:Bayumedia,2008), hal. 10-13 30

Ibid.

perbuatannya diserahkan kepada masing-masing Negara dengan

mempertimbangkan keadaan emosional, mental dan pikirannya.

Begitu juga dengan Peraturan di Indonesia yaitu Undang-undang

No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang telah diubah oleh

Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak yang telah mengacu pada The Beijing Rules dalam

menentukan batasan usia seorang anak yang dapat

dipertanggungjawabkan, walaupun masih ada kekurangannya.

Kenakalan anak disebut juga dengan juvenile delinquency.

Juvenile ( bahasa Inggris ) atau yang dalam bahasa Indonesia

berarti anak-anak; anak muda, sedangkan delinquency artinya

terabaikan/mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat,

criminal, pelanggar peraturan dan lain-lain. Sedangkan dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia, delinkuensi diartikan sebagai

tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang

berlaku dalam suatu masyarakat.31

Pengertian anak nakal telah dirumuskan dalam Pasal 1 angka 2

UU No.. 3 tahun 1997 sebagai berikut, bahwa yang dimaksud anak

nakal adalah :

a. Anak yang melakukan tindak pidana.

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang

bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan

31

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Baahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hal. 219

maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku

dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak tidak menggunakan istilah anak nakal akan

tetapi menggunakan istilah anak yang berkonflik dengan hukum.

Dari ketentuan di atas dapat diketahui perbuatan-perbuatan yang

diancamkan terhadap anak lebih luas dari pada perbuatan-

perbuatan yang diancamkan terhadap orang dewasa. Anak

dikatakan sebagai anak nakal apabila melakukan tindak pidana

sebagaimana pula diancamkan terhadap orang dewasa selain itu

juga terhadap perbuatan-perbuatan yang dianggap terlarang bagi

anak. Perbuatan yang dilarang bagi anak dapat berupa apa yang

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan maupun

peraturan hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat artinya

pelanggaran terhadap hukum hidup/adat/kebiasaan dalam

masyarakat diakui sebagai delik dalam tindak pidana anak.

Maulana Hassan Wadong mengemukakan, bahwa ketentuan

Kejahatan anak atau delinquency anak diartikan sebagai bentuk

kejahatan yang dilakukan anak dalam title-titel khusus dari bagian

KUHP dan atau peraturan perundang-undangan.32

Menurut Sudarto anak nakal adalah :33

a. Yang melakukan tindak pidana;

32

Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: PT. Grasindo, 2000), hal. 21. 33

Ibid.

b. Yang tidak dapat diatur dan tidak taat kepada orang

tua/wali/pengasuh;

c. Yang sering meninggalkan rumah, tanpa ijin/sepengatahuan

orangtua/wali/pengasuh.

d. Yang bergaul dengan penjahat-penjahat atau orang-orang yang

tidak bermoral, sedangnkan anak itu mengetahui hal itu.

e. Yang kerap kali mengunjungi tempat-tempat yang terlarang bagi

anak-anak.

f. Yang seringkali menggunakan kata-kata kotor.

g. Yang melakukan perbuatan yang mempunyai akibat yang tidak

baik bagi perkembangan pribadi, sosial, rohani dan jasmani

anak itu.

Meskipun perumusannya tidak jelas namun tentunya yang

dimaksud dengan anak nakal adalah anak yang memenuhi salah

satu criteria dan ketujuh perbuatan itu. 34 Berdasarkan uraian di

atas dapat ditarik kesimpulan yang dimaksudkan dengan anak

nakal adalah anak yang melakukan suatu perbuatan yang dimana

perbuaan tersebut dilarang oleh perundang-undangan khusnya

KUHP, peraturan perundang-undangan diluar KUHP atau

melanggar norma-norma yang dilarang bagi anak maupun norma-

norma dalam masyarakat.

Resolusi PBB No. 40/33 tentang United Nations Standard

34

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung; Alumni,1984), hal. 13-136.

Minimum Rules for The Adminstration of Juvenile Justice (The

Beijing Rules) Article 2.2. membedakan mengenai istilah a a

juvenile, an offence dan a juvenile offender. A juvenile is a child or

a young person who, under the respective legal system, may be

dealt with for an offence in a manner which is different from an adult

(anak nakal dalam seorang anak) atau orang muda, yang menurut

sistem hukum yang berlaku di Negara masing-masing dapat

diperlakukan atas suatu pelanggaran hukum dengan cara yang

berbeda dari perlakuan orang dewasa)35 An offence is any behavior

(act or omission) that is punishable by law under respective legal

system (Suatu pelanggaran hukum adalah perilaku apapun

(tindakan atau kelalaian) yang dapat dihukum oleh hukum menurut

sistem hukum masing-masing).36 A juvenile offender is a child or

young person who is a alleged to have committed or who has been

found to have committed an offence (Seorang pelanggar hukum

berusia remaja dalah seorang anak atau orang muda yang diduga

telah melakukan atau yang telah ditemukan telah melakukan suatu

pelanggaran hukum).37

Rumusan ini lebih bersifat menyeluruh dan tampaknya

penekanan “anak” dan “perbuatan”-Nya termasuk kejahatan bila

dilakukan oleh orang dewasa dan anak yang melanggar ketentuan

perundang-undangan khusus untuk anak. Dewasa dan anak yang

35

Beijing Rules, op.cit., Article 2.2 36

Ibid., Article 2.2 (b). 37

Ibid, Article 2.2 (c).

melanggar ketentuan perundang-undangan khusus untuk anak.

Ada beberapa faktor penyebab yang mempengaruhi timbulnya

kejahatan anak yaitu :

a. Faktor lingkungan

Akibat salah bergaul, ikut-ikutan teman, pengaruh media massa

maupun televisi

b. Faktor ekonomi/sosial

Kemiskinan, kurangnya pengdidikan.

c. Faktor psikologis

Stress,merasa tidak bahagia, merasa kurang kasih sayang dari

orang tua dan sekitar, tekanan akibat tidak bisa mengatasi

masalah.38

3. Hak-Hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum

Hak anak adalah Hak Asasi Manusia dan untuk kepentingan

hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam

kandungan. Hak-hak anak diatur dalam Undang-undang Nomor 35

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu sebagai berikut :

“Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan

berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

38

Bimo Walgito, Kenakalan Anak (Juvenile Deliquency), (Yogyakarta: Yayasan Penertiban Fakultas Psikologi, 1982), hal.11.

diskriminasi”. Dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 35 Tahun

2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa selama

dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang

bertanggung jawab atas pengasuhan, maka anak berhak

mendapatkan perlindungan dari perlakuan sebagai berikut :

a. Diskriminasi;

b. Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual;

c. Penelantaran;

d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan;

e. Ketidakadilan;

f. Perlakuan salah lainnya.

Di dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa setiap anak

berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan.

Penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

Berkaian dengan hal di atas maka setiap anak berhak memperoleh

kebebasan seuai dengan hukum, dalam hal anak melakukan tindak

pidana maka penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara

anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku

dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Jika anak dirampas kebebasannya menurut Pasal 17 Undang-

undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka

anak berhak untuk :

a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya

dipisahkan dari orang dewasa

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lain secara efektif

dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku ;

c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan

anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup

untuk umum.

Pada Pasal 18 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak tersebut dituliskan bahwa anak yang menjadi

korban atau pelaku tindak pidana berhak untuk mendapatkan

bantuan hukum. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku

kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak

dirahasiakan. Selain itu anak yang berkonflik dengan hukum atau

sebagai pelaku tindak pidana maka anak berhak memperoleh

bantuan hukum di setiap tingkat pemeriksaan.

Anak sebagai pelaku adalah anak yang disangka, didakwa atau

dinyatakan terbukti bersalah. Sebagai anak yang berhadapan

dengan hukum atau sebagai pelaku tindak pidana anak juga

mempunyai hak berdasarkan ketentuan berikut : Pasal 66 Undang-

undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

menjelaskan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum :

a. Tidak dianiaya, disiksa atau dihukum secara tidak manusiawi

b. Tidak dijatuhi pidana mati atau seumur hidup

c. Tidak dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum

d. Tidak ditangkap, ditahan atau dipenjara secara melawan hukum

atau jika tidak sebagai upaya terakhir.

Menurut Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia:

a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat

dan hak-haknya;

b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;

c. Penyediaan sarana serta prasarana khusus

d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik

untuk anak;

e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap

perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;

f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan keluarga;

g. Perlindungan dari pemberitahuan identitas melalui media masa

untuk menghindari labelisasi.

Pada Beijing Rules Article 7.1 disebutkan mengenai hak-hak

anak yang berhadapan dengan hukum adalah : “Basic procedural

safeguards such as the presumption of innocenc, the righ to be

notifed of the charges. The right to remain sient, the right to counsel

the right to the presence of a parent or guardian, the right to

confront and cross-examine witness and the right to appeal to a

higher authority shall be guaranteed at all stages of proceeding.”.

Hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum adalah sebagai

berikut :

1. Praduga tak bersalah

2. Hak untuk diam

3. Hak didampingi orangtua dan pengacara

4. Hak untuk berkonsultasi

5. Hak untuk diberitahukan apa kesalahannya

6. Hak untuk pemeriksaan saksi secara silang

7. Hak untuk banding ke Pengadilan yang lebih tinggi.39

B. Sistem Sanksi Terhadap Anak

1. Pengertian

Sanksi adalah istilah yang digunakan dalam sarana

pengkondisian yang digunakan setelah terjadinya perilaku tersebut

39 Beijing Rules, op.cit., Article 7.1

yang berguna untuk mengurangi kemungkinan perilaku tersebut

terulang lagi di masa yang akan dating. Menurut ahli perilaku

(behaviorist dan psikolog) B.F. Skinner membagi sanksi menjadi

dua, yaitu sanksi positif dan sanksi negatif.

Sanksi positif diartikan sebagai hukuman yang memiliki aplikasi

(punishment by application). Sanksi positif berkaitan dengan

memberikan stimulus aversif atau stimulus yang tidak

menyenangkan setelah kejadian tersebut terjadi.

Sanksi negatif berhubungan dengan mengambil atau

menghilangkan stimulus yang diinginkan (desirable stimulus)

setelah perilaku tersebut terjadi. B. F. Skinner mengatakan bahwa

setiap perilaku yang berubah karena sanksi terkadang atau bahkan

sering itu bersifat sementara. Bahwa terkadang sanksi memberikan

hasil yang tidak diinginkan dan tidak terbayangkan.

Bahwa sanksi untuk mengubah perilaku seseorang menjadi

lebih baik atau tidak lagi mengulangi hal tersebut dalam jangka

panjang harus lebih dipertimbangkan, yang mana sanksi itu sendiri

memiliki 2 (dua) fungsi) :

1. Memberikan kesadaran bagi para pelaku perilaku

menyimpang agar tidak melakukan perilaku tersebut lagi;

2. Menjadi bentuk larangan bagi individu lainnya agar tidak

melakukan perilaku tersebut. 40

40

http://www.learniseasy.com/pengertian-hukumansanksi.html

2. Jenis-jenis Sanksi Terhadap Anak

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak tidak mengikuti ketentuan sanksi pidana

yang tertuang dalam Pasal 10 KUHP, namun membuat sanksi

secara tersendiri. Berikut adalah jenis-jenis pemidanaan yang

dapat dijatuhkan terhadap Anak yang berkonflik dengan hukum

terbagi atas pidana pokok dan pidana tambahan, dan tindakan

yaitu:

Dalam Pasal 71 Ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pidana Pokok bagi

Anak terdiri dari :

a. Pidana peringatan;

b. Pidana dengan syarat :

1) Pembinaan di luar lembaga;

2) Pelayanan masyarakat; atau

3) Pengawasan.

c. Pelatihan kerja;

d. Pembinaan dalam lembaga; dan

e. Penjara.

Pasal 71 Ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pidana tambahan bagi

Anak terdiri dari :

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak

pidana; atau

b. Pemenuhan kewajiban adat.

Pasal 82 Ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Tindakan yang dapat

dikenakan kepada Anak meliputi :

a. Pengembalian kepada orang tua/wali;

b. Penyerahan kepada seseorang;

c. Perawatan di rumah sakit jiwa;

d. Perawatan di LPKS;

e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau

pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan

swasta;

f. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau

g. Perbaikan akibat tindak pidana.

3. Prinsip Penjatuhan Sanksi Terhadap Anak

Penerapan pemidanaan terhadap Anak sering menimbulkan

perdebatan, karena dalam hal ini mempunyai konsekuensi yang

sangan luas baik menyangkut perilaku maupun stigma dalam

masyarakat dan juga dalam diri Anak tersebut, tetapi dengan

dikeluarkannya Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak yang telah diberlakukan sejak 30

Juli 2014, penerapan pemidanaan lebih bersifat membina dan

melindungi terhadap Anak, dibandingkan dengan Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang sudah tidak

relevan lagi karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak menganut sistem dua jalur dimana selain

mengatur sanksi pidana juga mengatur tindakan (double track

system). Melalui penerapan sistem dua jalur ini sanksi yang

dijatuhkan akan lebih mencerminkan keadilan, baik bagi pelaku,

korban dan masyarakat sehingga hakim dapat menentukan

penjatuhan sanksi terhadap Anak yang sesuai dan patut untuk

dipertanggung jawabkan oleh Anak yang berkonflik dengan hukum.

Pada umumnya penjatuhan sanksi pidana terhadap pelanggar

hukum seringkali dianggap sebagai tujuan dari hukum pidana, oleh

sebab itu apabila pelanggar telah diajukan ke depan persidangan

kemudian dijatuhi sanksi pidana, maka perkara hukum dianggap

telah berakhir. Pandangan demikian telah memposisikan keadaan

dalam hukum pidana dan penegakan hukum pidana adalah sanksi

pidana sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal-pasal yang

dilanggar.

Pemidanaan yang lazim diterapkan berdasarkan KUHP, bukan

mendidik Anak menjadi lebih baik, melainkan memperparah kondisi

dan dapat meningkatkan tingkat kejahatan anak. Penerapan

pemidanaan terhadap Anak berdasarkan Undang-undang Nomor

11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan

suatu landasan penjatuhan sanksi terhadap Anak yang melakukan

tindak pidana, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 71 Ayat (4)

Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak menyatakan “Pidana yang dijatuhkan kepada Anak

dilarang melanggar harkat dan martabat Anak”.

Dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diharapkan kesejahteraan

serta pemenuhan hak Anak akan menjadi lebih baik. Anak yang

melakukan tindak pidana berlaku ketentuan khusus dengan

berpedoman pada Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak,maupun pemidanaannya dijatuhkan

kepada Anak paling lama ½ (setengah) dari maksimum ancaman

penjara bagi orang dewasa sehingga kekhususan penanganan

peradilan anak dapat mereduksi ketentuan daalam KUHP maupun

KUHAP dengan berdasarkan asas Lex Spesialis Derogate

Generalis .

Prinsip-prinsip penjatuhan pidana terhadap Anak antara lain

terkandung di dalam The Beijing Rules dan Convention On The

Right Of the Child yang telah diratifikasi ole Pemerintah Indonesia

dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Pidana

terhadap Anak yang tertuang dalam dokumen-dokumen

internasional dengan keinginan agar penjara sejauh mungkin tidak

dijatuhkan terhadap Anak yang telah dituangkan di dalam

Rancangan KUHP dan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak

Dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak, setiap Anak dalam proses peradilan

pidana berhak :

a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan

kebutuhan sesuai umurnya;

b. Dipisahkan dari orang dewasa;

c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;

d. Melakukan kegiatan rekreasional;

e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain

yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat

dan martabatnya;

f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

g. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai

upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

h. Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang

objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup

untuk umum;

i. Tidak dipublikasikan identitasnya;

j. Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang

dipercaya oleh Anak;

k. Memperoleh advokasi sosial;

l. Memperoleh kehidupan pribadi;

m. Memperoleh aksesibilitas,terutama bagi Anak cacat;

n. Memperoleh pendidikan;

o. Memperoleh pelayanan kesehatan; dan

p. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Dalam Pasal 81 Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak di atur hal yang berbeda dari aturan

untuk pelaku tindak pidana dewasa:

a. Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan

perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat;

b. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling

lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana

penjara bagi orang dewasa;

c. Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai Anak berumur 18

(delapan belas) tahun;

d. Anak yang telah menjalani ½ (satu perdua) dari lamanya

pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak

mendapatkan pembebasan bersyarat;

e. Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai

upaya terakhir;

f. Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak

pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana

penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengatur dalam hal

Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga

melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan,

dan pekerja sosial professional mengambil keputusan untuk :

a. Menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali; atau

b. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan

di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang

menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat

maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.

C. Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pada persidangan anak proses penjatuhan sanksi terhadap

anak nakal dijatuhkan melalui Pengadilan Anak dimana Pengadilan

Anak adalah persidangan yang dikhususkan untuk anak, sehingga

ada beberapa perbedaan dengan asas-asas peradilan untuk orang

dewasa. Pemisahan sidang anak dan sidang yang mengadili

perkara tindak pidana orang dewasa memang mutlak adanya,

karena dengan dicampurnya terwujudnya kesejahteraan anak.

Dengan kata lain pemisahan ini penting dalam hal mengadakan

perkembangan pidana dan perlakuannya.

Sebagai ketentuan umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana maupun pelaksanaannya tetap berlaku sepanjang tidak

diatur secara khusus acara sidang anak dalam Undang-undang No.

11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Darin

Prinst dalam mengemukakan asas-asas peradilan anak sebagai

berikut :

a. Pembatasan umur (pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 11

Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).

Adapun orang yang dapat disidangkan dalam acara Pengadilan

Anak ditentukan secara limitative, yaitu yang telah berumur 12

(dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas)

tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

b. Kewenangan Pengadilan Anak (Pasal 43 Undang-undang

Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak)

Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak

bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara anak.

c. Ditangani pejabat khusus terhadap perkara anak yang

berkonflik dengan hukum harus ditangani pejabat-pejabat

khusus, seperti :

Di tingkat penyidikan oleh penyidik anak.

Di tingkat penuntutan oleh penuntut umum anak, dan

Di pengadilan oleh hakim anak, hakim banding anak dan

hakim kasasi anak

d. Peran pembimbing kemasyarakatan.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak mengakui peranan dari :

Pembimbing kemasyarakatan.

Pekerja sosial

Pekerja sosial sukarela

e. Suasana pemeriksaan kekeluargaan

Pemeriksaan perkara anak yang berkonflik dengan hukum

dilakukan dalam suasana kekeluargaan. Oleh karena itu, dari

proses penyidikan hingga persidangan, hakim, penuntut umum,

dan penasehat hukum tidak memakai toga.

f. Keharusan splitsing

Anak tidak boleh diadili bersama dengan orang dewasa baik

berstatus sipil maupun militer. Kalau terjadi anak melakukan

tindak pidana bersama dengan orang dewasa, maka si anak

diadili dalam sidang pengadilan anak sementara orang dewasa

diadili dalam sidang biasa atau apabila berstatus militer di

peradilan militer

g. Acara pemeriksaan tertutup.

Acara pemeriksaan sidang di pengadilan anak dilakukan

secara tertutup. Hal ini adalah demi kepentingan anak sendiri.

Akan tetapi agenda pembacaan putusan harus diucapkan

dalam sidang yang terbuka untuk umum.

h. Diperiksa hakim tunggal.

Hakim yang memeriksa perkara anak, baik di tingkat pertama,

banding maupun kasasi dilakukan dengan hakim tunggal.

i. Masa penahanan lebih singkat.

Masa penahanan terhadap anak lebih singkat dibanding masa

penahanan menurut KUHAP.

j. Hukuman lebih ringan

k. Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal lebih ringan

dari ketentuan yang diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal

untuk anak yang berkonflik dengan hukum adalah 10 (sepuluh)

tahun.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak tidak memungkinkan hakim melakukan

tindakan demi kepentingan anak tanpa melalui putusan. Hal ini

berkaitan pula dengan adanya kewenangan hakim yang diberikan

Undang-undang-undang yang memuat pemberian diskresi maupun

diversi terhadap tindakan Anak yang berkonflik dengan hukum.

Hakim diwajibkan tetap tunduk pada proses acara pidana anak

sebagaimana telah diatur melalui undang-undang, meskipun

pemberian diskresi maupun diversi ini kemungkinanan dapat

berpengaruh terhadap psikologi anak pelaku tindak pidana yang

meliputi psikologi Anak yang berkonflik dengan hukum pada saat

melakukan suatu tindak pidana dan psikologi anak setelah

dikenakan sanksi pidana.

Putusan hakim tidak boleh sekedar memenuhi formalitas

hukum, apalagi sekedar memelihara ketertiban,oleh karena itu

putusan hakim berkaitan dengan Anak yang berkonflik dengan

hukum harus berfungsi mendorong perbaikan dalam diri anak dan

dapat mewujudkan kesejahteraan anak.

D. Keadilan Restoratif Dalam Peradilan Pidana Anak

1. Pengertian

Dalam Pasal 82 Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak sudah diberikan alternatif pemberian

sanksi hukum bagi anak yaitu mengembalikan kepada orangtua,

wali, atau orang tua asuh/ menyerahkan kepada Negara untuk

mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; atau

menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau pembinaan dan

latihan kerja; atau menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau

Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang

pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Hal inilah yang

seharusnya dipertimbangkan oleh hakim sebelum menjatuhkan

putusannya bagi anak terutama penjatuhan pidana penjara. Salah

satu usaha yang dilakukan untuk meminimalisasi penggunaan

pidana penjara bagi anak tersebut adalah dengan melontarkan ide

keadilan restoratif terhadap pelaku tindak pidana. Apakah tindakan

pemberian sanksi hukuman bagi anak yang terdapat pada Pasal 82

Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Peradilan Pidana Anak

sudah mencerminkan upaya keadilan restoratif? Untuk itu penulis

akan memberikan beberapa pengertian tentang keadilan restoratif.

Keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang

merespon pengembangan sistem peradilan dengan menitik

beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang

dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem

peradilan pidana yang ada pada saat ini.41 Keadilan restoratif

adalah sebuah proses yang bertujuan untuk memberikan hak-hak

kepada korban kejahatan. Untuk mencapai tujuan tersebut

41 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan

Restorative Justice, (Bandung: Reflika Editama,2007) hal.95.

dilakukan pertemuan antara korban dengan pelaku.

Persatuan Bangsa Bangsa (United Nation) mendefinisikan

keadilan restoratif sebagai “A way of responding to criminal

behavior by balancing the needs of the community, the victims and

the offenders”, yang terjemahan bebasnya adalah sebuah

penyelesaian terhadap pidana dengan cara menyelaraskan kembali

harmonisasi antara masyarakat, korban dan pelaku.

Usaha ini dapat dilakukan dengan cara musyawarah pemulihan

dengan melibatkan korban dan pelaku tindak pidana anak, beserta

keluarganya serta peran masyarakat. Namun yang terpenting

adalah anak yang berkonflik dengan hukum ini dapat belajar

langsung mengenai hubungan yang nyata antara perbuatannya

dengan reaksi sosial yang timbul akibat perbuatannya tersebut.

Ada beberapa hal yang harus dipenuhi untuk dapat

menerapkan ide keadilan restoratif ini, yaitu:42

a. Adanya pengakuan bersalah dari anak pelaku tindak pidana;

b. Persetujuan dari korban untuk melakukan keadilan restoratif;

c. Adanya persetujuan dari kepolisian yang mempunyai

wewenang diskresi atau kejaksaan yang mempunyai

wewenang oportunitas (wewenang untuk melanjutkan perkara

yang dikirim oleh kepolisian atau tidak);

42

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana

Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama,2008), hal.107.

d. Adanya dukungan komunitas setempat untuk melaksanakan

keadilan restoratif.

Di Indonesia pengembangan konsep keadilan restoratif

merupakan sesuatu hal yang baru, dalam peradilan anak, keadilan

restoratif merupakan suatu proses pengalihan dari proses pidana

formal ke informal, sebagai alternatif terbaik penanganan terhadap

yang berhadapan dengan hukum dengan cara semua pihak yang

terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama

memecahkan masalah untuk menangani akibat perbuatan anak di

masa yang akan datang . Tindak pidana khususnya tindak pidana

yang dilakukan oleh anak, dilihat sebagai suatu pelanggaran

terhadap manusia dan hubungan antar manusia, dimana

menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya

menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku dan

masyarakat dalam mencari solusi perbaikan, rekonsiliasi dan

menentramkan hati.

Keadilan restoratif merupakan upaya untuk mendukung dan

melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat (3)

Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak yaitu bahwa : “Penangkapan, penahanan atau tindak pidana

penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang

berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”.

Pengadilan Negeri ibaratnya adalah muara, yang menerima dan

mengadili perkara-perkara yang dilimpahkan dari Kejaksaan

Negeri. Pengadilan Negeri diharapkan dapat mengadili perkara

dengan seadil-adilnya.

Dalam melaksanakan perintah undang-undang, menjatuhkan

pidana penjara terhadap anak merupakan upaya terakhir (ultimum

remedium), untuk itu maka putusan yang terbaik berupa tindakan

untuk mengembalikan terdakwa anak kepada orang tuanya untuk

dididik dan dibina sebagaimana mestinya, seharusnya didukung

penuh. Demi kepentingan anak, sebaiknya untuk anak yang berada

dalam tahanan terlebih dahulu dialihkan atau bahkan ditangguhkan

penahanannya agar apabila jaksa penuntut umum ataupun Anak

tersebut mengajukan upaya hukum banding Anak tersebut tidak

perlu mendekam dalam tahanan/penjara sambil menunggu putusan

itu berkekuatan hukum tetap.

2. Penerapan Keadilan Restoratif

Pada kenyataannya adanya upaya pelaksanaan keadilan

restoratif tidak menjamin bahwa semua perkara anak harus

dijatuhkan putusan berupa tindakan dikembalikan kepada orang

tua, karena menurut hakim tetap harus memperhatikan kriteria-

kriteria tertentu, antara lain :43

43

Ibid,hal. 110.

1. Anak tersebut baru pertama kali melakukan kenakalan (first

offender)

2. Anak tersebut masih sekolah ;

3. Tindak pidana yang dilakukan bukan tindak pidana

kesusilaan yang serius, yang mengakibatkan hilangnya

nyawa, luka berat atau cacat seumur hidup atau tindak

pidana yang mengganggu/merugikan kepentingan umum;

4. Orang tua/wali anak tersebut masih sanggup untuk mendidik

dan mengawasi anak tersebut secara lebih baik.

Beberapa macam pendekatan yang dipakai dalam menangani

perkara anak pelaku tindak pidana telah banyak diterapkan oleh

Negara-negara lain, karena pendekatan tersebut dianggap lebih

efektif. Di Negara-negara Eropa terdapat 5 (lima) macam

pendekatan yang biasanya di gunakan untuk menangani anak

pelaku tindak pidana, yaitu :

1. Pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan

anak;

2. Pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum;

3. Pendekatan edukatif dalam pemberian hukuman;

4. Pendekatan hukuman yang murni yang bersifat retributif.

Di Negara maju seperti Jepang, Negara-negara Skandinavia

dan di beberapa negara Eropa, penuntut umum memiliki

‘’discretionary power of the prosecutor”, yaitu kewenangan untuk

melakukan deponeer perkara anak, tidak untuk kepentingan umum

melainkan untuk kepentingan si anak sendiri berdasarkan faktor-

faktor psikologis, kriminologis dan edukatif. Wewenang inilah yang

belum dimiliki oleh penuntut umum di Indonesia. Perlindungan bagi

pelaku tindak pidana khususnya anak semestinya harus dibedakan

perlakuannya dari pada pelaku tindak pidana dewasa. Keadilan

restoratif pada tujuannya ingin mengembalikan kondisi masyarakat

menjadi lebih baik dengan melibatkan semua unsur yang terlibat di

dalamnya.

Menurut Howard Zehr “Crimes is a violation of people and

relationships” (tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap

manusia dan relasi antar manusia). Tindak pidana menciptakan

suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih

baik dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam

mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menentramkan

hati.

Berdasarkan hal tersebut maka konsep yang digunakan untuk

menangani anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilakukan

dengan metode pendekatan yang murni mengedepankan

kesejahteraan anak dan pendekatan intervensi hukum. Maka model

penghukuman yang bersifat restoratif atau disebut keadilan

restoratif saat ini lebih layak diterapkan dalam menangani pelaku

tindak pidana anak.

Keadilan restoratif berlandaskan pada prinsip due process,

yang merupakan eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan

kesejahteraan dan pendekatan keadilan, yang sangat menghormati

hak-hak hukum tersangka dan sangat memperhatikan kepentingan

korban. Sasaran Peradilan Restoratif adalah mengharapkan

berkurangnya jumlah anak yang ditangkap, ditahan dan divonis

penjara serta menghapuskan stigma pada diri anak dan

mengembalikan anak menjadi manusia yang normal sehingga

dapat berguna dikemudian hari.

Proses restorative justice merupakan proses keadilan yang

sepenuhnya dijalankan dan dicapai oleh masyarakat. Proses yang

benar-benar ditujukan untuk mencegah dilakukannya kembali

tindak pidana. Hal ini menjadikan keadilan sebagai sesuatu yang

penuh dengan pertimbangan dalam menangani kejahatan dan

menghindar terjadinya stigmatisasi.

Program diversi dapat menjadi bentuk restorative justice jika :

1. Mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.

2. Memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti

kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si

korban.

3. Memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam

proses

4. Memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat

mempertahankan hubungan dengan keluarga.

5. Memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan

dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.

Polisi, Penuntut Umum atau Badan-badan lain yang menangani

perkara remaja akan diberi kuasa untuk memutuskan perkara-

perkara demikian menurut kebijaksanaan mereka, tanpa

menggunakan pemeriksaan awal yang formal, sesuai dengan

kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum

masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang

terkandung di dalam peraturan-peraturan ini.

E. Landasan Teori

1. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut

dengan toerekenbaardheid atau criminal responsibility yang

menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk

menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dapat

dipertanggungjawabkan atas suatau tindakan pidana yang terjadi

atau tidak.Untuk dapat memidana seorang pelaku maka

diharuskan tindak pidana yang dilakukannya telah memenuhi

unsur delik yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat

dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan

dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut apabila

tindakan tersbut melawan hukum serta tidak adanya alasan

pembenar atau eniadaan sifat melawan hukum untuk tindak

pidana yang telah dilakukannya.

Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab, maka hanya

yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan

atas perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada

pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan

memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang.

Dilihat dari sudut pandang terjadinya suatu tindakan terlarang

yang dirumuskan, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas

tindak pidana yang ia lakukan apabila tindakan tersebut bersifat

melawan hukum.

Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana, yakni :

1. Kemampuan bertanggung jawab

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan

petindak jika telah melakukan suatu tindak pidana dan

memenuhi unsur yang telah dirumuskan dalam undang-

undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang

terlarang, seseorang akan dipertanggungjawab pidanakan atas

tindakannya apabila tindakannya tersebut bersifat melawan

hukum serta tidak adanya peniadaan sifat melawan hukum

atau alasan pembenar. Dilhat dari sudut kemampuan

bertanggungjawab, maka hanya seseorang yang mampu

bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawab pidanakan.

Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab bila mana ;

1) Keadaan jiwanya

a) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau

sementara (temporair);

b) Tidak cacat dalam pertumbuhan;

c) Tidak terganggu karena hipnotis, amarah yang

meluap, mengigau karena demam dan lain

sejenisnya. Dalam kata lain, seseorang itu harus

dalam keadaan sadar.

2) Kemampuan jiwanya

a) Dapat menginsyafi hakikat dari kehendaknya;

b) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan

tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak;

c) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan

tersebut.

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa kemampuan

bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan

jiwa (geestelijke vermogens) dan bukan kepada keadaan

kemampuan dan kemampuan berpikir (versanddelijke

vermodegens) dari seseorang walaupun dalam istilah yang

resmi digunakan dalam Pasal 44 KUHP adalah verstanddelijke

vermogens sengaja dgunakan istilah “keadaan dan

kemampuan jiwa seseorang”. Pertanggungjawaban pidana

disebut sebagai toereken barheid dengan maksud untuk

menentukan dapat atau tidaknya seseorang tersangka atau

terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana

yang terjadi. Petindak di sini adalah orang, bukan makhluk lain.

2. Kesalahan

Kesalahan dianggap ada apabila dengan sengaja atau karena

kelalaian telah melakukan perbuatan yang menimbulkan akibat

atau keadaan yang dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan

dengan kemampuan bertanggungjawab. Menurut Molejatno,

dalam hukum pidana kesalahan dan kelalaian seseorang dapat

diukur dengan kemampuan seseorang bertanggungjawab

apabila tindakannya itu memenuhi empat unsur, yakni:

a) Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);

b) Di atas umur tertentu sehingga mampu bertanggungjawab;

c) Memiliki suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan

(dolus) dan kealpaan atau kelalaian (culpa);

d) Tidak adanya alasan pemaaf;

Kesalahan ditujukan pada perbuatan yang tidak patut, yakni

melakukan sesuatu yang seharsnya tidak dilakukan atau tidak

melakukan sesuatu yang diwajibkan oleh undang-undang. Menurut

ketentuan yang diatur dalam hukum pidana maka bentuk-bentuk

kesalahan terdiri dari :

1) Kesengajaan (opzet)

Kebanyakan tindak pidana memiiki unsur kesengajaan atau

opzet, bukan unsur culpa.Kesengajaan yang dimaksud

harus memenuhi tiga unsur yakni perbuatan yang dilarang,

akibat yang menajdi pokok alasan diadakan larangan itu,

dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Selain itu,

kesengajaan terbagi menjadi tiga bagian, yakni :

(1) Sengaja sebagai niat (oogmert)

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan

si pelaku jelas dapat

dipertanggungjawabkan.Oleh karena itu, apabila

kesengajaan semacam ini ada pada suatu tindak

pidana, tidak ada yang menyangkal bahwa si

pelaku pantas dikenakan hukum pidana ini lebih

nampak apabila dikemukakan. Dengan adanya

kesengajaan yang bersifat tujuan ini maka dapat

disimpulkan bahwa si pelaku benar-benar

menghendaki capaian akibat yang menjadi pokok

alasan diadakannya ancaman dari hukum pidana

(constitutief gevolg).

(2) Sengaja sadar akan kepastian atau keharusan

(zekerheidsbewustzijn).

Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku

dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk

mencapai akibat yang menjadi dasar delik

walalupun ia tahu benar bahwa akibat pasti akan

mengikuti perbuatannya itu. Jika ini terjadi, maka

teori kehendak (willstheorie) menganggap akibat

tersebut juga dikehendaki oleh pelaku, maka kini

juga ada kesengajaan menurut teori bayangan

(voorstelingtheorie). Keadaan tersebut sama

dengan kesengajaan berupa tujuan (oogmerk)

karena dalam keduanya tentang akibat tidak

dapat dikatakan ada kehendak di pelaku,

melainkan hanya gambaran dalam gagasan

pelaku, bahwa akibat pasti akan terjadi, maka kini

juga ada kesengajaan.

(3) Sengaja sadar akan kemungkinan (dlous

eventualis/mogelijkeheidsbewustzijn)

Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-

terangan tidak disertai bayangan suatu kepastian

akan terjadinya akibat yang bersangkutan,

melainkan hanya dibayangkan suatu

kemungkinan belaka akan akibat itu. Walaupun

belum ada persamaan pendapat di antara para

sarjana hukum Belanda, namun menurut Van

Hattum dan Hazewenkil Suringa, ada dua penulis

Belanda, yakni Van Dijk dan Pompe yang

menyatakan bahwa dengan hanya ada

keinsyafan, kemungkinan, tidak ada

kesengajaan, melainkan hanya mungkin ada

culpa atau kurang berhati-hati. Kalau masih

dapat dikatakan bahwa kesengajaan secara

keinsyafan kepastian praktis sama tahu hampir

sama dengan kesengajaan sebagai tujuan

(oogmerk), maka sudah pasti terang kesengajaan

secara keinsyafan kemungkinan tidaklah sama

dengan dua macam kesengajaan yang lain itu

melainkan hanya disamakan atau dianggap

seolah-olah sama.

2) Kealpaan (culpa)

Kelalaian merupakan salah satu bentuk kesalahan yang

timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku

yang telah ditentukan menurut undang-undang. Kelalaian

itu terjadi dikarenakan perilaku orang itu sendiri. Kelalaian

menurut hukum pidana terbagi atas dua, yakni :

(1) Kealpaan perbuatan

Kealpaan perbuatan terjadi apabila hanya

dengan melakukan perbuatannya saja sudah

merupakan suatu peristiwa pidana. Oleh

karena itu, tidak perlu lagi melihat akibat yang

timbul dari perbuatan tersebut sebagaimana

ketentuan Pasal 205 KUHP.

(2) Kealpaan akibat

Kealpaan akibat merupakan suatu peristiwa

pidana jika akibat dari kealpaan itu sendiri

sudah menimbulkan akibat yang dilarang oleh

hukum pidana. Misalnya cacat atau matinya

orang lain sebagaimaana yang diatur dalam

Pasal 359, 360, 361 KUHP.

Menurut D.S. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E. P. H. Sutirius, skema

kelalaian atau culpa, yakni :

(1) Culpa Lata yang disadari (Alpa)

Kelalaian yang disadari contohnya antara lain

sembrono (roekeloos), lalai (onachttzaam),

tidak acuh. Sederhananya dapat dikatakan

bahwa culpa lata yang disadari adalah

keadaan ketika seseorang sadar akan risiko

dari suatu perbuatan namun berharap akibat

buruk dari dari perbuatannya itu tidak akan

terjadi.

(2) Culpa Lata yang tidak disadari (Lalai)

Kelalaian yang tidak disadari contohnya

antara lain kurang berpikir (onnadentkend),

lengah (onoplettend), di mana seseorang

seyogyanya harus sadar dengan risiko, tetapi

tidak demikian. Jadi, kelalaian yang disadari

terjadi apabila seseorang tidak melakukan

suatu perbuatan, namun ia sadar apabila tidak

melakukan suatu perbuatan tersebut maka

akan menimbukan akibat yang dilarang dalam

hukum pidana. Sedangkan kealpaan yang

tidak disadari terjadi apabila pelaku tidak

memikirkan kemungkinan adanya suatu akibat

atau keadaan tertentu, dan apabila ia telah

memikirkan hal itu sebelumnya maka ia tidak

akan melakukannya.

3. Tidak adanya alasan pemaaf

Hubungan petindak dengan tindakannya ditentukan oleh

kemampuan bertanggungjawab dari petindak. Seseorang harus

menginsyafi hakikat dari suatu tindakan yang dilakukannya, dapat

mengetahui ketercelaan dari tindakan dan dapat menentukan

apakah akan dilakukannya tindakan tersebut atau tidak. Jiak ia

menentukan (akan) melaksanakan tindakan itu, maka bentuk

hubungan itu adalah sengaja atau alpa. Perlu diperhatikan bahwa

untuk penentuan hal tersebut, bukan sebagai akibat atau

dorongan dari sesuatu, yang jika demikian penentuan itu berada di

luar kehendaknya sama sekali. Roeslan Saleh menyatakan pula

bahwa:

Tiada terdapat alasan pemaaf, yaitu kemampuan

bertanggungjawab, bentuk kehendak dengan sengaja atau

alpa, tiada terhapus kesalahannya atau tiada terdapat alasan

pemaaf adalah termasuk dalam pengertian kesalahan atau

schuld.

Pompe juga menyatakan bahwa :

Hubungan petindak dengan tindakannya ditinjau dari sudut

kehendak, kesalahan petindak adalah merupakan bagian dari

kehendak tersebut. Asas yang timbul daripadanya adalah “Tiada

pidana tanpa kesalahan yang diperintah.44

2. Teori Efektivitas Hukum

Hukum memiliki fungsi sebagai sarana social control yaitu

upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat,.

Hukum bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan yang serasi

44

Adam Malik, Menuju Pelaksanaan Pancasila, Yayasan Idayu, 1979, Hlm 13

antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Selain itu,

hukum juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai sarana social

engineering yang maksudnya adalah sebagai sarana

pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam

mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang

tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional atau modern.

Menurut Soerjono Soekanto derajat efektivitas hukum ditentukan

oleh taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum termasuk para

penegak hukumnya sehingga dikenal asumsi bahwa taraf

kepatuhan yang tinggi adalah indikator suatu berfungsinya suatu

sistem hukum.45 Berfungsinya hukum merupakan salah satu tanda

bahwa hukum tersebut mencapai tujuan hukum yakni berusaha

untuk mempertahankan dan melindungi masyrakat dalam

pergaulan hidup. Bronislav Malinoswki mengemukakan bahwa

teori efektivitas hukum dalam masyarakat dianalisa dan dibedakan

menjadi dua, yaitu: (1) masyarakat modern,(2) masyarakat primitif.

Masyarakat modern merupakan masyarakat yang

perekonomiannya berdasarkan pasar yang sangat luas,

spesialisasi di bidang industri dan pemakaian teknologi canggih.

Dalam masyarakat modern hukum yang di buat ditegakkan oleh

pejabat yang berwenang.46 Efektivitas hukum menurut Clerence J

45

Soerjono Soekanto.1975. Efektivitas Hukum dan Peranan Saksi. Bandung: Remaja Karya.. Hlm 7. 46

Salim,H.S dan Erlis Septiana Nurbani.2013. Penerapan Teori Hukum Pada Tesis dan Disertasi , Edisi Pertama, ctk Kesatu,. Jakarta: Rajawali Press. Hlm.375

Dias :

An effective legal sytem may be describe as one in which there exists a high degree of congruence between legal rule and human conduct. Thus andaeffective kegal sytem will be characterized by minimal disparyti betweentheformal legal system and the operative legal system is secured by:

1) The intelligibility of it legal system;

2) High level public knowlege of the conten of the legal rules

3) Efficient and effective mobilization of legal rules:

a) A commited administration and.

b) Citizen involvement and participation in the

mobilizationprocess

4) Dispute sattelment mechanisms that are both easily

accessibleto thepublic and effective in their resolution of

disputes and.

5) A widely shere perception by individuals of the

effectivenessof the legalrules and institutions.

Pendapat tersebut dijelaskan Clerence J Dias dalam Marcus

Priyo Guntarto sebagai berikut, terdapat 5 (lima) syarat bagi efektif

tidaknya satu sistem hukum meliputi:

1) Mudah atau tidaknya makna isi aturan-aturan itu ditangkap.

2) Luas tidaknya kalangan didalam masyarakat yang mengetahui

isi aturan-aturan yang bersangkutan.

3) Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum

dicapai dengan bantuan aparat administrasi yang menyadari

melibatkan dirinya kedalam usaha mobilisasi yang demikian,

dan para warga masyrakat yang terlibat dan merasa harus

berpartisipasi dalam proses mobilisasi hukum.

4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya

harus mudah dihubungi dan dimasukan oleh setiap warga

masyarakat, akan tetapi harus cukup efektif menyelesaikan

sengketa.

5) Adanya anggapan dan pengakuan yang cukup merata di

kalangan warga masyarakat yang beranggapan bahwa aturan-

atauran dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya

berdaya mampu efektif.

Dalam bukunya Achmad Ali yang dikutip oleh Marcus Priyo

Guntarto yang mengemukakan tentang keberlakuan hukum dapat

efektif apabila :

1. Relevansi aturan hukum dengan kebutuhan orang yang menjadi

target;

2. Kejelasan dari rumusan subtansi aturan hukum, sehingga

mudah dipahami oleh orang yang menjadi target hukum;

3. Sosialisasi yang optimal kepada semua orang yang menjadi

target hukum.

4. Undang-undang sebaiknya bersifat melarang, bukan bersifat

mengharuskan. Pada umumnya hukum prohibitur lebih mudah

dilaksanakan daripada hukum mandatur;

5. Sanksi yang akan diancam dalam undang-undang harus

dipadankan dengan sifat undang-undang yang dilanggar, suatu

sanksi yang tepat untuk tujuan tertentu, mungkin saja tidak tepat

untuk tujuan lain. Berat sanksi yang diancam harus proporsional

dan memungkinkan untuk dilaksanakan.

Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa dalam sosiologi hukum

masalah kepatuhan atau ketaatan hukum terhadap kaidah-kaidah

hukum pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam

mengukur efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hukum

ini.47 Efektivitas Hukum yang dikemukakan oleh Anthoni Allot

sebagaimana dikutip Felik adalah sebagai berikut: Hukum akan

mejadi efektif jika tujuan keberadaan dan penerapannya dapat

mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan dapat

menghilangkan kekacauan. Hukum yang efektif secara umum

dapat membuat apa yang dirancang dapat diwujudkan.

Wiiliam Chamblish dan Robert B seidman mengungkapkan

bahwa bekerjanya hukum dimasyarakat dipengaruhi oleh all other

societal personal force(semua ketakutan dari individu masyarakat)

yang melingkupi seluruh prose.48 Studi efektivitas hukum

merupakan suatu kegiatan yang memperlihatkan suatu strategi

perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu suatu

perbandingan antara realitas hukum dan ideal hukum, secara

khusus terlihatjenjang antara hukum dalam tindakan (law in action)

dengan hukum dalam teori (law in theory)atau dengan kata lain

kegiatan ini akan memperlihatkan kaitannya antara law in the book

47

Soerjono Soekanto.1996. Sosiologi Suatu pengantar,. Bandung: Rajawali Press.Hlm 20. 48

Robert B seidman.1972. Law order and Power. Adition Publishing Company Wesley Readingmassachusett. Hlm 9-13

dan law in action.49 Bustanul Arifin yang dikutip oleh Raida L

Tobing dkk, mengatakan bahwa dalam negara yang berdasarkan

hukum, berlaku efektifnya sebuah hukum apabila didukung oeh

tiga pilar, yaitu:

a. Lembaga atau penegak hukum yang berwibawa dapat

diandalkan

b. Peraturan hukum yang jelas sistematis.

c. Kesadaran hukum masyarakat tinggi.

Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah

bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima)

faktor,50 yaitu : Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).

1. Faktor hukum, yakni aturan yang mengatur tingkah lauk

masyarakat.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan

hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan.

49

Soleman B Taneko. 1993. Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali Press. Hlm. 47-48 50

Soerjono Soekanto.2008.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 8

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa

yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

3. Teori Hukum Progresif

Teori Hukum Progresif yang dicetuskan oleh Profesor

Satjipto Rahardjo ini menegaskan bahwa hukum adalah untuk

manusia, dan bukan sebaliknya.

“Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan

juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita”

Prof. Satjipto Raharjo, S.H., yang menyatakan pemikiran

hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk

manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi

penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani

manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan

merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu

hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada

kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif

menganut “ideologi” : Hukum yang pro-keadilan dan Hukum

yang Pro-rakyat.

Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali.

Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat

pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum

mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat.

Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan

dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan

yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan

(changing the law). Peraturan buruk tidak harus menjadi

penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk

menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan,

karena mereka dapat melakukan interprestasi secara baru

setiap kali terhadap suatu peraturan. Untuk itu agar hukum

dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku hukum

yang kreatif menterjemahkan hukum itu dalam kepentingan-

kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya.

Berdasarkan teori ini keadilan tidak bisa secara langsung

ditemukan lewat proses logis formal. Keadilan justru diperoleh

lewat institusi, karenanya, argument-argumen logis formal

“dicari” sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara

yuridis-formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Oleh

karena itu konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi

dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar

dirinya.

Istilah penegakan hukum menurut Satjipto Rahardjo

merupakan pelaksanaan hukum secara konkret dalam

kehidupan masyarakat sehari-hari.51

51

Satjipto Rahardjo, Op.Cit,hal.181.

Dalam masalah penegakan hukum, terdapat 2 (dua) macam

tipe penegakan hukum progresif :

1. Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan

hukum progresif. Idealnya, mereka terdiri dari generasi baru

profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat yang

mendasari penegakan hukum progresif.

2. Kebutuhan akan semacam kebangunan di kalangan

akademisi, intelektual dan ilmuan serta teoritisi hukum

Indonesia.

F. Kerangka Pikir

Berbicara mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anak tidak

bisa dilepaskan dengan konsep keadilan restoratif, karena anak yang

merupakan penerus bangsa di kemudian hari diberikan suatu

pelindungan khusus dikerenakan anak masih memiliki pola piker dan

tingkah laku yang labil. Tingginya tingkat kejahatan yang dilakukan oleh

anak saat sekarang ini menjadi suatu indikator dari tujuan pemidanaan

terhadap anak berkonflik dengan hukum itu sendiri. Dimana saat kita

berbicara mengenai tujuan pemidanaan terhadap anak apakah tujuan

pemidanaan anak tersebut telah mewujudkan keseimbangan

kepentingan bagi publik, korban, ataupun si anak yang bekonflik dengan

hukum itu sendiri. Pidana adalah hukuman berupa siksaan yang

merupakan keistimewaan dan unsur yang terpenting dalam hukum

pidana. Kita telah mengetahui, bahwa sifat dari hukum ialah memaksa

dan dapat dipaksakan, dan paksaan itu perlu untuk menjaga tertibnya,

diturutnya peraturan-peraturan hukum atau untuk memaksa si perusak

memperbaiki keadaan yang dirusakkannya atau mengganti kerugian

yang disebabkannya. Pokoknya untuk menjaga dan memperbaiki

keseimbangan atau keadaan semula.

Tujuan pemidanaan erat kaitannya dengan penegakan hukum, yang

mana penegakan hukum dilaksanakan oleh para aparat penegak hukum,

yaitu kepolisian, jaksa, dan hakim. Hakim dalam menjatuhkan

putusannya, terutama dalam perkara anak yang berkonflik dengan

hukum selain berpedoman berdasarkan Pasal 183 KUHAP, Pasal 184

Ayat (1) KUHAP, dan Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak dan melihat dari fakta-fakta yang

terungkap di persidangan pastinya juga mempertimbangkan aspek-aspek

lainnya dalam menjatuhkan putusannya seperti fakta persidangan, usia,

pengulangan tindak pidana, berat atau ringannya ancaman pidana yang

dilakukan oleh Anak, serta kembali lagi kepada tujuan dan manfaat

pemidanaan terhadap Anak tersebut.

Di Indonesia, aturan tentang proses penyelesaian perkara anak

yang berkonflik dengan hukum sudah diatur dalam Undang-undang

Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Meskipun

demikian, dalam praktiknya banyak terjadi fenomena peningkatan kasus

tindak pidana yang dilakukan oleh anak setelah diberlakukannya

Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

terhadap suatu kasus yang dilakukan oleh Anak dan dijatuhi putusan

berupa tindakan terhadapnya.

Penulis akan mencoba mengkaji dan mengidentifikasi dua variabel

utama (Independent Variabel) dalam penelitian ini yakni nilai keadilan

restoratif yang terakomodir dalam sistem peradilan pidana anak menurut

Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak memiliki indikator berupa terlaksananya cita-cita hukum progresif.

Independent variabel selanjutnya adalah pertimbangan apa yang

digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan

terhadap kasus kenakalan anak yang berkaitan dengan struktur hukum

dan faktor penegak hukumnya.

Dalam penelitian ini, penulis juga akan mencoba mengkaji suatu

kasus tindak pidana yang dilakukan oleh Anak yang mana penjatuhan

putusan hakim berupa hukuman tindakan. Penulis tertarik untuk mengkaji

bagaimana hakim memperlakukan Keadilan Restoratif dalam perkara

yang dilakukan anak pelaku pengrusakan kantor DPRD Kabupaten

Gowa (Studi Kasus Perkara No. 14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.SGM) apakah

putusan tersebut sudah dapat memenuhi dari tujuan hukum dan

kepentingan si pelaku Anak .

Sedangkan variabel terikat (Dependent Variabel) dalam penelitian

ini adalah terwujudnya tujuan pemidanaan , tujuan dari keadilan restoratif

dan keseimbangan kepentingan bagi publik, korban, dan pelaku anak itu

sendiri.

G. Bagan Kerangka Pikir

KEADILAN RESTORATIF DALAM PENJATUHAN SANKSI TINDAKAN BAGI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM

Nilai Keadilan Restoratif Dalam UU. No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak : 1. Diversi 2. Tujuan Pemidanaan Anak 3. Pemulihan Korban 4. Jenis-jenis sanksi:

a. Pidana Pokok: i. Pidana Peringatan ii. Pidana Dengan Syarat iii. Pelatihan Kerja iv. Pembinaan Dalam

Lembaga v. Penjara

b. Pidana Tambahan 5. Tindakan

Pertimbangan hukum hakim dalam penjatuhan putusan sanksi tindakan terhadap Anak : 1. Fakta Persidangan 2. Usia 3. Berat/Ringannya Tindak

Pidana 4. Pengulangan Pidana 5. Tujuan & Manfaat

Pemidanaan 6. Kepentingan Terbaik Bagi

Anak

Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Pidana Anak No. 14/Pid.Sus.Anak/2016/ PN.SGM : 1. Kasuistis 2. Pertimbangan Yuridis 3. Pertimbangan Sosiologis 4. Laporan Bapas 5. Kepentingan terbaik bagi

anak

TERWUJUDNYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

H. Definisi Operasional

1 Keadilan Restoratif adalah sebuah proses dimana semua pihak

yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu

bersama untuk menyelesaikan secara bersama bagaimana

menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan

masa depan.

2 Upaya Restoratif adalah upaya yang menggunakan konsep

keadilan restorative dan menghasilkan tujuan dari konsep tersebut

yaitu kesepakatan antara para pihak yang terlibat.

3 Peradilan ialah pemutusan perselisihan oleh suatu instansi yang

tidak mempunyai kepentingan dalam perkara maupun merupakan

bagian dari pihak yang berselisih, tapi berdiri di atas perkara,

sedangkan hakim merupakan substansi aparat dan tugas

pokoknya adalah menerapkan suatu pola yang jadi pokok

perselisihan di bawah suatu peraturan umum.

4 Peradilan umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman

bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Dalam hal peradilan

anakdikarenakan pelaku tundak pidana (pelanggar) adalah anak.

5 Pertanggungjawaban pidana adalah kemampuan

bertanggungjawab seseorang dalam hal ini berhubungan dengan

kesalahan terhadap tindak pidana yang dilakukannya, tegasnya

yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang

dilakukannya.

6 Perlindungan hukum adalah keberhasilan penggunaan hukum,

dalam hal ini berkenaan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum

sesuai dengan tujuan dibentuknya hukum.

7 Kemampuan Bertanggung jawab adalah kemampuan seseorang

untuk menanggung segala akibat dari suatu tindakan melanggar

hukum yang telah dilakukan.

8 Kesalahan adalah bentuk kesengajaan atau karena kelalaian

melakukan perbuatan yang menimbulkan dasar untuk

pertanggungjawaban pidana.

9 Tidak adanya alasan pemaaf adalah ketiadaan sebagai dasar

untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana pelaka

sehingga tetap dianggap ada.

10 Sanksi adalah akibat yang harus diterima, dijalankan dan atau

sebagai konsekuensi dari suatu perbuatan pidana yang telah

dilakukan.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam

penelitian tesis ini, maka bentuk penelitian tesis ini adalah berbentuk

penelitian hukum normatif-empiris, yaitu penelitian hukum yang objek

kajiannya meliputi ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan

penerapannya pada peristiwa hukum.

Penelitian ini menentukan pada segi-segi yuridis dan melihat pada

aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan sanksi

terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, dengan mencoba

menganalisa dari segi kebijakan hukum pidananya serta dari

implementasi/penerapannya.

B. Jenis dan Sumber Data

Oleh sebab pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

pendekatan penelitian normatif dan empiris, maka penelusuran dan

pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan pencarian

bahan-bahan pendukung sebanyak mungkin baik dalam studi

kepustakaan maupun pada studi lapangan yang dilakukan. Mengingat

model penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan

penelitian lapangan (field research).

Adapun jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian

ini adalah data primer dan jenis data sekunder. Data primer memiliki

kedudukan yang kuat dan tingkat validitasnya tak diragukan karena

menggunakan data langsung yang diperoleh dari berbagai pihak yang

memiliki keterkaitan dengan masalah yang diangkat. Data sekunder

mempunyai ruang lingkup yang sangat luas meliputi data atau informasi,

menelaah dokumen, hasil penelitian sebelumnya, dan arsip yang

berkaitan dengan masalah yang dibahas.

Data primer diperoleh melalui cara interaksi langsung dengan pihak-

pihak terkait, baik melalui wawancara maupun dalam bentuk

pengamatan (observasi). Sementara penelusuran data sekunder

dilakukan dengan penelitian kepustakaan dengan menggunakan

berbagai literature guna mendapatkan landasan teori, baik berupa

kumpulan asas-asas hukum, norma-norma, kaidah-kaidah hukum,

pendapat-pendapat para pakar, doktrin-doktrin, hasil penelitian ilmiah,

sumber-sumber lainnya yang terkait dengan permasalahan yang akan

dibahas.

C. Lokasi Penelitian

Dalam melakukan penelitian, agar lebih efektif penulis melakukan

penelitian lapangan dengan memilih lokasi penelitian di, Kejaksaan

Negeri Gowa, dan Pengadilan Negeri Gowa dan BAPAS Kelas I

Makassar. Pemilihan lokasi ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa

lembaga-lembaga tersebut merupakan tempat bernaungnya penegak

hukum yang menangani kasus terkait.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam

penelitian guna memperoleh data dan informasi adalah sebagai berikut :

1. Wawancara, yakni pengumpulan data yang dilakukan peneliti

secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan

yang relevan dengan penelitian kepada narasumber dari berbagai

instansi terkait. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan informasi

dan sebagai referensi yang kritis dari para narasumber.

2. Studi dokumentasi, yakni teknik pengumpulan data dengan cara

mencatat dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian.

Kemudian dilakukan korelasi atau menghubungkan pendapat-

pendapat, opini-opini hukum dari pakar hukum serta peraturan

perundang-undangan.

E. Teknik Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan baik data primer maupun data

sekunder dengan menggunakan teknik yang telah ditentukan

sebelumnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

deskriptif. Adapun pendekatan dalam melakukan analisis yaitu :

1. Pendekatan dalam penelitian normative menggunakan

pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang

merupakan pendekatan dengan menggunakan legislasi dan

regulasi. Hal ini bertujuan agar peneliti mengunakan peraturan

perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis.

2. Pendekatan dalam penelitian empiris menggunakan

pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu cara

analisis hasil penelitian yang menghasilkan data deskriptif

analitis, yaitu data yang dinyatakan oleh responden secara

tertulis atau lisan serta tingkah laku yang nyata diteliti dan

dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Analisis pendekatan

kualitatif ini mementingkan kualitas data dan hanya data-data

yang berkualitas saja yang akan dianalisis.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Nilai Keadilan Restoratif Yang Terakomodir Dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak Menurut Undang-undang No. 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

1. Diversi

a. Sejarah Diversi

Konsep diversi pertama kali dikemukakan sebagai kosakata

pada laporan peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi

Pidana Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Awalnya

konsep diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai berdirinya

peradilan anak sebelum abad ke-19, yaitu diversi dari system

peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan

peringatan. Praktiknya telah berjalan di Negara bagian Victoria

Australia pada tahun 1959 diikuti oleh Negara bagian Queensland

pada tahun 1963.

Secara gramatikal pengertian diversi adalah “pengalihan”.

Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek

negative terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh

keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Lebih lanjut

menurut Chris Graveson, diversi adalah proses yang telah diakui

secara internasional sebagai cara terbaik dan paling baik dalam

menangani anak yang berkonflik dengan hukum. Intervensi

terhadap anak yang berkonflik dengan hukum sangat luas dan

beragam, tetapi lebih banyak menekankan pada penahanan dan

penghukuman tanpa peduli betapa ringannya pelanggaran tersebut

atau betapa mudanya usia anak tersebut.

Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh

kewenangan aparat penegak hukum yang disebut diskresi. Diskresi

telah diketahui dengan baik oleh polisi, tetapi diversi merupakan

istilah di luar dari kepolisian yang digunakan untuk menyebut

tindakan di luar sistem peradilan yang diambil terhadap anak yang

melakukan pelanggaran hukum. Diskresi bukanlah konsep baru

bagi polisi. Ini adalah salah satu dari konsep yang paling mendasar

dalam kepolisian baik secara historis maupun di dalam masyarakat

modern. Polisi telah memparktikkan penggunaan diskresi sejak

pertama kali polisi ada atau sebelumnya oleh mereka yang dalam

komunitas atau masyarakat memiliki tanggung jawab serupa.

Diskresi didasarkan pada prinsip bahwa setiap orang dapat

melakukan pelanggaran ringan yang tidak memerlukan interensi

hukum dan/atau pengadilan.

Diskresi adalah prinsip yang telah ditetapkan dalam hukum

yang berlaku umu, artinya mungkin saja secara formal tidak ada

dalam hukum tertulis tetapi telah dikembangkan menjadi praktik

yang dapat diterima. Sebagian sistem legal bahkan telah

menetapkan hukum tertulis mengenai apa yang dapat dan apa

yang tidak dapat dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan

tertentu dalam penggunaan diskresi dan bagaimana seharusna

diskresi diterapkan.

Hal serupa yang dikatakan oleh Loraine Gelsthrope, diskresi

adalah wewenang aparat penegak hukum yang menangani kasus

tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau

menghentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan

kebijakan yang dimilikinya. Kebijakan yang diambil oleh aparat

penegak hukum dalam melaksanakan diskresi menimbulkan

kontroversi karena pengambilan kebijakan penghukuman mengikuti

sifat kebijakan pribadi seseorang. Diskresi mengizinkan suatu

pembedaan tindakan terhadap kasus pidana oleh pelakunya

sehingga hal ini dapat menimbulkan permasalahan dalam hal

keadilan terhadap masyarakat.

Apabila kita melihat tujuannya, diversi tidaklah jauh berbeda

dari diskresi, yaitu menangani pelanggaran hukum di luar

pengadilan atau sistem peradilan pidana yang formal. Diversi dan

diskresi memiliki makna yang hampir sama karena keduanya dapat

digunakan untuk menjauhkan anak dari sistem peradilan pidana

anak. Dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana, Diversi diatur di dalam Bab II dari Pasal 6

sampai dengan Pasal 15. Dalam Pasal 1 Angka 7 Undang-undang

Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Diversi

adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses

peradilan pidana formal ke proses di luar pidana dengan atau tanpa

syarat.

Filosofi yang mendasari dalam Undang-undang Sistem

Peradilan Pidana Anak adalah karena Anak belum dapat

memahami apa yang dilakukannya serta mengedepankan

kepentingan terbaik bagi Anak (The best interest for the child) dan

sesuai Konvensi Hak Anak Tahun 1990 yang diratifikasi oleh

Indonesia melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 menyatakan bahwa

pidana merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) karena anak

adalah aset bangsa dan generasi penerus.

Diversi juga mempertimbangkan kepentingan korban,

kepatutan di dalam masyarakat, usia anak, dan pertimbangan pihak

lain dalam hal ini Balai Pemasyarakatan. Keputusan diversi dapat

berupa penggantian ganti rugi, penyerahan kembali ke orang tua,

kerja sosial, dan pelayanan masyarakat. Anak dapat memiliki

kesempatan lebih baik untuk mendapatkan pemulihan secara

psikologis dan pembauran lagi di dalam masyarakat lebih mudah

dibandingkan apabila Anak dipenjara,hal ini terkait dengan stigama

penjahat oleh masyarakat.

b. Tujuan Diversi

Dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana, diversi memiliki tujuan sebagai berikut :

a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;

d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

c. Syarat Diversi

Diversi dapat dilakukan apabila :

a. Tindak pidana yang dilakukan oleh Anak usia 12 tahun ke

atas yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7

(tujuh) tahun (Pasal 7 Ayat (2) Undang-undang Nomor 11

tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana);

b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana (Pasal 7 Ayat

(2) Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana);

c. Mendapatkan persetujuan korban, dan/atau keluarga Anak

korban, kecuali untuk :

1. Tindak pidana yang berupa pelanggaran;

2. Tindak pidana ringan;

3. Tindak pidana tanpa korban;

4. Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah

minimum propinsi setempat.52

d. Kesediaan Anak dan keluarganya.

d. Pertimbangan Dalam Diversi

Berdasarkan Pasal 9 Undang-undang Nomor 11 tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana, penyidik, penuntut umum, dan

hakim dalam melakukan diversi mempertimbangkan :

a. Kategori tindak pidana;

b. Umur anak;

c. Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan

d. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan Pasal 8 Ayat (3) Undang-undang Nomor 11 tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana, penyidik, penuntut umum,

dan hakim dalam melakukan diversi mempertimbangkan :

a. Kepentingan korban

b. Kesejahteraan dan tanggung jawab;

c. Penghindaran stigma negaatif;

d. Penghindaran pembalasan;

e. Keharmonisan masyarakat; dan

f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum

e. Prosedur Dalam Diversi

a. Diversi di tingkat penyidikan :

52

Pasal 9 Ayat (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana.

1. Setelah menerima laporan polisi, penyidik wajib bersurat

untuk meminta saran tertulis dari petugas pembimbing

kemasyarakatan (PK Bapas);

2. Hasil penelitian kemasyarakatan wajib diserahkan oleh

Bapas kepada penyidik dalam waktu paling lama 3 x 24

jam setelah permintaan penyidik diterima;

3. Penyidik wajib mulai mengupayakan diversi dalam waktu

paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai;

4. Apabila pelaku maupun korban setuju untuk untuk

dilakukan diversi, polisi, PK Bapas, dan Peksos memulai

proses musyawarah penyelesaian perkara dengan

melibatkan pihak terkait;

5. Proses musyawarah tersebut dilaksanakan paling lama 30

hari setelah dimulainya diversi.

Apabila diversi berhasil, hasil kesepakatan dituangkan dalam

bentuk kesepakatan diversi yang dalam waktu paling lama 3 (tiga)

hari sejak kesepakatan dicapai disampaiakan oleh atasan pejabat

yang bertanggung jawab di setiap tingkatan pemeriksaan ke

pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya. Penetapan

tersebut disampaikan kepada pembimbing kemasyarakatan,

penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam waktu paling lama3

(tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan tersebut

penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan.

Apabila diversi gagal, penyidik membuat BA. Diversi dan wajib

melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke penuntut

umum dengan melampirkan BA. Diversi dan laporan penelitian

masarakat dari petugas PK Bapas.

b. Diversi di tingkat penuntutan :

1. Setelah menerima berkas dari polisi, jaksa penuntut

umum wajib memperhatikan berkas perkara dari

kepolisisan dan hasil litmas yang telah dibuat oleh Bapas

serta kendala yang menghambat prose diversi pada

tingkat penyidikan;

2. Penuntut umum wajib mengupayakan diversi dalam waktu

paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas dari

penyidik;

3. Apabila pelaku maupun korban setuju untuk dilakukan

diversi, penuntut umum, PK Bapas dan Peksos memulai

proses diversi penyelesaian perkara dengan melibatkan

pihak terkait;

4. Proses diversi tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga

puluh) hari;

5. Penuntut umum membuat BA proses diversi.

Apabila diversi berhasil, hasil kesepakatan dituangkan dalam

bentuk kesepakatan diversi yang dalam waktu paling lama 3 (tiga)

hari sejak kesepakatan dicapai disampaiakan oleh atasan pejabat

yang bertanggung jawab di setiap tingkatan pemeriksaan ke

pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya. Penetapan

tersebut disampaikan kepada pembimbing kemasyarakatan,

penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam waktu paling lama3

(tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan tersebut

penuntut umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.

Apabila diversi gagal, penuntut umum melimpahkan perkara ke

pengadilan umum dengan melampirkan BA. Diversi dan laporan

penelitian masarakat dari petugas PK Bapas.

c. Diversi di tingkat pengadilan :

1. Setelah menerima berkas dari jaksa penuntut umum,

ketua pengadilan wajib menetapkan hakim atau majelis

hakim untuk menangani perkara Anak paling lama 3 (tiga)

hari setelah menerima berkas perkara;

2. Hakim wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling

lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua

Pengadilan Negeri sebagai hakim;

3. Apabila pelaku maupun korban setuju untuk dilakukan

diversi, hakim, PK Bapas dan Peksos memulai proses

diversi penyelesaian perkara dengan melibatkan pihak

terkait;

4. Proses diversi tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga

puluh) hari;

5. Proses diversi dapat dilaksanakan di ruangan mediasi

pengadilan negeri;

6. Hakim membuat BA proses diversi.

Apabila diversi berhasil, hasil kesepakatan dituangkan dalam

bentuk kesepakatan diversi yang dalam waktu paling lama 3 (tiga)

hari sejak kesepakatan dicapai disampaiakan oleh atasan pejabat

yang bertanggung jawab di setiap tingkatan pemeriksaan ke

pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya. Penetapan

tersebut disampaikan kepada pembimbing kemasyarakatan, dan

hakim yang menangani perkara dalam waktu paling lama 3 (tiga)

hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan tersebut hakim

menerbitkan penetapan penghentian persidangan.

Apabila diversi gagal, penuntut umum melimpahkan perkara ke

pengadilan umum dengan melampirkan BA. Diversi dan laporan

penelitian masarakat dari petugas PK Bapas.

2. Tujuan Pemidanaan Anak.

Pandangan Utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan

pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang

dapat dibuktikan. Keadilan tidak boleh melalui pembebanan

penderitaan itu sendiri, selain itu keadilan dapat dicapai apabila

tujuan yang theological dilakukan dengan menggunakan ukuran

prinsip-prinsip keadilan, misalnya penderitaan pidana tersebut tidak

boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diperoleh Anak sebagai

pelaku tindak pidana. Oleh karena itu suatu tujuan pemidanaan

sangatlah penting sebagai pedoman dalam memberikan dan

menjatuhkan pidana. 53

Teori relatif (deterrence) memandang pemidanaan bukan

sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tindak pidana, tetapi

sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi

masyarakat menuju kesejahteraan.54 Dari teori ini muncul tujuan

pemidanaan sebagai sarana pencegahan. Berdasarkan teori ini,

hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan

dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat

sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang

secara ideal, selain dari itu tujuan hukuman adalah untuk

mencegah terjadinya kembali kejahatan. Teori ini bertujuan

mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan

untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang

berpotensi atau cenderung melakukan kejahatan. Pidana bukanlah

sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada

orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai

tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri

tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk

melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana

terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi frekuensi

53

Muladi,2002,Lembaga Pidana Bersyarat,Alumni:Bandung. 54

http://rahmanamin1984.blogspot.co.id/2015/05/teori-pemidanaan.html; diakses tanggal 20 Desember 2017.

kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat

kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan.

Hal ini tentu berbeda dengan teori absolut (teori retributif) yang

memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas

kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan

dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan

karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya.

Menurut teori absolut (teori retributif), dasar hukuman harus dicari

dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan

penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya si pelaku harus

diberi penderitaan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

yang digunakan di Indonesia masih menganut teori absolut (teori

retrbutif). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melihat

pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak

mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain, misalnya untuk

kesejahteraan masyarakat ataupun tidak untuk memperbaiki,

mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar hukum.

Tujuan pemidanaan dalam Undang-undang Nomor 11 tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak meliputi usaha

prevensi, koreksi kedamaian dalam masyarakat, dan pembebasan

stigma penjahat terhadap Anak di masyarakat yang nantinya

membelenggu Anak selaku narapidana.

Konsensus tujuan pemidanaan merupakan tanggung jawab

bersama bagi kita untuk memikirkan dan merealisasikan khususnya

bagi aparat pelaksana dan penegak hukum. Pemidanaan terhadap

Anak merupakan suatu proses dinamis yang meliputi penilaian

secara terus menerus dan seksama terhadap sasaran yang hendak

dicapai dan konsekuensi yang dapat dipilih dari keputusan tertentu

terhadap hal-hal yang berhubungan dengan tujuan pemidanaan.

Anak yang merupakan bagian warga Negara yang harus

dilindungi karena mereka merupakan generasi bangsa yang di

masa yang akan datang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa

Indonesia. Pendekatan keadilan restoratif dalam Undang-undang

Peradilan Pidana Anak memiliki tujuan selain memfokuskan kepada

kebutuhan korban maupun Anak untuk menghindari kejahatan

lainnya pada masa datang.

Sebagaimana yang diatur dalam Bab V pada Undang-undang

No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Anak

hanya dapat dijatuhi pidana berdasarkan Undang-undang tersebut,

tidak menggunakan jenis-jenis pidana yang di atur dalam Pasal 10

KUHP. Bahwa dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak, pidana penjara merupakan pilihan

terakhir, dan bagi Anak yang belum berusia 14 (empat belas)

tahun hanya dapat dikenai tindakan.

Selain sanksi-sanksi pidana yang berbeda dengan KUHP dan

sanksi-sanksi pidana yang diatur di Undang-undang No. 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lebih kepada

mendidik dan memperbaiki pelaku tindak pidana, diaturnya

mengenai penjatuhan tindakan terhadap Anak merupakan

perubahan besar dalam hukum pidana Indonesia, yang tadinya

cenderung mengikuti KUHP, Undang-undang No. 11 Tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lebih ke arah perluasan dari

sanksi pidana itu sendiri.

Dalam Pasal 44 Ayat (6) Undang-undang No. 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak menyatakan penahanan terhadap Anak

dilaksanakan di tempat khusus untuk Anak di lingkungan Rumah

Tahanan Negara, cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat

tertentu. Hal tersebut dapat dikhawatirkan akan mengganggu

pertumbuhan dan perkembangan fisik serta mental Anak yang

masih lemah dan rentan. Selain itu juga menimbulkan stigma buruk

terhadap Anak tersebut. Sedangkan dalam Undang-undang No. 11

Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, penahanan

Anak ditempatkan pada panti-panti sosial yang disediakan oleh

pemerintah yang dikelola melalui Departemen Sosial. Dalam Pasal

84 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak telah mengatur mengenai pelaksanaan dimana telah

telah diatur secara khusus yaitu dilakukan di LPAS (Lembaga

Penempatan Anak Sementara) yaitu tempat sementara bagi Anak

selama proses peradilan berlangsung. Tujuan penahanan Anak

melalui panti-panti sosial yang diatur dalam Undang-undang No. 11

Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah untuk

mengadakan pembinaan terhadap Anak tersebut sehingga menjadi

Anak yang baik di masa yang akan datang.

3. Pemulihan Korban

Kepentingan korban diwakili oleh Negara melalui aparat

penegak hukum dengan cara memidanakan pelaku, sedangkan

korban hanya bisa menunggu dan menyaksikan apa yang

dilakukan Negara. Terkadang putusan hakim dapat memuaskan

bagi korban, namun tidak jarang justru membuat korban kecewa,

karena putusannya jauh dari rasa keadilan yang diidam-idamkan

korban dan masyarakat. Kemudian muncul paradigma keadilan

restoratif yang menawarkan solusi berbeda. Proses penyelesaian

perkara pidana dilakukan melalui mekanisme yang melibatkan

kedua belah pihak, yaitu pelaku dan korban.

Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana wajib mengutamakan pendekatan keadilan

restoratif yang mana memiliki pokok-pokok pemikiran sebagai

berikut :

a. Melibatkan anggota masyarakat dalam upaya pemulihan;

b. Berorientasi pada korban;

c. Memberikan kesempatan kepada pelaku dan korban untuk

bertemu untuk mengurangi permusuhan dan kebencian;

d. Memberikan kesempatan pada pelaku untuk

mengungkapkan rasa sesalnya pada korban dan sekaligus

bertanggung jawab;

e. Menekankan keadilan pada perbaikan atau pemulihan

keadaan.

Penyelesaian perkara tindak pidana dalam Undang-undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana dengan

melibatkan pelaku, korban, dan pihak lain yang terkait untuk

bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan

menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan

pembalasan.

Pola penyelesaian perkara dengan model mediasi menjadikan

para pihak lebih banyak berperan mengatasi persoalannya.

Sedangkan aparat penegak hukum berperan sebagai fasilitator

dan mediator terhadap perkara pidana yang mengandung konflik

dengan tujuan mendamaikan kedua belah pihak. Putusan

pengadilan dapat berupa kesepakatan damai, pemberian ganti rugi

kepada korban, dan penghukuman kepada pelaku. Dengan

demikian tujuan penegakan hukum bukan semata-mata

pemidanaan tetapi juga pemulihan hubungan antara pelaku dan

korban.

Perlindungan atas kepentingan korban dalam konteks sistem

peradilan pidana menjadi penting sebab selain bertujuan untuk

mengendalikan suatu kejahatan, sistem peradilan pidana juga

semestinya memberikan ruang bagi korban untuk mendapatkan

hak-haknya seperti pemulihan atas suatu kejahatan. Dengan

melindungi kepentingan korban, sejalan dengan maksud dari teori

relatif dalam tujuan pemidanaan yaitu memulihkan kerugian yang

ditimbulkan oleh kejahatan.

Aparat penegak hukum sudah seharusnya perhatian terhadap

perlindungan korban. Maka sudah sepantasnya seorang hakim

dalam menjatuhkan suatu putusan tetap memperhatikan

perlindungan korban, salah satunya dengan mengabulkan

permohonan restitusi terhadap korban kejahatan. Hal demikian

menjadi sesuatu yang penting dalam perkembangan hukum pidana

nasional, sebab hakim berperan dalam membentuk hukum melalui

putusan pengadilan.

Perlu diketahui bahwa tugas penting dari hakim ialah

menyesuaikan Undang-undang dengan hal-hal nyata di

masyarakat. Apabila Undang-undang tidak dapat dijalankan

menurut arti katanya maka hakim harus menafsirkannya. Dengan

kata lain bila suatu ketentuan dalam Undang-undang tidak jelas,

maka hakim wajib menafsirkannya sehingga ia dapat membuat

suatu keputusan yang adil.

Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak mengatur hak-hak Anak, namun Undang-undang No.

11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lebih

banyak mengatur mengenai hak-hak Anak sebagai pelaku tindak

pidana, yang terdapat dalam Pasal 3 s/d Pasal 88. Hak-hak anak

sebagai korban secara eksplisit hanya diatur dalam 2 (dua) pasal

saja, yaitu Pasal 90 dan Pasal 91 (hak yang diberikan berupa

upaya rehabilitasi sosial dan medis, jaminan keselamatan baik fisik,

mental, maupun sosial, kemudahan untuk mendapatkan informasi).

Berdasarkan uraian tersebut, menurut penulis sudah saatnya

Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak untuk direvisi. Sebab sebagaimanapun korban

memiliki hak yang sama di depan hukum, terlebih anak sebagai

korban.

Kedudukan korban adalah haruslah seimbang dengan pelaku

ataupun saksi. Hukum pidana menjadi terlalu kuno jika terlalu

berorientasi kepada pelaku tindak pidana, sebab hukum pidana

harus mengikuti perkembangan dan dinamika hukum modern

sekarang. Sehingga kedepannya hak-hak korban tidak

termarginalkan lagi.

Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 90 Ayat (2) Undang-

undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

“ketentuan hak anak korban dan anak saksi sebagaimana

dimaksud pada Ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden), sampai

saat ini aturan tersebut belum dibuat oleh pemerintah, yang mana

dalam Undang-undang No, 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak, dalam sanksi pidana tambahan nya mencantumkan

pembayaran ganti rugi, akan tetapi dalam Undang-undang No. 11

Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mana

lebih memiliki pendekatan restoratif, sanksi pidana tambahan

tersebut dihilangkan, meskipun telah diaturnya tentang diversi

dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak.

Hal yang lebih menarik adalah bahwa dalam hal terjadi suatu

tindak pidana dimana anak sebagai pelaku tindak pidana dan

korbannya adalah orang dewasa. Dalam hal diversi yang dilakukan

di penyidikan tidak berhasil sehingga proses dilanjutkan ke

penuntutan oleh penuntut umum. Maka terdapat beberapa hal yang

diupayakan oleh penuntut umum, yakni diversi jika pelaku adalah

Anak dan tindak pidana memenuhi ancaman hukuman kurang dari

tujuh tahun dan bukan merupakan suatu pengulangan tindak

pidana, juga penerapan Pasal 98 s/d Pasal 102 Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memuat tentang

kemungkinan penggabungan tuntutan pidana dengan tuntutan

restitusi atau ganti rugi keperdataan oleh korban kepada pelaku

tindak pidana. Namun berdasarkan wawancara penulis dengan

Anita Arsyad,SH.,MH selaku jaksa penuntut umum pada Kejaksaan

Negeri Gowa belum pernah sama sekali melakukan upaya

sebagaimana termuat dalam Pasal 98 KUHAP tersebut.55 Hal

tersebut seharusnya dapat dioptimalkan dengan berkomunikasi

lebih lanjut dengan pihak korban, karena keberadaan Pasal 98 s/d

102 KUHAP setidaknya dapat meringankan beban korban dengan

meminta penggabungan perkara tuntutan ganti rugi di dalam

tuntutan pidananya. Apalagi jika pelaku merupakan seorang anak

kemudian dilakukan diversi dan tetap tidak berhasil karena pelaku

enggan untuk memberikan ganti rugi atau restitusi, maka tidak

terdapat implikasi yuridisnya ketika restitusi itu tidak dibayarkan

kepada korban. Dengan mengoptimalkan penggunaan Pasal 98 s/d

Pasal 102 KUHAP, hakim akan memberikan putusan yang memiliki

implikasi langsung terhadap korban, tidak hanya putusan mengenai

penjatuhan pidana tetapi bisa juga mengabulkan tuntutan ganti rugi

yang diderita oleh korban tindak pidana. Sejalan dengan hal

tersebut, bahwa tidak dilakukan permohonan restitusi dalam

tuntutan jaksa penuntut umum dikarenakan tidak ada mekanisme

atau tata cara /petunjuk teknis pengajuan restitusi.

Dalam hal jika terjadi permohonan rehabilitasi terhadap Anak

korban tindak pidana, pihak Kejaksaan memberikan keterangan

terkait kendala yang dihadapi dalam hal rehabilitasi terhadap

korban, selain belum adanya rumah aman atau rumah singgah

55

Jaksa Pada Kejaksaan Negeri Gowa, Wawancara dilakukan pada hari Senin tanggal 18 Desember 2017 pukul 11.00 WITA bertempat di Ruang Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Gowa.

sementara, juga terkait program pembinaan atau rehabilitasi

terhadap anak korban tindak pidana masih banyak kendala.

4. Jenis-Jenis Sanksi

Prinsip-prinsip penjatuhan pidana terhadap Anak yang telah

melakukan tindak pidana antara lain terkandung di dalam Standard

Minimum Rule For Administration Of Juvenile (The Beijing Rules),

Un Rules For The Protection Of Juvenile Deprived Of Liberty dan

Convention On The Right Of The Child, yang telah diratifikasi oleh

Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36

Tahun 1990. Pidana terhadap Anak yang tertuang di dalam

dokumen-dokumen internasional ini dan keinginan agar penjara

sejauh mungkin tidak dijatuhkan khususnya terhadap Anak yang

telah dituangkan ke dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam hal pemidanaan Anak, perlu diketahui bahwa

perlindungan bagi Anak haruslah disimpan pada garis depan,

karena kepentingan terbaik bagi Anak adalah faktor terbesar dari

dasar pertimbangan bagi hakim dalam penjatuhan sanksi terhadap

Anak. Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak telah melakukan penerapan asas “The Last

Resort” dalam penjatuhan sanksi oleh hakim terhadap Anak yang

melakukan tindak pidana. Selain penjara sebagai pilihan terakhir,

dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak telah terjadi perubahan paradigma dalam

penanganan Anak yang berkonflik dengan hukum, antara lain

didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan

lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab

untuk meningkatkan kesejahteraan Anak serta memberikan

perlindungan khusus kepada Anak serta memberikan perlindungan

khusus kepada Anak, yang dilakukan dengan tujuan agar dapat

terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan

kepentingan terbaik terhadap Anak.

a. Pidana Pokok

Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak hakim dapat memutus berupa pidana

ataupun tindakan. Putusan yang berupa pidana antara lain :

i. Pidana Peringatan

Dalam Pasal 72 Undang-undang Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak “pidana

peringatan merupakan pidana ringan yang tidak

mengakibatkan pembatasan kebebasan”. Undang-

undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak tidak menjelaskan lebih jauh

tentang pidana peringatan, termasuk peringatan telah

dikategorikan sebagai pidana dan bukan sebagai

tindakan. Pidana peringatan tidak dapat dijatuhkan

kepada anak yang belum berusia 14 tahun.

ii. Pidana Dengan Syarat

Pidana dengan syarat pada dasarnya telah dikenal

dalam KUHP dengan istilah pidana percobaan,

sebagaimana diatur dalam Pasal 14 a sampai 14 f

KUHP. Pidana dengan syarat di atur dalam Pasal 73

butir 1-8 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pidana

dengan syarat hanya dapat dijatuhkan apabila hakim

menjatuhkan pidana penjara tidak lebih dari 2 (dua)

tahun. Pidana dengan syarat memiliki 2 (dua) syarat

yaitu :

- Syarat umum : tidak akan melakukan tindak

pidana lagi selama menjalani masa pidana

dengan syarat;

- Syarat khusus : untuk melakukan atau tidak

melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam

putusan hakim. Syarat khusus harus tetap

memperhatikan kebebasan Anak. Dengan kata

lain, syarat khusus tidak boleh bertentangan

dengan kebebasan Anak termasuk pula

kebebasan beragama (Pasal 14 e KUHP)

iii. Pelatihan Kerja

Dalam Pasal 78 Undang-undang Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

mengatur bahwa pidana pelatihan kerja yang sesuai

dengan usia Anak. Lembaga yang dimaksud antara

lain : balai latihan kerja, lembaga pendidikan vokasi

yang dilaksanakan oleh kementrian yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

ketenagakerjaan, pendidikan, atau social. Masa

pidana latihan kerja, paling singkat 3 (tiga) bulan dan

paling lama 1 (satu) tahun.

iv. Pembinaan Dalam Lembaga

Pidana pembinaan dalam lembaga dilakukan di

tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan yang

diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun

swasta. Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

disebutkan bahwa pembinaan dalam lembaga

dilakukan oleh Lembaga Penyelenggara

Kesejahteraan Sosial (LPKS).

v. Penjara

Pidana penjara merupakan alternative terakhir dari

pemidanaan Anak, dan hanya dijatuhkan dengan

syarat

a. Anak telah berusia 14 tahun;

b. Hanya dilakukan dalam hal Anak melakukan

tindak pidana berat atau tindak pidana yang

disertai kekerasan;

c. Keadaan atau perbuatan Anak akan

membahayakan masyarakat;

d. Maksimum penjara adalah ½ (satu per dua)

dari maksimum ancaman pidana penjara bagi

orang dewasa;

e. Jika tindak pidana yang dilakukan Anak

diancam dengan maksimum pidana yang dapat

dijatuhkan kepada Anak adalah 10 (sepuluh)

tahun;

f. Minimum khusus pidana penjara tidak berlaku

terhadap Anak.

Pidana penjara terhadap Anak dilaksanakan di

Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Undang-

undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak mewajibkan dalam tenggang

waktu 3 (tiga) tahun sejak Undang-undang

diberlakukan, setiap lembaga pemasyarakatan anak

melakukann perubahan system menjadi LPKA.

Disamping itu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga

mewajibkan dalam waktu 5 (lima) tahun sejak

diberlakukan setiap provinsi wajib membangun LPKA.

b. Pidana Tambahan

Pidana tambahan adalah merupakan pidana yang merupakan

asesoris, artinya melekat pada pidana pokok dan tidak dapat

dijatuhkan secara tersendiri. Pidana tambahan yang dikenal dalam

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak adalah perampasan keuntungan yang diperoleh dari

tindak pidana dan pemenuhan kewajiban adat.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak tidak menjelaskan kedua pidana tambahan

ini, namun dalam penjelasan pasal 71 huruf b Undang-undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan “kewajiban adat”,

yaitu denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma

adat setempat dengan tetap menghormati harkat dan martabat

serta Anak dan tidak membahayakan kesehatan fisik dan mental

Anak.

Dengan memperhatikan penjelasan di atas khususnya

berkaitan dengan “denda” serta dengan memperhatikan Pasal 71

Ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak maka bermakna bahwa denda tidak dapat

dikenakan terhadap Anak, dengan demikian yang dimaksud

dengan kewajiban adat hanyalah berupa tindakan. Penting untuk

menjadi perhatian kita bahwa tindakan adat yang dibenarkan untuk

dapat diterapkan terhadap Anak hanyalah tindakan yang

menghormati harkat dan martabat Anak serta tidak membahayakan

kesehatan fisik dan mental Anak. Secara umum tindakan tersebut

harus selaras dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam

konvensi Anak maupun Undang-undang Perlindungan Anak.

5. Jenis Tindakan Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, disamping sanksi pidana, dikenal pula

penjatuhan sanksi tindakan terhadap seseorang yang terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah dengan tujuan memberikan

pendidikan dan pembinaan serta tindakan tertentu lainnya. Jenis-

jenis tindakan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak :

a. Pengembalian kepada orang tua/wali;

b. Penyerahan kepada seseorang;

c. Perawatan di Rumah Sakit Jiwa;

d. Perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial

(LPKS);

e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang

diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;

f. Pencabutan Surat Izin Mengemudi;

g. Perbaikan akibat tindak pidana.

Putusan hakim yang berupa tindakan dapat dijatuhkan apabila:

a. Tindak pidana yang terbukti dilakukan Anak (12-18 tahun)

diancam dengan pidana penjara kurang dari 7 (tujuh) tahun;

b. Maksimum masa tindakan dalam kaitan dengan perawatan di

Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS),

kewajiban mengikuti pendidikan formal, pencabutan Surat Izin

Mengemudi adalah 1 satu) tahun.

Berkaitan dengan pelaksanaan tindakan dalam Pasal 83

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak hanyalah secara terbatas menyebutkan tentang tujuan

dari tindakan penyerahan Anak kepada seseorang yang

dimaksudkan untuk kepentingan Anak yang bersangkutan, dan

tujuan dari tindakan perawatan terhadap Anak yang dimaksudkan

untuk membantu orang tua/wali dalam mendidik dan memberikan

pembimbingan kepada Anak yang bersangkutan.

6. Jumlah Putusan Anak Di Pengadilan Negeri Sungguminasa

Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis sejak mulai

diberlakukannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak, jumlah perkara yang diterima oleh

Pengadilan Negeri Sungguminasa sejak tahun 2015 sampai

dengan 2017 sebanyak 49 dengan beragam putusan yang

dijatuhkan oleh hakim. Dari 49 jenis perkara tersebut jenis pidana

yang dijatuhkan paling banyak adalah pidana penjara.

Mengenai diversi yang telah diatur oleh Undang-undang Nomor

11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat

beberapa diversi yang berhasil dan telah dikeluarkan penetapan

oleh ketua Pengadilan Negeri.

Tabel.1

PUTUSAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SUNGGUMINASA

TAHUN 2015 s/d tahun 2017

No. Jenis Sanksi Pidana Tahun 2015

Tahun 2016

Tahun 2017

Ket.

1 Pidana Peringatan - - - 2 Pidana dengan syarat 6 1 1 3 Pembinaan dalam

lembaga - - -

4 Penjara 13 3 1 5 Perampasan

keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana

- - -

6 Pemenuhan Kewajiban Adat

- - -

Jumlah 19 4 2 Sumber Data : Bagian Pidana Pengadilan Negeri Sungguminasa.

Tabel.2

PUTUSAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SUNGGUMINASA

TAHUN 2015 s/d tahun 2017

No. Jenis Sanksi Tindakan Tahun 2015

Tahun 2016

Tahun 2017

Ket.

1 Penyerahan kepada orang tua/wali

1 1 1

2 Penyerahan kepada seseorang

- - -

3 Perawatan Di Rumah Sakit Jiwa

- - -

4 Perawatan Di LPKS/LPKA

4 5 8

5 Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang dilakuan oleh pemerintah/badan swasta

- - -

6 Pencabutan SIM - - - 7 Perbaikan akibat

tindak pidana - - -

Jumlah 5 6 9 Sumber Data : Bagian Pidana Pengadilan Negeri Sungguminasa.

Tabel.3

PUTUSAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SUNGGUMINASA

TAHUN 2015 s/d tahun 2017

No. Penetapan Tahun 2015

Tahun 2016

Tahun 2017

Ket.

1 Diversi 5 3 1 Sumber Data : Bagian Pidana Pengadilan Negeri Sungguminasa.

Dari data yang diperoleh penulis dari Pengadilan Negeri

Sungguminasa terlihat bahwa hakim masih menjatuhkan pidana

penjara terhadap Anak, akan tetapi sejak Undang-undang Nomor

11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

diberlakukan, penjatuhan pidana penjara berkurang tiap tahunnya

dan jumlah tindak pidana yang dilakukan oleh anak juga berkurang

setiap tahunnya sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 11

Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Penulis juga mendapatkan keterangan dari pegawai pada

bagian pidana di Pengadilan Negeri Sungguminasa bahwa setiap

bulannya setidaknya ada 1 (satu) permintaan penetapan hasil

kesepakatan diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri dari penyidik.

B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Penjatuhan Putusan Sanksi

Tindakan Terhadap Anak

Menurut Howard Zehr “Crimes is a violation of people and

relationships” (tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap

manusia dan relasi antar manusia). Tindak pidana menciptakan

suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih

baik dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam

mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menentramkan

hati.

Berdasarkan hal tersebut maka konsep yang digunakan untuk

menangani anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilakukan

dengan metode pendekatan yang murni mengedepankan

kesejahteraan anak dan pendekatan intervensi hukum. Maka model

penghukuman yang bersifat restoratif atau disebut keadilan

restoratif saat ini lebih layak diterapkan dalam menangani pelaku

tindak pidana anak.

Keadilan restoratif berlandaskan pada prinsip due process,

yang merupakan eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan

kesejahteraan dan pendekatan keadilan, yang sangat menghormati

hak-hak hukum tersangka dan sangat memperhatikan kepentingan

korban. Sasaran Peradilan Restoratif adalah mengharapkan

berkurangnya jumlah anak yang ditangkap, ditahan dan divonis

penjara serta menghapuskan stigma pada diri anak dan

mengembalikan anak menjadi manusia yang normal sehingga

dapat berguna dikemudian hari.

Proses keadilan restoratif merupakan proses keadilan yang

sepenuhnya dijalankan dan dicapai oleh masyarakat. Proses yang

benar-benar ditujukan untuk mencegah dilakukannya kembali

tindak pidana. Hal ini menjadikan keadilan sebagai sesuatu yang

penuh dengan pertimbangan dalam menangani kejahatan dan

menghindar terjadinya stigmatisasi.

Berikut merupakan pertimbangan-pertimbangan hakim dalam

penjatuhan sanksi tindakan bagi Anak yang telah terbukti bersalah

di persidangan :

1. Fakta Persidangan.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak sebagai penggantian dari Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dimaksudkan

untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan dengan

hukum agar Anak dapat menyongsong masa depannya yang masih

panjang serta member kesempatan kepada Anak agar member

kesempatan kepada Anak agar melalui pembinaan akan diperoleh

jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung

jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa,

dan Negara.

Penyusunan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak bertujuan agar dapat terwujud

peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan

terbaik terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum sebagai

penerus bangsa.

Dalam penelitian ditemukan banyak hal yang menjadi suatu

pemikiran ketika melihat beberapa putusan yang didapat dari

Pengadilan Negeri Sungguminasa. Dari beberapa putusan yang

dikeluarkan oleh hakim mengenai perkara Anak yang melakukan

tindak pidana yang sama akan tetapi pidana yang dijatuhkan

berbeda.

Menurut Hakim Arman. S. Herman, SH,MH hakim pada

Pengadilan Negeri Sunggguminasa56, dalam menjatuhkan pidana

terhadap Anak harus dilakukan apabila kesalahan Anak terbukti di

depan persidangan dan tentu kesalahan sesuai yang termaktub

dalam dakwaan penuntut umum. Dalam menyatakan seorang Anak

bersalah membutuhkan alat bukti minimum yang sah dan dapat

meyakinkan hakim atas kesalahan yang dilakukan oleh Anak,

setelah itu maka Anak dapat dijatuhkan pidana. Di dalam

pelaksanaannya, baik hakim maupun jaksa mengemukakan faktor-

faktor yang menjadi pertimbangan dalam tuntutan dan penjatuhan

pidana yaitu hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Faktor

yang meringankan antara lain adalah Anak masih bersekolah,

mengakui perbuatannya dan berperilaku sopan. Faktor-faktor yang

memberatkan adalah Anak tidak mengakui perbuatannya,

mengganggu atau meresahkan masyarakat, merugikan Negara dan

pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh Anak.

Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim dalam

menentukan putusan yang akan dijatuhkan kepada Anak. Hakim

harus dapat mengelola dan memproses data-data yang diperoleh

56

Wawancara penulis dengan Arman. S. Herman, SH.,MH: Hakim Pada Pengadilan Negeri Sungguminasa: Wawancara dilakukan pada hari Senin, 20 November 2017 pukul 11.00 WITA bertempat di Ruang Hakim II Pengadilan Negeri Sungguminasa.

selama proses persidangan dalam hal ini bukti-bukti, keterangan

saksi, keterangan Anak, tuntutan jaksa penuntut umum,

pembelaan dari penasihat hukum Anak, serta laporan penelitian

pembimbing kemasyarakatan maupun muatan psikologis baik

hakim maupun Anak sehingga keputusan yang akan dijatuhkan

kepada terdakwa dapat didasari oleh tanggung jawab, keadilan,

kebijaksanaan, dan profesionalisme.

Hakim memutuskan menjatuhkan sanksi pidana terhadap

Anak juga mempertimbangkan rasa keadilan terhadap korban

yang telah menanggung akibat dari perbuatan Anak selain

mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan

tersebut di atas. Dalam menjatuhkan pidana terhadap Anak

bukanlah wujud pembalasan dendam kepada Anak tetapi untuk

mengingatkan bahwa perbuatan yang telah dilakukan Anak adalah

melanggar suatu ketentuan Undang-undang, agar dikemudian hari

Anak bertanggung jawab pada perbuatannya serta kembali

menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri

sendiri, keluarga, dan lingkungannya.

Sedangkan dalam pertimbangan hakim menjatuhkan

tindakan terhadap Anak yang menyebutkan bahwa meskipun Anak

telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang

didakwakan penuntut umum, dimana seharusnya hukuman

kepada Anak diperberat namun mengingat Anak dan kasus

tersebut berada dalam sistem nilai peradilan Anak dimana di satu

sisi Anak sebagai pelaku tindak pidana yang dimintai

pertanggungjawaban pidana, di sisi lain juga sebagai korban atau

objek dalam peradilan anak, maka tanpa bermaksud mengabaikan

keadaan korban akibat perbuatan pidana yang telah dilakukan

Anak, hakim berkesimpulan agar Anak dijatuhi tindakan.

2. Usia.

Dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-undang Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan Anak

yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak

adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi

belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan

tindak pidana. Khusus mengenai sanksi terhadap Anak ditentukan

berdasarkan perbedaan usia Anak, yaitu bagi Anak yang masih

berusia kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya tindakan,

sedangkan bagi Anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas)

tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi

tindakan dan pidana.

Merujuk pada Pasal 71 Ayat (4) Undang-undang Nomor 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang

menyatakan agar pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang

melanggar harkat dan martabat Anak, Pasal 69 Ayat (2) Undang-

undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak yang menyatakan Anak yang belum berusia 14 (empat

belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan dan asas sistem

peradilan anak diantaranya kepentingan terbaik bagi Anak dan

perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya

terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d dan i

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak serta mengingat Anak tersebut masih belum

memahami tentang apa yang telah dilakukannya, sehingga orang

tua sebagai orang terdekat Anak diharapkan ke depannya dapat

mendidik, membina, dan mengawasi Anak dengan lebih

bersungguh-sungguh lagi agar Anak yang lebih baik dalam segala

hal dan tidak melanggar hukum lagi.

Terlebih lagi apabila Anak masih mengenyam pendidikan di

bangku sekolah, maka hakim memprioritaskan hal tersebut dan

mempertimbangkan agar Anak yang masih dalam usia sekolah

untuk dijatuhi pidana tindakan, bukan penjara.

3. Berat Atau Ringannya Tindak Pidana.

Selain faktor-faktor tersebut di atas, hakim juga menilai dan

memutus perkara mempertimbangkan faktor apakah tindak pidana

yang dilakukan tersebut merugikan orang lain atau tidak, apakah

tindak pidana yang dilakukan oleh Anak memiliki ancaman pidana

yang tinggi atau tidak, ataukah perbuatan Anak tersebut

mengakibatkan orang lain mengalami kerugian besar atau tidak.

Misalkan untuk kasus narkoba, apabila dilakukan oleh Anak dan

baru pertama kali maka menurut hakim Sigit Triatmojo,SH dalam

wawancaranya akan memidanakan pelaku tersebut dengan

rehabilitasi ataupun dikembalikan ke orang tua.57 Terlihat ada

upaya menuju keadilan restoratif disini. Alasannya karena narkoba

merugikan diri pelaku itu sendiri bukan merugikan orang lain.

Apabila tindak pidana yang dilakukan merugikan orang lain maka

tanpa diberi ampun tetap akan ditahan.

Hal tersebut berbeda dengan pendapat Arman. S. Herman,

SH.,MH yang melihat lain, untuk kasus narkoba tersebut akan

dilihat dulu jenis narkoba yang dipakai.58 Hakim tersebut tidak

melihat pelaku Anak tersebut yang masih anak-anak, Anak harus

ditahan karena hakim tersebut sudah menganggap tindak pidana

narkotika tersebut sebagai kejahatan besar, bukan kenakalan

anak biasa.

Apabila Anak melakukan tindak pidana yang mengakibatkan

kerugian yang besar terhadap korbannya, ataupun korban tersebut

meninggal dunia, hakim tentunya akan memiliki pertimbangan

yang berbeda dalam penjatuhan putusannya. Dengan tidak

melanggar harkat dan martabat Anak tersebut, serta tetap dengan

57

Wawancara penulis dengan Sigit Triatmojo, SH: Hakim Pada Pengadilan Negeri Sungguminasa: Wawancara dilakukan pada hari Jumat, 10 November 2017 pukul 10.00 WITA bertempat di Ruang Hakim II Pengadilan Negeri Sungguminasa 58

Wawancara penulis dengan Amran. S. Herman, SH.,MH: Hakim Pada Pengadilan Negeri Sungguminasa: Wawancara dilakukan pada hari Senin, 20 November 2017 pukul 11.00 WITA bertempat di Ruang Hakim II Pengadilan Negeri Sungguminasa.

mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi Anak tersebut,

hakim menjatuhkan pidana penjara, yang mana dalam Pasal 81

Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak telah mengatur untuk Anak yang dijatuhi pidana

penjara ditempatkan di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus

Anak).

Apabila Anak telah terbukti di persidangan bahwa akibat dari

perbuatannya mengakibatkan kerugian yang tidak besar terhadap

korban, ataupun peranan dari Anak tersebut bukanlah seorang

pelaku utama dan Anak tersebut hanya ikut-ikutan terbawa situasi,

hakim mempertimbangkan juga dengan melihat laporan yang

disampaikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan tentunya hakim

akan menjatuhkan pidana yang lebih ringan dan bertujuan

melakukan pembinaan terhadap Anak tersebut. Hakim dapat

menjatuhkan tindakan terhadap Anak tersebut.

4. Pengulangan Pidana.

Sejak dilahirkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah menjadi sorotan

khusus terutama yang berkaitan dengan penjatuhan pidana

terhadap Anak.

Oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor yang

mempengaruhi efektivitas penegakan hukum dalam kasus tindak

pidana yang dilakukan oleh Anak.

Menurut Soerjono Soekanto, efektivitas hukum ditentukan

oleh lima faktor, yakni 1) Faktor hukum; 2) Faktor penegak hukum;

3) Faktor sarana dan pra sarana; 4) Faktor masyarakat; 5) Faktor

kebudayaan. Berkaitan dengan kasus tindak pidana yang

dilakukan oleh Anak yang mana dirangkaikan dalam

permasalahan ketiga, menurut penulis terdapat dua faktor yang

mempengaruhi efektivitas penegakan hukum terhadap kasus

tindak pidana yang dilakukan oleh Anak, yakni faktor hukum dan

faktor penegak hukum.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa hal-hal

memberatkan dan hal-hal yang meringankan menjadi

pertimbangan penegak hukum baik itu oleh jaksa penuntut umum

dalam memberikan tuntutan, maupun oleh hakim dalam

menjatuhkan putusan.

Hal-hal meringankan hukuman menurut KUHPidana adalah

sebagai berikut :

a. Dalam hal umur yang masih muda (incapacity),

berdasarkan pasal 47 Ayat (1) KUHPidana yang berbunyi

“jika hakim menghukum anak yang bersalah itu, maka

maksimum hukuman pokok bagi tindak pidana itu

dikurangi sepertiga”.

b. Dalam hal percobaan melakukan kejahatan, berdasarkan

Pasal 53 Ayat (2) KUHPidana yang berbunyi “maksimum

hukuman pokok yang ditentukan atas kejahatan itu

dikurangi sepertiganya dalam hal percobaan”.

c. Dalam hal membantu melakukan kejahatan, berdasarkan

Pasal 57 Ayat (1) yang berbunyi “maksimum hukuman

pokok yang ditentukan atas kejahatan itu dikurangi

sepertiga bagi pembantu”.

Hal-hal memberatkan hukuman menurut KUHPidana adalah

sebagai berikut :

a. Dalam hal Concursus, sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 65 KUHPidana :

- Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang

harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri

sendiri-sendiri sehingga merupakan beberapa

kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok

sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.

- Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah

maksimum pidana-pidana yang diancamkan

terhadap perbuatan itu, akan tetapi tidak boleh

lebih dari maksimum pidana yang terberat

ditambah sepertiganya.

b. Dalam hal recidive, berdasarkan Pasal 486, 487, dan 488

KUHPidana.

Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana, pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh

pelaku tindak pidana menjadi salah satu hal yang memberatkan

dalam penjatuhan putusan pemidanaan, tidak terkecuali juga

terhadap Anak. Apabila Anak tersebut sudah pernah dipidana

sebelumnya dan kembali lagi melakukan tindak pidana, selain

berdasarkan Pasal 7 Ayat (2) Undang-undang No. 11 Tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terhadap Anak tersebut

tidak dapat dilakukan diversi, hakim akan mempertimbangkan

apakah Anak tersebut masih dapat dijatuhi pidana tindakan atau

penjara. Menurut hakim Sigit Triatmojo,SH dikarenakan dalam

Pasal 82 Ayat (1) Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak, ada 7 (tujuh) jenis tindakan yang

dapat dikenakan terhadap Anak, apabila pada penjatuhan pidana

sebelumnya Anak tersebut sudah dijatuhi tindakan dengan

dikembalikan kepada orang tua, maka hakim akan menjatuhkan

tindakan dengan perawatan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan

Kesejahteraan Sosial) dengan tidak melebihi 1 (satu) tahun

(berdasarkan Pasal 1 Ayat (2) Undang-undang No. 11 Tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).59

Sependapat dengan apa yang disampaikan oleh hakim Sigit

Triatmojo, SH, dalam menjatuhkan pidana terhadap Anak yang

59

Wawancara penulis dengan Sigit Triatmojo, SH: Hakim Pada Pengadilan Negeri Sungguminasa: Wawancara dilakukan pada hari Jumat, 10 November 2017 pukul 10.00 WITA bertempat di Ruang Hakim II Pengadilan Negeri Sungguminasa

sudah pernah dijatuhi pidana sebelumnya, hakim

Amran.S.Herman,SH.,MH menyampaikan dari 7 (tujuh) jenis

penjatuhan tindakan dalam Undang-undang Sistem Peradilan

Pidana Anak, dipilih yang paling mendidik dan dapat membina

Anak untuk menjadi perilaku yang tidak akan mengulangi

perbuatannya lagi, tetapi apabila dalam persidangan terbukti Anak

tersebut tidak ada tanda-tanda ataupun orangtua atau wali dari

Anak tersebut sudah tidak mampu lagi mendidik Anak, hakim akan

mempertimbangkan menjatuhkan salah satu dari pidana pokok

yang diatur pada Pasa 71 Ayat (1) Undang-undang No. 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 60

5. Tujuan Dan Manfaat Pemidanaan.

Penegakan hukum merupakan rangkaian proses penjabaran

ide dan cita hukum yang memuat nilai-nilai moral seperti keadilan

dan kebenaran kedalam bentuk-bentuk konkrit, dalam

mewujudkannya membutuhkan suatu organisasi seperti

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan

sebagai unsur klasik penegakan hukum yang dibentuk oleh

negara, dengan kata lain bahwa penegakan hukum pada

hakikatnya mengandung supremasi nilai substansial yaitu

keadilan. Secara konsepsional, maka inti dari penegakan hukum

60

Wawancara penulis dengan Amran. S. Herman, SH.,MH: Hakim Pada Pengadilan Negeri Sungguminasa: Wawancara dilakukan pada hari Senin, 20 November 2017 pukul 11.00 WITA bertempat di Ruang Hakim II Pengadilan Negeri Sungguminasa.

terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan

mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran

nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Oleh karena itu

dapat dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata

berarti pelaksanaan perundang-undangan.

Penegakan hukum juga berkaitan erat dengan pencegahan

dan penanggulangan kejahatan. Pencegahan dan

penanggulangan kejahatan harus menunjukkan tujuan,

kesejahteraan masyarakat, dan perlindungan terhadap

masyarakat. Penanggulangan kejahatan tidak cukup jika hanya

dilakukan dengan pendekatan integral, baik sarana penal maupun

non-penal. Upaya-upaya tersebut juga bukan hanya tugas aparat

penegak hukum, tetapi juga tugas stakeholder yang membuat

hukum. Dampak sosial yang timbul akibat banyaknya kasus yang

dilakukan oleh Anak dapat saja berpotensi untuk membuat stigma

negatif terhadap Anak dan Anak bukannya bertambah baik setelah

keluar dari penjara akan tetapi sudah terkontaminasi dari para

narapidana lainnya di dalam RUTAN.

Seperti yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya bahwa

penegakan hukum khususnya kasus yang dilakukan oleh Anak

terdapat dalam beberapa aturan hukum. Ruang lingkup

penegakan hukum sebenarnya sangat luas karena mencakup hal-

hal yang langsung dan tidak langsung terhadap orang yang terjun

dalam bidang penegakan hukum. Penegakan hukum yang tidak

hanya mencakup law enforcement, juga meliputi peace

maintenance. Adapun orang-orang yang terlibat dalam masalah

penegakan hukum di Indonesia ini adalah diantaranya polisi,

hakim, kejaksaan, pengacara dan pemasyarakatan atau penjara.

Menurut Muladi, sebagai suatu proses yang bersifat sistemik,

maka penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai

penerapan hukum pidana (criminal law application). Penerapan

hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi, yaitu:

(1) Penerapan hukum dipandang sebagi sistem normatif

(normative system) yaitu penerapan keseluruhan aturan

hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang di

dukung oleh sanksi pidana;

(2) Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif

(administrative system) yang mencakup interaksi antara

pelbagai aparatur penegak hukum yang merupakan sub-

sistem peradilan di atas;

(3) Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social

system), dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak

pidana harus pula diperhitungkan pelbagai perspektif

pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat.

Sehubungan dengan berbagai dimensi di atas dapat

dikatakan bahwa penegakan hukum terhadap berbagai kasus

tanpa terkecuali sebenarnya merupakan hasil penerapan hukum

pidana yang seyogyanya menggambarkan keseluruhan hasil

interaksi antara hukum, praktek administratif dan pelaku sosial.

Sejak dilahirkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah menjadi sorotan

khusus terutama yang berkaitan dengan penjatuhan pidana

terhadap Anak.

Faktor penegak hukum juga memiliki peranan penting dalam

menentukan efektivitas penegakan hukum dalam kasus tindak

pidana yang dilakukan oleh Anak. Hal ini sudah tidak semata-mata

dianggap menjadi kejahatan tradisional mengingat begitu pesatnya

perkembangan teknologi dan pergaulan yang mempengaruhi

Anak. Menurut Amran S. Herman, SH.,MH kelemahan pada aparat

penegak hukum adalah keterbatasan pengetahuan dan wawasan

yang terus berkembang sedangkan aparat penegak hukum belum

tentu bisa dengan cepat menyesuaikan atau mensejajarkan diri

dengan perkembangan yang berjalan begitu cepat.61

Apakah para penegak hukum masih berpedoman dengan

teori pembalasan yang mana pidana dipandang sebagai nestapa

yang harus dijalani oleh pelaku tindak pidana tanpa memikirkan

61

Wawancara penulis dengan Amran. S. Herman, SH.,MH: Hakim Pada Pengadilan Negeri Sungguminasa: Wawancara dilakukan pada hari Senin, 20 November 2017 pukul 11.00 WITA bertempat di Ruang Hakim II Pengadilan Negeri Sungguminasa.

apakah nestapa tersebut dapat memperbaiki perilaku buruknya,

ataukah nestapa tersebut hanyalah membuatnya terbiasa dan

kebal untuk mengulangi perbuatannya kembali.

Bahwa tujuan dan manfaat pemidanaan tersebut untuk Anak

seharusnya sesuai dengan politik hukum pidana dimana harus

diarahkan kepada perlindungan masyarakat, dari kesejahteraan

serta kesimbangan dan keselarasan hidup dengan memperhatikan

kepentingan masyarakat, korban dan Anak itu sendiri.

Dalam penjatuhan pidana terhadap Anak haruslah

mempertimbangkan tujuan dan manfaat dari penjatuhan

pemidanaan terhadap Anak tersebut. Hakim dalam

pertimbangannya mempertimbangkan :

a. Kemanusiaan : dalam artian bahwa penjatuhan pidana

terhadap Anak tersebut tetap harus menjunjung harkat

dan martabat Anak tersebut meskipun Anak tersebut

terbukti bersalah melakukan tindak pidana;

b. Edukatif : dalam artian bahwa pemidanaan tersebut

mampu membuat Anak tersebut sadar sepenuhnya atas

perbuatan yang telah dilakukannya dan menyebabkan Ia

mempunyai sikap yang positif dan konstruktif bagi usaha

penanggulangan kejahatan kembali;

c. Keadilan : dalam artian bahwa pemidanaan tersebut

dirasakan adil (baik oleh Anak, maupun oleh korban,

ataupun masyarakat);

d. Prevensi : upaya agar dikemudian hari kejahatan

tersebut tidak terulang lagi.

6. Kepentingan Terbaik Bagi Anak.

Menurut Hakim Sigit Triatmojo, SH, hakim pada Pengadilan

Negeri Sunggguminasa62 menerangkan bahwa dalam

pertimbangan putusan hakim, keadilan restoratif merupakan

keadilan sosiologis, yaitu suatu proses dimana para pelaku

kejahatan yang menyesal menerima tanggung jawab atas

kesalahan mereka kepada mereka yang dirugikan dan kepada

masyarakat yang sebagai balasannya mengizinkan bergabungnya

kembali pelaku kejahatan yang bersangkutan ke dalam

masyarakat. Sehingga yang ditekankan ialah pemulihan hubungan

antara pelaku dengan korban (cq. Keluarga korban) di dalam

masyarakat.

Secara formil terhadap penyusunan pertimbangan dalam

putusan tindak pidana yang dilakukan oleh Anak terbagi menjadi :

a. Bentuk putusan

Bentuk putusan terbagi menjadi 2 yakni putusan akhir dan

62

Wawancara penulis dengan Sigit Triatmojo, SH: Hakim sekaligus Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri Gowa. Wawancara dilakukan pada Jumat, 10 November 2017 pukul 10.00 WITA bertempat di Ruang Hakim II Pengadilan Negeri Sungguminasa.

yang bukan putusan akhir. Putusan akhir dibagi menjadi 2

yakni putusan pemidanaan dan yang bukan pemidanaan.

Sedangkan yang bukan putusan akhir juga dibagi menjadi 2

yakni penetapan dan putusan sela.

b. Pertimbangan hakim dalam putusan pemidanaan

Dalam KUHAP telah diatur secara tegas mengenai

kewajiban hakim untuk mempertimbangkan dan

mencantumkan keadaan yang meringankan dan

memberatkan dari Anak. Jika tidak, akan mengakibatkan

putusan tersebut batal demi hukum

Hal-hal tersebut merupakan pertimbangan hakim yang bersifat

yuridis yaitu pertimbangan hakim yang berdasarkan fakta-fakta

yuridis yang terungkap di persidangan dan juga oleh Undang-

undang yang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat dalam

putusan pemidanaan. Sedangkan pertimbangan yang bersifat non

yuridis, dimana berupa keterangan yang dilakukan oleh hakim

berdasarkan pada fakta-fakta yang terungkap pada saat

pemeriksaan berlangsung dan dalam hal ini tidak diatur dalam

Undang-undang dapat dilihat dari :

b. Latar belakang perbuatan Anak

c. Akibat perbuatan Anak

d. Kondisi diri Anak

e. Faktor agama Anak

f. Keadaan sosial ekonomi terdakwa

Bahwa terdapat faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi

hakim dalam meringankan dan memberatkan, yaitu :

1. Faktor internal

Yaitu faktor yang mempengaruhi hakim yang berasal

dari dalam diri hakim, yaitu :

- Faktor subyektif :

- Sikap perilaku yang apriori, yaitu sikap

seorang hakim yang sejak semula sudah

menganggap bahwa yang diperiksa dan

diadili adalah memang orang yang bersalah

dan harus dipidana;

- Sikap perilaku yang emosional, yaitu suatu

putusan pengadilan akan dipengaruhi

perangai seorang hakim. Hakim yang

mudah tersinggung akan berbeda dengan

hakim yang tidak mudah tersinggung.

Begitu pula dengan hasil putusan oleh

hakim yang mudah marah dan pendendam

akan berbeda dengan putusan hakim yang

penyabar;

- Sikap Arrogance Power yaitu sikap lain

yang mempengaruhi suatu putusan adalah

hakim yang merasa mempunyai

kewenangan yang lebih, kesombongan.

Disini hakim merasa dirinya berkuasa dan

lebih pintar melebihi orang lain;

- Moral, dalam hal ini moral merupakan hal

yang sangat berpengaruh, karena

bagaimanapun juga pribadi hakim diliputi

oleh tingkah laku yang didasari oleh moral

pribadi hakim tersebut terlebih dalam

memeriksa dan memutus perkara.

- Faktor obyektif :

- Latar belakang budaya, agama, pendidikan

seorang hakim tentu ikut mempengaruhi

suatu putusan hakim. Meskipun latar

belakang hidup, budaya ikut bersifat

determinis, tetapi setidak-tidaknya faktor ini

ikut mempengaruhi hakim dalam

mengambil putusan;

- Profesionalisme serta kecerdasan seorang

hakim ikut mempengaruhi keputusannya.

Perbedaan suatu putusan pengadilan

sering dipengaruhi oleh profesionalisme

hakim tersebut.

2. Faktor Eksternal

Faktor yang mempengaruhi hakim yang berasal dari luar

diri hakim antara lain seperti adanya demo dari

masyarakat atau sekelompok masyarakat yang

berkepentingan dalam suatu perkara. Contohnya pada

penanganan kasus narkotika dimana masyarakat apabila

berpendapat mengenai Bandar narkotika akan meminta

hakim untuk menghukum pelaku seberat-beratnya

Bahwa tidak mungkin melakukan tindakan demi kepentingan

Anak tanpa melalui putusan. Hal ini berkaitan pula dengan adanya

kewenangan hakim yang diberikan Undang-undang yang

memberikan kewenangan menjatuhkan pidana tindakan terhadap

Anak yang terbukti bersalah di depan persidangan. Hal ini dapat

berpengaruh terhadap psikologi Anak pelaku tindak pidana yang

meliputi psikologi Anak pada saat melakukan suatu tindak pidana

dan psikologi Anak setelah dikenai sanksi pidana, karena Anak

memiliki sifat-sifat khas yang berbeda dengan ciri dan sifat orang

dewasa.

Dalam penjatuhan sanksi pidana dalam putusannya, hakim

wajib mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi Anak (the best

interest of the child) dalam upaya menjauhkan Anak dari penjara.

Pertimbangan kepentingan terbaik bagi Anak mengingatkan kepada

aparat penegak hukum bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam

pengambilan keputusan menyangkut masa depan Anak bukan

dengan ukuran orang dewasa.

Hakim dalam pertimbangannya harus dapat memberikan suatu

pidana yang tidak menghambat Anak dalam menjalani

pendidikannya dan memperhatikan kesejahteraan Anak dalam

menjalani pidananya.

C. Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Pidana Anak No.

14/Pid.Sus.Anak/2016/Pn.Sgm

1. Kasus Posisi

Kasus posisi sebagaimana dapat disimpulkan dari surat dakwaan

yang dikutip dalam putusan dijelaskan dalam paragraf-paragraf

sebagai berikut.

Bahwa telah terjadi tindak pidana pembakaran dan pengerusakan

secara bersama-sama terhadap barang pada hari Senin tanggal 26

September 2016 sekira pukul 13.15 WITA di gedung DPRD Tk. II. Kab.

Gowa beralamat di Jalan Mesjid Raya No. 26 Kel. Sungguminasa Kec.

Somba Opu Kab. Gowa, yang berawal dari berkumpulnya massa di Jl.

Istana Kab. Gowa yang akan melakukan kegiatan orasi di Fly Over

untuk menolak Perda Tentang Lembaga Adat Daerah (LAD). Bahwa

setelah tiba di kantor DPRD Tk. II Kab. Gowa para terdakwa bersama

dengan massa lainnya yang mengatasnamakan keturunan Raja Gowa

melakukan orasi dan meminta perwakilan dari Anggota DPRD Tk. II

Kab. Gowa untuk bertemu dengan massa namun tidak ada satupun

Anggota DPRD Kab. Gowa yang bersedia menemui massa sehingga

massa menjadi anarkis dan melakukan perusakan terhadap fasilitas

dalam gedung DPRD Tk. II Kab. Gowa dan melakukan pembakaran

terhadap fasilitas dan gedung DPRD Tk. II. Para pelaku Anak didakwa

atas perbuatannya dengan dakwaan Kesatu Pasal 187 Ayat (1) KUHP

jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Atau Kedua Primair Pasal 170 Ayat (2)

ke-1 KUHP Subsidiair Pasal 170 Ayat (1) KUHP.

Dakwaan Penuntut Umum

Dalam putusan Pengadilan Negeri Sungguminasa tersebut, penuntut

umum mendakwa dan menuntut para Anak yang pada pokoknya sebagai

berikut :

a) Dakwaan pertama berdasarkan pada ketentuan Pasal 187 Ayat (1)

KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, yang unsur-unsurnya terdiri

dari :

a. Barang siapa;

b. Mereka yang menyuruh melakukan dan yang turut serta

melakukan perbuatan;

c. Dengan sengaja;

d. Membakar, menjadikan letusan atau mengakibatkan

kebanjiran;

e. Dimana perbuatan tersebut dapat mendatangkan bahaya

umum bagi barang.

b) Dakwaan kedua primair berdasarkan pada ketentuan Pasal 170

Ayat (2) ke-1 KUHP, yang unsur-unsurnya terdiri dari:

a. Dengan sengaja;

b. Bersama-sama merusakkan barang.

c) Dakwaan kedua subsidiair berdasarkan pada ketentuan Pasal 170

Ayat (1) KUHP, yang unsur-unsurnya terdiri dari:

a. Dengan sengaja;

b. Secara bersama-sama;

c. Melakukan kekerasan terhadap orang atau barang.

d) Menyatakan Anak ARDIANSYAH BIN JAMALUDDIN DG. SANRE

ALIAS RIAN, Anak MURSIDIN ALIAS DIDIN BIN HASRUDDIN,

Anak NASRAN BIN KADIR DG. TANJENG ALIAS BONGKENG,

Anak NURSALAM ARDIANSYAH ALIAS ALAM BIN AHMAD

DEWA DG. LIRA, Anak MUH. RESKY ALIAS RESKY BIN

BURHANUDDIN telah terbukti secara sah dan meyakinkan terbukti

bersalah melakukan tindak pidana “dengan terang-terangan dan

dengan tenaga bersama dengan sengaja menghancurkan barang”

sebagaimana diatur dalam Pasal 170 Ayat (2) ke-1 KUHP;

e) Menjatuhkan pidana terhadap Anak MUH. RESKY ALIAS RESKY

BIN BURHANUDDIN oleh karena itu dengan dikenakan tindakan

dengan perawatan di LPKS selama 1 (satu) tahun;

f) Menjatuhkan pidana terhadap Anak ARDIANSYAH BIN

JAMALUDDIN DG. SANRE ALIAS RIAN, Anak MURSIDIN ALIAS

DIDIN BIN HASRUDDIN, Anak NASRAN BIN KADIR DG.

TANJENG ALIAS BONGKENG, Anak NURSALAM ARDIANSYAH

ALIAS ALAM BIN AHMAD DEWA DG. LIRA oleh karena itu dengan

pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun dan 8

(delapan) bulan dikurangi selama anak ditahan dengan perintah

tetap ditahan;

g) Menyatakan barang bukti

- Serpihan kaca warna Bening

- 1 (satu) buah Kursi Panjang merk Acero

- 1 (Satu) Buah celana Levis Merk Blac Devil warna biru

- 1 (satu) lembar baju kaos lengan panjang

- 1 (satu) lembar baju kaor warna merah bertuliskan California

- 1 (satu) buah Sweater warna hitam bertuliskan Rebel EGT 8

- 1 (satu) lembar jaket warna hitam bertuliskan lascar merah

putih

- 1 (satu) buah Sweater warna abu – abu

- 1 (satu) lembar seragam sekolah warna putih

- 1 (satu) buah celana sekolah

- 1 (satu) buah celana jeans merk ROOT RIVER

- 1 (satu) lembar baju kaos warna hitam bertuliskan QUICK

SILVER

- 1 (satu) batang petasan Galaxi warna merah bertuliskan

ROMAN CANDLES

- 1 (satu) Unit Mobil Suzuki Carry warna Hitam DD 8516 BB

- Abu Arang

- Pecahan botol

- 1 (satu) buah Flash Disk yang berisi rekaman CCTV

Dipergunakan dalam perkara lain.

h) Menetapkan agar para Anak dibebankan untuk membayar biaya

perkara masing-masing sebesar Rp 2.000,- (dua ribu rupiah).

Amar Putusan

a. Menyatakan Anak 1. Ardiansyah Bin Jamaluddin Dg. Sanre Alias

Rian, Anak 2. Mursidin Alias Didin Bin Hasruddin, Anak 3. Nasran

Bin Kadir Dg. Tanjeng Alias Bongkeng, Anak 4. Nursalam

Ardiansyah Alias Alam Bin Ahmad Dewa Dg. Lira, dan Anak 5.

Muh. Resky Alias Resky Bin Burhanuddin terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “bersama

melakukan kekerasan terhadap barang”

b. Memerintahkan tindakan kepada Para Anak dikembalikan kepada

orang tuanya/walinya dengan ketentuan selama maksimum 1 (satu)

tahun berkewajiban melapor secara periodic serta dalam

pengawasan dan pembimbingan dari Pembimbing Kemasyarakatan

Balai Pemasyarakatan atau apabila Para Anak tidak melanjutkan

pendidikan formal sekolahnya Para Anak akan ditempatkan di

LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) selama 1

(satu) tahun;

c. Menyatakan barang bukti berupa;

- Serpihan kaca warna Bening

- 1 (satu) buah Kursi Panjang merk Acero

- 1 (Satu) Buah celana Levis Merk Blac Devil warna biru

- 1 (satu) lembar baju kaos lengan panjang

- 1 (satu) lembar baju kaos warna merah bertuliskan California

- 1 (satu) buah Sweater warna hitam bertuliskan Rebel EGT 8

- 1 (satu) lembar jaket warna hitam bertuliskan lascar merah

putih

- 1 (satu) buah Sweater warna abu – abu

- 1 (satu) lembar seragam sekolah warna putih

- 1 (satu) buah celana sekolah

- 1 (satu) buah celana jeans merk ROOT RIVER

- 1 (satu) lembar baju kaos warna hitam bertuliskan QUICK

SILVER

- 1 (satu) batang petasan Galaxi warna merah bertuliskan

ROMAN CANDLES

- 1 (satu) Unit Mobil Suzuki Carry warna Hitam DD 8516 BB

- Abu Arang

- Pecahan botol

- 1 (satu) buah Flash Disk yang berisi rekaman CCTV

Dipergunakan dalam perkara lain.

d. Membebankan kepada Anak untuk membayar biaya perkara

masing-masing sejumlah Rp.2000.- (dua ribu rupiah)

2. Pertimbangan Yuridis

Untuk dapat memidana seseorang maka harus dipastikan terlebih

dahulu tindakan yang telah dilakukannya memenuhi unusr-unsur

tindak pidana yang diatur di dalam undang-undang. Ditinjau dari aspek

terjadinya tindakan yang dilarang maka seseorang akan

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya jika tindakan tersebut

bersifat melawan hukum serta tidak memiliki akasan pembenar

ataupun alaan peniadaan sifat melawan hukum atas suatu tindak

pidana yang telah dilakukannya. Jika ditinjau dari aspek kemampuan

bertanggung jawab, maka hanya seseorang yang mampu bertanggung

jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang

telah dilakukannya.

Persoalan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana

pengerusakan barang secara bersama-sama baik berkaitan dengan

kemampuan bertanggung jawab adalah sama dengan kemampuan

bertanggung jawab pada tindak pidana lainnya.63 Kemampuan

bertanggungjawab dilihat dari kemampuan seseorang dalam

menentukan kehendak atau perbuatannya sehingga ia menginsyafi

suatu perbuatan terjadi dengan kehendaknya. Kesalahan dapat dilihat

63

Wawancara penulis dengan Sigit Triatmojo, SH: Hakim sekaligus Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri Gowa. Wawancara dilakukan pada Jumat, 10 November 2017 pukul 10.00 WITA bertempat di Ruang Hakim II Pengadilan Negeri Gowa.

dari bentuk-bentuk kesengajaan serta tidak adanya alasan pemaaf

sehingga telah cukup dibuktikan jika terdakwa dalam keadaan sehat

jiwa, lahir dan batin atau tidak mengalami gangguan jiwa apapun saat

melakukan perbuatannya.

Dari pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa

pertanggungjawaban pidana dalam mengukur seseorang telah

melakukan pencemaran nama baik berdasarkan indikator

pertanggungjawaban pidana atau criminal responsibility, yakni; 1)

Kemampuan bertanggungjawab; 2) Adanya kesalahan; dan 3) Tidak

adanya alasan pemaaf. Untuk menjelaskan lebih lanjut tentang

pertanggungjawaban pidana Anak yang melakukan perbuatan secara

bersama-sama melakukan pengrusakan, maka akan dibahas sebagai

berikut:

a. Mampu Bertanggungjawab

Sebagaimana terdapat dalam putusan Nomor

14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.SGM, hakim dalam mempertimbangkan

unsur bertanggungjawab berpedoman pada perbuatan yang

didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagaimana dalam

Pasal 170 Ayat (2) Ke-1 KUHP yang terbukti dalam persidangan.

Adapun pertimbangan hakim menyatakan :

Menimbang, bahwa terhadap unsur-unsur tersebut majelis hakim mempertimbangkan Pasal 170 Ayat (2) Ke-1 KUHP, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: a. Barang siapa. b. Dengan sengaja bersama-sama merusakkan barang atau

jika kekerasan yang dilakukannya menyebabkan luka.

Menurut Pompe, kemampuan bertanggungjawab pidana harus

mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 1. Kemampuan berpikir

(psychisch) pembuat (dader) yang memungkinkan ia menguasai

pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya. 2. Oleh

sebab itu , ia dapat menentukan akibat perbuatannya; 3. Sehingga ia

dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.64

Apabila kembali pada indikator-indikator kemampuan

bertanggungjawab, maka dalam hukum pidana materiil (KUHP)

ditentukan pula indikator-indikator seseorang yang termasuk dalam

keadaan sebaliknya, yakni tidak mampu bertanggungjawab. Indikator

seseorang dikatakan tidak mampu bertanggungjawab berdasarkan

Pasal 44 KUHP,yakni :

1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwa cacat

dalam tumbuhnya (gebrekkige intiwkelling) atau terganggu

karena suatu penyakit, tidak dipidana.

2. Jika ternyata perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan

padanya disebabkan jiwanya cacat dalam rumahnya atau

terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan

supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa,paling

lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

64

Amir Ilyas. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Rangkang Education. Hlm 74

Berdasarkan Pasal 44 KUHP, menurut penulis bahwa para pelaku

Anak tidak dalam keadaan cacat mental atau cacat jiwa. Suatu

kemampuan bertanggungjawab jelas berkaitan erat dengan unsur

subjek hukumnya, yakni orang yang melakukan tindak pidana. Jika

dilihat lebih lanjut, dalam putusannya hakim menimbang unsur barang

siapa .

Adapun pertimbangan hakim terhadap unsur barang siapa adalah

sebagai berikut :

1) Menimbang, yang menjadi subyek hukum yang diajukan ke persidangan karena dugaan melakukan tindak pidana adalah berupa orang yaitu Para Anak sesuai dengan identitasnya dalam surat dakwaan dan Para Anak juga membenarkan identitasnya yang diperkuat dengan keterangan saksi-saksi bahwa benar Para Anak yang diperhadapkan ke muka persidangan adalah orang yang dimaksud dalam surat dakwaan penuntut umum, sehingga majelis hakim berpendapat bahwa Para Anak yang identitasnya tercantum dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum dalam perkara a quo adalah benar dan bukan orang lain daripadanya dan bukan orang lain daripadanya sehingga tidak terjadi error in persona;

2) Menimbang, bahwa dari pengamatan Majelis Hakim selama proses persidangan berlangsung, Para Anak berada dalam keadaan sehat jasmani dan rohani bahwa Para Anak secara subjektif sudah dapat mempertanggungjawabkan serta memahami makna yang senyatanya dari perbuatan yang dilakukannya serta konsekuensi dari perbuatannya tersebut, dengan demikian unsure “barang siapa” telah terpenuhi menurut hokum.

Berdasarkan petimbangan tersebut, penulis tidak sependapat

dengan uraian JPU yang kemudian dijadikan oleh hakim sebagai

pertimbangan untuk menyatakan bahwa terdakwa mampu dan dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatan dan kesalahannya. Uraian

JPU yang dikutip dalam pertimbangan hakim dapat saja dinilai

premature, mengingat unsur-unsur lain yang merupakan delik inti

(bestanddle delict) belum dapat dibuktikan oleh JPU. Secara teknis,

terdakwa tidak dapat dikualifikasikan telah memenuhi unsur

barangsiapa sepanjang belum dapat dibuktikan perbuatan pidana apa

yang telah dilakukan oleh terdakwa. Bagaimana mungkin JPU dapat

menyimpulkan bahwa terdakwa adalah pelaku dalam tindak pidana ini

tanpa membuktikan terpenuhinya unsur-unsur tentang ada atau

tidaknya tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.

Unsur barangsiapa bukan merupakan delik inti atau bagian inti dari

Pasal 170 Ayat (2) Ke-1 namun hanya merupakan elemen delik yang

merupakan subyek hukum yang diduga atau yang didakwa melakukan

tindak pidana, yang pembuktiannya bergantung pada pembuktian delik

intinya sehingga elemen delik ini tidak dapat berdiri sendiri dan tidak

dapat ditempatkan sebagai unsur pertama atas perbuatan

sebagaimana yang dimaksudkan oleh JPU dalam dakwaannya dan

seharusnya baru dapat dibahas setelah seluruh unsur-unsur dalam

perbuatan sebagaimana didakwakan oleh JPU telah dibahas dan

dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan. Sehingga menurut

penulis, apabila mengikuti definisi terpenuhinya unsur barangsiapa

versi JPU dan pertimbangan majelis hakim, maka setiap orang waras

tanpa terkecuali dapat saja secara langsung dan serta merta

memenuhi unsur barangsiapa sepanjang orang tersebut memiliki

kejelasan identitas dan alamat. Padahal pembentuk undang-undang

tentu tidak sembarangan dalam merumuskan delik suatu perbuatan

pidana.

Unsur barangsiapa adalah untuk menunjukkan sifat kemanusiaan

(bukan hewan atau tumbuhan) dimana unsur kemanusiaan ini harus

dihubungkan dengan adanya perbuatan yang melanggar hukum dan

diancam dengan pidana. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah

Agung Republik Indonesia Nomor 951 K/Pid/1982 tanggal 10 Agustus

1983 dalam perkara Yojiro Kitajima, yang antara lain menerangkan

bahwa unsur setiap orang hanya merupakan kata ganti orang, di mana

unsur ini baru memiliki makna jika dikaitkan dengan unsur-unsur

pidana lainnya, oleh karenanya haruslah dibuktikan secara bersamaan

dengan unsur-unsur lain dalam perbuatan yang didakwakan dalam

kaitan dengan setiap orang. Oleh karena itu. unsur barangsiapa

tersebut tidak terpenuhi selama delik inti atau bagian inti dari Pasal

170 Ayat (2) Ke-1 KUHP tidak dapat dibuktikan oleh JPU. Sehingga

menurut penulis, untuk menghindari dakwaan premature tersebut,

idealnya JPU menyatakan terlebih dahulu bahwa telah terdapat cukup

bukti sehingga seseorang yang memiliki kejelasan identitas dan alamat

tersebut didakwa melakukan suatu tindak pidana, terhadapnya tidak

ada alasan pembenar maupun pemaaf serta padanya terdapat

kesalahan. Dengan begitu maka unsur barang siapa di sini tidak

terdapat celah untuk dapat diartikan pada semua orang waras tanpa

terkecuali, namun hanya dimaksudkan terhadap orang waras yang

didakwa melakukan suatu perbuatan pidana.

b. Adanya Kesalahan

Unsur kesalahan merupakan bagian dari criminal responsibility.

Secara teoritis, kesalahan terdiri dari dua, yakni dolus dan culpa.

Kemudian dolus atau kesengajaan terbagi atas tiga, yakni :

1) Sengaja sebagai niat;

2) Sengaja sadar akan kepastian;

3) Sengaja sadar akan kemungkinan.

Sedangkan culpa atau kelalaian terbagi atas dua, yakni :

1) Culpa Lata; 2) Culpa Levis. Culpa merupakan bentuk kesalahan yang

timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang telah

ditentukan menurut undang-undang, kelalaian itu dikarenakan perilaku

orang itu sendiri. Culpa lata adalah kelalaian yang berat dalam hal ini

kelalaian yang disadari, sedangkan culpa levis adalah kelalaian ringan

atau kelalaian yang tidak disadari.65

Adapun beberapa pertimbangan hakim yang berkaitan dengan

unsur adanya kesalahan adalah sebagai berikut :

Unsur dengan sengaja bersama-sama merusakkan barang atau jika kekerasan yang dilakukannya menyebabkan luka

1) Menimbang, bahwa dalam rumusan unsur delik di atas bersifat alternatif artinya apabila salah satu bentuk perbuatan telah terbukti maka tidak perlu mempertimbangkan yang lainnya;

2) Menimbang, bahwa dari fakta persidangan dari keterangan dan keterangan para Anak bahwa ada peristiwa pengrusakan dan pembakaran pada kantor DPRD Kabupaten Gowa pada hari Senin tanggal 26 September 2016 di kantor DPRD Kabupaten

65

Amir Ilyas. Op.Cit., Hlm 85

Gowa Jalan Masjid Raya Kelurahan Sungguminasa Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa, bahwa pada saat kejadian pengrusakan dan pembakaran, banyak massa yang berada disana, massa yang datang ke kantor DPRD Kabupaten Gowa tersebut berdemonstrasi mengenai pencabutan Perda Lembaga Adat Daerah (LAD), Anak Ardiansyah Bin jamaluddin Dg. Sanre bersama dengan Anak Mursidin Alias Didin yang berada di depan kantor DPRD Kabupaten Gowa karena melihat sekelompok massa sedang melakukan pelemparan di depan kantor DPRD Kabupaten Gowa, kemudian Anak mengambil batu di depan mesjid Syech Yusuf kemudian melempar ke arah gedung DPRD tersebut sebanyak 3 (tiga) kali dan ada yang mengenai kaca gedung DPRD tersebut, massa yang mengatasnamakan keturunan kerajaan Gowa melakukan oeasi dimana massa lainnya meminta perwakilan dari anggota DPRD Kabupaten Gowa untuk menemui perwakilan massa tersebut dan pada saat situasi tidak terkendali lagi, massa tersebut melakukan pembakaran dan pengrusakan gedung DPRD Kabupaten Gowa dan Anak Ardiansyah Bin Jamaluddin Dg. Sanre Alias Rian bersama dengan Anak Mursidin Alias Didin, Anak Nasran Alias Bongkeng Bin Kadir Dg. Tanjeng ikut melakukan pengrusakan dengan melakukan pelemparan menggunakan batu ke arah gedung DPRD Kabupaten Gowa dan mengenai Kaca gedung tersebut sehingga rusak, sedangkan Anak Nursalam Ardiansyah Alias Alam Bin Ahmad Ewa Dg. Lira dan Anak Muh. Resky Alias Resky Bin Burhanuddin pada hari tersebut dengan mengikuti saksi Iksan Dg. Tika bersama dengan massa lainnya yang mengatasnamakan keturunan Kerajaan Gowa melakukan orasi tentang Lembaga Adat Daerah (LAD) dimana massa lainnya meminta perwakilan dari Anggota DPRD Kabupaten Gowa dan pada saat situasi tidak terkendali lagi, massa tersebut melakukan pembakaran dan pengerusakan gedung DPRD Tk. II Kabupaten Gowa, bahwa Anak Nursalam Ardiansyah Alias Alam Bin Ahmad Ewa Dg. Lira melakukan pelemparan menggunakan batu ke arah gedung DPRD Kabupaten Gowa dan mengenai kaca gedung tersebut, sedangkan Anak Muh. Resky Alias Resky Bin Burhanuddin melakukan pengrusakan dengan menarik kain gorden pada gedung DPRD Kabupaten Gowa tersebut dan menyalakan korek api gas akan tetapi tidak menyala sehingga diambil alih oleh orang lain yang Anak tidak ketahui orangnya, serta Anak melempar ban bekas ke dalam api yang sudah tersulut;

3) Menimbang, bahwa telah dipertimbangkan pula hasil laporan Peksos dan hasil Laporan Penelitian Kemasyarakatan Anak (LITMAS) oleh Pembimbing Kemasyarakatan Kelas I A yang

membawahi Kabupaten Gowa, yang menyarankan agar Anak ditempatkan di LPKS, berdasarkan UU. RI. Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 60 Ayat (3) Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara;

4) Menimbang bahwa Majelis tidak menemukan adanya alasan pembenar maupun pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahan Anak oleh karena itu haruslah Anak dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu perbuatan sebagaimana yang didakwakan kepadanya;

5) Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 81 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir;

6) Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 32 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana;

7) Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengenai pendidikan formal sekolah Anak, bahwa “kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta”

8) Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas menurut Majelis hakim berdasarkan Pasal 81 Ayat (5), Pasal 32 Ayat (1), Pasal 82 Ayat (1) huruf a,d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa Anak memperoleh jaminan dari orang tua/walinya bahwa orang tua/walinya, masih sanggup membina para Anak , bahwa para Anak akan melanjutkan pendidikan formal sekolahnya maka Anak lebih tepat dikenai tindakan yang selengkapnya diuraikan dalam amar putusan ini;

9) Menimbang, bahwa Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan;

10) Menimbang, bahwa oleh karena para anak dinyatakan bersalah dan dikenai tindakan, sedangkan tujuan penjatuhan hukuman bukan sekedar sebagai suatu pembalasan atas

perbuatan pelaku, tetapi juga sebagai sarana preventif dan edukatif aga pelaku menyadari perbuatannya serta tidak akan mengulanginya, maka menurut Pengadilan putusan yang dijatuhkan telah sesuai dengan rasa keadilan yang berlaku dalam masyarakat, sehingga putusan ini telah memperhatikan pula 3 (tiga) aspek tujuan hukum yakni untuk mencapai keadilan, kepastian hukum, serta kemanfaatan hukum itu sendiri;

11) Menyatakan Anak 1. Ardiansyah Bin Jamaluddin Dg. Sanre Alias Rian, Anak 2. Mursidin Alias Didin Bin Hasruddin, Anak 3. Nasran Bin Kadir Dg. Tanjeng Alias Bongkeng, Anak 4. Nursalam Ardiansyah Alias Alam Bin Ahmad Dewa Dg. Lira, dan Anak 5. Muh. Resky Alias Resky Bin Burhanuddin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “bersama melakukan kekerasan terhadap barang”

12) Memerintahkan tindakan kepada Para Anak dikembalikan kepada orang tuanya/walinya dengan ketentuan selama maksimum 1 (satu) tahun berkewajiban melapor secara periodic serta dalam pengawasan dan pembimbingan dari Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan atau apabila Para Anak tidak melanjutkan pendidikan formal sekolahnya Para Anak akan ditempatkan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) selama 1 (satu) tahun.

Berkaitan dengan fakta hukum dalam persidangan, majelis hakim

memiliki pertimbangan bahwa untuk menilai apakah unsur kesalahan

yang berkaitan dengan sengaja terpenuhi atau tidak dalam perbuatan

terdakwa, maka majelis hakim mencermati terlebih dahulu rangkaian

tindakan yang dilakukan oleh para Anak.66

Berdasarkan uraian dari rangkaian tindakan terdakwa, majelis hakim

menilai bahwa perbuatan para Anak menunjukkan adanya tindakan-

tindakan para Anak yang melempari kaca-kaca gedung, menarik gorden-

gorden, dan melempar gorden dan ban bekas ke dalam api yang sudah

tersulut sehingga majelis hakim menganggap rangkaian perbuatan yang

66

Lihat halaman 35 dari 39 Putusan Nomor 14/Pid.Sus/2016./PN.Sgm

dilakukan oleh para Anak itu menunjukkan bahwa perbuatan yang

dilakukan dikehendaki atau diinsyafi oleh para Anak. Oleh karena itu,

menurut Sigit Triatmojo, SH, hakim pada Pengadilan Negeri

Sungguminasa yang juga merupakan majelis hakim pada perkara

Ardiansyah, DKK berpendapat bahwa perbuatan tersebut termasuk

dalam dolus eventualis (kesengajaan menimbulkan akibat yang tidak

pasti namun merupakan kemungkinan), dimana kemungkinan besar dari

akibat perbuatan para Anak adalah bangunaan dan properti pada

gedung kantor DPRD menjadi rusak dan tidak dapat dipergunakan lagi.

Hal serupa dinyatakan oleh Anita Arsyad, SH.,MH67, bersesuaian

dengan pernyataan JPU dalam Surat Tuntutan Nomor PDM-

03/SNGGU/10/2016 yang memberikan pengertian bahwa dengan

sengaja atau opzet adalah sebagai menghendaki atau menginsyafi

terjadinya suatu tindakan dan akibatnya. Artinya seseorang yang

melakukan suatu tindakan dengan sengaja harus menghendaki atau

menginsyafi tindakan tersebut dan/atau akibatnya, sedangkan tanpa hak

berarti tidak memiliki hak hukum untuk melakukan suatu perbuatan

tertentu.

Menurut penulis, sebagaimana yang diungkapkan OC Kaligis bahwa

sesungguhnya dalam kejahatan terdapat dua unsur kesalahan, yakni

sengaja (ofzettelijk) dan maksud (opzet als oogmerk) atau tujuan (doel).

Walaupun dalam doktrin, maksud itu adalah juga kesengajaan (dalam

67

Jaksa Pada Kejaksaan Negeri Gowa, Wawancara dilakukan pada hari Senin, 20 November 2017 pukul 11.00 WITA bertempat di Ruang Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Gowa.

arti sempit yang disebut kesengajaan sebagai maksud atau (opzet als

oogmerk), tetapi fungsi unsur sengaja dan fungsi maksud dalam

pencemaran adalah berbeda. Sikap batin “sengaja” ditujukan hanya

pada perbuatan merusak barang-barang umum.

Melihat letak unsur sengaja mendahului unsur perbuatan tanpa

hak, maka tidak diragukan lagi bahwa si pembuat menghendaki untuk

melakukan perbuatan melempar batu, merusak properti publik dan

melempar ban bekas dalam api yang sudah disulut. Kehendak ini juga

termasuk pengetahuan yang sudah terbentuk sebelum berbuat, karena

demikianlah sifat kesengajaan.

Seseorang hanya dapat menghendaki segala sesuatu yang sudah

diketahuinya. Sengaja juga harus ditujukan pada unsur tanpa hak yang

berarti bahwa si pembuat sebelum melempar batu, merusak properti

publik dan melempar ban bekas dalam api yang sudah disulut tersebut

telah mengetahui atau menyadari bahwa ia tidak berhak melakukannya.

Perbuatannya melawan hukum, tercela, tidak dibenarkan dan dilarang.

Kesadaran yang demikianlah yang biasanya disebut sebagai sifat

melawan hukum sbjektif. Suatu kesadaran yang tidak perlu mengetahui

secara persis tentang Undang-undang atau adanya aturan pasal yang

melarang. Cukup menyadari saja bahwa perbuatan tersebut tercela,

tidak dibenarkan. Suatu kesadaran yang pasti selalu ada pada setiap

orang normal pada umumnya.

c. Tidak adanya Alasan Pemaaf

Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana

yang telah dilakukannya apabila tidak terdapat alasan penghapus

pidana. alasan penghapus pidana terbagi atas dua, yakni alasan

pembenar (rechtvaadingisrond) dan alasan pemaaf

(schuldduitsluitingsgrond). Alasan pembenar berkaitan erat dengan

tindak pidana yang dilakukan sedangkan alasan pemaaf berkaitan

dengan subjek yang melakukan tindak pidana. Alasan pembenar diatur

dalam Pasal 48 KUHP tentang keadaan darurat (noodtoestand), Pasal

49 ayat (1) KUHP pembelaan tepaksa (Noodweer), Pasal 50 tentang

melaksanakan Undang-undang dan Pasal 51 KUHP tentang

menjalankan perintah jabatan yg diberikan oleh penguasa yang

berwenang.

Selain itu, alasan pemaaf yang diatur dalam Pasal 44 KUHP

tentang tidak mampu bertanggung jawab, Pasal 48 KUHP tentang Daya

Paksa (Overmacht), Pasal 49 ayat (2) KUHP tentang pembelaan

terpaksa yang melampaui batas (Noodweer Execes), Pasal 51 ayat (2)

KUHP tentang menjalankan perintah yang tidak sah tetapi menganggap

perintah itu datang dari pejabat yang berwenang merupakan alasan yang

berkitan erat dengan subjek yang melakukan tindak pidana.

Berdasarkan analisis penulis dalam perkara Nomor

14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Sgm, tidak ditemukan sama sekali

alasan penghapus pidana sebagaimana telah dijelaskan dalam

putusan. Hal ini bersesuaian dengan fakta hukum di persidangan

sehingga alasan penghapus pidana yang berupa daya paksa

relative, pembelaan terpaksa yang melampaui batas, dan

menjalankan perintah jabatan yang dikira sah tidak dapat

diterapkan pada para Anak. Selain itu, para Anak di persidangan

tidak dapat membuktikan bahwa para Anak tidak melakukan

perbuatan pengrusakan secara bersama-sama seperti yang diatur

dalam ketentuan Pasal 170 Ayat (2) Ke-1 KUHP. Hal ini sejalan

dengan apa yang diungkapkan oleh hakim bahwa jika tidak

terdapat alasan penghapus pidana dalam pertanggungjawaban

pidana maka seseorang tetap dapat dipidana. Berkaitan dengan

kasus pengrusakan secara bersama-sama ini maka para Anak

jelas dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya selain

karena para Anak sehat jasmani dan rohani bahkan para Anak

masih ada yang bersekolah formal serta para Anak juga mengakui

semua perbuatannya di persidangan.

Jika ditinjau dari siapa subjek yang menjadi korban dalam

kasus pengrusakan secara bersama-sama pada gedung DPRD

Kabupaten Gowa baik tersebut adalah Negara bahwa

sesungguhnya hakim melihat kerugian Negara yang ditimbulkan

akibat perbuatan para Anak dan massa yang melakukan

perbuatan anarkis, namun secara tersirat dapat disimpulkan

bahwa bagi hakim bahwa properti yang dirusak adalah milik

negara tidak dapat dipungkiri juga membawa efek tersendiri

karena sangat mengundang perhatian publik dalam persidangan.

Sekalipun demikian, sejatinya hakim tetap bersikap professional

dan proporsional dalam mengambil keputusan. Hakim tidak

mungkin semata-mata menggunakan kaca mata kuda dalam

mengambil keputusan atau menafsirkan hukum secara rigid.

Pada umumnya setelah mempelajari perkara lantas hakim

merasa memiliki pendapat dan pertimbangan tertentu, hakim akan

memperhalus melalui putusan-putusan yang dibuatnya. Hal itu

dapat dilihat dari vonis yang dijatuhkan hakim kepada para Anak

yang dapat saja meringankan atau bahkan memberatkan

terdakwa. Berdasarkan pendapat hakim tersebut, dapat

disimpulkan bahwa majelis hakim yang menangani kasus para

Anak hanya menjatuhkan pidana berupa dikembalikan kepada

orang tuanya/walinya dengan ketentuan selama maksimum 1

(satu) tahun berkewajiban melapor secara periodik serta dalam

pengawasan dan pembimbingan dari Pembimbing

Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan atau apabila Para Anak

tidak melanjutkan pendidikan formal sekolahnya Para Anak akan

ditempatkan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan

Sosial) selama 1 (satu) tahun yang berbeda dari tuntutan penuntut

umum berupa tindakan dengan perawatan di LPKS selama 1

(satu) tahun terhadap Anak MUH. RESKY ALIAS RESKY BIN

BURHANUDDIN, pidana terhadap Anak ARDIANSYAH BIN

JAMALUDDIN DG. SANRE ALIAS RIAN, Anak MURSIDIN ALIAS

DIDIN BIN HASRUDDIN, Anak NASRAN BIN KADIR DG.

TANJENG ALIAS BONGKENG, Anak NURSALAM ARDIANSYAH

ALIAS ALAM BIN AHMAD DEWA DG. LIRA oleh karena itu

dengan pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun dan

8 (delapan) bulan dikurangi selama anak ditahan dengan perintah

tetap ditahan adalah bentuk penghalusan atas pidana yang harus

dijalani para Anak atau dalam kata lain sebagai pemenuhan rasa

keadilan yang diyakini oleh hakim.

Menurut Hakim Sigit Triatmojo, SH yang juga merupakan

anggota dari majelis yang menyidangkan kasus pengrusakan

secara bersama-sama yang dilakukan oleh Anak Ardiansyah, DKK

berdasarkan fakta-fakta persidangan yang telah dicantumkan di

dalam putusan Nomor : 14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Sgm yang

mana para Anak hanya ikut-ikutan melihat massa yang merusak,

melempar batu, dan memecahkan barang-barang di kantor di

gedung DPRD Kabupaten Gowa saat terjadi orasi penolakan

terhadap Perda tentang Lembaga Adat Daerah (LAD). Dari faktor

keterlibatan para Anak yang bukan merupakan pencetus dan

provokator dalam aksi anarkis di kantor DPRD Kabupaten Gowa ,

para Anak tersebut hanya sebatas ikut-ikutan dalam aksi anarkis,

yang mana sebelumnya berdasarkan Pasal 3 Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Sistem

Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak telah

dilaksanakan diversi melibatkan para Anak dan orang tua/walinya,

pihak dari DPRD Kabupaten Gowa, Pembimbing Kemasyarakatan

dari BAPAS Kelas I Makassar, jaksa penuntut umum dan

penasihat hukum para Anak namun tidak berhasil sehingga

persidangan dilanjutkan.

Persidangan terhadap para Anak dilaksanakan sesuai

dengan Pasal 55 sampai dengan Pasal 62 Undang-undang Nomor

11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sebelum

menjatuhkan putusan, hakim memberikan kesempatan kepada

orang tua/wali dan/atau pendamping untuk mengemukakan hal

yang bermanfaat bagi para Anak. Hal tersebut dilaksanakan

berdasarkan Pasal 60 Ayat (1) Undang-undang Nomor 11 tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak .Dalam persidangan

orang tua dan wali dari para Anak memohon kepada majelis hakim

untuk mengembalikan para Anak untuk dibina kembali oleh orang

tuanya.

Berdasarkan Pasal 81 Ayat (5) Undang-undang Nomor 11

tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak “pidana penjara

terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir” dan

Pasal 70 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak “ringannya perbuatan, keadaan pribadi

Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang

terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk

tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan

mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusian” sehingga

majelis Hakim memutuskan menjatuhkan sanksi pidana terhadap

Anak dikembalikan kepada orang tua/walinya dengan ketentuan

selama maksimum 1 (satu) tahun berkewajiban melapor secara

periodik serta dalam pengawasan dan pembimbingan dari

Pembimbing Kemasyarakatan atau apabila para Anak tidak

melanjutkan pendidikan formal sekolahnya para Anak akan

ditempatkan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan

Sosial) selama 1 (satu) tahun. Majelis hakim yang memutus

perkara Ardiansyah, Dkk tersebut mempertimbangkan bahwa

masih terdapat Anak yang masih aktif bersekolah, dan bagi Anak

yang tidak bersekolah, majelis hakim mempertimbangkan untuk

menempatkan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan

Kesejahteraan Sosial) yang mana dalam lembaga tersebut Anak

masih mendapatkan pelatihan kerja dan pendidikan.

Putusan tersebut diputuskan oleh majelis hakim juga dengan

mempertimbangkan rasa keadilan terhadap korban yang telah

menanggung akibat dari perbuatan Anak selain

mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan

tersebut di atas. Dalam menjatuhkan pidana terhadap Anak

majelis hakim yang menyidangkan perkara Ardiansyah, Dkk tidak

membuat suatu wujud pembalasan dendam kepada para Anak

tetapi untuk mengingatkan bahwa perbuatan yang telah dilakukan

para Anak adalah melanggar suatu ketentuan Undang-undang,

agar dikemudian hari para Anak bertanggung jawab pada

perbuatannya serta kembali menjadi warga masyarakat yang

bertanggung jawab bagi diri sendiri, keluarga, dan lingkungannya.

3. Pertimbangan Sosiologis

Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam menegakkan hukum

ada tiga usnur yang harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum,

kemanfaatan, dan keadilan. Demikian juga putusan hakim untuk

menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di persidangan.

Dalam memutus suatu perkara, ketiga unsur tersebut tidak selalu

mudah untuk mengusahakan kompromi terhadap unsur-unsur

tersebut. Pertentangan yang terjadi dalam setiap menanggapi

putusan hakim terhadap suatu perkara, dengan apa yang

diinginkan masyarakat biasanya berkisar antara sejauh mana

pertimbangan unsur kepastian hukum dengan unsur keadilan

ditampung di dalamnya.

Kepastian hukum harus ditegakkan agar tidak timbul

keresahan di masyarakat. Tetapi terlalu menitikberatkan pada

kepastian hukum akibatnya akan kaku dan akan menimbulkan

rasa tidak adil. Apapun yang terjadi memang peraturannya adalah

demikian, sehingga Undang-undang itu serasa terasa kejam

apabila dilaksanakan secara ketat.

Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, hakim

terikat dengan hukum acara, yang mengatur sejak memeriksa dan

memutus. Dan hasil pemeriksaan itulah nantinya yang akan

menjadi bahan pertimbangan dalam suatu putusan, sehingga

kejelian dalam menemukan fakta suatu kasus merupakan faktor

penting dan menentukan terhadap hasil putusan. Oleh karena itu

tidak heran jika apa yang ada dalam pikiran masyarakat dapat

berbeda dengan putusan hakim.

Sedangkan dalam pertimbangan hakim menjatuhkan

tindakan terhadap Ardiansyah, DKK tersebut yang menyebutkan

bahwa meskipun para Anak telah terbukti melakukan tindak

pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum, dimana

seharusnya hukuman kepada para Anak diperberat dikarenakan

keterlibatan mereka merusak fasilitas publik namun mengingat

peranan dan keterlibatan para Anak yang hanya ikut-ikutan dan

kasus tersebut berada dalam sistem nilai peradilan Anak dimana

di satu sisi para Anak sebagai pelaku tindak pidana yang dimintai

pertanggungjawaban pidana, di sisi lain juga sebagai korban atau

objek dalam peradilan anak, maka tanpa bermaksud mengabaikan

keadaan korban akibat perbuatan pidana yang telah dilakukan

Anak, hakim berkesimpulan agar Anak dijatuhi tindakan.

Bahwa saat awal persidangan, Sekertaris Daerah selaku

pihak yang mewakili DPRD Kabupaten Gowa saat dilakukan

diversi atas perkara Anak Ardiansyah, DKK tetap meminta untuk

perkara dilanjutkan di persidangan dikarenakan kerugian yang

sangat besar ± Rp. 5.800.000.000,- (lima milyar delapan ratus juta

rupiah) dan meminta agar para Anak diberikan efek jera atas

perbuatannya.

Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara para Anak

tersebut melihat berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di

persidangan melihat latar belakang para Anak tersebut hanya ikut-

ikutan massa, sehingga ikut masuk ke dalam gedung kantor

DPRD Kabupaten Gowa merusak barang-barang, melempar batu

saat terjadi orasi penolakan Perda tentang Lembaga Adat Daerah

(LAD). Para Anak tersebut tanpa tahu apa yang diteriakkan orator,

dikarenakan hanya rasa ketertarikan mereka ikut-ikutan orang

dewasa merusakkan barang. Para Anak bukanlah pencetus

maupun provokator dalam aksi anarkis di kantor DPRD Kabpaten

Gowa tersebut, hal itulah yang menjadi pertimbangan hakim dalam

penjatuhan pidana tindakan terhadap para Anak, terlebih lagi

orang tua maupun wali dari para Anak di dalam persidangan

menyatakan masih sanggup membina dan mendidik para Anak

dan para Anak tersebut masih duduk di bangku sekolah.

Merujuk pada Pasal 71 Ayat (4) Undang-undang Nomor 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang

menyatakan agar pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang

melanggar harkat dan martabat Anak, Pasal 69 Ayat (2) Undang-

undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak yang menyatakan Anak yang belum berusia 14 (empat

belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan dan asas sistem

peradilan anak diantaranya kepentingan terbaik bagi Anak dan

perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya

terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d dan I

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak serta mengingat Anak tersebut masih belum

memahami tentang apa yang telah dilakukannya, sehingga orang

tua sebagai orang terdekat Anak diharapkan ke depannya dapat

mendidik, membina, dan mengawasi Anak dengan lebih

bersungguh-sungguh lagi agar Anak yang lebih baik dalam segala

hal dan tidak melanggar hukum lagi.

Menurut Anita Arsyad, SH.,MH selaku jaksa penuntut umum

yang melaksanakan proses eksekusi terhadap Ardiansyah, Dkk,

telah melakukan koordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan

dari BAPAS Kelas I. Makassar dan telah menyerahkan berkas-

berkas yang berkaitan dengan proses pengawasan terhadap para

Anak yang masih bersekolah ke Pembimbing Kemasyarakatan

untuk dilakukan pengawasan dan pembimbingan selama 1 (satu)

tahun. Sebelum melaksanakan eksekusi dan penyerahan berkas-

berkas, Anita Arsyad, SH.,MH telah melakukan pengecekan di

sekolah yang tertera pada surat keterangan yang ditanda tangani

oleh kepala sekolah tersebut dan para Anak tersebut masih aktif

bersekolah.68

Untuk Anak Muh. Resky Alias Resky Bin Burhanuddin dan

Nasran Alias Bongkeng yang sudah tidak bersekolah dan sudah

tidak tinggal di rumah orang tuanya masing-masing belum dapat

dieksekusi untuk ditempatkan di LPKS (Lembaga

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) dan telah dibuatkan

Daftar Pencarian Orang (DPO) dan Daftar Pencarian Orang (DPO)

tersebut telah dikirim ke pihak kepolisian. Hal tersebut menurut

penulis sangat disayangkan mengingat putusan hakim tersebut

sudah sangat memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak yang

diharapkan Anak meski sudah tidak bersekolah akan tetapi masih

dapat mendapatkan pendidikan, pelatihan, pembimbingan dan

pendampingan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan

Kesejahteraan Sosial).

Menurut Ratna Doko selaku Pembimbing Kemasyarakatan

Pada BAPAS Kelas I. Makassar yang dari awal penyidikan,

persidangan dan proses eksekusi terhadap Ardianysah, DKK

68

Jaksa Pada Kejaksaan Negeri Gowa, Wawancara dilakukan pada hari Senin tanggal 18 Desember 2017 pukul 11.00 WITA bertempat di Ruang Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Gowa.

sebagai Pembimbing Kemasyarakatan terhadap Ardiansyah, DKK,

setelah menerima berkas-berkas eksekusi dan berkas-berkas

yang berkaitan dengan proses pengawasan terhadap para Anak

yang masih bersekolah dari jaksa penuntut umum melakukan

pemanggilan terhadap para Anak dan para orang tuanya untuk

dibuatkan kartu kontrol terhadap para Anak untuk melapor secara

berkala di BAPAS Kelas I. Makassar.69 Secara berkala pula Ratna

Doko setelah berkoordianasi dengan jaksa penuntut umum

melakukan kunjungan ke sekolah ataupun rumah dari para Anak

untuk melihat perkembangan para Anak.

Menurut Ibu Suriani, ibu dari Anak Nursalam Ardiansyah

setelah perkara Anak nya berkekuatan hukum tetap dan dilakukan

eksekusi oleh penuntut umum, Ibu Suriani dengan kedua orang

tua terpidana lainnya dipanggil di kantor BAPAS Kelas I. Makassar

dan untuk para Anak dibuatkan kartu kontrol tiap bulannya. Ibu

Suriani setiap bulannya bersama dengan ibu dari Anak Ardiansyah

dan ibu dari Anak Mursidin menemani anak mereka untuk wajib

lapor dan memberikan laporan terkait perilaku Anak. Bahwa

sebelum Anak Nursalam ditangkap dan disidang, Ibu Suriani tidak

terlalu memperhatikan pergaulan dan jam pulang dari Anak

Nursalam, akan tetapi saat sekarang Ibu Suriani lebih

memperhatikan pergaulan Anak Nursalam dan memberikan aturan

69

Pembimbing Kemasyarakatan Pada Bapas Kls. I. Makassar, Wawancara dilakukan pada hari Selasa tanggal 19 Desember 2017 pukul 11.00 WITA bertempat di Bapas Kls. I. Makassar.

selepas pulang sekolah Anak Nursalam harus langsung pulang ke

rumah dan apabila meninggalkan rumah harus ditemani oleh salah

satu dari orang tuanya.70 Secara berkala pula pembimbing

kemasyarakatan yang berkoordianasi dengan jaksa penuntut

umum melakukan kunjungan ke sekolah dari para Anak, yaitu di

SMA Gowa Raya ataupun rumah dari para Anak untuk melihat

perkembangan para Anak.

4. Laporan Bapas

Dalam hasil penelitian kemasyarakatan (LITMAS) terhadap

Anak Ardiansyah,DKK, pembimbing kemasyarakatan yang

menangani para Anak membuat laporan rekomendasi sebagai

berikut :

Tanpa mengurangi hak wewenang dalam menyidangkan

perkara klien Anak, maka pembimbing kemasyarakatan

berpendapat dan menyarankan kepada hakim dalam persidangan

ini bahwa setelah menganalisa dari masalah yang dihadapi klien

dan melihat beberapa aspek hukum yang berkaitan dengan

pelanggaran hukum yang telah dilakukan klien serta berdasarkan

hasil konsultasi dalam sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan

(TPP) Bapas Kelas I. Makassar pada hari Kamis, tanggal 06

Oktober 2016, maka saat ini klien perlu mendapat dan pelatihan

dan keterampilan dan akan mencari pekerjaan demi masa

70

Orang Tua dari terpidana Anak Nursalam, Wawancara dilakukan pada hari Sabtu tanggal 13 Januari 2018 pukul 11.00 WITA bertempat di Sungguminasa Kab. Gowa.

depannya, oleh sebab itu sebaiknya klien ditempatkan di Lembaga

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) dalam hal ini Panti

Sosial Marsudi Putra Toddopuli Makassar untuk mendapat

pembinaan dan keterampilan kerja sesuai dengan minat dan

bakatnya dengan pertimbangan sebagai berikut :

- Klien baru pertama kali melakukan tindak pidana;

- Klien saat ini membutuhkan pembimbingan baik itu secara

psikis maupun moral serta peningkatan pemahaman agama

dari orang tuanya;

- Klien berjanji tidak akan mengulangi perbuatan yang melanggar

hukum dan lebih berhati-hati lagi dalam pergaulannya;

- Orang tua klien masih sanggup membimbing dan mengawasi

klien dengan baik dan lebih sungguh-sungguh;

- Klien masih duduk di bangku sekolah.

Berdasarkan Pasal 60 Ayat (3) Undang-undang No. 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, majelis hakim

dengan mempertimbangkan hasil laporan penelitian

kemasyarakatan dan fakta-fakta persidangan menjatuhkan putusan

terhadap Anak Ardiansyah, DKK dikembalikan kepada orang

tua/walinya dengan ketentuan selama maksimum 1 (satu) tahun

berkewajiban melapor secara periodik serta dalam pengawasan

dan pembimbingan dari Pembimbing Kemasyarakatan atau apabila

para Anak tidak melanjutkan pendidikan formal sekolahnya para

Anak akan ditempatkan di LPKS (Lembaga Penyelenggaraan

Kesejahteraan Sosial) selama 1 (satu) tahun.

5. Kepentingan Terbaik Bagi Anak

Kepentingan terbaik bagi Anak adalah asas hak anak yang

berasal dari Pasal 3 Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-

Bangsa yang menyatakan bahwa dalam semua tindakan mengenai

Anak yang dilakukan oleh lmbaga-lembaga kesejahteraan sosial

negara atau swasta, pengadilan hukum, penguasa administratif

atau badan legislatif, kepentingan terbaik bagi Anak harus menjadi

pertimbangan utama.71

Menurut Hakim Sigit Triatmojo, SH, hakim pada Pengadilan

Negeri Sunggguminasa72 menerangkan bahwa dalam

pertimbangan putusan hakim, keadilan restoratif merupakan

keadilan sosiologis, yaitu suatu proses dimana para pelaku

kejahatan yang menyesal menerima tanggung jawab atas

kesalahan mereka kepada mereka yang dirugikan dan kepada

masyarakat yang sebagai balasannya mengizinkan bergabungnya

kembali pelaku kejahatan yang bersangkutan ke dalam

masyarakat.

Bahwa tidak mungkin melakukan tindakan demi kepentingan

Anak tanpa melalui putusan. Hal ini berkaitan pula dengan adanya

71

https://id.m.wikipedia.org/wiki/kepentingan_kepentingan_terbaik_bagi_anak. 72

Wawancara penulis dengan Sigit Triatmojo, SH: Hakim sekaligus Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri Gowa. Wawancara dilakukan pada Jumat, 10 November 2017 pukul 10.00 WITA bertempat di Ruang Hakim II Pengadilan Negeri Sungguminasa.

kewenangan hakim yang diberikan Undang-undang yang

memberikan kewenangan menjatuhkan pidana tindakan terhadap

Anak yang terbukti bersalah di depan persidangan. Hal ini dapat

berpengaruh terhadap psikologi Anak pelaku tindak pidana yang

meliputi psikologi Anak pada saat melakukan suatu tindak pidana

dan psikologi Anak setelah dikenai sanksi pidana, karena Anak

memiliki sifat-sifat khas yang berbeda dengan ciri dan sifat orang

dewasa.

Hakim dalam pertimbangannya harus dapat memberikan suatu

pidana yang tidak menghambat Anak dalam menjalani

pendidikannya dan memperhatikan kesejahteraan Anak dalam

menjalani pidananya.

Meskipun para Anak telah terbukti bersalah melakukan tindak

pidana, hakim melihat riwayat dan latar belakang pribadi para

Anak yang baru pertama kali melakukan tindak pidana, para Anak

hanya ikut-ikutan massa yang anarkis melakukan pengerusakan.

Keluarga dari para Anak yang menyatakan masih sanggup

membina dan mendidik para Anak, para Anak yang masih harus

mengenyam pendidikan, serta kerentanan apabila para Anak yang

apabila di penjara bukannya menjadi lebih baik, akan tetapi malah

terpengaruh dari narapidana lainnya, karena di Sulawesi Selatan

belum ada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan

narapidana Anak masih ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan

sehingga hakim menjatuhkan sanksi tindakan dengan

dikembalikan kepada orang tua/walinya dengan ketentuan selama

maksimum 1 (satu) tahun berkewajiban melapor secara periodik

serta dalam pengawasan dan pembimbingan dari Pembimbing

Kemasyarakatan atau apabila para Anak tidak melanjutkan

pendidikan formal sekolahnya para Anak akan ditempatkan di

LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) selama

1 (satu) tahun adalah suatu putusan yang mengedepankan

keadlian restoratif terhadap para Anak.

Berdasarkan pada uraian di atas, penulis menyimpulkan

bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan keadilan

restoratif dalam kasus tindak pidana yang dilakukan oleh Anak,

yaitu faktor hukum dan faktor penegak hukum. Faktor hukum

dalam hal ini aspek peraturan perundang-undangan yang terdapat

dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak. Selain itu, faktor penegak hukum yang

merupakan golongan panutan dalam masyarakat. Aparat penegak

hukum yang telah memahami apa yang termaktub dalam Undang-

undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak dan menerapkan nya dalam menangani perkara yang

berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh Anak,

mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi Anak dan

menghilangkan efek negatif dari pemidanaan dan stigma

pembalasan dari sistem pemidanaan.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Nilai Keadilan Restoratif sudah terkomodir dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak, seperti adanya penyelesaian secara restoratif maupun

secara diversi. Persyaratan diversi antara lain sebagai berikut :

a. Tindak pidana yang dilakukan oleh Anak usia 12 tahun ke

atas yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7

(tujuh) tahun (Pasal 7 Ayat (2) Undang-undang Nomor 11

tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana);

b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana (Pasal 7 Ayat

(2) Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana);

c. Mendapatkan persetujuan korban, dan/atau keluarga Anak

korban, kecuali untuk :

1. Tindak pidana yang berupa pelanggaran;

2. Tindak pidana ringan;

3. Tindak pidana tanpa korban;

4. Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah

minimum propinsi setempat.

d. Kesediaan Anak dan keluarganya.

2. Pertimbangan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan putusan

tindakan terhadap kasus kenakalan Anak :

a. Usia dari Anak;

b. Terpenuhinya semua unsur-unsur pasal dalam dakwaan;

c. Fakta-fakta di persidangan;

d. Memperhatikan berat atau ringannya tindak pidana yang

dilakukan oleh Anak;

e. Apakah Anak tersebut pernah dihukum sebelumnya;

f. Serta tujuan dan manfaat dari penjatuhan pidana tersebut

sendiri terhadap Anak untuk memberikan efek jera dan tidak

mengulangi perbuatannya namun tetap memperhatikan

kepentingan yang terbaik bagi Anak.

3. Penerapan keadilan restoratif dalam putusan pidana Anak No.

14/pid.Sus.Anak/2016/PN. SGM yaitu dikembalikan kepada orang

tuanya/walinya dengan ketentuan selama maksimum 1 (satu) tahun

berkewajiban melapor secara periodik serta dalam pengawasan dan

pembimbingan dari Pembimbing Kemasyarakatan Balai

Pemasyarakatan atau apabila Para Anak tidak melanjutkan

pendidikan formal sekolahnya Para Anak akan ditempatkan di LPKS

(Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial) selama 1 (satu)

tahun telah sesuai dengan tujuan dibuatnya Undang-undang No. 11

Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terutama Pasal

82 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak.

B. Saran

1. Diharapkan kepada aparat penegak hukum agar memperhatikan

ketentuan aturan yang diberlakukan kepada Anak yang berkonflik

dengan hukum dalam hal penjatuhan sanksi lebih ke arah pendidikan

dan pembangunan karakter terhadap Anak sehingga ancaman-

ancaman pidana penjara menjadi alternatif terakhir dalam memberikan

sanksi bagi Anak.

2. Diharapkan agar masyarakat dan pemerintah bersedia menerima dan

membantu mengawasi narapidana Anak di tengah kehidupan mereka

setelah proses hukumnya selesai, dengan tujuan mencegah Anak

yang telah dipidana agar tidak mengulangi kejahatan pada umumnya

dan perbuatan yang sama pada khususnya sesuai dengan tujuan

pemidanaan yang bersifat memperbaiki diri terdakwa.

3. Diharapkan kepada aparat penegak hukum agar menjatuhkan

putusan kepada Anak yang berkonflik dengan hukum dalam hal

penjatuhan sanksi, tetap memperhatikan pendidikan dari Anak yang

berkonflik dengan hukum tersebut, akan tetapi tetap dalam

pengawasan dari aparat penegak hukum yang terkait saat Anak

tersebut menjalani sanksi pidananya tanpa harus memasukkan Anak

ke dalam penjara.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Arief S, Kamus Hukum Lengkap, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1995.

Andi Hamzah, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,1994).

Bimo Walgito, Kenakalan Anak (Juvenile Deliquency), Yogyakarta:

Yayasan Penertiban Fakultas Psikologi. 1982.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Baahasa

Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.1991.

Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif, Depok : Badan Penerbit FHUI,

2009.

Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta. Sinar Grafika, 2009.

Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan

Anak, Jakarta: PT. Grasindo. 2000.

Melly Setyawati dan Supriyadi Widodo Eddyono, Perlindungan Anak

dalam Rancangan KUHP, Jakarta:ELSAM dan Aliansi Nasional

Reformasi KUHP, 2007.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Pidana dan Pemidanaan, Semarang: BP

UNDIP, 1984.

M. Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda Indonesia, Jakarta:

Djambatan,1999.

Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak, Pemahaman dan

Penggulangan,Jakarta:Bayumedia. 2008.

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-

Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politea, 1964.

Satijipto Raharjo, “Ilmu Hukum’, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir,

Jakarta: PT. Refika Aditama. 2006.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung; Alumni. 1984.

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep

Diversi dan Restorative Justice, (Bandung: Reflika Editama,2007).

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama,

2008.

Marwan Mas, 2004, “Pengantar Ilmu Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia.

Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,

sebuah studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh

Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan

Peradilan Administrasi, Peradaban.

Kansil. CST, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta.

Yan Pramudya Puspa, Kamus Hukum, Jakarta: Aneka Ilmu Sejarah, 1977.

TESIS DAN JURNAL :

Adam Malik, Menuju Pelaksanaan Pancasila, Yayasan Idayu, 1979.

Handbook on Restorative Justic programme, New York : United

Nations,2006.

Indonesia Masa Datang, Semarang: Diponegoro University Press. 2006.

Rules for The Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty, New York :

United Nation Resolution 45/113,1990.

Rupper Cross & P. Asterlev Jones, An. Introduction To Criminal Law,

London:Buterworth,1953.

Standard Minimum Rules For The Adminstration of Juvenile Justice

(Beijing Rules), New York : United Nation Departemen of Public

Information, 1986.

Setiono. Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu

Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2004.

Tony F. Marshall, Restorative Justice an Overview, London: Home Office,

Information & Publications Group, 1999.

Lawrence M. Friedman, American Law, W.W. Norton & Company,

London,1998.

ARTIKEL :

Erna Sofwan Syukri, Pemahaman VIsi dan Misi Pengadilan Anak Dalam

Sistem Peradilan di Indonesia, Lokakarya Reformasi Nasional

Dalam Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak Yang Berpihak

Kepada Anak dan Keadilan, Jakarta, 25-26 Pebruari 2014.

Harkristuti Krisnowo, Rekonsruksi Konsep Pemidanaan : Suatu Gugatan

Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Pidato

Pengukuhan Guru Besar. Jakarta.8 Maret 2013.

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, USA:St. Paul

West Publishing.1979.

M. Musa, Sistem Peradilan Restoratif Sebagai Alternatif Peradilan Anak

Indonesia,http://.musa66.blogspot.com, diunduh 30 Mei 2017.

Makalah Potret Situasi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Di

Indonesia, Jakarta:UNICEF Indonesia.2004.

Wikipedia, Kepentingan Terbaik Bagi Anak.

PERUNDANG-UNDANGAN :

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981 Tentang

Hukum Acara Pidana.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak.

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

PUTUSAN PENGADILAN :

Putusan Nomor : 14/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Sgm.