probabilitas penjatuhan pidana tambahan...

129
PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh : Ihsan Harivy Addas NIM : 1112045200004 PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2019 M/1440 H

Upload: others

Post on 12-Mar-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN

HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA MAKAR DALAM

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA

DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

Ihsan Harivy ‘Addas

NIM : 1112045200004

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS

ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2019 M/1440 H

Page 2: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA
Page 3: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA
Page 4: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA
Page 5: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

iv

ABSTRAK

IHSAN HARIVY ‘ADDAS; NIM 1112045200004, “PROBABILITAS

PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK

PELAKU TINDAK PIDANA MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM

ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA”, Skripsi Program Studi

Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2019 M/ 1440 H, ix + 95 halaman 24 lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan dijatuhkannya sanksi

pencabutan hak politik terhadap terpidana makar. Variabel kajian skripsi ini yakni

hukum Islam dan hak asasi manusia yang memiliki pemahaman koheren terhadap

substansi makar. Awalnya makar yang sanksi maksimalnya adalah hukuman mati,

dapat dijatuhi hukuman tambahan pencabutan hak politik tanpa harus dihukum

mati. Maka dari itu penulis berupaya mengkaji kemungkinan jatuhnya sanksi

pidana tambahan pencabutan hak politik bagi terpidana makar.

Penelitian ini merupakan tipe penelitian normatif atau disebut sebagai

penelitian hukum doktriner. Skripsi ini menggunakan 3 jenis metode pendekatan

yakni pendekatan perundang-undang (statute approache), pendekatan

perbandingan (comparative approache), dan yang terakhir pendekatan konseptual

(conceptual approach). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini

bersumber dari bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan,

bahan hukum sekunder yang berupa tulisan-tulisan, artikel serta jurnal hukum yang

berkaitan dengan tema penelitian. Terakhir penelitian ini menggunakan bahan

nonhukum yakni wawancara dengan beberapa ahli yang terkait.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sangat besar kemungkinan

dicabutnya hak politik seseorang bila terbukti melakukan tindak pidana makar. Bila

dilihat dari berbagai perspektif termasuk perspektif Islam bahwa pencabutan hak

politik dapat dilakukan sebab hak politik merupakan hak yang dapat direstriksi

(dibatasi). Dalam hukum Islam sanksi yang berkaitan dengan pencabutan hak

politik dikategoraikan dalam jenis hukuman takzir dan dapat diputuskan kepada

pelaku tindak pidana makar melalui waliyul amri. Sementara itu hak asasi manusia

melalui konvensi internasional tentang hak politik juga membenarkan bahwa hak

politik seseorang dapat dicabut demi kepentingan keamanan negara sesuai dengan

undang-undang yang berlaku di negara tersebut.

Kata Kunci : Makar, Hak Politik, Hak Asasi Manusia

Pembimbing : Prof. Dr. M. Arskal Salim, GP., MA.

Daftar Pustaka : Tahun 1967 Sampai Tahun 2016

Page 6: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

v

حي م من الرح م هللا الر

ب س

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur tak hentinya terucap

kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, berkat nikmat dan karunia-Nya penulis dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam

penulis limpah curahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam

yang telah memimpin umat Islam menuju jalan yang hanif. Dalam menyelesaikan

skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan, doa serta bimbingan dari

berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

yang amat besar kepada:

1. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Para Wakil Dekan.

2. Ibu Sri Hidayati, M. Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum Tata Negara dan

juga kepada Ibu Masyrofah, M. Si, selaku Sekretaris Program Studi Hukum Tata

Negara (Siyasah) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Prof. Dr. M. Arskal Salim GP, M.A., Dosen pembimbing yang telah bersedia

meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran dalam membimbing,

sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini.

4. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan

Nasional yang telah menyediakan fasilitas yang memadai untuk mengadakan

studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

khususnya dosen Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), semoga ilmu

yang telah disampaikan menjadi kebaikan dan amal jariyah.

Page 7: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

vi

6. Kedua orang tuaku tercinta, Buya Zul ‘Addas Zasid dan Ummi Muharaniyati,

yang selalu tulus memberikan semangat, doa serta dorongan moril sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dan untuk adik-adikku.

7. Ust. Ridha Humaidy ‘Addas, M. Ikram ‘Addas, dan Akrimah Al-khansa ‘Addas

yang memberikan penulis support dan muharrikah dalam menuntaskan

penulisan skripsi ini.

8. Seluruh Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas

Syariah dan Hukum (HMI KOMFAKSY) Cabang Ciputat. Kanda, Yunda dan

Adinda tanpa mengurangi rasa hormat saya, mohon maaf bila tidak tersebutkan

satu persatu. Segenap jiwa raga saya melekat di tubuh Himpunan, saya bangga

pernah berada di sini.

9. Para Kucing Sekret yang memberikan suntikan motivasi untuk penulis; M.

Khoerul Ilham Rosyada, Luthfi Ardiansyah, Khairan Abdul Mahmud, Mardani,

M. Aly Fikri, dan Fadillah Osama.

10. Keluarga besar Siyasah Jinayah Syar’iyyah angkatan 2012, terima kasih atas

pengalaman bertemu orang-orang dari berbagai latar belakang.

11. Begitu juga dengan seluruh pihak yang telah membantu penyususnan skripsi ini,

mohon maaf bila tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak demi peningkatan

khazanah ilmu pengetahuan serta memperluas cakrawala informasi, khususnya bagi

penulis dan umumnya bagi para pembaca. Jazakumullah Ahsanul Jaza’.

Jakarta, 12 Juli 2019

Ihsan Harivy ‘Addas

Page 8: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

vii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii

ABSTRAK ............................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................ v

DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah .................................................................... 5

1. Pembatasan Masalah ....................................................................................... 5

2. Rumusan Masalah ........................................................................................... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................ 6

1. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 6

2. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 6

D. Tinjauan Penelitian Terdahulu ............................................................................ 6

E. Metode Penelitian ................................................................................................ 9

1. Jenis Penelitian ............................................................................................... 9

2. Sumber Data ................................................................................................. 10

3. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................... 11

4. Metode Analisis Data ................................................................................... 11

5. Teknik Penulisan .......................................................................................... 12

F. Sistematika Penulisan ........................................................................................ 13

BAB II TINDAK PIDANA MAKAR ................................................................. 14

A. Makar Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam ............................................ 14

1. Defenisi Makar dan Hukum Positif .............................................................. 14

2. Pengertian Makar dan Bughat dalam Hukum Islam ..................................... 15

B. Unsur Makar Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam ................................. 22

1. Unsur-Unsur Makar dalam Hukum Positif ................................................... 22

2. Unsur-Unsur Bughat dalam Hukum Islam ................................................... 26

Page 9: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

viii

C. Aturan dan Sanksi Makar dalam Hukum Positif dan Hukum Islam ................. 29

1. Aturan dan Sanksi makar dalam Hukum Positif........................................... 29

2. Dalil Ahkam dan Jarimah Bughat dalam Hukum Islam............................... 35

BAB III PENCABUTAN HAK POLITIK ......................................................... 42

A. Tinjauan Umum Mengenai hak Asasi Manusia dan Hak Politik ...................... 42

1. Hak Asasi Manusia dan Hak Politik Internasional ....................................... 43

a. Sejarah DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/Universal

Declaration of Human Rights) ................................................................. 43

b. Konfigurasi Internasional Mengenai Hak Politik: ICCPR (International

Covenant of Civil and Political Rights) ................................................... 45

2. Islam, Hak Asasi Manusia dan Hak Politik .................................................. 49

a. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam ............................................ 49

b. Hak Politik dalam Islam........................................................................... 57

c. Sanksi Pencabutan Hak Politik dalam Hukum Pidana Islam................... 62

3. Hak Politik dalam Perundang-Undangan HAM di Indonesia ...................... 64

a. Instrumen Hak Asasi Manusia di Indonesia ............................................ 64

b. Hak Politik dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ............ 71

BAB IV RAMIFIKASI DAN URGENSI PENERAPAN SANKSI

PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA MAKAR .... 75

A. Analisis Pencabutan Hak Politik Pelaku Tindak Pidana Makar Menurut

Hukum Islam ..................................................................................................... 75

B. Analisis Pencabutan Hak Politik Pelaku Tindak Pidana Makar Menurut

Hukum Positif dan Hak Asasi Manusia ............................................................ 78

BAB V PENUTUP ................................................................................................ 88

A. Kesimpulan ........................................................................................................ 88

B. Saran-saran ........................................................................................................ 90

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 91

LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................. 96

Page 10: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan sosial masyarakat tidak terlepas dari aspek politik dan kekuasaan.

Dalam negara yang berdaulat seperti Indonesia aspek-aspek tersebut diatur dalam

sebuah regulasi yang disebut sebagai undang-undang. Kebijakan dalam negara

hukum yang bersifat kekuasaan politik harus mengacu kepada suatu bentuk hukum

yang berlaku, adapun bentuk hukum tersebut yakni konstitusi. Hal tersebut

dikarenakan dalam hierarki perundang-undangan, konstitusi merupakan dasar

negara atau yang disebut juga staat fundamental norm dan menjadi acuan dalam

kehidupan bernegara. Negara sebagai suatu organisasi membutuhkan hukum

sebagai instrumen dalam menciptakan keteraturan dan ketertiban. Disamping itu

sebagaimana pendapat Hans Kelsen hukum juga butuh kekuasaan untuk dapat

ditegakkan di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu integrasi antara hukum dan

kekuasaan haruslah berjalan selaras.

Dalam negara demokrasi peralihan kekuasaan dalam suatu negara haruslah

mengacu kepada aturan yuridis suatu negara. Ada beberapa hal yang menjadi faktor

beralihnya suatu kekuasaan seperti; kematian, habisnya masa jabatan, keturunan

(darah biru), dan ada pula yang melalui proses makar (kudeta). Proses-proses inilah

yang menjadi perbincangan seputar dinamika dunia politik, bila politik diartikan

menjadi alat memperoleh kekuasaan. Mekanisme peralihan sebagaimana yang

disebutkan berdampak langsung terhadap keutuhan sebuah negara. Agar dapat

meminimalisir peralihan kekuasaan yang berdampak negatif terhadap masyarakat

seperti makar maka hukum harus menjadi panglima dalam menggawangi proses

peralihan kekuasaan. Kebutuhan akan tindakan preventif terhadap peralihan

kekuasaan yang merugikan masyarakat sangat diperlukan, seperti pelaksanaan

hukum pidana dengan memberikan sanksi yang berat bagi pihak-pihak yang

berupaya melakukannya.

Penerapan sanksi pidana merupakan sarana mencapai tujuan dari hukum

pidana untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Dari zaman ke zaman pemidanaan

Page 11: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

2

selalu berkembang seiring perkembangan umat manusia. Berawal dari makna

pemidanaan berarti pembalasan (retributive) sampai dengan bermakna

perlindungan (restorative). Hal ini didukung deduktif tujuan pemidanaan dari yang

bersifat klasik sampai dengan ke arah yang modern. Perkembangan dunia ke arah

globalisasi dapat mempengaruhi kebijakan kriminal (criminal policy) suatu negara

untuk menetapkan jenis pidana yang sesuai untuk negaranya. Bahkan hukum pidana

suatu bangsa menunjukkan peradaban suatu bangsa. Hal ini karena setiap negara

atau masyarakat mempunyai sistem hukum pidana sendiri dari yang paling modern

sampai yang primitif.1

Makar merupakan perbuatan yang menentang terhadap pemerintah dengan

maksud untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah. Makar adalah istilah lain dari

subversi yang berasal dari bahasa Inggris Subvertion artinya gerakan bawah tanah

untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Dalam American Encyclopedia

sebagaimana yang dikutip Andi Hamzah, bahwa subversi merupakan gerakan bawah

tanah dari kelompok totaliter untuk menggulingkan pemerintahan demokrasi.2

Fenomena makar ini bukan merupakan hal asing dan baru bagi perjalanan

pemerintahan Republik Indonesia pasca Proklamasi kemerdekaan tahun 1945.

Perilaku makar banyak mewarnai etape berjalannya pemerintahan. Semisal

peristiwa yang terjadi pada tanggal 18 September 1948 gerakan Partai Komunis

Indonesia (PKI) secara terbuka dan resmi mengadakan perebutan resmi terhadap

kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia yang sah. Menyusul kemudian

Maluku Selatan yang memproklamir wilayahnya sebagai negara yang merdeka

pada tanggal 25 April 1950. Selanjutnya peristiwa Cikini yang terjadi pada tanggal

30 November 1957 yakni penembakan atas Presiden Republik Indonesia

(Soekarno). Lalu peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik

Indonesia) di Sumatera pada tanggal 15 Februari 1958, dan di belahan timur negara

Indonesia yakni Sulawesi berdiri pula Perjuangan Semesta (PERMESTA).

1 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1991), h. 1.

2 Andi Hamzah, Delik-delik Tersebar di Luar KUHP: Dengan Komentarnya, (Jakarta:

Pradnya Paramita, 1992), h. 79.

Page 12: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

3

Terakhir peristiwa yang sangat berbekas di ingatan bangsa ini yaitu

Pemberontakan G/30. S/PKI yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Pada

dasarnya peristiwa-peristiwa tersebut merupakan perebutan kekuasaan atas

pemerintah yang sah.3

Pada dasarnya embrio makar merupakan bentuk ketidaksepahaman sebagian

rakyat kepada pemerintah yang berkuasa hingga akhirnya berujung pada

ketidaksepakatan dan tindak perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang

berkuasa. Munculnya tindak pidana makar di Indonesia tidak terlepas dari adanya

pertentangan-pertentangan ataupun gejolak-gejolak sosial, hukum, maupun politik

di dalam negeri. Banyak faktor yang mempengaruhi mengapa seseorang itu

melakukan makar, umumnya adalah sebab adanya rasa ketidakpuasan terhadap

kekuasaan yang sedang berlangsung. Perbuatan tersebut pada umumnya dilakukan

sekelompok orang yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama, tetapi tidak

tertutup kemungkinan juga dilakukan oleh satu atau dua orang saja.4 Oleh karena

itu, instrumen hukum pengaturan tindak pidana makar di Indonesia harus

disesuaikan dengan konsep negara hukum dan demokrasi sehingga di dalam

pengaturan tindak pidana makar tidak menciderai hak-hak asasi warga negara untuk

tetap ikut pada proses demokrasi dalam mengemukakan pendapat maupun proses

berbangsa dan bernegara.

Sanksi menjadi sangat primer bilamana perbuatan makar mengancam

stabilitas sebuah negara. Hukuman terhadap para pelaku makar terkadang tidak

dinilai sebagai hukuman yang menjerakan juga dinilai sangat tidak manusiawi.

Makar yang merupakan gerakan dengan basis politik haruslah dihukum sesuai

dengan ketentuan pidana yang berlaku. Dalam ketentuan umum hukum pidana di

Indonesia pencabutan hak politik merupakan salah satu sanksi disistematikakan

dalam undang-undang. Dewasa ini di Indonesia sanksi pencabutan hak politik

banyak dijatuhkan kepada terpidana korupsi yang merupakan extra ordinary

crime. Hukum pidana di Indonesia mengategorikan makar sebagai kejahatan

3 Djoko Prakoso, Tindak PIdana Makar Menurut KUHP, (Jakarta Ghalia Indonesia, 1986),

h. 9-10.

4 Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, h. 12.

Page 13: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

4

terhadap keamanan negara. Maka apakah ada kemungkinan keberlakuan sanksi

pencabutan hak politik yang tertulis dalam ketentuan umum hukum pidana di

Indonesia dapat di dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana makar demi menjaga

stabilitas negara?

Bagir Manan dalam Bukunya Ex Post Facto Law menjelasakan, pencabutan

hak mengingatkan kembali adanya hukuman-hukuman yang merendahkan

martabat manusia (onterende straffen). Kesepakatan-kesepakatan internasional

sudah menegaskan penghapusan terhadap hukuman yang merendahkan martabat

manusia. Meniadakan atau mengurangi hak asasi terpidana kasus korupsi

merupakan tindakan diskriminasi yang sewenang-wenang dan bertentangan dengan

prinsip keadilan manusia.5 Menurut Saldi Isra “Hak konstitusional warga negara

untuk memilih dan dipilih adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-

undang dan konvensi internasional, sehingga pembatasan penyimpangan dan

peniadaan serta penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap

hak asasi warga negara.”

Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu itu sifatnya adalah

untuk sementara.6 Prinsip keadilan terhadap hak asasi manusia juga harus dilihat

menyoal pencabutan hak politik ini terhadap pelaku tindak pidana makar. Hak

politik yang seyogyanya dimiliki oleh setiap individu masyarakat yang cakap

hukum dinegasi sebab tindakan makar yang notabene makar juga dilakukan karena

bentuk ketidak sepahaman terhadap kebijakan pemerintah.

Berdasarkan penjelasan diatas penulis bermaksud menuangkannya dalam

bentuk skripsi dengan judul: “PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA

TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

MAKAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAK ASASI

MANUSIA DI INDONESIA”.

5 Aji Lukman Ibrahim, Jurnal Supremasi Hukum Vol 3, No 1, (Yogyakarta; UIN Sunan

Kalijaga, 2014), h. 245.

6 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2012), h. 85.

Page 14: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

5

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Sejauh ini tindak pidana makar dalam hukum positif dan hukum Islam

mengalami kontra interpretasi. Dalam hukum Islam sanksi jatuh bila pelaku

tidak menyesali (tobat) atas perbuatannya. Sementara dalam hukum positif jika

unsur-unsur pidana telah didapatkan maka sanksi akan dijatuhkan. Sanksi yang

dijatuhkan kepada pelaku dalam hukum positif dan hukum Islam bisa sampai

kepada hukuman mati. Padalah cikal bakal dari makar adalah kritik terhadap

pemerintah atau melawan pemerintahan yang otoriter. Bila sanksi hukuman mati

ini terus berlanjut maka bisa jadi hak asasi manusia dalam menyuarakan

pendapat bisa dirampas lewat sanksi maksimal tindak pidana makar yang

berujung pada hukuman mati.

Dalam penulisan skripsi ini penulis akan meneliti penerapan sanksi yang

adil dan tidak merampas hak asasi manusia baik. Penulis juga akan menganalisa

urgensi sanksi penerapan pencabutan hak politik terhadap hak asasi manusia.

Apakah penerapan sanksi ini merampas hak politik seseorang atau tidak?

Untuk dapat mengkaji masalah yang berkaitan dengan judul, penulis

melakukan sebuah pembatasan pada ruang lingkup tema yang akan dibahas,

yakni;

1. Bagaimana konsep sanksi penerapan hukum pidana makar dalam

perspektif hukum Islam dan hukum positif?

2. Seberapa jauh kemungkinan sanksi pencabutan hak politik diterapkan

kepada pelaku tindak pidana makar menurut HAM dan Hukum Islam.

2. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mempunyai beberapa

rumusan masalah yang dapat dijadikan sebagai bahan pembahasan dalam

penulisan skripsi ini, yaitu:

a. Bagaimana hukum Islam dan hukum positif mengatur sanksi terhadap

tindak pidana makar?

b. Bagaimana probabilitas penerapan sanksi pidana tambahan pencabutan

hak politik bagi terpidana makar?

Page 15: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dari paparan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka dapat

diketahui bahwa tujuan penelitian adalah :

a. Memberikan gambaran atau perspektif baru mengenai sanksi pidana

tambahan pencabutan hak politik bagi terpidana makar.

b. Untuk menganalisa urgensi penerapan pidana pencabutan hak politik

bagi terpidana makar

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai syarat memperoleh gelar sarjana strata satu dalam program studi

Hukum Tata Negara (Siyasah)

2. Diharapkan bermanfaat untuk menambah khazanah baru dalam

penjatuhan sanksi tindak pidana makar yaitu sanksi pidana pencabutan

hak politik.

3. Memberikan pengetahuan secara spesifik mengenai makar secara

etimologi dan terminologi serta elemen-elemen yang terkandung

didalamnya.

4. Dapat mengetahui urgensi dari penerapan sanksi tambahan pencabutan

hak politik bagi pelaku tindak pidana makar.

D. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian yang sudah ada, belum memaparkan substansi yang sama

tentang masalah yang dikaji dalam skripsi ini. Namun terdapat beberapa aspek atau

penjelasan-penjelasan umum yang banyak ditemukan dalam literatur turut pula

digunakan dalam penelitian ini sebagai referensi. Sepanjang pengetahuan penulis,

terdapat beberapa karya tulis yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu:

1. “Sanksi Bughat dan Makar: Menurut Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Positif” oleh Imam Maulana, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum

Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2015. Secara umum skripsi tersebut

menjelaskan defenisi Makar/Bughat berikut komparasi interpretasi antara

Page 16: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

7

Makar/Bughat. Selain itu skripsi tersebut menjelaskan prihal jenis-jenis

sanksi yang dijatuhkan kepada terpidana dalam dua persepsi yakni

perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.

Kelemahan; Berbeda dengan penelitian yang dilakukan penulis dalam

judul proposal ini. Spesifikasi penelitian penulis yakni mengenai sanksi

pencabutan hak politik dalam tindak pidana kejahatan makar, sebab sanksi

yang dijatuhkan kepada terpidana dinilai cenderung memaksakan dan

penulis bermaksud memberikan masukan mengenai sanksi yang tidak

melanggar hak asasi manusia serta menibulkan efek jera.

2. “Delik Terhadap Keamanan Negara (Makar) di Indonesia (Suatu Analisis

Yuridis Normatif pada Studi Kasus Sultan Hamid II)” Tesis yang ditulis oleh

Anshari pada tahun 2012 Fakultas Hukum Pascasarjana Magister Ilmu

Hukum Universitas Indonesia.

Spesifikasi penelitian ini mengenai kasus tertuduhnya Sultan Hamid II

sang penggagas lambang garuda sebagai pelaku tindak pidana makar.

Namun dalam proses hukumnya, tersangka tidak terbukti melakukan tindak

pidana makar. Maka dari itu penulis tesis ini berupa mengkaji substansi

(berikut juga dengan kelemahan) dari aturan makar yang dikaitkan dengan

kasus tertuduhnya Sultan Hamid II sebagai pelaku tindak pidana makar

Kelemahan; Penelitian ini merupakan kajian yuridis normatif pada

materi Delik Terhadap Keamanan Negara (Makar) di Indonesia, kemudian

delik tersebut dikomparasikan dengan sebuah studi kasus; tuduhan ‘makar’

atau ‘pemberontakan’ terhadap Sultan Hamid II pada tahun 1950-1953.

Perbedaan dengan penelitian penulis adalah, penelitian ini lebih spesifik

pada kajian historis, sementara penilitian penulis lebih kearah menerpkan

sanksi yang adil untuk terpidana makar.

3. “Tindak Pidana Makar Dalam KUHP dan Hukum Pidana Islam” oleh

Muhammad, mahasiswa Fakultas Syariah Institut Agama Islam Sunan

Ampel Surabaya pada tahun 2000. Secara umum penelitian ini lebih spesifik

mengenai komparasi delijk makar dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum

Positif (KUHP). Selain delijk makar, penelitian ini juga mengembangkan

Page 17: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

8

pengetahuan tentang makar ke arah sanksi, pencegahan, serta efek jera dari

sanksi yang dijatuhkan. Terakhir, penelitian skripsi ini mengkomparasi

sudut pandang dari Hukum Pidana Islam dan KUHP tentang delijk makar

dari berbagai aspeknya.

Kelemahan; Berbeda dengan skripsi yang diajukan oleh penulis,

spesifikasi skripsi ini lebih ke arah dimana upaya penerapan sanksi

pencabutan hak politik dapat diposisikan dalam hukuman terhadap pelaku

tindak pidana makar. Selanjutnya penelitian penulis mengarah pada studi

komparasi sanksi pencabutan hak politik dalam perspektif Hukum Islam dan

HAM yang lebih spesifik.

4. “Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pencabutan

Hak Pilih Aktif Dan Pasif Terhadap Terpidana Tindak Pidana Korupsi

Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” oleh Yosy Dewi Mahayanthi,

mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang pada tahun

2015.

Menjelaskan perihal dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana

tambahan pencabutan hak politik dalam kasus tindak pidana korupsi. Selain

itu kajian mengenai pencabutan hak politik juga dikaji dalam perspektif

HAM, dengan maksud apakah pencabutan hak politik bertentangan dengan

hak asasi manusia dalam aspek politik. Menurut penyusun berdasarkan

analisis yuridis bahwa pencabutan hak-hak tertentu yang dimaksud dalam

UU TIPIKOR tidak melanggar prinsip HAM.

Kelemahan; Perbedaan penelitian penulis dengan jurnal diatas adalah

perihal tindak pidana yang dilakukan. Pada jurnal di atas, substansi

penelitiannya terhadap tindak pidana korupsi sementara itu penulis

melakukan penelitian dalam domain tindak pidana yang berbeda yakni

tindak pidana makar. Selain itu juga penulis tidak bermaksud mengkaji

dasar pertimbangan hakim sebagaimana yang dilakukan pada jurnal diatas.

Terakhir, penulis bukan hanya menganalisa pencabutan hak politik dalam

segmen HAM. Penulis juga memasukkan perspektif Islam prihal sanksi

pencabutan hak politik.

Page 18: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

9

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif atau disebut

sebagai penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau

ditujukan hanya pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan -bahan hukum

yang lain. Dikatakan sebagai penelitian kepustakaan (Library Research) atau

studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data

dengan sifat sekunder yang ada diperpustakaan.7

Selain itu penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 3 metode

pendekatan (approaching metodh); Pertama, pendekatan perundang-undangan

(statute approach), yaitu melakukan penelaahan terhadap seluruh undang-

undang dan regulasi terkait dengan isu hukum yang sedang diteliti. Adapun

undang-undang yang berkaitan dengan tema ini adalah: UUD 1945, KUHP, UU

Hak Asasi Manusia, ICCPR, dan DUHAM. Kedua, pendekatan perbandingan

(comparative approach), pada dasarnya pendekatan ini dilakukan untuk

membandingkan suatu term dengan term lainnya untuk dapat memperoleh

persamaan dan perbedaan pada suatu tema atau isu yang sedang diteliti. Dalam

hal ini penulis mencoba membandingkan antara sanksi pencabutan hak politik

terhadap pelaku tindak pidana makar dalam hukum Islam dengan Hak Asasi

Manusia dan hukum positif di Indonesia. Ketiga, pendekatan konseptual

(conceptual approach), pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari

perkembangan pandangan dan doktrin tersebut peneliti dapat menemukan ide-

ide yang melahirkan konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan

dengan persoalan yang dihadapi. Pemahaman akan doktrin-doktrin tersebut

merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum

dalam memecahkan isu yang dihadapi. Melalui penjelasan mengenai pendekatan

konseptual ini penulis berupaya menghadirkan konsep sanksi pencabutan hak

7 Suratman dan Phillips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2015), h.

51.

Page 19: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

10

politik bagi pelaku tindak pidana makar berdasarkan informasi yang penulis gali

dari berbagai pihak.8

2. Sumber Data

Dalam penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Untuk memecahkan

isu hukum sekaligus memberikan perskripsi mengenai apa yang seyogyanya,

diperlukan sumber-sumber penelitian diantara sumber-sumber berikut

dibedakan menjadi dua, yakni: Sumber penelitian yang berupa bahan hukum

primer dan sumber penelitian bahan hukum sekunder.9

Adapun bahan hukum yang digunakan pada sumber data penelitian ini

adalah bahan hukum primer, sekunder, dan nonhukum yang terdiri dari;

a. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan,

catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-

undangan, dan putusan-putusan hakim. Dalam hal ini bahan primer

penulis diperoleh dari Al-Qur’an, Hadis, Undang-Undang Dasar

Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945, Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), Universal Declaration of Human Rights,

International Covenant on Civil and Political Rights, Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

b. Bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang

hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal-

jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.

Adadpun bahan hukum sekunder dalam skripsi ini, meliputi; Buku-

buku teks hukum Islam maupun hukum positif yang berkaitan dengan

tema penelitian (Makar, Pencabutan Hak dan Hukum Islam). Terdapat

pada jurnal yang beredar di institusi-institusi penegakan hukum serta

pengkajian hukum seperti jurnal FH UNBRAW, Majalah Info Singkat

8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2005), h. 133-136.

9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 181

Page 20: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

11

yang beredar di lingkungan DPR, Jurnal MA dan MK. dan kitab-kitab

fikih yang berkaitan dengan makar seperti buku; al tasyri’u al jina’i, al

ahkam al shulthoniyyah dan lain sebagainya.

c. Wawancara; pada dasarnya hasil wawancara bukan merupakan bahan

hukum. Akan tetapi dapat dimasukkan sebagai bahan nonhukum dan

ada baiknya kalua peneliti menyusun beberapa pertanyaan atau

mengemukakan isu hukum secara tertulis sehingga narasumber dapat

memberikan pendapatnya seacara tertulis.10 Dalam penelitian ini

penulis menggunakan wawancara sebagai penunjang kepada pihak

yang terkait dengan judul penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumenter yaitu

dengan cara memanfaatkan dokumen, buku-buku tertentu atau arsip yang ada di

lembaga pemerintahan setempat sebagai objek penelitian serta data-data yang

diperoleh dari literatur dan referensi yang berhubungan dan berkenaan dengan

judul skripsi ini. Selain itu sumber penelitian ini juga berasal dari wawancara

langsung (in-depth interview) terhadap para pakar dan ahli pada bidang studi ini.

Adapun sumber wawancara terhadap ahli yang penulis himpun berasal dari

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Agus Suntoro., SH.; Analis Perlindungan

Hak Sipil dan Hak Asasi Manusia), Majelis Ulama Indonesia (Dr. Maneger

Nasution., S. Ag., MA.; Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan),

dan terakhir Hakim Pengadilan Negeri (Saifudin Zuhri., SH., M. Hum.; Hakim

Madya Utama)

4. Metode Analisa Data

Dalam penelitan kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber, dengan

menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam (triangulasi),

dan dilakukan secara terus menerus sampai datanya jenuh. Dengan pengamatan

yang terus menerus tersebut mengakibatkan variasi data yang tinggi sekali. Data

yang diperoleh pada umumnya adalah data kualitatif (walaupun tidak menolak

10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 181-206.

Page 21: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

12

data kuantitatif), sehingga teknik analisis data yag digunakan belum ada polanya

yang jelas. Oleh karena itu sering mengalami kesulitan dalam melakukan

analisis. Seperti dinyatakan oleh Miles dan Huberman (1984), bahwa "yang

paling serius dan sulit dalam analisis data kualitatif adalah karena metode

analisisi belum dirumuskan dengan baik"11.

Selain itu dalam metode analisis ini teknik analisis data yang penulis

lakukan yakni teknik analisis deskriptif artinya penelitian ini bertujuan

menjelaskan suatu variable (telaah intensif).12

Berdasarkan ulasan singkat diatas penulis akan menyantumkan muatan

metode analisis data peneltian sebagai berikut:

1. Mencari literatur-literatur yang berkaitan dengan makar, pencabutan

hak politik, hak asasi manusia serta kaidah hukum Islam sebagai

sumber data penelitian ini.

2. Menelaah isi literatur yang relevan; adapun maksud dari penelaahan ini

adalah menyortir substansi yang sesuai untuk dimasukkan kedalam

penelitian.

3. Melakukan proses kategorisasi dari bahan hukum primer, sekunder dan

nonhukum. Data yang telah dihimpun akan dikategorisasi berdasarkan

subbahasan dari penelitian. Hal demikian dilakukan guna mencapai

korelasi pada subbahasan penelitian.

4. Merekonstruksi konsep yang ditemukan dari data-data yang terhimpun,

dengan maksud agar konsep-konsep yang sudah ada linear dengan

objek penelitian.

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini, mengacu pada buku "Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta Tahun 2012."

11 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Cet XXIII, (Bandung:

Alfabeta, 2016), h. 243.

12 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, h. 58.

Page 22: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

13

F. Sistematika Penulisan

Sebagai pertimbangan dalam mempermudah penulisan skripsi ini, penelitian

menyusun melalui sistematika penulisan yang terdiri dari beberapa bab, di mana

pada setiap babnya dibagi atas sub-sub bab, dengan penjelasan yang terperinci, agar

memudahkan pembaca.

Berdasarkan pada materi skrispi yang penulis bahas, secara sistematis

penyusunan skripsi ini terbagi sebagai berikut.

BAB I : Pendahuluan

Merupakan latar belakang yang membahas materi pada masalah,

pembatasan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,

metode penelitian, tinjauan pustaka, diakhiri dengan penjelasan

mengenai sistematika penulisan.

BAB II : Tindak Pidana Makar

Memberikan deskripsi mengenai makar, pengertian makar dari

konteks Islam dan hukum positif. Modus operandi tindak pidana

makar, sanksi tindak pidana makar dalam hukum positif dan

jinayah, serta dalil-dalil ahkam mengenai Makar dan Bughat.

BAB III : HAM dan Pencabutan Hak Politik

Membahas hal-hal yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia

dalam berbagai perspektif (Islam, DUHAM, dan UU HAM no 39

thn 1999), Hak Politik dalam pandangan Islam dan DUHAM.

BAB IV : Ramifikasi dan Urgensi Penerapan Sanksi Pencabutan Hak

Politik

Pada bab ini penulis akan menganalisa penerapan pencabutan hak

politik bagi terpidana makar. Efektivitas pencabutan hak politik

bagi terpidana makar beserta dampak positif dan negatifnya. Serta

dasar hukum hakim memutuskan pidana tambahan pencabutan

hak politik.

BAB V : Penutup

Merupakan bab penutup yang di dalamnya berisi kesimpulan dan

saran terhadap permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

Page 23: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

14

BAB II

TINDAK PIDANA MAKAR

A. Makar Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam

1. Defenisi Makar dalam Hukum Positif

Makar merupakan suatu tindak pidana yang diatur dalam ketentuan hukum

pidana di Indonesia. Pada dasarnya makar merupakan sebuah kata yang diadopsi

dari Kitab Undang-udang Hukum Pidana Indonesia yang merupakan warisan

dari Belanda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makar memiliki

arti: akal busuk, tipu muslihat, perbuatan (usaha) dengan maksud hendak

menyerang (membunuh) orang dan sebagainya, perbuatan (usaha) menjatuhkan

pemerintah yang sah.1 Kemudian, dalam Kamus Politik yang disusun oleh BN

Marbun, mengartikan makar dengan istilah kudeta yang merupakan terjemahan

dari Bahasa Perancis yakni: Coup d’etat arti adalah pengambilan kekuasaan

dalam pemerintahan dengan menggunakan kekerasan atau paksaan, atau

pengambilan kekuasaan yang dilakukan dengan tiba-tiba dan inkonstitusional.2

Definisi makar dapat ditemukan juga dalam Black’s Law Dictionary,

bahwa makar adalah:

“(Treason) The offense of attempting to overthrow the government of the

state to which the offender owes allegiance; or of betraying the state into

the hands of a foreign power”.3 (Pelanggaran yang dilakukan dengan upaya

menggulingkan pemerintah negara yang dilakukan dengan pengkhianatan

kesetiaan;atau mengkhianati negara ke tangan kekuatan asing).

Lebih lanjut, makar dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap

keamanan Negara yakni kejahatan terhadap sistem kekuasaan yang di dalamnya

terdapat beberapa macam tindak pidana lain, salah satunya adalah

kejahatan Politik. Menurut Black's Law Dictionary, definisi kejahatan politik

adalah: “Political Crime is A crime (such as treason) directed against the

1 WJS. Purwodarminto, Kamus umum bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h.

623. 2 BN. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), h. 361.

3 https://thelawdictionary.org/treason/, diakses pada 02 April 2018, Pukul 14.39.

Page 24: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

15

government” (Kejahatan Politik adalah kejahatan -seperti makar- yang ditujukan

terhadap pemerintah)

Makar berasal dari kata “aanslag” (bahasa Belanda), yang menurut arti

harfiah adalah penyerangan atau serangan. Istilah aanslag ini juga terdapat dalam

KUHP yakni pada Pasal-Pasal 87, 104, 105, 106, 107, 130, 139a, 139b, 140.

(Pasal 105 dan 130 dianggap tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1946, Pasal VIII, butir 13). Aanslag telah lazim diterjemahkan dengan

makar dalam pembendaharaan hukum pidana di Indonesia.4 Pengertian ini

terdapat pada Pasal 107 KUHP, dimana redaksi aslinya ialah:

“De aanslag ondernomen men het oogmerk om omventelingteweeg

tebrengen, wordt gestraf met gevangenisstraf van ten hoogste vifftien

jaren.”

Djoko Prakoso mengutip pendapat Engelbrecht dalam penterjemahan

pasal tersebut dengan: “Makar yang dilakukan dengan maksud untuk

meruntuhkan pemerintahan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya

lima belas tahun.” Terjemahan Engelbrecht tersebut dapat diketahui bahwa

terjemahan kata aanslag itu sama dengan kata “makar”.5 Sedangkan Wiryono

Prodjodikoro menggunakan terjemahan kata makar sebagai kata aanslag yang

menurut beliau berarti serangan.6

2. Pengertian Makar dan Bughat dalam Hukum Islam

Pada uraian sebelumnya penulis telah mengemukakan teori-teori yang

berkaitan dengan tindak pidana makar dalam hukum positif. Kemudian, pada

poin ini penulis akan mengutarakan teori-teori yang berkaitan dengan makar

dalam perspektif Hukum Islam. Namun terdapat perbedaan dari segi makna dari

tindak pidana yang penulis maksud ini (makar). Bila dikemukakan dalil-dalil

4 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2002), Cet I, h. 7.

5 Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986),

h. 15.

6 Wiryono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: PT.

Eresco, 1980), h. 187.

Page 25: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

16

dalam Al-Qur’an, kata makar banyak sekali ditemukan didalam seperti contoh

pada Al-Qur’an Surat Al-An’am ayat 123, Al-Anfal ayat 30, dan Surat Yunus

ayat 21. Dalil dalam al-Qur’an tersebut memiliki kata “makar” didalamnya.

Namun dalam konsep Pidana Islam (Jinayah), tindak pidana yang penulis

maksud bukanlah “makar” yang sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an,

akan tetapi yang akan penulis kupas lebih spesisifik adalah tindak pidana

(jarimah) bughat. Hal ini sebagaimana yang ada pada konsep Hukum Pidana

Islam (Jinayah). Agar tidak mengalami polarisasi pemaknaan dari bahasan yang

akan penulis kemukakan, penulis juga akan mengulas serta mengupas pengertian

dari makar dan jarimah bughat.

Makar menurut bahasa adalah akal buruk, tipu muslihat. BN Marbun

dalam kamus politik mengartikan makar dengan istilah kudeta yang merupakan

terjemahan dari kata Prancis Coud’etat, yaitu pengambilan kekuasaan dalam

pemerintahan dengan menggunakan kekerasan atau paksaan, atau pengambilan

kekuasaan yang dilakukan dengan tiba-tiba dan inkonstitusional.7 Makar juga

bisa diartikan sebagai perbuatan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.8

Makar dalam prespektif Islam biasa disebut dengan bughat, yang menurut

bahasa merupakan jamak dari lafaz “Baaghin” yang artinya menganiaya dan

melampaui batas, yang dalam pengertian lain, adalah keluar dari menaati imam

adil untuk melakukan suatu kezaliman.9 Sementara menurut istilah, sebagian

ulama berpendapat bahwa bughat adalah suatu aktifitas yang dilakukan untuk

merubah tata aturan yang telah ditentukan oleh suatu hukum atau perlawanan

terhadap keputusan hakim dengan kekuatan atau enggan melaksanakan

ketaatan.10 Menurut Ulama Syiah modern, Muhammad Husain Tabataba’i dalam

tafsirnya, bughat adalah kezaliman dan perubahan tanpa melalui prosedur yang

7 B. N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), h. 361.

8 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1988), h. 618.

9 Eldin H. Zainal, Fiqh Jina’iy Al-Islamiy, (Medan: Diktat IAIN, 1990), h. 48.

10 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’i Al-Jina’i Al-Islami, (Beirut: Al-Risalah, Tt), h. 545.

Page 26: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

17

benar, sehingga diperangi kelompok yang memberontak itu sehingga kembali

kepada apa yang diperintahkan Allah.11

Sementara menurut Abdurrahman al-Maliki, bughat adalah orang-orang

yang keluar menentang daulah Islamiyah, dan mereka memiliki kekuatan.

Artinya, mereka adalah orang-orang yang membangkang dan tidak mau taat

pada imam, menghunus senjata melawan dan mengumumkan perang. Dari

defenisi ini menurut fuqaha, bughat adalah kelompok yang menentang

pemimpin yang sah dengan cara menolak setiap kewajiban sebagai rakyat dan

berupaya dengan menghimpun kekuatan untuk menggulingkannya.12

Bila membedah pengertian makar secara spesifik dan difenitif, makar

dalam hukum positif mengalami banyak interpretasi. Makar dalam KUHP

merupakan kata yang diadopsi dari bahasa arab (yang merupakan bahasa al-

quran) kemudian dimasukkan kedalam perbendaharaan Bahasa Indonesia.

Sebagai mana yang penlis kutip dari kamus Munjid, makar yang diadopsi

kedalam Bahasa Indonesia bermakna: menipu, memperdaya, tipu daya dan tipu

muslihat dalam melakukan segala penipuan.13 Selain itu kata makar makar

memiliki silsilah bahasa arab dari kata مكر – ميكر - مكرا yang berarti menipu.14

Dalam perbendaharaa bahasa Arab terminologi makar temaktub didalam surat

Al-Anfal ayat 30:

لل ا ر وميك رون وميك وك رج ي و أ وك ل ت ق ي و أ وك ت ب ث ي ل وا ر ف ن ك ي لذ ا ك ب ر ميك ذ إ و لل واا م ل ا ي ن خ ري (30 األنفال) ك

11 Rudi Iswadi, Bugat Dalam Prespektif Al-Qur’an, Tesis Universitas Islam Negeri

Sumatera Utara Meda 2016, h. 5.

12 Rudi Iswadi, Bughat Dalam Prespektiof Al-Qur’an, h. 23.

13 Luis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughah wal Al-‘Ala, (Lebanon, Daar Al-Masyriq Beirut,

1983), h. 770.

14 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1989), h. 427.

Page 27: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

18

Artinya: “Dan ingatlah tatkala telah mengatur tipu daya orang-orang kafir

terhadap engkau, buat menahan engkau atau membunuh engkau, atau

mengeluarkan engkau. Seraya mengatur tipu daya, Sedang Allah mengatur tipu

daya, dan Allah itu adalah sepandai-pandai mengatur tipu daya". (Q. S. Al-

Anfal: 30)15

Dari dalil diatas seorang cendekia Mesir Muh. Husain Haikal berpendapat

bahwa pengertian makar secara terminologis adalah Merencanakan kejahatan

terhadap orang lain secara rahasia, agar dapat menimpakan kesulitan/kepayahan

kepadanya.

Kemudian, dalam Tafsir Jalalain, ayat tersebut dapat ditarsirkan sebagai

berikut:

“(Dan) ingatlah hai Muhammad (ketika orang-orang kafir Quraisy

merencanakan tipu muslihat terhadap dirimu) mereka mengadakan

pertemuan di Darun Nadwah tempat mereka bermusyawarah guna

mengadakan makar terhadap dirimu (untuk menangkapmu) untuk

mengikatmu dan memenjarakanmu (atau membunuhmu) di mana mereka

secara beramai-ramai membunuhmu (atau mengusirmu) dari Kota

Mekah. (Mereka merencanakan tipu muslihat) terhadap dirimu (akan

tetapi Allah menggagalkan rencana mereka dengan cara memberikan

pemberitahuan kepadamu melalui wahyu-Nya akan rencana mereka dan

Dia memerintahkan kamu untuk keluar terlebih dahulu. (Dan Allah

sebaik-baik pembalas tipu muslihat). Dia Maha Mengetahui tentang tipu

muslihat.”16

Senada dengan penjelasan defenisi makar dalam hukum positif, salah

seorang mufassir terkemuka di Indonesia –Hamka- mengungkapkan bahwa kata

makar dipakai dalam bahasa hukum di Indonesia dan dijadikan sebagai bahasa

Indonesia yaitu segala tindak pidana untuk maksud yang jahat.17

15 Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas: 1984), h. 296-297.

16 https://tafsirq.com/8-al-anfal/ayat-30#tafsir-jalalayn, diakses pada tanggal 01 Juni 2018,

Pukul 12.41.

17 Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 36.

Page 28: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

19

Penjelasan mengenai makar yang lebih spesifik kearah perbuatan

menggulingkan pemerintahan, terdapat pada Ensiklopedia Hukum Islam. Makar

berasal dari Bahasa Arab yakni al-makru, yang berarti tipu daya atau hal-hal

yang berkaitan dengan rencana jahat. Namun secara semantik makar

mengandung arti: akal busuk, perbuatan hendak menyerang orang, dan

perbuatan menjatuhkan pemerintahan yang sah.18 Namun yang menjadi

pertanyaan apakah makar sama halnya dengan baghyu atau malah sebaliknya?

Adapun penjelasannya akan penulis ulas lebih rinci agar dapat menemukan

korelasi serta diferensiasi dari maksud pemberontakan.

Makar yang sebagai mana dimaksud pada penjelasan diatas atau dalam

KUHP mengalami multi interpretasi. Sebab maksud dari makar sendiri dalam

KUHP mengalami pergeseran makna bila kita melakukan korelasi makna

terhadap bughot dalam kata hukum pidana Islam (jinayah).

Bughat secara etimologi berarti melakukan perbuatan zalim atau

melakukan penindasan.19 Pada dasar katanya bughat sendiri berasal dari Bahasa

Arab بغى - يبغى - بغيا yang artinya menginginkan sesuatu20. Pada defenisi

etimologi yang berbeda dan lebih rinci kepada perbuatan pidana, bughat sendiri

memiliki maksud بغي على الناس بغيا yang berarti ظلم و اعتدى (berbuat zalim dan

menganiaya). Kata بغي sendiri bisa diartikan dengan تكب (sombong), dikatakan

demikian sebab pelaku jarimah bersikap takabbur menuntut sesuatu yang bukan

haknya dan melampaui batas.

Sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah SWT dalam Surat Al-

Hujarat ayat 9:

18 Tim Redaksi, Ensiklpoedi Hukum Islam, (PT. Ichtiar Baru Van Houve: 1996), h 123.

19 Ali Muthohar, Kamus Arab–Indonesia, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2005), h. 228

20 Mahmud Yunus, Kamus Arab–Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1989), h. 69

Page 29: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

20

ن م ن ا ت ف ئ ا ط ن إ رى و ألخ ا ى ل ع ها ا د ح إ ت غ ب ن إ ف ا م ه ن ي ب وا ح ل ص أ ف وا ل ت ت ق ا ني ن م ؤ م ل ا

ل د ع ل ب ا م ه ن ي ب وا ح ل ص أ ف ت ء ا ف ن إ ف لل ا ر م أ ل إ ء ي ف ت ت ح ي غ ب ت لت ا وا ل ت ا ق ف

ب ي لل ا ن إ وا ط س ق ني وأ ط س ق م ل ت) ا را ج حل (9 ا

Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu

berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu

melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar

perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau

dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan

hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang

yang berlaku adil”. (Q. S. Al-Hujarat: 9)

Selain itu baghyu juga memiliki beberapa pengertian seperti: zalim/aniaya,

perbuatan jahat, durhaka, menyimpang dari kebenaran dan melanggar atau

menentang.21 Secara harfiah baghyu berati melanggar atau menanggalkan.22

Secara terminologi ulama fuqaha memiliki polarisasi terhadap makna

istilahy dari baghyu. Hal ini sebagaimana yang dikutip Abdul Qadir Audah

dalam kitabnya Tasyri’ al-Jina’i, yaitu:23

a. Pendapat Ulama Malikiy

Bughat atau pemberontakan sebagai sekelompok kaum muslimin yang

berseberangan dengan al-Imam al-A’dzhom (Kepala/Pemimpin

Negara) atau wakilnya, dengan menolak hak dan kewajiban atau

bermaksud menggulingkannya.

b. Pendapat Ulama Hanafiy

Bughat ialah keluar dari kedudukan terhadap penguasa yang benar.

Sementara itu al-baghiy ialah orang yang keluar dari ketaatan terhadap

pemerintah yang sah dengan jalan yang tidak benar.

21 Ahmad Mukri Aji, Rasionalitas Ijtihad Ibnu Rusyd, (Bogor: Pena Ilahi, 2007), h. 218.

22 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 73.

23 Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islam Muqaranan bil Qanunil Wad’iy (Terj.

Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam), (Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2007), h. 234-235.

Page 30: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

21

c. Pendapat Ulama Syafi'iy

Para pemberontak (al-baghiy) ialah orang-orang Islam yang melakukan

pembangkangan terhadap penguasa atau pemerintah yang sah dengan

cara keluar dan meninggalkan ketundukan atau menolak kebenaran

yang ditunjukkan kepada mereka, dengan syarat adanya kekuatan serta

adanya tokoh yang diikuti dikalangan mereka. Pemberontakan dalam

pandangan Ulama Syafiiyah adalah keluaranya sekelompok orang yang

mempunyai kekuatan dan pemimpin yang ditaati dari imam dengan

alasan (takwil) yang salah.

Sementara itu, Imam Nawawi (ulama madzhab Syafii) me-nukil-

kan pendapat yang berbeda yakni “Menurut fuqaha, pemberontak

(baghyu) ialah seseorang yang menentang penguasa. Orang tersebut

keluar dari ketundukan dengan cara menolak melakukan kewajiban-

kewajiban yang seharusnya ia lakukan dengan cara lain.

d. Pendapat Ulama Hambali

Para Ulama Hanabilah mendefenisikan pemberontakan (bughat)

sebagai orang-orang yang keluar dari imam meski imam tersebut tidak

adil sekalipun dengan alasan yang layak dan mereka mempunyai

kekuatan walaupu diantara mereka tidak ada orang yang dipatuhi.

e. Pendapat Ulama Zahiriy dan Syiah Zaidiyah

Defenisi pemberontakan (bughat) menurut Ulama Zahiriyah dan Syiah

Zaidiyah adalah orang yang menganggap dirinya benar dan imam

sebagai pemimpin/penguasa adalah salah. Mereka adalah sekolompok

orang yang memiliki power. Sederhananya mereka yang disebut

pemberontak atau al-baghiy adalah sekelompok orang yang memiliki

kekuatan yang keluar dari imam yang sah.

Mengingat ulama madzhab ini memiliki kekuatan politik di Negara

Iran yang menganut sistem pemerintahan Imamiyah maka keputusan

atau kebijakan Imam (pemimpin) mutlak benar sebab pemimpin adalah

wakil tuhan di dunia dan barang siapa menentang pemimpin maka

disebut menentang tuhan dan layak diperangi.

Page 31: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

22

Sebagaimana defenisi yang telah dijabarkan diatas mengenai

pendapat para ulama fiqh mengenai pengertian (istilahiy) dari baghyu.

Banyak terdapat perbedaan dari pendapat para ulama tersebut.24 Selain

dari banyaknya perbedaan pandangan ulama mengenai bughat ada pula

kesamaan perspektif mengenai bughat itu sendiri.25

Dapat disimpulkan sebagaimana pendapat dari Prof. Dr. Amin

Suma, bahwa yang dimaksud dengan al-baghyu adalah Tindakan

sekelompok orang yang memiliki kekuatan untuk menentang

pemerintah, dikarenakan terdapat perbedaan paham mengenai masalah

kenegaraan.26

B. Unsur Makar Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam

1. Unsur-Unsur Makar dalam Hukum Positif

Pada umunya setiap tindak pidana (delijk) dapat dijatuhkan bila terdapat

unsur-unsur didalamnya. Adapun unsur-unsur makar dalam hukum pidana diurai

menjadi dua yakni: unsur objektif dan unsur subjektif.

a) Unsur Objektif

1. Perbuatan manusia dimana yang termasuk adalah:

a. Act ialah perbuatan aktif yang disebut juga perbuatan positif.

b. Omission ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan negatif.

24 Dari segi perbedaan, definisi diantara beberapa madzhab fikih disebabkan perbedaan

syarat yang wajib dipenuhi oleh bughat. Perbedaan tersebut tidak terletak pada unsur-unsur

pemberontakan yang mendasar. Para fukaha madzhab-madzhab ini mencoba mengumpulkan

definisi dengan definisi yang mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat tindak pidana

pemberontakan agar definisinya bisa bersifat jami‟ (komprehensif) dan mani‟ (mencegah

pengertian lain masuk kedalam esensi pengertian yang dimaksud). Dikutip dari Abdul Qadir

Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islam Muqaranan bil Qanunil Wad’iy, h. 235.

25 Persamaan mengenai definisi bughat, mungkin bisa dibuatkan definisi bersama yang

disesuaikan dengan definisi semua madzhab, yang didasarkan atas unsur yang paling mendasar.

Definisi tersebut adalah pembangkangan terhadap imam (pemimpin tertinggi) dengan perlawanan.

Dikutip dari Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islam Muqaranan bil Qanunil Wad’iy, h.

235.

26 Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h.

60.

Page 32: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

23

2. Akibat perbuatan manusia.

Hal ini erat hubungannya dengan kausalitas. Akibat yang dimaksud adalah

membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang

dipertahankan oleh hukum, seperti nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik

atau harta benda, dan kehormatan.

3. Keadaan-keadaan.

Pada umumnya keadaan-keadaan dibedakan atas beberapa hal

sebagaimana dibawah ini:

a. Keadaan saat perbuatan dilakukan;

b. Keadaan setelah perbuatan dilakukan;

c. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.

b) Unsur Subjektif

Unsur Subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau

yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya yaitu

segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Asas pokok hukum pidana ialah “tidak ada hukuman kalau tidak ada

kesalahan (actus non facit reum nisi mens sit rea)/(an act does not make a

person guilty unless the mind is guilty). Kesalahan dimaksud disini yakni

sengaja (dolus) dan kealpaan (culpa).27

1. Kesengajaan (dolus)

Menurut para pakar ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu:

a. sengaja sebagai maksud (dolus directus);

b. sengaja sebagai kepastian;

c. sengaja sebagai kemungkinan (dolus eventualis).

2. Kealpaan (culpa), adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada

kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaan, yaitu:

a. tidak berhati-hati; dan

b. tidak menduga-duga akibat perbuatan itu.

27 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung, Citra Aditya

Bakti, 1997), h. 193.

Page 33: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

24

Bilamana mengacu pada pasal 53 KUHP unsur-unsur makar terdiri dari 3

bagian yakni:

1) Niat

2) Permulaan pelaksanaan

3) Tidak selesainya pelaksanaan itu disebabkan bukan karena

kehendaknya sendiri

Maksud sebenarnya dari Pasal 53 (1) KUHP itu agar pelaku (dader) yang

belum selesai mewujudkan kejahatan juga dapat dipidana, yakni dengan

ketentuan bahwa pidana yang dapat dijatuhkan kepada si pembuat yang tidak

selesai itu setinggi-tingginya ialah pidana yang ditetapkan pada kejahatan itu

dikurangi sepertiganya. Mengapa harus dikurangi sepertiga dari ancaman

maksimumnya? Karena menurut pembentuk Undang-Undang percobaan

kejahatan itu belum berupa penyerangan/pelanggaran terhadap kepentingan

hukum yang dilindungi, akan tetapi telah membahayakan terhadap kepentingan

hukum yang dilindungi Undang-Undang. Nyatalah pula bahwa

pertanggungjawaban pidana bagi pelaku percobaan itu lebih ringan dari pada

pertanggungjawaban pidana pada kejahatan yang telah selesai.28

Sebagimana dalam KUHP buku kedua bab I dijelaskan bahwa makar

termasuk kejahatan terhadap keamanan negara.29 Ada beberapa teori atau aliran

tentang penyebab terjadinya kejahatan yaitu:30

1) Teori /Aliran Antropologi

Teori ini menyatakan bahwa sebab-sebab orang melakukan kejahatan adalah

tergantung pada orang atau individunya, yang berarti orang itu seolah

mempunyai tipe-tipe tertentu sebagai orang jahat. Jadi orang melakukan

kejahatan tersebut memang sudah ada dari dalam pribadinya sendiri sebagai

seorang yang jahat.

28 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, Keamanan

dan Keselamatan Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet I, h. 8-9

29 Moelyatno, KUHP, (Jakarta; Bumi Aksara, 1996), h. 43.

30 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta; Raja Grafindo Persada), h. 44.

Page 34: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

25

2) Teori/Aliran Sosiologi

Teori ini menyatakan bahwa sebab orang melakukan kejahatan karena

dipengaruhi atau ditentukan oleh lingkungan sekitarnya, baik lingkungan

alam maupun Iingkungan masyarakat.

3) Teori Aliran Bio-Sosiologi

Teori ini adalah gabungan antara teori antropologi dan teori sosiologi. Teori

ini menyatakan bahwa sebab-sebiab orang melakukan kejahatan karena

faktor individu orang yang bersangkutan ditambah dengan adanya pengaruh

lingkungan masyarakat.

Ditinjau dari teori sebab-sebab terjadinya tindak pidana kejahatan di atas,

ada dua gejala yang menyebabkan terjadinya tindak pidana makar yakni:

1) Ketidak Puasan Terhadap Pemerintahan yang ada

Didalam teori sosiologi dinyatakan bahwa diantara sebab terjadinya makar

adalah lingkungan. Stratifikasi sosial melahirkan hierarki (tingkat)

penggolongan sosial menciptakan perbedaan tingkat kemakmuran,

kekuasaan dan pengaruh (prestise).31

Tindakan semacam ini biasanya merpakan gerakan massa. Gerakan ini

pada umumnya bermaksud untuk merubah yang kurang sesuai dengan

dirinya maupun situasi dengan mengerahkan orang banyak, Lebin

berpendapat bahwa gerakan massa itu selalu bersifat negati desktruktif.32

2) Ambisi mengambil alih kekuasaan

Pasal yang menjelaskan tindak pidana ini adalah pasal 107 dan 108,

diperjelas lagi dengan pasal 88 bis yaitu: “dengan penggulingan

pemerintahan dimaksud meniadakan atau mengubah secara tidak sah

bentuk pemerintahan menurut undang-undang dasar.33

31 B. Simanjuntak, Pengantar kriminologi dan pantologi sosial,(Bandung; Tarsito, 1981), h.

34.

32 Soelaiman Joesoef, Ilmu jiwa massa, (Surabaya; Usaha Nasional, 1979), h. 28.

33 Moelyatno, KUHP, (Jakarta; Bumi Aksara, 1996), h. 36.

Page 35: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

26

Kadang kala tindakan penggulingan pemerintahan ini dilakukan oleh sipil

yang mementingkan diri sendiri tidak mementingkan kepentingkan

bangsa. Ia telah menggerakkan atau mengkoordinir massa untuk

kepentingannya. Kadang kala hal ini juga dilakukan oleh militer yang

berkhianat dan melakukan koordinasi dengan militer lainnya, dan

selanjutnya melakukan pemberontakan, hal ini yang disebut dengan

kudeta.34

2. Unsur-Unsur Bughat dalam Hukum Islam

Setelah penjelasan mengenai defenisi bughat sebelumnya, bughat

dijatuhkan sebagai bentuk tindak pidana juga harus melalui kualifikasi unsur-

unsur didalamnya. Unsur-unsur tersebut berbeda halnya dengan unsur-unsur

makar pada hukum positif yang dibagi menjadi dua unsur. Adapun unsur-unsur

bughat dalam Hukum Pidana Islam (Jinayah) adalah sebagai berikut.

a) Pembangkangan terhadap kepala negara

Jatuhnya jarimah bughat dalam unsur ini bilamana didalamnya terdapat

upaya pembangkangan terhadap kepala negara. Pembangkangan dalam artian

menentang kepala negara dan berupaya untuk menghentikannya, atau menolak

untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Berdasarkan kesepakatan

para ulama fiqh penolakan untuk tunduk kepada pemerintah yang menjurus

kepada kemaksiatan, bukan merupakan pemberontakan melainkan merupakan

suatu kewajiban. Hal ini sebagaimana yang di-nukil-kan oleh Rasulullah SAW

dalam hadist yang diriwayatkan oleh Nasa’i nomor hadist 4135:

ث نا الليث عن عب يد الل بن أب جعفر عن نفع عن ابن عمر ق بة قال حد أخبن ق ت ي ال قال رسول الل صلى الل

مع والطاعة فيما أحب وكر ه إل أن ي ؤمر بعصية فإذا أمر بعصية فل سع عليه وسلم على المرء المسلم الس

)رواه أمام نسائي( ول طاعة

34 Sahat Siammora, Militer dalam politik kudeta dan pemerintahan (terj), (Jakarta; Rineke

Cipta, 1990), h. 277.

Page 36: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

27

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami (Qutaibah), ia berkata; telah

menceritakan kepada kami (Al Laits) dari ('Ubaidullah bin Abu Ja'far) dari

(Nafi') dari (Ibnu Umar) ia berkata; Rasulullah SAW bersabda: " Wajib bagi

seorang muslim mendengar dan taat dalam perkara yang ia sukai dan ia benci

kecuali jika ia diperintah untuk berbuat maksiat, jika ia diperintah untuk berbuat

maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat." (H. R. Nasa’i)

Dengan demikian, jika seorang pemimpin tidak memerintahkan rakyatnya

untuk berbuat maksiat, walaupun kebijakannya tidak selalu membawa

kebajikan, maka tetap wajib didengar dan ditaati.35

Adil merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki seorang kepala

negara (Imam), akan tetapi Imam Fiqh emapat madzhab dan Syiah Zaidiyah

berpendapat, haram hukumnya melakukan insubordinasi terhadap imam yang

fasik, walaupun hal tersebut dilakukan dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar.

Alasannya, sebab pembangkangan terhadap kepala negara (imam) biasanya

berdampak pada hal yang lebih munkar seperti; timbulnya fitnah, pertumpahan

darah, merebaknya kerusakan, dan kekacauan dalam negara, serta terganggunya

ketertiban dan keamaan. Selain itu, menurut pendapat yang lemah (marjuh),

bilamana seorang pemimpin itu fasik, zalim dan mengabaikan hak-hak

masyarakat maka ia harus diberhentikan oleh dari jabatannya.36

Jika dilihat dari cara dan alasan pemberontakan ini dilakukan, Imam Abu

Hanifah, Syafii dan Ahmad Bin Hanbal membedakannya menjadi tiga kategori,

yaitu:

a. Kategori kaum pemberontak yang memiliki argumentasi mengapa mereka

memberontak, baik mereka mempunyai kekuatan senjata maupun tidak.

b. Kategori kaum pemberontak yang memiliki argumentasi mengapa mereka

memberontak, tetapi mereka tidak memiliki kekuatan persenjataan.

c. Kategori kaum pemberontak yang mempunyai argumentasi dan juga

memiliki kekuatan persenjataan.

35 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 63.

36 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 113.

Page 37: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

28

Dari penjelasan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberontakan

hanya dilakukan terhadap pemimpin negara yang sah dan berdaulat. Apabila

pemberontakan dilakukan oleh sekelompok orang ketika di suatu negara yang

tidak berjalan atau terjadi kekosongan pemimpin yang legitimate, maka hal itu

tidak disebut sebagai pemberontakan.37

b) Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan

Maksud dari unsur ini adalah adanya dukungan kekuatan bersenjata. Oleh

sebab itu menurut ulama fiqh, sikap sekedar menolak kepala negara yang telah

diangkat secara aklamasi, tidak disebut dengan al-baghyu.

Mayoritas Ulama seperti Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad Bin

Hanbal dan ulama kalangan Zahiriyah berpendapat bahwa selama para

pembangkang tidak menyusun kekuatan bersenjatata dan tidak bersikap

demonstratif maka mereka bukanlah pemberontak. Oleh sebab itu mereka juga

sepatutnya untuk diperlakukan selayanya warga negara, tidak boleh diserang dan

dibunuh. Imam Abu Hanifah memiliki pandangan lain terkait hal ini, mereka

yang melakukan perkumpulan dapat dikatakan sebagai pemberontak sebab

perkumpulan tersebut bisa saja mengarah kepada perencanaan untuk menyerang.

Hal tersebut bisa menjadi indikator adanya jarimah baghyu, walaupun tidak

bersifat demonstratif dengan menggunakan senjata. Hal ini juga senada dengan

pendapat Syiah Zaidiyah.38

Adapaun perbedaan pendapat ini bermuara pada tolak ukur dan kapan

sikap pembangkangan sebuah kelompok dapat dianggap sebagai

pemberontakan. Namun demikian, para ulama tetap sepakat bahwa para

pemberontak tidak boleh segera disergap dan dibunuh, jika mereka tidak

melancarkan aksinya terlebih dahulu.39

37 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 67.

38 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 70.

39 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 70.

Page 38: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

29

c) Niat melawan hukum (qasd al-jina’iy)

Penjelasan mengenai niat menjadi sangat vital bila berkaitan dengan

perbuatan tindak pidana. Hal ini sudah penulis jelaskan juga pada unsur-unsur

tindak pidana makar dalam hukum positif. Untuk terwujudnya tindak pidana al-

baghyu, diisyaratkan adanya niat melawan hukum dari mereka yang

membangkang. Unsur ini dapat terpenuhi bila seseorang bermaksud

menggunakan kekuatan untuk menjatuhkan imam atau tidak menaatinya.

Apabila tidak ada maksud untuk keluar dari imam atau tidak ada maksud untuk

menggunakan kekuatan maka perbuatan perbuatan pembangkangan itu belum

dikategorikan sebagai pemberontakan (bughat).

Seseorang dapat dianggap keluar dari imam bila bermaksud untuk

mencopot (menggulingkan) imam, atau tidak menaatinya, atau menolak untuk

melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepada syara’. Dengan demikian,

apabila niat dan tujuan pembangkangan itu untuk menolak kemaksiatan, maka

pelaku tidak dianggap sebagai pemberontak. Namun apabila seorang

pembangkang melakukan jarimah-jarimah sebelum mughalabah (penggunaan

kekuatan) atau setelah selesainya pemberontakan maka di sini tidak diperlukan

adanya niat untuk memberontak, karena dalam hal ini ia tidak dihukum sebagai

pemberontak, melainkan sebagai jarimah biasa.40

C. Aturan dan Sanksi Makar dalam Hukum Positif dan Hukum Islam

1. Aturan dan Sanksi Makar dalam Hukum Positif

Tindak pidana makar untuk merobohkan pemerintah, tentunya disikapi

pemerintah dengan membuat beberapa aturan maupun instrumen hukum dalam

meminimalisir tindak pidana makar.41 Tidak hanya itu, tindak pidana makar

menyebabkan munculnya beberapa pengaturan-pengaturan tindak pidana makar

yang dibuat pemerintah sebagai upaya untuk mengamankan jalannya

40 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 116.

41 Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Cetakan II, Jakarta, 2011, h.

19.

Page 39: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

30

pemerintahan yang sedang berlangsung. Adapun pengaturan tindak pidana

makar di Indonesia tertuang pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 1946 Tentang KUHP, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang

Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.

Dalam KUHP Negara Indonesia pengaturan tindak pidana makar tertulis

pada Bab I mengenai kejahatan terhadap keamanan negara yakni pada pasal 104

sampai 129.42 Namun pasal-pasal yang akan penulis ulas adalah beberapa pasal

yang spesifik mengenai makar.

Pengaturan makar dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

sebagaimana dimuat dalam Bab I Buku II KUHP, terdiri dari 3 bentuk, yaitu:

1) Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keamanan

Kepala Negara atau Wakilnya (Pasal 104 KUHP);

2) Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keamanan,

keselamatan, dan keutuhan wilayah negara (Pasal 106 KUHP);

3) Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi tegaknya

pemerintahan negara atau menggulingkan pemerintahan (Pasal 107

KUHP).43

Dalam pengaturan makar atau kejahatan yang berhubungan dengan makar

yang mengancam keamanan, keselamatan, dan keutuhan negara. Penulis

mencoba membuat rumusan kejahatan yang berkaitan dengan keamanan,

keselamatan dan keutuhan negara dengan memfokuskan pada Pasal 104 KUHP,

Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP, Pasal 108 KUHP dan Pasal 110 KUHP.

Berikut uraian pasal tersebut:

42 Dikutip dari makalah Bambang Widjojanto, Pasal-pasal makar,

https://mazhoinside.files.wordpress.com/2010/04/bw_pasal-pasal_makar.pdf. Diakses pada

tanggal 11 April 2018, Pukul 13.00.

43 Moelyatno, KUHP, (Jakarta; Bumi Aksara, 1996), h. 11

Page 40: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

31

1) Kejahatan Makar

Dalam kejahatan makar terhadap negara, makar terhadap nyawa atau

kemerdekaan Kepala Negara atau Wakilnya tercantum dalam Pasal 104

KUHP, makar terhadap/untuk memisahkan wilayah negara tercantum dalam

Pasal 106 KUHP dan makar untuk menggulingkan pemerintahan yang sah

tercantum dalam Pasal 107 KUHP.44

Rumusan pasal 104 KUHP:

“Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas

kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil

Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana

penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua

puluh tahun.”45

Rumusan pasal 106 KUHP:

“Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah

negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah

negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana

penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”

Rumusan pasal 107 KUHP:

a. “Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah,

diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”

b. “Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat

(1), diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana

penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”46

2) Kejahatan Pemberontakan

Kejahatan pemberontakan dirumuskan dalam Pasal 108 KUHP:

“Barangsiapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan

pidana penjara paling lama lima belas tahun:

1. orang yang melawan Pemerintah Indonesia dengan senjata;

44 Djoko Prakoso, Tindak Pidana Makar menurut KUHP, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986),

h. 9.

45 Moelyatno, KUHP, (Jakarta; Bumi Aksara, 1996), h. 43

46 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 45

Page 41: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

32

2. orang yang dengan maksud melawan Pemerintahan Indonesia

menyerbu bersama-sama atau menggabungkan diri pada

gerombolan yang melawan Pemerintahan dengan senjata.

3. para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan

penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama

dua puluh tahun.”47

3) Pemufakatan Jahat Untuk Melakukan Kejahatan

Pemufakat jahat untuk melakukan kejahatan tercantum pada pasal 110

KUHP, adapun bunyi rumusannya:

1. Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut pasal 104,

106, 107 dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam

pasal-pasal tersebut.

2. Pidana yang sama diterapkan terhadap orang-orang yang dengan

maksud berdasarkan pasal 104, 106, 107 dan 108, mempersiapkan

atau memperlancar kejahatan:

a. berusaha menggerakan orang lain untuk melakukan, menyuruh

melakukan atau turut serta melakukan agar memberi bantuan

pada waktu melakukan atau memberi kesempatan, sarana atau

keterangan untuk melakukan kejahatan;

b. berusaha memperoleh kesempatan, sarana atau keterangan

untuk melakukan kejahatan bagi diri sendiri atau orang lain;

c. memiliki persediaan barang-barang yang diketahuinya berguna

untuk melakukan kejahatan;

d. mempersiapkan atau memiliki rencana untuk melaksanakan

kejahatan yang bertujuan untuk diberitahukan kepada orang

lain;

e. berusaha mencegah, merintangi atau menggagalkan tindakan

yang diadakan oleh pemerintah untuk mencegah atau menindas

pelaksanaan kejahatan.

3. Barang-barang sebagaimana yang dimaksud dalam butir 3 ayat

sebelumnya, dapat dirampas.

4. Tidak dipidana barang siapa yang ternyata bermaksud hanya

mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan

dalam artian umum.

5. Jika dalam salah satu hal seperti yang dimaksud dalam ayat 1 dan

2 pasal ini, kejahatan sungguh terjadi, pidananya dapat dilipatkan

dua kali.48

47 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 46 48 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 47.

Page 42: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

33

Selain Undang-Undang diatas, melalui Undang-Undang Nomor 27

Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang

berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara,49 telah

ditambahkan 6 Pasal tentang kejahatan baru kedalam 6 Bab, menjadi Pasal

107 a, 107 b, 107 c,107 d, 107 e, dan 107 f KUHP. Kejahatan kejahatan

mengenai keamanan negara yang baru ini, dapat dikelompokkan ke dalam 3

macam, yakni:

a. Kejahatan-kejahatan mengenai dan dalam hal larangan ajaran atau

paham Komunisme/Marxisme-Leninisme (107 a, 107 c, 107 d, dan

107 e KUHP).

b. Kejahatan mengenai menyatakan keinginan untuk meniadakan

atau mengganti dasar negara Pancasila. (107 b KUHP).

c. Kejahatan sabotase (107 f KUHP).50

Rumusan dari 6 Pasal berikut diantaranya adalah:

Pasal 107 a KUHP, bunyi rumusannya, ialah:

“Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan

lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau

mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam

segala bentuk dan perwujudannya, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 12 (dua belas) tahun.”51

Pasal 107 b KUHP, bunyi rumusannya, ialah:

“Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan

lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyatakan keinginan

untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara

yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau

menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan

penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

49 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.

50 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 173.

51 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 45.

Page 43: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

34

Pasal 107 c KUHP, bunyi rumusannya, ialah:

“Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan

lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun menyebarkan atau

mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang

berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan

korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.”52

Pasal 107 d KUHP, bunyi rumusannya, ialah:

“Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan

lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun menyebarkan atau

mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan

maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.”53

Pasal 107 e KUHP, bunyi rumusannya, ialah:

“Dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun: a.

barangsiapa yang mendirikan organisasi yang diketuai atau patut

diduga menganut ajaran Komunisme/MarxismeLeninisme atas dalam

segala bentuk dan perwujudannya; atau b. barangsiapa yang

mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada

organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya

berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dengan

segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar

negara atau menggulingkan pemerintahan yang sah.”54

Pasal 107 f KUHP, bunyi rumusannya, adalah:

“Dipidana karena sabotase dengan pidana penjara seumur hidup

atau paling lama 20 (dua puluh) tahun: a. barang siapa yang secara

melawan hukum merusak, membuat tidak dapat dipakai,

menghancurkan, atau memusnahkan instalasi negara atau militer; atau

b. barangsiapa yang secara melawan hukum menghalangi atau

menggagalkan pengadaan atau distribusi bahan pokok yang

menguasai hajat hidup orang banyak sesuai dengan kebijakan

pemerintah.”55

52 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 45.

53 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 46.

54 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 46

55 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 46

Page 44: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

35

Dalam hal ini penulis menspesifikasi kajian sanksi mengenai makar

dalam perspektif hukum positif. Adapun kajian mengenai sanksi ini penulis

persempit dalam ruang lingkup Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Karena kajian sanksi ini akan lebih rinci dijelaskan dalam frame pencabutan

hak politik pada bab selanjutnya.

Adapun kajian tentang sanksi bagi pelaku makar penulis memfokuskan

sanksi hukum yang terdapat dalam Pasal 104 KUHP, Pasal 106 KUHP, Pasal

107 KUHP dan menambahkan dengan Pasal 108 KUHP. Dalam ketentuan

Pasal 104 KUHP jelas dinyatakan bahwa sanksi pidana bagi pelaku makar

diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana

penjara sementara paling lama dua puluh tahun. Sedangkan ketentuan sanksi

pidana pada Pasal 106 KUHP adalah bahwa pelaku makar diancam dengan

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua

puluh tahun.

Selanjutnya ketentuan sanksi pidana pada Pasal 108 KUHP dijelaskan

bahwa pelaku kejahatan pemberontakan sesuai dengan ayat 1 diancam

dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Dalam ketentuan ayat 2

disebutkan bahwa pemimpin dan pengatur pemberontakan dijatuhi hukuman

yang lebih berat yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

lama dua puluh tahun. Rumusan kejahatan dalam Pasal 108 KUHP ini tidak

terdapat dalam WvS Belanda, namun hanya ada didalam WvS Hindia

Belanda yang dimuat dalam tahun 1930. Hal ini karena untuk menjamin

keselamatan pemerintah Hindia Belanda dari kemungkinan dari serangan-

serangan seperti itu, maka dimasukanlah kejahatan pemberontakan pada

Pasal 108.56

2. Dalil Ahkam dan Jarimah Bughat dalam Hukum Islam

Pada pemaparan diatas penulis menjelaskan bahwa bughat adalah

sekelompok orang yang tidak taat lagi kepada pemimpin dan berusaha

menggulingkan pemerintahan yang sah. Hal ini menunjukan bahwa adanya

56 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, h. 28

Page 45: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

36

konflik yang terjadi antara rakyat dan penguasa (pemimpin) atau yang disebut

dengan konflik vertikal. Perintah Allah S. W. T di dalam Al-Qur’an menjelaskan

tentang keharusan untuk taat terhadap pemimpin. Namun, ketaatan terhadap

pemimpin ini dibatasi tidak dalam konteks kemaksiatan sebagaimana yang telah

penulis jelaskan diatas. Ayat Al-Qur’an yang dimaksud adalah ayat yang

terdapat dalam Q.S. An-Nisaa ayat 59:

ف م ت زع ا ن ت ن إ ف م ك ن م ر ألم ا ول وأ ول س ر ل ا وا ع ي ط وأ لل ا وا ع ي ط أ وا ن م آ ن ي لذ ا ا ه ي أ ي

و س ر ل وا لل ا ل إ وه رد ف ء ي ن ش س ح وأ ي خ ك ل ذ ر خ ل ا م و ي ل وا لل ب ون ن م ؤ ت م ت ن ن ك إ ل

ل ي (59)النساء تو

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah

RasulNya dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan

pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran)

dan RasulNya (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan

hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik

akibatnya”. (Q. S. An-Nisa: 59)

Pada dasarnya dalil di atas merupakan perintah untuk menaati pemimpin

setelah ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Tetapi penjelasan bahwa batas

menaati pemimpin juga mengikuti perintah Allah dan Rasul yakni mengikuti

pemimpin yang tidak menyeru pada kemaksiatan seperti penjelasan penulis pada

unsur-unsur bughat.

Menurut Ulama Tafsir Mustafa Al-Maraghi dalam Kitabnya Tafsir al-

Maraghiy maksud dari surat An-Nisa ayat 59 ini ketataan terhadap ulil amri yang

wajib dilakukan oleh; ahli-ahli hukum, ulama, panglima militer, para pemimpin

dan para zu ama’.

Sehubungan dengan bughat ini, Sayyid Sabiq berpendapat bahwa suatu

golongan dikatakan Bughat jika terdapat sifat-sifat sebagai berikut:

a. Keluar dari ketaatan kepada pemerintah yang adil yang diwajibkan Allah

atas kaum muslimin sebagai waliyyul amri.

Page 46: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

37

b. Bahwa yang keluar itu adalah jama’ah yang kuat dan bersenjata, sehingga

untuk mengembalikan mereka kepada ketaatan pemerinta membutuhkan

persiapan tenaga, manusia dan materil (baik persenjataan maupun

finansial).

c. Mereka mempunyai alasan yang kuat untuk keluar dari imam, jika mereka

tidak mempunyai alasan yang kuat maka mereka tidak bisa digolongkan

bughat tapi mereka termasuk perusuh.

d. Mereka mempunyai pemimpin yang ditaati sebagai sumber kekuatan,

karena tidak ada kekuatan bagi jamaah yang tidak memiliki pemimpin.57

Dalam hal pemberontakan (bughat) dan ketaatan terhadap pemimpin para

ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Menurut sebagaian ulama yang

sepakat bahwa tidak boleh menentang pemimpin walaupun zalim, hal ini

didasari oleh Hadist Rasulullah SAW:

م ل س و ه ي ل ع لل ا ى ل ص لل ا ول رس ل ا ق ل ا ق ه ي رو ي س با ع ن ب ا ن يه :ع م أ ن م ى رأ ن م

ية ل ه ا ج ة ت ي م ف ت ا م ف با ش ة ع ا لم ا رق ا ف ن م نه إ ف ب ص ي ل ف ه ره ك ي ا ئ ي ش

) م ل س م ه روا (

Artinya: “Dari Ibn Abbas R. A, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa

yang merasa benci terhadap pemimpinnya maka bersabarlah

terhadapnya, apabila memisahkan diri dari jama‟ah (penguasa yang

direstui rakyat), maka orang tersebut bila mati, matinya tergolong mati

dalam keadaan jahiliyyah.” (H. R. Muslim).58

Adapun ulama yang berpendapat bahwa sah-sah saja melakukan

pemberontakan terhadap pemimpin, mereka mendasarkan pendapatnya dengan

firman Allah pada surat Ali Imran ayat 104:

57 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), h. 12.

58 Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulughu al-Maram, (Beirut: Pustaka Darul Ihya al-Kutub

alArabiyah, t.th), hal. 253.

Page 47: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

38

ر ك ن م ل ا ن ع ن و ه ن ي و روف ع م ل ب رون يم و لي ا ل إ ون ع د ي ة م أ م ك ن م ن ك ت ل و

م ه ك ئ ول ون وأ ح ل ف م ل (104 ل عمران)آا

Artinya: “Hendaklah ada diantar kamu segolongan ummat yang menyeru

kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang

mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q. S. Ali Imran: 104).

Selain itu ulama yang sepakat memerangi pemimpin yang zalim

menguatkan pendapatatnya dengan hadist Rasulullah SAW:

ب ل ق ب ف ع ط ت س ي ل ن إ ف ه ن ا س ل ب ف ع ط ت س ي ل ن إ ف ه د ي ب ه ي غ ي ل ف را ك ن م م ك ن م ى رأ ن ه م

ل ا ف ع ض أ ك ل ذ ن و ا ( مي م ل س م ه روا (

Artinya: “Barang siapa diantara kamu melihat kemungkaran maka gantilah

dengan tangannya (kekuatannya), jika tidak mampu maka dengan lidahnya

(ucapannya), bila tidak mampu lakukan dengan hati, maka hal itu

merupakan selemah-lemah iman.” (H. R. Muslim)59

Dalam hukum pidana Islam tujuan pokok pemidanaan adalah untuk

pencegahan (al-Ra’du wa al-Tahdzib). Adapun maksud daripada pencegahan ini

adalah agar pelaku tidak mengulangi perbuatan jarimahnya dan menjadi

peringatan bagi orang lain yang mungkin akan melakukan perbuatan jarimah.60

Hukuman (sanksi) dalam Islam disebut al-Uqubat, berdasarkan berat

ringannya hukuman yang ditentukan oleh hakim maka hukuman dibagi dua:

a. Hukuman yang hanya mempunyai satu batas yang tidak bisa

dikurangi atau ditambah oleh hakim walaupun pada tabiatnya bisa

dikurangi atau ditambah.

59 Imam Abu Al-Husain Bin Al-Hujjaj Al-Husain Al-Qusyairi Al-Naisaburi, Shahih

Muslim, h. 19.

60 A. Hanafi, Azas-azas Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 196.

Page 48: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

39

b. Hukuman yang mempunyai dua batas yaitu batas terendah dan batas

tertinggi, dah hakim diberi kebebasan untuk memilih antara kedua batas

tersebut yang dipandang sesuai.61

Mengenai hukuman terhadap jarimah bughat para ulama mendasarinya pada

firman Allah pada surat Al-Hujarat ayat 9. Dalam ayat tersebut Allah SWT

menerangkan bahwa bagaimana para mukmin mendamaikan dua golongan yang

bersengketa dan menyuruh para mukmin memerangi golongan yang bebuat

aniaya supaya mereka kembali pada perdamaian.62

Selain itu dalil mengenai hukuman bughat juga didasari pada hadist Nabi

Muhammad SAW:

يع وأمركم أتكم من مسلم( ها)رو فاق ت لوه جاعتكم، ي فرق أو عصاكم يشق أن يريد واحد، رجل على ج

Artinya: “Dari A’fazah ibn Suraihin: Rasulullah SAW bersabda: "Siapa

yang mendatangi kalian dalam keadaan kalian telah berkumpul/bersatu

dalam satu kepemimpinan kemudian dia ingin memecahkan persatuan

kalian atau ingin memecah belah jamaah kalian, maka

perangilah/bunuhlah orang tersebut.”(H.R. Muslim)63

Ulama berbeda pendapat tentang hukuman bagi pemberontak dari kaum

mukmin. Menurut pendapat mayoritas ulama bahwa pelaku pemberontakan

(bughat) yang keluar dari imam wajib dihukum mati. Namun bila pemberontak

itu berdamai maka tidak wajib dihukum mati. Menurut pendapat sebagian ulama,

pemberontak yang berasal dari kaum muslimin tidak boleh dihukum mati.64

Mereka mendasari pendapatnya dengan Hadist Nabi Muhammad SAW:

61 Abdul Qadir Audah, h. 633.

62 Hasbi Al-Shiddiqi, Tafsir Al-Quran Al-Nur, (Jakarta: Bulan Bintang), h. 140.

63 Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani Al-Shan’ani, Subul Al-Salam, (Indonesia, Dahlan),

jilid IV, h. 254, dikutip dari M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 7.

64 Muhammad Ali Al-Shabuni, Tafsir Ayat Ahkam III, h. 490.

Page 49: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

40

سلم فسو ق ووقتاله كفر

عن عبد هلل مسعد قال, قال رسول هلل ص.م سباب امل

ة)رواه ج ا م ن ب (ا

Artinya: “Mencaci orang mukmin itu fasiq dan membunuhnya kafir”

(H.R. Ibnu Majah).65

Sehubungan dengan hukuman tindak pidana bughat Imam Muslim

dalam Shahih-nya (no. 1844) meriwayatkan dari Abdullah ibn Amr ibn Al Ash

dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:

ده عطاه صفقة ي ماما فأ ع إ ن بي وا وم نازعه فاضرب ر ي ن جاء آخ طاع فإ طعه إن است لي لبه ف رة ق وث

ر نق الخ ع

Artinya:“Barangsiapa telah membai’at seorang imam lalu dia telah

memberikan jabatan tangan dan kerelaan hatinya, maka hendaknya dia

taat kepadanya dalam batas kemampuannya. Jika datang seorang yang

mengaku pemimpin lainnya, maka penggallah leher yang lain itu.”

(H. R. Muslim).66

Hadist ini menunjukkan bahwa hukuman bagi pemberontak tidak lain

adalah hukuman mati. Ijma’ ulama menunjukkan kebolehan menghukum mati

pemberontak karena merujuk pada perbuatan dua imam yaitu: Abu Bakar

menghukum orang yang enggan membayar zakat dan Ali bin Abi Thalib

menghukum mati orang yang menanggalkan ketaatannya.67

Namun menurut Abu Bakar al-Jabir dalam bukunya Minhaj al-muslim

menjelaskan, jika pemerintah mengirim utusan untuk memerangi kelompok

pelaku bughat maka tidak boleh menghabisinya (membunuhnya). Seperti misal

65 Ibnu Majah, Sunan II, h. 475.

66 Imam Abu Al-Husain Bin Al-Hujjaj Al-Husain Al-Qusyairi Al-Naisaburi, Shahih Muslim

II, h. 196.

67 Al-Imam Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Al-Habib Al-Mawardi, Hawi al-Kabir

XXII, (Beirut: Daar al-Fikr, 1994M/1414H), h. 101.

Page 50: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

41

menyerang dengan pesawat tempur, atau dengan meriam pengahancur, tetapi

diperangi dengan peperangan yang mematahkan kekuatan mereka dan memaksa

menyerahkan diri saja. Anak-anak dan perempuan mereka tidak boleh dibunuh,

serta harta mereka tidak boleh dirampas sesuai dengan ketentuan daar al-harbi,

daar al-‘ahdi dan daar al-Islam. Pelaku bughat yang terluka tidak boleh

dibunuh, dan siapa saja di antara mereka yang mundur dan lari dari perang juga

tidak boleh dibunuh. Ali Bin Abi Thalib berkata pada saat perang Jamal, “Orang

yang mundur dari perang sama sekali tidak boleh dibunuh, orang yang terluka

tidak boleh dibunuh, dan siapa saja yang menutup pintunya maka ia aman”.68

68 Asadullah al-Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor: Ghalia

Indonesia, 2009) h. 66.

Page 51: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

42

BAB III

PENCABUTAN HAK POLITIK

A. Tinjauan Umum Mengenai Hak Asasi Manusia dan Hak Politik

Istilah Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kamus hukum yang disusun oleh J.

C. T. Simorangkir, merupakan terjemahan dari istilah droits de'l homme (Perancis)

yang berarti Hak-hak Asasi Manusia, atau disebut Human Rights (Inggris),

Menselijke Rechter (Belanda). Di Indonesia, biasanya digunakan istilah hak-hak

asasi, yang berarti hak yang melekat pada martabat manusia yang melekat padanya

sebagai insan ciptaan Tuhan, atau hak-hak dasar yang prinsip sebagai anugerah

Ilahi.1

Menurut buku Teaching Human Right yang diterbitkan oleh Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB), HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia,

bila tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai orang yang cakap (recht

person). Seperti contohnya hak hidup, hal ini merupakan klaim untuk memperoleh

dan melakukan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup, karena

tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai manusia akan hilang.2

Senada dengan pernyataan di atas, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 1 secara eksplisit menjelaskan bahwa “Hak

Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan

manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya

yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,

pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

martabat manusia”.3

1 Najid Jauhar, Islam, Demokrasi dan HAM: Sebuah Benturan Filosofis dan Teologis,

(Yogyakarta: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, XI, 2007), h. 31.

2 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi,

Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h.

148.

3 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM), (Jakarta:

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2000), h. 2.

Page 52: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

43

Selain itu Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama

Islam juga memiliki cara pandang yang berbeda terhadap HAM yang diratifikasi

oleh Undang-undang melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Cara pandang tersebut didasari pada doktrin agama yakni syariat Islam. Penjelasan

dibawah akan sangat berkaitan erat dengan bagaimana cara Islam memandang hak

politik dalam perspektif syariat Islam. Selanjutnya HAM juga berbicara perihal hak

politik yang juga menjadi bagian dari HAM. Pertanyaannya adalah apa yang

dimaksud dengan hak politik? Mujar Ibnu Syarif dalam bukunya Hak-Hak Politik

Minoritas Non Muslim dalam Komunitas Islam memberikan pengertian bahwa hak

politik adalah hak-hak yang diperoleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai

seorang anggota organisasi politik, seperti hak memilih dan dipilih, mencalonkan

diri dan memegang jabatan umum dalam negara. Hak politik juga dapat

didefenisikan sebagai hak-hak dimana individu dapat memberi andil, melalui hak

tersebut, dalam mengelola masalah-masalah negara atau pemerintahnya.4

Oleh sebab itu penulis akan meneliti lebih dalam, teori serta informasi yang

penulis kumpulkan mengenai hak politik dari berbagai perspektif dalam bab ini,

untuk dapat menarik benang merah dari hak politik sebagaimana penjelasan di atas.

1. Hak Asasi Manusia dan Hak Politik Internasional

a. Sejarah DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/

Universal Declaration of Human Rights)

Ide tentang HAM yang berlaku saat ini merupakan senyawa yang

dimasak di kancah Perang Dunia II. Selama perang tersebut, dipandang

dari segi apa pun akan terlihat bahwa, satu aspek berbahaya dari

pemerintahan Hitler adalah tiadanya perhatian terhadap kehidupan dan

kebebasan manusia. Karenanya, perang melawan kekuatan poros dibela

dengan mudah dari segi perlindungan HAM dan kebebasan yang

mendasar. Negara sekutu menyatakan di dalam Deklarasi Perserikatan

Bangsa-Bangsa (Declaration by United Nation) yang terbit pada 1 Januari

4 Mujar Ibnu Syarif, Hak-Hak Politik Minoritas Non-Muslim Dalam Komunitas Islam,

(Bandung: Angkasa, 2003), h. 49.

Page 53: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

44

1942, bahwa kemenangan adalah penting untuk menjaga kehidupan,

kebebasan, independensi, serta mempertahankan HAM dan keadilan.5

Semangat tersebutlah yang akhirnya menggugah kebulatan tekad untuk

membangun organisasi internasional guna meminimalisir bahkan

menghilangkan peperangan dan berdirilah organisasi tersebut dengan

nama PBB (United Nation). Adapun peran pertama yang diemban oleh

PBB adalah memikul upaya pengentasan peperangan, penindasan serta

mengembalikan dan perlindungan HAM yang direbut dalam penjajahan

dan peperangan, tertulis pada Piagam PBB (1942-1943).6

Jika dilihat dari konteks sejarah, dapat ditegaskan bahwa gagasan

mengenai HAM merupakan ide buatan manusia yang muncul dari konsep

hak kodrati (natural rights theory) dimana pada zaman kuno yaitu filsafat

stoika hingga ke zaman modern dengan tulisan-tulisan hukum kodrati

Thomas Aquinas, Hugo de Groot dan selanjutnya pada zaman pasca

Renaisans John Locke mengajukan pemikiran tentang hukum kodrati

sehingga melandasi munculnya revolusi yang terjadi di Inggris, Amerika

Serikat dan Perancis pada abad 17 dan 18.7

Sebenarnya pada abad pertengahan, masalah HAM sudah mulai

mencuat di Inggris. Kala itu, pada tahun 1215 Masehi, ditandatangani

suatu perjanjian, Magna Charta, antara Raja John dari Inggris dan

sejumlah bangsawan. Raja John dipaksa mengakui beberapa hak dari para

bangsawan sebagai imbalan untuk dukungan mereka membiayai

penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan perang. Hak yang dijamin

mencakup hak politik dan sipil yang mendasar, seperti hak untuk diperiksa

5 Naskah “Declaration by United Nation” dikutip dari James W. Nickel, Hak Asasi

Manusia, Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia terj, (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 1996). h. 1.

6 James W. Nickel, Hak Asasi Manusia, Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak

Asasi Manusia terj. h. 2.

7 Rhona. K.M. Smith et. al. Hukum Hak Asasi Manusia, cet. 1. (Yogyakarta: PUSHAM UII,

2007), h. 12.

Page 54: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

45

di muka hakim (habeas corpus).8 Sekalipun pada awalnya hanya berlaku

pada bangsawan, hak-hak itu kemudian menjadi bagian dari sistem

konstitusi Inggris yang berlaku bagi semua warga negara.

Dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan HAM di barat tidak lain

adalah hasil perjuangan kelas sosial tertentu dalam masyarakat barat yang

menuntut tegaknya nilai-nilai dasar kebebasan dan persamaan dalam

sistem sosial. Karena dengan begitu, penghargaan terhadap individu lebih

dikedepankan dimana ia menjadi bagian dari proses pembentukan watak

manusia sehingga dapat diselaraskan dengan keberadaan manusia itu

sendiri yang relatif dipengaruhi oleh faktor sosial-budaya.9 Pandangan

seperti ini menganut paham antroposentris, dimana manusia dijadikan

ukuran terhadap gejala sesuatu dan sebagai sasaran akhir dari pelaksanaan

HAM.

b. Konfigurasi Internasional Mengenai Hak Politik: ICCRP

(International Covenant of Civil and Political Rights)

Usaha dalam mencapai kata sepakat mengenai kovenan Hak Sipil

dan Hak Politik mengalami kesukaran sebab implementasi hak tersebut

menyangkut masalah hukum internasional yang sangat rumit sifatnya,

seperti masalah kedudukan individu sebagai hukum internasional,

kedaulatan suatu negara, soal domestic yurisdiction. Pasal 2 Piagam PBB

menentukan bahwa badan itu tidak diperkenankan campur tangan dalam

hal-hal yang berkenaan dengan yurisdiksi domestik masing-masing

negara:

“Tiada dalam Piagam ini yang memberi wewenang kepada PBB

untuk campur tangan dalam hal-hal yang pada hakikatnya termasuk

yurisdiksi domestik setiap negara” (Nothing contained in the present

Charter shall authorize the UN to intervene in matters which are

essentially within the domestic jurisdiction of any state).

8 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007),

h. 212-213.

9 Dedi Sumardi, HAM Dalam Dua Tradisi: Refleksi Perbandingan HAM Barat dan Islam,

Jurnal Pascasarja IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Vol. 14, No. 1, h. 4.

Page 55: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

46

Pasal ini secara tidak langsung mengurangi bobot dari hak politik

karena dalam pelaksanaanya harus diperhatikan keadaan perundang-

undangan dalam negara masing-masing. Hak asasi yang dalam deklarasi

dirumuskan dengan gaya yang gamblang, seolah-olah tanpa batas,

dianggap perlu untuk dapat diberi batasan atau restriksi.10 Banyak negara

khawatir bahwa kebebasan tanpa batas dapat mengganggu stabilitas dalam

negeri dan menggerogoti wewenang sistem perundang-undangannya.

Maka dari itu, hak-hak perlu dirumuskan sedemikian rupa agar tidak

melanggar yurisdiksi domestik ini. Perdebatan mengenai masalah

“pembatasan” memerlukan waktu lama karena jika tidak dimasukkan

dalam rumusan Kovenan, banyak negara tidak akan meratifikasinya.

Pelaksanaan hak-hak politik secara khusus diberi pembatasan yaitu

perundang-undangan yang menyangkut ketertiban dan keamanan nasional

dalam negara masing-masing. Misalnya, dalam Kovenan Sipil dan Politik

ditentukan bahwa hak berkumpul secara damai terkena pembatasan yang

sesuai dengan Undang-undang nasional dan yang dalam masyarakat

demokratis diperlukan demi kepentingan keamanan nasional atau

keselamatan umum, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan

dan kesusilaan umum atau perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan-

kebebasan orang lain (Pasal 21). Hak atas kebebasan mempunyai dan

mengeluarkan pendapat dinyatakan terbatas oleh Undang-undang nasional

yang berlaku yang perlu untuk;

10 Restriksi merupakan sifat HAM yang artinya hak tersebut dapat dibatasi. Adapun

beberapa sifat hak asasi adalah sebagai berikut:

1.Hak asasai umumnya tidak terkena restriksi (batasan);

2.Hak asasi boleh direstriksi dalam keadaan darurat;

3.Ada hak asasi yang boleh direstriksi oleh Undang-Undang: Pasal 19 (mempunyai

pendapat), Pasal 21 (berkumpul secara damai), Pasal 22 (berserikat);

4.Ada hak asasi yang tidak boleh direstriksi dalam keadaan apapun (non-derogable): Pasal 6

(hak atas hidup), Pasal 7 (siksaan), Pasal 8 (anti perbudakan), Pasal 11 (anti pasang badan), Pasal

15 (non-retroaktif), Pasal 16 (pribadi atau person dihadapan hukum), Pasal 18 (berpikir,

berkeyakinan, beragama).

Page 56: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

47

a. Menghormati hak dan nama baik orang lain,

b. Menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau

kesehatan atau kesusilaan umum (Pasal 19).

Disamping itu Pasal 4 Kovenan Sipil dan Politik memberi

wewenang kepada negara-negara Pihak (contendinf parties) untuk dalam

keadaan darurat yang megancam kehidupan bangsa dan eksistensinya,

mengurangi kewajiban-kewajibannya menurut Kovenan ini. Akan tetapi

agar wewenang tersebut tidak disalahgunakan oleh pemerintah, kekuasaan

khusus itu pada gilirannya dibatasi oleh ketentuan bahwa ada beberapa hak

yang sama sekali tidak boleh dikurangi (derogate). Hak-hak ini antara lain

hak atas hidup (Pasal 6), hak atas kebebasan beragama (Pasal 18), dan hak

untuk tidak dinyatakan bersalah atas tindakan yang bukan merupakan

tindakan tindak pidana pada saat dilakukannya (asas non retroaktif atau

tidak berlaku surut) (Pasal 7). Hak-hak tersebut bersifat tidak boleh

dikurangi (non derogable).11

Hak Politik mencakup antara lain:

Pasal Isi

Pasal 9 Hak atas kebebasan dan kemanan dirinya – right to liberty

and security of person.

Pasal 14 Hak atas kesamaan di muka badan-badan peradilan – right to

equality before the court and tribunals.

Pasal 15 Hak untuk dikenal konsep retroaktif (kedaluwarsaan) (hak

non-derogable) – no one shall be held quilty of any criminal

office which did not costitute a crime at the time it was

commited.

Pasal 18 Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama

(hak non-derogable) – right to freedom of thought,

conscience and religion.

11 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 222.-224.

Page 57: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

48

Pasal 19 Hak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan

(hak yang dapat direstriksi) – right to hold opinions without

interference.

Pasal 21 Hak atas kebebasan berkumpul secara damai (hak yang dapat

direstriksi) – right to peaceful assembly.

Pasal 22 Hak atas kebebasan untuk berserikat (hak yang dapat

direstriksi) – right to freedom of association.

Negara-negara modern saat ini mulai mengakui adanya hak memilih

yang dimiliki oleh seluruh warga negara dengan alasan-alasan seperti

dikemukakan oleh A. Appadorai, yaitu sebagai berikut12:

1. It is a personal injustice to withold from any one, unless from the

prevention of greater evils, the ordinary privilege of having his voice

reckoned in the disposal of affairs in which he has the same interest

as other people;

2. Political equality is a basic principle of democracy; any form of

restricted franchise necessarily infringes the principle of equality

between individuals in some degree;

3. If the right to vote is denied to some, their interests may be

overloaded by the Legislature.

Menurut ICCPR, perwujudan dari hak politik yaitu dengan:

1. Kebebasan berekspresi, berpendapat serta akses kepada informasi;

2. Hak berpartisipasi dalam kehidupan budaya;

3. Hak berpartispasi dalam kehidupan publik dan politik.

12 Janedjri M. Gaffar. Demokrasi dan Pemilu di Indonesia. (Jakarta: Konstitusi Press,

2013), h. 42.

Page 58: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

49

2. Islam, Hak Asasi Manusia dan Hak Politik

a. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam

Dalam kacamata Islam, hak asasi telah ada sejak manusia dilahirkan

hingga meninggal dunia. Hak kodrati merupakan anugerah Tuhan yang

diberikan-Nya kepada semua umat manusia bersifat universal. Di satu sisi

keuniversalan hak asasi ini menganut ajaran, bahwa semua umat manusia

diciptakan Allah dengan kelengkapan seperangkat kapasitas berupa

potensi untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya13. Namun,

di samping itu manusia sebagai hamba Allah mempunyai beban tanggung

jawab dalam mengemban tugas-tugas yang telah diamanahkan kepadanya

selaku khalifah Allah di muka bumi.

ون د ب ع ي ل ل س إ ن ت الن وال ق ل ا خ (56 ت ري الذ ٱ) وم

Artinya: Dan tidaklah kami ciptakan jin dan manusia kecuali untuk

menyembah” (Q. S. Ad-dzariyat: 56).

Dalil diatas menerangkan bahwa manusia terlahir dengan hak dan

kewajibannya masing-masing, seimbang dengan adanya ada hak dan

kewajiban. Konsekuensi logis dari penjelasan ini, bahwa manusia

dihadapkan pada dua tanggung jawab, yaitu tanggung jawab menjalankan

amanah Allah selaku hamba-Nya dan sekaligus bertanggung jawab

sebagai penentu kebijakan dan pengatur kehidupan. Maka bila

disentesiskan, yang dimaksud dengan HAM dalam Islam adalah semua

hak yang melekat pada diri manusia yang dibawanya sejak lahir yang

secara kodrati ditetapkan Allah SWT dan wajib dijunjung tinggi, dipenuhi

dan dijaga, juga karena peruntukan berupa fasilitas hidup yang ada di dunia

ini termasuk hak memelihara dan memanfaatkan dunia ini.14

13 Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Dana Bhakti

Prima Yasa, 1996), h. 17.

14 Jahada, Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an, Jurnal Al-Adl, VI, Nomor 1, Januari

2013, h. 42.

Page 59: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

50

HAM sebagaimana yang dipahami sekarang, telah ada dan pernah

dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW selaku pemimpin Negara

Madinah. Pada masa awal Islam, hak-hak ini belum diberi nama HAM

sebab sebagaimana dikemukakan Abid al-Jabiri,15 HAM termasuk ke

dalam wilayah yang tidak terpikirkan, atau apa yang diistilahkan M.

Arkoun adalah bidang kajian untought. Artinya, konsepsi mengenai HAM

telah langsung dipraktekkan pada masa itu. Misalnya, perihal kebebasan

berkeyakinan dan menjalankan ritual ibadah, Islam memberikan

keleluasaan setiap umat manusia untuk berkeyakinan sesuai dengan

kepercayaan masing-masing individu dan memiliki hak untuk melakukan

ritual peribadatan. Hal ini senada dengan Firman Allah SWT dalam surat

al-Baqarah ayat ke 256:

ين ٱل إكراه ف لعروة ٱب ستمسك ٱف قد لل ٱوي ؤمن ب لطغوت ٱفمن يكفر ب لغي ٱمن لرشد ٱقد ت بي لد

قى ٱ ( ٢56) البقرة ليم سيع ع لل ٱلا و نفصام ٱل لوث

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);

sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.

Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman

kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali

yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi

Maha Mengetahui”. (Al-Baqarah: 256)

Dalil diatas dipertegas dengan surat al -Kafirun ayat 6:

(6)الكافرون لكم دينكم ول دين

Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku".

(Al-Kafirun: 6)

15 Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2001), h. 14.

Page 60: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

51

Sebagai jaminan perlindungan terhadap HAM, para ulama fiqh

merumuskan sebuah teori yang dikenal dengan maqashid syari’ah.16 Bagi

al-Syatibi, tujuan disyariatkan atau diundangkan hukum Islam adalah

untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.

Hadirnya konsep maqashid syari’ah dianggap sebagai nilai fundamental

sehingga sangat memungkingkan terpeliharanya hak-hak asasi dalam

konteks perubahan sosial demi terwujudnya kemaslahatan.17 Maqashid

syari’ah menekankan terpeliharanya lima aspek jaminan hidup manusia

(al-kulliyyat al-khams), yaitu memelihara agama, akal, jiwa, keturunan

dan memelihara harta, Dalam upaya mewujudkan dan memelihara 5 unsur

pokok itu, Maqashid Syarî’ah dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: al-

daruriyyat al-hajiyyat dan al-tahsiniyyat.18 Daruriyyat dimaksudkan

untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia tersebut di

atas. Hajiyyat dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau

menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik

lagi. Sedangkan Tahsiniyyat dimaksudkan agar manusia dapat melakukan

yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan terhadap lima unsur

pokok itu.

Pengelompokkan ini didasarkan pada tingkat kepentingannya dan

skala prioritasnya. Urutan peringkat ini akan terlihat kepentingannya

16 Al-Syatibi mencatat bahwa tujuan Allah SWT. mensyariatkan hukum-Nya untuk

memelihara maslahah bagi manusia sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun

di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif (pembebanan), yang pelaksanaannya

sangat tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, Alquran dan Hadis. Dalam rangka

mewujudkan maslahah di dunia dan di akhirat, ada lima unsur pokok (al-kulliyyat al-khams) yang

harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima unsur pokok tersebut ialah: agama, jiwa, akal, keturunan,

dan harta. Seseorang akan memperoleh maslahah manakala ia dapat memelihara kelima unsur

pokok itu. Sebaliknya, ia akan merasakan adanya mafsadah manakala ia tidak dapat memelihara

kelima unsur pokok itu dengan baik. Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-

Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), Juz I, h. 5.

17 Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Penerjemah

Yudian W Asmin, (Surabaya: al-Ikhlas, 1995), h. 24.

18 Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub

al-‘Ilmiyyah, t.th.), Juz II, h. 8.

Page 61: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

52

manakala maslahah yang ada pada masing-masing peringkat itu satu sama

lain bertentangan. Dalam hal ini peringkat daruriyyat menempati urutan

pertama, disusul oleh peringkat hajiyyat, kemudian diikuti oleh peringkat

tahsiniyyat. Namun, dari sisi lain dapat dilihat bahwa peringkat tahsiniyyat

melengkapi peringkat hajiyyat, dan peringkat hajiyyat melengkapi

peringkat daruriyyat. Terlihat jelas, tingkat hajiyyat adalah penyempurna

tingkat daruriyyat; dan tingkat tahsiniyyat merupakan penyempurna lagi

bagi tingkat hajiyyat; sedang daruriyyat menjadi pokok hajiyyat dan

tahsiniyyat. Kategorisasi ketiga macam maqashid itu menunjukkan betapa

pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok itu dalam kehidupan manusia.

Kategorisasi ini mengacu bukan hanya kepada pemeliharaan lima unsur

pokok, tetapi juga kepada pengembangan dan dinamika pemahaman

hukum yang ditetapkan oleh Tuhan dalam rangka mewujudkan maslahah

bagi umat manusia.

Tidak terwujudnya aspek daruriyyat dapat merusak kehidupan

manusia di dunia dan di akhirat secara keseluruhan. Pengabaian terhadap

aspek hajiyyat tidak sampai merusak keberadaan lima unsur pokok, tetapi

hanya membawa kepada kesulitan bagi manusia sebagai mukalaf dalam

merealisasikannya. Pengabaian aspek tahsiniyyat membawa upaya

pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna.

Muhammad Tahir ibn ‘Asyur menjelaskan bahwa maslahah itu

dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu maslahah ‘ammah dan

maslahah khassah. Adapun maslahah ‘ammah adalah sesuatu yang

mengandung kebaikan bagi keseluruhan atau mayoritas umat manusia,

tanpa mengacu kepada individu perindividu. Adapun maslahah khassah

adalah sesuatu yang mengandung kebaikan bagi individu per individu,

hanya dengna itu akan terwujud kebaikan bagi keseluruhan atau mayoritas

umat manusia.19

19 Muhammad Tahir Ibn ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al-

Salâm, 1427 H/2006 M, h. 63.

Page 62: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

53

Muhammad Tahir ibn ‘Asyur mencatat bahwa untuk menentukan

sesuatu itu maslahah atau tidak, harus terpenuhi salah satu dari lima hal:

1. Kemanfaatan atau kemudaratan itu benar-benar nyata dan

meluas;

2. Kemanfaatan atau kemudaratan itu nampak nyata;

3. Ketidakmungkinan memilah kemanfaatan yang terwujud dengan

keburukan yang juga terwujud;

4. Adanya unsur penguat bagi satu dari dua kemanfaatan atau

kemudaratan yang saling setara;

5. Adanya satu yang tegas dan nyata dari dua kemanfaatan atau

kemudaratan yang ada.20

Yang dimaksud dengan memelihara kelompok daruriyyat ialah

memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan

manusia. Kebutuhan yang esensial itu ialah memelihara agama, jiwa, akal,

keturunan, dan harta, dalam batas tidak terancamnya eksistensi kelima

unsur pokok itu. Tidak terpenuhinya atau tidak terpeliharanya kebutuhan-

kebutuhan itu akan berakibat terancamnya eksistensi kelima unsur pokok

di atas. Sedangkan kebutuhan dalam kelompok hajiyyat tidak termasuk

kebutuhan yang esensial, tetapi termasuk kebutuhan yang dapat

menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak

terpenuhinya atau tidak terpeliharanya kelompok kebutuhan ini tidak akan

mengancam eksistensi kelima unsur pokok di atas, tetapi hanya akan

menimbulkan kesulitan bagi mukalaf. Kelompok kebutuhan ini erat

kaitannya dengan rukhsah atau keringanan (dispensasi) yang ditetapkan

syariat Islam. Sementara kebutuhan dalam kelompok tahsiniyyat ialah

kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam

masyarakat dan di hadapan Tuhannya, sesuai dengan kepatutan.

Pada hakikatnya, baik kelompok daruriyyat, hajiyyat, maupun

tahsiniyyat dimaksudkan untuk memelihara atau mewujudkan kelima

20 Muhammad Tahir Ibn ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, h. 65-66.

Page 63: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

54

unsur pokok di atas. Hanya saja peringkat kepentingannya berbeda satu

sama lain. Kebutuhan dalam kelompok daruriyyat dapat dikatakan sebagai

kebutuhan primer, yang kalau kelima unsur pokok itu diabaikan maka akan

berakibat terancamnya eksistensi kelima unsur pokok itu. Kebutuhan

dalam kelompok hajiyyat dapat dikatakan sebagai kebutuhan sekunder.

Artinya, kalau kelima pokok itu diabaikan maka tidak akan mengancam

eksistensinya, tetapi akan mempersulit dan mempersempit kehidupan

manusia. Sedangkan kebutuhan dalam kelompok tahsiniyyat erat

kaitannya dengan upaya untuk mematuhi etiket sesuai dengan kepatutan,

dan tidak akan mempersulit, apalagi mengancam, eksistensi kelima unsur

pokok itu. Maka, dapat dikatakan bahwa kebutuhan dalam kelompok

tahsiniyyat lebih bersifat komplementer (pelengkap).

Mengetahui urutan peringkat maslahah di atas menjadi penting

apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya ketika

maslahah yang satu berbenturan dengan maslahah yang lain. Dalam hal

ini, peringkat pertama (daruriyyat), harus didahulukan dari pada peringkat

kedua (hajiyyat) dan peringkat ketiga (tahsiniyyat). Ketentuan ini

menunjukkan bahwa dibenarkan mengabaikan hal-hal yang termasuk

peringkat kedua dan ketiga manakala maslahah yang masuk peringkat

pertama terancam eksistensinya.

Keadaan di atas hanya terbatas pada yang berbeda peringkat.

Adapun dalam kasus yang peringkatnya sama, seperti peringkat daruriyyat

dengan peringkat daruriyyat, dan seterusnya, maka kemungkinan

penyelesaiannya adalah sebagai berikut:

a. Jika perbenturan itu terjadi dalam urutan yang berbeda dari lima

pokok maslahah tersebut maka skala prioritas didasarkan pada

urutan yang sudah baku, yakni agama harus didahulukan daripada

jiwa, dan jiwa harus didahulukan daripada akal, dan begitu

seterusnya. Tegasnya, urutan kelima unsur pokok maslahah itu

sudah dianggap baku dan mempunyai pengaruh atau akibat

tersendiri.

Page 64: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

55

b. Jika perbenturan itu terjadi dalam peringkat dan urutan yang

sama, seperti sama-sama memelihara harta atau memelihara jiwa

dalam peringkat daruriyyat, maka mujtahid berkewajiban untuk

meneliti dari segi cakupan maslahah itu sendiri atau adanya

faktor lain yang menguatkan salah satu maslahah yang harus

didahulukan.21

Selain dalam maqashid syari’ah, ada nomenklatur HAM yang

diratifikasi oleh negara-negara Islam pada tahun 1993 (Deklarasi Kairo).

Dokumen ini penting dan menjadi dasar berkenaan dengan HAM dalam

Islam. Kunci dari ratifikasi nomenklatur kontemporer mengenai HAM dalam

Islam ini terdapat pada Deklarasi Madinah.22 Deklarasi ini menjadi dasar

DUHAM dalam Islam yakni Deklarasi Kairo.

Deklarasi ini membawa misi mengenai HAM yang lebih sesuai

dengan ketentuan Al-Quran dan Hadist. Piagam Madinah sebagai salah

satu sumber rujukan dan semnagat pembentukan Deklarasi Kairo

merupakan konstitusi yang berfungsi menjadi dasar hidup bersama yang

disepakati masyarakat Madinah yang heterogen di bawah kepemimpinan

Nabi Muhammad SAW pada paruh akhir tahun 1 Hijriyah. Sementara

Deklarasi Kairo merupakan common platform yang disepakati negara-

negara muslim anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun

1993. Piagam Madinah dan Deklarasi Kairo mengandung prinsip-prinsip

HAM dan punya relevansi dengan universalitas HAM. Prinsip- prinsip

HAM yang dikandung oleh Piagam Madinah dan punya relevansi dengan

universalitas HAM, ialah: (1) Hak atas kebebasan beragama; (2) Hak atas

21 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos

Wacana Ilmu, 1997), h. 40-47.

22 Deklarasi Madinah ini disusun oleh Nabi Muhammad SAW untuk masyarakat Madinah.

Pada zamannya dokumen ini penting untuk mengatur, bagaimanakah masyarakat Madinah harus

hidup. Ada berbagagai suku bangsa, agama serta budaya di Madinah. Masyarakat yang plural itu

diatur dengan terstruktur oleh Nabi Muhammad SAW, dan dapat berjalan dengan baik. Hubungan

antar umat beragama sangat ideal, tiada diskriminasi dan semuanya berjalan dengan semangat

egaliter, Martino Sardi, Mengenal Deklarasi Kairo (Yogyakarta: Pusat Internasional Pengembangan

Hak Asasi Manusia, 2005), h. 3.

Page 65: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

56

persamaan di hadapan hukum; (3) Hak untuk hidup; dan (4) Hak

memperoleh keadilan. Adapun prinsip-prinsip HAM yang dikandung oleh

Deklarasi Kairo dan punya relevansi dengan universalitas HAM, ialah: (1)

Landasan Dasar HAM, (2) Hak untuk hidup, (3) Hak berkeluarga dan

melanjutkan keturunan, (4) Hak atas pendidikan, (5) Hak atas kebebasan

berpendapat, (6) Hak memperoleh keadilan, (7) Hak atas kebebasan

beragama, (8) Hak atas kemerdekaan diri, (9) Hak atas kebebasan

berdomisili dan bermigrasi, (10) Hak memperoleh suaka negara lain, (11)

Hak atas rasa aman, (12) Hak atas kesejahteraan, (13) Hak atas

kepemilikan, (14) Hak turut serta dalam pemerintahan, (15) Hak

perempuan, dan (16) Hak anak.23

Sudah saatnya, dokumen ini menjadi fokus penting dan adanya

gerakan untuk memperkenalkannya. Deklarasi Kairo bukan hanya

menjadi dokumen penting saja, tetapi harus mampu unrtuk menumbuhkan

budaya baru, yakni membangun budaya HAM dalam Islam.

Dokumen ini bagaikan menindaklanjuti deklarasi universal HAM

dalam Islam (1981) dan semakin praktis. Dokumen Deklarasi Kairo

disahkan dalam pertemuan internasional negara-negara Islam di Kairo

tahun 1991 oleh para menteri luar negri. Para menteri luar negri menyadari

betapa penting dan mendesaknya memperbaharui dokumen mengenai

HAM yang lebih Islami, praktis, aplikatif dan cocok dengan dunia Islam.

Oleh karena itu Deklarasi Kairo ini menggunakan dua prinsip penting:

Pasal 24

“Semua hak-hak dan pernyataan kebebasan yang ditetapkan dalam

Deklarasi ini adalah sesuai dengan syariat Islam”,

Pasal 25

”Syariat Islam adalah satu-satunya sumber acuan untuk penjelasan

atau uraian pasal-pasal dalam Deklarasi ini”.

23 Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum. Syariah, Hukum Islam dan HAM. (Ciputat:

UIN Jakarta Press. 2015). h. 71-72.

Page 66: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

57

Dengan dua prinsip ini, sangatlah mendesak dunia Islam untuk

mengenal, mendalami, mempromosikan dan mengimplementasikannya

dalam kehidupan bermasyarakat.24

b. Hak Politik dalam Islam

Pada dasarnya Islam mengatur hak politik setiap manusia yang hidup

dalam lingkup sosial. Hal ini dikemukakan oleh Abu al-A’la al-Madudi

didalam tulisannya mengenai hak politik warga negara. Al-Maududi

berpendapat ada beberapa hak yang dimiliki warga negara dalam

kehidupan bernegara termasuk dalam berpolitik di antaranya:

1. Hak untuk Menentang Tirani

Diantara hak-hal yang diberikan Islam kepada ummat manusia

termasuk diantaranya hak untuk menentang pemerintahan tiran.

Sebagaimana firman Allah:

ا يم ل ا ع ع ي س ان الل م وك ل ن ظ ل م ول إ ق ل ن ا وء م لس ر ب له ا ل يب الل

لنساء (148)ا

Artinya: “Allah tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan

secara terang-terangan kecuali dilakukan oleh orang yang

terzalimi”. (Q. S. An-Nisa: 148)

Hak ini tidak terbatas kepada individu. Kalimat pada ayat diatas

mempunyai daya berlaku umum. Apabila seorang individu atau

sekelompok rakyat atau partai merebut kekuasaan dan, setelah

memegang kendali kekuasaan, mulai menganiaya individu-individu

atau kelompok-kelompok orang atau seluruh penduduk negeri, maka

suara protes yang dikemukakan adalah hak ini dapat disamakan

dengan menentang Tuhan. Mungkin peraturan perundang-undangan

24 Martinus Sardi, Mengenal Deklarasi Kairo, h. 4.

Page 67: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

58

dapat melanggengkan perbuatan zalim ini dan selamat di dunia, tapi

hal tersebut tidak di hari pembalasan.25

2. Kebebasan Mengeluarkan Pendapat

Islam memberikan hak kebebasan berpikir dan mengeluarkan

pendapat kepada seluruh warga negara Islam dengan syarat bahwa

hak itu digunakan untuk menyebarkan kebaikan dan bukan untuk

menyebar keburukan. Memang hak untuk kebebasan mengeluarkan

pendapat guna menyebarkan kebaikan dan kebajikan bukan hanya

semata-mata hak, tetapi suatu kewajiban. Siapapun yang berusaha

menyangkal hak ini terhadap rakyatnya secara terang-terangan

menentang Tuhan Yang Maha Kuasa.

Hak itu sama dengan hak dan kewajiban terhadap individu

untuk berusaha menghentikan kejahatan, baik kejahatan ini

dilakukan oleh individu atau kelompok orang atau pemerintah salah

satu negara atau pemerintah negara lain. Terhadap hal ini ia harus

mengutuk kejahatan secara terbuka dan menunjukkan kepada jalan

moral yang benar yang harus dilakukan.

Al-Qur’an telah menjelaskan kualitas ketakwaan dalam surat at-

Taubah, ayat 17, dengan kata-kata berikut: “Mereka menganjurkan

perbuatan yang baik dan melarang perbuatan yang mungkar”.

Sebaliknya menjelaskan kualitas munafik Al-Qur’an mengatakan:

“Mereka menyuruh perbuatan mungkar dan melarang perbuatan

baik” (At-Taubah (9) :67). Tujuan utama suatu pemerintah Islam

telah ditentukan oleh Tuhan dalam Al-Qur’an surat al-Hajj, ayat 41:

“Jika Kami beri kekuasaan kepada orang-orang ini di bumi mereka

mengerjakan sholat dan menunaikan zakat, menyuruh berbuat

kebaikan, melarang berbuat kemungkaran”. Rasul mengatakan:

“Apabila ada seseorang diantara kalian menyaksikan perbuatan

tercela, maka ia harus merubah dengan tangannya, apabila ia tidak

25 Abu al A’la al Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam (terj), Bambang Iriana

Djaja Atmaja, (Jakarta: Bina Aksara, 2000), h. 31.

Page 68: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

59

mampu maka dengan lidahnya, apabila tidak mampu maka dengan

hatinya, dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman”. Setiap

pemerintah yang menghilangkan hak ini dari warga negaranya

secara tidak langsung telah menentang perintah Allah SWT.

Pemerintah demikian memang tidak bertentangan dengan rakyatnya,

tetapi dengan Allah. Pemerintah itu berusaha untuk mencabut hak

rakyatnya yang diberikan olen Tuhan yang bukan saja berupa hak

berikut juga suatu kewajiban.26

3. Kebebasan Berserikat

Islam juga telah memberikan hak kepada rakyat untuk bebas

berserikat dan membentuk partai atau organisasi. Hak ini tunduk

kepada aturan-aturan umum tertentu. Hak ini harus dilaksanakan

untuk menyebarkan kebaikan dan kebenaran dan bukan untuk

menyebarkan kejahatan dan kekacauan. Kita bukan saja telah

diberikan hak untuk menyebarkan kebenaran dan kebaikan, kitapun

telah diperintahkan untuk melaksanakannya. Dengan ditujukan

kepada kaum Muslim, sebagaimana Firman Allah SWT: “Kamu

adalah umat pilihan yang telah dilahirkan untuk seluruh umat

manusia. Kemu menyuruh berbuat kebaikan dan melarang

kemungkaran serta beriman kepada Allah” (Ali Imran (3): 110).

Ini berarti bahwa merupakan kewajiban seluruh umat Islam

untuk mencegah kemungkaran. Namun bila umat Islam tidak

melaksanakan tugas ini maka “Hendaklah ada di antara kalian,

segolongan umat penyebar dakwah untuk mengerjakan kebaikan,

menyuruh berbuat kebaikan dan melarang berbuat mungkar.

Merekalah orang-orang yang beruntung” (Ali Imran (3): 104). Ini

jelas menunjukkan bahwa apabila masyarakat semuanya mulai

26 Abu al A’la al Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam, h. 31.

Page 69: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

60

melalaikan kewajiban-kewajibannya, maka mutlak minimal ada

sekelompok masyarakat yang bersedia melaksanakannya.27

4. Persamaan Kedudukan di Hadapan Hukum

Islam mensyariatkan bahwa seseorang memiliki kedudukan

yang sama di hadapan hukum. Rasulullah SAW bersabda

“Perlindungan yang diberikan oleh seorang muslim adalah sama,

pun seseorang biasa dari mereka dapat memberikan perlindungan

kepada orang lain”. (H.R. Bukhari, Abu Daud, Muslim) selain itu

dalam sebuah riwayat persamaan dihadapan hukum lainnya

Rasulullah sampaikan bahwa sekalipun anaknya yang mencuri dia

akan memberi hukuman yang sama dengan muslim lainnya.

Persamaan ini sebagaimana firman Allah SWT surat al-Hujarat, ayat

13 “ Hai manusia sesungguhnya kamu dari seorang laki-laki dan

perempuan dan kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-

bangsa untuk saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling

mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa

diantara kamu, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha

mengenal”. Persamaan dihadapan hukum juga tertulis di dalam Al-

Qur’an surat al-Maidah, ayat 8 : “ Hai orang-orang yang beriman

hendaklah kamu menjjadi orang-orang yang selalu menegakkan

kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil dan janganlah

sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu

untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil lah karena adil itu lebih dekat

kepada takwa, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah

maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.28

Dalam skema hak politik persamaan kedudukan di hadapan

hukum tidak hanya melibatkan muslim saja akan tetapi begitu juga

dengan non muslim. Dalam sebuah negara Islam, Imam Ali Ra

27 Abu al A’la al Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam, h. 32.

28 Abu al A’la al Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam, h. 36.

Page 70: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

61

pernah berkata “Mereka telah menerima perlindungan kita semata-

mata karena hidup mereka mungkin sebagaimana hidup kita dan

milik mereka sebagaimana milik kita” (Abu Daud). Dengan kata

lain, bahwa kehidupan dan harta benda mereka (non-muslim) sama

halnya dengan muslim, diskriminasi yang didasarkan atas golongan

adalah suatu kejahatan yang besar menurut Al-Qur’an sebagimana

yang telah dilakukan oleh Fir’aun.

5. Hak Untuk Ikut Serta Dalam Urusan Negara

Menurut Islam, pemerintah adalah wakil (khalifah) dari yang

maha pencipta, tanggungjawab ini tidak hanya dipercayakan oleh

individu atau kelompok-kelompok tertentu melaikan seluruh

masyarakat. Allah SWT berfirman dalam Qur’an, surat An-nur (24):

55: “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan

yang berbuat baik bahwa dia akan diangkat sebagi wakil Allah

dimuka bumi”.

Adapun metode yang dianjurkan untuk menjalankan

prosesnya adalah dengan musyawarah sebagaimana dalam Al-

Qur’an surat as-Syura, ayat 38. Prinsip ini merupakan hak setiap

muslim untuk menjadi pemilih atau yang dipilih agar dapat ikut serta

dalam menjalankan dalam urusan negara.29

Seorang muslim memiliki dua hak dalam proses politik yakni

hak untuk memilih dan hak untuk dipilih. Setiap warga negara

memiliki hak untuk memilih sebagai penyambung lidah dalam

menyampaikan aspirasi serta menjadi pelayan dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Selanjutnya selain hak memilih seseorang

juga memiliki hak untuk dipilih sebagi perwakilan masyarakat untuk

menduduki suatu jabatan dan menjadi pelayan masyarakat. Adapun

kedua hak tersebut terelaborasi dalam prinsip musyawarah

29 Abu al A’la al Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam, h. 39.

Page 71: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

62

sebagaimana yang disyariatkan dalam Islam. Prinsip tersebut sangat

relevan dengan sistem demokrasi yang terjadi di era modern ini.30

Dalam keadaan apapun Islam tidak membolehkan individu

atau komunal mencabut hak-hak sebagian besar muslim dan merebut

kekuasaan negara, juga Islam tidak membenarkan praktik

kecurangan, Korupsi, Kolusi, Nepotisme, genosida, pernyataan

palsu untuk menduduki suatu pemerintahan. Tindakan ini

merupakan pengkhianatan terhadap rakyat dan hak-haknya yang

dirampas secara ilegal juga merupakan perbuatan dosa dihadapan

Allah SWT.31

c. Sanksi Pencabutan Hak Politik dalam Hukum Pidana Islam

Sanksi pencabutan hak politik merupakan hal yang baru dalam hukum

pidana Islam. Bukan berarti segala hal yang baru dalam hukum Islam tidak

ada hukum yang menaunginya terlebih kepada sanksi pencabutan hak

politik. Dalam hukum pidana Islam sanksi yang menyangkut tindak pidana

kriminal terbagi atas tiga yaitu; jarimah hudud, jarimah kisas dan jarimah

takzir. Sementara itu penulis menyimpulkan bahwa sanksi pencabutan hak

politik dimasukkan dalam kategori jarimah takzir berdasarkan penjelasan

berikut.

Secara bahasa kata takzir berasal dari lafaz azzara yang berarti

menolak, mencegah, dan juga bisa bermakna mendidik, mengagungkan

dan menghormati, membantunya, menguatkan, dan menolong.32 Secara

terminologis takzir ialah bentuk hukuman yang tidak disebutkan

ketentuan kadar hukumnya oleh syara‟ serta menjadi kekuasaan

30 Subhi Mahmassani. Konsep Dasar Hak-hak Asasi Mnusia. (Jakarta: Tinta Mas

Indonesia, 1993), h.63-65.

31 Abu al A’la al Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam, h. 39-40.

32 Ahmad Wardhi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika 2005), h. 248.

Page 72: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

63

waliyyul amri atau hakim.33 Menurut Al-Mawardi, takzir didefinisikan

sebagai berikut:

“Takzir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa

yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara”.

Sebagian ulama mengartikan takzir sebagai hukuman yang berkaitan

dengan pelanggaran terhadap hak Allah dan hak hamba yang tidak

ditentukan oleh Al-Qur’an dan Hadist. Takzir berfungsi memberikan

pengajaran kepada pelaku dan sekaligus mencegah untuk tidak

mengulangi perbuatannya.34

Ulama sepakat menetapkan bahwa takzir semua kejahatan yang tidak

diancam dengan hukuman hudud dan bukan pula termasuk jenis jinayat.

Hukuman takzir diterapkan pada dua kejahatan, yaitu kejahatan

meninggalkan kewajiban atau kejahatan melanggar larangan.35 Adapun

ciri-ciri tindak pidana takzir yaitu: landasan dan ketentuan hukumnya

didasarkan pada ijma, mencakup semua bentuk kejahatan/ kemaksiatan

selain hudud dan qishash, takzir terjadi pada kasus-kasus yang belum

ditetapkan ukuran sanksinya oleh syara’. Meskipun jenis sanksinya telah

tersedia, hukumannya ditetpkan oleh penguasa atau qadhi (hakim), dan

di dasari pada ketentuan umum syariat Islam dan kepentingan keseluruhan.

Selain hukuman pokok, pelaku jarimah takzir dapat dikenai hukuman

tambahan yakni berupa: peringatan keras dan dihadirkan dihadapan

sidang, dicela, dikucilkan, di nasehati, dipecat dari jabatannya, dan

diumumkan kesalahannya Hukuman takzir dilihat dari hak yang dilanggar

jarimah takzir dapat dibagi kepada dua bagian yaitu, Pertama Jarimah takzir

yang menyinggung hak Allah. Kedua Jarimah takzir yang menyinggung

33 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 151.

34 Rahmad Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung: CV Pustaka Setia,

2000), h. 141.

35 Asadulloh Al Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Ghalia

Indonesia 2009), h. 54. Cet I.

Page 73: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

64

hak individu. Sedangkan jika dilihat dari segi sifatnya dapat dibagi kepada

tiga bagian yaitu:36

a. Takzir karena melakukan perbuatan maksiat;

b. Takzir yang melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan

umum;

c. Takzir karena melakukan pelanggaran.

Disamping itu, dilihat dari segi hukum (penetapannya), takzir juga

dapat dibagi kepada tiga bagian yaitu, Pertama, jarimah takzir yang

berasal dari jarimah-jarimah hudud atau kisas, tetapi syarat-syaratnya

tidak terpenuhi, atau ada syubhat seperti pencurian tidak mencapai

nishab, atau oleh keluarga. Kedua, jarimah takzir yang jenisnya

disebutkan dalam nash syara‟ tetapi hukumannya belum ditetapkan

seperti riba, suap, dan mengurangi takaran dan timbangan. Ketiga,

jarimah takzir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh

syara’, jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti

pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.37

3. Hak Politik dalam Perundang-Undangan HAM di Indonesia

a. Instrumen HAM di Indonesia

Konstitusi atau Undang-Undang Dasar sebagai pemberi pegangan

dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus

dijalankan. Apabila mempelajari konstitusi yang berlaku di setiap negara,

didalamnya secara umum selalu terdapat 3 (tiga) kelompok muatan, yaitu:

1. Pengaturan tentang jaminan dan perlindungan terhadap HAM.

2. Pengaturan tentang susunan ketatanegaraan yang bersifat

mendasar.

36 Ahmad Wardhi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 225.

37 Ahmad Wardhi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 225

Page 74: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

65

3. Pengaturan tentang pembagian dan pembatasan tugas-tugas

ketatanegaraan yang bersifat mendasar.38

Apabila dilakukan pengkajian hubungan antara hukum dan politik,

setidaknya ada tiga macam jawaban yang dapat memberikan penjelasan,

yaitu: Pertama, hukum determinan atas politik yang diartikan bahwa

kegiatan kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan

hukum. Kedua, politik determinan atas hukum. Karena hukum merupakan

hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling

berinteraksi dan (bahkan) saling bersaing. Ketiga, politik dan hukum

sebagai subsistem kemasyarakatan yang berada pada posisi sederajat

dengan determinasi seimbang antara yang satu dengan yang lain. Ketika

hukum muncul, semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan

hukum, meskipun hukum merupakan produk keputusan politik.39

Pembahasan mengenai HAM dalam ranah hukum positif mengarah

pada bagaimana negara sebagai institusi formal memberi ruang

perlindungan HAM pada masyarakatnya agar tidak terenggut. Salah satu

instrumen perlindungan terhadap HAM adalah melalui hukum. Maka

dapat dikatakan, tanpa adanya hukum yang berlaku dan diberlakukan,

HAM tidak ubahnya hanya bualan atau formalitas semata. Sebab melalui

hukum, permbatasan yuridis terhadap kekuasaan negara dapat dilakukan.

Di sinilah konstitusi dijadikan sebagai perwujudan tertinggi yang harus

dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah, sesuai dengan dalil,

government by laws, not by man (pemerintah berdasarkan hukum bukan

berdasarkan manusia).40

38 Yulia Netta. Partisipasi Masyarakat dalam Penegakan Hak Asasi Manusia, (Fakultas

Hukum Universitas Lampung: Monograf; Negara Hukum Kesejahteraan, I. PKKPUU, 2013), h.

50.

39 Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia. (Jakarta: LP3ES, 1998). h. 8.

40 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 57.

Page 75: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

66

Namun perlu untuk ditegaskan, bahwa disebutkannya hukum (dalam

artian hukum yang dibuat oleh negara) sebagai instrumen pelindung HAM,

sebab keduanya merupakan dua hal yang sumber dan muaranya berbeda.

HAM sebagaimana diungkapkan oleh John Austin, adalah hak kodrati.

Bahwa seluruh individu telah dikaruniai oleh alam berupa hak yang

inheren atas kehidupan, kebebasan, dan harta yang merupakan milik

mereka dan tidak dapat dicabut oleh negara. Melalui suatu kontrak sosial,

penggunaan hak mereka yang tidak dapat dicabut itu diserahkan kepada

penguasa, apabila penguasa memutuskan kontrak sosial itu dengan

melanggar hak-hak kodrati individu, rakyat dapat menggantikannya

dengan penguasa yang mampu menghormati hak-hak tersebut.

Gagasan ini ditentang oleh Jeremy Bentham, bagi Bentham teori hak

kodrati itu tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya. Hak

menurutnya adalah anak kandung hukum, dari fungsi hukum lahirlah hak.

Kritik Bentham mendapat dukungan dari kaum positivistik seperti yang

dikembangkan oleh John Austin bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat

diturunkan dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah

perintah dari negara yang berdaulat. Ia tidak datang dari alam atau moral,

melainkan dari negara.41

Bila perdebatan ini ditelaah pada konteks negara Indonesia, kiranya

pernyataan Moh. Hatta pada waktu sidang BPUPKI dapat memberi

jawaban. Menurutnya, “walaupun yang dibentuk itu negara kekeluargaan,

tetapi masih perlu ditetapkan beberapa hak dari warga negara agar jangan

sampai timbul negara kekuasaan” (machsstaat atau negara penindas).42

Pernyataan yang disampaikan pada sidang BPUPKI ini menyuratkan

bahwa hak asasi itu melekat secara alami dan kodrati kepada individu.

41 Retno Kusniati, Sejarah Perlindungan Hak Hak Asasi Manusia dalam Kaitannya dengan

Konsepsi Negara Hukum, Makalah disampaikan pada Bimbingan Teknis HAM Kantor Wilayah

Kementrian Hukum dan HAM Jambi di Hotel Ceria Jambi, Tanggal 24 Mei 2011, h. 34.

42 Yeni Handayani, Penhgaturan Hak Asasi Manusia Dalam Konstiusi Indonesia dan

Konstitusi Amerika, Jurnal Rechtsvinding Online, h. 2.

Page 76: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

67

Hanya bagaimana negara melalui instrumen hukumnya memberi

perlindungan terhadap hak atas individu tersebut.

Sejak negara Indonesia diproklamirkan menjadi negara merdeka,

para pendiri sepakat bahwa negara Indonesia berlandaskan pada konstitusi

yang diartikan sebagai hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis

(termasuk adat dan kebiasaan dalam masyarakat yang mengikat) yang

substansinya mencerminkan pernghormatan terhadap HAM. Undang-

Undang Dasar ialah piagam tertulis yang sengaja diadakan dan memuat

segala apa yang dianggap oleh pembuatnya menjadi asas fundamental atas

hukum dari negara.

Sebagai asas fundamental negara Indonesia, Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) lebih dahulu

terumuskan daripada DUHAM, sebab pembukaan UUD 1945 dan pasal-

pasalnya diundangkan pada tanggal 18 Agustus 1945, sementara Deklarasi

PBB pada tahun 1948. Hal ini merupakan fakta bahwa bangsa Indonesia

sebelum tercapainya DUHAM yang merupakan deklarasi HAM sedunia

oleh PBB, telah mengangkat dan melindunginya dalam kehidupan

bernegara.

Pada masa Orde Lama, rumusan Pasal 27 sampai 31 UUD 1945,

yang mencakup bidang politik, ekonomi sosial dan budaya, hanya berisi

dalam konteks yang terbatas. Hal ini dapat dimaklumi sebab melihat

kondisi pada saat itu, tergolong genting. Sebab pada waktu yang

bersamaan, Jepang masih membayangi penjajahannya, ditambah lagi

acuan DUHAM belum dicetuskan. Pada saat perumusan Undang-Undang

Dasar 1949-1950, telah banyak dimasukkan beberapa segmen yang

sebelumnya dirumuskan oleh PBB. Karena itu, menurut Miriam

Budiardjo, ini adalah fase dimana HAM mendekati kesempurnaan.

Hanya saja, pada era demokrasi terpimpin masa Orde Baru, perilaku

pemerintah cenderung hegemonic, menyatakan pendapat dibatasi, surat

kabar banyak dibungkam, dan partai politik dibubarkan. Meskipun

sebenarnya, sempat dimunculkan wacana agar adanya penambahan jumlah

Page 77: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

68

hak asasi melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)

yang kemudian akan diperbincangkan dalam sidang MPRS V tahun 1968.

Karena terdapat beberapa kendala, akhirnya wacana tersebut tidak pernah

terpenuhi. Bila mencermati seksama, kejadian ini disebabkan karena pada

era Orde Baru, Presiden Soeharto ingin kembali untuk menggali khazanah

leluhur yang kepemimpinannya bersifat integralistik, negara

kekeluargaan, gotong royong, musyawarah mufakat, anti individualisme,

dan kewajiban yang tidak dapat dilepaskan dari hak. Hasil penggalian

tersebut tercermin dalam prilaku pemerintah pada saat itu.43

Memasuki transisi reformasi, timbul keinginan kuat dari masyarakat

sipil untuk mengusung pentingnya penegakan HAM dan diwujudkan

dalam berbagai produk hukum dan kebijakan pemerintah melalui Rencana

Aksi Nasional Hak Asasi Manusia. Pada hal ini, yang diinginkan adalah

penyelesaian berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, serta

berupaya mencegah agar tidak terjadi pengulangan pelanggaran HAM.

Beberapa kasus yang terjadi di masa lampau antara lain: kasus Tanjung

Priok 12 September 1984, Pembunuhan Misterius atau disingkat PETRUS,

pelanggaran berat HAM di Aceh, Abepura dan Timor-Timur, kasus

Talangsari 7 Februari 1989, kasus penghilangan orang secara paksa, kasus

Trisakti, Semanggi I dan II, dan kasus kerusuhan Mei 1998. Karena itulah

salah satu tuntunan agenda reformasi adalah penghormatan dan penegakan

HAM.44

Objek pertama yang difokuskan agar cita-cita itu tercapai adalah

menjamin perlindungan HAM dengan memasukkan rumusan hak asasi

dalam UUD 1945. Pada perubahan kedua UUD 1945, telah ditambahkan

ketentuan jaminan perlindungan HAM secara lebih mendetail. Jika dalam

UUD 1945 (sebelum perubahan) hanya terdapat 7 butir ketentuan tentang

43 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 73

44 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Permasyarakatan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakara: Sekertariat Jenderal MPR RI,

2005), h. 3.

Page 78: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

69

HAM dan hak konstitusional warga negara, maka pada perubahan UUD

1945 memuat 37 butir ketentuan mulai dari Pasal 28A sampai Pasal 28J,

yang dapat diklasifikasi menjadi empat kelompok yaitu hak sipil dan

politik, hak ekonomi, sosial dan budaya, hak atas pembangunan dan hak

khusus lain serta tanggung jawab negara dan kewajiban asasi manusia.

Dari klasifikasi itu, terdapat hak yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apapun (non-derogable rigths) yaitu hak untuk hidup, hak untuk

tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak

untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan

hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar yang berlaku surut.

Sebaliknya, hak yang dapat dikurangi adalah hak yang tidak disebutkan

dalam non-derogable rights tersebut.45

Dalam rangka memperkuat komitmen perlindungan dan penegakkan

HAM, diwujudkan dengan terbitnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998

Tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian diikuti dengan diterbitkannya

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan

Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Kemudian dilanjutkan dengan

diterbitkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia, dan diikuti lagi dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000

tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Penguatan instrumen HAM

dilanjutkan dengan diratifikasinya sejumlah perjanjian internasional

tentang HAM. Pada tahun 2005, Dewan Perwakilan Rakyat meratifikasi

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dengan

diterbitkannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan

International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan

Internasioanl tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

Selain itu, merujuk pada ratifikasi atas dua kovenan tersebut,

Undang-Undang mengamanatkan pembentukan Komisi Nasional Hak

Asasi Manusia (Komnas HAM), dan beberapa lembaga non-struktural

45 Yeni Handayani, Pengaturan Hak Asasi Manusia Dalam Konstiusi Indonesia dan

Konstitusi Amerika, h. 3-4.

Page 79: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

70

yang terkait dengan perlindungan HAM, seperti Komnas Perempuan,

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Ombudsman.

Sementara peran civil society dalam penegakan HAM adalah dengan

munculnya beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat dalam melakukan

advokasi, seperti Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan

(KONTRAS), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), dan

lain sebagainya.46

Namun demikian, ratifikasi tersebut melahirkan perbedaan pendapat

dalam pelaksanaan perlindungan HAM. Kelompok liberal umumnya

berpendapat bahwa Indonesia harus melaksanakan semua ketentuan HAM

yang terdapat dalam kovenan tersebut tanpa disertai dengan penyesuaian-

penyesuaian dengan konteks Indonesia, karena HAM itu bersifat

universal. Bagi mereka yang tidak sependapat menyatakan, bahwa konsep

universal HAM yang ada sekarang ini termasuk yang terdapat dalam

perjanjian-perjanjian tersebut berasal dari budaya dan peradaban Barat

yang sekuler. Sementara Indonesia, yang bukan merupakan negara

sekuler, melainkan berdasar pada Pancasila yang mengakui keberadaan

agama dalam kehidupan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, HAM

didefenisikan dengan beberapa penyesuaian sebagaimana disebutkan pada

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yakni seperangkat hak

yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk

Tuhan Yang Maha Esa.

Selain perbedaan pendapat tersebut, muncul pula rasa pesimis pada

banyak kalangan bahwa sebenarnya proses penegakan HAM di Indonesia

dipenuhi dengan ketidak-pastian. Dalam peraturan perundang-undangan,

yaitu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

yang merupakan serangkaian produk hukum yang penuh dengan

pergulatan kepentingan politik. Mulai dari aspek filosofis hingga aspek

46 Masykuri Abdillah, Islam dan Hak Asasi Manusia: Penegakan dan Problem HAM di

Indonesia, (Jakarta: Jurnal Miqot VOL.XXXVIII No. 2), h. 385.

Page 80: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

71

teknis-redaksional, terdapat banyak kelemahan fundamental. Kelemahan

tersebut antara lain: pertama, kelemahan substansial dimana Undang-

Undang Pengadilan HAM merupakan adaptasi parsial dari Statuta Roma

tentang Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal

Court (ICC). Kedua, ketidaksempurnaan hukum acara Pengadilan HAM.

Ketiga, penelikungan penerjemahan Statuta Roma yang berdampak pada

pengaburan substansi pelanggaran HAM yang menjadi yurisdiksi

Pengadilan HAM.

Permasalahan tersebut ditenggarai oleh tidak berpihaknya elit lama

terhadap arah perubahan baru dalam perumusan regulasi. Patut diduga, ada

pertarungan antara kepentingan elit lama dan elit baru dalam perumusan

Undang-Undang tersebut. Misalnya, dalam eksistensi Pengadilan HAM di

wilayah nasional dan adopsi parsial Statuta Roma, merupakan ekspresi

keinginan untuk memberikan proteksi atas elit lama (Soeharto dan

rezimnya) dari kemungkinannya untuk diadili melalui ICC atas kejahatan-

kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan.47 Maka dari itu, dalam

penegakan HAM, sangat dibutuhkan adanya kesadaran dan konsistensi

yang pasti baik itu oleh masyarakat terlebih oleh para elit. Tanpa hal itu,

HAM hanyalah sebuah omong kosong belaka.

b. Hak Politik dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa hubungan hukum

dengan politik sangat erat kaitannya. Determinasi hukum atas politik atau

sebaliknya, serta hukum dan politik yang menjadi sebuah subsistem,

membuat keduanya menjadi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Bila

kita berbiacara tentang produk hukum yang bersumber dari keputusan-

keputusan politik maka aturan perundang-undangan di Indonesia juga

mengatur HAM sebagai zoon politicon.

47 Halili, “Politik Penegakan Hak Asasi Manusia Pada Masa Transisi Di Indonesia”,

Jurnal Civics, XIII, No. 2, (Desember, 2016), h. 200-201.

Page 81: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

72

Adapun instrumen hak politik secara spesifik terdapat pada:48

Pada prinsipnya hak-hak politik yang tercantum pada UUD 1945

terbagi menjadi 3 bagian yakni:

1. Hak Memilih dan Dipilih

Pasal 1 ayat 2:

“Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar”.

Pasal 2 ayat 1:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-

anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota Dewan

Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan

diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.

Pasal 6A ayat 1:

”Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan

secara langsung oleh rakyat”.

Pasal 19 ayat 1:

“Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui Pemilihan

Umum”.

Pasal 22C ayat 1:

“Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih setiap provinsi

melalui pemilihan umum”.

Pasal 28C ayat 2:

“Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam

memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun

masyarakat, bangsa dan negaranya”

2. Persamaan di Hadapan Hukum dan Pemerintahan

Pasal 27 ayat 1

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan

pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Pasal 28D ayat 1

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan

dan kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama di

hadapan hukum”.

Pasal 28D ayat 3

“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang

sama dalam pemerintahan”.

3. Hak Berserikat, Berkumpul dan menyatakan Pendapat

Pasal 28

“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan

pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan

dengan undang-undang”.

48 Lihat di Lampiran 4, h. 199.

Page 82: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

73

Pasal 28E ayat 2

“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,

menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.

Pasal 28E ayat 3

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan

mengeluarkan pendapat”.

Selain aturan mengenai Hak Politik, aturan mengenai pencabutan

hak politik juga di atur dalam KUHP. Hukum pidana Indonesia telah

memberikan dasar yuridis untuk melakukan pencabutan hak tertentu itu

salah satunya berupa pencabutan hak menduduki jabatan publik, hal ini

dilakukan agar memberikan perlindungan kepada masyarakat dari

perilaku pejabat yang menyimpang. Pengaturan tersebut tertulis pada

pasal 10 KUHP mengenai pada Pidana Tambahan, Menurut Andi

Hamzah pidana tambahan adalah pidana yang hanya dapat dijatuhkan

di samping pidana pokok. Jenis pidana tambahan yaitu pencabutan

beberapa hak tertentu dan pengumuman putusan hakim.

Pengaturan pencabutan hak-hak, itu diatur dalam Pasal 10 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka ada beberapa jenis

Pidana tambahan terdiri atas:

1. Pencabutan Hak-Hak tertentu

Diatur dalam di atur sebagaimana yang tercantum dalam Pasal

35 KUHP, yaitu:

a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;

b. Hak memasuki angkatan bersenjata;

c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan

berdasarkan aturan- aturan umum;

d. Hak menjadi penasehat (roadmans), atau pengurus menurut

hukum (gerechtelijk bewindvperder), hak menjadi wali, wali

pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, terhadap

orang yang bukan anaknya sendiri;

e. Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.49

2. Perampasan barang tertentu

Diatur dalam pasal 39 KUHP, yaitu:

a. Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan

kejahatan atau yang dengan sengaja telah dipakainya untuk

melakukan kejahatan, beleh dirampas;

49 Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, h. 19.

Page 83: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

74

b. Dalam menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan tidak

dengan sengaja atau karena melakukan pelanggaran dapat juga

dijatuhkan perampasan, tetapi dalam hal-hal yang telah

ditentukan oleh undang-undang;

c. Hukuman perampasan itu dapat juga dijatuhkan atas orang yang

bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi

hanyalah atas barang yang disita.

3. Pengumuman Putusan Hakim

a. Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumumkan

kepada khalayak ramai (umum) agar dengan demikian

masyarakat umum lebih berhati- hati terhadap si terhukum.

Biasanya ditentukan oleh hakim dala surat kabar yang sama,

atau berapa kali, yang semuanya atas biaya si terhukum.50

Cara - cara menjalankan pengumuman putusan hakim dimuat

dalam putusan (Pasal 43 KUHP);

b. Kata tertentu dalam pencabutan hak berarti pencabutan itu

tidak dapat dilakukan terhadap semua hak, hanya hak tertentu

saja yang bisa dicabut. Apabila semua hak yang dicabut, akan

membawa konsekuensi terpidana kehilangan semua;

c. Haknya termasuk kesempatan untuk hidup. Dalam ayat (2) Pasal

35 tersebut berbunyi Hakim tidak berkuasa akan memecat

seorang pegawai dari jabatannya, apabila dalam Undang-

undang umum telah ditunjuk pembesar lain yang semata-mata

berkuasa untuk melakukan pemecatan. Dalam Pasal 36 KUHP,

pencabutan hak dapat dilakukan terhadap orang-orang yang

melanggar kewajiban-kewajiban khusus atau mempergunakan

kekuasaan kesempatan atau daya upaya yang diperoleh dari

jabatannya melakukan tindak pidana.51

Mengenai lamanya pencabutan hak terdapat dalam Pasal 38 KUHP:

1) Bila dijatuhkan hukuman pencabutan hak, maka hakim

menentukan lamanya sebagai berikut:

1. Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,

lamanya penjatuhan seumur hidup;

2. Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana

kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan

paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya;

3. Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit

dua tahun dan paling banyak lima tahun.

2) Pencabutan hak mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat

dijalankan.

50 Laden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika,

2005), h. 112-113.

51 P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier di Indonesia. (Bandung: Armico, 1984), h. 12.

Page 84: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

75

BAB IV

RAMIFIKASI DAN URGENSI PENERAPAN SANKSI PENCABUTAN

HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA MAKAR

A. Analisis Pencabutan Hak Politik Pelaku Tindak Pidana Makar Menurut

Hukum Islam

Pertimbangan syariat Islam membatasi HAM juga mengacu pada prinsip

maqasidu al-syari’ah atau yang disebut al-kulliyat al-khamsah. Maqashidu al-

syari’ah menjadi dasar hukum umaro untuk memutuskan sanksi pencabutan hak

politik terhadap terpidana. Hal ini sudah menjadi prinsip yang dibakukan ulama-

ulama terdahulu melalui proses ijtihad. Seseorang dapat dijatuhkan hukuman

pidana bila terbukti melakukan tindak pidana, akan tetapi sanksi yang dijatuhkan

juga tidaklah boleh merenggut hak-haknya kecuali bila pelaku merenggut hak orang

lain atau yang disbut qishas dalam hukum pidana Islam (jinayah). Pada dasarnya

prinsip-prinsip di dalam masqashid al-syari’ah bertujuan untuk mewujudkan

keadilan dan melahirkan kemaslahatan, begitupun bila kita kontekstualisasikan

dalam persoalan makar. Artinya pelaku tindak pidana makar dapat diberi hukuman

yang adil dan ideal serta kondisi negara menjadi aman dan tentram.

Pencabutan hak politik dalam hukum Islam sebagaimana yang telah penulis

uraikan diatas mengacu pada Al-Qur’an dan Sunnah sehingga pada akhirnya para

ilmuan hukum Islam (ulama) mengeluarkan sebuah kesimpulan hukum yang

disebut maqashidu al-syari’ah. Persoalan ini bukan persoalan yang mudah untuk

diputuskan apalagi berkaitan dengan kemerdekaan seorang muslim atau manusia

pada umumnya. Dalam hukum pidana Islam tujuan utama dari pemidanaan adalah

untuk pencegahan (arra'du wa al-zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-ishlah

wa al-tahdzib).

Selain itu tujuan dari hukum pidana Islam yang merupakan dari syariat

Islam untuk melindungi kebutuhan hidup manusia atau bisa disebut dengan istilah

Al maqashid al syari'ah al khamsah. Kelima tujuan tersebut adalah, memelihara

agama (hifz al- din), memelihara jiwa (hifz al- nafsi), memelihara harta (hifz al-

Page 85: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

76

maal), memelihara keturunan (hifz al-mashli), dan memelihara akal (hifz al-‘aqli).1

Mengenai kaitannya dengan sanksi pencabutan hak politik bagi pelaku

tindakan makar, bahwa sanksi tersebut adalah sama dengan bentuk takzir dalam

hukum pidana Islam. Mengingat di dalam Islam hukuman pencabutan hak politik

bagi pelaku tindak pidana makar memang tidak diatur secara eksplisit, baik dalam

al-Qur'an maupun hadis, selain daripada memerangi dan membunuh para pelaku

yang melakukan perbuatan makar (bughat). Namun demikian dalam hukum pidana

Islam (jinayah), jarimah yang ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur'an adalah hudud

yakni hukuman mati atau diperangi, adapun selanjutnya bila pelaku makar (bughat)

mengakui kesalahannya dan bertaubat maka dapat di beri sanksi (jarimah) takzir.2

Dapat dijatuhi sanksi penjara atau sanksi lainnya termasuk pencabutan hak politik

dan itu diserahkan kepada ulil amri.

Secara umum hukuman bagi tindak pidana makar adalah takzir, yaitu

hukuman yang setimpal dan menjerakan menurut ijtihad hakim, dari yang terberat

(hukuman mati) hingga yang teringan (penjara) sesuai dengan berat dan ringannya

tindakan dan dampak makar yang dilakukan. Karena itulah, hukuman bagi pelaku

makar yang ringan adalah dengan diberikan teguran atau peringatan, dimasukan

kedalam daftar tercela, dinasihati, dan dipecat dari jabatannya. Adapun yang cukup

berat adalah diberi hukuman dera atau cambuk dan pengasingan satu tahun. Jumlah

cambuknya minimal 39 kali dan maksimal 100 kali sesuai dengan kondisi.3

Sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana makar dalam hukum Islam terdapat

pada fikih jinayah, adapun hukuman tersebut yakni takzir. Takzir itu sendiri berarti

hukuman terhadap pelaku yang tidak ditentukan secara tegas bentuk sanksinya di

dalam nash. Hukuman ini dijatuhkan untuk memberikan pelajaran terhadap

1 Asadulloh Al Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 2009), Cet. I, h. 12

2 Takzir menurut Al-Mawardi adalah hukuman yang bersifat Pendidikan atas perbuatan

dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syariat. Sementara itu menurut terminologinya

takzir ialah bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentuannya dalam syariat dan menjadi

kekuasaan hakim atau ulil amri.

3 Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group

2013), h. 298

Page 86: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

77

terpidana agar ia tidak mengulangi kejahatan yang pernah ia lakukan, jadi jenis

hukumannya disebut dengan Uqubah Mukhayyarah (hukuman pilihan). Dilihat dari

segi sifatnya takzir yang termasuk dalam sanksi pencabutan hak politik pelaku

makar/bughat ini adalah takzir yang melakukan perbuatan yang membahayakan

kepentingan umum.

Pencabutan hak politik merupakan salah satu bentuk hukuman yang baru di

Indonesia dan dalam hukum pidana Islam jenis sanksi ini masuk kedalam jarimah

takzir. Dalam hukum Islam sendiri sanksi pencabutan hak politik yang ditakzirkan

kepada pelaku tindak pidana makar dapat diputuskan atau diringankan kepada

pelaku sebab pencabutan hak politik juga tidak bertentangan dengan maqashid al-

syariah. Tentu saja apabila tujuan dari penerapan takzir pencabutan hak politik

terhadap pelaku tidak pidana makar menjadi jalan tengah atas sanksi hukuman mati

dan dapat menimbulkan kemaslahatan maka sanksi ini dilaksanakan atau

diputuskan oleh ulil amri terhadap pelaku tindak pidana makar (bughat).

Bila melihat dari cara pandang syari’ah terhadap hukuman pencabutan hak

politik, Maneger Nasution Ketua Bidang Hukum dan Undang-undang Majelis

Ulama Indonesia berpendapat bahwa secara norma apa yang disebut makar dan

bughat (dalam syariat Islam) memiliki kesamaan substansi didalamnya. Namun bila

ingin menetapkan hukuman mati atau memerangi pelaku tindak pidana makar hal

itu merupakan paradoks. Sebab pada hakikatnya (dalam konteks politik) pelaku

makar atau bughat akan dihukum bila si pelaku mengalami kekalahan dalam

tindakannya. “Coba kita lihat kasus perang shiffin, sekte syi’ah dianggap sebagai

pemberontak karena membela Imam Ali R.A., dan melawan Mu’awiyah Bin Abi

Sufyan. Andai kata Imam Ali yang mengalahkan Mu’awiyah, maka Mu’awiyah dan

pengikutnya akan dianggap dan dihukum sebagai pemberontak. Maka dalam tindak

pidana ini konteks politik juga menjadi hal yang vital”. Sementara bila menjatuhkan

sanksi pencabutan hak politik kepada pelaku hal itu bisa saja dibenarkan bila kita

mengacu kepada aturan dan dalam konstitusi negara kita hal ini dibenarkan asal

sesuai dengan proses dan prosedur.4

4 Wawancara penulis dengan bapak Maneger Nasution, jabatan sebagai bidang hukum dan

undang-undang Majelis Ulama Indonesia, Jakarta 3 Mei 2019.

Page 87: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

78

Mencabut hak politik dalam Islam merupakan hal yang mungkin dilakukan

bila hal tersebut merupakan kebutuhan penegakan hukum dan memberikan

maslahat umat apalagi bila tindak pidana makar dilakukan dan menyebabkan

suasana negara tidak kondusif. Sebab bila kita menelaah lebih spesifik dengan sudut

pandang maqashidu al-syari’ah, bahwa hifzu al-nafs memelihara agama lebih

dharuri sifatnya daripada menjaga hak politik seseorang. Sebagaimana penjelasan

penulis diatas bahwa pencabutan hak politik ini merupakan takzir dan hal ini

diserahlan kepada ulil amri, tidak ada dalil yang spesifik mengatur tentang

pencabutan hak politik dalam al-Qur’an maupun hadiz. Akan tetapi titik tekannya

adalah bila hak politik seseorang dijatuhkan karena perilakunya maka hakim (yang

memutuskan suatu perkara) hendaknya berlaku adil. Sementara itu Hukum Islam

selain mendasarkan hukum pada al-Qur’an dan hadis juga memberikan

kewenangan kepada para ulama untuk menentukan suatu hukum serta diputuskan

oleh hakim sebagaimana yang dilakukan oleh negara-negara Islam pada saat ini.

Menurut penulis Hukuman pencabutan hak politik ini secara substansi dapat

diterapkan. Mengingat kajiannya sudah tertulis di dalam fikih jinayah sehingga

tiada lagi penolakan oleh para pelaku bila terbukti melakukan tindak pidana makar.

Selain itu hukuman tambahan pencabutan hak politik yang derajatnya diletakkan

pada jarimah takzir selaras dengan tujuan pokok penerapan hukum pidana dalam

Islam yakni pendidikan bagi masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana makar

juga menimbulkan efek jera bagi pelaku serta tidak mengulanginya lagi. Hal ini

senada dengan pendapat Imam Al-Mawardi yang dikutip oleh Sayyid Sabiq;

"Takzir merupakan hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa".

B. Analisis Pencabutan Hak Politik Pelaku Tindak Pidana Makar Menurut

Hukum Positif dan Hak Asasi Manusia

Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia

adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat). Idealnya sebagai

negara hukum, Indonesia menganut sistem kedaulatan hukum atau supermasi

hukum. Maksudnya adalah hukum harus mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam

Page 88: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

79

negara.5 Penegakan hukum harus menyelaraskan antara legal substance dan legal

structure. Dalam hal ini, selain aturan yang tepat tertuang dalam peraturan

perundang-undangan putusan pengadilan juga merupakan tonggak penting bagi

cerminan keadilan, termasuk putusan pengadilan yang berupa penjatuhan pidana

dan pemidanaan.

Lahirnya penjatuhan pidana dan pemidanaan bukan muncul begitu saja,

melainkan melalui proses peradilan. Seperti yang dikutip oleh Bambang Waluyo,

G.P. Hoefnageles mengatakan bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua

reaksi terhadap pelanggaran hukum yang ditentukan undang- undang dimulai dari

penahanan tersangka dan penuntutan terdakwa sampai pada penjatuhan vonis oleh

hakim.6 Oleh karena itu pembatasan terhadap hak asasi manusia baik yang dapat

direstriksi dan tidak dapat direstriksi hanya dapat dilakukan melalui jalur yang

konstitusional dan dibenarkan oleh negara.

Dalam perspektif yuridis perbuatan makar terhadap negara merupakan

perbuatan yang berbahaya, karenanya kedaulatan negara dan pemerintahan dapat

rusak. Keutuhan nasional yang diproklamasikan sebagai kesatuan (unity) dapat

hilang, cita-cita sebagai bangsa dalam nation pun hilang. Namun hal ini tidak pula

menjadikan alibi bahwa pelaku yang terjerat pasal makar harus dihukum mati atas

dasar dakwaan jaksa yang misalnya mengacu pada aturan hukuman makar. Negara

melalui kekuasaan legislatifnya harus melakukan reformasi hukum serta kajian-

kajian yang mengenai kemungkinan diterapkannya alternatif lain hukuman pidana.

Maka dari itu penulis menilai pencabutan hak politik merupakan salah satu

alternatif penerapan sanksi bagi pelaku tindak pidana makar.

Piranti perundang-undangan di Indonesia sangat kompatibel untuk

diterapkannya sanksi pencabutan hak politik terhadap pelaku tindak pidana makar.

Sebab sebagaimana yang telah penulis jelaskan perilaku makar merupakan

kejahatan yang tidak dapat ditolerir karena makar memiliki dampak besar terhadap

5 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 33.

6 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media, 2010), h.

79.

Page 89: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

80

keutuhan suatu bangsa. Perbuatan dengan maksud menggulingkan pemerintahan

yang sah atau mengganti bentuk pemerintahan dengan cara apapun baik secara

tertulis ataupun lisan adalah termasuk perbuatan makar, karena wujud perbuatan itu

ditujukan pada maksud yang lebih jauh yakni menggulingkan pemerintahan atau

mengganti bentuk pemerintahan.

Perlu dipahami juga bahwa makar dengan maksud menggulingkan

pemerintahan, tidaklah harus dilakukan dengan kekerasan dan persenjataan.

Asalkan perbuatan itu dapat dipandang sebagai permulaan pelaksanaan dari suatu

kegiatan yang lebih besar dalam rangka mencapai tujuan yang lebih jauh yaitu

meniadakan bentuk pemerintahan atau bentuk pemerintahan maka hal tersebut

dapat dikatakan sebagai perbuatan makar sebagaimana yang telah penulis jelaskan

dalam bab sebelumnya. Sementara itu demi tegaknya hukum dan terciptanya

ketertiban maka tugas dari hukum pidana harus diselenggarakan agar perilaku

inkonstitusional ini dalam diselesaikan dan dicegah.

Semangat penegakan aturan pidana di Indonesia bukanlah semangat

membalas perbuatan pelaku pidana. Akan tetapi memberikan keadilan,

menciptakan ketertiban umum dan menanggulangi kejahatan. Namun bila setiap

perilaku pidana diadili dengan tujuan membalas perbuatan pelaku maka tidak

terdapat pendidiakn bagi masyarakat bahkan hamper dapat dipastikan bahwa

masyarkat menilai pemerintah tidak dapat menyelesaikan persoalan pidana terlebih

pidana yang mengancam keutuhan negara.

Hukum Pidana di Indonesia telah memberikan dasar yuridis untuk melakukan

pencabutan hak tertentu, salah satunya berupa pencabutan hak menuduki jabatan

publik dan hak memilih dan dipilih. Hal ini dilakukan agar memberikan

perlindungan kepada masyarakat dari perilaku pejabat atau calon pejabat yang

menyimpang. Dalam aturan pidana di Indonesia pencabutan hak-hak tertentu itu

dimuat dalam ketentuan umum mengenai pidana tambahan. Menurut Andi Hamzah,

pidana tambahan adalah pidana yang hanya dapat dijatuhkan disamping pidana

pokok.

Pada buku kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana pencabutan hak-hak

tertentu tersebut termuat pada pasal 35 yaitu:

Page 90: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

81

1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal

yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum

yang lain adalah:

1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatn tertentu.

2. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan

aturan-aturan umum.

Mengenai durasi pencabutan hak-hak tertentu dimuat dalam pasal 38 KUHP

yang berbunyi:

1) Bila dijatuhkan hukuman pencabutan hak, maka hakim menentukan lamanya

sebagai berikut;

• Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan,

lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun

lebih lama dari pidana pokoknya.

Sanksi pencabutan hak politik ini memiliki preseden aturan yang tertulis

secara spesifik di dalam Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada pasal 17 dan pasal 18 huruf d sebagai

berikut:

Pasal 17:

Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2, pasal

3, pasal 5 sampai dengan pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 18.

Pasal 18

(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-

undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:

b. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan

seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat

diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

Hak politik yang merupakan salah satu dari rumpun hak asasi manusia

sebagaimana yang diatur dalam ICCPR (International Covenant Civil and Political

Right). Dalam ratifikasi kovenan sipil dan politik ini, pembatasan hak politik

terdapat pada; pasal 19 (kebebasan menyatakan pendapat), pasal 21 (hak berkumpul

secara damai), pasal 22 (kebebasan berserikat) dan pasal 25 (ikut serta dalam

pelaksanaan pemerintahan dan hak memilih dan dipilih). Pembatasan hak

juga diatur dalam Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia pasal 73, dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pembatasan atau

pencabutan hak asasi manusi hanya diperkenankan berdasarkan undang-undang.

Page 91: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

82

Tujuannya, menjamin pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia serta

kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.

Penerapan sanksi pencabutan hak politik ini dalam perspektif penulis dapat

menjadi alternatif aturan sanksi bila diterapkan, sebab perilaku dan unsur-unsur

makar juga berasal dari kekuatan politik dapat diputus mata rantainya dengan

penerapan sanksi pencabutan hak politik ini. Sehingga dikemudian hari eks

pemimpin atau pelaku tindak pidana makar mendapatkan efek jera.

Komnas HAM menilai bahwa penerapan hukuman pencabutan hak politik ini

secara prinsip dapat ditegakkan namun yang menjadi keraguan dari penerapan ini

adalah bahwa upaya makar berawal dari polarisasi perspektif penguasa dan oposisi.

Hal tersebut rentan disalah gunakan oleh pemerintah. Artinya dari sekian banyak

aturan yang telah dibuat tidak menjamin penegakan keadilan berjalan sebagaimana

yang dicita-citakan. Agus Suntoro seorang analis hak sipil Komnas HAM

berpendapat bahwa fungsi legal structure dalam penerapan aturan menjadi pr besar

penegakan hukum di negara ini. Menurut beliau semakin banyak aturan yang dibuat

justru akan semakin membuat aturan tersebut bertambah kacau bila tidak diiringi

dengan semangat reformasi hukum yang ideal.7

Dalam wawancara penulis dengan salah seorang hakim pengadilan negeri,

narasumber menyatakan bahwa otoritas hakim dalam memutuskan pidana

tambahan pencabutan hak politik harus melalui ketentuan khusus atau aturan yang

spesifik (lex specialist) seperti yang terdapat dalam undang-undang tindak pidana

korupsi. Sebab aturan yang terdapat pada KUHP mengenai pencabutan hak tertentu

yakni pasal 10 dan pasal 35 merupakan ketentuan yang bersifat umum. Walaupun

hakim dapat memutuskan sanksinya tetapi itu hal yang mustahil dilakukan untuk

saat ini sebab urgensi dari penerapan pidana tambahan pencabutan hak politik

terhadap pelakuk makar tidak terlalu mendesak, kecuali bila hal ini didorong oleh

publik atau dijadikan ketentuan khusus pemidanaan dalam kasus makar melalu

7 Wawancara penulis dengan bapak Agus Suntoro, jabatan sebagai anggota komisioner

bidang pengkajian dan penelitian Komnas HAM, Jakarta 25 April 2019.

Page 92: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

83

proses legislasi di DPR.8

Hakim Saifudin Zuhri, menambahkan bahwa sangat sulit kemungkinan

melakukan yurisprudensi penjatuhan pidana pencabutan hak politik bagi pelaku

tindak pidana makar sebab tiada satupun hakim yang pernah melakukan hal tersebut

kecuali bila itu merupakan desakan publik yang sangat urgent dan bersifat darurat

demi menjaga keutuhan dan kedaulatan negara.9

Setiap penjatuhan pidana harus benar-benar dipertimbangkan dan putusan

hakim yang kurang pertimbangan dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA)

hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat 1 Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan bahwa pengawasan tertinggi terhadap

penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah

Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh

Mahkamah Agung.

Penjatuhan pidana (sanksi) kepada pelaku tindak pidana merupakan salah

satu sarana untuk menanggulangi kejahatan secara penal. Tindak pidana makar

merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Oleh karena itu, hakim

dalam memutuskan perkara harus mempertimbangkan sebab dan akibat dari

putusan yang akan dijatuhkannya. Jadi, dasar pembenaran adanya pidana menurut

teori ini adalah terletak pada tujuannya. Hakikat, teori pemidanaan tersebut

ditransformasikan melalui kebijakan pidana (criminal policy) pada kebijakan

legislatif.10

Adapun dalam realitanya sanksi pencabutan hak politik tertulis dalam UU

Tipikor yang diatur pada pasal 18 ayat (1) huruf d, berupa pencabutan seluruh atau

sebagian hak-hak tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada

terpidana. Salah satu pencabutan hak yang dijatuhkan oleh Hakim kepada terpidana

8 Wawancara penulis dengan bapak Saifudin Zuhri, jabatan sebagai hakim madya utama

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas IA, Jakarta 24 Mei 2019

9 Wawancara penulis dengan bapak Saifudin Zuhri, jabatan sebagai hakim madya utama

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas IA, Jakarta 24 Mei 2019

10 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2002), h. 128.

Page 93: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

84

korupsi adalah pencabutan hak pilih aktif dan pasif. Dimana ketentuan umum dari

sanksi ini tertulis pada pasal 35 KUHP.

Pada hakikatnya latar belakang diterapkan sanksi pencabutan hak politik bagi

terpidana korupsi mengingat sebagian besar bahkan seluruh tindak pidana

dilakukan oleh pejabat publik dan ini menjadi sebuah penyakit menular. Maka dari

itu upaya pemberantasan serta pencegahan terhadap extraordinary crime ini

dilakukan agar penyakit ini dapat diminimalisir bahkan dihilangkan agar tercipta

situasi good and clean government. Dalam pertimbangan UU nomor 31 tahun 1999

point (a) disebutkan bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara serta menjadi penghambat pembangunan

nasional, selain itu dibentuknya undang-undang ini dalam rangka mewujudkan

masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Upaya penerapan sanksi pencabutan hak politik terhadap tindak pidana makar

ini tidak dapat terealisasi bila tidak ada regulasi spesifik (lex spesialist) yang

mengatur soal pencabutan hak politik maka dari itu hakim tidak dapat memutuskan

perkara makar ini dengan menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak politik.

Secara filosofis, penjatuhan putusan pidana tambahan berupa pencabutan hak

aktif dan pasif kepada terpidana (dalam hal ini makar) merupakan upaya preventif

dan menjadi menifestasi dari upaya penegak hukum dalam mewujudkan cita-cita

luhur dari pemidanaan atau pemberian sanksi bagi pelaku kejahatan yaitu keadilan.

John Rawls dalam bukumya A Theory of Justice, membagi keadilan dalam dua

bentuk:

Pertama, asas kebebasan (liberty principle), yakni setiap orang mempunyai

hak-hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, sama luasnya

dengan kebebasan yang dimiliki orang lain. Kedua, asas perbedaan

(difference principle), yakni hukum bertujuan untuk mengatur adanya

realitas ketimpangan sosial dan ekonomi di dalam masyarakat. Oleh karena

itu, hukum harus mampu mewujudkan nilai-nilai keadilan untuk lebih

mengutamakan dan berpihak pada masyarakat yang diuntungkan dari aspek

sosial, ekonomi dan politik supaya dapat mencapai tujuan keadilan.11

11 Yosy Dewi Mahayanthi, “Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Pencabutan Hak Pilih Aktif dan Pasif terhadap Terpidana Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif

Hak Asasi Manusia” (Malang: jurnal Universitas Brawijaya, 2015), h. 8.

Page 94: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

85

Penegakan keadilan menjadi tugas hukum atau merupakan kegunaan hukum.

Keadilan yang menjadi tugas hukum merupakan hasil penyerasian atau keserasian

antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum. Secara ideal kepastian hukum

merupakan pencerminan azas tidak merugikan orang lain, sedangkan

kesebandinagn hukum merupakan pencerminan azas bertindak sebanding. Oleh

karena keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum

merupakan inti penegakan hukum, maka penegakan hukum sesungguhnya

dipengaruhi oleh struktur dan individu-individunya.

Keadilan hukum dalam Islam bersumber dari Tuhan yang Maha Adil, karena

pada hakikatnya Allah-lah yang menegakkan keadilan (qayyiman bil qisth), maka

harus diyakini bahwa Allah tidak berlaku aniaya (zalim) kepada hamba-hamba-

Nya. Dalam prinsip keadilan ini Rasulullah SAW menegaskan adanya persamaan

mutlak (egaliterisme absolut/ al-musawah al-muthlaqah) di hadapan hukum-

hukum syariat. Keadilan dalam hal ini tidak membedakan status sosial seseorang.12

Dalam upaya mengkonversi hukum Islam yang sangat komperhensif menjadi

sebuah keadilan para ulama fiqh melakukan upaya penemuan hukum (ijtihad)

dengan merumuskan maqashid al-syari’ah. Dengan maqashid al-syari’ah ini para

hakim dapat mendasari putusannya dalam menjatuhkan suatu pidana terhadap

seseorang.13

Akhirnya pencabutan hak politik terhadap pelaku tindak pidana makar dapat

dinilai adil dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana bila menimbang dari tujuan

hukum pidana baik dalam Islam maupun dalam hukum positif. Hanya saja hakim

selaku orang yang memutuskan perkara berdasarkan kewenangannya yang

diamanatkan oleh undang-undang bisa berlaku adil sesuai dengan UU Nomor 48

Tahun 2009. Bahwa pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara diharap tidak

diintervensi oleh pihak manapun, tidak tebang pilih (egaliter) dan tidak sewenang-

wenang dalam memutuskan perkara. Pada dasarnya pidana tambahan pencabutan

12 Mahir Amin, “Konsep Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam”, Al-Daulah, IV,

2 (Oktober, 2014), h. 334.

13 Yusuf Qardhawi, Fiqh Maqashid Syari’ah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 18.

Page 95: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

86

hak politik dapat dijatuhkan kepada pelaku bila memenuhi unsur-unsur yang telah

dilegalisasi dalam undang-undang.

Mengenai pencabutan hak-hak tertentu ini peneliti berpendapat bahwa

dimensi keadilannya adalah bilamana pelaku tindak pidana merupakan orang yang

memiliki legitimasi publik seperti tokoh masyarakat atau yang lainnya bila orang

tersebut melakukan makar dengan mengangkat senjata yang menyebabkan

terancamnya stabilitas nasional seperti keamanan dan lain sebagainya maka pelaku

dapat dihukum dengan mencabut hak politiknya agar pelaku memiliki efek jera

terhadap apa yang telah dia lakukan dan menjadi upaya preventif untuk menjaga

stabilitas nasional. Hal ini senada sebagaimana yang di kemukakan oleh Agus

Suntoro, divisi penelitian dan pengembangan Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia.14

Keadilan itu sendiri mengacu pada upaya hakim untuk menemukan

kebenaran dan memberikan hukuman jika ada pelanggaran yang tidak ada aturan

tegasnya secara formil. Hal tersebut adalah bentuk dari keadilan prosedural.

Keadilan prosedural adalah aspek eksternal hukum, tempat keadilan substantif

direalisasikan. Tanpa adanya keadilan prosedural, keadilan substantif hanya akan

menjadi teori-teori yang tidak menyentuh realitas mesyarakat. Meskipun demikian,

selain keadilan, nilai kepastian dan kemanfaatan hukum juga penting untuk

dipertimbangkan dalam penegakan hukum.15

Sementara itu hasil wawancara penulis dengan Hakim Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat Bapak Hakim Saifudin Zuhri bahwa penegakan hukum merupakan

upaya pendistribusian keadilan bagi pelaku tindak pidana, sebab upaya hakim untuk

memutuskan perkara juga berdasarkan ketentuan yang sudah ditetapkan dan

diawasi oleh Peratuan Mahkamah Agung tentang Kekuasaan Kehakiman. Artinya

independensi hakim dalam memutuskan perkara juga berdasar pada aturan yang

14 Wawancara penulis dengan bapak Agus Suntoro, jabatan sebagai anggota komisioner

bidang pengkajian dan penelitian Komnas HAM, Jakarta 25 April 2019.

15 Theo Hujibers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah¸ (Yogyakarta: Kanisius: 1993), h,

161.

Page 96: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

87

mengikat.16 Hal ini juga senada dengan apa yang diucapkan oleh pihak Komnas

HAM bahwa secara normatif dimungkinkan untuk diterpakannya sanksi

pencabutan hak politik bagi pelaku tindak pidana makar karena pencabutan hak

politik merupakan derogable right namun keraguan yang menjadi masalah dalam

penerapan sanksi ini apakah hakim dapat memutuskan perkara dengan adil,

independen dan tanpa intervensi dari pemerintah yang memiliki kepentingan dalam

kekuasaannya.

16 Wawancara penulis dengan bapak Saifudin Zuhri, jabatan sebagai hakim madya utama

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas IA, Jakarta 24 Mei 2019.

Page 97: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

88

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Melihat hasil analisa serta uraian yang penulis bahas dalam karya tulis ilmiah

ini. Penulis memiliki beberapa konklusi terhadap bahasan mengenai makar dana

sanksi pencabutan hak politik dalam Islam, HAM dan Hukum Positif di Indonesia.

Adapun kesimpulan adalah sebagai berikut;

1. Aturan dalam hukum Islam mengenai makar dan pencabutan hak politik

merupakan satu dimensi yang dapat dipadukan sebagai sebuah aturan. Hal ini

jelas bahwa terdapat prinsip dan norma yang koheren bila sanksi pencabutan hak

politik diterapkan atau dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana makar.

Penulis menilai agar memutus mata rantai dari kejahatan terhadap keamanan

negara ini perlu ada formulasi penjatuhan pidana yang sesuai dengan tujuannya

yakni pencegahan (al-Ra’du wa al-Tahdzib). Juga menghasilkan upaya preventif

terhadap tindak pidana ini. Pada dasarnya sebagaimana yang termaktub dalam

Al-Qur'an sanksi bagi pelaku tindak pidana bughat/makar adalah hukuman mati

atau diperangi namun belum terdapat aturan yang spesifik bila pelaku bertaubat

dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya. Hal ini merupakan domain

para ulama fikih untuk berijtihad dan memutuskan jarimah takzir sebagai

hukuman terhadap pealu tindak pidana makar/bughat. Bentuk hukuman

pencabutan hak politik menurut penulis adalah hukuman yang sesuai sebagai

takzir bagi pelaku tindak pidana makar/bughat. Sebab hal ini dapat menjadi

alternatif sanksi untuk menciptakan keamanan dan ketertiban suatu wilayah juga

untuk menjaga nyawa manusia dari hukuman mati sebagaimana tujuan dari

hukum pidana itu sendiri dan berdasarkan maqashil al-syariah.

Sementara itu dalam hukum positif penerapan sanksi pencabutan hak politik

dapat diterapkan dengan catatan adanya upaya legislasi dalam Kitab Undang-

undang Hukum Pidana untuk merevisi pasal makar dan menambahkan sanksi

pencabutan hak politik didalamnya. Secara prinsip pencabutan hak politik di

Page 98: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

89

Indonesia dapat dibenarkan karena tidak bertentangan dengan konvensi

internasional mengenai hak asasi manusia sebab hak politik merupakan hak yang

dapat dibatasi. Selain itu sanksi pencabutan hak politik ini memiliki preseden

aturan yakni undang-undang tindak pidana korupsi yang lebih dahulu memuat

sanksi pencabutan hak politik didalamnya. Menurut KUHP sanksi pencabutan

hak politik terdapat pada bab ketentuan umum yang dapat diberlakukan bagi

seluruh tindak pidana dengan catatan terdapat muatan aturan khusus tentang

pencabutan hak politik didalamnya.

2. Menurut prinsip Hak Asasi Manusia penerapan sanksi pencabutan hak politik

dalam perspektif HAM sangat dimungkinkan untuk diterapkan mengingat hak

politik merupakan hak yang dapat dibatasi (derogable right) hal ini sesuai

dengan konsensus internasional akan tetapi dalam penegakannya harus mengacu

pada siracusa principle. Selain itu menurut preseden aturan pencabutan hak

politik ini juga telah diterapkan dalam undang-undang tindak pidana korupsi.

Sementara itu untuk memutuskan sanksi atau menjatuhkan pidana terhadap

perkara ini haruslah ada ketentuan khusus yang mengatur penjatuhan sanksi

terhadap tindak pidana ini. Hakim tidak dapat memutuskan bila di dalam tindak

pidana ini tidak terdapat ketentusan khusus. Dalam konsensus internasional

mengenai hak asasi manusia penerapan sanksi ini harus mengacu pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Faktor lain yang memungkinkan penerapan

sanksi pencabutan hak politik ini berdasarkan hak asasi manusia adalah bila

dengan penerapan sanksi ini berimplikasi pada.

Melalui 2 point kesimpulan diatas bahwa pencabutan hak politik terhadap

pelaku tindak pidana makar sangat mungkin untuk dijatuhkan dengan diperlukan

adanya ketentuan khusus yang mengatur sanksi pencabutan hak politik bagi pelaku

tindak pidana makar.

Page 99: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

90

B. Saran

Berdasarkan analisa penulis dalam penelitian yang telah diurai dalam

beberapa bab ini, penulis menuangkan beberapa saran yang berkaitan dengan

pencabutan hak politik pelaku tindak pidana makar:

1. Untuk instrumen penegak hukum; sanksi pencabutan hak politik ini dapat

menjadi alternatif tambahan bagi pelaku tindak pidana makar sama seperti

korupsi sebab sanksi ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera dan tindakan

preventif bagi tindak pidana makar.

2. Untuk DPR-RI; wacana mengenai makar ini sudah banyak dikaji dan diteliti

namun hal ini hanya menjadi kajian teoritis saja tanpa ada dorongan atau upaya

implementasi. Maka dari itu penulis mendorong DPR untuk mengkaji issue

peneletian hukum yang implementatif terutama dalam bidang hukum pidana

mengingat pemerintah sedang mendorong pengesahan RUU KUHP,

3. Selain itu kajian politik hukum tindak pidana ini sangat luas sehingga saran

penulis agar kajian mengenai tindak pidana makar ini jangan sampai menurun

dan penulis mengharapkan tema makar ini harus menjadi penelitian yang bersifat

continue baik berdasarkan studi kasus maupun dalam sebuah wacana.

Page 100: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

91

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Alqur’an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI, Bandung: Jabal Raudlatul

Jannah, 2010

Aji, Ahmad Mukri, Rasionalitas Ijtihad Ibnu Rusyd, Bogor: Pena Ilahi, 2007.

Ali, Zainudin, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Asqalani, al, Ibn Hajar, Bulugh al-Maram, Beirut: Pustaka Daru al-Ihya al-Kutub

al-Arabiyah, t.th.

Amin, Mahir, Konsep Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam, Jakarta:

Al-Daulah, 2014.

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2002.

Arkoun, Mohammed, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Asyur, Muhammad Tahir Ibn, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, Kairo: Daar al-

Salam, 2006.

Audah, Abdul Qadir, Al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islam Muqaranan bil Qanunil Wad’iy,

Terj. Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. Bogor: PT. Kharisma

Ilmu, 2007.

Budiharjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2008.

Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara,

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:

Balai Pustaka, 1988.

Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta:

Logos Wacana Ilmu, 1997.

Faruq, al, Asadullah, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam. Bogor: Ghalia

Indonesia, 2009.

Hakim, Rahmad, Hukum Pidana Islam Fiqih Jinaya, Bandung: CV. Pustaka Setia,

2000.

Page 101: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

92

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1984.

Hamzah, Andi, Delik-delik Tersebar di Luar KUHP: Dengan Komentarnya,

Jakarta: Pradnya Paramita, 1992.

Hamzah, Andi, Korupsi di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1991.

Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP, Cet. 1, Jakarta: Rineka Cipta, 2011.

Hanafi, A, Azas-azas Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.

Hujibers, Theo, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah Yogyakarta: Kanisius,

1993.

Irfan, M. Nurul dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Jakarta: Amzah, 2013.

Joesoef, Soelaiman, Ilmu Jiwa Massa, Surabaya; Usaha Nasional, 1979.

Kamil, Sukron, Pemikiran Politik Islam Tematik, Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2013.

Latif, Abdul dan Hasbi Ali. Politik Hukum, Cet II, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Lamintang , P.A.F. dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Jakarta:

Sinar Grafika, 2012.

Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya

Bakti, 1997.

Lopa, Baharuddin, Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Dana

Bhakti Prima Yasa, 1996.

M. Gaffar, Janedjri, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press,

2013.

Hamdan, M, Politik Hukum Pidana, Jakarta; Raja Grafindo Persada. 1997.

Ma’luf, Luis, Al-Munjid fi Al-Lughah wal Al-‘Ala, Beirut: Daar Al-Masyriq, 1983.

Mahfud MD, Mohammad, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998.

Mahmassani, Subhi, Konsep Dasar Hak-hak Asasi Manusia, Jakarta : Tinta Mas

Indonesia, 1993.

Marbun, BN, Kamus Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2005.

Page 102: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

93

Mas’ud, Muhammad Khalid, Penerjemah Yudian W Asmin, Filsafat Hukum Islam

dan Perubahan Sosial, Surabaya: al-Ikhlas, 1995.

Maududi, al, Abu al A’la, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam (terj), Penerjemah

Bambang Iriana Djaja Atmaja, Jakarta: Bina Aksara, 2000.

Mawardi, al, Al-Imam Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Al-Habib, Hawi al-

Kabir XXII, Beirut: Daar al-Fikr, 1994.

Moelyatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Muthohar, Ali, Kamus Arab–Indonesia, Jakarta: PT Mizan Publika, 2005.

Prakoso, Djoko, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, Jakarta: Ghalia Indonesia,

1986.

Prasetyo, Teguh, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media, 2010

Prodjodikoro, Wiryono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung:

PT. Eresco, 1980.

Purwodarminta, WJS, Kamus umum bahasa Indonesia,diolah kembali oleh Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta: Balai Pustaka, 1993.

Rhona. K.M. Smith et. al., Hukum Hak Asasi Manusia, Cet. 1. Yogyakarta:

PUSHAM UII, 2007.

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Bandung: Al-Ma’arif, 1987.

Sardi, Martino, Mengenal Deklarasi Kairo, Yogyakarta: Pusat Internasional

Pengembangan Hak Asasi Manusia, 2005.

Siammora, Sahat, Militer dalam politik kudeta dan pemerintahan (terj), Jakarta;

Rineke Cipta, 1990.

Simanjuntak, B. Pengantar Kriminologi dan Pantologi Sosial, Bandung; Tarsito,

1981.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III., Jakarta: Universitas

Indonesia, 2010.

Sugandhi, R. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional Offset Printing.

1980.

Sugiyono. Metode Penelitian, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.

2011.

Page 103: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

94

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Cet XXIII,

Bandung: Alfabeta, 2016.

Suma, Muhammad Amin, Pidana Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus,

2001.

Suratman dan Phillips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, 2015.

Syatibi, al, Abu Ishaq Ibrahim, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-

Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th., Juz II.

Syarif, Mujar Ibnu, Hak-Hak Politik Minoritas Non-Muslim Dalam Komunitas

Islam, Bandung: Angkasa, 2003.

Tim Redaksi, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Houve: 1996.

Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum. Syariah, Hukum Islam dan HAM.

(Ciputat: UIN Jakarta Press. 2015.

Ubaedillah, A. dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (Civic Education)

Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2012.

W. Nickel, James, Hak Asasi Manusia, Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia terj, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hida Karya Agung, 1989.

Qardhawi, Yusuf, Fiqh Maqashid Syari’ah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007.

Zainal, Eldin H. Fiqh Jina’iy Al-Islamiy, Medan: Diktat IAIN, 1990.

JURNAL, MAKALAH dan HASIL PENELITIAN

Abdillah, Masykuri, “Islam dan Hak Asasi Manusia: Penegakan dan Problem HAM

di Indonesia”. Jurnal Miqot, Vol. XXXVIII, 2, (2014).

Dedi Sumardi, “HAM Dalam Dua Tradisi: Refleksi Perbandingan HAM Barat dan

Islam”. Jurnal Pascasarja IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Vol 14, 1, (2012).

Ibrahim, Aji Lukman, Jurnal Supremasi Hukum Vol III, 1, (2014).

Iswadi, Rudi. “Bugat Dalam Prespektif Al-Qur’an” Tesis S2 Universitas Islam

Negeri Sumatera Utara Medan, (2016).

Jahada, ”Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an”, Jurnal Al-‘Adl, Vol. VI, 1,

(2013).

Page 104: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

95

Jauhar, Najid, “Islam, Demokrasi dan HAM: Sebuah Benturan Filosofis dan

Teologis”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada,Vol.

XI, (2007).

Mahayanthi, Yosy Dewi. “Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan

pencabutan hak pilih aktif dan pasif terhadap terpidana tindak pidana korupsi

dalam perspektif Hak Asasi Manusia”, Jurnal Pasca Sarjana Universitas

Brawijaya, (2015).

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, “Panduan Permasyarakatan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945”, Jakarta: Sekertariat

Jenderal Majelis MPR RI, (2005).

Netta, Yulia, “Partisipasi Masyarakat dalam Penegakan Hak Asasi Manusia”,

Fakultas Hukum Universitas Lampung: Monograf; Negara Hukum

Kesejahteraan, I. PKKPUU, (2013).

Yeni Handayani, “Pengaturan Hak Asasi Manusia Dalam Konstiusi Indonesia dan

Konstitusi Amerika”, Jurnal Rechtsvinding Online, Oktober (2014).

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan

Terhadap Keamanan Negara.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi ICCPR (International

Covenant on Civil an Polirical Rights)

INTERNET

http//:www.hukumonline.comberita/baca/lt5853bad292be4/mk-diminta-luruskan-

definisi-makar-dalam-kuhp, diakses pada 02 April 2018, Pukul 14.39 WIB.

https://thelawdictionary.org/treason/, diakses pada 02 April 2018, Pukul 14.39

WIB.

https://tafsirq.com/8-al-anfal/ayat-30#tafsir-jalalayn, diakses pada tanggal 01 Juni

2018, Pukul 12.41 WIB.

https://mazhoinside.files.wordpress.com/2010/04/bw_pasal-pasal_makar.pdf,

diakses pada 11 April 2018, Pukul 13.00 WIB.

Page 105: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

96

LAMPIRAN

Page 106: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

97

Page 107: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

98

LAMPIRAN 1

Hasil Observasi/Wawancara dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Nama : Dr. Maneger Nasution., S. Ag., M. A.

Jabatan : Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan

1. Bagaimana pendapat anda tentang keberlakuan hukuman pencabutan

hak politik bagi terpidana, apakah hukuman tersebut merupakan

bagian dari pelanggaran HAM?

Jawaban: Dalam keyakinan kita, sebetulnya norma makar menurut KUHP

bila dikaitkan dengan realitas politik sebenarnya tidak memenuhi unsur

untuk disebut sebagai makar, terlebih bila contohnya kasus 19 tokoh seperti

Al-Khottot, Rahmawati Soekarno Putri, Kivlan Zein dan lain-lain. Makar

itu selalu ada unsur yang harus dipenuhi dan selalu dikaitkan dengan kudeta

bersenjata terhadap pemerintahan yang sah. Lalu, apakah di unsur utama

tersebut ada upaya kudeta yang dilakukan dengan kekuatan persenjataan.

Misalnya contoh kasus terakhir, bagaimana mungkin seorang Rahmawati

Soekarno Putri yang dalam keadaan berjalan pun dibantu oleh kursi roda

melakukan tindak pidana makar? Untuk dapat memperoleh keterangan

maka kita datang ke rumahnya, dan beliaupun tidak memiliki akses

kekuatan persenjataan. Adapun yang paling memungkinkan melakukan

kudeta itu, adalah tentara (didukung oleh tentara) sebab mereka memiliki

kekuatan persenjataan. Jadi, saya berkeyakinan bahwa tuduhan makar itu

berlebihan, karena tidak berdasar dan tidak realistis. Kemudian, bagaimana

dengan pencabutan hak politik? Saya melihat prinsip HAM yang paling

elementer itu universal artinya dimanapun dapat diterima oleh nilai-nilai

kemanusiaan meskipun misalnya di Indonesia, rumusan HAM nya sesuai

dengan mengadopsi, mengapresiasi sekian banyak kultur budaya di

masyarakat kita termasuk agama. Oleh karena itu, HAM di Indonesia sudah

Page 108: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

99

rinci diatur, ada hak boleh dan tidak boleh dikurangi karena itu misalnya

regulasi di bidang HAM, dahulu pada konstitusinya terbatas oleh UUD

Pasal 29 tentang Hak Pendidikan dan lain sebagainya. Kemudian setelah

amandemen itu ada Pasal 28 A-J bicara tentang HAM yang berisi 10 poin.

Lalu UU no 39 tahun 1999 mengatur tentang HAM. Lalu, HAM yang berat

yang diatur dalam pengadilan HAM ada di UU no 26 tahun 2000. Lalu,

tentang diskriminasi juga sudah diatur dalam UU no 40 tahun 2008. Di

Indonesia sudah jelas tentang hak mana yang tidak boleh dicabut, mana hak

yang boleh dibatasi oleh negara. Pembatasan hak dalam UU Pasal 28 J,

semua orang punya hak dan boleh dibatasi oleh UU dengan beberapa

pertimbangan. Misalnya pertimbangan keamanan, moralitas, kesehatan,

susila, agama, dan seterusnya. Tapi, pembatasan tersebut harus dengan UU.

Lalu apakah ada UU yang kemudian mengatur pembatasan hak hingga dapat

mencabut hak tersebut? Dalam kasus korupsi misalnya, dalam UU tindak

pidana korupsi memang ada batas tertentu yang membolehkan hukuman

maksimal, misalnya korupsi dana bantuan bencana alam, boleh hukuman

mati walaupun sampai sekarang tidak ada yurispedensinya jangankan

dihukum mati karena korupsi, dituntut matipun belum. Lalu, terkait

pencabutan hak politik memang di beberapa kasus telah terjadi misalnya

seorang pejabat publik lalu dia memanfaatkan kewenangan yang dimiliki

untuk melakukan korupsi atau mempengaruhi dan seterusnya. Pada

beberapa kasus yang dijatuhi masa hukuman 10-20 tahun bahkan seumur

hidup dan kemudian dijatuhi hukuman pencabutan hak politik. Saya

berpendapat bahwa pencabutan hak politik itu pembatasannya harus dengan

UU, tidak boleh dengan PP, Kepres atau di bawah UU (dalam hierarki

perundang-undangan) karena itu merupakan mandat konstitusi. Sepanjang

itu diatur oleh undang-undang, pembatasan bahkan pencabutan hak politik

sebetulnya tidak melanggar HAM selama itu memenuhi unsur yang oleh UU

dibolehkan memutuskan pembatasan tersebut. Selama sesuai dengan UU

yang dibatasi itu boleh. Sama halnya seperti hukuman mati menurut HAM

dalam perspektif liberal tidak boleh mencabut itu (nyawa seseorang) dengan

Page 109: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

100

alasan apapun karena itu merupakan hak yang absolut yang tidak bisa

dikurangi dalam kondisi apapun, dan di beberapa negara ada moratorium

(soal hukuman mati), walaupun HAM di Indonesia dalam putusan MK tidak

menganut kemutlakan HAM. Oleh karena itu, UU kita masih membolehkan

hukuman mati sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bahkan dalam UU

nomor 26 tahun 2000, kejahatan kemanusiaan boleh dihukum mati, seperti

narkotika, korupsi dan lain sebagainya. Oleh sebab itu menurut saya selagi

ada undang-undang yang mengatur dan dilakukan melalui pengadilan yang

adil maka hal tersebut sah-sah saja, dalam kasus tertentu semisal kasus

korupsi saya sepakat bila pelaku dicabutan hak politik bila terbukti secara

sah dan meyakinkan telah menggunakan pengaruh politiknya untuk

melakukan korupsi dengan catatan harus sesuai dengan aturan yang berlaku

(UU Tipikor). Tetapi dalam tindak pidana makar saya tidak sepakat sebab

saya tidak menemukan terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana makar yang

ada hanya tentang perbedaan pandangan politik bila kita melihat beberapa

kasus yang terjadi belakangan ini tetapi mungkin beda halnya bila yang

melakukan adalah militer.

2. Apa perbedaan dan bughat dan makar dalam hukum Islam, mengingat

kata makar juga diadopsi dari bahasa Arab, apakah ada persamaan

bughat dan makar secara terminologi dan etimologi menurut anda?

Jawaban: Dalam normanya terdapat persamaan antara bughat dan makar

yakni sama-sama melakukan pemberontakan atau hal-hal lainnya terhadap

pemerintahan yang sah dalam suatau negara. Namun apakah sama, makar

yang dimaksud oleh KUHP dengan bughat dalam Islam?, dalam aturannya

tentu saja berbeda sebab KUHP kita merupakan warisan kolonial dan

bughat sendiri sumber hukumnya berasal dari al-Qur’an dan Hadis. Jika kita

melihat itu dari perspektif sejarah maka jelaslah terjadi perbedaan yang

cukup signifikan dimana Hukum Islam melalui al-Qur’an dan Hadis

mendahului hukum yang dibuat oleh pemerintahan kolonial Belanda tentu

saja substansinya juga berbeda begitu juga dengan sanksi dan mekanisme

Page 110: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

101

peradilannya. Lalu bagaimana kita menterjemahkan sebagai fakta?

Kemudian melihat kasus itu saya melihat tidak dapat dikatakan sebagai

makar walaupun secara norma sama. Hal ini sama seperti hukuman mati

dalam Islam dengan hukuman mati dalam KUHP itu berbeda. Jika dalam

Islam selalu dikaitkan dengan hukuman akhir tetapi tidak mutlak seperti

misalnya diyat dapat mengurangi bahakan menghilangkan tuntutan

maksimal. Jika dalam KUHP ada grasi, misalnya kejahatan terhadap negara

kemudian presiden memberikannya itu sebagai penghargaan terhadap

kemanusiaan. Hal ini memiliki persamaan secara norma tetapi memiliki

perbedaan dalam mekanismenya, dimana penghapusan hukuman mati

terhadap pelaku diberikan oleh keluarga korban, sementara dalam konteks

KUHP penghapusan hukuman mati diberikan oleh penguasa. Dalam norma

makar ingin menjatuhkan kekuasaan yang sah lalu menggunakan kekuatan

bersenjata. Tetapi bukan dalam konteks berbeda pendapat. Jika berbeda

pendapat, itu tidak memenuhi syarat. Pada dasarnya makar berasal dari

bahasa Arab (المكر). Namun kemudian konteksnya menjadi berbeda dari

Bahasa Arabnya sendiri. Sementara dalam praktiknya memang berbeda.

Rumusan norma yang jelas telah dibahas.

3. Dalam Al-Qur’an sanksi untuk para pelaku bughat yakni dengan

memeranginya sementara itu di literatur yang berbeda menyebutkan

sanksi bagi pelaku bughat merupakan ta’zir yang ditentukan oleh ulil

amri. Bagaimana pendapat anda tentang hukuman bughat menurut

hukum pidana Islam?

Jawaban: Mekanisme pemidanaan sudah diatur sedemikian rupa oleh para

ulama dalam hukum pidana Islam. Pencabutan hak politik dapat dilakukan

bila ada mekanismenya, seperti misalnya ta’zir hukumannya diserahkan

kepada ulil amri. Namun sebagaimana yang kita ulas sebelumnya bila

konteks bughat atau makar dalam hukum di Indonesia maka memerangi

pelaku makar sama halnya dengan menjerat pelaku yang kalah dalam

perebutan kekuasaan hal ini harus kita clear-kan. Konteks penjelasan dalam

Page 111: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

102

al-Qur’an merupakan penjelasan yang general (‘am) dan peran para ahli fiqh

mensimetriskan menjadi ketentuan khusus dan aplikatif bagi kehidupan

yang normal artinya konteks memerangi dalam al-Qur’an merupakan

hukuman dalam kondisi peperangan. Namun bila kita mengacu pada hukum

pidana Islam maka mekanisme penjatuhan pidananya melalui ta’zir. Bila

konteksnya adalah Hukum Islam di Indonesia, qanun Aceh cukup relatif

mengusung syariat dalam konteks Indonesia walaupun belum sempurna.

Seingat saya, ta`zir di Aceh itu ada beberapa, tetapi qanun itu tidak memuat

soal bughat. Mereka lebih kepada jinayah biasa tidak sampai pada jinayah

politik. Jika pada jinayah pidana Islam mereka lebih ke hudud dan ada ta`zir

juga didalamnya. Pengaturannya ta’zir harus sesuai dengan regulasi seperti

di Aceh regulasinya adalah melalui qanun. Di Indonesia yang kemudian

dapat dijadikan contoh adalah Aceh, bagaimana diserahkan kepada ulil amri

tapi ada basis undang-undangnya. Kontektualisasi Al-Qur`an dalam konteks

Indonesia, bisa diobjektifikasi melalui mekanisme regulasi yang masuk

konstitusi dan undang-undang yang kemudian dipositifkan. Upaya-upaya

itu kemudian ada meski baru sebatas yang sifatnya non jinayah seperti

waqaf, haji, zakat. Paling tinggi itu ada Komplikasi Hukum Islam (KHI).

Tapi lebih banyak hubungan keperdataan. Saya setuju bila pelaku tindak

pidana makar dicabut hak politiknya, tetapi harus didasarkan pada undang-

undang. Secara politis bughat benar atau salahnya pelaku ditentukan pada

hasil akhir yakni persoalan menang atau kalah. Jika dia menang maka

kemudian dia benar dan jika pemberontakan itu kalah maka dia dinyatakan

bersalah. Atau misalnya, jika PKI menang maka PKI itu tidak salah dan

kemudian dalam tarikh kasus perang shiffin misalnya jika Imam Ali RA

memenangi peperangan itu dan tidak melakukan arbitrase maka pasti

kelompok Mu’awiyah Bin Abi Sufyanlah yang dianggap sebagai pelaku

bughat sebab Imam Ali Bin Abi Thalib merupakan khalifah yang dipilih

berdasarkan konsensus yang legitimate. Namun kenyataannya siapa yang

dianggap menjadi pemberontak? Jelas sekali pengikut Ali Bin Abi Thalib

yakni dari golongan syi’ah yang diperangi Muawiyah dan pasukannya, hal

Page 112: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

103

ini terjadi karena Mu’awiyah Bin Abi Sufyan memenangi perang shiffin dan

membangun Dinasti Umayyah. Sebetulnya bughat itu sangat dominan

dimensi politiknya.

4. Mungkinkah ulil amri memberikan ta’zir berupa pencabutan hak

politik seperti menduduki jabatan publik dan atau memiliki hak

memilih serta dipilih kepada terpidana makar?

Jawaban: Bila kita melihat ta’zir pencabutan hak politik bagi pelaku tindak

pidana makar di Indonesia maka hal ini belum tepat sebab dalam qanun

jinayah di Aceh saja -sebagaimana yang kita bahas sebelumnya- belum

memuat perihal tindak pidana bughat atau makar di negara kita. Jadi belum

tepat bila hakim sebagai perpanjang tanganan pemerintah memutuskan

ta’zir bagi pelaku tindak pidana makar sebab mekanisme sanksinya juga

belum diatur di dalam qanun jinayah di Aceh misalnya. Oleh sebab itu

hakim di Aceh tidak bisa memutuskan bila kita mengacu kepada undang-

undang kekuasaan kehakiman. Sementara itu bila kita melihat dalam

perspektif Islam maka hal itu mungkin saja dilakukan bila mengedepankan

penegakan hukum yang modern sebab sanksi ini merupakan sanksi

kontemporer. Akan tetapi bila mengacu pada Al-Qur’an dan Hadist

sebagaimana yang tadi kita diskusikan bahwa memang tidak ada sanksi lain

dalam tindak pidana bughat selain memerangi, penjara atau bahkan

dihukum mati. Intinya adalah bahwa penjatuhan pidana ini merupakan hal

yang baru dalam konteks hukum pidana Islam, akan tetapi bila hakim

bersepakat untuk melakukan ijtihad untuk mencabut hak politik seseorang

naka hal itu sah-sah saja. MUI telah mengeluarkan fatwa kebangsaan

mengenai bughat atau pemberontakan ini dimana kesimpulannya adalah

segala sesuatu yang mengarah kepada upaya makar, bughat atau

pemberontakan maka hukumnya adalah haram adapun mengenai sanksinya

maka dikembalikan kepada negara sebagai pemilik otoritas.

Page 113: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

104

5. Apakah sanksi pencabutan hak politik melanggar hak asasi manusia

dalam pandangan hukum pidana islam dan maqoshidu al-syari’ah, dan

dimana letak dimensi keadilan dalam hukuman tersebut?

Jawaban: Makar atau bughat ini untuk masuk ke maqoshidu al-syari’ah

masih menuai problem menurut saya, apalagi bila hukumannya mengenai

pencabutan hak politik ataupun hukuman lainnya seperti penjara bahkan

hukuman mati. Sebab dimensi politik (perebutan kekuasaan) dalam kasus

makar atau bughat ini masih lebih dominan dari pada mengenai pencarian

keadilan. Maqashidu al-syari’ah ini merupakan ruh dari tegaknya syariat

Islam dan sangat filosofis, dia tidak mengenal kalah atau menang.

Maqoshidu al-syari’ah berbicara pada konteks keadilan, kebenaran dan

kesetaraan. Namun bila berbicara perihal keadilan saya sepakat bila pelaku

makar dicabut hak politik itupun kalau kasusnya tidak dipolitisir.

Selanjutnya bila kita mengacu pada maqoshidu al-syari’ah kita lihat aja

mana yang lebih maslahat mencabut nyawa seseorang atau mencabut hak

politik seseorang. Apalagi dalam hukum pidana Islam sanksi hukuman mati

sendiri dijatuhkan bila pelaku juga melakukan pembunuhan terhadap

korbannya. Sejauh sanksi tersebut dalam due proccess of law-nya berjalan

dengan baik sesuai dengan prosedur maka pencabutan hak politik bagi

pelaku tindak pidana makar saya kira tidak melanggar ketentuan hak asasi

manusia secara prinsip. Bila kita melihat maqoshidu al-syari’ah mengenai

sanksi pencabutan hak politik terhadap pelaku tindak pidana makar kalau

saya melihat ini sebagai dua konteks yang berbeda seperti yang saya

jelaskan tadi. Akan tetapi bila seseorang dicabut hak politiknya sebagai

konsekuensi atas perbuatannya dan hal tersebut diatur dalam undang-

undang maka saya sepakat terhadap pencabutan hak politik.

Page 114: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

105

Page 115: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

106

LAMPIRAN 2

Hasil Observasi/Wawancara dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

(KOMNAS HAM)

Nama : Agus Suntoro., S. H.

Jabatan : Analis Perlindungan Hak Sipil dan Hak Asasi Manusia

1. Bagaimana pendapat anda tentang keberlakuan hukuman pencabutan

hak politik bagi terpidana, apakah hukuman tersebut merupakan

bagian dari pelanggaran HAM?

Jawaban: Begini, mau sampai pada konteks pencabutan atau hak

pencabutan kita harus melihat rumusan pembatasan hak, dalam konteks

internasional ada hak yang harus ditunaikan dan ada hak yang dapat

dikurangi dalam kondisi tertentu. Itu yang terkait derogable right dan

underogable right salah satunya memang soal penghukuman. Hal itu

ditegaskan kembali dalam UU 39 Tahun 1999 tentang HAM salah satu pasal

70 mengatur tentang pembatasan hak yang harus diatur melalui UU dengan

beberapa klausul, adanya penghormatan terhadap kebebasan hak orang lain,

pertimbangan moral, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Untuk melihat konteks itu, maka kita melihat Apakah definisi pembatasan

dalam konteks Siracusa Principle. Siracusa prinsip merupakan salah satu

prinsip yang di adopsi dari PBB, cuma pembatasan itu dibenarkan atau

tidak.

Pertama, ketetapan oleh hukum, itu harus clear hukum nasional harus

mengatur ke sana dan yang kedua Tidak boleh ada kesewenang-wenangan

dalam penetapan hukum. Jadi kita harus melihat bahwa hukum itu bukan

untuk tindakan pembalasan dan lain-lain sebagainya, tapi ini dalam

kerangka menjamin situasi yang diperlukan dalam keadaan nasional.

Page 116: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

107

Kedua, terkait dengan mempertahankan masyarakat dalam konteks

demokratis, demokratis itu kita harus lihat secara lebih detail, di Indonesia

misalnya kita tidak hanya negara hukum menempatkan HAM dalam

kerangka Undang-undang Dasar.

Ketiga, Soal ketertiban umum, apakah pengaturan melalui bersifat

membatasi ketertiban umum, yaitu memang agak susah, ada indikasi untuk

ketertiban umum bisa dikontrol, artinya lembaga-lembaga negara yang

melakukan pembatasan dalam konteks ini kepolisian, kejaksaan itu kita bisa

kontrol jadi dia tidak sewenang-wenang menjatuhkan hukuman terhadap

kejahatan ini

Keempat, moral politik, itu menjadi prinsip yang harus dipenuhi yaitu

melihat niatan dari rumusan/kebijakan penagturan soal pembatasan-

pembatasan ini untuk apa? Itu juga penting untuk dilakukan, tidak boleh lah

niat kita untuk pembalasan, niat kita untuk menghancurkan seseorang, itu

tidak diperbolehkan.

Terakhir, keamanan nasional, lebih ditekankan pada dua aspek pertama,

integrasi nasional dan yang kedua, soal kebebasan berpolitik, itu juga tetap

harus diatur, jangan sampai karena orang berbeda pandangan politik kita

tetapkan sebagai makar, juga agak riweuh, dia tetap harus pada koridor.

Jadi secara keseluruhan prinsip-prinsip itu tetap harus ada dan dianggap

memenuhi unsur, kalau hanya misalnya kita tidak suka, lalu di cari-cari

rumusan dan diproses melalui kebijakan makar kan itu repot, karena kalau

kita mengacu pada makar unsurnya susah kan, dia punya otoritas, dia punya

senjata, jangan hanya karena orang beda pendapat, kritik keras, berkumpul

dan segala macam kemudian dianggap makar, itu penting untuk dilakukan,

itu yang perlu kita pikirkan, dan apakah pembatasan itu melanggar HAM?

Dari norma membatasi hak politik itu bisa dibenarkan, tapi apakah itu tepat

dilakukan dalam konteks makar atau tidak itu yang perlu kita perdalam

kembali. Bahwa pembatasan secara normatif mengacu pada konvensi

Page 117: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

108

internasional, dan aturan-aturan hak internasional itu dibenarkan dan juga

aturan-aturan nasional juga dibenarkan, sepanjang tadi yang bersifat

derogable right dibenarkan, tapi prinsipnya tadi, lima tentang itu yang harus

ada.

2. Kasus ini harus melalui the process of law, setelah dia masuk tahapan

persidangan, hakim mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk

memutuskan suatu perkara. Pada beberapa kasus belakangan sanksi

ini hanya diputuskan pada kasus korupsi saja. Sebagaimana statement

dari Saldi Isra beliau berpendapat “setiap pembatasan hak itu tidak

dibenarkan, karena setiap orang memiliki hak yang sifatnya kodrati

lantas mengapa harus dibatasi haknya?”. Bagaimana pendapat anda

mengenai hal ini?

Jawab: Kita harus melihat dua konteks, pertama, soal pembatasan dalam

kerangka hukum dan HAM ini, artinya dari norma-norma internasional dan

nasional memungkinkan, sepanjang tidak bertentangan dengan siracusa

prinsip, misalnya soal keamanan, moral politik dan lain sebagainya,

sepanjang ini dipenuhi, pembatasan melalui UU itu dibenarkan. Bahwa

Apakah ini tepat diberlakukan dalam kejahatan makar? Kalau kita mengacu

pada Pasal 35 KUHP itu masih mencantumkan soal bagaimana hukuman

tambahan diatur, secara norma dibenarkan, yang tidak betul adalah apakah

ini dikontekstualisasikan dalam kasus-kasus makar, artinya dimungkinkan.

Tadi disampaikan Makar unsurnya banyak, betul-betul mengancam jiwa

otoritas negara, dan unsurnya harus terpenuhi. Bahwa apakah ini tepat

menjadi ancaman? Inilah kasus yang lebih berdimensi politik hukum,

politik hukumnya yang lebih dominan artinya baik dari kepolisian,

kejaksaan, pengadilan masuk pada prinsip siracusa, dia bisa dikontrol

tidak? Artinya dia independen menjatuhkan putusan ini, atau diperintahkan

oleh penguasa, penyimpangan hukumnya di situ. Kalau dia menjalankan

kerangka ini sesuai dengan aturannya, dan segala macam pertimbangan-

pertimbangan yuridisnya dia masuk, serta ada keyakinan hal itu

Page 118: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

109

dimungkinkan. Namun kalau sudah ada indikasi menjadi bagian dari alat

politik negara untuk melawan oposisi (lawan politik) hal itu yang tidak

boleh terjadi, itulah pentingnya kajian politik di sana. Hukum itu harus

netral, harus berdasarkan pada konteks politik. Dari konsep itu sebetulnya

yang perlu dilihat; Satu, norma artinya normanya tidak ada problem -

sepanjang normatif- yaitu dimungkinkan, dimungkinkan apakah kebijakan

makar itu mungkinkan challenge-nya, tentunya pembatasan itu boleh tapi

keputusan yang diambil tidak untuk menjatuhkan, menjamin prinsip negara

yang berdemokrasi itu jangan sampai dilakukan untuk menghancurkan

lawan politik dalam kerangka untuk pembungkaman. Sebetulnya

pembatasan-pembatasan dalam konteks korupsi, dalam kejahatan makar

relatif tidak ada, dan ini tentu sensitif, karena bisa dianggap sebagai

pembungkaman, tapi secara norma tadi saya sampaikan dimungkinkan

dengan aturan internasional maupun nasional, tapi penerapannya harus

melihat indepedensi dari aparatur negara yaitu yang bisa dikontrol, yang

bisa menjatuhkan secara independen dan itu merupakan bagian dari proses

tujuan hukum (keadilan, kemanfaatan dan lain-lain). Artinya pemerintah

sebagai aparatur negara dan segala aparaturnya tidak boleh intervensi,

meskipun kejaksaan dan kepolisian bagian dari eksekutif. Inilah saya kira

challenge untuk penelitian ini bahwa jangan sampai kedepannya kejahatan-

kejahatan makar menjadi alat abuse of power, sanksi tambahan mengenai

tindak bisa dicantumkan di RUU KUHP dan dispesifikasi pastinya terhadap

keajahan apa saja selain korupsi. Pasal 35 KUHP ini sebenarnya berpotensi

sekali untuk dijatuhkan kepada terpidana apapun selain korupsi bila

kepentingan politiknya besar sebab ini merupakan ketentuan umum. Intinya

pembatasan harus diatur melalui UU, termasuk KUHP itu sendiri. Agak

riskan kalau semisal hakim memutuskan suatu hukum beradasarkan

ketentuan umum. Maka daripada itu bila ingin menerapkam sanksi

pencabutan hak politik bisa saja kita menjadikan UU tipikor sebagai role

model.

Page 119: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

110

3. Beberapa tahun belakangan banyak terjadi kesimpang siuran tentang

laporan mengenai tindak pidana makar, mengingat pasal ini

merupakan pasal karet, apakah menurut anda pasal mengenai tindak

pidana makar ini merupakan pasal yang dapat mereduksi hak

masyarakat untuk mengkritisi kebijakan pemerintah?

Jawab: Pada dasarnya kalau kita mengacu pada konteks HAM, sanksi itu

bukan penghukuman, tetapi pembinaan kepada narapidana dan orang-orang

bersalah, hal itu dilakukan untuk kemaslahatan hukum kemudian untuk

perbaikan kedepan terhadap person-nya. Kita mengamini bila pelaku atau

terpidana menciderai komitmennya terhadap publik atau mengingkari

norma-norma moral, tapikan ada mekanisme lain yang dapat dilakukan

untuk membatasi hak dia mengajukan diri sebagai pejabat publik, seperti di

KPU. KPU melalui PKPUnya telah membatasi hak seseorang mencalonkan

diri sebagai pejabat publik sebab kasus korupsi, kejahatan seksual terhadap

anak. Tapi kenapa saya katakan makar sulit? Karena selain aspek politiknya

dominan dia juga sangat berpengaruh terhadap stabilitas nasional bahkan

mungkin internasional. Menentukan seseorang makar atau tidak itu saya

kira sangat sulit dan sangat sensitif. Karena tidak hanya kebebasan dia

menyampaikan ekpresi misalnya self determinition atau keingin untuk

merdeka seperti Papua maupun Aceh, tapi ini soal aspek-aspek dibenturkan

integritas, nasionalisme, dan perebutan kekuasaan. Itu menjadi sensitif,

ketika ada pembatasan soal hak politik untuk terlibat dalam pemerintahan

kan gitu. Jadi dimensi itu kalau kita mengacu normanya dalam konteks

HAM dimungkinkan untuk dicabut hak politik seseorang (walaupun dalam

kasus makar saya kira sangat rumit), karena ini bersifat derogable right

seperti; penyiksaan, kebebasan beragama dan lain-lain. Hal ini

diperbolehkan, maksud diperbolehkan dalam konteks HAM itu bersifat

necessity artinya harus proporsional dan tujuannya sebanding dengan

manfaatnya. Membatasi hak seseorang manfaatnya harus lebih besar

manfaatnya dari pada tujuan mencabut hak seseorang, jangan sampai tidak

proporsional. Apakah dalam makar ini seperti itu? Itu tergantung dari

Page 120: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

111

otoritas para penegak hukum. Jangan sampai hal itu terjadi (tidak

proporsional). Bila mengacu pada data KOMNAS HAM laporan terkait

pencabutan hak politik ini banyak kami terima dari para pelaku tindak

pidana korupsi itupun soal hak mereka mendapatkan remisi tetapi belum

ada yang minta dicabut sanksi pembatasan hak politiknya, adapun laporan

mengenai makar banyak kami terima soal kriminalisasi seseorang sebab

menyampaikan pandangannya yang tidak sepaham dengan pemerintah.

Seperti kasus 212 contohnya, para pihak yang diduga melakukan tindak

pidana makar sebagian besar melapor kepada kami untuk diadvokasi.

4. Beberapa waktu silam pasal makar dalam KUHP di-judicial review

oleh salah satu institusi yakni ICJR (Institute for Criminal Justice

Reform) tetapi ditolak oleh MK. Sebenarnya yang jadi pertanyaan

besar buat saya itu pasal ini pasal karet, bisa saja djatuhkan oleh

siapapun yang tidak dikehendaki oleh pemerintah, nah kalau

seandainya tadi secara pure seseorang melakukan pemberontakan

dengan dasar tidak sepakat dengan kebijakan pemerintah/eksekutif

dan dicabut hak politiknya, apakah hal itu sebenarnya tidak melanggar

HAM, walaupun sanksi pencabutan/pembatsan hak politiki itu

derogable right?

Jawaban: Tentu penegak hukum sangat hati-hati untuk menentukan

pelanggaran atau tidak dalam kasus makar ini. Makar, unsurnya banyak

yang harus dipenuhi, bukan bersifat alternatif tapi dia harus kumulatif.

Seperti pada peristiwa 212, saya yang kebetulan mendampingi para terduga

makar ini ketika menemui beberapa ahli seperti; Prof. Mahfud, kemudian

ketua Peradi, dan ahli hukum pidana dari beberapa kampus. Semua

menyimpulkan bahwa peristiwa 212 bukan merupakan tindak pidana

makar, makanya polisi tidak bisa masuk dan semua terduga bebas. Massa

aksi 212 menuntut ingin menggulingkan pemerintah dalam hal ini presiden

sebagai kepala negara akan tetapi fakta lapangannya tidak ditemukan unsur

Page 121: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

112

makar seperti kekuatan persenjataan, mengancam keselamatan presiden

atau unsur lainnya. Selanjutnya mereka bergerak ke gedung DPR/MPR dan

meminta MPR bersidang untuk meng-impeach Pak Jokowi selaku presiden

misalnya, hal itu secara norma/HTN dibenarkan, maka dari itu kalau ingin

terpenuhinya unsur makar itu susah sekali, kecuali dalam negara yang

otoriter mungkin. Pasal inikan merupakan warisan kolonial, memang

Belanda menempatkan itu untuk melindungi penguasa dan kekuasaannya

kan. Celakanya MK dalam hal ini (judicial review) tidak memenuhi harapan

kita. Paling tidak kejahatan-kejahatan seperti ini diatur dan penerpannya

dikontrol misalnya; studi kasus (kebetulan banyak laporan yang masuk

karena mereka tidak bisa pulang ke negaranya) Turki antara Erdogan dan

Fethullah Gulen, sebenarnya seperti itu kan (pencabutan hak politik

terhadap pelaku makar), orang yang di luar koalisi Erdogan dituduh sebagai

makar, berikut juga organisasi-organisasi yang mengkritik pemerintah

seperti organisasinya Fetullah Gulen, semua haknya dibatasi, hak politiknya

dicabut, tentu itu tidak boleh secara HAM. Tapi dalam konteks norma dan

aturan itu dibenarkan ada soal pembatasan, tapi penerapannya seperti apa

itulah dua hal yang berbeda.

5. Dalam literatur akademik mengenai HAM, kita mengenal istilah

derogable right dan underogable right. Hak politik merupakan bagian

dari derogable right, apakah pembatasan hak memilih dan dipilih

sesuai kiranya dijatuhkan kepada terpidana yang menyalahgunakan

kewenangan politiknya?

Jawab: Secara prinsip dibenarkan tetapi bagaimana itu tidak dilakukan

secara sewenang-wenang, siracusa principles itu yang menjadi acuannya,

dan memang seperti itu, norma internasionalnya. Dalam ICCPR pembatasan

dilakukan bukan dalam rangka mengingkari hak-hak itu, tetapi yang kita

sebut tadi necessity. Memang masih ada polemik didalamnya tapikan dia

bersifat ajuan. Mengenai pelaksanaan pemerintahlah yang

mengundangkannya. Harapan kita meskipun ada pembatasan, kerangka

Page 122: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

113

pelaksanaannya yang harus bisa dikontrol, dikontrolnya melalui apa? Satu,

dalam tujuan-tujuan tertentu misalnya kita merumuskan dalam RUU KUHP

kejahatan apa saja bisa dicabut haknya. Kedua, lembaga-lembaga ini harus

bisa dikontrol. Dan ketiga, harus ada pembatasan sebagaimana presiden

sebagai kepala negara tidak melakukan intervensi terhadap jajaran-

jajarannyanya, itu memang agak subyektif tetapi ini yang harus

dicantumkan. Hak politik dalam hal ini merupakan derogable right artinya

bila mekanismenya diatur maka hal itu tidak melanggar HAM. Hak dalam

hal ini yang kita kenal sebagai underogable right-lah tidak boleh direduksi

dalam keadaan apapun, meskipun di negara kita masih mengenal hukuman

mati. Pada dasarnya sekalin saya menjawab pertanyaan urgensi penerapan

sanksi ini, intinya mencabut hak politik seseorang secara norma

internasional disahkan, sejauh hal tersebut diatur dalam undang-undang.

Namun yang menjadi persoalan adalah putusan hakim apakah adil atau tidak

terus telah diintervensi atau tidak, inilah yang harus menjadi tugas kita

bersama terlebih aparatur pemerintahan baik eksekutif, yudikatif dan

legislatif. Jangan sampai ini menimbulkan celah ketidak adilan. Saya kira

untuk konteks sekarang tidak urgent ya menjatuhkan hukuman tambahan

kepada pelaku tindak pidana makar sebab itu tadi pidananya saja sulit untuk

dipenuhi unsur-unsurnya.

Page 123: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

114

Page 124: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

115

Page 125: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

116

LAMPIRAN 3

Hasil Observasi/Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Nama : Saifudin Zuhri., S. H., M. Hum.

Jabatan : Hakim Madya Utama

1. Bagaimana pendapat anda sebagai hakim mengenai sanksi tambahan

pencabutan hak politik bagi pelaku tindak pidana, mungkinkah sanksi

tersebut menjadi preseden hakim untuk menjatuhkan pidana

tambahan tersebut kepada pelaku tindak pidana makar?

Jawaban: Tuupoksi saya disini sebagai praktisi dan kapasitas saya

menjawab ini sesuai dengan legal formil. Tentunya bila aturannya ada maka

bisa saja diterapkan dan begitu juga sebaliknya. Sementara itu secara proses

sebagai seorang hakim kami menunggu perkara yang dilimpahkan oleh

pihak jaksa setelah penyidikan dan penyelidikan oleh kepolisian. Sementara

itu mengenai pendakwaan terhadap suatu perkara hal ini dilakukan oleh

jaksa. Sejauh ini ketentuan mengenai pencabutan hak politik hanya diatur

pada tindak pidana korupsi namun mengenai makar belum ada ketentuan

(khusus) yang mengatur. Adapun bila terdapat sanksi pencabutan hak-hak

tertentu didalam pasal 35 KUHP hal tersebut merupakan ketentuan umum.

Artinya pasal tersebut merupakan legi generali tapi bila kita merujuk

kepada UU Tipikor maka hal tersebut sudah masuk kepada lex specialis

artinya terdapat ketentuan khusus yang mengatur pemberian sanksi

pencabutan hak politik, hal tersebut sesuai dengan dakwaan dan setelah itu

jaksapun akan menuntut dengan aturan yang sama dan tidak boleh

menambah tuntutan yang lain bila tidak ada ketentuannya. Bila ingin

menambahkan pencabutan hak politik dalam tindak pidana makar maka

harus melalui mekanisme yang sudah diatur dalam perundang-undangan

yakni melalui legislatif atau mengajukan judicial review atau mekanisme-

Page 126: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

117

mekanisme lainnya yang konstitusional. Adapun kapasitas hakim disini

hanya memutuskan sesuai dengan aturan yang tertulis. Bila kita melihat

pasal mengenai makar seperti pasal 87, 87, 104, 105, 106, 107, 130, 139a,

139b dan 104 tidak ada nomenklatur yang mengatur perihal pidana

pencabutan hak politik pelaku pidana makar dan hakim tidk dapat

menambah-nambah putusan atau menjatuhkan sanksi.

2. Bila sanksi pencabutan hak politik tidak dimungkinkan untuk

dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana makar, dapatkah hakim

melakukan yurisprudensi untuk menjatuhkan sanksi tersebut?

Jawaban: Memang hakim memiliki wewenang untuk melakukan

yurisprudensi karena itu sumber hukum artinya hakim berijtihad untuk

menjatuhkan hukuman baagi terpidana. Namun hal ini tidak mudah, kita

harus membertimbangkan aspek sosial, filosofis, yuridisnya serta historis.

Kalau misalnya aspek yuridis sudah terpenuhi termasuk yang tadi

(ketentuan umum KUHP pasal 35) akan tetapikan ada aspek lainnya seperti

aspek sosial. Bila kasus ini menjadi sorotan publik dan mendapat pressure

dari masyarakat ya saya kira tergantung urgensi ya. Apakah ini mendesak

atau tidak, sejauh ini memang tidak ada dan sedik sekali memang hakim

melakukan yurispridensi terhadap suatu kasus tindak pidana.

3. Pada beberapa waktu belakangan bapak menjatuhkan pidana kepada

Irwandi Yusuf dalam kasus TIPIKOR, apa dasar pertimbangan hakim

secara umum menjatuhkan pidana tambahan bagi tersangka.

Jawaban: Pendapat pribadi saya adalah sebagian besar pertimbangan hakim

menjatuhkan putusan pencabutan hak politik ini adalah penegakan hukum

dan implementasi good and clean governanvce (dalam kasus tipikor).

Seperti pada kasus yang baru saya putus dan ini masih ada upaya hukum;

“Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa hak masyarakat untuk

mendapat pemimpin daerah yang bersih dan berintegritas tinggi lebih

Page 127: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

118

diutamakan, sehingga pemintaan agar terdakwa Irwandi Jusuf dicabut hak

untuk dipilih dalam jabatan publik, dikabulkan oleh majelis hakim. Selain

dari pada itu pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik

adalah hak yang dikecualikan dari hak-hak dasar manusia (Hak Asasi

Manusia)”.

Seperti yang saudara sampaikan juga mengenai pertimbangan Hakim

Artidjo Alkostar, nah maka dari itu kami selaku hakim juga berupaya

melakukan tugas kami dengan baik berdasarkan aturan dan pertimbangan

keadilan. Dalam kasus ini memang tidak ada ketentuan yang mengatur

perihal pencabutan hak politik terpidana makar namun saya kira bila

saudara melalui penelitian ini bisa mengajukannya sebagai pertimbangan

akademik.

4. Apakah menurut anda sanksi pencabutan hak politik merupakan

pelanggaran hak asasi manusia?

Jawaban: Hakim tidak bisa menanggapi seperti itu, kalau pasalnya ada,

misalnya seperti korupsi, bisa dihukum dengan pidana tambahan

pencabutan hak politik. Yang kami lakukan selaku hakim adalah

menjatuhkan putusan sesuai dengan tuntutan yang diajukan jaksa penuntut

umum. Selanjutnya kami tidak bisa menambah sanksi yang dituntutkan oleh

penuntut umum dan itupun harus sesuai dengan aturan yang tertulis. Maka

dari itu adapun kajian mengenai pelanggaran hak atau lain sebagainya itu

adalah tupoksi dari para ahli bukan tupoksi kami sebagai hakim dalam

memutuskan suatu perkara.

5. Sebagai sebagai seorang hakim selain kasus korupsi apakah ada kasus

lain yang pelakunya dapat atau pernah dijerat dengan pidana

tambahan pencabutan hak politik?

Jawaban: Sejauh saya menjadi hakim memang belum ada sanksi pencabutan

hak politik yang dijatuhkan kecuali pada tindak pidana korupsi. Ya, seperti

yang saya bilang tadi sebab ketentuan tersebut hanya terdapat pada tindak

pidana korupsi dan tidak pada tindak pidana lainnya.

Page 128: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

119

LAMPIRAN 4

Tabel Undang-Undang Hak Asasi Manusia

Peraturan Pasal Ketetangan

Undang-Undang

Dasar RI 1945

1 (2), 2 (1), 6A (1), 19 (1),

22C (1), 28, 28C (2), 28D

(1, 3, 4), 28E (1, 2, 3),

28G (2), 28I (1).

Pasal-pasal yang dikutip

merupakan pasal yang berkaitan

dengan hak politik.

Undang-Undang

No. 9 tahun

1998.

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8.

Tentang Kemerdekaan

Menyampaikan Opini di Muka

Umum.

Undang-Undang

No. 39 tahun

1999.

18 (1, 2, 3, 4, 5), 23 (1, 2),

24 (1, 2), 25, 39, 43 (1, 2,

3), 44, 46, 49 (1), 73, 74.

Tentang Hak Asasi Manusia.

Adapun pasal-pasal yang

terlampir berkaitan dengan hak-

hak politik.

Undang-Undang

No 26. tahun

2000.

7 (b), 9 (h), Tentang Pengadilan HAM dan

penguatan instrumen HAM.

Undang-Undang

No. 12 tahun

2005.

Seluruh pasal.

Tentang Pengesahan ICCPR

(Kovenan Internasioanl tentang

Hak-Hak Sipil dan Politik).

Undang-Undang

No. 2 tahun

1999.

1 dan 8. Tentang Partai Politik

Undang-Undang

No. 3 tahun

1999.

1 (1, 2, 6), 28, 29 (1 dan

2), 30, 31, 32 (1), 41, 42,

43 (1, 2).

Tentang Pemilihan Umum.

Undang-Undang

No. 4 tahun

1999.

3 (1e).

Tentang Susunan dan

Kedudukan MPR, DPR dan

DPRD.

Page 129: PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47240...PROBABILITAS PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PENCABUTAN HAK POLITIK PELAKU TINDAK PIDANA

120