karakteristik pasien labiopalatoskisis di rsup...
TRANSCRIPT
1
BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT SKRIPSI
DAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS OKTOBER 2013
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
KARAKTERISTIK PASIEN LABIOPALATOSKISIS DI
RSUP Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR
PERIODE 1 JANUARI 2011 – 31 DESEMBER 2012
Oleh :
Zulkarnain Muin
C 111 08 186
Pembimbing :
dr. Sri Asriyani Sp. Rad
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN ILMU KEDOKTERAN MASYARAKAT
DAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
2
BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN ILMU
KEDOKTERAN KOMUNITAS FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
TELAH DISETUJUI UNTUK DICETAK DAN DIPERBANYAK
Skripsi dengan judul :
“Karakteristik Pasien Labiopalatoskisis di RSUP. Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar Periode 1 Januari 2011 – 31 Desember 2012”
Makassar, 15 Januari 2014
Pembimbing,
dr. Sri Asriyani, Sp.Rad
3
PANITIA SIDANG UJIAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
Skripsi dengan judul “Karakteristik Pasien Labiopalatoskisis di RSUP.
Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode 1 Januari 2011 – 31 Desember
2012”, telah diperiksa, disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin pada:
Hari/Tanggal : Rabu / 15 Januari 2014
Waktu : 10.00 WITA
Tempat : Ruang Seminar IKM-IKK FKUH PB.622
Ketua Tim Penguji :
(dr. Sri Asriyani, Sp. Rad)
Anggota Tim Penguji :
Anggota I
(Dr. dr. Sri Ramadhany, M.Kes)
Anggota II
(dr. Muh. Rum Rahim, M.Kes)
4
ABSTRAK
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
Dan Ilmu kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Skripsi, Januari 2014
Zulkarnain Muin
“Karakteristik Pasien Labiopalatoskisis Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar Periode 1 Januari 2011 – 31 Desember 2012”
( xii + 65 Halaman + 9 Tabel + 8 Lampiran)
Labiopalatoskisis (celah bibir dan langit-langit, cleft lip and palate
(CLP)), merupakan kelainan kongenital kraniofacial yang disebabkan oleh
gangguan perkembangan wajah pada masa embrio.
Kegagalan penyatuan
processus maxillaris dan processus nasalis media terutama pada minggu ke 5 – 7
kehamilan akan menimbulkan labioskisis unilateral ataupun bilateral. Processus
nasalis medial, yang merupakan bagian yang membentuk dua segmen
intermaxillaris, bila gagal menyatu, terjadilah celah yang disebut palatoskisis.
Faktor lingkungan yang teratogen dan genetik berperan dalam terbentuknya
labiopalatoskisis. Paparan intrauterine oleh anti-konvulsan dapat menyebabkan
peningkatan angka kejadian labiopalatoskisis hingga 10 kali. Ibu yang merokok
pada masa kehamilan dapat penyebabkan peningkatan 2 kali lipat. Teratogen lain
adalah alkohol dan asam retinoid.
Secara umum tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui karakteristik
pasien Labiopalatoskisis di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1
Januari 2011 – 31 Desember 2012. Pada penelitian ini, variabel yang diteliti
meliputi usia kontak pertama dengan dokter, jenis kelamin, status sosio-ekonomi
pasien, suku pasien, tipenya, riwayat kelainan yang sama pada keluarga pasien,
penyakit penyerta pasien, tindakan. Metode penelitian yang digunakan adalah
survey deskriptif. Adapun data yang dikumpulkan adalah data sekunder, yang
diperoleh dari melalui rekam medik subjek penelitian di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo terhitung sejak 1 Januari 2011 sampai dengan 31 Desember 2012.
Secara keseluruhan, total sampel yang diperoleh sebanyak 73 rekam
medik. Dari seluruh sampel, mayoritas pasien memiliki jenis skisis
labiopalatoskisis sebanyak 82%, dengan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki
(57,53%). Mayoritas pasien yang datang berasal dari sosial ekonomi rendah, hal
itu dapat dilihat dari jenis jaminan kesehatan yang mereka gunakan yaitu
jamkesmas/jamkesda (72,6%). Mayoritas pasien adalah suku Makassar (16,4%).
Rata-rata pasien datang pada usia 1-5 tahun (28,8%). Mayoritas pasien tidak
memiliki riwayat keluarga dengan penyakit yang sama (13,7%). Kebanyakan
pasien labiopalatoskisis menderita gangguan genetik lain (12,33%) sebagai
penyakit penyertanya. Dan mayoritas pasien tersebut mendapatkan tindakan
operasi sebagai terapinya yaitu sebanyak (76,7%).
Melalui penelitian ini, penulis berharap adanya suatu upaya utuk
meningkatkan pengetahuan masyarakat agar perlu memperhatikan asupan nutrisi
serta kesehatan ibu hamil dan menerapkan pola hidup yang sehat sehingga dapat
5
menurunkan angka kejadian labiopalatoskisis. Bagi masyarakat yang memiliki
anggota keluarga yang menderita kelainan ini agar dapat secepatnya berkonsultasi
dengan tenaga kesehatan sehingga dapat dilakukan pencegahan maupun
penanganan yang lebih baik terhadap kasus labiopalatoskisis
6
KATA PENGANTAR
Asslamu alaikum Wr.Wb.
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi
ini sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian tugas kepaniteraan klinik di
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedoteran Komunitas Fakultas
Kedokteran Unversitas Hasanuddin Makassar dengan judul : “Karakteristik
Pasien Labiopalatoskisis di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Periode 1
Januari 2011 - 31 Desember 2012” ini akhirnya dapat terselesaikan.
Dengan segala keterbatasan dan hambatan, saya menyadari bahwa tulisan
ini masih jauh dari kesempurnaan dan tidak dapat terwujud tanpa bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, saya terutama menyampaikan banyak terima
kasih kepada pembimbing saya dr. Sri Asriyani, Sp.Rad yang telah meluangkan
waktu, tenaga dan pikirannya untuk membimbing saya mulai dari tahap persiapan,
pelaksanaan, hingga penyelesaiaan skripsi ini. Tidak lupa pula saya mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Kepala bagian beserta seluruh staf bagian Ilmu Kesehatan
Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
3. Bapak Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan beserta seluruh staf
4. Bapak Walikota Makassar beserta seluruh staf
7
5. Bapak Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar beserta seluruh
staf
6. Bapak RW/RT Hartaco Jaya beserta seluruh staf
7. Kedua orang tua saya, Ir. H. Abdul Muin Kalu, MM dan dr. Hj.
Nurmin B. M. Sp.Rad, M.Kes dan saudara tercinta, Zulyudisiawan
Muin yang telah memberikan dukungan moril dan materi selama
saya menempuh masa pendidikan.
8. Teman-teman seperjuangan di bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini
yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu
Akhirnya, saya harapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Saya menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini,
karenanya kritik dan saran yang membangun saya harapkan demi perbaikan
skripsi ini.
Waalaikum Salam Wr.Wb.
Makassar , Januari 2014
Penulis
8
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………….. ii
ABSTRAK …………………………………………………………………… iv
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. viii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………. x
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………… xi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….... xii
BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………………… 1
1.1 LATAR BELAKANG …………………………………………… 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ………………………………………… 3
1.3 TUJUAN PENELITIAN …………………………………………. 3
1.4 MANFAAT PENELITIAN ……………………………………… 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………….. 6
2.1 PENGERTIAN LABIOPALATOSKISIS ………………………….. 6
2.2 EPIDEMIOLOGI ………………………………………………… 6
2.3 EMBRIOLOGI …………………………………………………… 7
2.4 ETIOLOGI ………………………………………………………. 13
2.5 KLASIFIKASI …………………………………………………... 15
2.6 PENATALAKSANAAN ………………………………………… 18
2.7 PROGNOSIS …………………………………………………….. 23
BAB III. KERANGKA KONSEP ………………………………………….. 24
9
3.1 DASAR PEMIKIRAN VARIABEL YANG DITELITI ………… 24
3.2 KERANGKA KONSEP ………………………………………….. 25
3.3 DEFINISI OPERASIONAL DAN KRITERIA OBJEKTIF ……. 26
BAB IV. METODE PENELITIAN …………………………………………. 33
4.1 JENIS PENELITIAN ……………………………………………. 33
4.2 WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN ……………………….. 33
4.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN ……………………. 33
4.4 JENIS DATA DAN INSTRUMEN PENELITIAN ……………… 34
4.5 MANAJEMEN PENELITIAN …………………………………… 34
4.6 ETIKA PENELITIAN …………………………………………… 35
BAB V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ………………….. 37
BAB VI. HASIL PENELITIAN …………………………………………….. 41
BAB VII. PEMBAHASAN ………………………………………………….. 53
BAB VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………….. 60
8.1 KESIMPULAN …………………………………………………. 60
8.2 SARAN ………………………………………………………….. 61
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 63
10
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Perencanaan tahapan penatalaksanaan pasien Labiopalatoskisis … 20
Tabel 2 : Distribusi pasien Labiopalatoskisis berdasarkan jenisnya ……….. 42
Tabel 3 : Distribusi pasien Labiopalatoskisis berdasarkan jenis kelamin ….. 46
Tabel 4 : Distribusi pasien Labiopalatoskisis berdasarkan status social …… 47
Tabel 5 : Distribusi pasien Labiopalatoskisis berdasarkan suku …………… 48
Tabel 6 : Distribusi pasien Labiopalatoskisis berdasarkan umur kontak
pertama dengan dokter ……………………………………………. 49
Tabel 7 : Distribusi pasien Labiopalatoskisis berdasarkan riwayat keluarga .. 50
Tabel 8 : Distribusi pasien Labiopalatoskisis berdasarkan riwayat
penyakit penyerta …………………………………………….……. 51
Tabel 9 : Distribusi pasien Labiopalatoskisis berdasarkan tindakan ……….. 52
11
DAFTAR GAMBAR DAN DIAGRAM
Gambar 1 : Gambaran embriologi bayi pada daerah wajah …………………. 8
Gambar 2 : Gambaran embriologi dari aspek frontal ………………………... 9
Gambar 3 : Aspek frontal dari wajah embrio minggu ke-7 …………………. 10
Gambar 4 : Segmen intermaxillaris dan processus maxillaries ……………… 11
Gambar 5 : Potongan frontal kepala pada embrio minggu ke-7 ……………... 12
Gambar 6 : Tipe labioskisis ………………………………………………….. 16
Gambar 7 : Tipe palatoskisis …………………………………………………. 16
Gambar 8 : Tipe labiopalatoskisis ……………………………………………. 17
Gambar 9 : Modifikasi Milliard dan klasifikasi Y Kernohan ……………….. 18
Gambar 10 : Teknik modifikasi Milliard ……………………………………. 21
Gambar 11 : Kerangka konsep ………………………………………………. 25
Diagram (a) : Distribusi pasien Labioskisis berdasarkan letaknya …………. 43
Diagram (b) : Distribusi pasien Labioskisis unilateral berdasarkan letak D/S.. 43
Diagram (c) : Distribusi pasien Palatoskisis berdasarkan letaknya ………… 44
Diagram (d) : Distribusi pasien Palatoskisis berdasarkan letak D/S ……….. 44
Diagram (e) : Distribusi pasien Labiopalatoskisis berdasarkan letaknya …… 45
Diagram (f) : Distribusi pasien Labiopalatoskisis berdasarkan letak D/S ….. 45
12
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat penugasan nama pembimbing skripsi
Lampiran 2 : Lembar persetujuan proposal penelitian
Lampiran 3 : Surat persetujuan izin penelitian dari Badan Koordinasi Penanaman
Modal daerah Provinsi Sulawesi Selatan
Lampiran 4 : Surat persetujuan izin penelitian dari Ka. Instalasi Rekam Medik
RSUP. Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar
Lampiran 5 : Surat keterangan selesai mengumpulkan data penelitian di Rekam
Medik RSUP. Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar
Lampiran 6 : Surat pengantar undangan untuk ujian skripsi kepada pembimbing
Lampiran 7 : Lembar pengesahan memperbanyak skripsi
Lampiran 8 : Kuesioner penelitian
13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Labiopalatoskisis (celah bibir dan langit-langit, cleft lip and palate (CLP)),
merupakan kelainan kongenital kraniofacial yang disebabkan oleh gangguan
perkembangan wajah pada masa embrio.
Kegagalan penyatuan processus
maxillaris dan processus nasalis media terutama pada minggu ke 5 – 7 kehamilan
akan menimbulkan labioskisis unilateral ataupun bilateral. Processus nasalis
medial, yang merupakan bagian yang membentuk dua segmen intermaxillaris, bila
gagal menyatu, terjadilah celah yang disebut palatoskisis. Labiopalatoskisis
merupakan gabungan dari dua kelainan tersebut di atas. 1,2
Insiden labioskisis 2,1 dalam 1000 kelahiran pada etnis Asia, 1:1000 pada
etnis Kaukasia, dan 0,41:1000 pada etnis Afrika-Amerika. Persentase labioskisis
adalah 21% dari seluruh kasus labiopalatoskisis. Sedangkan insiden palatoskisis
adalah 1:2000. Hampir 50% kasus palatoskisis disertai dengan sindrom kelainan
bawaan lain. Persentase kasus palatoskisis adalah 33% dari seluruh kasus
labiopalatoskisis. Berbeda dengan labiopalatoskisis yang persentasenya adalah
46% dari seluruh kasus skisis. Di Indonesia labiopalatoskisis menempati urutan
keempat kelainan congenital tersering setelah kelainan system saraf pusat,
jantung, dan genitalia. 1-4
Faktor lingkungan yang teratogen dan genetik berperan dalam
terbentuknya labiopalatoskisis. Paparan intrauterine oleh anti-konvulsan dapat
menyebabkan peningkatan angka kejadian labiopalatoskisis hingga 10 kali. Ibu
14
yang merokok pada masa kehamilan dapat penyebabkan peningkatan 2 kali lipat.
Teratogen lain adalah alkohol dan asam retinoid. Kelainan genetik dapat
mengakibatkan sindrom yang mencakup skisis dari palatum primer atau sekunder
saat perkembangannya.2,3
Bayi yang terlahir dengan labiopalatoskisis harus ditangani oleh klinisi
dari multidisiplin dengan pendekatan team-based, agar memungkinkan koordinasi
efektif dari berbagai aspek multidisiplin tersebut. Selain masalah rekonstruksi
skisis pada labium dan palatum, masih ada masalah lain yang perlu
dipertimbangkan yaitu masalah pendengaran, bicara, gigi-geligi dan psikososial.
2,3
Labiopalatoskisis sebagai kelainan kongenital yang menyebabkan banyak
morbiditas, serta beban ekonomi yang berat, hingga kini belum banyak diketahui
penyebabnya. Selain itu, masih kurangnya penelitian menyangkut angka kejadian
labiopalatoskisis di Indonesianya khususnya di RS Wahidin Sudirohusodo
Makassar, dimana penelitian terakhir tentang labiopalatoskisis dilakukan pada
tahun 2008 oleh Dinas Kesehatan Nasional yang meneliti 258.366 sampel rumah
tangga dan 987.205 sampel anggota rumah tangga yang di ambil dari 28 provinsi
di seluruh Indonesia. Namun penelitian itu tidak secara khusus meneliti tentang
angka kejadian labiopalatoskisis namun mencakup penyakit apa saja yang
terbanyak dikeluhkan oleh sampel yang diteliti, dengan hasil angka kejadian
labiopalatoskisis atau bibir sumbing adalah 0,2% (berdasarkan keluhan responden
atau observasi pewawancara). Dari data itu pula didapatkan provinsi Nusa
Tenggara Timur sebagai provinsi yang memiliki prevalensi tertinggi pasien bibir
sumbing di Indonesia, yang mana provinsi ini terletak di Indonesia Timur. Oleh
karena itu pada kesempatan ini, peneliti mencoba untuk mengetahui angka
kejadian labiopalatoskisis di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo dan mencari
kemungkinan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi kejadian sebagai bahan
pertimbangan dalam mencegah / menekan kejadian dikemudian hari. Dipilihnya
RS Dr. Wahidin Sudirohusodo oleh karena rumah sakit ini merupakan rumah sakit
15
rujukan untuk wilayah Indonesia Timur dengan data rekam medik yang lengkap,
serta masih kurangnya penelitian tentang labiopalatoskisis yang mengambil
sampel di rumah sakit ini.
1.2 RumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah bagaimana karakteristik pasien Labiopalatoskisis di
RSUP Dr.WahidinSudirohusodo Periode 1 Januari 2011 - 31 Desember 2012.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui karakteristik pasien Labiopalatoskisis di RS Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1 Januari 2011 – 31 Desember 2012.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui karakteristik pasien Labiopalatoskisis menurut usia
kontak pertama dengan dokter.
2. Untuk mengetahui karakteristik pasien Labiopalatoskisis menurut jenis
kelamin.
3. Untuk mengetahui karakteristik pasien Labiopalatoskisis menurut status
sosio-ekonomi pasien.
4. Untuk mengetahui karakteristik pasien Labiopalatoskisis menurut suku
pasien.
16
5. Untuk mengetahui karakteristik pasien Labiopalatoskisis menurut
tipenya.
6. Untuk mengetahui karakteristik pasien Labiopalatoskisis menurut
riwayat kelainan yang sama pada keluarga pasien.
7. Untuk mengetahui karakteristik pasien Labiopalatoskisis menurut
penyakit penyerta pasien.
8. Untuk mengetahui karakteristik pasien Labiopalatoskisis menurut
tindakan.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai sumber informasi bagi para praktisi
kesehatan mengenai kasus Labiopalatoskisis, dan memberikan gambaran umum
serta pemahaman kepada masyarakat tentang faktor resiko terjadinya
Labiopalatoskisis, yang mungkin dapat menimbulkan kesadaran untuk mencegah
dengan menghindari faktor resiko yang bisa menyebabkan Labiopalatoskisis ini.
2. RSUP dr. WahidinSudirohusodo, sebagai pelaksana pelayanan pada penderita
Labiopalatoskisis, diharapkan agar hasil penelitian ini dapat memberikan
masukan yang berarti bagi diagnosa dini dan penanganan pasien
Labiopalatoskisis.
3. Departemen kesehatan dan berbagai instansi terkait lainnya, diharapkan agar
hasil penelitian ini dapat memberi masukan mengenai karakteristik
Labiopalatoskisis.
4. Sebagai tambahan ilmu, kompetensi, dan pengalaman berharga bagi peneliti
dalam melakukan penelitian kesehatan pada umumnya, dan terkait tentang
17
Labiopalatoskisis pada khususnya.
5. Penelitian ini juga semoga dapat bermanfaat sebagai bahan bacaan, acuan
ataupun perbandingan bagi peneliti-peneliti selanjutnya.
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Labiopalatoskisis
Labiopalatoskisis berasal dari kata labium yang berarti bibir, palatum yang
berarti langit-langit, dan skisis yang berarti celah. Jadi, Labiopalatoskisis
merupakan deformitas kongenital daerah orofacial, baik labium, palatum, atau
keduanya. Celah pada labium disebut labioskisis sedangkan celah pada palatum
disebut palatoskisis. Kelainan ini dapat merupakan bagian dari suatu sindrom atau
berdiri sendiri. Defek yang ada akan menyebabkan gangguan produksi suara,
gangguan makan, gangguan pertumbuhan maxilofacial, dan pertumbuhan gigi
abnormal. Mengingat banyaknya masalah yang ada, maka Labiopalatoskisis
merupakan salah satu defek yang melibatkan banyak disiplin ilmu dalam
penanganannya.1,2,5
2.2. Epidemiologi
Perbandingan antara laki-laki dan perempuan, labioskisis dan celah
kombinasi lebih banyak pada laki-laki, sedangkan palatoskisis saja lebih banyak
pada perempuan. Angka prevalensi celah berbeda untuk tiap ras. Prevalensi
labiopalatoskisis lebih rendah pada kulit hitam dan lebih tinggi pada orang Asia
Timur. Diantara populasi penderita labiopalatoskisis, yang di diagnosis dengan
labiopalatoskisis 46%, palatoskisis 33%, kemudian labioskisis 21%. Mayoritas
labioskisis bilateral (86%) dan labioskisis unilateral (68%) berhubungan dengan
palatoskisis. Celah unilateral sembilan kali lebih sering daripada celah bilateral,
19
dan terjadi dua kali lebih sering pada sisi kiri dari pada kanan. labiopalatoskisis
memiliki angka kejadian sekitar 1:500-600 kelahiran hidup, dan untuk celah
palatum saja 1 dari 1000 kelahiran hidup. Insidensi lebih tinggi ditemukan pada
kelompok Asia (1:500) dan lebih rendah pada kelompok kulit hitam (1:2000). 1-5
Berdasarkan data yang didapatkan dari dr. TS Karasutisna, kepala bagian
Bedah Mulut RS Hasan Sadikin Bandung, pasien labiopalatoskisis lebih sering
didapatkan pada kelompok sosio-ekonomi rendah, karena salah satu penyebab
labiopalatoskisis ini ialah rendahnya nutrisi pada saat kehamilan terutama
kurangnya konsumsi asam folat (mitosis sel). Rata-rata penderita labiopalatoskisis
yang datang untuk berobat ialah ketika usia sudah melebihi batas usia optimal
untuk operasi membuat operasi hanya untuk keperluan kosmetika saja sedangkan
secara fisiologis tidak tercapai, fungsi bicara tetap terganggu seperti sengau dan
lafalisasi beberapa huruf tetap tidak sempurna, tindakan speech therapy pun tidak
banyak bermanfaat. Hal itu mungkin terjadi karena untuk mendapatkan tindakan
medis dalam hal ini tindakan operasi, penderita labiopalatoskisis harus memenuhi
kriteria Rule of ten yang meliputi Berat badan >10 pon (5 kg), Usia > 10 minggu
(3bulan), dan Kadar hemoglobin > 10 g%.
2.3. Embriologi
Pada akhir minggu ke-4, processus facialis terbentuk secara primer oleh
sel mesenkim yang berasal dari krista neuralis. Proses pembentukan facial secara
keseluruhan di mulai dengan berpindahnya sel dari regio facial ke sel mesenkim.
Processus maxillaris dapat dikenali di sebelah lateral stomodeum, dan processus
mandibularis di sebelah caudal stomadeum. 7
20
Gambar 1. A. Pandangan dari sisi lateral embrio pada akhir minggu ke-4
menunjukkan posisi dari arkus faringeal. B. Pandangan dari arah frontal embrio
minggu ke 5 menunjukkan processus mandibula dan maxilaris. C. Electron
micrograph embrio manusia dengan usia minggu sama dengan B. 7
Processus frontonasalis dibentuk oleh proliferasi sel mesenkim di sebelah
ventral vesikel otak, merupakan tepi atas stomodeum. Pada kedua sisi dari
processus frontonasalis, muncul penebalan permukaan ektoderm, yaitu plakoda
nasalis, yang berasal dari bagian ventral otak depan. 7
Pada minggu kelima, plakoda nasalis akan berinvaginasi membentuk
cavitas nasalis, setiap cavitas dan placoda nasalis membentuk rigi jaringan.
Processus pada tepi luar dari cavitas merupakan processus nasalis lateral; dan
yang berada pada tepi dalam merupakan processus nasalis medial. 7
21
Gambar 2. Pandangan dari aspek frontal. A. Embrio minggu ke-5. B. Embrio
minggu ke-6. Processus nasalis terpisah secara bertahap dari processus maxillaris.
C. Electron micrograph dari embrio seekor tikus dengan usia minggu sama
dengan B. 7
Selama 2 minggu selanjutnya, ukuran processus maxillaris terus
bertambah dan tumbuh ke arah medial, sehingga mendesak processus nasalis
medial ke arah garis tengah. Selanjutnya celah diantara processus nasalis medial
dan processus maxillaris menutup secara perlahan, kedua processus maxillaris
dan kedua processus nasalis medialis yang berdifusi bergabung membentuk
segmen inter maxillaris. Segmen inter maxillaris membentuk 1 komponen labium
superior (membentuk filtrum dari labium superior), komponen rahang atas
(alveolus dan 4 gigi insisivus), dan palatum (palatum primer triangular). Processus
nasalis lateralis tidak ikut membentuk labium superior. Labium inferior dan
rahang bawah dibentuk oleh processus mandibula yang menyatu di garis tengah.7
22
Gambar 3. Aspek frontal dari wajah. A. Embrio minggu ke-7. Processus
maxillaris berfusi dengan processus nasalis medial. B. Embrio minggu ke-10. C.
Electron micrograph dari embrio manusia dengan usia minggu sama dengan A. 7
Labioskisis terjadi dari kegagalan menyatunya sebagian atau seluruhnya
dari jembatan epitel karena kekurangan pertumbuhan jaringan mesoderm dan
proliferasi processus maxillaris dan processus nasalis medialis. Celah palatum
primer pada satu atau kedua sisi, selalu muncul di depan foramen insisivus.
Disebabkan oleh pertumbuhan ke arah medial dari processus maxillaris, kedua
processus nasalis medial tidak hanya tumbuh pada permukaan tetapi juga pada
bagian yang terdalam. 7
Struktur yang terbentuk oleh kedua processus yaitu processus maxillaris,
yang terdiri dari (a) komponen labialis, yang membentuk filtrum dari labium
superior; (b) komponen rahang atas, yang berisi 4 gigi insisivus ; dan (c)
komponen palatum, yang membentuk palatum trianguaris primer. 7
23
Gambar 4. Segmen intermaxillaris dan processus maxillaris. B. Segmen
intermaxillaris menghasilkan filtrum labium superior, bagial medial dari os
maxillaris dengan keempat gigi insisivus dan palatum triangularis primer. 7
Embriogenesis dan Embriopati7-10
1. Perkembangan pada regio facial di mulai dari penyatuan processus di akhir
minggu ke-3, manakala terdapat dua gabungan proses yaitu pada minggu
ke-8 merupakan terbentuknya facial secara sempurna, sedangkan pada
minggu ke-10 merupakan terbentuknya palatum.
2. Penggabungan palatum secara sempurna pada epithelium mediolateralis
merupakan hal utama dari susunan palatum.
3. Skisis merupakan penyebab dari berbagai faktor, termasuk hipoplasia,
migrasi yang abnormal dari perkembangan wajah.
4. Skisis facial tipe non syndromic dan syndromic merupakan dasar genetik
yang mungkin juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
5. Sebanyak 70% dari pasien labiopalatoskisis, dan 50% pasien dengan
palatoskisis merupakan tipe nonsyndromic
6. Lebih dari 400 tipe syndromic merupakan kumpulan dari labioskisis
dengan atau tanpa palatoskisis.
24
Meskipun palatum primer berasal dari segmen intermaxillaris, bagian
utama palatum tetap dibentuk oleh dua lempeng dari processus maxillaris. Pada
kedua tonjolan ini, yaitu lempeng palatina muncul di minggu ke-6 perkembangan
dan mengarah ke bawah secara oblik pada sisi kanan dan kiri lingua. Pada minggu
ke-7, lempeng-lempeng palatina mengarah ke atas untuk mencapai posisi
horizontal di atas lingua dan berfusi membentuk palatum sekunder. Pada bagian
anterior, lempeng-lempeng tersebut bersatu, satu sama lain sehingga membentuk
palatum sekunder. Saat lempeng-lempeng dari palatina berfusi, pada waktu yang
bersamaan septum nasalis tumbuh ke bawah dan bersatu dengan permukaan atas
palatum yang baru terbentuk. 7
Gambar 5. Potongan frontal kepala pada embrio minggu ke-7. Lingua mengarah
ke bawah dan lempeng-lempeng palatina mencapai posisi horizontal. B. Aspek
ventral dari lempeng-lempeng palatina setelah mandibula dan lingua diangkat.
Lempeng-lempeng palatina mengarah ke arah horizontal. Septum nasi dapat
25
terlihat. C. Electron micrograph dari seekor tikus dengan usia minggu sama
dengan A. D. Lempeng-lempeng palatum pada usia minggu sama dengan B.7
Teori fusi dan teori klasik menyatakan bahwa labioskisis terjadi akibat
kegagalan penyatuan antara processus maxillaris dengan processus nasalis
medialis. Skema proses terjadinya fusi adalah sebagai berikut, teori penetrasi
mesoderm menyatakan bahwa palatoskisis terjadi akibat hilang atau terhambatnya
membran epitel, sehingga tidak dipenetrasi oleh mesoderm di sekitarnya.
Gabungan teori fusi dan teori penetrasi mesoderm diajukan pertama kali oleh
Patten.7
Pada proses fusi ini sangat diperlukan faktor-faktor pertumbuhan, yang
berperan adalah dua macam regulator pertumbuhan yaitu TGFα dan β. TGFα
adalah suatu mitogen kuat, yang berperan di dalam aktivasi enzim Cyclin
Dependent Kinase 1 (CDK 1) pada fase G1 siklus sel yang akan masuk ke fase
sintesis, dan selanjutnya terjadilah pembelahan sel. Oleh karena itu apabila
terdapat hambatan sintesis atau berkurangnya intensitas faktor pertumbuhan
tersebut maka pertumbuhan jaringan mesoderm disana juga akan terhambat, dan
terjadi kegagalan fusi tersebut sehingga terbentuklah celah pada daerah tersebut. 7
2.4. Etiologi
Seperti kebanyakan kasus kelainan kongenital, celah orofacial disebabkan
oleh adanya interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Artinya, faktor genetik
merupakan suatu kerentanan yang dimiliki individu tertentu, sedangkan faktor
lingkungan sebagai pemicu ekspresi gen tersebut. Interaksi keduanya akan
26
menyebabkan gangguan perkembangan pada tahap awal kehamilan.1,5,7
Proporsi faktor genetik dan lingkungan bervariasi menurut jenis kelamin
individu yang mengalami kelainan celah. Pada celah bibir dan kombinasi, juga
terdapat variasi derajat keparahan dan lateralisasi anomali. Proporsi paling tinggi
terdapat pada kelompok wanita dengan celah bilateral dan proporsi terkecil adalah
kelompok pria dengan celah unilateral.1,2,5
Dasar genetika kelainan celah sendiri cukup heterogen. Terdapat berbagai
pola genetik, seperti autosomal resesif, autosomal dominan, dan x-linked, yang
berkaitan dengan klinis labiopalatoskisis. Pada keseluruhan orang tua, memiliki
anak dengan celah adalah 1:600-700. Seperti yang telah dijelaskan, etiologi
kelainan ini masih belum jelas. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu
munculnya fenotif berupa kelainan celah, antara lain: konsumsi alkohol pada
periode embrional. Beberapa bahan teratogen seperti fenitoin, asam retinoid, dan
beberapa agen anestetik juga dapat memicu terjadinya kelainan ini. Ibu yang
merokok pada masa kehamilan juga dapat penyebabkan peningkatan angka
kejadian labiopalatoskisis sebanyak 2 kali. 1,5,7,11
Pemetaan genetik pada keluarga yang memiliki labiopalatoskisis yang
diturunkan, berhasil mengidentifikasi gen yang berperan dalam kejadian
labiopalatoskisis. Kelainan palatoskisis dengan ankiloglossia merupakan kelainan
terkait-x yang menunjukkan adanya mutasi pada gen TBX22. Ekspresi gen
TBX22 pada lempeng palate berperan dalam proses penyatuan. Mutasi pada gen
ini akan menyebabkan palatoskisis. 3,5,10,12
Gen lain yang juga berperan adalah MSX1 dan TGFB3 yang terbukti
27
menyebabkan kelainan celah pada uji coba hewan pengerat. Terakhir, beberapa
gen yang telah ditemukan berkaitan dengan kelainan labiopalatoskisis adalah gen
D4S192, RARA, MTHFR, RFC1, GABRB3, PVRL1, dan IRF6. 3,5,10,12
Meskipun semakin banyak gen yang diketahui berperan terhadap
terjadinya labiopalatoskisis, namun bentuk interaksi gen-gen tersebut dengan
faktor lingkungan masih sulit dipahami, baik pada kelainan sindrom maupun
nonsindrom. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya pencegahan baik berupa skrining
genetik maupun menghindari berbagai faktor risiko yang telah terbukti berkaitan
dengan labiopalatoskisis. 3,5,10
2.5. Klasifikasi
Beberapa klasifikasi labiopalatoskisis ditujukan untuk menggambarkan
derajat, lokasi dan variasi kondisi celah. Klasifikasi yang dibuat sudah seharusnya
sederhana,jelas, fleksibel, pasti, dan dapat digambarkan. Salah satu klasifikasi
tersebut adalah klasifikasi dengan sistem LAHSHAL dari Otto Kriens yang
mampu menggambarkan lokasi, ukuran, dan tipe celah.1,3
Celah atau skisis komplit labium, alveolus, palatum durum dan palatum
mole dideskripsikan dengan huruf kapital LAH dan S, sedangkan bila skisis
inkomplit dituliskan dengan huruf kecil. Skisis mikro dapat ditulis dengan
asteriks. Dengan demikian, penulisan LAHSHAL menunjukkan skisis pada
labium, alveolar, dan palatum komplit bilateral. Contoh lain, lahSh menunjukkan
labioskisis inkomplit unilateral kanan dan alveolus, dengan skisis komplit palatum
mole yang melebar hingga sebagian palatum durum. 1,3
28
Gambar 6. Tipe labioskisis: (a) unilateral inkomplit, (b) unilateral komplit, (c)
bilateral komplit.1
Gambar 7. Tipe palatoskisis: (a) inkomplit, (b) unilateral komplit, (c) bilateral
komplit.1
Beberapa tipe labiopalatoskisis meliputi labiopalatoskisis komplit dan
inkomplit. Dikatakan komplit bila skisis mencapai dasar hidung (nasal floor) dan
inkomplit bila di bagian cranial dari skisis tersebut masih terdapat kulit dan
mukosa, tetapi tanpa lapisan otot dan jaringan mesodermal lain (simonart's
29
band).1,3
Gambar 8. (A) Labioskisis unilateral inkomplit, (B) Labioskisis unilateral
(C) Labioskisis bilateral dengan Palatoskisis dan tulang alveolar, (D)
Palatoskisis.12
Baik labioskisis maupun palatoskisis dapat terjadi bilateral dan unilateral.
Pada skisis palatum molle tunggal yang selalu memiliki defek di bagian tengah,
maka dapat disebut pula palatoschizismediana. Palatoskisis submukosa sering
tidak terlalu tampak adanya skisis pada palatum mole, namun muskulus dektra
dan sinistranya tidak menyatu sehingga akan tampak adanya uvula bifida.
Penderita ini akan sengau suaranya bila defek tidak dikoreksi.1,3,5
30
Klasifikasi labiopalatoskisis berdasarkan variasi dan pola genetik, yaitu:
- Labioskisis nonsindrom dengan atau tanpa palatoskisis
- Palatoskisis nonsindrom
- Labioskisis sindromik dengan atau tanpa palatoskisis
- Palatoskisis sindromik
Klasifikasi Y dari Kernohan untuk labiopalatoskisis yang kemudian
dimodifikasi oleh Millard, juga mendeskripsikan keterlibatan nasal, seperti pada
gambar berikut:
Gambar 9. Modifikasi Millard dari klasifikasi Y Kernohan untuk klasifikasi CLP.1
Lingkaran kecil di tengah menunjukkan foramen incisivus, segitiga menunjukkan
ujung dan dasar nasalis.
2.6. Penatalaksanaan
Karena banyaknya masalah yang di hadapi, maka kelainan ini harus
31
ditanggulangi bersama-sama interdisipliner. Ahli bedah plastik melakukan
pembedahan pada cacat yang ada, ahli THT mengobati masalah telinga, speech
therapist membantu bicara yang benar, orthodontist mengatur rahang dan gigi
yang biasanya dilakukan menjelang tumbuhnya gigi permanen, pekerja sosial dan
psikolog membantu mengatasi keluhan kejiwaan setelah penderita dilahirkan.2
Adapun tahapan penatalaksanaan labiopalatoskisis adalah sebagai berikut:1,3,5,13
1. Labioplasty dimulai umur 10 minggu (3 bulan), Berat badan 10 pon (5 Kg),
dan Hb>10g%.
2. Palatoplasty dimulai umur 10-12 bulan
3. Speech therapy segera setelah dilakukan cheilopalatoraphy untuk
mencegah timbulnya suara nasal
4. Pharyngoplasty dilakukan umur 5-6 tahun
5. Orthodonti dilakukan untuk memperbaiki lengkung alveolus pada umur 8-9
tahun
6. Bone grafting dilakukan umur 9-11 tahun, dan dilanjutkan hingga
pertumbuhan gigi berhenti
7. Operasi advancement osteotomi Le Fort I umur 17 tahun, dimana os facial
telah berhenti pertumbuhannya.
32
Tabel 1. Perencanaan tahapan penatalaksanaan pasien labiopalatoskisis
berdasarkan umur pasien.5
Manajemen labiopalatoskisis sendiri secara umum dibagi menjadi dua
tahapan besar, yaitu manajemen primer dan sekunder. Manajemen primer
mencakup diagnosis antenatal, feeding (termasuk masalah airway), dan koreksi
bedah, sedangkan manajemen sekunder mencakup seluruh prosedur penanganan
hearing, speech, dan dental.2,3,5,7,13
33
Salah satu teknik untuk koreksi labiopalatoskisis adalah teknik modifikasi
Millard. Teknik modifikasi Millard merupakan teknik yang digunakan secara luas,
terutama untuk memperbaiki labioskisis bilateral. Teknik ini juga dapat digunakan
untuk memperbaiki skisis inkomplit atau asimetrik bilateral. 2,3,5,7,13
Gambar 10. Tehnik modifikasi Millard. Tepi-tepi celah antara labium dan nasal
diinsisi (A dan B). Bagian bawah cavum nasi dijahit (C). Bagian superior dari
jaringan labium ditutup (D), dan jahitan diperpanjang hingga menutup seluruh
bagian yang terbuka(E).14
Teknik penutupan celah submukosa sebenarnya serupa dengan penutupan
celah di bagian palatum. Teknik pharyngeal flap atau phryngoplasty dapat
dilakukan untuk masalah ini. Pharyngoplasty meliputi 2 flap yang diposisikan di
34
sisi faring dan dirotasikan ke atas untuk memperkecil terbukanya palatum,
sehingga akan memungkinkan penutupan palatum molle. Metode ini lebih baik
pada pola penutupan sirkular atau koronal, karena tidak mengganggu gerakan
palatum ke posterior. Pemilihan teknik penutupan sendiri bergantung pola
penutupan palatum preoperatif. 2,3,5,7,13
Alveolar bone-grafting merupakan bagian tak terpisahkan dari koreksi
celah yang meliputi maxillaris anterior. Dengan adanya union dari os akan
membantu mencegah kolaps segmental maxillaris, untuk menutup fistula
oronasal, dan untuk mendorong erupsi gigi. Bone-grafting pada pasien yang
berusia di bawah 2 tahun perlu dipertimbangkan bone-grafting primer dan
sekunder (2 tahap). Material graft dapat diperoleh dari hip, costae, fibula, atau
lapisan luarkranium. Meskipun terdapat morbiditas bagi donor, namun
keuntungan yang dicapai dalam menutup celah maxillaris jauh lebih besar
dibanding potensi risikonya. 2,3,5,7,13,14
Beberapa hal yang perlu dilakukan dan dipantau pada pasien
labiopalatoskisis paska bedah adalah: 2,3,5,7,13
- Paska bedah, feeding dilakukan dengan menggunakan ujung dot lembut yang
dipotong ujungnya.
- Bayi perlu dihospitalisasi untuk pemberian cairan intravena hingga intake oral
memungkinkan dilakukan
- Jahitan hams tetap bersih dengan berkumur / dilusi larutan hidrogen peroksida
3 kali sehari setelah makan
- Bila menggunakan benang jahit yang nonresorbable, jahitan dapat dilepas
35
pada hari ke-5 paskaoperasi.
2.7. Prognosis
Kelainan labiopalatoskisis merupakan kelainan kongenital yang dapat
dimodifikasi atau disembuhkan. Kebanyakan anak yang lahir dengan kondisi ini
melakukan operasi saat usia masih dini, dan hal ini sangat memperbaiki
penampilan wajah secara signifikan. Dengan adanya teknik pembedahan yang
makin berkembang, 80% anak dengan labiopalatoskisis yang telah ditatalaksana
mempunyai perkembangan kemampuan bicara yang baik. Terapi bicara yang
berkesinambungan menunjukkan hasil peningkatan yang baik pada masalah-
masalah berbicara pada anak labiopalatoskisis.3,7
36
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1 Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti
Pada setiap populasi, tiap individu memiliki karakteristik yang berbeda-
beda untuk setiap penyakit tertentu. Berdasarkan tinjauan pustaka, terdapat
berbagai macam karakteristik pasien Labiopalatoskisis seperti: tipenya, jenis
kelamin, status sosial, suku, umur pkontak pertama dengan tenaga medis, faktor
genetik/riwayat keluarga, riwayat penyakit penyerta, riwayat ibu konsumsi obat-
obatan saat hamil, riwayat ibu ANC teratur, dan tindakan.
Di antara berbagai karakteristik tersebut, maka variabel independen pada
karakteristik pasien Labiopalatoskisis yang akan diteliti dibatasi pada jenis
labiopalatoskisis, jenis kelamin, status sosial, suku, faktor genetik/riwayat
keluarga, umur penderita saat kontak pertama dengan dokter, riwayat penyakit
penyerta, dan berdasarkan tindakan. Penentuan variabel ini didasarkan pada
ketersediaan data dari rekam medik pasien, dengan tetap mengingat kepentingan
keterkaitan variabel tersebut dengan kasus Labiopalatoskisis.
Oleh karena keterbatasan waktu dan tempat penelitian, maka penelitian ini
dikhususkan pada pasien Labiopalatoskisis di RSUP Dr. WahidinSudirohusodo
terhitung 1 Januari 2011 - 31 Desember 2012.
37
3.2 Kerangka Konsep
Berdasarkan konsep pemikiran yang dikemukakan di atas, maka
disusunlah pola variabel sebagai berikut.
Keterangan
: variabel dependen
: variabel independen
: diteliti
: tidak diteliti
Gambar 11. Kerangka Konsep
Tipe
Labiopalatoskisis
Jenis kelamin
Status
sosioekonomi
Suku
Umur kontak
pertama dengan
dokter
Riwayat keluarga
Riwayat Ibu
konsumsi obat-
obat saat hamil
Riwayat ANC
Teratur
Labiopalatoskisis
Tindakan
Riwayat penyakit
penyerta
38
3.3 Definisi Operasional dan kriteria objektif
3.3.1. Jenis labiopalatoskisis :
a. Definisi : adalah Jenis Labiopalatoskisis berdasarkan
pemeriksaan fisis yang tercatat dalam rekam medik pasien
b. Alat ukur : yang digunakan yaitu tabel yang telah disusun
sebelumnya berdasarkan variabel penelitian yang akan diteliti.
c. Cara ukur : mencatat Jenis labiopalatoskisis yang tercantum pada
rekam medik ke dalam tabel.
d. Hasil ukur, yaitu :
I. Labioskisis
1. Bilateral, komplit : celah mengenai kedua sisi labium
dan mencapai cavum nasi.
2. Bilateral, inkomplit : celah mengenai kedua sisi labium
namun belum mencapai cavum nasi.
3. Unilateral, komplit, kanan : celah mengenai labium
dekstra dan mencapai cavum nasi.
4. Unilateral, komplit, kiri : celah mengenai labium
sinistra dan mencapai cavum nasi.
5. Unilateral, inkomplit, kanan : celah mengenai labium
dekstra namun belum mencapai cavum nasi.
6. Unilateral, inkomplit, kiri : celah mengenai labium
sinistra namun belum mencapai cavum nasi.
7. Tidak jelas (tidak tercantum di rekam medik)
39
II. Palatoskisis
1. Bilateral, komplit : celah mengenai kedua sisi palatum
dan mencapai alveolus.
2. Bilateral, inkomplit : celah mengenai kedua sisi palatum
namun belum mencapai alveolus.
3. Unilateral, komplit, kanan : celah mengenai palatum
dekstra dan mencapai alveolus.
4. Unilateral, komplit, kiri : celah mengenai palatum
sinistra dan mencapai alveolus.
5. Unilateral, inkomplit, kanan : celah mengenai palatum
dekstra namun belum mencapai alveolus.
6. Unilateral, inkomplit, kiri : celah mengenai palatum
sinistra namun belum mencapai alveolus.
7. Tidak jelas (tidak tercantum di rekam medik)
III. Labiopalatoskisis
1. Bilateral, komplit : gabungan dari labioskisis dan
palatoskisis bilateral komplit.
2. Bilateral, inkomplit : gabungan dari labioskisis dan
palatoskisis bilateral inkomplit.
3. Unilateral, komplit, kanan : gabungan dari labioskisis
dan palatoskisis unilateral komplit kanan.
4. Unilateral, komplit, kiri : gabungan dari labioskisis dan
palatoskisis unilateral komplit kiri.
40
5. Unilateral, inkomplit, kanan : gabungan dari labioskisis
dan palatoskisis unilateral inkomplit kanan.
6. Unilateral, inkomplit, kiri : gabungan dari labioskisis
dan palatoskisis unilateral inkomplit kiri.
7. Tidak jelas (tidak tercantum di rekam medik)
3.3.2. Jenis Kelamin :
a. Definisi : yaitu identitas seksual yang sesuai dalam rekam medik
pasien.
b. Alat ukur : yang digunakan yaitu tabel yang telah disusun sebelumnya
berdasarkan variabel penelitian yang akan diteliti.
c. Cara ukur : mencatat jenis kelamin yang tercantum pada rekam medik
ke dalam tabel.
d. Hasil ukur, yaitu :
1. Laki-laki
2. Perempuan
3.3.3. Suku
a. Definisi : adalah suku bangsa penderita labiopalatoskisis yang tercantum
dalam rekam medik.
b. Alat ukur : yang digunakan yaitu tabel yang telah disusun sebelumnya
berdasarkan variabel penelitian yang akan diteliti.
c. Cara ukur : mencatat suku yang tercantum pada rekam medik ke dalam
41
tabel.
d. Hasil ukur, yaitu :
1. Makassar
2. Bugis
3. Toraja
4. Mandar
5. Lainnya
6. Tidak jelas (tidak tercantum di rekam medik)
3.3.4. Status Sosial
a. Definisi : Adalah .cara pembayaran dalam hal ini jaminan pelayanan
kesehatan yang digunakan oleh penderita pada saat berobat.
b. Alat ukur : yang digunakan yaitu tabel yang telah disusun sebelumnya
berdasarkan variabel penelitian yang akan diteliti.
c. Cara ukur : dengan mencatat variabel status sosial berdasarkan
jaminan pelayanan kesehatan yang digunakan sesuai dengan yang
tercantum pada rekam medik ke dalam tabel.
d. Hasil ukur, yaitu :
1. Sendiri/Jamsostek (swasta)
2. Askes (PNS)
3. Jamkesmas/jamkesda/askeskin/gakin
42
3.3.5. Umur Kontak Pertama dengan Dokter / Tenaga Medis
a. Definisi : Adalah usia dimana penderita labioplatoskisis pertama
kali dibawa memeriksakan penyakitnya oleh keluarganya ke tenaga
medis.
b. Alat ukur : yang digunakan yaitu tabel yang telah disusun
sebelumnya berdasarkan variabel penelitian yang akan diteliti.
c. Cara ukur : mencatat usia penderita ataupun riwayat usia penderita
saat pertama kali berobat (apabila sudah berobat sebelumnya di
rumah sakit selain RS Wahidin Sudirohusodo) sesuai yang
tercantum pada rekam medik ke dalam tabel.
d. Hasil ukur:
1. 0-3 bulan
2. 4-6 bulan
3. 7-12 bulan
4. 1-5 tahun
5. 5-10 tahun
6. > 10 tahun
7. Tidak jelas (tidak tercantum di rekam medik)
3.3.6. Riwayat keluarga
e. Definisi : penilaian adanya anggota keluarga
(kakek,ayah,ibu,saudara dll) yang pernah atau sedang menderita
Labiopalatoskisis dan memiliki hubungan garis keturunan secara
43
langsung, yang tercatat dalam rekam medik pasien.
f. Alat ukur : yang digunakan yaitu tabel yang telah disusun
sebelumnya berdasarkan variabel penelitian yang akan diteliti.
g. Cara ukur : mencatat riwayat keluarga menderita Labiopalatoskisis
sesuai yang tercantum pada rekam medik ke dalam tabel.
h. Hasil ukur:
1. Ada Riwayat keluarga menderita Labiopalatoskisis
2. Tidak ada Riwayat keluarga menderita
Labiopalatoskisis
3. Tidak jelas (tidak tercantum di rekam medik)
3.3.7. Riwayat Penyakit Penyerta
a. Definisi : Adalah penyakit-penyakit apa saja yang sering dikeluhkan
pada penderita labiopalatoskisis selain penyakit primer yang dia derita.
b. Alat ukur : yang digunakan yaitu tabel yang telah disusun sebelumnya
berdasarkan variabel penelitian yang akan diteliti.
c. Cara ukur : mencatat riwayat penyakit apa saja yang tercantum pada
rekam medik ke dalam tabel.
d. Hasil ukur, yaitu :
1. Ada riwayat penyakit penyerta
- Gizi Buruk
- Gangguan Genetik Lainnya
- Gangguan Sistem Respiratori
44
-Lain-lain
2. Tidak ada riwayat penyakit penyerta
3. Tidak jelas (tidak tercantum di rekam medik)
3.3.8. Tindakan
e. Definisi : Adalah tindakan medis yang diperoleh oleh penderita
labioplatoskisis dalam hal ini hanya difokuskan apakah penderita
mendapatkan tindakan operasi atau tidak.
f. Alat ukur : yang digunakan yaitu tabel yang telah disusun sebelumnya
berdasarkan variabel penelitian yang akan diteliti.
g. Cara ukur : mencatat tindakan apa saja yang tercantum pada rekam
medik ke dalam tabel.
h. Hasil ukur, yaitu :
1 Ada tindakan operasi
2 Tidak ada tindakan operasi
3 Tidak jelas (tidak tercantum di rekam medik)
45
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
deskriptif, dimana membuat gambaran atau deskripsi tentang penderita
Labiopalatoskisis secara objektif berdasarkan data sekunder yang didapatkan.
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
4.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian ini direncanakan diadakan pada tanggal 8 Juli sampai dengan 20
Juli 2013.
4.2.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini direncanakan diadakan di Bagian Rekam Medik RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien Labiopalatoskisis di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo terhitung sejak 1 Januari 2011 - 31 Desember 2012.
46
4.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien Labiopalatoskisis di RSUP Dr.
WahidinSudirohusodo terhitung sejak 1 Januari 2011 sampai dengan 31
Desember 2012.
4.3.3 Cara Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan metode total
sampling yaitu semua populasi dijadikan sebagai sampel.
4.4 Jenis Data dan Instrumen Penelitian
4.4.1 Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh
melalui rekam medik subjek penelitian.
4.4.2 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini menggunakan daftar tilik yang telah disusun
berdasarkan variabel penelitian yang akan diteliti. Kemudian akan diisi sesuai
data sekunder yang diperoleh dari Rekam Medik.
4.5 Manajemen Penelitian
4.5.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setelah meminta perizinan dari pihak
pemerintah dan RSUP Dr. WahidinSudirohusodo. Kemudian nomor rekam medik
47
pasien Labiopalatoskisis dalam periode yang telah ditentukan dikumpulkan untuk
memperoleh rekam medik pasien tersebut di bagian Rekam Medik RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo. Setelah itu dilakukan pengamatan dan pencatatan
langsung ke dalam daftar tilik yang telah disediakan.
4.5.2 Teknik Pengolahan Data
Pengolahan dilakukan setelah pencatatan data rekam medik yang
dibutuhkan ke dalam daftar tilik dengan menggunakan program Microsoft Excel
untuk memperoleh hasil statistik deskriptif yang diharapkan.
4.5.3 Penyajian Data
Data yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram
untuk menggambarkan karakteristik pasien Labiopalatoskisis di RSUP
Dr.WahidinSudirohusodo Periode 1 Januari 2011 - 31 Desember 2012.
4.6 Etika Penelitian
Hal-hal yang terkait dengan etika penelitian dalam penelitian ini adalah:
1. Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada pihak pemerintah
setempat sebagai permohonan izin untuk melakukan penelitian.
2. Berusaha menjaga kerahasiaan identitas pasien yang terdapat pada rekam
medik, sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas
penelitian yang dilakukan.
3. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak
48
yang terkait sesuai dengan manfaat penelitian yang telah disebutkan
sebelumnya.
49
BAB V
GAMBARAN UMUM
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO
5.1. Identitas Badan Layanan Umum RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo merupakan rumah
sakit kelas A pendidikan dengan status Badan Layanan Umum Rumah Sakit
berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 23Tahun 2005,
Kesehatan RI Nomor : 1243/MenKes/SK/VII/2005, dan Surat Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor : 1677/MenKes/Per/XII/2005, dengan identitas sebagai
berikut:
1. Nama Rumah Sakit : RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
2. Alamat : Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 11, Tamalanrea
Makassar (90245)
3. Telepon : Kantor (0411) 584675, (0411) 584677, Rumah
Sakit (0411) 583333, 584888
4. Fax : (0411) 587676
5. Pemilikan : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo memiliki luas gedung 33.372 m2,dengan
batas-batas sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Menuju Daya, terdapat kantor dan asrama Kodam VII
dan jalan poros Makassar-Pare-pare.
b. Sebelah Timur : Terdapat kantor Dians Departemen Kesehatan
Propinsi Sulawesi Selatan.
c. Sebelah Selatan : Terdapat tanah milik dan bangunan Lembaga
Penelitian Unhas yang diantarai DAM buatan.
d. Sebelah Barat : Terdapat perkuliahan dan perkantoran Unhas.
Merujuk pada peraturan tersebut Perjan RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
akan mengembangkan unggulan Pelayanan, Pendidikan, dan Penelitian di bidang
50
Kegawat Daruratan, Urologi, Kanker, Jantung, Lipid, dan Endokrin beserta
pelayanan penunjangnya.
5.2. Sejarah Berdirinya RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Pada tahun 1947 didirikan Rumah Sakit dengan meminjam 2 (dua) bangsal
Rumah Sakit Jiwa yang telah berdiri sejak tahun 1942 sebagai bangsal bedah dan
penyakit dalam yang merupakan cikal bakal berdirinya Rumah sakit Umum
(RSU) Dadi.
Pada tahun 1957 RSU Dadi yang berlokasi di jalan Lanto Dg. Pasewang No.
43 Makassar sebagai Rumah Sakit Pemda Tingkat I Sulawesi Selatan dan pada
tahun 1993 menjadi Rumah Sakit dengan klasifikasi B. Pengembangan RSU
dipindahkan ke Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 11 Makassar, berdekatan dengan
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Pada tahun 1994 RSU Dadi berubah menjadi Rumah Sakit vertikal milik
Departemen Kesehatan dengan nama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr.
Wahidin Sudirohusodo berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No.
540/SK/VI/1994 sebagai Rumah Sakit kelas A dan sebagai Rumah Sakit
Pendidikan serta sebagai Rumah Sakit Rujukan tertinggi di Kawasan Timur
Indonesia.
Pada tanggal 10 Desember 1995 RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
ditetapkan menjadi Rumah Sakit unit Swadana dan pada tahun 1998 dikeluarkan
Undang-undang No. 30 tahun 1997 berubah menjadi Unit Pengguna Pendapatan
Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dengan terbitnya peraturan Pemerintah R.I. No. 125 tahun 2000, RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo beralih status kelembagaan menjadi Perusahaan Jawatan
(Perjan), yang berlangsung selama lima tahun dan berakhir pada tahun 2005.
Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2005 tentang
pengelolaaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU), Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor : 1243/MenKes/SK/VII/2005 tanggal 11 agustus 2005
tentang penetapan 13 Eks Rumah Sakit PERJAN menjadi UPT DEPKES dengan
51
penerapan pola PPK-BLU, dan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :
1677/MenKes/Per/XII/2005 tentang Organisasi dan tata kerja RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar, maka sejak tahun januari tahun 2006 kelembagaan
RSWS berubah menjadi Unit Pelaksana Teknis Depkes dengan Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum.
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo memiliki fasilitas dan kemampuan
menyelenggarakan hampir semua jenis pelayanan kedokteran baik spesialis
maupun subspesialis, sehingga layak menjadi pusat layanan rujukan di kawasan
timur Indonesia. Luas lahan RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo adalah 8,4 HA
serta luas bangunan 39.246 m2.
Kapasitas tempat tidur berjumlah 659 buah terdiri dari kelas utama 50 buah,
kelas I 63 buah, kelas II 164 buah, dan kelas III 299 buah, serta 50 tempat tidur
dialokasikan di pelayanan lainnya seperti Intensif 43 buah, Intermediate 30 buah,
dan kamar isolasi sebanyak 10 buah tempat tidur.
Pada tahun 2009 RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo membangun Private
Care Centre (PCC) yang merupakan pengembangan pelayanan kelas VIP dari
Ruang Paviliun Palem dan Paviliun Sawit. Daya tampung 2 Ruang VIP tersebut
sangat terbatas yakni hanya menampung 50 tempat tidur, di gedung PCC
bertambah menjadi 90 tempat tidur. Selain PCC juga melakukan pengembangan 5
centre unggulan lainnya, yaitu: Cardiac Centre, Gastroenterohepatologi Centre,
Intensive Care Centre, Infection Centre, dan Mother and Child Centre.
5.3. Visi dan Misi RSUP Wahidin Sudirohusodo
5.3.1. Visi RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo 2015
"Menjadi Rumah Sakit dengan layanan berstandar Internasional".
52
5.3.2. Misi RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
a. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan berkualitas yang terintegrasi,
holistik dan professional.
b. Menumbuhkembangkan sistem kerja yang aman, nyaman dan produktif
c. Menyelenggarakan pendidikan dan penelitian yang menunjang dan
terintegrasi dengan pelayanan
53
BAB VI
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian survey deskriptif yang dilakukan
di RSUP. Dr.Wahidin Sudirohusodo pada tanggal 8 Juli sampai dengan 20 Juli
2013. Sampel pada penelitian ini adalah penderita labiopalatoskisis yang
menjalani rawat inap di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar, periode 1
Januari 2011 – 31 Desember 2012 yang memiliki rekam medik. Total sampel
yang diperoleh sebanyak 73 rekam medik.
Pengambilan data pada penelitian ini menggunakan data sekunder yakni
dengan melakukan pencatatan di bagian rekam medik RSUP Dr.Wahidin
Sudirohusodo Makassar. Adapun hasil dari penelitian yang diperoleh disajikan
sebagai berikut.
54
Tabel 2. Distribusi pasien labiopalatoskisis berdasarkan jenisnya di RSUP.
Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1 Januari 2011 – 31 Desember
2012.
VARIABEL Frekuensi (f) Persentase (%)
Jenis Labiopalatoskisis
Labioskisis Bilateral Komplit 1 1.36986301
Labioskisis Bilateral Inkomplit 0 0
Labioskisis Unilateral Komplit dekstra 0 0
Labioskisis Unilateral Komplit sinistra 0 0
Labioskisis Unilateral Inkomplit dekstra 1 1.36986301
Labioskisis Unilateral Inkomplit sinistra 3 4.10958904
Palatoskisis Bilateral Komplit 0 0
Palatoskisis Bilateral Inkomplit 1 1.36986301
Palatoskisis Unilateral Komplit dekstra 1 1.36986301
Palatoskisis Unilateral Komplit sinistra 0 0
Palatoskisis Unilateral Inkomplit dekstra 0 0
Palatoskisis Unilateral Inkomplit sinistra 6 8.21917808
Labiopalatoskisis Bilateral Komplit 23 31.5068493
Labiopalatoskisis Bilateral Inkomplit 3 4.10958904
Labiopalatoskisis Unilateral Komplit dekstra 7 9.5890411
Labiopalatoskisis Unilateral Komplit sinistra 18 24.6575342
Labiopalatoskisis Unilateral Inkomplit
dekstra 3 4.10958904
Labiopalatoskisis Unilateral Inkomplit
sinistra 6 8.21917808
Jumlah 73 100
(Sumber : data sekunder, rekam medik RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar)
55
Diagram (a). Distribusi pasien Labioskisis berdasarkan letaknya (bilateral atau unilateral)
Diagram (b). Distribusi pasien Labioskisis unilateral berdasarkan letaknya (dekstra atau
sinistra)
Pada tabel 2 di atas, dapat dilihat distribusi penderita labiopalatoskisis
berdasarkan jenisnya, labiopalatoskisis lebih sering ditemukan dibandingkan
labioskisis dan palatoskisis, dengan jenis labiopalatoskisis sebanyak 82%,
palatoskisis 11 % dan labioskisis 7%.
0
1
2
3
4
5
Bilateral Unilateral
Labioskisis bilateral/unilateral
Labioskisis bilateral/unilateral
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Unilateral Dekstra Unilateral Sinistra
Labioskisis Unilateral
Labioskisis Unilateral
56
Pada table 2 didapatkan Labiopalatoskisis tipe bilateral komplit paling
sering terjadi dibandingkan dengan jenis skisis lainnya. Berdasarkan diagram (a),
pada jenis labioskisis didapatkan labioskisis unilateral lebih sering terjadi
dibandingkan labioskisis bilateral. Sedangkan pada diagram (b) dapat terlihat
labioskisis unilateral lebih sering terjadi pada bagian sinistra daripada bagian
dekstra.
Diagram (c). Distribusi pasien Palatoskisis berdasarkan letaknya (bilateral atau unilateral)
Diagram (d). Distribusi pasien Palatoskisis Unilateral berdasarkan letaknya (dekstra atau
sinistra)
0
2
4
6
8
Bilateral Unilateral
Palatoskisis Bilateral/Unilateral
Palatoskisis Bilateral/Unilateral
0
1
2
3
4
5
6
7
Unilateral Dekstra Unilateral Sinistra
Palatoskisis Unilateral
Palatoskisis Unilateral
57
Diagram (e). Distribusi pasien Labiopalatoskisis berdasarkan letaknya (bilateral atau
unilateral)
Diagram (f). Distribusi pasien Labiopalatoskisis Unilateral berdasarkan letaknya (dekstra
atau sinistra)
Berdasarkan diagram (c) dan (e) di atas, dapat dilihat bahwa pada jenis
palatoskisis dan labiopalatoskisis menunjukkan hal yang sama dengan diagram
(a) dimana jenis skisis unilateral lebih sering terjadi dibandingkan skisis bilateral.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Bilateral Unilateral
Labiopalatoskisis Bilateral/Unilateral
Labiopalatoskisis Bilateral/Unilateral
0
5
10
15
20
25
30
Unilateral Dekstra Unilateral Sinistra
Labiopalatoskisis Unilateral
Labiopalatoskisis Unilateral
58
Pada diagram (d) dan (f) juga menunjukkan hasil yang sama dengan diagram (b)
yang menyatakan bahwa skisis unilateral lebih sering terjadi pada bagian sinistra
dibandingkan dengan bagian dektra.
Tabel 3. Distribusi pasien labiopalatoskisis berdasarkan Jenis Kelamin di
RSUP. Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1 Januari 2011 – 31
Desember 2012.
VARIABEL Frekuensi (f) Persentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 42 57.5342466
Perempuan 31 42.4657534
Jumlah 73 100
(Sumber : data sekunder, rekam medik RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar)
Pada tabel 3 di atas, dapat dilihat distribusi pasien labiopalatoskisis
berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki sebanyak 42 orang (57,53%) dan
perempuan sebanyak 31 orang (42,47%).
59
Tabel 4. Distribusi pasien labiopalatoskisis berdasarkan Status Sosial di
RSUP. Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1 Januari 2011 – 31
Desember 2012.
VARIABEL Frekuensi (f) Persentase (%)
Status Sosial
Sendiri/jamsostek 9 12.3287671
Askes/PNS 11 15.0684932
JKM/JKD/Gakin/Askeskin 53 72.6027397
Jumlah 73 100
(Sumber : data sekunder, rekam medik RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar)
Pada tabel 4 di atas, diperoleh distribusi pasien labiopalatoskisis
berdasarkan status sosial adalah sendiri/jamsostek sebanyak 9 orang (12,3%),
askes/PNS sebanyak 11 orang (15,1%) dan jamkesmas/jamkesda sebanyak 53
orang (72,6%).
60
Tabel 5. Distribusi pasien labiopalatoskisis berdasarkan Suku di RSUP.
Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1 Januari 2011 – 31 Desember
2012.
VARIABEL Frekuensi (f) Persentase (%)
Suku
Makassar 12 16.4383562
Bugis 6 8.21917808
Toraja 2 2.73972603
Mandar 4 5.47945205
Lainnya 5 6.84931507
Tidak ada Keterangan 44 60.2739726
Jumlah 73 100
(Sumber : data sekunder, rekam medik RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar)
Pada tabel 5 di atas, dapat dilihat distribusi pasien labiopalatoskisis
berdasarkan suku adalah, 12 orang suku Makassar (16,4%), 6 orang suku Bugis
(8,2%), 2 orang suku Toraja (2,7%), 4 orang suku Mandar (5,5%), 5 orang suku
lainnya (Kendari, Bontang) (6,9%), dan 44 orang lainnya tidak memiliki
keterangan di rekam medik (60,3%).
61
Tabel 6. Distribusi pasien labiopalatoskisis berdasarkan Umur Kontak
Pertama di RSUP. Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1 Januari
2011 – 31 Desember 2012.
VARIABEL Frekuensi (f) Persentase (%)
Umur Kontak Pertama
0-3 bulan 15 20.5479452
4-6 bulan 9 12.3287671
7-12 bulan 14 19.1780822
1-5 tahun 21 28.7671233
5-10 tahun 10 13.6986301
>10 tahun 4 5.47945205
Jumlah 73 100
(Sumber : data sekunder, rekam medik RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar)
Pada tabel 6 di atas, dapat dilihat distribusi pasien labiopalatoskisis
berdasarkan umur kontak pertama adalah, 15 orang (20,5%) mulai berobat pada
usia 0-3 bulan, 9 orang (12,3%) pada umur 4-6 bulan, 14 orang (19,2%) pada
umur 7-12 bulan, 21 orang (28,8%) pada usia 1-5 tahun, 10 orang (13,7%) pada
usia 5-10 tahun, dan 4 orang (5,5%) pada usai >10 tahun. Tidak ada sampel yang
tidak memiliki keterangan di rekam medik mengenai variabel umur kontak
pertama pasien dengan tenaga medis.
62
Tabel 7. Distribusi pasien labiopalatoskisis berdasarkan Adanya Riwayat
Keluarga di RSUP. Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1 Januari
2011 – 31 Desember 2012.
VARIABEL Frekuensi (f) Persentase (%)
Riwayat Keluarga
Ada 6 8.21917808
Tidak Ada 10 13.6986301
Tidak ada Keterangan 57 78.0821918
Jumlah 73 100
(Sumber : data sekunder, rekam medik RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar)
Pada tabel 7 di atas, dapat dilihat distribusi pasien labiopalatoskisis
berdasarkan ada tidaknya riwayat keluarga adalah 6 orang (8,2%) memiliki
riwayat keluarga, 10 orang (13,7%) tidak memiliki riwayat keluarga, sedangkan
57 orang (78,1%) tidak memiliki keterangan di rekam medik.
63
Tabel 8. Distribusi pasien labiopalatoskisis berdasarkan Adanya Riwayat
Penyakit Penyerta di RSUP. Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1
Januari 2011 – 31 Desember 2012.
VARIABEL Frekuensi (f) Persentase (%)
Riwayat Penyakit Penyerta
Ada
- Gizi Buruk 8 10.9589041
- Gangguan Genetik Lain 9 12.3287671
- Gangguan Respiratori 4 5.47945205
- Lain-lain 4 5.47945205
Tidak ada 28 38.3561644
Tidak ada keterangan 20 27.3972603
Jumlah 73 100
(Sumber : data sekunder, rekam medik RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar)
Pada tabel 8 di atas, diperoleh bahwa distribusi pasien labiopalatoskisis
berdasarkan riwayat penyakit penyerta pada pasien labiopalatoskisis adalah 8
orang (10,96%) menderita gizi buruk, 9 orang (12,33%) menderita gangguan
genetik lain (hidrocephalus, atresia ani, PDA), 4 orang (5,48%) menderita
gangguan saluran pernapasan, 4 orang (5,48%) menderita penyakit lainnya
(ikterus neonatorum, sepsis), 28 orang (38,36%) tidak menderita penyakit
penyerta, dan 20 orang (27,40%) tidak memiliki keterangan di rekam medik.
64
Tabel 9. Distribusi pasien labiopalatoskisis berdasarkan Tindakan
Pengobatan di RSUP. Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1
Januari 2011 – 31 Desember 2012.
VARIABEL Frekuensi (f) Persentase (%)
Tindakan
Ada tindakan operasi 56 76.7123288
Tidak ada tindakan operasi 17 23.2876712
Jumlah 73 100
(Sumber : data sekunder, rekam medik RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar)
Pada tabel 9 di atas, diperoleh bahwa distribusi pasien labiopalatoskisis
berdasarkan tindakan pengobatan pada pasien labiopalatoskisis adalah 56 orang
(76,7%) mendapatkan tindakan operasi, dan 17 pasien (23,3%) tidak mendapatkan
tindakan operasi. Tidak ada sampel yang tidak memiliki keterangan di rekam
medik seputar tindakan pengobatannya.
65
BAB VII
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan karakteristik pasien
labiopalatoskisis di RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar, yang akan dibahas
sesuai dengan variabel-variabel yang diteliti.
7.1. Jenis Labiopalatoskisis
Dari hasil penelitian berdasarkan jenis skisis didapatkan bahwa
labiopalatoskisis lebih sering ditemukan dibandingkan labioskisis dan
palatoskisis. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan bahwa
persentase labiopalatoskisis di dunia, lebih tinggi dari kasus skisis lainnya yakni
sebanyak 46%, diikuti palatoskisis sebanyak 33%, dan labioskisis sebanyak 21%.
Hal itu disebabkan karena labioskisis memacu untuk terjadinya palatoskisis,
dimana kegagalan penyatuan processus maxillaris dan processus nasalis medialis,
juga akan menghambat terbentuknya lempeng-lempeng palatina yang berperan
dalam pembentukan palatum primer dan sekunder.1,4
Oleh karena itu,
labiopalatoskisis lebih sering ditemukan dibandingkan labioskisis saja.1
Dari tipe skisis, labiopalatoskisis bilateral komplit adalah yang paling
sering terjadi dalam penelitian ini. Namun jenis skisis unilateral ditemukan lebih
banyak jika dibandingkan dengan skisis bilateral. Dimana Skisis unilateral sinistra
lebih banyak ditemukan dibandingkan unilateral dekstra.
66
Hal di atas sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan bahwa skisis
unilateral sembilan kali lebih sering daripada skisis bilateral, dan terjadi dua kali
lebih sering pada unilateral sinistra daripada dekstra.1,5,7
Belum ada literatur yang
menyebutkan secara jelas mengapa unilateral sinistra lebih sering terjadi
dibandingkan unilateral dekstra. Namun menurut Johnston dan Brown, hal
tersebut diduga dapat terjadi karena pembuluh darah yang memperdarahi facial
dekstra lebih dekat dengan jantung sehingga facial dekstra mendapat perfusi yang
lebih baik dibandingkan sinistra.9,12
7.2. Jenis Kelamin
Dari hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin diperoleh bahwa pasien
berjenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Hal ini sesuai
dengan kepustakaan yang menjelaskan bahwa perbandingan antara laki-laki dan
perempuan pada labiopalatoskisis dan labioskisis lebih sering ditemukan pada
pasien laki-laki. Namun untuk tipe palatoskisis lebih sering ditemukan pada
pasien perempuan. Penyebab mengapa palatoskisis lebih sering terjadi pada anak
perempuan belum diketahui dengan pasti, diduga karena proses penutupan
lempeng palatina pada embrio perempuan lebih lambat 1 minggu sehingga waktu
terpajan dengan faktor-faktor risiko seperti guncangan karena trauma, obat-obatan
dan infeksi lebih lama dibandingkan dengan laki-laki.6,15
67
7.3. Status Sosial Ekonomi
Dari hasil penelitian berdasarkan status sosial ekonomi diperoleh
pasien yang datang dengan menggunakan jaminan jamkesmas/jamkesda adalah
yang terbanyak. Hal ini menggambarkan bahwa sebagian besar penderita
labiopalatoskisis adalah masyarakat yang kurang mampu. Hal ini sesuai dengan
kepustakaan yang menyebutkan bahwa kelainan ini dapat disebabkan oleh asupan
nutrisi ibu yang tidak adekuat saat hamil yang sering terjadi pada masyarakat
kurang mampu. Hal ini juga berhubungan dengan penanganan yang terlambat
akibat kondisi ekonomi dari pasien. 3,9
Hasil di atas juga sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Bustami dan kawan-kawan diketahui bahwa alasan
terbanyak anak penderita labiopalatoskisis terlambat untuk dioperasi adalah
keadaan sosial ekonomi yang tidak memadai dan pendidikan orang tua yang
masih kurang.8
7.4. Suku
Dari hasil penelitian berdasarkan suku diperoleh suku yang terbanyak
menderita labiopalatskisis ialah suku Makassar. Hal ini menunjukan bahwa suku
terbanyak menderita labiopalatoskisis di RSUP Dr.WahidinSudirohusodo ialah
suku Makassar, namun hal tersebut tidak dapat menggambarkan secara utuh
pengaruh suku terhadap kelainan ini, karena masih banyaknya sampel dalam
penelitian ini yang tidak memiliki data terkait suku pasien di dalam rekam
mediknya. Dalam beberapa refensi juga tidak diketahui secara pasti suku bangsa
apa yang terbanyak menderita labiopalatoskisis, dimana hanya dikatakan bahwa
68
insiden labiopalatoskisis terbanyak di benua Asia dengan insiden sebanyak 2,1
dalam 1000 kelahiran pada etnis Asia. 1,2
Insiden bibir sumbing di Indonesia
belum diketahui secara pasti. Hidayat dan kawan-kawan di propinsi Nusa
Tenggara Timur antara April 1986 sampai Nopember 1987 melakukan operasi
pada 1004 kasus bibir sumbing atau celah langit-langit pada bayi, anak maupun
dewasa di antara 3 juta penduduk.3
Penelitian Fogh Andersen di Denmark
melaporkan kasus bibir sumbing dan celah langit-langit 1,47/1000 kelahiran
hidup. Hasil yang hampir sama juga dilaporkan oleh Woolf dan Broadbent di
Amerika Serikat serta Wilson untuk daerah Inggris. Neel menemukan insiden
2,1/1000 penduduk di Jepang.9
7.5. Umur Kontak Pertama dengan Dokter
Dari hasil penilitian berdasarkan umur kontak pertama dengan dokter
diperoleh kategori umur terbanyak ialah pada usia 1-5 tahun. Dari hasil tersebut
rata-rata orangtua atau keluarga pasien baru mengantar anaknya yang sakit ke
dokter terbanyak pada usia 1-5 tahun. Hal tersebut sesuai dengan kepustakaan
yang mengatakan bahwa kebanyakan pasien labiopalatoskisis datang berobat ke
dokter umumnya sudah melewati usia optimal untuk dilakukan tindakan operasi
untuk menangani penyakit tersebut. Usia optimal yang dimaksud ialah
berdasarkan Kriteria Rule Of Ten yang dijadikan pedoman untuk anak-anak yang
akan dioperasi, yang mana kriteria tersebut mencakup: Usia > 10 minggu
(3bulan), Berat badan >10 pon, Hemoglobin >10g%. Dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Bustami dan kawan-kawan juga menunjukkan hasil yang sama,
69
dimana diketahui bahwa alasan terbanyak anak penderita labiopalatoskisis
terlambat (berumur antara 5-15 tahun) untuk dioperasi adalah keadaan sosial
ekonomi yang tidak memadai dan pendidikan orang tua yang masih kurang. 2,8
Akibat keterlambatan tersebut tindakan operasi yang akan dilakukan hanya
berfungsi untuk keperluan kosmetika saja sedangkan secara fisiologis tidak
tercapai, fungsi bicara tetap terganggu seperti sengau dan lafalisasi beberapa huruf
tetap tidak sempurna, tindakan speech therapy pun tidak banyak bermanfaat. Ada
beberapa penyebab sehingga keluarga terlambat membawa keluarganya tersebut
berobat ke dokter antara lain masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
penyakit ini dan cara untuk mengobatinya, serta mungkin keadaan ekonomi yang
menyebabkan keluarga tidak dapat membawa keluarganya yang sakit tersebut
untuk berobat.8,16
7.6. Riwayat Keluarga
Dari hasil penelitian berdasarkan ada tidaknya riwayat keluarga diperoleh
hasil terbanyak ialah pasien tidak memiliki riwayat keluarga yang menderita
penyakit yang sama dengan penderita dengan. Hal ini berbeda dengan
kepustakaan yang menyebutkan bahwa pasien labiopalatoskisis memiliki anggota
keluarga yang menderita penyakit yang sama, karena dalam suatu penyakit
genetik/keturunan, faktor genetik merupakan suatu kerentanan yang dimiliki
individu tertentu yang mana hal tersebut bisa menjadi salah satu faktor resiko
terjadinya penyakit tersebut.4,5
Namun hal tersebut tidak dapat memberikan
gambaran yang pasti tentang riwayat keluarga pasien labiopalatoskisis karena
70
masih banyaknya sampel dalam penelitian ini yang tidak memiliki data terkait
riwayat keluarga pasien di dalam rekam mediknya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr Ananya Mandal, MD dari
Kolkata Area, India, menemukan bahwa anak-anak dari orang tua dengan
sumbing memiliki kesempatan 4 sampai 6 persen dilahirkan dengan clefts. Jika
seorang anak dilahirkan dengan clefts tapi orangtua tidak memiliki Sumbing,
risiko clefts di saudara biologis adalah 2-8 persen. Resiko clefts saudara biologis
dan masa depan anak-anak meningkat untuk 15-20% jika orang tua serta dua
anak-anak memiliki clefts. Anak-anak yang tidak memiliki sejarah keluarga dari
clefts berada pada risiko 0,14% dilahirkan dengan bibir sumbing dan/atau langit-
langit.
7.7. Riwayat Penyakit Penyerta
Dari hasil penelitian berdasarkan ada tidaknya riwayat penyakit penyerta
pasien diperoleh umumnya pasien labioplatoskisis tidak menderita penyakit
penyerta. Adapun penyakit penyerta terbanyak yang ditemukan dalam penelitian
ini ialah menderita gangguan genetik lain seperti hydrocephalus dan atresia ani.
Hal ini sedikit berbeda dengan kepustakaan yang mengatakan umumnya penyakit
penyerta yang diderita oleh pasien labiopalatoskisis ialah gizi buruk dan
gangguan respiratori (pneumonia, aspirasi), yang disebabkan karena pemberian
makanan melalui oral pada pasien labiopalatoskisis yang tidak maksimal (fungsi
mengisap terganggu), sehingga nutrisi yang diserap oleh tubuh juga ikut
berkurang. Karena fungsi isap yang terganggu juga dapat menyebabkan masalah
71
jika orangtua tidak mengerti cara pemberian makanan pada pasien
labiopalatoskisis, dimana dapat berakibat fatal (kematian) karena bisa terjadi
aspirasi.6,10
Namun data tersebut di atas tidak dapat memberikan gambaran yang pasti
tentang riwayat penyakit penyerta pasien labiopalatoskisis karena masih
banyaknya sampel dalam penelitian ini yang tidak memiliki data terkait riwayat
keluarga pasien di dalam rekam mediknya.
7.8. Tindakan
Dari hasil penelitian berdasarkan ada tidaknya tindakan operasi diperoleh
sebagian besar pasien labiopalatoskisis di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar mendapatkan tindakan. Hal ini berbeda dengan kepustakaan yang
mengatakan bahwa sebagian besar pasien labiopalatoskisis yang dibawa kerumah
sakit tidak langsung mendapat tindakan operasi. Kepustakaan tersebut
beranggapan bahwa pasien yang datang harus memenuhi kriteria Rule of Ten
terlebih dahulu.9 Namun rata-rata pasien labioplatoskisis yang datang berobat di
RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar sudah memenuhi kriteria untuk dilakukan
operasi karena dari hasil mengenai usia kontak pertama dengan dokter yang juga
diteliti dalam penelitian ini didapatkan usia kontak pertama dengan dokter ialah
antara usia 1-5 tahun, yang mana usia tersebut sudah memenuhi kriteria untuk
dilakukan tindakan operasi.
72
BAB VIII
KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat diambil
kesimpulan mengenai karakteristik pasien labiopalatosksisis di RSUP Wahidin
Sudirohusodo Makassar Periode 1 Januari 2011 – 31 Desember 2012, yakni
sebagai berikut:
Labiopalatoskisis lebih sering bersifat unilateral dari pada bilateral,
dimana lebih sering terjadi pada unilateral sinistra daripada unilateral
dekstra.
Labiopalatoskisis dapat mengenai kedua jenis kelamin, namun dominan
terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan
Selain itu, status sosial yang dominan adalah masyarakat yang kurang
mampu dapat dikaitkan dengan etiologi Labiopalatoskisis sendiri, yaitu
asupan nutrisi ibu yang kurang adekuat saat hamil.
Rata-rata penderita labiopalatoskisis yang datang untuk berobat ialah
ketika usia sudah melebihi batas usia optimal untuk operasi membuat
operasi hanya untuk keperluan kosmetika saja sedangkan secara fisiologis
tidak tercapai.
Suku, riwayat keluarga, dan riwayat penyakit penyerta tidak dapat
digambarkan, karena jumlah sampel yang sedikit disebabkan oleh
73
sebagian besar data sekunder (rekam medik) tidak mencantumkan suku,
riwayat keluarga, dan riwayat penyakit penyerta pasien.
Sebagian besar pasien yang datang berobat mendapatkan tindakan operasi.
Adapun beberapa pasien yang tidak dilakukan tindakan operasi
dikarenakan pasien tersebut belum memenuhi kriteria untuk dilakukan
operasi.
8.2. Saran
1. Kepada masyarakat
Masyarakat perlu memperhatikan asupan nutrisi serta kesehatan ibu hamil
dan menerapkan pola hidup yang sehat sehingga dapat menurunkan angka
kejadian labiopalatoskisis. Bagi masyarakat yang memiliki anggota keluarga yang
menderita kelainan ini agar dapat secepatnya berkonsultasi dengan tenaga
kesehatan sehingga dapat dilakukan pencegahan maupun penanganan yang lebih
baik terhadap kasus labiopalatoskisis.
2. Kepada pihak RSUP. Dr. wahidin Sudirohusodo
Pertama, penulisan data dalam rekam medis pasien khususnya penderita
labiopalatoskisis sebaiknya pendataan pada rekam medik lebih dilengkapi
termasuk data demografi.
Kedua, khususnya kepada bagian Bedah Plastik RSWS dan seluruh dokter
yang berkaitan dengan kasus labiopalatoskisis agar anamnesis, terutama yang
berkaitan dengan faktor predisposisi terjadinya labiopalatoskisis seperti suku
74
ataupun riwayat keluarga, dan riwayat penyakit penyerta lebih digali sehingga
memudahkan penelitian selanjutnya.
3. Kepada Dinas Kesehatan setempat
Penyuluhan dan edukasi tentang pentingnya pola hidup sehat terutama ibu
hamil bagi masyarakat perlu dilakukan untuk mencegah dan mengurangi angka
kejadian labiopalatoskisis dan meningkatkan kesehatan masyarakat.
75
DAFTAR PUSTAKA
1. Supit L, Prasetyono TO. Cleft lip and palate review: Epidemiology, Risk
Factors, Quality of Life, and importance of classifications. Med J Indones
Vol.17, No.4, October-Desember 2008.
2. Sjamsuhidajat, de Jong. Kelainan bawaan. In Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007. P.424-6.
3. Juniper RP, Smith WP. Cleft Lip and Palate. Developmental abnormalities
of the face, palate, jaws, and teeth. In Bailey Surgical Textbook. 2001.
P.403-6.
4. Jagomagi T, Soots M, Saag M. Epidemiologic factors causing cleft lip and
palate and their regularities of occurrence in Estonia. Stomatologija, Baltic
Dental and Maxillofacial Journal, 12: 105-8, 2010.
5. Hopper RA, Cutting C, Grayson B. Cleft Lip and Palate. In Grabb and
Smith’s Plastic Surgery 6th
edition. 2007. P.201-25
6. Bukhari SA, Ahmad W, Khursid T, Fazal M. Management of Cleft Lip and
Palate: An appraisal of 50 cased managed in oral and maxillofacial
76
surgery department. Armed Forces Institute of Dentistry, Rawalpindi,
Pakistan. Pakistan Oral & Dental journal 2007;26(1):3-8.
7. Sadler, T.W. Langman’s Medical Embryology – Eight Edition. Lippincott
Williams and Wilkins. 2000. p.386-95.
8. Egan T, Antoine G. Cleft Lip and Palate. In Facial Plastic, reconstructive,
and Trauma Surgery. NewYork: Marcel Dekker, Inc. 2004. p.359-77.
9. Stainer P, Moore GE. Genetics of cleft lip and palate: syndromic genes
contribute to the incidence of non-syndromic clefts. Human Molecular
Genetics, 2004, Vol. 13, Review Issue 1. DOI: 10.1093/hmg/ddh052.
10. Gest T. Face and Pharynx. In Anatomy University of Michigan Medical
School. 1999 [cited on August, 9th
, 2012]. Available on:
http://www.med.umich.edu/lrc/coursepages/m1/embryology/embryo/09facean
dpharynx.htm
11. Yu W, et al. Cleft lip and palate genetics and application in early
embryological development. Indian J Plast Surg. 2009 October; doi:Â
10.4103/0970-0358.57185
12. Freitas, et al. Rehabilitative treatment of cleft lip and palate: experience of
the Hospital for Rehabilitation of Craniofacial Anomalies/USP
(HRAC/USP) - Part 1: overall aspects. J. Appl. Oral Sci. vol.20 no.1 Bauru
Jan./Feb. 2012 [cited 8th
August, 2012]. Available on:
http://dx.doi.org/10.1590/S1678-77572012000100003
77
13. Stoll C, et al. Analysis of polymorphic TGFB1 codons 10, 25, and 263 in a
German patient group with non-syndromic cleft lip, alveolus, and palate
compared with healthy adults. BMC Medical Genetics 2004, 5:15 [cited on
8th
August, 2012]. Available on: http://www.biomedcentral.com/1471-
2350/5/15
14. Lilja J. Cleft Lip and Palate Surgery. Scandinavian Journal of Surgery 92:
269–273, 2003.
15. Gulli LF,et al. Cleft Lip Repair. In Encyclopedia of Surgey. 2012 [cited on
8th
August, 2012]. Available on: http://www.surgeryencyclopedia.com/Ce-
Fi/Cleft-Lip-Repair.html
16. Jagomagi T, Soots M, Saag M. Epidemiologic factors causing cleft lip and
palate and their regularities of occurrence in Estonia. Stomatologija,
Baltic Dental and Maxillofacial Journal, 12: 105-8, 2010
17. Bermudez L, Lizarraga AK, Carter V. How and Why Cleft Occur..
Research and Outcomes Department. Norfol : Operation Smile Inc. 2009.
78
LAMPIRAN FORMAT KUISIONER PENELITIAN
No Variabel Kriteria Objektif
1 Jenis kelamin 1. Laki-laki
2. Perempuan
2 Tipe labiopalatoskisis
1. Bilateral, komplit
2. Bilateral, inkomplit
3. Unilateral, komplit, kanan
4. Unilateral, komplit, kiri
5. Unilateral, inkomplit, kanan
6. Unilateral, inkomplit, kiri
3 Status sosial ekonomi
1. Sendiri/ Jamsostek (swasta)
2. Askes (PNS)
3. Jamkesmas/jamkesda/askeskin/
gakin
4 Suku 1. Makassar
2. Bugis
3. Toraja
4. Mandar
5. Lainnya
5 Umur kontak pertama dengan
dokter
1. 0-6 bulan
2. 6-12 bulan
3. 1-3 tahun
4. 3-5 tahun
5. > 5 tahun
6 Riwayat keluarga
1. Ada Riwayat keluarga menderita
Labiopalatoskisis
2. Tidak ada Riwayat keluarga
menderita Labiopalatoskisis
3. Tidak ada keterangan dalam rekam
medik
7 Riwayat penyakit penyerta
1. Ada riwayat penyakit penyerta
2. Tidak ada riwayat penyakit
penyerta.
3. Tidak ada keterangan dalam rekam
medik.
8 Tindakan
1. Ada tindakan operasi
2. Tidak ada tindakan operasi
3. Tidak ada keterangan dalam
rekam medik