implikasi konflik bersenjata antara thailand...

108
i IMPLIKASI KONFLIK BERSENJATA ANTARA THAILAND DAN KAMBOJA TERHADAP INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU NEGARA ANGGOTA ASEAN DITINJAU MENURUT HUKUM INTERNASIONAL OLEH A.M. ALVI NAREZA CAESAR AZHAR B 111 07 189 SKRIPSI Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana Hukum Dalam Bagian Hukum Internasional Program Studi Ilmu Hukum PADA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012

Upload: others

Post on 03-Feb-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • i

    IMPLIKASI KONFLIK BERSENJATA ANTARA THAILAND DAN KAMBOJA

    TERHADAP INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU NEGARA ANGGOTA ASEAN

    DITINJAU MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

    OLEH

    A.M. ALVI NAREZA CAESAR AZHAR

    B 111 07 189

    SKRIPSI

    Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian Studi

    Sarjana Hukum Dalam Bagian Hukum Internasional

    Program Studi Ilmu Hukum

    PADA

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS HASANUDDIN

    MAKASSAR

    2012

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

    ABSTRAK

    A.M. Alvi Nareza Caesar Azhar, B 111 07 189, Implikasi Konflik

    Bersenjata Antara Thailand dan Kamboja Terhadap Indonesia Sebagai Salah

    Satu Negara Anggota ASEAN Ditinjau Menurut Hukum Internasional.

    (Dibimbing oleh Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H. selaku pembimbing I dan Birkah

    Latif, S.H.,M.H. selaku pembimbing II).

    Penelitian ini bertujuan untuk mampu mengetahui bagaimana pengaruh yang

    ditimbulkan akibat konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja terhadap

    Indonesia yang merupakan sebagai salah satu negara anggota ASEAN. Selanjutnya

    penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa di

    ASEAN yang melibatkan anggotanya dalam hal ini konflik bersenjata antara

    Thailand dan Kamboja.

    Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan

    Library Research , dengan teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan.

    Data dilengkapi dengan data sekunder dari referensi-referensi (buku dan webside),

    seperti peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan metode analisis

    kualitatif secara deskriptif. Penelitian ini dilakukan di Kementerian Luar Negeri RI

    dan Perpustakaan Umum Ali Alatas, S.H.

    Adapun temuan yang didapatkan dari hasil penelitian. Pertama Pengaruh

    dari konflik Thailand dan Kamboja yang telah memposisikan Indonesia sebagai

    pihak garda terdepan yang turut aktif untuk menengahi dan memediasi konflik

    bersenjata tersebut Kedua Penyelesaian sengketa diantara negara ASEAN

    ditentukan dalam Treaty of Amity Cooperation (TAC), yaitu negoisasi langasung

    antara para pihak, melalui high council, menyelesaikan sengketa dengan pasal 33

    piagam PBB. Penyelesaian konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja

    diselesaikan dengan jalur mediasi yang mana Indonesia hadir sebagai pihak yang

    memediasi keduanya. upaya penyelesaian sengketa dalam konflik Thailand dan

    Kamboja merupakan evolusi peranan dari ASEAN sebagai organisasi internasional

    kawasan regional dan PBB sebagai induk organisasi internasional yang meliputi

    kedua negara itu (Multitrack).

  • vi

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

    Dengan mengucapkan Alhamdulillah, puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT

    penguasa alam semesta atas segala limpahan rahmat, taufik, inayah, dan hidayah-

    Nya sehingga penulis dapat merampungkan penulisan dan penyusunan skripsi yang

    berjudul “Implikasi Konflik Bersenjata Antara Thailand dan Kamboja Terhadap

    Indonesia Sebagai Salah Satu Negara Anggota ASEAN Ditinjau Menurut

    Hukum Internasional”.

    Shalawat dan salam yang tak kunjung henti kepada junjungan nabi besar kita

    Muhammad SAW yang telah mengajarkan umatnya ketakwaan, kesabaran dan

    keikhlasan dalam mengarungi hidup yang fana sehingga mengantarkan penulis

    untuk tahu akan arti kehidupan dan cinta yang hakiki.

    Pertama-tama penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang terdalam

    dan tak terhingga kepada kedua orang tua Ayahanda (Gufran Buchari, Idris

    Faisal) dan Ibunda (A.Evie Mochtar, A.Irawati Mochtar) serta Kakanda (Mario

    Caesar, Ihsan Pasamula) dan juga Adinda (Caca, Cica) dan Seluruh Keluarga

    atas segala kasih sayang, cinta kasih dan dukungannya yang tiada henti sehingga

    membentuk kepribadian dan kedewasaan penulis dalam meraih cita. Semoga Allah

  • vii

    SWT senantiasa memberi kasih sayang-Nya sebagaimana kasih sayang yang telah

    kalian berikan selama ini.

    Skripsi ini dapat terselesaikan berkat dorongan semangat, tenaga, pikiran serta

    bimbingan dari berbagai pihak yang sangat penulis hargai. Oleh karena itu, pada

    kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga serta

    penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

    1. Bapak Dr. R.M. Marty Muliana Natalegawa, M.Phil, B.Sc., selaku

    Menteri Luar Negeri Republik Indonesia.

    2. Bapak Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi, Sp.BO., selaku Rektor

    Universitas Hasanuddin.

    3. Bapak Prof. Dr. Aswanto, S.H.,M.H.,DFM., selaku Dekan Fakultas

    Hukum Universitas Hasanuddin;

    4. Bapak Prof.Dr. Ir. Abrar, S.H.,M.H., selaku Wakil Dekan I, Bapak

    Dr. Anshori Ilyas, S.H.,M.H., selaku Wakil Dekan II, dan Bapak

    Romy Librayanto, S.H.,M.H., selaku Wakil Dekan III;

    5. Bapak Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H., selaku Pembimbing I terima

    kasih atas ilmu yang diberikan kepada penulis, kesabaran,

    keikhlasan dan keteguhannya dalam membimbing penyusunan dan

    penulisan skripsi ini;

    6. Ibu Birkah Latif, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II yang senantiasa

    memberikan semangat dalam belajar dan membaca serta diskusi-

    http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Idrus_A._Paturusi&action=edit&redlink=1

  • viii

    diskusi mengenai skripsi penulis dan juga terima kasih atas segala

    perhatian, ilmu yang diberikan, keikhlasan, dan segala kesabaran

    dalam membimbing penulis;

    7. Bapak Prof. Dr. Muhammad Ashri, S.H., M.H., selaku Penguji I,

    Ibu Inneke Lihawa, S.H., M.H., selaku Penguji II,

    Ibu Tri Fenny Widayanti, S.H., M.H., selaku Penguji III,

    Terima kasih atas kesediaan dan partisipasinya untuk menguji

    penulis dalam ujian skripsi serta saran-saran membangun yang

    telah diberikan kepada penulis;

    8. Seluruh pengajar/dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

    khususnya dosen pada bagian Hukum Internasional atas segala

    ilmu yang telah diberikan kepada penulis;

    9. Seluruh Staf Akademik (ibu haji haderah,ibu farida, pak KTU, pak

    Bunga) dan Pegawai Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

    yang telah banyak membantu penulis selama berada di Fakultas

    Hukum Universitas Hasanuddin;

    10. Bapak Ade Padmo Sarwo (Direktur Polkam ASEAN), Bapak Andri

    Djufri Said (Secretariat Directorate General of ASEAN Cooperation,

    KEMENLU RI), Ibu Endang D Mardeyani (Kepala Bagian Umum

    BPPK), Bapak Derry Aman (Kasubdit Polkam ASEAN), Mas ramzi,

    Mas andri, Mbak Iim, serta para nara sumber lain yang telah

  • ix

    membantu penulis dalam penyediaan materi-materi yang terkait

    dengan skripsi ini;

    11. Emiria Rufaida, S.H. yang senantiasa memberikan motivasi,

    support dan kasih sayang dalam suka dan duka serta membantu

    belajar selama 4 tahun 3 bulan di fakultas hukum universitas

    hasanuddin, dan juga salam buat Amelia, tante noura, om basri,

    nenek dan oma

    12. Teman-teman pada organisasi ILSA, HmI ang.99, ALSA, FOPMAB,

    Hipma Gowa, UKM Sepak Bola FHUH, DPM FHUH periode 08/09.

    13. Teman-teman KKN Profesi Fakultas Hukum Universitas

    Hasanuddin tahun 2010 pada Kementerian Luar Negeri Republik

    Indonesia : Yudho, Fauzan, Minarti, Devyta, Randi, Andi, Lange,

    Ulva, Afrizal, Ahkam, Ipul, Aswin, Boy, Jane, Rininta, dll;

    14. Teman-teman seperjuangan : IkhwanMS, madi, danu, sakir, Ka

    gufi, Ka rahmat, Ka raju, Ka nandar, Ka oci, alif, om tri, arandi, devi,

    sasa, fandy, bom-bom, erik, joko, ippang, imal, anto, arifandi, fanci,

    eca kurni, iLo, cakra, luki, bondan, cuncunk, cappo, hari, andika,

    fikar, uga, irsad, iccang, aswin, dauta, aryo, dito, fadli nyong, iwan,

    ardi, riswan, udpa, ari, ramdan, mamad, fadlan, faris, panjul, ali,

    acca, ibenk, halik, ical fuad, eca, piyan, cimeng, mail, aso, ryan,

    ismed, tomi, takdir, wiwin, fahrul, fazlur, pius, sira’, accul, riki, ka

  • x

    ical, akbar ai, mace sija’, nenek hj, ka ratna, ka oca, Daeng rais,

    mas/mbak bakso, sunny, dll.

    15. Warkop AI, Anjelo ai, Banana FC, lobe-lobe, Kios 28, Mamo Crew,

    Adenoid (odi, gatra, iwan, gandro, obheq, wandi, diki, nino, puang,

    dll);

    16. Rekan-rekan angkatan EKSTRADISI 2007 Fakultas Hukum

    Universitas Hasanuddin.

    Dan semua pihak yang tak dapat penulis tuliskan namanya satu persatu,

    terima kasih atas segala bantuan dan sumbangsinya baik itu moral maupun

    materil dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini. Dengan segala

    keterbatasan penulis hanyalah manusia biasa dan tak dapat memberikan

    yang setimpal atau membalasnya dengan apa-apa kecuali memohon

    keridhoan yang maha kuasa agar kiranya bantuan tersebut dapat berbuah

    pahala dan mendatangkan fitrah bagi kita semua.

    Pada akhirnya semoga keikhlasan yang telah dipersembahkan kepada

    penulis mendapat rahmat dan hidayah dari yang maha mengetahui.

    Kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Karenanya, penulis membuka diri

    terhadap kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini, sehingga dapat

    memberikan manfaat bagi kita semua.

  • xi

    Tak ada gading yang retak, tak ada manusia yang tak sempurna apabila

    ada kesalahan dalam penulisan ini mohon dimaafkan. Billahi taufik wal

    hidayah.

    Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

    Makassar, Januari 2012

    P e n u l i s

  • xii

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i

    PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................................. ii

    PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ..................................................... iii

    HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................... iv

    ABSTRAK ............................................................................................................... v

    UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................................... vi

    DAFTAR ISI ............................................................................................................. xii

    BAB I PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang Masalah................................................................................ 1

    2. Rumusan Masalah……………………………………... ................................... 7

    3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 8

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    1. Konflik Bersenjata ......................................................................................... 9

    1. A. Pengertian Konflik Bersenjata...………………………………………… ... 9

    1. B. Dasar Hukum Konflik Bersenjata………………………….. .................... 10

    2. Penyelesaian sengketa Internasional ............................................................ 12

    2. A. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Damai..…………............. 14

    2. B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Paksa…………………….. 29

  • xiii

    3. Organisasi Internasional................................................................................ 36

    3. A. Pengertian Organisasi Internasional……………………………………… 36

    3. B. Pembentukan Organisasi Internasional………………………………….. 37

    3. C. Status Hukum Organisasi Internasional…………………………………. 38

    3. D. Keanggotaan Organisasi Internasional…………………………………... 41

    3. E. Pengambilan Keputusan dalam Organisasi Internasional……………… 42

    4. ASEAN (Association of South East Asian Nations) ....................................... 45

    4. A. Latar Belakang dan Sejarah…………………………………………......... 45

    4. B. Tujuan dan Prinsip ASEAN……………………………………………….. . 49

    4. C. Struktur Organisasi Internasional………………………………………… 54

    4. D. Perkembangan Komunitas ASEAN………………………………………. 56

    5. Negara Indonesia Sebagai Anggota ASEAN…………………………………... 58

    BAB III METODE PENELITIAN

    1. Lokasi Penelitian ........................................................................................... 63

    2. Jenis dan Sumber Data ................................................................................. 63

    3. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................ 64

    4. Analisis Data ................................................................................................. 64

    5. Sistematika Penulisan ................................................................................... 65

  • xiv

    BAB IV PEMBAHASAN

    1. Pengaruh Yang Ditimbulkan Akibat Konflik Bersenjata Antara Thailand

    Dan Kamboja Terhadap Indonesia Sebagai Salah Satu Negara

    Anggota ASEAN. ........................................................................................... 66

    1. A. Pengaruh Internal Akibat Konflik Bersenjata antara Thailand dan

    Kamboja………………………………………………………………... ..... .67

    1. B. Pengaruh Eksternal Akibat Konflik Bersenjata antara Thailand

    dan Kamboja…………………………………………………………... ...... 69

    2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa di dalam ASEAN Terhadap

    Kasus Sengketa yang Melibatkan Anggotanya (Konflik Bersenjata

    Antara Thailand dan Kamboja). ................................................................... 75

    2. A. Penyelesaian Sengketa di ASEAN…………………………………........ 75

    2. B. Penyelesaian Sengketa Konflik Bersenjata Antara Thailand dan

    Kamboja…………………………………………………………………….. 78

    BAB V PENUTUP

    1. Kesimpulan .................................................................................................. 87

    2. Saran ........................................................................................................... 89

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang Masalah

    Negara Thailand dan negara Kamboja pada awalnya memiliki

    hubungan yang baik, kedua negara sangat jarang terlibat konflik. Hal ini

    mungkin dikarenakan kedua negara tersebut memiliki banyak persamaan,

    salah satu persamaannya adalah agama, yaitu agama Buddha yang

    merupakan agama mayoritas dikedua negara tersebut. Persamaan kedua

    ialah dari sistem pemerintahan mereka yang sama-sama mengadopsi sistem

    monarki konstitusional, akan tetapi hubungan yang baik itu menjadi

    merenggang selepas konflik perang Indochina pada tahun 1975, selepas

    perang Indochina tersebut hubungan kedua negara terus menerus

    merenggang. Hubungan tersebut semakin memburuk yang diperparah

    dengan konflik antara keduanya yang semakin memanas belakangan ini.

    Adapun konflik yang memicu antara Thailand dan Kamboja adalah

    permasalahan yang terletak pada suatu tempat yaitu kuil Preah Vihear.

    Sebuah kuil yang berusia kurang lebih 900 tahun, yang belakangan ini

    menjadi perbincangan. Penyebabnya adalah karena wilayahnya seluas 4,6

    km2 di sekitar kuil tersebut kini sedang diperebutkan dua negara ASEAN

  • 2

    tersebut yaitu Thailand dan Kamboja. Kedua negara itu sama-sama

    mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayahnya, dan keduanya sama-sama

    berpendapat penempatan tentara dari kedua negara di wilayah tersebut

    merupakan bukti pelanggaran kedaulatan nasional mereka. Juli 2008 lalu,

    kedua negara yang bertikai sama-sama menempatkan tentaranya yang

    keseluruhannya berjumlah lebih dari 4000 pasukan di kawasan kuil Preah

    Vihear tersebut.1

    Wilayah kuil Preah Vihear yang seluas 4,6 km2 ini memang sudah

    menjadi perdebatan sejak lama. Akan tetapi, perdebatan semakin memanas

    sejak dikeluarkannya keputusan UNESCO yang memasukkan kuil itu ke

    dalam daftar warisan sejarah dunia. Keputusan UNESCO ini kemudian

    mengundang dua reaksi berbeda, reaksi gembira dari rakyat Kamboja, serta

    reaksi negatif dari rakyat Thailand. Sebenarnya, masalah kepemilikan kuil

    tersebut sudah diatur oleh Mahkamah Internasional tahun 1962 tentang

    “Case Concerning the Temple of Preah Vihear” Dalam keputusannya,

    mayoritas hakim (9 dari 12) Mahkamah Internasional menyatakan bahwa kuil

    Preah Vihear berada dalam wilayah kedaulatan Kamboja dan Thailand harus

    menarik personil kepolisian dan militer dari kuil tersebut. 2 Namun yang

    1 http://www.kompas.com/2008/10/18/55775/thailand-Kamboja/, diakses pada tanggal 4 Agustus 2011,

    pukul 11.17 wita. 2 http://www.icj-cij.org/homepage/index.php?lang=en, diakses pada tanggal 4 Agustus 2011,

    pukul11.25 wita.

    http://www.kompas.com/2008/10/18/55775/thailand-kamboja/http://www.icj-cij.org/homepage/index.php?lang=en

  • 3

    menjadi masalah di sini adalah wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar kuil tersebut

    yang tidak dijelaskan kepemilikannya oleh Mahkamah Internasional.3

    Masalah kepemilikan yang tidak jelas inilah yang menyebabkan

    terjadinya sengketa yang kemudian berlanjut dengan konflik bersenjata di

    wilayah sekitar kuil Preah Vihear. Konflik bersenjata yang terjadi pada

    tanggal 15 Oktober 2009 dikabarkan telah menewaskan tiga tentara Kamboja

    dan membuat empat tentara Thailand luka-luka. Hal ini tentu membuat warga

    Kamboja berang. Kemarahan warga Kamboja itu menyebabkan kedutaan

    Thailand dan beberapa usaha milik warga Thailand dibakar yang berada di

    ibu kota Phnom Penh.

    Perdebatan mengenai wilayah sekitar kuil Preah Vihear itu sebenarnya

    sudah dimulai sejak lama. Perdebatan ini muncul karena Kamboja sebagai

    negara bekas jajahan Perancis memiliki peta teritori wilayahnya yang pernah

    digunakan oleh mantan penjajahnya yaitu Perancis, sedangkan disatu sisi

    pihak Thailand juga menggunakan peta teritori wilayahnya sendiri, dengan

    penafsiran mengenai besar wilayah sehingga menimbulkan klaim terhadap

    wilayah masing-masing. Salah satu wilayah yang menjadi masalah adalah

    wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar kuil Preah Vihear tersebut. Jika klaim

    Kamboja tentang wilayah 4,6 km2 ini dikabulkan oleh Thailand, Thailand

    khawatir Kamboja akan semakin merajalela dan mencaplok pula wilayah-

    3 http://www.kompas.com/2008/10/18/55775/thailand-Kamboja/, diakses pada tanggal 4 Agustus 2011,

    pukul 11.30 wita.

    http://www.kompas.com/2008/10/18/55775/thailand-kamboja/

  • 4

    wilayah lain yang juga disalah tafsirkan. Hal yang sama juga dilakukan oleh

    pihak Kamboja. Karena itu tidak heran wilayah yang hanya seluas 4,6 km2

    begitu diperebutkan, baik oleh Kamboja maupun Thailand.4

    Dalam hal ini ada satu masalah lagi yang mendorong Kamboja

    maupun Thailand untuk memiliki wilayah sekitar kuil Preah Vihear tersebut.

    Alasannya adalah karena wilayah sekitar kuil Preah Vihear adalah wilayah

    yang kaya akan sumber daya mineral, minyak bumi, dan gas alam.

    Kepemilikan akan wilayah sekitar kuil Preah Vihear itu berarti akan menjamin

    terpenuhinya kebutuhan energi negara pemiliknya, juga sekaligus akan

    meningkatkan pemasukan negara tersebut dari sektor penjualan sumber

    energi. Hal ini menambah alasan mengapa wilayah sekitar kuil Preah Vihear

    merupakan wilayah yang layak untuk diperebutkan, baik oleh Thailand

    maupun Kamboja.5

    Sengketa wilayah antara Thailand dan Kamboja menimbulkan korban

    jiwa dan memaksa ribuan orang mengungsi. Hal tersebut telah mencoreng

    prestasi dan reputasi ASEAN sebagai sebuah mekanisme pencegahan

    konflik khususnya bagi negara-negara yang tergabung dalam ASEAN. Dalam

    hal ini ASEAN tidak dapat lagi memandang bahwa sengketa wilayah di

    antara negara anggotanya tidak akan pernah menjadi penyebab konflik

    4 http://www.theJakartapost.com/2008/10/16/55350 /400-an-warga-thailand-tinggalkan-Kamboja/,

    diakses pada tanggal 4 Agustus 2011, pukul 16.54 wita. 5 Derek Manangka, 2008, Bara Dendam Thailand dan Kamboja, Penerbit Kencana, Jakarta, hlm 14.

    http://www.thejakartapost.com/2008/10/16/55350%20/400-an-warga-thailand-tinggalkan-kamboja/

  • 5

    bersenjata. Sebagai negara yang berada di kawasan Asia Tenggara,

    Indonesia jelas menyadari implikasi konflik antara Thailand dan Kamboja

    yang membuat kredibilitas ASEAN dipertanyakan, melainkan juga stabilitas

    regional dan pada umumnya bagi Indonesia sebagai ketua ASEAN pada

    tahun 2011. Hal itu mendorong pemerintah Indonesia mengambil peran aktif

    membantu mencari solusi, bukan dengan meminta kedua pihak yang bertikai

    “menyapu masalah ke bawah karpet”, melainkan dengan memfasilitasi

    perundingan damai secara langsung dan terbuka.6

    Sangat disayangkan, usaha Indonesia ini terganjal oleh kompleksitas

    faktor-faktor politik dalam negeri dikedua negara, dimana Menteri luar negeri

    Thailand dan Kamboja sepakat meminta Indonesia menempatkan tim

    observasi di wilayah pertikaian dan berpartisipasi dalam proses bilateral

    selanjutnya, akan tetapi hal tersebut tidak dapat terlaksanakan dikarenakan

    hal tersebut ditentang oleh pihak militer Thailand.7

    Tentu saja terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa usaha Indonesia

    telah mengalami kegagalan. Dalam konteks hubungan internasional,

    penyelesaian konflik dan sengketa territorial merupakan masalah yang amat

    sulit dan membutuhkan proses panjang. Yang terpenting adalah kedua belah

    pihak tetap menyadari pentingnya peran Indonesia dalam menjalankan “opsi

    6 Derek Manangka, op. cit., hlm 16.

    7 Penolakan ini terjadi pada tanggal 21 Desember 2010 (Merupakan proses awal ikutnya Indonesia.

    Kemudian di tanggal 22 Februari 2011 terjadi perubahan hingga Indonesia bisa menjadi mediator dan mengerahkan tim observasinya di daerah sengketa wilayah tersebut).

  • 6

    ASEAN”, dan tidak bersikukuh dengan “opsi bilateral” (dalam hal ini Thailand)

    ataupun “opsi PBB/ internasional” (seperti yang diinginkan Kamboja).

    Konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja jelas menunjukan

    bahwa sengketa wilayah dan perbatasan tetap menjadi sumber konflik yang

    tidak dapat lagi diabaikan oleh ASEAN, di samping itu masih banyak kasus

    sengketa wilayah lainnya yang melibatkan negara-negara ASEAN, termasuk

    antara beberapa negara ASEAN dan Cina di laut Cina selatan. Sengketa ini

    menjadi ganjalan tidak hanya bagi perwujudan cita-cita komunitas keamanan

    ASEAN, tapi juga bagi upaya mempertahankan peran sentral ASEAN di

    kawasan Asia timur.8

    Sebagai ketua ASEAN 2011, Indonesia harus memanfaatkan

    momentum seperti ini dengan mendorong ASEAN untuk memperkuat dan

    melembagakan moralitas serta mekanisme penyelesaian sengketa secara

    lebih terperinci dan operasional, ASEAN Charter dan Treaty Amity

    Cooperation sesungguhnya telah memberi dasar untuk itu. 9 Bersamaan

    dengan itu, Indonesia juga perlu mengambil prakarsa untuk memeperkuat

    kapasitas ASEAN dalam menggunakan good office, konsiliasi, dan mediasi

    yang merupakan mandat piagam ASEAN serta diikuti melalu kerja sama

    8 http://www.korantempo.com/menjaga.perdamaian.ASEAN.html?page=2, diakses pada tanggal 6

    Agustus 2011, pukul 05.24 wita. 9 http://mediaindonesia.com/ASEAN.diuji.konflik.thailand-kamboja/, diakses pada tanggal 6 Agustus

    2011, pukul 13.39 wita.

    http://www.korantempo.com/http://mediaindonesia.com/ASEAN.diuji.konflik.thailand-kamboja/

  • 7

    dengan Perserikatan Bangsa Bangsa. 10 Tanpa langkah-langkah strategis

    seperti ini, ASEAN dikhawatirkan akan menjadi sebuah komunitas regional

    tanpa persatuan.

    2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang diatas dan untuk memfokuskan penulisan

    skripsi ini, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

    1. Bagaimanakah pengaruh yang ditimbulkan akibat konflik bersenjata

    antara Thailand dan Kamboja terhadap Indonesia sebagai salah satu

    negara anggota ASEAN ?

    2. Bagaimanakah mekanisme penyelesaian sengketa di ASEAN

    terhadap sengketa yang melibatkan anggotanya (Konflik bersenjata

    antara Thailand dan Kamboja) ?

    3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    a) Tujuan Penelitian

    1. Untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan akibat konflik

    bersenjata antara Thailand dan Kamboja terhadap Indonesia

    sebagai salah satu negara anggota ASEAN.

    10

    http://mediaindonesia.com/ASEAN.diuji.konflik.thailand-kamboja/, diakses pada tanggal 6 Agustus 2011, pukul 13.57 wita.

    http://mediaindonesia.com/ASEAN.diuji.konflik.thailand-kamboja/

  • 8

    2. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa di

    ASEAN yang melibatkan anggotanya dalam hal ini konflik

    bersenjata antara Thailand dan Kamboja.

    b) Manfaat Penelitian

    1. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi manfaat bagi

    pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum

    pada umumnya, hukum internasional, hukum organisasi

    internasional dan proses penyelesaian sengketa

    internasional pada khususnya serta dapat digunakan

    sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis.

    2. Hasil penelitian diharapkan guna mengembangkan

    penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk

    mengembangkan kemampuan dalam mengkritisi persoalan-

    persoalan hukum.

  • 9

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    1. Konflik Bersenjata

    A. Pengertian Konflik Bersenjata

    “Definisi dari Konflik Bersenjata menurut Pietro Verri adalah Suatu konflik non-internasional (atau konflik internal), dapat dianggap (menjadi) konflik bersenjata yang bersifat internasional apabila telah terpenuhi syarat-syarat berikut11:

    1. Jika suatu negara yang berperang melawan pasukan pemberontak di dalam wilayahnya telah mengakui pihak pemberontak tersebut sebagai pihak yang bersengketa (belligerent);

    2. Jika terdapat satu atau lebih negara asing yang memberikan bantuan kepada salah satu pihak dalam konflik internal, dengan mengirimkan Angkatan Bersenjata resmi mereka dalam konflik yang bersangkutan; dan

    3. Jika terdapat dua negara asing, dengan Angkatan Bersenjata masing-masing melakukan intervensi dalam suatu negara yang sedang terlibat konflik internal, di mana masing-masing angkatan bersenjata tersebut membantu pihak yang saling berlawanan”.

    “Haryomataram membagi konflik bersenjata menjadi 2 bagian12:

    1. Konflik bersenjata yang bersifat internasional

    Adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain.

    11

    Pietro Verri, 1992, Dictionary of the International Law of Armed Conflict, ICRC, Geneva, hlm 35. 12

    Haryomataram, 2002, Konflik Bersenjata dan Hukumnya, Universitas Trisakti, Jakarta, hlm 3.

  • 10

    2. Konflik bersenjata yang bersifat Non-internasional

    Dikenal juga sebagai “perang pemberontakan”, ialah perang yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C”

    “Starke membagi konflik bersenjata menjadi dua13:

    1. Perang yang tepat antara negara

    2. Konflik bersenjata yang bukan dari karakter perang”

    B. Dasar Hukum Konflik Bersenjata

    Sumber hukum yang mengatur tentang konflik bersenjata terbagi

    menjadi14:

    1. Konvensi Den Haag 1907;

    Mengatur alat dan cara-cara berperang.

    2. Konvensi Genewa 1949;

    Mengatur korban perang baik kombatan dan sipil.

    3. Protokol tambahan 1977.

    Protokol ini menyempurnakan isi dari Konvensi Genewa dan prinsip-

    prinsip yang terdapat dalam Konvensi Genewa masih tetap berlaku.

    Dalam konflik bersenjata, masyarakat internasional harus

    memperhatikan prinsip-prinsip dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI).

    Prinsip mendasar dari HHI adalah hasil kompromi antara prinsip

    13

    Haryomataram, Konflik Bersenjata dan Hukumnya, op. cit., hlm 4. 14

    Ibid., hlm 45.

  • 11

    kemanusiaan (principle of humanity) dan prinsip kepentingan (principle of

    necessity).15

    Prinsip-prinsip HHI yang harus diperhatikan adalah16:

    1. Prinsip Kemanusiaan (Principle of Humanity);

    Menentukan bahwa pihak yang berperang diwajibkan untuk berperilaku memperhatikan kemanusiaan, dimana mereka dilarang menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan penderitaan yang berlebihan.

    2. Prinsip Pembedaan (Distinction Principle);

    Membedakan antara pihak kombatan 17 dan penduduk sipil dalam wilayah negara yang berperang.

    3. Prinsip Proporsionalitas (Proportionality Principle);

    Tujuan dalam prinsip ini adalah untuk menyeimbangkan antara kepentingan militer dan resiko yang akan merugikan penduduk sipil.

    4. Prinsip Larangan untuk Menyebabkan Penderitaan yang Tidak Seharusnya (Principle of Prohibition of Causing Unnecessary Suffering). Para pihak yang berperang mempunyai keterbatasan dalam memilih alat dan metode berperang. Para pihak tidak dapat menggunakan senjata yang menyebabkan penderitaan yang berlebihan (superfluous injury) atau penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).

    5. Prinsip Kepentingan Militer (Military Necessity)

    Para pihak dalam menggunakan kekuatan militer harus sah menurut hukum. Dalam menggunakan kekerasan, hal yang harus diperhitungkan adalah prinsip proporsionalitas dan keseimbangan antara kepentingan militer dan kepentingan kemanusiaan.

    15

    Jean Pictet, 1996, The Principle of International Humanitarian Law, ICRC, Geneva, hlm 27. 16

    Sri Setianingsih, 2006, Pengantar Hukum Internasional, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional

    FHUI, hlm 8. 17

    Kombatan adalah penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan, sedangkan penduduk sipil tidak ikut aktif dalam peperangan.

  • 12

    2. Penyelesaian Sengketa Internasional

    Penyelesaian sengketa merupakan satu tahapan penting dan

    menentukan, dalam hal terjadinya sengketa oleh karena itu hukum

    internasional memainkan peranan penting guna memberikan pedoman,

    aturan, dan cara atau metode bagaimana suatu sengketa dapat diselesaikan

    oleh para pihak secara damai. Hal ini dituangkan dalam pasal 1 Konvensi

    Den Haag tahun 1907. Pasal 1 Konvensi 1907 ini kemudian diambil oleh

    piagam PBB, yaitu pasal 2 ayat 3 Piagam PBB berbunyi18:

    “All members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered. “

    Ketentuan pasal 2 ayat 3 Piagam PBB ini kemudian dijabarkan dalam

    pasal 33 ayat 1 Piagam PBB yang mengatakan bahwa19:

    “Pihak-pihak yang berada dalam suatu sengketa yang terus menerus yang mungkin membahayakan terpeliharanya perdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian melalui negosiasi, penyelidikan, dengan peraturan, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian menurut hukum, melalui badan-badan atau perjanjian setempat, atau dengan cara damai lain yang dipilih sendiri.”

    Prinsip penyelesaian sengketa secara damai kemudian diambil alih

    dalam Deklarasi mengenai hubungan bersahabat dan kerja sama antar

    negara tanggal 14 Oktober 1970 (A/RES/2625/XXV) dan Deklarasi Manila

    18

    Charter of United Nations, 1945. 19

    Ibid.

  • 13

    tanggal 15 November 1982 (A/RES/37/10) mengenai penyelesaian sengketa

    internasional secara damai. Selain penyelesaian sengketa secara damai

    perlu kita ketahui bahwa dikenal juga penyelesaian sengketa dengan

    kekerasan di dalam hukum internasional.

    Sebelum kita membahas mekanisme penyelesaian sengketa

    internasional, perlu diketahui bahwa sengketa internasional terbagi dua

    yaitu20:

    1. Sengketa Hukum (legal judicial disputes);

    Sengketa hukum biasanya diselesaikan dengan cara arbitrase dan pengadilan dunia.

    2. Sengketa Politik (political or nonjusticiable disputes)

    Sengketa politik biasanya diselesaikan dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi, penyelidikan (enquiry), penyelesaian melalui organisasi internasional, perang, retorsi, reprisal, blokade, intervensi, invasi, dan agresi.

    Penyelesaian sengketa internasional dapat dilakukan dengan dua

    macam cara yaitu penyelesaian sengketa secara damai dan secara paksa

    atau kekerasan.

    20

    Huala Adolf, 2007, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 3.

  • 14

    A. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Damai

    1. Negosiasi

    Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang dilakukan

    langsung oleh para pihak yang berperkara dengan cara melalui saluran

    diplomatik biasa. Cara ini merupakan cara yang sangat praktis dan efektif.

    Hal ini disebabkan karena cara penyelesaian dengan negosiasi ini para pihak

    dapat langsung berhubungan dan saling memberikan pengertian tentang apa

    yang dikehendaki, oleh karenanya kedua belah pihak dapat bertindak dengan

    bijaksana untuk menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi.21 Dalam hal

    ini negosiasi mempunyai prinsip di mana telah diakui bahwa pencegahan

    adalah lebih penting dari pengobatan dan salah satu bentuk negosiasi adalah

    konsultasi.

    Negosiasi dalam pelaksanaanya memiliki dua bentuk utama, yaitu

    bilateral dan multilateral. Cara ini dapat digunakan menyelesaikan sengketa

    ekonomi, politik, hukum, sengketa wilayah, keluarga, suku, dan lain-lain.22

    Kelemahan utama penggunaan cara ini dalam menyelesaikan

    sengketa adalah23:

    21

    Sri Setianingsih, 2006, Penyelesaian Sengketa Internasional, UI – Press, Jakarta, hlm 7. 22

    Ibid., hlm 8. 23

    Huala Adolf, op. cit., hlm 19.

  • 15

    1. Dimana kedudukan para pihak tidak seimbang, salah satu

    pihak kuat, sedangkan pihak lain lemah. Dalam keadaan

    ini, pihak yang kuat berada dalam posisi untuk menekan

    pihak lainnya. Hal ini acap kali terjadi manakala dua pihak

    bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketa di antara

    mereka.

    2. Proses berlangsungnya negosiasi acap kali lambat dan

    makan waktu lama. Hal dikarenakan permasalahan antar

    negara yang timbul, khususnya masalah yang berkaitan

    dengan ekonomi internasional. Selain itu, jarang sekali

    adanya persyaratan penetapan batas waktu bagi para pihak

    untuk menyelesaikan sengketanya melalui negosiasi.

    3. Dimana suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya.

    Keadaan ini dapat menimbulkan proses negosiasi menjadi

    tidak produktif.

    Agar negosiasi sebagai cara penyelesaian sengketa berhasil, maka

    antar para pihak yang bersengketa harus ada kepercayaan akan

    penyelesaian dengan negosiasi. Adanya ketidakpercayaan antar para pihak

    dapat menyebabkan tidak tercapainya penyelesaian sengketa mereka. Ada

    beberapa cara untuk dapat mengatasi hal tersebut. Bila negosiasi antar para

  • 16

    pihak untuk masalah substansi mengalami jalan buntu, maka kemungkinan

    untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah mengadakan perjanjian yang

    memberikan kompensasi pada salah satu untuk dapat mencairkan isu

    substansi. Sebagai contoh misalnya24:

    “Ketika ada sengketa antara Inggris dan Iceland tentang masalah batas wilayah penankapan ikan. Tahun 1961 kedua belah pihak mengakhiri sengketanya dengan membuat suatu perjanjian yang berisi bahwa Inggris mengakui klaim Iceland untuk memperpanjang wilayah penangkapan ikan Iceland, namun Inggris akan diberitahu tentang perpanjangan tersebut dalam waktu enam bulan. Dalam hal timbulnya sengketa karena perpanjangan wilayah perikanan tersebut kedua belah pihak setuju untuk membawanya ke Mahkamah Internasional (ICJ).”

    Contoh di atas menggambarkan penyelesaian dengan package deal,

    hal ini sering terjadi dikonferensi multilateral, di mana kepentingan antar

    anggota berbeda-beda. Suatu anggota menawarkan kepentingannya untuk

    didukung oleh pihak lain, pihak tersebut akan mendukung usul pihak lain

    yang membutuhkan dukungannya.25

    Perlu diingat bahwa negara terikat untuk mengadakan penyelesaian

    sengketanya dengan negosiasi bila hal tersebut dinyatakan dalam perjanjian

    yang telah disetujuinya atau kewajiban untuk mangadakan negosiasi itu

    didasarkan pada hukum kebiasaan internasional. Pasal 33 piagam PBB

    menentukan alternatif penyelesaian sengketa di antaranya dengan negosiasi.

    24

    Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 12. 25

    Ibid., hlm 13.

  • 17

    Oleh karena itu negara-negara anggota PBB berhak untuk menggunakan

    negosiasi sebagai cara penyelesaian sengketa.26

    2. Mediasi

    Apabila sengketa internasional tidak mampu diselesaikan dengan cara

    negosiasi, maka dimungkinkan adanya campur tangan pihak ketiga yang

    akan menyelesaikan jalan buntu ini dan menghasilkan penyelesaian yang

    dapat diterima masing-masing pihak. Hal ini biasanya disebut mediasi, dalam

    keadaan ini pihak ketiga menyumbangkan “jasa baik”nya kepada kedua

    belah pihak yang bersengketa.27

    Mediasi mungkin juga dilaksanakan lebih dari suatu negara, sebagai

    contoh komisi tiga negara (Australia, Belgia, dan Amerika Serikat) komisi ini

    dibentuk oleh PBB dalam rangka menyelesaikan masalah sengketa Republik

    Indonesia dan Belanda pada tahun 1947, komisi ini bahkan membantu

    perumusan Perjanjian Renville.

    Mediasi juga dapat dilaksanakan dengan sokongan keuangan dan

    bantuan lain yang bernilai untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai contoh28:

    “Pada saat ada sengketa antara Pakistan dan India tentang wilayah perairan Indus antara tahun 1951 dan 1961 Bank Dunia menawarkan bantuan keuangan dan usaha ini berhasil.”

    26

    Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 14. 27

    J.G. Merrills, 1998, Penyelesaian Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung, hlm 22. 28

    Ibid., hlm 24.

  • 18

    Mediasi juga sering dilakukan oleh orang-orang terkenal. Sebagai

    contoh29:

    “Sengketa perbatasan antara Bahrain dan Qatar tahun 1988, Raja Fahd dari Saudi Arabia berindak sebagai mediator.”

    Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa mediator bisa individu,

    negara, atau organisasi internasional. Mediator harus memiliki “itikad baik”

    dan tidak memihak. Hal ini disebabkan bahwa para pihak dengan itikad baik

    menyerahkan sengketa pada mediator dengan harapan bahwa mediator

    dapat menyelesaikan sengketanya dengan baik. Mediator dapat

    mengusulkan suatu proposal sehingga kedua belah pihak akan menerima.

    Mediator juga dapat mengatur di mana kedua belah pihak akan bertemu di

    tempat yang netral.

    Perlu diperhatikan bahwa mediasi hanya dapat dilakukan apabila para

    pihak menghendakinya. Dalam hal ini para pihak tidak dapat menerima

    usulan yang disampaikan oleh mediator, atau karena para pihak tidak dapat

    menerima tindakan mediator maka mediasi tidak dapat dilaksanakan. Mediasi

    akan berhasil apabila kedua belah pihak yang bersengketa percaya bahwa

    sengketanya akan terselesaikan dengan adanya mediasi.30

    29

    Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 17. 30

    Huala Adolf, op. cit., hlm 34.

  • 19

    3. Konsiliasi

    Konsiliasi adalah suatu cara untuk menyelesaikan sengketa

    internasional mengenai keadaan apapun di mana suatu komisi yang dibentuk

    oleh pihak-pihak, baik yang bersifat tetap atau ad hoc untuk menangani suatu

    sengketa, berada pada pemeriksaan yang tidak memihak atas sengketa

    tersebut dan berusaha untuk menentukan batas penyelesaian yang dapat

    diterima oleh pihak-pihak, atau memberi pihak-pihak, pandangan untuk

    menyelesaikannya, seperti bantuan yang mereka inginkan.31

    Perjanjian konsiliasi diadakan untuk pertama kalinya pada tahun 1920,

    dimana pihak yang bersengketa adalah Swedia dan Chili. Pada tahun 1922

    konsiliasi ditetapkan sebagai alternatif cara menyelesaikan sengketa dalam

    suatu perjanjian yang dibuat antara Jerman dan Swiss.32

    Adapun tugas dari Dewan Konsiliasi adalah menyelidiki fakta dan

    hukum serta merumuskan proposal bagi suatu penyelesaian, akan tetapi

    disatu sisi Perancis dan Swiss telah mendefinisikan fungsi komisi konsiliasi

    permanen pada tahun 1975, yang menjadi model bagi perjalanan selanjutnya

    sebagai berikut33:

    “Tugas komisi konsiliasi permanen adalah untuk menjelaskan masalah dalam sengketa, dengan tujuan itu mengumpulkan semua keterangan

    31

    J.G. Merrills, op. cit., hlm 54. 32

    Ibid., hlm 55. 33

    Ibid., hlm 57.

  • 20

    yang berguna melalui penyelidikan atau dengan cara lain, dan berusaha untuk membawa pihak-pihak pada persetujuan. Komisi ini, setelah mempelajari kasus itu, dapat mendekatkan pada pihak-pihak batas penyelesaian yang kelihatannya sesuai, dan menetapkan batas waktu kapan mereka harus membuat keputusan. Pada akhirnya pemeriksaanya komisi itu akan membuat suatu laporan, karena hal ini memungkinkan, yang menyatakan bahwa pihak-pihak harus mencapai persetujuan dan, jika perlu batas persetujuan, atau bahwa terbukti tidak mungkin untuk melakukan penyelesaian.”

    Konsiliasi biasanya digambarkan sebagai kombinasi antara enquiry

    dan mediasi. Konsiliator yang telah dipilih berdasarkan perjanjian antara para

    pihak, menyelidiki fakta-fakta yang menjadi sengketa dan mengusulkan

    penyelesainnya. Konsiliasi lebih formal dan kurang fleksibel jika dibandingkan

    dengan mediasi. Jika usulan dari mediator tidak diterima, maka mediator

    dapat mengusulkan usul lain. Sedangkan konsiliator hanya dapat membuat

    suatu laporan, walaupun sebelum membuat laporan konsiliator biasanya

    telah mendiskusikan dengan para pihak tentang masalah-masalah yang

    dihadapi untuk mendapatkan persamaan persepsi yang dapat dijadikan dasar

    perjanjian penyelesaian sengketa antara para pihak. Para pihak tidak

    diwajibkan untuk menerima usulan dari konsiliator, karena usul konsiliator itu

    hanya merupakan rekomendasi, namun terlepas dari hal tersebut konsiliasi

    biasanya menuju pada penyelesaian dengan arbitrase terutama bila sengketa

    tersebut menyangkut masalah hukum yang pelik.34

    34

    Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, P.T. Alumni, Bandung, hlm 213.

  • 21

    Pada umumnya konsiliator terdiri dari beberapa anggota, yang

    biasanya diatur dalam perjanjian bilateral atu multilateral, akan tetapi tidak

    menutup kemungkinan pihak yang bersengketa menunjuk langsung satu

    konsiliator.

    Adapun contoh penunjukan konsiliator adalah sebagai berikut35:

    “Pada tahun 1977 ketika Uganda, Kenya, dan Tanzania yang semula tergabung dalam masyarakat Afrika Timur yang didorong oleh Bank Dunia untuk membagi asetnya telah menunujuk Dr. Victor Umbricht (diplomat Swiss) untuk bertindak sebagai konsiliator.”

    4. Penyelidikan (Enquiry)

    Suatu cara penyelesaian sengketa yang mula-mula dilahirkan tahun

    1899 dalam Konvensi Den Haag I atas inisiatif Kaisar Nicholas I. Dalam

    Konvensi Den Haag II tahun 1907 menegaskan dan menyempurnakan

    prosedur ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Den Haag I.36

    Adapun penjelasan dari enquiry adalah di mana kedua belah pihak

    yang bersengketa setuju untuk membentuk komisi angket/pemeriksa

    (enquiry). Komisi ini mempunyai tugas untuk menjernihkan fakta-fakta yang

    menjadi pangkal sengketa dengan mengadakan penyelidikan dengan teliti

    dan tidak memihak. Jadi tugas komisi ini hanya menyelidiki fakta-fakta saja,

    35

    Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 34. 36

    J.G. Merrills, op. cit., hlm 36.

  • 22

    namun penyelidikan fakta-fakta tersebut telah mendapat gambaran “siapakah

    yang bersalah”.37

    Dalam konvensi Den Haag II tahun 1907 tugas dan cara kerja komisi

    angket/pemeriksa (enquiry) dicantumkan dalam bab II, pasal 9-36. Pada garis

    besarnya dinyatakan bahwa komisi angket/pemeriksa adalah sebagai

    berikut38:

    1. Komisi angket/pemeriksa bertujuan menjernihkan fakta-fakta;

    2. Komisi dibentuk atas persetujuan kedua belah pihak yang bersengketa;

    3. Laporan komisi ini tidak mengikat para pihak.

    Jadi jelaslah bahwa kewenangan komisi angket/ pemeriksa ini terbatas

    pada penyelidikan fakta.

    Pada Konvensi Den Haag pada tahun 1899 telah disetujui

    persyaratan-persyaratan tertentu untuk penunjukan komisi angket/pemeriksa

    sebagai berikut39:

    1. Hanya dipergunakan dalam penyelesaian sengketa “yang tidak

    mempengaruhi kehormatan ataupun kepentingan yang

    essensial”;

    37

    J.G. Merrills, op. cit., hlm 37. 38

    Ibid., hlm 38. 39

    Ibid., hlm 39.

  • 23

    2. Tugas komisi angket/pemeriksa hanya sehubungan dengan

    pertanyaan fakta dan tidak berhubungan dengan masalah

    hukum;

    3. Pembentukan komisi ataupun implementasi dari hasil

    penemuan bukan merupakan kewajiban dari para pihak untuk

    menerimanya.

    5. Arbitrase

    Dalam Hukum Internasional publik, arbitrase dikenal sebagai suatu

    cara penyelesaian sengketa antara negara dengan damai, hal ini sudah

    dikenal sejak zaman Yunani dan dalam abad pertengahan berbagai unit

    politik telah dibentuk dalam rangka kekaisaran Romawi, dalam abad ke-12

    dan ke-13 sering dipergunakan dalam sengketa antara kota-kota di kerajaan

    Italia dan juga antara daerah-daerah di Swiss.40

    Secara modern arbitrase dikenal dalam perjanjian Jay (tahun 1974),

    dimana perjanjian tersebut disepakati antara Amerika Serikat dan Inggris,

    dimana ditentukan bahwa jika timbul perselisihan antara mereka maka akan

    diselesaikan oleh komisi nasional yang ditunjuk yang terdiri dari pihak ketiga

    yang tidak memihak. Ini adalah bentuk arbitrase pertama kalinya, komisi

    Amerika Serikat dan Inggris yang menyelesaikan sengketa tidak melalui

    40

    Huala Adolf, op. cit., hlm 39.

  • 24

    pengadilan dalam arti modern, akan tetapi penyelesaian sengketa dengan

    pertimbangan diplomatik untuk menghasilkan satu penyelesaian sengketa.41

    Pada tahun 1899 dibentuklah Mahkamah Arbitrase Tetap (Permanent

    Court of Arbitration). PCA berkedudukan di Den Haag, namun walaupun PCA

    bukan court dalam arti sebenarnya dan sifat permanen ini bukan

    menunjukkan sifat tetap, namun merupakan suatu panel arbitrator. Arbitrator

    ini terdiri dari daftar ahli hukum terkemuka yang berasal dari negara-negara

    peserta Konvensi Den Haag.42

    Aktivitas penyelesaian sengketa dengan damai melalui arbitrase

    teruse berjalan. Dalam Konvensi Den Haag 1907 tentang penyelesaian

    sengketa dengan damai ditentukan dalam pasal 37, sebagaimana berbunyi43:

    “International Arbitration has for its object the settlement of disputes between states by judges of their own choices and on the basis respect of law. Recourse of arbitration implies engagement to submit in good faith to award.”

    Dalam masyarakat internasional sebagaimana telah dikemukakan di

    atas tidak ada pemerintah pusat, tidak ada organisasi yang mengorganisasi

    sistem hukum, maka fungsi tersebut didesentralisasi dan diserahkan pada

    anggota masyarakat internasional.

    41

    Huala Adolf, op. cit., hlm 40. 42

    Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 42. 43

    Den Haag Convention, 1907.

  • 25

    Arbitrase lebih dan fleksibel jika dibandingkan dengan penyelesaian

    melalui pengadilan, di mana di dalam arbitrase para pihak dapat menentukan

    dimana perwasitan itu akan berlangsung dan dapat menentukan dan memilih

    arbiter sesuai dengan kemampuannya, prosedur yang akan diterapkan,

    kekuatan dari keputusannya melalui perumusan (yang juga disebut hasil

    kompromi antara para pihak).44

    6. Mahkamah Internasional

    Mahkamah Internasional adalah penyerahan sengketa kepada

    pengadilan permanen untuk suatu keputusan sifatnya mengikat secara

    hukum. Pengadilan Dunia meliputi dua badan yaitu45:

    1. Mahkamah Internasional Permanen yang dibentuk sebagai bagian dari penyelesaian perdamaian 1919;

    2. Mahkamah Internasional yang didirikan pada tahun 1945 sebagai badan peradilan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Kewenangan Mahkamah Internasional untuk memutuskan sengketa

    diatur dalam statuta Mahkamah Internasional dan dikenal sebagai

    kewenangan contentious (perselisihan) nya. Menurut Statuta Mahkamah

    Internasional hanya negara-negara lah yang dapat menjadi pihak dalam

    perkara contentious (perselisihan) dan wewenang Mahkamah Internasional

    44

    Boer Mauna, op. cit., hlm 232. 45

    Ibid., hlm 247.

  • 26

    dalam kasus seperti ini tergantung pada persertujuan negara-negara yang

    bersangkutan.46

    Mahkamah Internasional beranggotakan 15 hakim, yang dipilih batas

    waktu selama 9 tahun oleh Dewan Keamanan dan Majelis umum

    Perserikatan Bangsa-bangsa.

    Dalam pembicaraan tentang penyelesaian sengketa melalui

    Mahkamah Internasional (ICJ) maka di sini akan diuraikan kasus Sipadan

    Ligitan, dimana negara yang bersengketa adalah Indonesia dengan Malaysia.

    “Sengketa antara Indonesia dengan Malaysia itu timbul pada tahun 1969 ketika Indonesia dan Malaysia berunding untuk menentukan garis batas landas kontinen antara Sabah dan Kalimantan Timur muncullah masalah Sipadan Ligitan. Sebelumnya kedua belah pihak berusaha menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara diplomasi, namun perundingan yang diadakan tidak membawa hasil, oleh karena itu kedua negara membawa sengketa tersebut ke ICJ guna mendapatkan keputusan yang mengikat secara hukum. Setelah dalam tahap proses penyelsaian sengketa akhirnya ICJ berpendapat bahwa fakta-fakta yang dikemukakan oleh Malaysia membuktikan adanya pengelolaan secara damai dan berkelanjutan sejak kolonial Inggris dan ini dinilai oleh ICJ Malaysia telah menunjukkan adanya keinginan dan melaksanakan fungsi negara berkaitan dengan pulau Sipadan Ligitan.”47

    Kasus di atas membuktikan bahwa keputusan atau penyelesaian

    sengketa yang dilaksanakan melalui Pengadilan Dunia dianggap mengikat

    secara hukum dan harus dipatuhi oleh negara-negara peserta PBB.

    46

    Boer Mauna, op. cit., hlm 270. 47

    Ibid., hlm 274.

  • 27

    7. Penyelesaian Sengketa Melalui Organisasi Internasional

    Instrumen-instrumen hukum yang mendasari berdirinya organisasi

    internasional, tersirat adanya kehendak dari negara–negara pendirinya untuk

    menghindari cara-cara kekerasan dalam penyelesaian sengketa. Instrumen-

    instrumen tersebut mengakui dan menyadari bahwa penyelesaian sengketa

    harus dilaksanakan secara damai diantara mereka.

    Adapun cara-cara penyelesaian sengketa melalui organisasi

    internasional adalah sebagai berikut48:

    1. Adanya kata kesepakatan dalam menentukan cara

    penyelesaian sengketa diantara mereka;

    2. Organisasi internasional memberikan fungsi non yudisial

    kepada lembaga baik yang sudah ada atau yang secara

    khusus dibentuk;

    3. Penyelesaian dapat dilakukan dengan negosiasi, mediasi, atau

    penyelesaian melalui bantuan pihak ketiga lainnya, baik oleh

    suatu lembaga permanen atau suatu lembaga ad hoc

    (sementara);

    48

    Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 213.

  • 28

    4. Pemanfaatan pasal 33 ayat (1) piagam PBB, khususnya

    penyelesaian melalui jalur hukum, dalam hal ini oleh

    Mahkamah Internasional (ICJ), cara ini hanya ditempuh oleh

    para pihak manakala cara-cara penyelesaian sengketa secara

    langsung (atau melalui pihak ketiga) telah ditempuh dan

    ternyata gagal.

    Dalam hal ini peran organisasi internasional telah diakui dalam

    menyelesaikan sengketa internasional oleh masyarakat international. Pada

    waktu Liga Bangsa-Bangsa (LBB) didirikan pendiri LBB telah menyadari

    pentingnya peran organisasi regional dalam penyelesaian sengketa

    internasional. Pasal 21 kovenen LBB menentukan bahwa49:

    “Nothing in this Covenant shall be deemed to affect the validity of international engagements, such as treaties of arbitration or regional understandings like Monroe doctrine50, for securing the maintenance of peace.”

    Setelah LBB bubar dan digantikan oleh PBB maka dalam rangka PBB

    juga diakui pentingnya organisasi regional dalam penyelesaian sengketa.

    Bab VIII piagam PBB mengatur tentang Regional Arrangements dari Pasal 52

    piagam PBB

    49

    Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 213. 50

    Monroe doctrine adalah doktrin yang dinyatakan oleh Presiden Amerika Serikat, Presiden Monroe tahun 1823 yang isinya menentang campur tangan (intervens) Eropa di Amerika.

  • 29

    Pasal 52 piagam PBB, menentukan bahwa51:

    “Nothing in the present Charter precludes the existence of regional arrangements or agencies for deadling with such matters relating to the maintenance of international peace and security as are appropriate for regional action, provided that such arrangements or agencies and their activities are consistent with the Purposes and Principles of the United Nations.”

    Dari ketentuan diatas jelaslah bahwa PBB mengakui bahwa organisasi

    regional untuk menangani masalah-masalah yang bertalian dengan masalah

    perdamaian dan keamanan internasional menurut cara yang sesuai bagi

    kawasan tersebut, asalkan sesuai dengan prinsip-prinsip dan tujuan PBB.

    B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Paksa

    1. Perang

    Perang adalah pertentangan yang disertai penggunaan kekerasan

    oleh masing-masing negara dengan tujuan menundukkan lawan dan

    menetapkan persyaratan perdamaian secara sepihak.

    Menurut Oppenheim Lauterpacht, pengertian perang adalah52:

    “War is connection between two or more states through their armed forces, for the purpose of overpowering each other and imposing such conditions a peace as the victor pleases.”

    51

    Charter of United Nations, 1945. 52

    Oppenheim, L., 1952, International Law Disputes, War and Neutrality, Seventh Edition, Longmans, hlm 150.

  • 30

    Menurut Starke, pengertian perang adalah53:

    “The laws of war consist of the limits set by international law within which the force required to overpower the enemy may be used, and the principle thereunder governing the treatment of individuals in the course of war and armed conflict.”

    Jadi dapat disimpulkan perang adalah suatu sengketa bersenjata

    antara dua negara atau lebih yang mempergunakan kekuatan bersenjatanya

    dengan maksud mengadu kekuatan masing-masing untuk dapat mencapai

    perdamaian setelah mendapat kemenangan.

    Konvensi-konvensi yang mengatur tentang perang diantaranya

    adalah54:

    1. Declaration of Paris 1856: mengatur perang di laut;

    2. Konvensi Jenewa 1864: mengatur perbaikan kondisi prajurit yang mati di medan perang;

    3. Code Lieber atau Instructions for Government of Armies of the United States 1863;

    4. Konvensi Den Haag 1899. Konvensi Den Haag ini menghasilkan tiga konvensi yaitu:

    1) Konvensi I tentang penyelesaian sengketa secara damai;

    2) Konvensi II tentang hukum dan kebiasan perang di darat;

    3) Konvensi III tentang adaptasi asas-asas konvensi Den Haag. Jenewa pada 22 Agustus 1864 tentang hukum perang di laut.

    53

    Haryomataram, 1984, Pengantar Hukum Humaniter, Penerbit Rajawali, Jakarta, hlm 3. 54

    Ibid., hlm 7.

  • 31

    2. Retorsi

    Retorsi adalah pembalasan suatu negara terhadap perbuatan tidak

    pantas yang dilakukan negara ke negara lain (lawan dalam sengketa).

    Adapun contoh tindakan-tindakan adalah sebagai berikut55:

    1. Pemutusan hubungan diplomatik;

    2. Pembatasan gerak gerik perwakilan diplomatik negara lawan;

    3. Penarikan kembali exequatur bagi konsul negara lawan;

    4. Hapusan hak-hak istimewa warga negara atau perusahaan milik negara lawan;

    5. Penutupan tapal batas bagi arus lalu lintas.

    Dalam rangka PBB maka anggota PBB untuk mempraktekan retorsi

    harus mematuhi peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam piagam PBB,

    sebagai contoh Pasal 2 (3) yang menyebutkan bahwa56:

    “All members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered.”

    3. Reprisal

    Reprisal adalah pembalasan suatu negara terhadap perbuatan

    melanggar hukum negara lain yang menjadi lawan dalam sengketa. Suatu

    55

    Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 197. 56

    Charter of The United Nations, 1945.

  • 32

    tindakan kekerasan agar dapat dianggap sebagai tindakan pembalasan,

    maka tindakan itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut57:

    1. Bahwa telah diusahakan untuk menyelesaikan sengketa dengan damai;

    2. Bahwa pihak lawan telah melakukan tindakan melawan hukum;

    3. Bahwa tindakan pembalasan tersebut tidak dapat dilakukan dengan berlebih-lebihan;

    4. Bahwa tindakan pembalasan tersebut tidak boleh merugikan kepentingan negara ketiga dan warga negaranya;

    5. Tindakan pembalasan tersebut harus dihentikan bila keadaan yang dituntut telah dipenuhi oleh pihak lawan.

    Adapun contoh tindakan pembalasan dapat berupa58:

    1. Tindakan terhadap diri atau kekayaan warga negara lawan.;

    2. Pemboman atas wilayah tertentu;

    3. Pendudukan atas wilayah pihak lawan;

    4. Penghentian pembayaran hutang.

    Tindakan pembalasan dapat dibedakan menjadi dua yaitu tindakan

    pembalasan yang positif dan tindakan pembalasan yang negatif. Tindakan

    pembalasan positif adalah tindakan yang dalam keadaan normal merupakan

    tindakan yang melanggar hukum internasional. Sedangkan yang dimaksud

    dengan tindakan pembalasan negatif adalah suatu penolakan untuk

    57

    Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 198. 58

    Ibid., hlm 199.

  • 33

    melakukan kewajiban internasional, misalnya pemenuhan kewajiban untuk

    suatu perjanjian internasional.59

    Sebagaimana halnya dengan retorsi maka rambu-rambu untuk

    membatasi tindakan pembalasan adalah Pasal 2 (3) piagam PBB dan Pasal

    2 (4) piagam PBB yang menentukan bahwa60:

    “All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.”

    4. Blokade Secara Damai

    Blokade secara damai adalah bentuk khusus dari tindakan

    pembalasan, namun dapat dikategorikan sebagai intervensi atau tindakan

    pembalasan.

    Blokade secara damai disebutkan dalam pasal 42 piagam PBB yaitu

    sebagai salah satu tindakan yang dapat diambil oleh Dewan Keamanan

    dalam ,menjalankan tugasnya untuk memulihkan dan mempertahankan

    perdamaian dan keamanan internasional.

    “Menurut Starke ada beberapa hal positif dengan penggunaan blokade damai ini, karena blokade damai ini tidak menggunakan kekerasan sebagaimana perang dan sifatnya fleksibel jika dibandingkan dengan

    59

    J.G. Starke, 1989, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 403. 60

    Charter of The United Nations, 1945.

  • 34

    tindakan pembalasan, maka tindakan blokade damai ini dianggap sebagai perang. negara-negara maritim yang kuat menggunakan blokade damai untuk menghindarkan beban perang dan kesulitan akibat perang.”61

    5. Intervensi

    Intervensi secara umum adalah tindakan sesuatu negara mengenai

    hal yang seharusnya menjadi urusan negara lain (yang bersangkutan).

    Intervensi terbagi tiga, yaitu62:

    1. Intervensi Internal;

    Suatu negara terlibat dengan sengketa dalam negeri antar pihak di negara lain dengan cara mendukung salah satu pihak.

    2. Intervensi Eksternal;

    Suatu negara terlibat dalam sengketa antar negara lain dengan cara mendukung salah satu pihak.

    Contoh kasus63:

    “Italia melibatkan diri dalam PD II dengan cara berpihak pada Jerman melawan Inggris.”

    3. Intervensi Punitif.

    Suatu negara melakukan tindakan balasan pada negara lain yang melanggar perjanjian internasional.

    Contoh kasus64:

    “Rusia, Perancis, dan Jerman memaksa Jepang mengembalikan wilayah Liaotung yang dirampas Jepang dan China melalui perjanjian Shimonoseki.”

    61

    J.G Starke, op. cit., hlm 416. 62

    Ibid., hlm 419. 63

    Oppenheim, L., op. cit., hlm 150. 64

    Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 205.

  • 35

    Intervensi-intervensi yang dapat diakui harus memenuhi persyaratan

    sebagai berikut65:

    1. Kolektif, sesuai Piagam PBB;

    Ini adalah tindakan Dewan Keamanan berdasarkan bab VII Piagam,

    atau sanksi yang dijatuhkan oleh majelis umum PBB dalam rangka

    Uniting for Peace Resolution 3 November 1950

    2. Melindungi hak, kepentingan, keselamatan jiwa warga negara di

    luar negeri;

    3. Pertahanan diri, jika intervensi diperlukan untuk mencegah adanya

    keadaan yang sangat berbahaya karena adanya serangan

    bersenjata secara nyata;

    4. Dalam hal melaksanakan tugasnya sebagai negara protektorat

    terhadap wilayah yang menjadi dominionnya;

    5. Jika negara yang menjalankan intervensi telah dipersalahkan

    melakukan pelanggaran berat hukum internasional, misalnya jika

    negara bersangkutan telah menjalankan intervensi tidak sah.

    Sebagai contoh adanya intervensi adalah sebagai berikut66:

    65

    Sri Setianingsih, Penyelesaian Sengketa Internasional, op. cit., hlm 203. 66

    Ibid., hlm 204.

  • 36

    “Inggris dan Perancis melakukan intervensi dalam perang antara Mesir dan Israel dimana Mesir menutup terusan suez pada bulan Oktober-November tahun 1958. Intervensi yang dilakukan oleh Inggris dan Perancis dalam rangka melindungi kepentingan mereka sehubungan adanya perang Mesir-Israel.”

    3. Organisasi Internasional

    A. Pengertian Organisasi Internasional

    Organisasi internasional adalah suatu bentuk dari gabungan beberapa

    negara atau bentuk unit fungsi yang memiliki tujuan bersama mencapai

    persetujuan yang juga merupakan isi dari perjanjian atau charter. Anggapan

    semacam itu juga telah ditekankan lagi dalam “International Court of Justice

    Advisory Opinion Interpretation of the Agreement of 25 March 1951 between

    WHO and Egypt.” Yang menyatakan bahwa organisasi internasional adalah

    subjek hukum internasional yang dengan sendirinya terikat oleh kewajiban-

    kewajiban yang terletak padanya dibawah aturan-aturan umum dalam hukum

    internasional, instrumen pokoknya maupun persetujuan-persetujuan

    internasional dimana organisasi internasional itu sebagai pihak.67

    “Definisi dari hukum organisasi internasional menurut Sumaryo adalah norma-norma hukum internasional yang terhimpun di dalam suatu instrumen pokok yang mengatur tentang pembentukan suatu organisasi-organisasi internasional termasuk badan-badannya dengan tugas dan kewenangannya, prinsip-prinsip dan tujuannya serta keanggotaannya termasuk hak-hak dan

    67

    J.G. Starke, op. cit., hlm 85.

  • 37

    kewajibannya, cara-cara pengambilan keputusan dan aspek-aspek lainnya yang berkaitan dengan organisasi internasional tersebut”.68

    Dalam hal ini “Sumaryo membagi organisasi internasional menjadi dua bagian yaitu69:

    1. Organisasi Internasional Publik

    Dimana organisasi internasional ini hanya menyangkut organisasi tingkat pemerintahan.

    2. Organisasi Internasional Privat

    Dimana organisasi internasional ini anggotanya bukan negara, oleh karena itu sering disebut sebagai organisasi non pemerintahan”.

    B. Pembentukan Organisasi Internasional

    Dilihat dari pembentukannya organisasi internasional mempunyai

    berbagai aspek-aspek seperti aspek filosofis, aspek administratif dan aspek

    hukum. Adapun penjelasannya sebagai berikut70:

    1. Aspek Filosofis;

    Pembentukan suatu organisasi internasional akan dipengaruhi oleh falsafah bangsa-bangsa dimana organisasi itu didirikan.

    2. Aspek Administratif;

    Dalam aspek administratif perlu dilihat bagaimana organisasi internasional tersebut membentuk suatu sekretariat tetap termasuk penyusunan anggota stafnya serta masalah administrasi dan anggaran organisasi tersebut.

    68

    Sumaryo Suryokusumo, 2007, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, P.T. Tatanusa, Jakarta, hlm 6. 69

    Ibid., hlm 3. 70

    Sumaryo Suryokusumo, 1977, Kasus Hukum Organisasi Internasional, P.T. Alumni, Bandung, hlm. 89.

  • 38

    3. Aspek Hukum

    Dari aspek hukumnya, organisasi internasional dibentuk melalui suatu perjanjian dari tiga negara atau lebih sebagai pihak dan perjanjian semacam itu disebut sebagai instrumen pokok.

    C. Status Hukum Organisasi Internasional

    Suatu organisasi internasional diciptakan melalui suatu perjanjian

    internasional dengan bentuk “instrumen pokok” yang berupa covenant,

    charter, statute, constitution, accord, declaration atau instrumen hukum

    lainnya, akan memiliki suatu personalitas hukum di dalam hukum

    internasional. Personalitas hukum ini mutlak penting guna memungkinkan

    organisasi internasional tersebut dapat berfungsi dalam hubungan

    internasional, khususnya kemampuan untuk melaksanakan fungsi hukum

    seperti membuat kontrak, membuat perjanjian dengan negara lain. Hal ini

    juga dikemukakan oleh Maryan Green bahwa “pemberian suatu personalitas

    hukum kepada suatu organisasi internasional itu pada hakekatnya

    merupakan “sine qua non”71 mencapai tujuan organisasi internasional yang

    telah dibentuk tersebut.”72

    Secara yuridis, organisasi internasional memiliki personalitas hukum.

    Personalitas hukum ini berkaitan dengan personalitas hukum dalam konteks

    hukum nasional dan personalitas dalam konteks hukum internasional.

    71

    Sine qua non adalah syarat mutlak, menyatakan bahwa suatu syarat mutlak harus dicantumkan atau dinyatakan untuk menguatkan atau menetapkan suatu perjanjian itu berlaku. 72

    Maryan Green, 1973, International Law, Law of Peace, Mc. Donald & Evans Ltd, London, hlm 56.

  • 39

    1. Personalitas hukum dalam konteks hukum nasional

    Personalitas hukum organisasi internasional dalam konteks

    hukum nasional pada hakikatnya menyangkut keistimewaan dan

    kekebalan bagi organisasi internasional itu sendiri yang berada di

    wilayah suatu negara anggota, bagi wakil-wakil dari negara

    anggotanya dan bagi pejabat-pejabat sipil internasional yang bekerja

    pada organisasi internasional tersebut. Hampir semua instrumen

    pokok mencantumkan ketentuan bahwa organisasi internasional yang

    dibentuk itu mempunyai kapasitas hukum dalam rangka menjalankan

    fungsinya atau memiliki personalitas hukum.73

    2. Personalitas hukum dalam konteks hukum internasional

    Personalitas hukum dari suatu organisasi internasional dalam

    konteks hukum internasional pada hakikatnya menyangkut

    kelengkapan organisasi internasional tersebut dalam memiliki suatu

    kapasitas untuk melakukan prestasi hukum, baik dalam kaitannya

    dengan negara lain maupun negara-negara anggotanya, termasuk

    kesatuan lainnya. Kapasitas itu telah diakui dalam hukum

    internasional. Pengakuan tersebut tidak saja melihat bahwa organisasi

    internasional itu sendiri sebagai subjek hukum internasional, tetapi

    juga karena organisasi itu harus menjalankan fungsinya secara efektif

    73

    Sumaryo Suryokusumo, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, op. cit., hlm 21.

  • 40

    sesuai dengan mandat yang telah dipercayakan oleh para

    anggotanya.74

    Dari segi hukum, organisasi internasional sebagai kesatuan yang telah

    memiliki kedudukan personalitas tersebut, sudah tentu memiliki

    wewenangnya sendiri untuk mengadakan tindakan-tindakan sesuai dengan

    ketentuan yang telah ditetapkan dalam instrumen pokoknya maupun

    keputusan organisasi internasional tersebut yang telah disetujui para

    anggotanya.

    Keberadaan dan peran organisasi internasional telah berlangsung

    semenjak awal abad ke-19 dan terus berkembang menjadi salah satu subyek

    hukum internasional yang memiliki posisi strategis di dunia internasional.

    Organisasi internasional yang memang beranggotakan berbagai negara-

    negara ini didirikan bertujuan untuk menangani masalah internasional

    ataupun memfasilitasi kepentingan kerjasama di dunia internasional. Untuk

    menjamin kemandirian dalam pelaksanaan kegiatan dan fungsi organisasi

    internasional tersebut umumnya diperlukan pemberian kekebalan dan

    keistimewaan. Hal ini juga ditujukan agar kinerja organisasi internasional

    akan bebas dari intervensi negara manapun, oleh karena itulah umumnya

    organisasi internasional didirikan dengan diberikan kekebalan dan

    keistimewaan. Namun, sampai saat ini pengaturan kekebalan dan

    74

    Sumaryo Suryokusumo, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, op. cit., hlm 27.

  • 41

    keistimewaan dalam hukum internasional itu sendiri masih belum memiliki

    kepastian terutama karena ketiadaan instrumen internasional umum (general

    convention) yang memberikan kepastian hukum mengenai hal ini. Selain itu,

    masalah lain yang sering timbul adalah ketidak jelasan prosedur pemberian

    kekebalan dan keistimewaan tersebut. Dari kedua masalah pokok ini, sering

    timbul berbagai sengketa internasional. Sampai saat ini praktek berbagai

    organisasi internasional, diantaranya adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa

    (PBB), Uni Eropa, dan badan khusus PBB (UN Specialized Agencies) seperti

    International Labour Organization (ILO), World Health Organization (WHO)

    dan lain sebagainya, memiliki kekebalan dan keistimewaan yang terbatas

    sesuai dengan fungsinya berdasarkan suatu perjanjian internasional yang

    disusun tersendiri diantara para pihak yang berkepentingan.75

    D. Keanggotaan Organisasi Internasional

    Masalah keanggotaan dalam organisasi internasional merupakan hal

    yang sangat penting dan bahkan dianggap sebagai masalah konstitusional

    yang mendasar. Oleh karena itu tidak semua negara dapat begitu saja masuk

    sebagai anggota organisasi internasional, kecuali jika sudah memenuhi

    persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan oleh instrumen pokok

    organisasi internasional tersebut.

    75

    Mochtar Kusumaatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internasional, P.T. Alumni, Bandung, hlm 96.

  • 42

    Pada umumnya keanggotaan organisasi internasional mempunyai

    beberapa prinsip-prinsip yaitu76:

    1. Prinsip Universalitas;

    Prinsip ini lebih banyak mencurahkan perhatiaanya pada masalah-masalah global, baik mengenai program yang luas dan kompleks seperti di dalam Liga Bangsa-Bangsa atau dalam PBB sendiri maupun dalam lingkungan yang terbatas seperti halnya yang terjadi dalam Badan-Badan Khusus PBB.

    2. Prinsip Selektivitas;

    Prinsip ini cenderung mengikuti beberapa faktor yaitu faktor geogarfis, faktor kualitatif, faktor kebudayaan, dan penerapan hak asasi manusia.

    3. Prinsip Kedekatan Wilayah

    Prinsip ini cenderung membentuk organisasi regional atau sub-regional yang anggotanya akan dibatasi pada negara-negara yang berada di wilayah mereka sendiri.

    E. Pengambilan Keputusan dalam Organisasi Internasional

    Organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional

    mempunyai kemampuan hukum bukan saja untuk membuat perjanjian atau

    persetujuan dengan subjek hukum internasional lainnya, tetapi juga

    mempunyai kemampuan hukum untuk mengajukan tuntutan internasional. Di

    samping itu organisasi internasional juga mempunyai kemampuan untuk

    membuat keputusan-keputusan baik kedalam maupun keluar dalam rangka

    76

    Sri Setianingsih, 2004, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, UI – Press, Jakarta, hlm 46.

  • 43

    menunaikan tugasnya dan mencapai tujuan-tujuannya. Kapasitas hukum

    semacam itu pada umumnya dicantumkan dalam ketentuan-ketentuan

    instrumen pokok organisasi tersebut.77

    Keputusan yang diambil oleh organisasi internasional, pada umumnya

    dalam membentuk resolusi-resolusi atau keputusan-keputusan, baik berupa

    permintaan untuk pelaksanaannya, himbauan, rekomendasi, maupun

    penetapan suatu deklarasi atau instrumen-instrumen hukum lainnya seperti

    konvensi, perjanjian, persetujuan yang akan disepakati kemudian oleh para

    kepala-kepala negara anggota organisasi internasional tersebut.78

    Adapun cara-cara pengambilan keputusan dalam organisasi

    internasional, adalah sebagai berikut79:

    1. Unanimity;

    Unanimity merupakan kebulatan suara yang dinyatakan dalam

    pemungutan suara untuk menyetujui suatu keputusan yang diambil

    terhadap suatu masalah.

    2. Konsensus;

    Dalam hal pengambilan keputusan yang dilakukan secara

    konsensus, negara-negara yang tidak menyetujuinya yang

    77

    Sri Setianingsih, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, op. cit., hlm 191. 78

    Sumaryo Suryokusumo, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, op. cit., hlm 84. 79

    Bowett, D.W., 1963, The Law of International Organization, Praeger, New York, hlm 326.

  • 44

    jumlahnya sangat sedikit bagaimanapun juga tidak dapat

    menghalangi diambilnya sesuatu keputusan. Namun tidak

    mengurangi adanya kemungkinan bagi minoritas negara yang

    menolak tersebut untuk menyatakan sikapnya yang tidak

    menyetujuinya tersebut dengan suatu ”reservasi” (keberatan) dan

    sikap ini biasanya dimasukkan dalam laporan resmi (official record).

    Pengambilan keputusan dengan konsensus sifatnya lebih

    didasarkan atas konsep politik.

    3. Mayoritas Sederhana dan Dua-Pertiga Suara;

    Pada umumnya keputusan mayoritas sederhana dan dua pertiga

    diambil dengan asas mayoritas seperti yang digunakan dalam

    badan-badan utama seperti majelis umum PBB dan Dewan

    Ekonomi dan Sosial (ECOSOC), Mahkamah Internasional dan

    Dewan Perwalian termasuk badan-badan yang berada di bawah

    naungannya dan badan-badan subsidernya.

    4. Suara Afirmatif;

    Dalam pengambilan keputusan melalui suara afirmatif harus

    digunakan apabila ada pihak yang bertikai satu sama lain sehingga

    pihak tersebut tidak memiliki suara dalam pengambilan keputusan.

  • 45

    5. Bobot Suara (Weighted Voting)

    Pengambilan keputusan melalui pemungutan suara yang

    didasarkan atas bobot suara (weighted voting) dimana negara-

    negara anggota tertentu dari sesuatu organisasi internasional

    diberikan suara atau kekuatan suara lebih dari pada anggota yang

    lain.

    4. ASEAN (Association of South East Asian Nations)

    A. Latar Belakang dan Sejarah

    Kawasan Asia Tenggara secara geopolitik dan geoekonomi

    mempunyai nilai strategis. Kondisi tersebut menyebabkan kawasan ini

    menjadi ajang persaingan pengaruh kekuatan pada era perang dingin antara

    blok barat dan blok timur. Salah satu bukti persaingan antar negara adidaya

    dan kekuatan besar pada waktu itu adalah perang Vietnam antara Vietnam

    utara yang didukung kekuatan komunis dan Vietnam selatan yang didukung

    kekuatan barat. Persaingan dua blok tersebut menyeret negara-negara di

    Asia Tenggara menjadi basis kekuatan militer blok komunis dan blok barat.

    Blok komunis yang di bawah komando Uni Soviet menempatkan pangkalan

  • 46

    militernya di Vietnam, sedangkan blok barat yang di bawah komando

    Amerika Serikat menempatkan pangkalan militernya di Filipina.80

    Situasi persaingan pengaruh ideologi dan kekuatan militer yang dapat

    menyeret negara-negara di kawasan Asia Tenggara ke dalam konflik

    bersenjata yang menghancurkan itu membuat para pemimpin negara-negara

    di kawasan Asia Tenggara menyadari akan perlunya suatu kerja sama yang

    berfungsi untuk meredakan sikap saling curiga di antara negara-negara

    kawasan Asia Tenggara serta mendorong usaha pembangunan bersama di

    kawasan.81

    Untuk mewujudkan gagasan para pemimpin tersebut beberapa inisiatif

    yang telah dilakukan, antara lain adalah pembentukan Perhimpunan Bangsa-

    Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asia/ASA), Malaya-Filipina-

    Indonesia (MAPHILINDO), Traktat Organisasi Asia Tenggara (Southeast

    Asia Treaty Organization/SEATO), dan Dewan Asia-Pasifk (Asia and Pacific

    Council/ASPAC).82

    Meskipun mengalami kegagalan, upaya dan inisiatif tersebut telah

    mendorong para pemimpin di kawasan untuk membentuk suatu organisasi

    kerja sama di kawasan yang lebih baik. Untuk itu Menteri luar negeri

    80

    Yusuf Edi, Adek Triana Yudhaswari, 2010, ASEAN Selayang Pandang 2010, Setditjen ASEAN,

    Jakarta, hlm 1. 81

    Ibid., hlm 2. 82

    Ibid., hlm 3.

  • 47

    Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand melakukan berbagai

    pertemuan konsultatif secara intens sehingga disepakati suatu rancangan

    Deklarasi Bersama (Joint Declaration) yang isinya mencakup, antara lain,

    kesadaran perlunya meningkatkan saling pengertian untuk hidup bertetangga

    secara baik dan membina kerja sama yang bermanfaat di antara negara-

    negara di kawasan yang terikat oleh pertalian sejarah dan budaya.83

    Untuk menindaklanjuti deklarasi tersebut, pada tanggal 8 Agustus

    1967, bertempat di Bangkok, Thailand, lima wakil negara-negara Asia

    Tenggara, yaitu Menteri luar negeri Indonesia (Adam Malik), Wakil perdana

    Menteri Malaysia (Tun Abdul Razak), Menteri luar negeri Filipina (Narciso

    Ramos), Menteri luar negeri Singapura (S.Rajaratnam), dan Menteri luar

    negeri Thailand (Thamat Khoman) melakukan pertemuan dan

    menandatangani Deklarasi ASEAN (The ASEAN Declaration) atau Deklarasi

    Bangkok (Bangkok Declaration).84

    Deklarasi Bangkok tersebut menandai berdirinya suatu organisasi

    kawasan yang diberi nama Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara

    (Association of Southeast Asia Nations/ASEAN). Organisasi ini pada awalnya

    bertujuan mempercepat pertumbuhan ekonomi, mendorong perdamaian dan

    83

    Yusuf Edi, Adek Triana Yudhaswari, ASEAN Selayang Pandang 2010, op. cit., hlm 4. 84

    http://www.ASEAN.org/, diakses pada tanggal 14 Agustus 2011, pukul 17.30 wita.

    http://www.asean.org/AC-Indonesia.pdf

  • 48

    stabilitas wilayah, dan membentuk kerja sama di berbagai bidang

    kepentingan bersama.

    Lambat laun organsasi ini mengalami kemajuan yang cukup signifikan

    di bidang politik dan ekonomi, seperti disepakatinya Deklarasi Kawasan

    Damai, Bebas, dan Netral (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality

    Declaration/ZOPFAN) yang ditandatangani tahun 1971. Kemudian pada

    tahun 1976 lima negara anggota ASEAN itu juga menyepakati Traktat

    Persahabatan dan Kerja sama (Treaty of Aminity Cooperation/TAC) yang

    menjadi landasan bagi negara-negara ASEAN untuk hidup berdampingan

    secara damai. Hal ini mendorong negara-negara di Asia Tenggara lainnya

    bergabung menjadi anggota ASEAN.85

    Proses penambahan keanggotaan ASEAN sehigga anggotanya 10

    negara adalah sebagai berikut:86

    1. Brunei Darussalam resmi menjadi anggota ke-6 ASEAN pada

    tanggal 7 Januari 1984 dalam Sidang Khusus Menteri-Menteri Luar

    Negeri ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting/AMM) di Jakarta,

    Indonesia;

    85

    http://www.ASEAN.org/, diakses pada tanggal 14 Agustus 2011, pukul 18.15 wita. 86

    Yusuf Edi, Adek Triana Yudhaswari, ASEAN Selayang Pandang 2010, op. cit., hlm 3.

    http://www.asean.org/AC-Indonesia.pdf

  • 49

    2. Vietnam resmi menjadi anggota ke-7 ASEAN pada tanggal 29-30

    Juli 1995 dalam pertemuan para Menteri luar negeri ASEAN ke-28

    di Bandar seri bengawan, Brunei Darussalam;

    3. Laos dan Myanmar resmi menjadi anggota ke-8 dan ke-9 ASEAN

    pada tanggal 23-28 Juli 1997 pada pertemuan para Menteri luar

    negeri ASEAN ke-30 di Subang jaya, Malaysia;

    4. Kamboja resmi menjadi anggota ke-10 ASEAN dalam upacara

    khusus penerimaan pada tanggal 30 April 1999 di Hanoi, Vietnam;

    Dengan diterimanya Kamboja sebagai anggota ke-10 ASEAN, cita-cita

    para pendiri ASEAN yang mencakup sepuluh negara di kawasan Asia

    Tenggara (visi ASEAN-10) telah tercapai.87

    B. Tujuan dan Prinsip ASEAN

    Tujuan ASEAN yang tertuang dalam Piagam ASEAN adalah sebagai

    berikut88 :

    1. Memelihara dan meningkatkan perdamaian, keamanan, dan stabilitas,

    serta lebih memperkuat nilai-nilai yang berorientasi pada perdamaian di

    kawasan;

    87

    Yusuf Edi, Adek Triana Yudhaswari, ASEAN Selayang Pandang 2010, op. cit., hlm 6. 88

    ASEAN Charter, 2007.

  • 50

    2. Meningkatkan ketahanan kawasan dengan memajukan kerja sama

    politik keamanan, ekonomi, dan sosial budaya yang lebih luas;

    3. Mempertahankan Asia Tenggara sebagai Kawasan Bebas Senjata

    Nuklir dan bebas dari semua jenis senjata pemusnah massal;

    4. Menjamin bahwa rakyat dan negara-negara anggota ASEAN hidup

    damai dengan dunia secara keseluruhan di lingkungan yang adil,

    demokratis, dan harmonis;

    5. Menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil, makmur,

    sangat kompetitif, dan terintegrasi secara ekonomi melalui fasilitasi

    yang efektif untuk perdagangan dan investasi yang di dalamnya

    terdapat arus lalu lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas,

    terfasilitasinya pergerakan pelaku usaha, pekerja professional, pekerja

    berbakat dan buruh; dan arus modal yang lebih bebas;

    6. Mengurangi kemiskinan dan mempersempit kesenjangan

    pembangunan di ASEAN melalui bantuan dan kerja sama timbal balik;

    7. Memperkuat demokrasi, meningkatkan tata kepemerintahan yang baik

    dan aturan hukum, dan memajukan, serta melindungi hak asasi

    manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental dengan

    memperhatikan kewajiban dan hak dari negara-negara anggota

    ASEAN;

  • 51

    8. Menanggapi secara efektif, sesuai dengan prinsip keamanan

    menyeluruh, segala bentuk ancaman, kejahatan lintas negara, dan

    tantangan lintas batas;

    9. Memajukan pembangunan berkelanjutan untuk menjamin perlindungan

    lingkungan hidup di kawasan sumber daya alam yang berkelanjutan,

    pelestarian warisan budaya, kehidupan rakyat yang berkualitas tinggi;

    10. Mengembangkan sumber daya manusia dengan kerja sama yang

    lebih erat di bidang pendidikan dan