peningkatan kelarutan etil p-metoksisinamat dengan
TRANSCRIPT
` JSTFI
Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia
Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138
1
PENINGKATAN KELARUTAN ETIL p-METOKSISINAMAT
DENGAN PEMBENTUKAN KOKRISTAL MENGGUNAKAN
METODE SOLVENT EVAPORATION DAN KOFORMER UREA
Revika Rachmaniar1*, Deby Tristiyanti1, Fakhri Humaidi Triyadi1
1 Departemen Farmasetika, Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia, Jl. Soekarno-Hatta No.354
(Parakan Resik 1), Bandung, Jawa Barat, Indonesia. *Alamat korespondensi: [email protected]
Abstrak
Etil p-metoksisinamat (EPMS) merupakan isolat dengan persentase terbesar pada kencur (Kampferia galanga), tetapi sifatnya yang sukar larut air menyebabkan keterbatasan pada disolusi dan bioavailabilitas. Bioavailabilitas yang terbatas mengakibatkan aktivitas farmakologi yang rendah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kelarutan EPMS dalam air perlu ditingkatkan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kelarutan EPMS melalui pembentukan kokristal menggunakan metode solvent evaporation dan koformer urea. EPMS dan urea dengan perbandingan 1:1, 1:2, 1:3, dan 2:1 dilarutkan dalam etanol kemudian diuapkan. Kokristal EPMS-urea yang diperoleh dikarakterisasi menggunakan mikroskop digital, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), spektrofotometer Fourier Transform Infrared (FT-IR), Powder X-Ray diffraction (PXRD), dan uji kelarutan di dalam air. Hasil penelitian menunjukkan kokristal EPMS-urea terbentuk akibat terjadinya ikatan hidrogen dan mengalami penurunan ukuran partikel, penurunan kristalinitas, dan peningkatan kelarutan. Kadar EPMS dalam sistem kokristal sebesar 91 – 106%. Peningkatan kelarutan kokristal EPMS-urea 1:1, 1:2, 1:3, 2:1 dalam air secara berturut-turut sebesar 1,5; 1,6; 1,2; 1,3 kali dibandingkan dengan EPMS. Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kokristal EPMS-urea menggunakan solvent evaporation berhasil terbentuk dan mengalami peningkatan kelarutan dalam air hingga 1,6 kali-nya pada perbandingan kokristal EPMS-urea 1:2.
Kata kunci: etil p-metoksisinamat, urea, kokristal, solvent evaporation.
Abstract
Ethyl p-methoxycinnamate (EPMC) is the isolate with the largest percentage of kencur (Kampferia
galanga), but it's poorly water-soluble causes limitations on dissolution and bioavailability. Limited
bioavailability results in low pharmacological activity. To overcome these problems, the solubility of
EPMC in water needs to be increased. This study aims to increase the solubility of EPMC through the
formation of cocrystals using solvent evaporation and coformer urea methods. EPMC and urea in a
ratio of 1:1, 1:2, 1:3, and 2:1 were dissolved in ethanol and then evaporated. The obtained EPMC-urea
cocrystals were characterized using a digital microscope, High Performance Liquid Chromatography
(HPLC), Fourier Transform Infrared (FT-IR) spectrophotometer, Powder X-Ray diffraction (PXRD),
and water solubility assay. The results showed that EPMC-urea cocrystals were formed due to hydrogen
bonding. The EPMC-urea cocrystal showed decreased particle size, decreased crystallinity, and
increased solubility. The concentration of EPMC in the cocrystal system was 91 – 106%. Water
solubility enhancement of EPMC-urea cocrystals 1:1, 1:2, 1:3, 2:1 was1.5; 1.6; 1.2; 1.3 folds compared
to EPMC respectively. It can be concluded that the EPMC-urea cocrystal using solvent evaporation
was successfully formed and increased its solubility in water up to 1.6 folds at the ratio of 1:2 EPMC-
urea cocrystal.
Keywords: ethyl p-metoxycinnamate, urea, cocrystals, solvent evaporation
` JSTFI
Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia
Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138
2
PENDAHULUAN
Kencur (Kaemferia galanga L.) adalah
tumbuhan obat yang sering dimanfaatkan oleh
masyarakat Indonesia. Kandungan metabolit
dalam ekstrak kencur diantaranya ialah asam
propionat (4,7%), pentadekan (2,08%), asam
tridekanoat (1,81%), 1,21 docosadiene
(1,47%), beta- sitosterol (9,88%), dan
komponen terbesar adalah etil p-
metoksisinamat (EPMS) (80,05%) (Umar, et
al., 2012). EPMS dapat diisolasi dengan mudah
menggunakan tahap ekstraksi, evaporasi,
pendinginan, pencucian, dan rekristalisasi
sehingga metabolit sekunder ini dapat mudah
diperoleh (Riasari dan Rachmaniar, 2018).
EPMS termasuk ke dalam senyawa ester yang
mengandung cincin benzen dan gugus metoksi
yang bersifat non polar, dan juga gugus
karbonil yang mengikat etil yang bersifat sedikit
polar sehingga cenderung tidak larut dalam air
(Barus, 2009). EPMS memiliki kelarutan dalam
air sebesar 0,0301 mg/mL atau praktis tidak
larut (Rachmaniar, et al., 2020a). Kelarutan
obat memainkan peranan penting dalam
penentuan khasiat dan aktivitas obat (Bavishi
and Borkhataria, 2016; Riasari, et al., 2016).
EPMS berkhasiat sebagai antiinflamasi
dengan cara menghambat aktivitas enzim
COX-1 dan COX-2 (Umar, et al., 2012), di
mana enzim ini berguna dalam pembentukan
prostaglandin yang merupakan mediator
inflamasi (Gosal, et al., 2012). Selama
berlangsungnya peristiwa inflamasi, banyak
mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal
sehingga menimbulkan gejala seperti kalor,
rubor, tumor, dolor, dan functiolaesa
(Gunawan, et al., 2012). Gejala-gejala
inflamasi tersebut membuat keadaan pasien
tidak nyaman sehingga mengharuskan
penanganan inflamasi cepat dilakukan. Oleh
sebab itu, EPMS harus ditingkatkan
kelarutannya untuk mencapai kosentrasi
terapeutik dan mempercepat timbulnya efek anti
inflamasi. Efek anti inflamasi ini tergantung
pada bioavailabilitas yang ditentukan oleh
kelarutan dan kecepatan disolusi (Jung, et al.,
2010). Kelarutan penting dalam meramalkan
derajat absorpsi obat dalam saluran cerna. Obat
dengan kelarutan kecil dalam air seringkali
menunjukkan bioavailabilitas yang rendah
(Zaini, et al., 2011).
Sebelumnya EPMS berhasil ditingkatkan
kelarutannya menggunakan teknik
kokristalisasi menggunakan metode liquid
assisted grinding dengan koformer asam sitrat
(Rachmaniar, et al., 2020a) dan asam tartrat
(Rachmaniar, et al., 2020b). Akan tetapi,
peningkatan kelarutan kokristal EPMS-asam
sitrat dan kokristal EPMS-asam tartrat dalam
air tidak signifikan. Sementara itu, metode
kokristalisasi ini adalah metode yang sangat
berpotensi menghasilkan zat aktif baru yang
tidak ruah dengan eksipien sehingga dapat
mudah diformulasi menjadi bentuk sediaan
farmasi. Kokristal terdiri dari dua senyawa
yakni zat aktif farmasi dan koformer
(pembentuk kokristal) yang pada umumnya
berada pada posisi netral (Qiao, et al., 2011).
Koformer merupakan eksipien dengan bobot
molekul kecil yang dibutuhkan dalam jumlah
yang kecil dalam pembentukan kokristal sebab
perbandingan koformer dan obat dalam
` JSTFI
Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia
Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138
3
membentuk kokristal menggunakan
perbandingan stoikiometri. Perbandingan
stoikiometri digunakan dalam membentuk
kokristal karena kokristal membutuhkan
interaksi molekul dalam proses
pembentukannya, seperti ikatan hidrogen dan
ikatan van der Waals (Rachmaniar, et al.,
2020a; Rachmaniar, et al., 2020b). Ikatan
hidrogen ini akan membentuk formasi
supermolekular sinton yang terdiri dari dua
jenis formasi, yaitu homosinton dan
heterosinton yang dapat membentuk kokristal
dengan kuat (Qiao, et al., 2011).
Untuk memperbaiki kelarutan EPMS
menggunakan metode kokristalisasi, pada
penelitian ini digunakan koformer urea. Urea
diketahui mampu meningkatkan kelarutan obat
karena sifatnya yang larut air serta memiliki
satu akseptor hidrogen dan dua donor hidrogen
sehingga memungkinkan membentuk ikatan
hidrogen dan Van der Waals dengan EPMS.
Urea sendiri telah berhasil meningkatkan
kelarutan clarithromycin 4 kali (Rajbhar, et al.,
2016), diacerein 7,84 kali (Thenge, et al.,
2017), dan lesinurad 43 kali (Palanisamy, et al.,
2019). Secara kimia EPMS memiliki gugus
metoksi dan karbonil yang dapat berinteraksi
dengan gugus amida (NH2) dari urea. Kokristal
EPMS-urea dapat dibuat menggunakan empat
perbandingan, yaitu 1:1, 1:2, 1:3, dan 2:1.
EPMS memiliki gugus penarik elektron yaitu O
sebanyak 3 buah. Hal ini memungkinkan
terjadinya jumlah ikatan hidrogen dengan urea
sebanyak lima buah pada perbandingan 1:1,
tiga buah pada perbandingan 1:2, tiga buah
pada perbandingan 1:3, dan satu buah pada
perbandingan 2:1. Ilustrasi interaksi struktur
molekul EPMS dan urea dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Ilustrasi interaksi struktur molekul EPMS dan urea
Dalam proses preparasi kokristal EPMS-
urea, metode yang dapat digunakan adalah
metode solvent evaporation. Solvent
evaporation cukup mudah karena prinsipnya
adalah mencampurkan zat aktif dan koformer
dilarutkan dalam pelarut yang sesuai, kemudian
diuapkan secara perlahan. Jumlah pelarut pada
solvent evaporation lebih banyak daripada
pelarut yang digunakan pada liquid assisted
grinding. Hal ini memungkinkan pelarut yang
digunakan pada metode solvent evaporation
dapat meningkatkan kemungkinan interaksi
` JSTFI
Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia
Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138
4
hidrogen antara EPMS dan urea, menyusun kisi
kristal baru, dan menghasilkan kokristal EPMS
yang memiliki sifat fisikokimia lebih baik
daripada metode liquid assisted grinding.
Pada penelitian ini EPMS dibuat bentuk
kokristal menggunakan koformer urea dengan
metode solvent evaporation. Dengan
terbentuknya kokristal EPMS-urea diharapkan
kelarutan EPMS dalam air dapat meningkat
sehingga ke depannya kokristal EPMS-urea
dapat diaplikasikan menjadi suatu sediaan
farmasi.
METODOLOGI
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah timbangan analitik (Ohaus), vortex
(Type 37600), orbital shaker (IKA KS 130
basic), fourier transform infra red (Thermo
Scientific Micolet 1S5), Powder x-ray
diffraction (BRUKER D8 ADVANCE) dan
aplikasi Match!3, spektrofotometer UV-Vis
(Shimadzu UV 1800), High Performance
Liquid Chromatography (SHIMADZU LC-
20AD), mikropipet (Thermo scientific, Finn
pipette F3), sentrifuga (Hettich Zentrifugen D-
78532 Tuttlingen), disposable syringe 5cc
(OneMed), sonikator (ElmaS30H), dan alat-alat
gelas (Pyrex) yang biasa digunakan di
laboratorium.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kristal EPMS (STFI Bandung),
standar EPMS 99,9% (Tokyo Chemical
Industry), akuades (Amidis), urea teknis
(Pudak), kaca objek (Microscope slide Cat No.
7101), cover glass (Manzel Glaser), kertas
perkamen, membran filter 0,45 μm (Whatman
PESS w/pp), dan etanol 96% (Fulltime).
Preparasi Kokristal EPMS-Urea
Preparasi kokristal EPMS-Urea
menggunakan metode solvent evaporation
dengan perbandingan stoikiometri 1:1, 1:2,
1:3, dan 2:1 seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Formula Kokristal EPMS-urea
Perbandingan Bobot (mg) Volume
Etanol (ml) EPMS Urea
1:1 55 (0,27 mmol) 16 (0,27 mmol) 5
1:2 55 (0,27 mmol) 32 (0,54 mmol) 5
1:3 55 (0,27 mmol) 48 (0,81 mmol) 5
2:1 110 (0,54 mmol) 16 (0,27 mmol) 5
EPMS dan urea dilarutkan dalam etanol
96% lalu disonikasi selama 10 menit. Pelarut
diuapkan pada temperatur ruang selama 24
jam sampai terbentuk kokristal.
Karakterisasi Kokristal EPMS-Urea
Kokristal EPMS-Urea dikarakterisasi
menggunakan mikroskop digital untuk
menganalisis morfologi permukaannya. Uji
dilakukan dengan meletakkan kurang lebih 3
` JSTFI
Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia
Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138
5
mg sampel di atas gelas objek, ditetesi etanol 1-
2 tetes, dan morfologi kristal yang terbentuk
diamati.
Kokristal EPMS-urea yang telah
terbentuk selanjutnya ditetapkan kadarnya
untuk mengetahui jumlah EPMS yang terjerap
dalam sistem kokristal. Penetapan kadar
dilakukan dengan melarutkan kokristal EPMS-
urea menggunakan aqua pro injection
secukupnya. Larutan tersebut dikocok
menggunakan alat Vortex hingga homogen dan
disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm
selama 10 menit. Endapan tersebut dikeringkan
menggunakan oven kemudian dilarutkan
dengan metanol : air (70:30) dan diencerkan
hingga 10 ppm dan dianalisis menggunakan
HPLC. Fase gerak yang digunakan methanol :
air (70:30) dan fase diam C18.
EPMS dan kokristal EPMS-urea
dikarakterisasi menggunakan spektrofotometer
FTIR-ART (attenuated total reflectance) untuk
menganalisis gugus fungsinya. EPMS dan
kokristal EPMS-urea masing-masing
diletakkan pada holder yang digunakan adalah
ZnSe ATR.
EPMS dan kokristal EPMS-urea
dikarakterisasi menggunakan Powder X-Ray
Diffrection (PXRD) untuk menganalisis
perubahan kristalinitasnya. Sebanyak 200 mg
sampel EPMS diletakkan pada wadah sampel
dan diratakan dengan spatula. Pola difraksi
serbuk direkam dengan difraktometer sinar-X
menggunakan logam Cu, filter Kα sebagai
sumber. Difraktogram dicatat pada kondisi
tegangan 45 kV, arus 25 mA, dan kecepatan
scanning 0,05 oC per detik. Persentase
kristalinitas dihitung dengan menggunakan
aplikasi match!3 dengan memasukkan data
hasil XRD dalam bentuk XRDML.file ke dalam
aplikasi tersebut. Aplikasi match!3 akan
menetapkan degree of crystallinity (DOC) dari
data hasil XRD.
Kokristal EPMS-urea diuji untuk
menganalisis peningkatan kelarutan yang
terjadi. EPMS dan kokristal EPMS-urea
ditimbang setara 50 mg EPMS, dilarutkan ke
dalam 50 ml akuades. Larutan diagitasi
menggunakan shaker dengan kecepatan 400 rpm
selama 24 jam pada temperatur 25 oC. Larutan
disaring menggunakan membran filter 0,45 μm,
kemudian konsentrasi EPMS dalam filtrat
dianalisis mengunakan spektrofotometer UV-
Vis pada panjang gelombang maksimum
EPMS, yaitu 310 nm. Kurva kalibrasi
spektrofotometer UV-Vis standar EPMS dibuat
dengan menganalisis konsentrasi standar
EPMS 2, 3, 4, 5, dan 6 ppm.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kokristal EPMS-urea yang telah
terbentuk diamati di bawah mikroskop.
Morfologi EPMS, urea, dan kokristal EPMS-
urea dapat dilihat pada Gambar 2.
` JSTFI
Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia
Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138
6
Gambar 2. Morfologi (a). EPMS, (b). Urea, (c). kokristal EPMS-Urea 1:1, (d). kokristal EPMS-
Urea 1:2, (e). kokristal EPMS-Urea 1:3, (f). kokristal EPMS-Urea 2:1 (Perbesaran 40x)
Kokristal EPMS-urea yang dihasilkan
dari metode solvent evaporation memiliki
bentuk kristal prismatik. Selain itu, ukuran
kokristal EPMS-urea cenderung lebih kecil
dibandingkan dengan ukuran EPMS meskipun
perlu analisis lebih jauh lagi untuk memastikan
secara kuantitatif ukuran partikel kokristal
EPMS-urea ini. Namun demikian, ukuran
kokristal EPMS-urea yang cenderung lebih
kecil menunjukkan peningkatan luas
permukaan partikel merupakan salah satu sebab
peningkatan luas area partikel yang kontak
dengan air. Hal tersebut menyebabkan
peningkatan kelarutan kokristal EPMS-urea
dibandingkan dengan EPMS.
Kokristal EPMS-urea ditetapkan
kadarnya menggunakan HPLC untuk
memastikan bahwa EPMS terjerap dalam
sistem kokristal. Hasil analisis menunjukkan
bahwa EPMS masih terjerap dalam sistem
kokristal dengan kadar 91 – 106% di mana
kadar ini masih memenuhi rentang toleransi zat
aktif pada farmakope yaitu tidak kurang dari
90% dan tidak lebih dari 110% (Departemen
Kesehatan RI, 2014).
EPMS dan kokristal EPMS-urea
dikarakterisasi menggunakan spektrofotometer
FTIR untuk menganalisis interaksi hidrogen
yang terjadi antara EPMS dan urea sehingga
dapat memastikan bahwa kokristal terbentuk,
serta memastikan tidak terbentuk gugus fungsi
baru yang akan mempengaruhi efek
farmakologi EPMS. Gambar 3 menunjukkan
spektrum FTIR EPMS, urea, dan kokristal
EPMS-urea.
` JSTFI
Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia
Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138
7
Gambar 3. Spektrum FTIR (a) EPMS, (b) Urea, (c) Kokristal EPMS-Urea 1:1, (d) Kokristal
EPMS-Urea 1:2, (e) Kokristal EPMS-Urea 1:3, dan (f) Kokristal EPMS-Urea 2:1
Berdasarkan hasil karakterisasi
menggunakan FTIR pada Gambar 3, proses
pembentukan kokristal dengan metode solvent
evaporation tidak merusak ikatan yang terdapat
dalam EPMS. Pola spektrum kokristal EPMS-
urea secara umum memiliki kesesuaian dengan
spektrum EPMS dan urea. Puncak pada
bilangan gelombang 824 cm-1 (kokristal EPMS-
urea 1:1), 828 cm-1 (kokristal EPMS-urea
1:2), 826 cm-1 (kokristal EPMS-urea 1:3), 826
cm-1 (kokristal EPMS-urea 2:1) menunjukkan
adanya ikatan C-H para yang bersesuaian
dengan puncak EPMS (825 cm-1). Puncak pada
bilangan gelombang 2972 cm-1 (kokristal
EPMS-urea 1:1), 2971 cm-1 (kokristal EPMS-
urea 1:2), 2973 cm-1 (kokristal EPMS-urea
1:3), 2973 cm-1 (kokristal EPMS-urea 2:1)
menunjukkan adanya ikatan =C-H aromatik
yang bersesuaian dengan puncak EPMS (2971
cm-1). Puncak pada bilangan gelombang 1158
cm-1 (kokristal EPMS-urea 1:1), 1164 cm-1
(kokristal EPMS-urea 1:2), 1165 cm-1
(kokristal EPMS-urea 1:3), 1166 cm-1 (kokristal
EPMS-urea 2:1) menunjukkan adanya ikatan C-
O yang bersesuaian dengan puncak EPMS
(1167 cm-1). Puncak tampak pada bilangan
gelombang 1741 cm-1 (kokristal EPMS-urea
1:1), 1760 cm-1 (kokristal EPMS-urea 1:2),
1721 cm-1 (kokristal EPMS-urea 1:3), 1731 cm-
1 (kokristal EPMS-urea 2:1) menunjukkan
adanya ikatan C=O yang bersesuaian dengan
puncak EPMS (1699 cm-1). Pergeseran puncak
C=O pada kokristal ke arah bilangan gelombang
lebih besar dimungkinkan karena telah
terbentuknya ikatan hidrogen antara EPMS dan
urea (Rohman, 2014). Ikatan O-H merupakan
ikatan yang cukup kuat. Ikatan yang kuat akan
bervibrasi pada bilangan gelombang yang lebih
` JSTFI
Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia
Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138
8
besar. Puncak pada bilangan gelombang 3331
cm- 1 dan 1498 cm-1 (kokristal EPMS-urea 1:1),
3426 cm-1 dan 1497 cm-1 (kokristal EPMS- urea
1:2), 3428 cm-1 dan 1509 cm-1 (kokristal
EPMS-urea 1:3), 3429 cm-1 dan 1509 cm-1
(kokristal EPMS-urea 2:1) menunjukkan
adanya ikatan N-H yang bersesuaian dengan
puncak urea (3330 cm- 1 dan 1548 cm-1).
Berdasarkan analisis FTIR, ikatan hidrogen
antara EPMS dan urea terbentuk dalam sistem
kokristal EPMS-urea, dan dengan tidak
terbentuknya gugus fungsi baru dihipotesiskan
bahwa efek farmakologi EPMS tidak akan
terganggu.
Gambar 4 menunjukkan difraktogram
EPMS, urea, dan kokristal EPMS-urea.
Karakterisasi menggunakan PXRD dilakukan
untuk mengidentifikasi bentuk kristal, dengan
membandingkan letak dan intensitas garis pada
difraktogram terhadap garis pada foto sampel
yang telah diketahui (Qiao, et.al., 2011).
Difraksi sinar-X merupakan metode yang
handal untuk karakterisasi interaksi padatan
antara dua komponen padat (solid state
interaction), apakah terbentuk fase kristalin
baru atau tidak. Jika terbentuk fase kristalin
baru dari hasil interaksi antara kedua
komponennya, maka akan teramati secara nyata
gambaran difraktogram sinar-X yang berbeda
antara komponen tunggal dan komponen
campurannya (Trask et al., 2006).
Gambar 4. Pola Difraksi X-ray (a) EPMS, (b) Urea, (c) Kokristal EPMS-Urea 1:1, (d)
Kokristal EPMS-Urea 1:2, (e) Kokristal EPMS-Urea 1:3, dan (f) Kokristal EPMS-Urea 2:1
` JSTFI
Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia
Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138
9
Proses pembentukan kokristal
menyebabkan perubahan pola XRD
memperlihatkan puncak baru, perubahan
puncak, dan intensitas yang mengindikasikan
terbentuknya kisi kristal baru (Dhunmal, 2010).
Berdasarkan pola difraksi sinar-X, diketahui
EPMS, urea, dan kokristal EPMS-Urea
memiliki pola difraksi yang tajam yang
menunjukkan bentuk kristal. Hal ini dapat
dilihat dari intensitas dan lebar FWHM (Full
Width at Half Maximal) 2θ atau lebar setengah
tinggi difraksi sinar-X. FWHM tersebut dapat
memberikan informasi tentang kristalinitas
suatu kristal. FWHM difraktogram EPMS,
urea, dan kokristal EPMS-urea terlihat sempit,
berarti EPMS, urea, dan kokristal EPMS-urea
memiliki persen kristalinitas yang tinggi atau
bentuknya kristal. Kokristal EPMS-urea
menunjukkan puncak-puncak baru yang
berbeda dengan EPMS dan urea.
Pada difraktogram kokristal EPMS-urea
1:1 (Gambar 4c) terlihat adanya puncak baru
pada 2θ = 18,6° dan 23,96°. Kokristal EPMS-
urea 1:2 (Gambar 4d) menunjukkan adanya
puncak baru pada 2θ = 18,53°; 19,93°; dan
23,96°. Kokristal EPMS-urea 1:3 (Gambar 4e)
menunjukkan adanya puncak baru pada 2θ =
18,56° dan 23,94°. Kokristal EPMS-urea 2:1
(Gambar 4f) menunjukkan adanya puncak baru
pada 2θ = 18,56° dan 23,98°. Adanya puncak
baru tersebut mengidentifikasikan
terbentuknya formasi kisi kristal baru.
Difraktogram menunjukkan kristalinitas EPMS
sebesar 71,68%, kristalinitas urea sebesar
99,98%, kristalinitas kokristal EPMS-urea 1:1
sebesar 30,70%, kristalinitas kokristal EPMS-
urea 1:2 sebesar 29,49%, kristalinitas
kokristal EPMS-urea 1:3 sebesar 51,29%, dan
kristalinitas kokristal 2:1 sebesar 56,09%.
Uji kelarutan EPMS dan kokristal
EPMS-urea pada semua perbandingan dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Uji Kelarutan EPMS dan Kokristal EPMS-Urea
Sampel Kelarutan (mg/L) Peningkatan kelarutan
EPMS 80,419±0,112 -
Kokristal EPMS-urea 1:1 123,681±0,403 1,5 kali
Kokristal EPMS-urea 1:2 127,357±0,112 1,6 kali
Kokristal EPMS-urea 1:3 99,375±0,732 1,2 kali
Kokristal EPMS-urea 2:1 102,921±0,387 1,3 kali
Tabel 2 menunjukkan bahwa kokristal
EPMS-urea pada semua perbandingan
mengalami peningkatan kelarutan. Terdapat
beberapa faktor yang dapat meningkatkan
kelarutan kokristal EPMS-urea berdasarkan
karakterisasinya. Urea sebagai koformer yang
mudah larut dalam air berkontribusi dalam
peningkatan kelarutan EPMS dengan
meningkatkan keterbasahan EPMS sehingga
dapat mempermudah air kontak dengan EPMS
pada proses pelarutan. Kokristal EPMS-urea
memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan
EPMS jika dilihat di bawah mikroskop. Ukuran
kokristal EPMS-urea menyebabkan luas
permukaannya besar saat kontak dengan air
sehingga kelarutan kokristal EPMS-urea dalam
` JSTFI
Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia
Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138
10
air meningkat. Ikatan hidrogen antara EPMS
dan urea, selain berkontribusi membentuk
kokristal, ikatan hidrogen ini juga dapat
meningkatkan kelarutan (Rachmaniar, et al.,
2020a; Rachmaniar, et al., 2020b). Hal ini
disebabkan ikatan hidrogen pada kokristal
EPMS-urea mudah pecah saat kontak dengan
air. Berdasarkan data XRD, kristalinitas
kokristal EPMS-urea lebih rendah
dibandingkan EPMS. Kristalinitas kokristal
EPMS-urea yang rendah menunjukkan susunan
atomnya kurang teratur dan ikatannya lemah
sehingga saat kontak dengan air ikatan antara
atomnya akan mudah pecah tanpa
membutuhkan energi yang tinggi. Dengan
demikian, kokristal EPMS-urea akan lebih
mudah larut dalam air dibandingkan EPMS
yang kristalinitasnya lebih tinggi.
Secara berturut-turut, kelarutan kokristal
EPMS-urea 1:1, 1:2, 1:3 dan 2:1 meningkat 1,5
kali; 1,6 kali; 1,2 kali; 1,3 lebih tinggi
dibandingkan dengan kelarutan EPMS. Hal ini
berkesesuaian dengan tingkat kristalinitas
masing-masing kokristal EPMS-urea. Semakin
tinggi kristalinitas, semakin rendah kelarutan
dalam air. Terdapat perbedaan pada kokristal
EPMS-urea 1:3 dan 2:1 dimana semakin tinggi
kristalinitas, semakin besar kelarutan EPMS,
tetapi tidak berbeda secara signifikan. Kokristal
EPMS-urea 1:2 menunjukkan peningkatan
kelarutan paling tinggi sebab jumlah koformer
urea dalam sistem kokristal tersebut sudah
optimal untuk membentuk kokristal dengan
kristalinitas yang paling rendah. Kokristal
EPMS-urea 1:3 menunjukkan kelarutan yang
paling rendah sebab koformer urea yang
digunakan berlebih sehingga kemungkinan
tidak membentuk ikatan dengan EPMS.
Kokristal EPMS-urea 2:1 menunjukkan
kelarutan yang rendah dan tidak berbeda
signifikan dengan kokristal EPMS-urea 1:3
sebab jumlah EPMS lebih banyak
dibandingkan urea sehingga tidak cukup untuk
ditingkatkan keterbasahannya oleh urea.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat
disimpulkan bahwa kokristal EPMS-urea
berhasil dibentuk menggunakan metode solvent
evaporation. Kadar EPMS dalam sistem
kokristal yang terbentuk adalah sebesar 91 –
106%. Kelarutan kokristal EPMS-urea dalam
air lebih tinggi dibandingkan dengan kelarutan
EPMS. Kelarutan kokristal EPMS-urea dengan
perbandingan 1:1; 1:2; 1:3; 2:1 dalam air
secara berturut-turut meningkat 1,5; 1,6; 1,2;
1,3 kalinya dibandingkan dengan EPMS. Untuk
penelitian selanjutnya, dapat dilakukan
pembentukan kokristal EPMS menggunakan
koformer dari golongan asam amino atau gula
untuk dapat meningkatkan kelarutan EPMS
lebih tinggi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami ucapkan terima kasih atas
dukungan Yayasan Hazanah yang mendukung
dan mendanai penelitian ini dalam Hibah
Fundamental untuk Sekolah Tinggi Farmasi
Indonesia dengan No. 12/LPPM/STFI/03/2019.
DAFTAR PUSTAKA
Barus, R. 2009. “Amidasi Etil p-
Metoksisinamat yang Diisolasi dari
Kencur (Kaempferia galanga, Linn).”
` JSTFI
Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia
Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138
11
Tesis. Medan: Universitas Sumatera
Utara. Hal. 23.
Bavishi, D.D, and Borkhataria, C.H. 2016.
“Spring and parachute: How cocrystals
enhance solubility.” Progress in Crystal
Growth and Characterization of
Materials, 62(3): 1-8.
Departemen Kesehatan RI. 2014. Farmakope
Indonesia edisi V. Jakarta: Depkes RI.
Dhumal, R., Kelly, A.L., York, P., Coates, P.D.,
and Paradkar, A. 2010. “Crystallization
and Stimultaneous Aggromeration Using
Hot Melt Extrusion.” Journal Pharm
Research, 27: 2725-2733.
Gosal, F., Paringkoan, B., and Tandean,
N.W. 2012. “Patofisiologi dan
Penanganan Gastropati Obat
Antiinflamasi.” Journal of the
Indonesian Medical Association, 62 (11):
445-446.
Gunawan, S.G., Setiabudy R., Nefrialdi., and
Elysabeth. 2012. Farmakologi dan
Terapi, Ed. 5. Depok: Universitas
Indonesia. Hal. 232.
Jung, Min-Sook, Jeong-Soo, Kim, Min- Soo,
Kim, Amjad, A., Wonkyung, Cho, Sung-
Joo, Hwang, and Sitaram, P. Velaga.
2010. “Bioavailability of Indometacin-
Saccharin Cocrystal.” Journal of
Pharmacy and Pharmacology, 62: 1560-
1568.
Palanisamy, V., Sanphui, P., Prakasha, M., and
Chernyshev, V. 2019. “Multicomponent
solid forms of the uric acid reabsorption
inhibitor lesinurad and cocrystal
polymorphs with urea: DFT simulation
and solubility study.” Acta Cryst, 75: 1-
16.
Qiao, N., Li, M., Schlindwein, W., Malek, N.,
Davies, A., and Trappitt, G. 2011.
“Pharmaceutical cocrystals: An
overview.” International Journal of
Pharmaceutics, 419 (1-2): 1–11.
Rachmaniar, R., Riasari, H., Fauziah, L.,
Kenti., dan Ferdiansyah, R. 2020a. “The
effect of cocrystallization method and
citric acid as coformer on water
solubility of ethyl p-metoxycinnamate
particle.” AIP Conference Proceedings,
2219: 0800131-5.
Rachmaniar, R., Warya, S., Ferdiansyah, R.,
Riasari, H., Gumelar, A., dan Kenti.
2020b. “Pharmaceutical Cocrystal of
Ethyl p-Methoxycinnamate:
Formulation and Characterization.”
Advances in Health Sciences Research,
26:96-101.
Rajbhar, P., Gautam, S.S., Prasad, R.K., Patel,
A.K., and Sahu, A.K. 2016. “Co-Crystals
Formation of Clarithromycin with Urea:
An Efficient Approach to Enhance the
Solubility and Dissolution Rate.”
American Journal of Advanced Drug
Delivery, 4 (2): 012-0202.
Riasari, H., Rachmaniar, R., and Febriani, Y.
2016. “Effectiveness of Anti-
Inflammatory Plaster from Kencur
(Kaempferia galanga L.) Rhizome
Ethanol Extract.” International Journal
of Pharmaceutical Science and
Research, 7 (4): 1746.
Riasari, H., and Rachmaniar, R. 2018.
“Prospect of Patch Design From Crystal
Etil p- metoxycinnamate of Kencur as an
Alternative Drug Delivery System
Antiinflamation.” Journal of
Pharmaceutical Sciences and Research,
8: 90-99.
Rohman, A. 2014. Spektroskopi Inframerah
dan Kemometrika untuk Analisis
Farmasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hal. 9-30.
Thenge, R.R, Patond, V.B., Adhao, V.S.,
Ajmire, P.V., Barde, L.N., Mahajan,
N.M., and Tekade, N.P. 2017.
“Preparation and Characterization Of
Co-Crystals of Diacerein.” Indonesian J.
Pharm., 28 (1): 34-41.
Trask, A.V., Haynes, D.A., Motherwell,
W.D.S., and Jones W. 2006. “Screening
of crystalline salts via
mechanochemistry.” Chem. Commun.,
` JSTFI
Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia
Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138
12
Hal. 51-53.
Umar, M.I., Asmawi, M.A., Sadikun, A.,
Atangwho, I.J., Yam, M.F., Altaf, R., and
Ahmed, A. 2012. “Bioactivity-Guided
Isolation of Ethyl-p-methoxycinnamate,
an Anti- inflammatory Constituent, from
Kaempferia galanga L. Extracts.”
Molecules, 17 (7): 8720-8734.
Zaini, E., Auzal, H., Sundani, N.S., and Dwi, S.
2011. “Peningkatan Laju Pelarutan
Trimetoprim Melalui Metode Ko-Kristal
dengan Nikotinamida.” Jurnal Farmasi
Indonesia, 5 (4): 205.