peningkatan kelarutan etil p-metoksisinamat dengan

12
` JSTFI Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138 1 PENINGKATAN KELARUTAN ETIL p-METOKSISINAMAT DENGAN PEMBENTUKAN KOKRISTAL MENGGUNAKAN METODE SOLVENT EVAPORATION DAN KOFORMER UREA Revika Rachmaniar 1* , Deby Tristiyanti 1 , Fakhri Humaidi Triyadi 1 1 Departemen Farmasetika, Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia, Jl. Soekarno-Hatta No.354 (Parakan Resik 1), Bandung, Jawa Barat, Indonesia. *Alamat korespondensi: [email protected] Abstrak Etil p-metoksisinamat (EPMS) merupakan isolat dengan persentase terbesar pada kencur (Kampferia galanga), tetapi sifatnya yang sukar larut air menyebabkan keterbatasan pada disolusi dan bioavailabilitas. Bioavailabilitas yang terbatas mengakibatkan aktivitas farmakologi yang rendah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kelarutan EPMS dalam air perlu ditingkatkan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kelarutan EPMS melalui pembentukan kokristal menggunakan metode solvent evaporation dan koformer urea. EPMS dan urea dengan perbandingan 1:1, 1:2, 1:3, dan 2:1 dilarutkan dalam etanol kemudian diuapkan. Kokristal EPMS-urea yang diperoleh dikarakterisasi menggunakan mikroskop digital, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), spektrofotometer Fourier Transform Infrared (FT-IR), Powder X-Ray diffraction (PXRD), dan uji kelarutan di dalam air. Hasil penelitian menunjukkan kokristal EPMS-urea terbentuk akibat terjadinya ikatan hidrogen dan mengalami penurunan ukuran partikel, penurunan kristalinitas, dan peningkatan kelarutan. Kadar EPMS dalam sistem kokristal sebesar 91 – 106%. Peningkatan kelarutan kokristal EPMS-urea 1:1, 1:2, 1:3, 2:1 dalam air secara berturut-turut sebesar 1,5; 1,6; 1,2; 1,3 kali dibandingkan dengan EPMS. Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kokristal EPMS-urea menggunakan solvent evaporation berhasil terbentuk dan mengalami peningkatan kelarutan dalam air hingga 1,6 kali-nya pada perbandingan kokristal EPMS-urea 1:2. Kata kunci: etil p-metoksisinamat, urea, kokristal, solvent evaporation. Abstract Ethyl p-methoxycinnamate (EPMC) is the isolate with the largest percentage of kencur (Kampferia galanga), but it's poorly water-soluble causes limitations on dissolution and bioavailability. Limited bioavailability results in low pharmacological activity. To overcome these problems, the solubility of EPMC in water needs to be increased. This study aims to increase the solubility of EPMC through the formation of cocrystals using solvent evaporation and coformer urea methods. EPMC and urea in a ratio of 1:1, 1:2, 1:3, and 2:1 were dissolved in ethanol and then evaporated. The obtained EPMC-urea cocrystals were characterized using a digital microscope, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), Fourier Transform Infrared (FT-IR) spectrophotometer, Powder X-Ray diffraction (PXRD), and water solubility assay. The results showed that EPMC-urea cocrystals were formed due to hydrogen bonding. The EPMC-urea cocrystal showed decreased particle size, decreased crystallinity, and increased solubility. The concentration of EPMC in the cocrystal system was 91 – 106%. Water solubility enhancement of EPMC-urea cocrystals 1:1, 1:2, 1:3, 2:1 was1.5; 1.6; 1.2; 1.3 folds compared to EPMC respectively. It can be concluded that the EPMC-urea cocrystal using solvent evaporation was successfully formed and increased its solubility in water up to 1.6 folds at the ratio of 1:2 EPMC- urea cocrystal. Keywords: ethyl p-metoxycinnamate, urea, cocrystals, solvent evaporation

Upload: others

Post on 20-Apr-2022

44 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENINGKATAN KELARUTAN ETIL p-METOKSISINAMAT DENGAN

` JSTFI

Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia

Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138

1

PENINGKATAN KELARUTAN ETIL p-METOKSISINAMAT

DENGAN PEMBENTUKAN KOKRISTAL MENGGUNAKAN

METODE SOLVENT EVAPORATION DAN KOFORMER UREA

Revika Rachmaniar1*, Deby Tristiyanti1, Fakhri Humaidi Triyadi1

1 Departemen Farmasetika, Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia, Jl. Soekarno-Hatta No.354

(Parakan Resik 1), Bandung, Jawa Barat, Indonesia. *Alamat korespondensi: [email protected]

Abstrak

Etil p-metoksisinamat (EPMS) merupakan isolat dengan persentase terbesar pada kencur (Kampferia galanga), tetapi sifatnya yang sukar larut air menyebabkan keterbatasan pada disolusi dan bioavailabilitas. Bioavailabilitas yang terbatas mengakibatkan aktivitas farmakologi yang rendah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kelarutan EPMS dalam air perlu ditingkatkan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kelarutan EPMS melalui pembentukan kokristal menggunakan metode solvent evaporation dan koformer urea. EPMS dan urea dengan perbandingan 1:1, 1:2, 1:3, dan 2:1 dilarutkan dalam etanol kemudian diuapkan. Kokristal EPMS-urea yang diperoleh dikarakterisasi menggunakan mikroskop digital, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), spektrofotometer Fourier Transform Infrared (FT-IR), Powder X-Ray diffraction (PXRD), dan uji kelarutan di dalam air. Hasil penelitian menunjukkan kokristal EPMS-urea terbentuk akibat terjadinya ikatan hidrogen dan mengalami penurunan ukuran partikel, penurunan kristalinitas, dan peningkatan kelarutan. Kadar EPMS dalam sistem kokristal sebesar 91 – 106%. Peningkatan kelarutan kokristal EPMS-urea 1:1, 1:2, 1:3, 2:1 dalam air secara berturut-turut sebesar 1,5; 1,6; 1,2; 1,3 kali dibandingkan dengan EPMS. Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kokristal EPMS-urea menggunakan solvent evaporation berhasil terbentuk dan mengalami peningkatan kelarutan dalam air hingga 1,6 kali-nya pada perbandingan kokristal EPMS-urea 1:2.

Kata kunci: etil p-metoksisinamat, urea, kokristal, solvent evaporation.

Abstract

Ethyl p-methoxycinnamate (EPMC) is the isolate with the largest percentage of kencur (Kampferia

galanga), but it's poorly water-soluble causes limitations on dissolution and bioavailability. Limited

bioavailability results in low pharmacological activity. To overcome these problems, the solubility of

EPMC in water needs to be increased. This study aims to increase the solubility of EPMC through the

formation of cocrystals using solvent evaporation and coformer urea methods. EPMC and urea in a

ratio of 1:1, 1:2, 1:3, and 2:1 were dissolved in ethanol and then evaporated. The obtained EPMC-urea

cocrystals were characterized using a digital microscope, High Performance Liquid Chromatography

(HPLC), Fourier Transform Infrared (FT-IR) spectrophotometer, Powder X-Ray diffraction (PXRD),

and water solubility assay. The results showed that EPMC-urea cocrystals were formed due to hydrogen

bonding. The EPMC-urea cocrystal showed decreased particle size, decreased crystallinity, and

increased solubility. The concentration of EPMC in the cocrystal system was 91 – 106%. Water

solubility enhancement of EPMC-urea cocrystals 1:1, 1:2, 1:3, 2:1 was1.5; 1.6; 1.2; 1.3 folds compared

to EPMC respectively. It can be concluded that the EPMC-urea cocrystal using solvent evaporation

was successfully formed and increased its solubility in water up to 1.6 folds at the ratio of 1:2 EPMC-

urea cocrystal.

Keywords: ethyl p-metoxycinnamate, urea, cocrystals, solvent evaporation

Page 2: PENINGKATAN KELARUTAN ETIL p-METOKSISINAMAT DENGAN

` JSTFI

Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia

Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138

2

PENDAHULUAN

Kencur (Kaemferia galanga L.) adalah

tumbuhan obat yang sering dimanfaatkan oleh

masyarakat Indonesia. Kandungan metabolit

dalam ekstrak kencur diantaranya ialah asam

propionat (4,7%), pentadekan (2,08%), asam

tridekanoat (1,81%), 1,21 docosadiene

(1,47%), beta- sitosterol (9,88%), dan

komponen terbesar adalah etil p-

metoksisinamat (EPMS) (80,05%) (Umar, et

al., 2012). EPMS dapat diisolasi dengan mudah

menggunakan tahap ekstraksi, evaporasi,

pendinginan, pencucian, dan rekristalisasi

sehingga metabolit sekunder ini dapat mudah

diperoleh (Riasari dan Rachmaniar, 2018).

EPMS termasuk ke dalam senyawa ester yang

mengandung cincin benzen dan gugus metoksi

yang bersifat non polar, dan juga gugus

karbonil yang mengikat etil yang bersifat sedikit

polar sehingga cenderung tidak larut dalam air

(Barus, 2009). EPMS memiliki kelarutan dalam

air sebesar 0,0301 mg/mL atau praktis tidak

larut (Rachmaniar, et al., 2020a). Kelarutan

obat memainkan peranan penting dalam

penentuan khasiat dan aktivitas obat (Bavishi

and Borkhataria, 2016; Riasari, et al., 2016).

EPMS berkhasiat sebagai antiinflamasi

dengan cara menghambat aktivitas enzim

COX-1 dan COX-2 (Umar, et al., 2012), di

mana enzim ini berguna dalam pembentukan

prostaglandin yang merupakan mediator

inflamasi (Gosal, et al., 2012). Selama

berlangsungnya peristiwa inflamasi, banyak

mediator kimiawi yang dilepaskan secara lokal

sehingga menimbulkan gejala seperti kalor,

rubor, tumor, dolor, dan functiolaesa

(Gunawan, et al., 2012). Gejala-gejala

inflamasi tersebut membuat keadaan pasien

tidak nyaman sehingga mengharuskan

penanganan inflamasi cepat dilakukan. Oleh

sebab itu, EPMS harus ditingkatkan

kelarutannya untuk mencapai kosentrasi

terapeutik dan mempercepat timbulnya efek anti

inflamasi. Efek anti inflamasi ini tergantung

pada bioavailabilitas yang ditentukan oleh

kelarutan dan kecepatan disolusi (Jung, et al.,

2010). Kelarutan penting dalam meramalkan

derajat absorpsi obat dalam saluran cerna. Obat

dengan kelarutan kecil dalam air seringkali

menunjukkan bioavailabilitas yang rendah

(Zaini, et al., 2011).

Sebelumnya EPMS berhasil ditingkatkan

kelarutannya menggunakan teknik

kokristalisasi menggunakan metode liquid

assisted grinding dengan koformer asam sitrat

(Rachmaniar, et al., 2020a) dan asam tartrat

(Rachmaniar, et al., 2020b). Akan tetapi,

peningkatan kelarutan kokristal EPMS-asam

sitrat dan kokristal EPMS-asam tartrat dalam

air tidak signifikan. Sementara itu, metode

kokristalisasi ini adalah metode yang sangat

berpotensi menghasilkan zat aktif baru yang

tidak ruah dengan eksipien sehingga dapat

mudah diformulasi menjadi bentuk sediaan

farmasi. Kokristal terdiri dari dua senyawa

yakni zat aktif farmasi dan koformer

(pembentuk kokristal) yang pada umumnya

berada pada posisi netral (Qiao, et al., 2011).

Koformer merupakan eksipien dengan bobot

molekul kecil yang dibutuhkan dalam jumlah

yang kecil dalam pembentukan kokristal sebab

perbandingan koformer dan obat dalam

Page 3: PENINGKATAN KELARUTAN ETIL p-METOKSISINAMAT DENGAN

` JSTFI

Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia

Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138

3

membentuk kokristal menggunakan

perbandingan stoikiometri. Perbandingan

stoikiometri digunakan dalam membentuk

kokristal karena kokristal membutuhkan

interaksi molekul dalam proses

pembentukannya, seperti ikatan hidrogen dan

ikatan van der Waals (Rachmaniar, et al.,

2020a; Rachmaniar, et al., 2020b). Ikatan

hidrogen ini akan membentuk formasi

supermolekular sinton yang terdiri dari dua

jenis formasi, yaitu homosinton dan

heterosinton yang dapat membentuk kokristal

dengan kuat (Qiao, et al., 2011).

Untuk memperbaiki kelarutan EPMS

menggunakan metode kokristalisasi, pada

penelitian ini digunakan koformer urea. Urea

diketahui mampu meningkatkan kelarutan obat

karena sifatnya yang larut air serta memiliki

satu akseptor hidrogen dan dua donor hidrogen

sehingga memungkinkan membentuk ikatan

hidrogen dan Van der Waals dengan EPMS.

Urea sendiri telah berhasil meningkatkan

kelarutan clarithromycin 4 kali (Rajbhar, et al.,

2016), diacerein 7,84 kali (Thenge, et al.,

2017), dan lesinurad 43 kali (Palanisamy, et al.,

2019). Secara kimia EPMS memiliki gugus

metoksi dan karbonil yang dapat berinteraksi

dengan gugus amida (NH2) dari urea. Kokristal

EPMS-urea dapat dibuat menggunakan empat

perbandingan, yaitu 1:1, 1:2, 1:3, dan 2:1.

EPMS memiliki gugus penarik elektron yaitu O

sebanyak 3 buah. Hal ini memungkinkan

terjadinya jumlah ikatan hidrogen dengan urea

sebanyak lima buah pada perbandingan 1:1,

tiga buah pada perbandingan 1:2, tiga buah

pada perbandingan 1:3, dan satu buah pada

perbandingan 2:1. Ilustrasi interaksi struktur

molekul EPMS dan urea dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1. Ilustrasi interaksi struktur molekul EPMS dan urea

Dalam proses preparasi kokristal EPMS-

urea, metode yang dapat digunakan adalah

metode solvent evaporation. Solvent

evaporation cukup mudah karena prinsipnya

adalah mencampurkan zat aktif dan koformer

dilarutkan dalam pelarut yang sesuai, kemudian

diuapkan secara perlahan. Jumlah pelarut pada

solvent evaporation lebih banyak daripada

pelarut yang digunakan pada liquid assisted

grinding. Hal ini memungkinkan pelarut yang

digunakan pada metode solvent evaporation

dapat meningkatkan kemungkinan interaksi

Page 4: PENINGKATAN KELARUTAN ETIL p-METOKSISINAMAT DENGAN

` JSTFI

Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia

Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138

4

hidrogen antara EPMS dan urea, menyusun kisi

kristal baru, dan menghasilkan kokristal EPMS

yang memiliki sifat fisikokimia lebih baik

daripada metode liquid assisted grinding.

Pada penelitian ini EPMS dibuat bentuk

kokristal menggunakan koformer urea dengan

metode solvent evaporation. Dengan

terbentuknya kokristal EPMS-urea diharapkan

kelarutan EPMS dalam air dapat meningkat

sehingga ke depannya kokristal EPMS-urea

dapat diaplikasikan menjadi suatu sediaan

farmasi.

METODOLOGI

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini

adalah timbangan analitik (Ohaus), vortex

(Type 37600), orbital shaker (IKA KS 130

basic), fourier transform infra red (Thermo

Scientific Micolet 1S5), Powder x-ray

diffraction (BRUKER D8 ADVANCE) dan

aplikasi Match!3, spektrofotometer UV-Vis

(Shimadzu UV 1800), High Performance

Liquid Chromatography (SHIMADZU LC-

20AD), mikropipet (Thermo scientific, Finn

pipette F3), sentrifuga (Hettich Zentrifugen D-

78532 Tuttlingen), disposable syringe 5cc

(OneMed), sonikator (ElmaS30H), dan alat-alat

gelas (Pyrex) yang biasa digunakan di

laboratorium.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah kristal EPMS (STFI Bandung),

standar EPMS 99,9% (Tokyo Chemical

Industry), akuades (Amidis), urea teknis

(Pudak), kaca objek (Microscope slide Cat No.

7101), cover glass (Manzel Glaser), kertas

perkamen, membran filter 0,45 μm (Whatman

PESS w/pp), dan etanol 96% (Fulltime).

Preparasi Kokristal EPMS-Urea

Preparasi kokristal EPMS-Urea

menggunakan metode solvent evaporation

dengan perbandingan stoikiometri 1:1, 1:2,

1:3, dan 2:1 seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Formula Kokristal EPMS-urea

Perbandingan Bobot (mg) Volume

Etanol (ml) EPMS Urea

1:1 55 (0,27 mmol) 16 (0,27 mmol) 5

1:2 55 (0,27 mmol) 32 (0,54 mmol) 5

1:3 55 (0,27 mmol) 48 (0,81 mmol) 5

2:1 110 (0,54 mmol) 16 (0,27 mmol) 5

EPMS dan urea dilarutkan dalam etanol

96% lalu disonikasi selama 10 menit. Pelarut

diuapkan pada temperatur ruang selama 24

jam sampai terbentuk kokristal.

Karakterisasi Kokristal EPMS-Urea

Kokristal EPMS-Urea dikarakterisasi

menggunakan mikroskop digital untuk

menganalisis morfologi permukaannya. Uji

dilakukan dengan meletakkan kurang lebih 3

Page 5: PENINGKATAN KELARUTAN ETIL p-METOKSISINAMAT DENGAN

` JSTFI

Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia

Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138

5

mg sampel di atas gelas objek, ditetesi etanol 1-

2 tetes, dan morfologi kristal yang terbentuk

diamati.

Kokristal EPMS-urea yang telah

terbentuk selanjutnya ditetapkan kadarnya

untuk mengetahui jumlah EPMS yang terjerap

dalam sistem kokristal. Penetapan kadar

dilakukan dengan melarutkan kokristal EPMS-

urea menggunakan aqua pro injection

secukupnya. Larutan tersebut dikocok

menggunakan alat Vortex hingga homogen dan

disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm

selama 10 menit. Endapan tersebut dikeringkan

menggunakan oven kemudian dilarutkan

dengan metanol : air (70:30) dan diencerkan

hingga 10 ppm dan dianalisis menggunakan

HPLC. Fase gerak yang digunakan methanol :

air (70:30) dan fase diam C18.

EPMS dan kokristal EPMS-urea

dikarakterisasi menggunakan spektrofotometer

FTIR-ART (attenuated total reflectance) untuk

menganalisis gugus fungsinya. EPMS dan

kokristal EPMS-urea masing-masing

diletakkan pada holder yang digunakan adalah

ZnSe ATR.

EPMS dan kokristal EPMS-urea

dikarakterisasi menggunakan Powder X-Ray

Diffrection (PXRD) untuk menganalisis

perubahan kristalinitasnya. Sebanyak 200 mg

sampel EPMS diletakkan pada wadah sampel

dan diratakan dengan spatula. Pola difraksi

serbuk direkam dengan difraktometer sinar-X

menggunakan logam Cu, filter Kα sebagai

sumber. Difraktogram dicatat pada kondisi

tegangan 45 kV, arus 25 mA, dan kecepatan

scanning 0,05 oC per detik. Persentase

kristalinitas dihitung dengan menggunakan

aplikasi match!3 dengan memasukkan data

hasil XRD dalam bentuk XRDML.file ke dalam

aplikasi tersebut. Aplikasi match!3 akan

menetapkan degree of crystallinity (DOC) dari

data hasil XRD.

Kokristal EPMS-urea diuji untuk

menganalisis peningkatan kelarutan yang

terjadi. EPMS dan kokristal EPMS-urea

ditimbang setara 50 mg EPMS, dilarutkan ke

dalam 50 ml akuades. Larutan diagitasi

menggunakan shaker dengan kecepatan 400 rpm

selama 24 jam pada temperatur 25 oC. Larutan

disaring menggunakan membran filter 0,45 μm,

kemudian konsentrasi EPMS dalam filtrat

dianalisis mengunakan spektrofotometer UV-

Vis pada panjang gelombang maksimum

EPMS, yaitu 310 nm. Kurva kalibrasi

spektrofotometer UV-Vis standar EPMS dibuat

dengan menganalisis konsentrasi standar

EPMS 2, 3, 4, 5, dan 6 ppm.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kokristal EPMS-urea yang telah

terbentuk diamati di bawah mikroskop.

Morfologi EPMS, urea, dan kokristal EPMS-

urea dapat dilihat pada Gambar 2.

Page 6: PENINGKATAN KELARUTAN ETIL p-METOKSISINAMAT DENGAN

` JSTFI

Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia

Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138

6

Gambar 2. Morfologi (a). EPMS, (b). Urea, (c). kokristal EPMS-Urea 1:1, (d). kokristal EPMS-

Urea 1:2, (e). kokristal EPMS-Urea 1:3, (f). kokristal EPMS-Urea 2:1 (Perbesaran 40x)

Kokristal EPMS-urea yang dihasilkan

dari metode solvent evaporation memiliki

bentuk kristal prismatik. Selain itu, ukuran

kokristal EPMS-urea cenderung lebih kecil

dibandingkan dengan ukuran EPMS meskipun

perlu analisis lebih jauh lagi untuk memastikan

secara kuantitatif ukuran partikel kokristal

EPMS-urea ini. Namun demikian, ukuran

kokristal EPMS-urea yang cenderung lebih

kecil menunjukkan peningkatan luas

permukaan partikel merupakan salah satu sebab

peningkatan luas area partikel yang kontak

dengan air. Hal tersebut menyebabkan

peningkatan kelarutan kokristal EPMS-urea

dibandingkan dengan EPMS.

Kokristal EPMS-urea ditetapkan

kadarnya menggunakan HPLC untuk

memastikan bahwa EPMS terjerap dalam

sistem kokristal. Hasil analisis menunjukkan

bahwa EPMS masih terjerap dalam sistem

kokristal dengan kadar 91 – 106% di mana

kadar ini masih memenuhi rentang toleransi zat

aktif pada farmakope yaitu tidak kurang dari

90% dan tidak lebih dari 110% (Departemen

Kesehatan RI, 2014).

EPMS dan kokristal EPMS-urea

dikarakterisasi menggunakan spektrofotometer

FTIR untuk menganalisis interaksi hidrogen

yang terjadi antara EPMS dan urea sehingga

dapat memastikan bahwa kokristal terbentuk,

serta memastikan tidak terbentuk gugus fungsi

baru yang akan mempengaruhi efek

farmakologi EPMS. Gambar 3 menunjukkan

spektrum FTIR EPMS, urea, dan kokristal

EPMS-urea.

Page 7: PENINGKATAN KELARUTAN ETIL p-METOKSISINAMAT DENGAN

` JSTFI

Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia

Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138

7

Gambar 3. Spektrum FTIR (a) EPMS, (b) Urea, (c) Kokristal EPMS-Urea 1:1, (d) Kokristal

EPMS-Urea 1:2, (e) Kokristal EPMS-Urea 1:3, dan (f) Kokristal EPMS-Urea 2:1

Berdasarkan hasil karakterisasi

menggunakan FTIR pada Gambar 3, proses

pembentukan kokristal dengan metode solvent

evaporation tidak merusak ikatan yang terdapat

dalam EPMS. Pola spektrum kokristal EPMS-

urea secara umum memiliki kesesuaian dengan

spektrum EPMS dan urea. Puncak pada

bilangan gelombang 824 cm-1 (kokristal EPMS-

urea 1:1), 828 cm-1 (kokristal EPMS-urea

1:2), 826 cm-1 (kokristal EPMS-urea 1:3), 826

cm-1 (kokristal EPMS-urea 2:1) menunjukkan

adanya ikatan C-H para yang bersesuaian

dengan puncak EPMS (825 cm-1). Puncak pada

bilangan gelombang 2972 cm-1 (kokristal

EPMS-urea 1:1), 2971 cm-1 (kokristal EPMS-

urea 1:2), 2973 cm-1 (kokristal EPMS-urea

1:3), 2973 cm-1 (kokristal EPMS-urea 2:1)

menunjukkan adanya ikatan =C-H aromatik

yang bersesuaian dengan puncak EPMS (2971

cm-1). Puncak pada bilangan gelombang 1158

cm-1 (kokristal EPMS-urea 1:1), 1164 cm-1

(kokristal EPMS-urea 1:2), 1165 cm-1

(kokristal EPMS-urea 1:3), 1166 cm-1 (kokristal

EPMS-urea 2:1) menunjukkan adanya ikatan C-

O yang bersesuaian dengan puncak EPMS

(1167 cm-1). Puncak tampak pada bilangan

gelombang 1741 cm-1 (kokristal EPMS-urea

1:1), 1760 cm-1 (kokristal EPMS-urea 1:2),

1721 cm-1 (kokristal EPMS-urea 1:3), 1731 cm-

1 (kokristal EPMS-urea 2:1) menunjukkan

adanya ikatan C=O yang bersesuaian dengan

puncak EPMS (1699 cm-1). Pergeseran puncak

C=O pada kokristal ke arah bilangan gelombang

lebih besar dimungkinkan karena telah

terbentuknya ikatan hidrogen antara EPMS dan

urea (Rohman, 2014). Ikatan O-H merupakan

ikatan yang cukup kuat. Ikatan yang kuat akan

bervibrasi pada bilangan gelombang yang lebih

Page 8: PENINGKATAN KELARUTAN ETIL p-METOKSISINAMAT DENGAN

` JSTFI

Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia

Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138

8

besar. Puncak pada bilangan gelombang 3331

cm- 1 dan 1498 cm-1 (kokristal EPMS-urea 1:1),

3426 cm-1 dan 1497 cm-1 (kokristal EPMS- urea

1:2), 3428 cm-1 dan 1509 cm-1 (kokristal

EPMS-urea 1:3), 3429 cm-1 dan 1509 cm-1

(kokristal EPMS-urea 2:1) menunjukkan

adanya ikatan N-H yang bersesuaian dengan

puncak urea (3330 cm- 1 dan 1548 cm-1).

Berdasarkan analisis FTIR, ikatan hidrogen

antara EPMS dan urea terbentuk dalam sistem

kokristal EPMS-urea, dan dengan tidak

terbentuknya gugus fungsi baru dihipotesiskan

bahwa efek farmakologi EPMS tidak akan

terganggu.

Gambar 4 menunjukkan difraktogram

EPMS, urea, dan kokristal EPMS-urea.

Karakterisasi menggunakan PXRD dilakukan

untuk mengidentifikasi bentuk kristal, dengan

membandingkan letak dan intensitas garis pada

difraktogram terhadap garis pada foto sampel

yang telah diketahui (Qiao, et.al., 2011).

Difraksi sinar-X merupakan metode yang

handal untuk karakterisasi interaksi padatan

antara dua komponen padat (solid state

interaction), apakah terbentuk fase kristalin

baru atau tidak. Jika terbentuk fase kristalin

baru dari hasil interaksi antara kedua

komponennya, maka akan teramati secara nyata

gambaran difraktogram sinar-X yang berbeda

antara komponen tunggal dan komponen

campurannya (Trask et al., 2006).

Gambar 4. Pola Difraksi X-ray (a) EPMS, (b) Urea, (c) Kokristal EPMS-Urea 1:1, (d)

Kokristal EPMS-Urea 1:2, (e) Kokristal EPMS-Urea 1:3, dan (f) Kokristal EPMS-Urea 2:1

Page 9: PENINGKATAN KELARUTAN ETIL p-METOKSISINAMAT DENGAN

` JSTFI

Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia

Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138

9

Proses pembentukan kokristal

menyebabkan perubahan pola XRD

memperlihatkan puncak baru, perubahan

puncak, dan intensitas yang mengindikasikan

terbentuknya kisi kristal baru (Dhunmal, 2010).

Berdasarkan pola difraksi sinar-X, diketahui

EPMS, urea, dan kokristal EPMS-Urea

memiliki pola difraksi yang tajam yang

menunjukkan bentuk kristal. Hal ini dapat

dilihat dari intensitas dan lebar FWHM (Full

Width at Half Maximal) 2θ atau lebar setengah

tinggi difraksi sinar-X. FWHM tersebut dapat

memberikan informasi tentang kristalinitas

suatu kristal. FWHM difraktogram EPMS,

urea, dan kokristal EPMS-urea terlihat sempit,

berarti EPMS, urea, dan kokristal EPMS-urea

memiliki persen kristalinitas yang tinggi atau

bentuknya kristal. Kokristal EPMS-urea

menunjukkan puncak-puncak baru yang

berbeda dengan EPMS dan urea.

Pada difraktogram kokristal EPMS-urea

1:1 (Gambar 4c) terlihat adanya puncak baru

pada 2θ = 18,6° dan 23,96°. Kokristal EPMS-

urea 1:2 (Gambar 4d) menunjukkan adanya

puncak baru pada 2θ = 18,53°; 19,93°; dan

23,96°. Kokristal EPMS-urea 1:3 (Gambar 4e)

menunjukkan adanya puncak baru pada 2θ =

18,56° dan 23,94°. Kokristal EPMS-urea 2:1

(Gambar 4f) menunjukkan adanya puncak baru

pada 2θ = 18,56° dan 23,98°. Adanya puncak

baru tersebut mengidentifikasikan

terbentuknya formasi kisi kristal baru.

Difraktogram menunjukkan kristalinitas EPMS

sebesar 71,68%, kristalinitas urea sebesar

99,98%, kristalinitas kokristal EPMS-urea 1:1

sebesar 30,70%, kristalinitas kokristal EPMS-

urea 1:2 sebesar 29,49%, kristalinitas

kokristal EPMS-urea 1:3 sebesar 51,29%, dan

kristalinitas kokristal 2:1 sebesar 56,09%.

Uji kelarutan EPMS dan kokristal

EPMS-urea pada semua perbandingan dapat

dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Uji Kelarutan EPMS dan Kokristal EPMS-Urea

Sampel Kelarutan (mg/L) Peningkatan kelarutan

EPMS 80,419±0,112 -

Kokristal EPMS-urea 1:1 123,681±0,403 1,5 kali

Kokristal EPMS-urea 1:2 127,357±0,112 1,6 kali

Kokristal EPMS-urea 1:3 99,375±0,732 1,2 kali

Kokristal EPMS-urea 2:1 102,921±0,387 1,3 kali

Tabel 2 menunjukkan bahwa kokristal

EPMS-urea pada semua perbandingan

mengalami peningkatan kelarutan. Terdapat

beberapa faktor yang dapat meningkatkan

kelarutan kokristal EPMS-urea berdasarkan

karakterisasinya. Urea sebagai koformer yang

mudah larut dalam air berkontribusi dalam

peningkatan kelarutan EPMS dengan

meningkatkan keterbasahan EPMS sehingga

dapat mempermudah air kontak dengan EPMS

pada proses pelarutan. Kokristal EPMS-urea

memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan

EPMS jika dilihat di bawah mikroskop. Ukuran

kokristal EPMS-urea menyebabkan luas

permukaannya besar saat kontak dengan air

sehingga kelarutan kokristal EPMS-urea dalam

Page 10: PENINGKATAN KELARUTAN ETIL p-METOKSISINAMAT DENGAN

` JSTFI

Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia

Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138

10

air meningkat. Ikatan hidrogen antara EPMS

dan urea, selain berkontribusi membentuk

kokristal, ikatan hidrogen ini juga dapat

meningkatkan kelarutan (Rachmaniar, et al.,

2020a; Rachmaniar, et al., 2020b). Hal ini

disebabkan ikatan hidrogen pada kokristal

EPMS-urea mudah pecah saat kontak dengan

air. Berdasarkan data XRD, kristalinitas

kokristal EPMS-urea lebih rendah

dibandingkan EPMS. Kristalinitas kokristal

EPMS-urea yang rendah menunjukkan susunan

atomnya kurang teratur dan ikatannya lemah

sehingga saat kontak dengan air ikatan antara

atomnya akan mudah pecah tanpa

membutuhkan energi yang tinggi. Dengan

demikian, kokristal EPMS-urea akan lebih

mudah larut dalam air dibandingkan EPMS

yang kristalinitasnya lebih tinggi.

Secara berturut-turut, kelarutan kokristal

EPMS-urea 1:1, 1:2, 1:3 dan 2:1 meningkat 1,5

kali; 1,6 kali; 1,2 kali; 1,3 lebih tinggi

dibandingkan dengan kelarutan EPMS. Hal ini

berkesesuaian dengan tingkat kristalinitas

masing-masing kokristal EPMS-urea. Semakin

tinggi kristalinitas, semakin rendah kelarutan

dalam air. Terdapat perbedaan pada kokristal

EPMS-urea 1:3 dan 2:1 dimana semakin tinggi

kristalinitas, semakin besar kelarutan EPMS,

tetapi tidak berbeda secara signifikan. Kokristal

EPMS-urea 1:2 menunjukkan peningkatan

kelarutan paling tinggi sebab jumlah koformer

urea dalam sistem kokristal tersebut sudah

optimal untuk membentuk kokristal dengan

kristalinitas yang paling rendah. Kokristal

EPMS-urea 1:3 menunjukkan kelarutan yang

paling rendah sebab koformer urea yang

digunakan berlebih sehingga kemungkinan

tidak membentuk ikatan dengan EPMS.

Kokristal EPMS-urea 2:1 menunjukkan

kelarutan yang rendah dan tidak berbeda

signifikan dengan kokristal EPMS-urea 1:3

sebab jumlah EPMS lebih banyak

dibandingkan urea sehingga tidak cukup untuk

ditingkatkan keterbasahannya oleh urea.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat

disimpulkan bahwa kokristal EPMS-urea

berhasil dibentuk menggunakan metode solvent

evaporation. Kadar EPMS dalam sistem

kokristal yang terbentuk adalah sebesar 91 –

106%. Kelarutan kokristal EPMS-urea dalam

air lebih tinggi dibandingkan dengan kelarutan

EPMS. Kelarutan kokristal EPMS-urea dengan

perbandingan 1:1; 1:2; 1:3; 2:1 dalam air

secara berturut-turut meningkat 1,5; 1,6; 1,2;

1,3 kalinya dibandingkan dengan EPMS. Untuk

penelitian selanjutnya, dapat dilakukan

pembentukan kokristal EPMS menggunakan

koformer dari golongan asam amino atau gula

untuk dapat meningkatkan kelarutan EPMS

lebih tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami ucapkan terima kasih atas

dukungan Yayasan Hazanah yang mendukung

dan mendanai penelitian ini dalam Hibah

Fundamental untuk Sekolah Tinggi Farmasi

Indonesia dengan No. 12/LPPM/STFI/03/2019.

DAFTAR PUSTAKA

Barus, R. 2009. “Amidasi Etil p-

Metoksisinamat yang Diisolasi dari

Kencur (Kaempferia galanga, Linn).”

Page 11: PENINGKATAN KELARUTAN ETIL p-METOKSISINAMAT DENGAN

` JSTFI

Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia

Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138

11

Tesis. Medan: Universitas Sumatera

Utara. Hal. 23.

Bavishi, D.D, and Borkhataria, C.H. 2016.

“Spring and parachute: How cocrystals

enhance solubility.” Progress in Crystal

Growth and Characterization of

Materials, 62(3): 1-8.

Departemen Kesehatan RI. 2014. Farmakope

Indonesia edisi V. Jakarta: Depkes RI.

Dhumal, R., Kelly, A.L., York, P., Coates, P.D.,

and Paradkar, A. 2010. “Crystallization

and Stimultaneous Aggromeration Using

Hot Melt Extrusion.” Journal Pharm

Research, 27: 2725-2733.

Gosal, F., Paringkoan, B., and Tandean,

N.W. 2012. “Patofisiologi dan

Penanganan Gastropati Obat

Antiinflamasi.” Journal of the

Indonesian Medical Association, 62 (11):

445-446.

Gunawan, S.G., Setiabudy R., Nefrialdi., and

Elysabeth. 2012. Farmakologi dan

Terapi, Ed. 5. Depok: Universitas

Indonesia. Hal. 232.

Jung, Min-Sook, Jeong-Soo, Kim, Min- Soo,

Kim, Amjad, A., Wonkyung, Cho, Sung-

Joo, Hwang, and Sitaram, P. Velaga.

2010. “Bioavailability of Indometacin-

Saccharin Cocrystal.” Journal of

Pharmacy and Pharmacology, 62: 1560-

1568.

Palanisamy, V., Sanphui, P., Prakasha, M., and

Chernyshev, V. 2019. “Multicomponent

solid forms of the uric acid reabsorption

inhibitor lesinurad and cocrystal

polymorphs with urea: DFT simulation

and solubility study.” Acta Cryst, 75: 1-

16.

Qiao, N., Li, M., Schlindwein, W., Malek, N.,

Davies, A., and Trappitt, G. 2011.

“Pharmaceutical cocrystals: An

overview.” International Journal of

Pharmaceutics, 419 (1-2): 1–11.

Rachmaniar, R., Riasari, H., Fauziah, L.,

Kenti., dan Ferdiansyah, R. 2020a. “The

effect of cocrystallization method and

citric acid as coformer on water

solubility of ethyl p-metoxycinnamate

particle.” AIP Conference Proceedings,

2219: 0800131-5.

Rachmaniar, R., Warya, S., Ferdiansyah, R.,

Riasari, H., Gumelar, A., dan Kenti.

2020b. “Pharmaceutical Cocrystal of

Ethyl p-Methoxycinnamate:

Formulation and Characterization.”

Advances in Health Sciences Research,

26:96-101.

Rajbhar, P., Gautam, S.S., Prasad, R.K., Patel,

A.K., and Sahu, A.K. 2016. “Co-Crystals

Formation of Clarithromycin with Urea:

An Efficient Approach to Enhance the

Solubility and Dissolution Rate.”

American Journal of Advanced Drug

Delivery, 4 (2): 012-0202.

Riasari, H., Rachmaniar, R., and Febriani, Y.

2016. “Effectiveness of Anti-

Inflammatory Plaster from Kencur

(Kaempferia galanga L.) Rhizome

Ethanol Extract.” International Journal

of Pharmaceutical Science and

Research, 7 (4): 1746.

Riasari, H., and Rachmaniar, R. 2018.

“Prospect of Patch Design From Crystal

Etil p- metoxycinnamate of Kencur as an

Alternative Drug Delivery System

Antiinflamation.” Journal of

Pharmaceutical Sciences and Research,

8: 90-99.

Rohman, A. 2014. Spektroskopi Inframerah

dan Kemometrika untuk Analisis

Farmasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hal. 9-30.

Thenge, R.R, Patond, V.B., Adhao, V.S.,

Ajmire, P.V., Barde, L.N., Mahajan,

N.M., and Tekade, N.P. 2017.

“Preparation and Characterization Of

Co-Crystals of Diacerein.” Indonesian J.

Pharm., 28 (1): 34-41.

Trask, A.V., Haynes, D.A., Motherwell,

W.D.S., and Jones W. 2006. “Screening

of crystalline salts via

mechanochemistry.” Chem. Commun.,

Page 12: PENINGKATAN KELARUTAN ETIL p-METOKSISINAMAT DENGAN

` JSTFI

Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi Indonesia

Vol.IX, No. 2, Oktober 2020 ISSN: 2303-2138

12

Hal. 51-53.

Umar, M.I., Asmawi, M.A., Sadikun, A.,

Atangwho, I.J., Yam, M.F., Altaf, R., and

Ahmed, A. 2012. “Bioactivity-Guided

Isolation of Ethyl-p-methoxycinnamate,

an Anti- inflammatory Constituent, from

Kaempferia galanga L. Extracts.”

Molecules, 17 (7): 8720-8734.

Zaini, E., Auzal, H., Sundani, N.S., and Dwi, S.

2011. “Peningkatan Laju Pelarutan

Trimetoprim Melalui Metode Ko-Kristal

dengan Nikotinamida.” Jurnal Farmasi

Indonesia, 5 (4): 205.