penatalaksanaan tuberkulosis monoresisten dan poliresistensi rev

32
PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS PARU MONORESISTEN DAN POLIRESISTEN Pendahuluan Tuberkulosis (TB) masih menjadi penyakit infeksius yang mematikan dengan jumlah penderita mencapai jutaan orang di seluruh dunia. Tujuan obyektif pengelolaan TB adalah pengobatan, menghentikan transmisi bakteri dan mencegah munculnya resistensi obat. (1) Walaupun menjadi masalah epidemi global, TB secara umum menimpa populasi di negara-negara miskin, 98% penyebab kematian karena TB. Diperkirakan 2 milyar jiwa penduduk dunia mendapat infeksi laten Mycobacterium tuberculosis (MTB). Pada tahun 2005, tercatat 8,9 juta kasus baru TB, dan 1,8 juta jiwa meninggal karena TB. (2) Tujuh puluh ribu penderita MDR-TB diprediksi di benua Eropa dan yang tertinggi tersebar di bekas wilayah Uni Soviet, termasuk Baltik, Kazakhstan, Uzbekistan dan Rusia. Tetapi WHO memperkira-kan 60% jumlah penderita MDR-TB adalah di Cina, India dan Rusia. (1,3) Sedangkan Eropa Tengah, Barat dan Afrika jumlahnya lebih rendah, kecuali di Afrika Selatan. (1) Walaupun beberapa daerah di dunia berhasil menurunkan angka DRTB, bukti statistik yang terakumulasi dalam beberapa tahun terakhir menemukan kecenderungan peningkatan. Pada tahun 2000 diprediksi kasus DRTB sebanyak 273 kasus sedangkan WHO pada tahun 2007 memperkirakan prevalensi global MDR-TB adalah 425.000 kasus pertahun, dan hanya 4,3% semua kasus yang sudah dikelola. Munculnya laporan ada peningkatan kasus XDR-TB (extensively drug resistant tuberculosis ) pada penderita HIV di provinsi

Upload: fauzi-a-susman

Post on 29-Jun-2015

494 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS PARU

MONORESISTEN DAN POLIRESISTEN

Pendahuluan

Tuberkulosis (TB) masih menjadi penyakit infeksius yang mematikan dengan jumlah

penderita mencapai jutaan orang di seluruh dunia. Tujuan obyektif pengelolaan TB adalah

pengobatan, menghentikan transmisi bakteri dan mencegah munculnya resistensi obat. (1)

Walaupun menjadi masalah epidemi global, TB secara umum menimpa populasi di negara-

negara miskin, 98% penyebab kematian karena TB. Diperkirakan 2 milyar jiwa penduduk

dunia mendapat infeksi laten Mycobacterium tuberculosis (MTB). Pada tahun 2005, tercatat

8,9 juta kasus baru TB, dan 1,8 juta jiwa meninggal karena TB. (2) Tujuh puluh ribu penderita

MDR-TB diprediksi di benua Eropa dan yang tertinggi tersebar di bekas wilayah Uni Soviet,

termasuk Baltik, Kazakhstan, Uzbekistan dan Rusia. Tetapi WHO memperkira-kan 60%

jumlah penderita MDR-TB adalah di Cina, India dan Rusia. (1,3) Sedangkan Eropa Tengah,

Barat dan Afrika jumlahnya lebih rendah, kecuali di Afrika Selatan. (1)

Walaupun beberapa daerah di dunia berhasil menurunkan angka DRTB, bukti statistik

yang terakumulasi dalam beberapa tahun terakhir menemukan kecenderungan peningkatan.

Pada tahun 2000 diprediksi kasus DRTB sebanyak 273 kasus sedangkan WHO pada tahun

2007 memperkirakan prevalensi global MDR-TB adalah 425.000 kasus pertahun, dan hanya

4,3% semua kasus yang sudah dikelola. Munculnya laporan ada peningkatan kasus XDR-TB

(extensively drug resistant tuberculosis) pada penderita HIV di provinsi KwaZulu-Natal

Afrika Selatan membuat makin besarnya perhatian terhadap penanggulangan DRTB. (4)

Perubahan pola masalah kesehatan global telah terjadi selama 2 dekade, terutama

penyebaran HIV dan drug-resistant TB (DRTB). Sepertiga dari 40 juta jiwa yang terinfeksi

dengan human immunodeficiency virus (HIV) mendapat ko-infeksi TB menyebabkan

mortalitas yang signifikan. Peningkatan DRTB telah menjadi salah satu masalah penting

dalam pengendalian tuberkulosis global. (1,2)

Pemerintah Norwegia telah melaksanakan pemetaan pola resistensi TB dan uji

kepekaan obat (obatsusceptibility test atau DST) di negara tersebut sejak tahun 2002 dan

hasilnya dilaporkan setiap tahun. Hasil pemantauan ini dapat mencegah ledakan kasus DRTB

(lampiran). Cara ini tentu membutuhkan biaya yang mahal dan mungkin sulit diterapkan di

negara berkembang. (1)

Page 2: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

Perancis adalah negara yang kaya akan sumber daya dengan angka kesakitan TB

rendah; sebagian besar kasus TB menimpa penduduk imigran dan MDR-TB merupakan

kasus yang langka, yaitu pada imigran baru, riwayat terapi OAT sebelumnya dan yang

terinfeksi HIV. Hal ini merupakan petunjuk bahwa jejaring surveilens di Perancis yang ketat

dan panduan bagi penyedia pelayanan penderita TB dengan riwayat episode dan terapi TB.

Dalam konteks isu global epidemiologi TB, pengadaan jejaring pelayanan yang menitikberat

pada manfaat surveilens yang berbasis kultur TB dan uji sensitifitas obat di negara-negara

berkembang dan prevalensi MDR-TB yang tinggi akan menguras biaya, tetapi akan lebih

mahal jika sistim surveilens resistensi obat terpadu seperti diatas tidak dilakukan. (4) WHO

menyatakan bahwa surveilens merupakan bagian integral dari strategi DOTS. Surveilens

resistensi obat anti-TB sangat penting untuk memberikan informasi beratnya masalah dan

kecenderungan resistensi, untuk pengembangan panduan pengelolaan, dan untuk memantau

efek intervensi.(5,6)

Kultur, isolasi strain M. tuberkulosis dan uji sensitifitas obat merupakan pemeriksaan

yang tidak rutin dilakukan di jejaring sarana kesehatan tingkat pertama, sehingga penderita

memerlukan referal ke tingkat lanjut.

Penyebab DRTB

DRTB disebabkan oleh kesalahan manusia. Populasi M. tuberkulosis yang belum

terpajan OAT sudah mengandung mutant yang resisten. Terapi TB yang tidak tepat seperti

monoterapi (OAT tunggal) menyebabkan kelompok bakteri yang rentan akan mati,

sedangkan kelompok yang tidak rentan akan tetap hidup. Kelompok bakteri yang masih

hidup akan menghasilkan populasi yang resisten terhadap obat yang telah diberikan.(1)

Mekanisme aksi dan gen yang dipengaruhi tiap OAT berbeda (gambar 1). World Health

Organization (WHO) saat ini menggunakan istilah resistensi primer dan didapat untuk kasus

baru dan kasus dengan riwayat terapi OAT. Cara transmisi DRTB sama dengan TB pada

umumnya. (1)

Ada 3 alasan seorang penderita untuk menjalani terapi ulang TB, yaitu kegagalan,

relaps (kambuh) atau tidak memenuhi syarat (default).(5,6) Kegagalan pengobatan

didefinisikan sebagai apusan sputum dan kultur positif yang terjadi setelah penderita

tuberkulosis menjalani terapi yang benar. (1) Kultur positif dapat berarti relaps (kekambuhan)

atau persisten. Sekitar 90%-95% penderita TB paru sensitif akan mengalami konversi kultur

negatif setelah menjalani terapi OAT yang terdiri dari isoniazid dan rifampisin pada bulan

ketiga. Beberapa pakar juga menganggap kegagalan terapi jika kultur sputum tetap positif

Page 3: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

sesudah pengobatan selama 4 bulan atau menjadi positif lagi sesudah periode kultur negatif.

Berarti penegakan kegagalan terapi adalah sesudah 4 bulan pengobatan OAT. (1,5,6)

Kebijakan pemerintah, faktor tenaga kesehatan, ketersediaan sumber daya dan

ketaatan penderita mempunyai kontribusi signifikan terhadap kegagalan pengelolaan TB. (1,5,6,7)

Penyebab meningkatnya DRTB adalah mikrobiologik, programatik dan klinis, di

negara berkembang penyebab utama adalah semua faktor diatas. Dalam tabel 1, Kementerian

Kesehatan Republik Nepal menjelaskan penyebab DRTB selain faktor mikrobiologik. (7)

Keragaman genetik pada M. tuberculosis terjadi karena migrasi manusia sejak zaman

purba sampai sekarang, dan pola acak perubahan genetik ini merupakan faktor utama pada

evolusi M. tuberculosis. (8) Isolat Beijing merupakan contoh evolusi M. tuberculosis dengan

kelainan radiologik paru yang lebih berat karena pola resistensi MDR. (9)

Tabel 2. Penyebab resistensi obat pada tuberkulosis

Penyedia jasa kesehatan : rejimen yang tidak adekuat

Obat : suplai dan kualitas yang tidak adekuat

Penderita : asupan obat yang tidak adekuat

• Panduan terapi yang salah atau ketidakpatuhan pada panduan;

• Tidak adanya panduan;• Kurangnya pelatihan;• Terapi tanpa pemantauan;• Kekurangan pendanaan atau

sistim organisasi program.

• Kualitas obat yang buruk;• Tidak tersedianya obat tertentu

(kehabisan atau gangguan pengiriman);

• Kondisi penyimpanan yang buruk;

• Kesalahan dosis atau kombinasi rejimen.

• Ketidaktaatan;• Kurangnya informasi tentang

pengobatan• Efek samping • Kendala sosial (stigma,

pengucilan);• Malabsorpsi;• Gangguan ketergantungan obat;• Gangguan mental ; • Tidak kooperatif.

Dikutip dari (7)

Tabel 3. Mutasi gen yang menyebabkan resistensi pada OAT lini pertama

Obat Gen yang terlibat Mekanisme Aksi Rifampicin rpoB Inhibisi sintesis asam nukleatIsoniazid katG, inhA, kasA Inhibisi sintesis asam nukleat dan proses metabolik

lainnyaEthambutol embB Inhibisi sintesis dinding selPyrazinamid

pncA Mempengaruhi dinding sel

Dikutip dari (1)

Bila kegagalan terapi dicurigai, maka seorang dokter harus menegakkan penyebabnya

sebelum mengganti rejimen OAT. Langkah yang perlu dilakukan adalah: (5,6,10)

Mendiskusikan atau verifikasi hasil DST dengan pakar mikrobiologi.

Page 4: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

Mengulangi DST obat untuk menentukan apakah telah terjadi resistensi obat selama

terapi. Semua penderita yang mengalami kegagalan terapi harus dianggap sebagai

resistensi obat sampai terbukti lain.

Penderita dikelola dengan cara minum obat sendiri dan DOT.

Penderita yang sedang dikelola dengan pendekatan DOT, diindikasikan pemeriksaan

konsentrasi obat dalam serum terutama jika resistensi terjadi selama pengobatan atau

adanya resiko malabsorpsi.

Definisi

Klasifikasi resistensi tuberkulosis (1):

Monoresistensi : Resistensi terhadap hanya satu obat antituberkulosis

Multi-drug-resistensi (MDR-TB): Resistensi terhadap rifampisin dan isoniazid (kedua

obat paling penting dalam pengelolaan TB) ditambah dengan obat lain.

Poliresistensi: Resistensi terhadap lebih dari satu obat tetapi tanpa MDR

Extensive multi-drug-resistensi (XDRTB): MDR ditambah resistensi terhadap salah satu

fluroquinolon dan sekurangnya satu obat injeksi dari lini kedua (amikasin, kapreomisin

atau kanamisin.

Jenis resistensi (1)

Resistensi primer adalah resistensi yang terjadi pada penderita yang belum diterapi.

Resistensi didapat adalah resistensi pada penderita yang sudah pernah diterapi yang

disebabkan oleh perubahan strain mikroorganisme selama pengobatan atau oleh infeksi

baru oleh mikroorganisme yang sudah resisten.

Penentuan karakter genetik dengan DNA fingerprint dapat membedakan apakah strain bakteri

identik dengan isolat sebelumnya pada penderita yang sama.

Standar pengobatan tuberkulosis

Tuberkulosis telah lama dikelola (lebih dari 50 tahun) dengan terapi kombinasi. OAT

tunggal hanya digunakan untuk tujuan kemoprofilaksis. Rejimen OAT monoterapi

menyebabkan terjadinya resistensi dan kegagalan terapi yang sangat cepat. Tujuan

pengelolaan tuberkulosis adalah:

Mengobati dan memperbaiki kualitas hidup dan produktifitas;

Mencegah kematian karena TB aktif atau komplikasinya;

Mencegah kekambuhan TB;

Menurunkan transmisi TB kepada orang lain;

Page 5: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

Mencegah terjadinya dan transmisi resistensi obat.

Rasionalisasi penggunaan kombinasi obat untuk pengelolaan TB adalah berdasarkan

probabilitas sederhana. Frekuensi terjadinya mutasi spontan M. tuberkulosis telah lama

dipahami sebagai penyebab resistensi terhadap obat tertentu yaitu: 1/107 kuman untuk EMB,

1/108 kuman untuk SM dan INH, and 1/1010 kuman untuk rifampisin. Mutan resisten terhadap

masing-masing obat hidup bersama dalam populasi suseptibel dengan rasio berbeda. Karena

lesi tuberkel seringkali mengandung lebih dari 108 basil, mutan tersebut tetap hidup bila

penderita mendapatkan monoterapi.

Penderita dengan TB paru yang luas mengandung + 1012 bakteri di dalam tubuhnya,

dan diantaranya mungkin terkandung + 105 bakteri yang resisten terhadap EMB, 104 bakteri

yang resisten terhadap STM, 104 bakteri yang resisten terhadap INH dan 10² bakteri yang

resisten terhadap rifampisin. Mutasi resistensi muncul secara spontan dan independen, jadi

kesempatan terjadinya resistensi spontan terhadap INH dan RIF adalah 1/108 x 1/1010 =

1/1018, dan terhadap keempat obat lini pertama adalah 1/1033. Secara matematis hal ini

mungkin terlalu meremehkan, tetapi perhitungan diatas menjelaskan mengenai manfaat terapi

kombinasi. Rasionalisasi teoritis mengenai terapi kombinasi (rejimen terapi) adalah sebagai

berikut:

Obat yang berbeda dalam satu rejimen memiliki mekanisme aksi yang berbeda pula.

INH memiliki aksi bakteriosida dalam replikasi bakteri. EMB memiliki aksi bakteriostatik

pada dosis rendah, tetapi digunakan dalam terapi TB pada dosis tinggi (bakteriosida). RMP

memiliki aksi bakteriosida dan efek sterilisasi. PZA memiliki aksi bakteriosida lemah, tetapi

sangat efektif melawan bakteri dalam lingkungan asam, intra makrofag, atau di daerah yang

inflamasi akut.

DOTS adalah singkatan dari Directly Observed Therapy, Short-course dan menjadi

program utama dalam The WHO Global Plan to Stop TB. Strategi DOTS mempunyai 5 fokus

penting yaitu:(5,6)

Komitmen pemerintah dalam pengendalian TB

Diagnosis berdasarkan uji apusan mikroskopik sputum terhadap penderita dengan gejala

TB aktif

Observasi langsung dalam pengelolan kemoterapi jangka pendek

Keterjangkauan obat berkualitas yang terjamin

Pencatatan dan pelaporan kasus kelola dan hasil pengobatan yang terstandar.

Page 6: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

Gambar 1. Berbagai mekanisme aksi obat antituberkulosis

Dikutip dari

Pengobatan dengan implementasi DOTS memiliki angka keberhasilan lebih dari 95%

dan dapat mencegah perkembangan strain tuberkulosis multi drug resistant (MDR TB).

WHO memperluas program DOTS pada tahun 1998 untuk mencakup pengelolaan MDR-TB

yang disebut dengan DOTS-Plus. Implementasi DOTS-Plus membutuhkan kapasitas untuk

melakukan uji kerentanan obat (drug-susceptibility testing atau DST) dan ketersediaan OAT

lini kedua disamping kebutuhan strategi DOTS yang dibahas sebelumnya. DOTS-Plus

memang membutuhkan sumber daya yang lebih mahal dibandingkan DOTS, dan komitmen

pemerintah dibutuhkan lebih besar bila ingin mengimplementasikannya. Keterbatasan

sumber daya untuk implementasi DOTS-Plus akan menyebabkan ketimpangan dari

keseluruhan program DOTS yang telah berjalan dan menurunkan standar perawatan program

TB. (5,6)

Surveilens bulanan sampai konversi kultur negatif direkomendasikan dalam strategi

DOTS-Plus. Jika kultur tetap positif atau gejala TB tidak menyembuh sesudah 3 bulan

pengelolaan, maka penderita perlu dire-evaluasi untuk kemungkinan terjadinya TB resisten

atau ketidak- patuhan penderita dalam pengobatan. Jika kultur tidak mengalami konversi

sesudah terapi 3 bulan, dokter dapat mempertimbangkan rujukan ke rumahsakit untuk

memastikan pemantauan terapi yang ketat.(5,6)

Page 7: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

Kelompok obat antituberkulosis

Obat anti tuberkulosis (OAT) lini pertama

OAT lini pertama adalah agen kemoterapi tuberkulosis dengan khasiat (efikasi)

tertinggi dengan toksisitas rendah untuk mencapai angka kesembuhan tertinggi.

Keterjangkauan (biaya dan kontinuitas suplai) juga menjadi parameter kategori OAT lini

pertama. Obat anti tuberkulosis (OAT) lini pertama yang termasuk dalam daftar rekomendasi

WHO adalah: (5,6)

Rifampisin (RIF)

Isoniazid (INH)

Ethambutol (EMB )

Pirazinamid (PZA)

Streptomisin (SM)

OAT lini kedua

Alasan penamaan lini kedua atau ketiga antara lain adalah potensi yang lebih rendah

dari lini pertama (seperti p-aminosalicylic acid / PAS); atau mempunyai toksisitas (seperti

sikloserin); atau tidak dapat dijangkau di beberapa negara berkembang (fluoroquinolon),

seperti:

Aminoglikosida: streptomisin (SM), amikasin (AMK), kanamisin (KM).

Masalah biaya dan profil toksisitas dipertimbangkan dalam pemilihan obat golongan

aminoglikosida atau polipeptida sebagai rejimen anti-TB. Streptomisin (SM) dan

kanamisin yang paling murah harganya. Sudah banyak data uji klinis yang mendukung

penggunaan SM. Tetapi resistensi SM adalah salah satu resistensi terbanyak di dunia.

Amikasin memiliki aktifitas in vitro melawan M. tuberkulosis yang sangat baik, tetapi

lebih mahal dan nyeri injeksi yang lebih hebat dibandingkan SM. Amikasin mempunyai

kadar serum yang lebih tinggi dibandingkan SM, kanamisin, atau kapreomisin dan

ditoleransi dengan baik untuk terapi jangka panjang. (Curry, FJ) Dosis optimal adalah 15

mg/kg, biasanya 750 mg - 1 g, diberikan secara injeksi intramuskuler dalam setiap hari

atau 5 hari seminggu. Rasa tidak nyaman dapat dikurangi dengan injeksi rotasi di tempat

suntikan. Durasi terapi harian biasanya selama 3-4 bulan. Bila diperlukan, obat dapat

diberikan dengan dosis sama secara intermiten 2 atau 3 kali seminggu selama fase

lanjutan dibawah pemantauan ketat akan efek samping.

Polipeptida: kapreomisin, viomisin, enviomisin.

Page 8: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

Efek bakterisida pada strain resisten streptomisin, kanamisin dan amikasin tanpa reaksi

resistensi silang dengan aminoglikosida lainnya. Kapreomisin juga berharga mahal,

tetapi ditoleransi dengan baik untuk terapi jangka panjang. Gangguan elektrolit

(hipokalemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia) dapat terjadi pada pemberian

kapreomisin, sehingga diperlukan pemantauan ketat. (10)

Dosis rata-rata adalah 1g sekali sehari dan tidak melebihi dari 20 mg/kg, selama 40-120

hari lalu dosis obat diturunkan sampai 2-3 kali seminggu karena efek samping dapat

timbul mendadak sesudah fase inisial. Efek samping obat meliputi tinnitus, vertigo dan

gangguan pendengaran yang lebih ringan. Golongan polipeptida dikontraindikasi untuk

kehamilan dan sebaiknya dihindari pada anak-anak.(5)

Fluoroquinolon: siprofloksasin (CIP), levofloksasin, moxifloksasin (MXF)

Hanya sedikit data klinik mengenai pemilihan obat golongan fluoroquinolon,

levofloxacin telah digunakan secara luas untuk pengobatan TB resisten. Masih belum

cukup data penelitian mengenai dugaan levofloksacin mungkin lebih berkhasiat

dibandingkan ofloxacin untuk TB resisten. (10)

Siprofloksacin adalah yang paling lemah potensinya dari golongan fluoroquinolon dan

tidak digunakan untuk mengelola TB resisten OAT. Moxifloxacin memiliki aktifitas in

vitro yang lebih baik dibandingkan levofloksacin, ofloksacin, dan siprofloksacin untuk

melawan M. tuberkulosis. Penelitian terakhir membuktikan bahwa moksifloksacin

memiliki aktifitas bakterisidal dan efek sterilisasi. (Curry, FJ) Dosis harian ofloksasin antara

600-800 mg (3-4 tablet) atau CIP antara 1-1,5 g (4-6 tablet) selama fase inisial. Dosis

harian dapat diturunkan (400 mg untuk ofloksasin) selama fase lanjutan pada penderita

yang intoleran. Obat ini dapat diberikan secara tunggal (pada DOTS) atau dosis terbagi

dengan interval 12 jam.(5)

Dosis levofloxacin dapat dinaikkan sampai 1 gram/hari atau lebih tergantung kasus dan

dapat ditoleransi dengan baik. Dosis moxifloxacin sebaiknya tidak melebihi

rekomendasi Food and ObatAdministration (FDA) terlebih bila tanpa pemantauan kadar

obat dalam serum. (10)

Sikloserin (dan terizidon: gabungan 2 molekul sikloserin)

Obat ini penting dalam pencegahan resistensi atau terapi alternatif untuk resistensi obat

anti-TB pada era pra-rifampisin dan saat ini. Belum pernah ditemukan resistensi silang

sikloserin terhadap obat lain. Rekomendasi dosis sikloserin adalah 250 mg di pagi hari

dan 500 mg selang 12 jam, sedangkan untuk terizidon 300 mg dua kali sehari dengan

interval 12 jam.(5)

Page 9: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

Efek samping yang sering dilaporkan adalah gangguan susunan saraf pusat seperti

vertigo, bicara pelo, kejang, nyeri kepala, tremor, insomnia, konfusi, gangguan mood

(depresi dan percobaan bunuh diri). Pemberian obat harus disertai pengawasan fungsi

ginjal. Untuk mengurangi efek SSP dapat diberikan piridoksin. Bila terjadi gangguan

perilaku obat harus dihentikan, dan penderita sebaiknya diberikan obat sedatif (minor

tranquilizer).(5)

Tioamida: etionamida, protionamida

Jika terjadi resistensi INH pada konsentrasi serum yang rendah, organisme mungkin juga

resisten terhadap etionamid. Mutasi pada reseptor inhA M. tuberkulosis dapat

menyebabkan resistensi etionamid seperti isoniazid pada konsentrasi rendah. Pada situasi

ini, etionamid bukan pilihan OAT lini kedua yang bijak, sebelum uji sensitifitas

membuktikannya secara invitro. (10)

OAT lini ketiga

Asam p-aminosalisilat (PAS atau P)

Obat ini dulu diberikan bersama isoniazid untuk mencegah resistensi INH. Penderita

tidak menyukainya karena jumlah tablet yang banyak dan efek samping gastrointestinal

yang ditimbulkan. Dosis harian adalah 150 mg/kg atau 10-12 g perhari dalam 2 kali

pemberian atau 10-12 tablet setiap 12 jam. Hipokalemia, efek anti-tiroid, gagal ginjal dan

reaksi hipersensitivitas (kulit dan disfungsi hepar) juga pernah dilaporkan.

Para-aminosalisilat (PAS), etionamid, dan sikloserin dikenal sebagai bakteriostatik

(etionamid mungkin bakterisidal lemah pada dosis yang lebih besar). Hanya sedikit data

pendukung superioritas efikasi satu sama lainnya. Keputusan pemilihan OAT harus

berdasarkan pada profil efek samping dan khusus untuk sikloserin, ketersediaan sarana untuk

memeriksa kadar obat dalam serum.

Pakar merekomendasikan obat anti-TB lini ketiga golongan lain seperti imipenem,

klofazimin, amoxicillin/clavulanate potassium, clarithromycin, azithromycin, dan linezolid,

karena terbukti memiliki aktifitas in vitro melawan M. tuberkulosis, tetapi hanya sedikit data

klinik yang mendukung penggunaannya. Sebagian besar obat lini ketiga berharga mahal, dan

pada beberapa kasus membutuhkan pemberian intravena. (1)

Sebuah penelitian membuktikan aktifitas imipenem in vitro dan pada penderita MDR-

TB. Linezolid disebut sebagai obat aktif dalam beberapa laporan tetapi sering menyebabkan

neuropati perifer yang bersifat parsial reversibel dan neuritis optikus yang reversibel. Obat

Page 10: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

lini ketiga sebaiknya diberikan bersama konsultasi dokter pakar yang berpengalaman dalam

pengelolaan TB resisten. (1,5,6)

Beberapa obat baru sedang diteliti dan menjanjikan harapan dalam pengelolaan TB

yang resisten. Senyawa PA-824 yang merupakan derivat nitroimidazole memiliki aktifitas

bakterisidal dan sterilisasi pada mencit. TMC-207, derivat diarylquinoline, merupakan anti-

tuberkulosis dengan target ATP synthase. TMC-207 memiliki aktifitas yang signifikan

melawan strain M. tuberkulosis baik yang sensitif dan resisten. OPC-67683 merupakan

derivat nitroimidazo-oxazole juga memiliki aktifitas bakterisidal dan sterilisasi terhadap M.

tuberkulosis. Semua senyawa diatas dalam fase I dan II uji klinik pada penderita tuberkulosis

dan MDR-TB. Resistensi silang diantara senyawa diatas belum diteliti.

Terdiri dari obat anti TB yang tidak termasuk dalam daftar lini kedua dari WHO

yaitu:

Rifabutin

Makrolid: clarithromycin (CLR)

Linezolid (LZD)

Tio-asetazon (T)

Tioridazin

Arginine

R207910

Vitamin D

Daftar OAT lini ketiga yang disebutkan diatas adalah karena tidak terlalu efektif

(seperti clarithromycin) atau efikasinya belum terbukti (seperti linezolid, R207910).

Rifabutin cukup efektif, tetapi tidak termasuk dalam rekomendasi WHO karena harga yang

terlalu mahal untuk sebagian besar negara berkembang.

Semua OAT suntik diberikan 5-7 kali seminggu secara intramuskuler atau melalui

kateter vena selama fase inisial. Sesudah 2-6 bulan, obat suntik diberikan 3 kali seminggu.

Obat suntik sebaiknya dilanjutkan sampai sekurangnya 6 bulan dan lebih lama lagi bila

penderita mengalami penyakit yang berat, respons mikrobiologis yang lambat, atau resistensi

yang bertambah.

Tabel 4. Resistensi silang obat antituberkulosis

Obat Resistensi silang Komentar

Isoniazid Etionamid Resistensi silang terhadap etionamid mungkin terjadi

Page 11: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

bila sudah terjadi resistensi isoniazid tingkat rendah.

Rifampisin Golongan rifampisin

lainnya

Resistensi silang antara obat golongan rifampisin

bersifat khas.

Pada beberapa strain yang resisten rifampisin, rifabutin

mungkin juga resisten secara in vitro.

Ethambutol -

Pirazinamid -

Streptomisin -

Amikasin Kanamisin Kecenderungan yang kuat terjadinya resistensi silang

adalah berhubungan dengan kesamaan mutasi .

Kanamisin Amikasin Kecenderungan yang kuat terjadinya resistensi silang

adalah berhubungan dengan kesamaan mutasi .

Kapreomisin Amikasin/Kanamisin Pernah dilaporkan frekuensi resistensi silang yang

bervariasi

Fluoroquinolo

n

Obat golongan

fluoroquinolon lainnya

Telah ditemukan adanya resistensi silang komplit

secara in-vitro dari obat golongan fluoroquinolon.

Tetapi data-data mendukung bahwa moxifloxacin

masih menunjukkan aktivitas antituberkulosis

walaupun terjadi resistensi in-vitro terhadap ofloxacin.

Sikloserin -

PAS -

Etionamid Isoniazid Resistensi silang terhadap isonianid mungkin terjadi

bila sudah terjadi resistensi etionamid tingkat rendah.

Klofazimin -

Dikutip dari (10)

Pengobatan monoresistent dan poliresisten tuberkulosis

Perencanaan rejimen untuk penderita mono- dan poli-resisten membutuhkan

pengalaman dokter, dan direkomendasikan pada institusi kesehatan lengkap dengan

infrastruktur yang baik dan cakap dalam pengelolaan DRTB. Desain pengelolaan individual

sering kali ditentukan oleh panel pakar spesialis yang terlatih untuk pengelolaan tuberkulosis

resisten. Panel tersebut menelaah riwayat pengobatan penderita, pola DST dan kemungkinan

resistensi didapat oleh strain baru M. tuberculosis, kemudian menentukan rejimen yang

rasional. Untuk pusat pelayanan TB yang tidak memiliki panel pakar, pengelolaan DRTB

mungkin akan gagal.(10)

Page 12: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

Penelitian acak atau terkontrol yang dapat dijadikan sebagai panduan terapi definitif

terbaik untuk DRTB belum pernah dilakukan, kecuali TB monoresisten untuk streptomisin.

Rekomendasi yang diperoleh selama ini berdasarkan bukti penelitian pada era pra-rifampisin,

prinsip dasar mikrobiologi dan terapeutik pada TB, ekstrapolasi dari bukti ilmiah dan opini

pakar. (10)

Modifikasi dari rejimen kemoterapi standar jangka pendek harus diberikan sejak awal

pengobatan untuk meningkatkan angka kesembuhan. Penggunaan obat yang paling efektif

tidak boleh ditunda. Tabel dapat menjadi acuan penentuan rejimen berdasarkan pola DST

tertentu. Penggunaan obat pada tabel harus dipastikan untuk penderita TB dengan jenis

resistensi didapat. (10)

Ekuivalen fungsional merupakan asumsi jumlah obat pada rejimen yang telah

diberikan dan masih efektif selama terjadinya periode resistensi obat. Periode ekuivalen

fungsional adalah rentang waktu antara kecurigaan sampai terbuktinya resistensi. Resistensi

yang berlangsung lama (biasanya satu bulan) menyebabkan ekuivalen fungsional penderita

adalah satu obat saja.

Uji sensitifitas obat (DST) hanya mencerminkan populasi bakteri secara akurat pada

waktu sampel dikumpulkan. Rejimen pada tabel berdasarkan asumsi bahwa pola resistensi

obat tidak berubah selama rentang waktu pengujian. Tabel rekomendasi dibawah sebaiknya

tidak diterapkan jika resistensi berkembang pada seluruh rejimen sebelumnya dicurigai.

Tingkat akurasi (level of confidence) pengujian yang tinggi juga menjadi pertimbangan

penggunaan rejimen yang direkomendasikan. Seleksi rejimen OAT pada tuberkulosis mono-

dan poli-resisten sebaiknya berdasarkan pola resitensi OAT, obat yang pernah dikonsumsi

penderita, adanya penyakit penyerta, riwayat adanya efek samping obat. (1) Pemeriksaan

kultur sputum dan DST sebelum penentuan rejimen adalah mutlak dan penyaringan resistensi

terhadap isoniazid dan atau rifampisin menjadi prioritas. (13)

Pengobatan tidak boleh ditunda pada penderita TB resisten selama periode ekuivalen

fungsional. Pada beberapa situasi ketika terapi TB resisten harus secepatnya diawali dan hasil

DST belum ada, seperti: (10)

Penderita gagal terapi (kultur TB tetap positif sesudah 4 bulan terapi OAT).

Penderita TB dengan riwayat terapi OAT sebelumnya (kambuh).

Penderita TB dengan riwayat kontak dengan kasus TB resisten OAT.

Penderita TB yang lahir atau tinggal di daerah mana dengan prevalensi TB resisten yang

tinggi.

Page 13: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

Rejimen terapi dapat diganti jika hasil DST sudah ada. Rejimen OAT yang direkomendasikan

sebagai berikut.(5,6)

Mycobacterium tuberkulosis monoresistensi

Monoresistensi isoniazid (INH atau H)

Riwayat pengobatan TB aktif atau laten berhubungan dengan monoresistensi INH

sesudahnya. Cattamanchi et.al. tahun 2009 menemukan bahwa hasil terapi pada kasus

monoresistensi INH adalah sangat baik dan tidak berbeda dengan kasus suseptibel. Rejimen

yang digunakan adalah 2HREZ/4REZ dan 2HREZ/7–10 RE (untuk penderita yang intoleran

terhadap pirazinamid). (12) Rejimen terapi yang efektif untuk penderita resistensi INH tunggal

saat ini sudah tersedia. Sedikitnya ada 3 pilihannya yaitu (10):

1. Rejimen terapi harian rifampisin (R), ethambutol (E), dan pirazinamid (Z), kesemuanya

diberikan selama 6-9 bulan tergantung respon mikrobiologik, klinis, dan radiografik

terhadap terapi. Bila terapi dimulai dengan rejimen 4 jenis obat, maka H dapat dihentikan

jika resistensi telah terbukti. RIF, EMB, dan PZA tetap diberikan. Angka kesembuhan

dengan 3 rejimen OAT terbukti masih tinggi.

2. Penambahan fluoroquinolon (FQN) dapat diberikan untuk penderita dengan tuberkulosis

paru berat, terapi sebaiknya dilanjutkan setiap hari selama sekurangnya 6 bulan.

3. Penderita yang mengalami intoleransi PZA, rejimen yang mengandung RIF dan EMB

selama 12 bulan juga efektif. FQN dapat ditambahkan, terutama selama fase inisial,

bahkan beberapa pakar melanjutkan FQN hingga akhir pengobatan khususnya pada

penderita dengan yang resisten atau intoleransi dengan PZA.

Rejimen jangka pendek yang baru mungkin diperlukan untuk sebagian kecil penderita yang

tidak menyelesaikan terapi sebelumnya karena intoleransi pirazinamid. (Cattamanchi A)

Monoresistensi rifampisin (RIF atau R)

Monoresistensi rifampisin sangat jarang terjadi. Tanpa rifampisin, maka dibutuhkan

durasi terapi yang lebih panjang. Resistensi rifampisin pada sebagian besar kasus

berhubungan dengan resistensi silang terhadap rifabutin dan rifapentine. Lebih dari 80%

strain yang resisten rifampisin juga resisten terhadap rifabutin. Pernah juga didokumentasikan

penggunaan rifabutin sesudah DST untuk rifampisin terbukti. Resistensi rifapentine lumrah

ditemukan pada isolat resisten rifampisin. TB resisten rifampisin dapat diobati dengan

sekurangnya 3 rejimen berbeda.

Page 14: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

1. Rejimen terapi terdiri dari H, E, dan FQN selama 12–18 bulan, ditambah suplemen Z

selama 2 bulan minimal.

2. Pada penderita dengan kavitas paru yang luas, atau untuk mempersingkat durasi

pengobatan (misalnya, 12 bulan) direkomendasikan untuk menambahkan 1 macam obat

suntik pada rejimen pilihan pertama selama 2 bulan pertama.

3. Rejimen terapi alternatif yang terdiri dari H, Z, dan streptomisin (S) atau golongan

aminoglikosida / polipeptida lainnya selama 9 bulan dapat memberikan hasil yang

menjanjikan. Walaupun demikian, pemberian obat suntik jangka panjang mungkin tidak

memungkinkan pada beberapa penderita.

Monoresistensi ethambutol (EMB atau E), pirazinamid (PZA atau Z), atau streptomisin (SM

atau S)

Resistensi tunggal terhadap E, Z, atau S akan berpengaruh sedikit terhadap efikasi

rejimen pengganti dan penghentian E atau S tidak akan menurunkan atau menurunkan khasiat

(efikasi) dan memperpanjang durasi pengobatan. Tidak digunakannya Z setidaknya

memerlukan perpanjangan durasi terapi dengan INH dan rifampisin sampai 3 bulan, jadi

durasi total menjadi 9 bulan. Sebagian besar monoresistensi PZA adalah karena

ditemukannya M. bovis pada isolat.

Tabel Dosis Rekomendasi OAT Lini Pertama untuk Dewasa

OBAT

Dosis rekomendasiHarian 3 kali seminggu

Dosis dan rentang (mg/kg BB)

Maksimum (mg)

Dosis dan rentang (mg/kg BB)

Maksimum harian (mg)

Isoniazid 5 (4–6) 300 10 (8–12) 900Rifampisin 10 (8–12) 600 10 (8–12) 600Pirazinamid 25 (20–30) – 35 (30–40) –Ethambutol 15 (15–20) – 30 (25–35) –Streptomisina 15 (12–18) 15 (12–18) 1000a (1) Penderita berusia lebih dari 60 tahun mungkin tidak mentoleransi dosis lebih dari 500–750 mg/hari, beberapa panduan merekomendasi pengurangan dosis sampai 10 mg/kg/hari. (2) Penderita dengan berat badan kurang dari 50 kg mungkin tidak mentoleransi dosis lebih dari 500–750 mg/hari.

Dikutip dari (6)

Tabel Dosis OAT lini pertama pada dewasa dan anak-anak

Obat Dosis rekomendasi (mg/kg) (rentang dosis)

Page 15: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

Harian 3 x seminggu

Isoniazid 5 (4–6), maksimum 300 sehari 10

Rifampisin 10 (8–12), maksimum 600 sehari 10 (8–12), maksimum 600 sehari

Pirazinamid 25 (20–30) 35 (30–40)

Ethambutol Anak 20 (15–25)*

Dewasa 15 (15–20)

30 (25–35)

Streptomisin 15 (12–18) 15 (12–18)

*Dosis harian yang direkomendasikan untuk ethambutol lebih besar pada anak-anak (20

mg/kg) dibandingkan dewasa (15mg/kg), karena perbedaan farmakokinetik.

Kadar puncak plasma ethambutol lebih rendah pada anak-anak pada dosis yang sama.

Dikutip dari (14)

Tabel . Dosis OAT Lini Kedua dan Ketiga

Nama Obat (Akronim) Mekanisme aksiDosis rekomendasi harian a

Rata-rata (mg/kg) Minimum (mg) Maksimum (mg)Amikasin (Am) Bakterisida 15 750 1000Kapreomisin (Cm) Bakterisida 15 750 1000Siprofloksasin (Cx) Bakterisida 10–20 1000 1500Sikloserin (Cs) Bakteriostatik 10–20 500 750Ethionamid (Et) Bakterisida 10–20 500 750Kanamisin (Km) Bakterisida 15 750 1000Ofloxacin (O) Bakterisida 7.5–15 600 800Asam p-aminosalisilat (PAS) Bakteriostatik 150 8 g 12 gProtionamid (Pt) Bakterisida 10–20 500 750

a Rejimen tiga kali seminggu tidak direkomendasikan

Dikutip dari (5)

Mycobacterium Tuberkulosis Poliresistensi

Tuberkulosis poliresisten adalah TB yang disebabkan oleh organisme yang terbukti

resisten secara invitro terhadap lebih dari 1 jenis obat antituberkulosis selain isoniazid dan

rifampisin. Resistensi terhadap beberapa jenis OAT dapat terjadi bersamaan, tetapi hasil

pengobatan biasanya baik. Rejimen OAT pengganti sebaiknya meliputi semua obat lini

pertama bila memungkinkan, ditambah golongan fluoroquinolon, dan obat suntik pada

beberapa kasus.

Tabel 2. Rejimen terapi untuk penatalaksanan TB Monoresisten dan Poliresisten

Page 16: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

Pola

resistensiRejimen yang dianjurkan

Durasi terapi

minimal (bulan)Komentar

H (± S) R + Z + E 6–9

Fluoroquinolon (FQN) mungkin

memperkuat rejimen untuk penderita

dengan penyakit yang berat.

H + Z R + E + FQN 9–12

Durasi yang lebih lama

direkomendasikan untuk penderita

dengan penyakit yang berat.

H + E R + Z + FQN 9–12

Durasi yang lebih lama direkomen-

dasikan untuk penderita dengan

penyakit yang berat.

RH + E + FQN, plus Z selama

sekurangnya2 bulan12–18

Obat suntik mungkin memperkuat

rejimen untuk penderita dengan

penyakit yang berat.

R + E (±

S)

H + PZA + FQN, plus 1 jenis obat

suntik selama sekurangnya 2–3 bulan

pertama

18

Durasi pemberian obat suntik yang

lebih lama (6 bulan) mungkin

memperkuat rejimen untuk penderita

dengan penyakit yang berat.

R + Z (±

S)

H + E + FQN, plus 1 jenis obat

suntik selama sekurangnya 2–3 bulan

pertama.

18

Durasi pemberian obat suntik yang

lebih lama (6 bulan) mungkin

memperkuat rejimen untuk penderita

dengan penyakit yang berat.

H + E + Z

(± S)

R, FQN, plus 1 jenis obat oral lini

kedua, plus 1 jenis obat suntik

selama sekurangnya 2–3 bulan

pertama.

18

Durasi pemberian obat suntik yang

lebih lama (6 bulan) mungkin

memperkuat rejimen untuk penderita

dengan penyakit yang berat.

Z Fase inisial: H, R plus E selama

sekurangnya 2 bulan.9

Pola resistensi yang sering

ditemukan pada infeksi oleh M.

bovis.

Dikutip dari (10)

Beberapa pertimbangan dalam pengobatan DRTB:

Obat yang terbukti gagal dalam pengelolaan TB sebelumnya harus dihindari

Berdasarkan data dari National Jewish Medical and Research Center dilaporkan

bahwa terdapat penurunan efikasi obat yang pernah digunakan, sesudah 1 bulan

pemberiannya walaupun DST in vitro membuktikan masih sensitif. Walaupun demikian,

sebagian besar pakar merekomendasi obat lini pertama tetap diberikan dengan catatan

DST menunjukkan isolat masih sensitif terhadap regimen lini pertama. (Curry, FJ)

Page 17: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

Pertimbangkan efek samping dalam pemilihan obat

Sebagai contoh, pada penderita yang mengalami penurunan faal tubuh, sikloserin

sangat bijaksana untuk dihindari. Sebisa mungkin hindari pemberian rejimen OAT dengan

profil toksisitas yang sama. Contohnya, kombinasi PAS dan etionamid memperbesar

resiko hipotiroidisme. Sebaliknya, bila tidak ada pilihan lain karena hanya OAT tertentu

yang masih sensitif, maka OAT tersebut tetap diberikan dan hipotiroidisme dapat dikelola

dengan terapi pengganti hormon tiroid selama pemberian OAT. Pada penderita dengan

penyakit ginjal atau hepatik, OAT tertentu mungkin lebih aman diberikan. Pada akhirnya,

OAT teraman dan paling efektif harus diutamakan. Pemantauan efek samping OAT,

seperti aminoglikosida / polipeptida, perlu dihentikan pemberiannya walaupun terapi TB

belum selesai. Lalu penderita dipastikan memulai terapi rejimen oral OAT dengan jumlah

yang cukup (sekurangnya 3-5 jenis) sesudah penghentian OAT suntik. (Curry, FJ)

Panduan WHO edisi keempat tahun 2010 membuat rekomendasi yang fundamental

dalam pengelolaan penderita dengan riwayat terapi TB sebelumnya. Perbedaan ini mencakup:

Untuk penderita baru yang tinggal dalam populasi dengan resistensi INH yang tinggi

tetapi hasil DST untuk isoniazid belum diperoleh pada saat dimulainya fase lanjutan,

WHO merekomendasikan pemberian ethambutol, rifampicin, dan isoniazid yang lebih

panjang. Rekomendasi ini bersifat kondisional.

Pada seluruh penderita dengan riwayat terapi TB sebelumnya, WHO sangat

merekomendasikan pemeriksaan DST sebelum atau dimulainya terapi.

Penderita dengan riwayat terapi TB sebelumnya diidentikkan sebagai penderita dengan

kecenderungan MDR-TB. Rekomendasi rejimen terapi dipengaruhi oleh status atau alasan

diperlukannya pengelolaan ulang (gagal, kambuh dan tidak memenuhi syarat atau default).

Rejimen empirik standar untuk MDR-TB sebelum adanya hasil DST, direkomendasikan

oleh WHO untuk pengobatan penderita dengan kecenderungan MDR terutama di negara-

negara yang menggunakan DST konvensional. Rejimen terapi disesuaikan kembali

sesudah hasil DST sudah ada.

WHO memiliki daftar rejimen MDR empirik standar untuk pengelolaan penderita dengan

kecenderungan MDR-TB berdasarkan masing-masing negara yang mengaplikasikan

DOTS.

Dengan adanya sistim / mekanisme pendanaan internasional tertentu, maka alasan

ketiadaan sumber daya dalam pengelolaan MDR untuk menyediakan rejimen lini pertama

retreatment (dahulu disebut dengan rejimen kategori 2) tidak dapat diterima.

Page 18: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

National TB control Programmes (NTPs) membedakan tingkat resistensi multi-obat

(rendah, sedang dan tinggi untuk masing-masing negara) berdasarkan tingkat MDR pada

kelompok spesifik penderita, ketersediaan sumberdaya pengelolaan MDR, dan frekuensi

kondisi penyerta lain (seperti HIV) yang memperbesar resiko kematian jangka pendek

untuk MDR-TB.

WHO membuat survei resistensi obat berbagai negara berdasarkan estimasi tingkat MDR

dan data lain yang berguna sebagai informasi dalam penentuan rejimen standar untuk

pengelolaan bermacam-macam kelompok penderita.

Dosis intermiten selama 8 bulan dengan OAT lini pertama tidak lagi menjadi pilihan terapi

pada penderita dengan riwayat terapi TB sebelumnya.

Ketaatan pasien dapat dievaluasi secara obyektif dengan uji analisis urin untuk kadar

isoniazid dan rifampisin. Interpretasi analisis urin berdasarkan fakta bahwa waktu paruh

isoniazid lebih panjang dibandingkan rifampisin:

Urin positif untuk isoniazid dan rifampisin à kemungkinan penderita patuh.

Urin positif untuk isoniazid saja à penderita minum obat terakhir , beberapa hari sebelum

datang ke klinik, tetapi obat belum diminum pada hari itu.

Urin positif untuk rifampisin saja à penderita tidak minum obat dalam beberapa terakhir,

tetapi baru diminum sebelum datang ke klinik.

Urin negatif untuk isoniazid dan rifampisin à penderita belum minum obat selama

beberapa hari.

Kesimpulan

1. Semua penderita dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya dan kembali untuk

pengobatan kembali harus dicurigai sebagai kasus TB resistensi obat.

2. Resistensi obat anti TB dapat terjadi secara primer dan didapat.

3. Pemilihan rejimen terapi pada penderita TB resisten akan dipengaruhi oleh hasil DST in

vitro, OAT yang sudah diberikan sebelumnya dan biaya.

4. Penderita yang dicurigai telah resisten harus mendapatkan terapi jika didapatkan gejala

penyakit TB yang berat tetapi hasil DST belum diperoleh.

5. Data surveilens pola resistensi di suatu daerah turut mempengaruhi kebijaksanaan

rejimen standar empirik sebelum hasil DST diperoleh.

6. Perencanaan rejimen pengobatan pada DRTB harus berdasarkan hasil kultur dan pola

DST.

Page 19: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

7. Intoleransi terhadap satu OAT tidak selalu berarti intoleransi dengan obat lainnya.

8. Obat anti tuberkulosis oral atau intravena lini kedua mungkin diperlukan berdasarkan

pola resistensinya.

9. OAT lini ketiga tidak diperlukan pada pengobatan TB monoresistensi dan poliresistensi.

Daftar Kepustakaan

1. Winje BA, Mannsåker T, Langeland N, Heldal E. Drug resistance in tuberculosis, The

Journal of the Norwegian Medical Association, 2008; 128: 2588–92.

2. Green E, Obi C.L, Nchabeleng M, de Villiers B.E, Sein P.P, Letsoalo T, Hoosen A.A,

Bessong P.O, Ndip R.N. Drug-susceptibility Patterns of Mycobacterium tuberculosis in

Mpumalanga Province, South Africa: Possible Guiding Design of Retreatment Regimen, J.

Health Popul Nutr; 28(1):7-13, 2010, New Delhi.

3. Bai GH, Park YK, Choi YW. Trend of anti-tuberculosis drug-resistance in Korea, 1994–

2004. Int J Tuberc Lung Dis 2007; 11: 571–5

4. Schluger NW. Tuberculosis drug resistance in Europe: sunny days, but clouds on the

horizon?, Eur Respir J 2007; 30: 825–827

5. World Health Organization. in Treatment of Tuberculosis : Guide For National

Programmes, 3rd ed. WHO Press, 2003, Switzerland,

6. World Health Organization. Standard treatment regimens, in Treatment of tuberculosis:

guidelines, 4th ed. WHO Press, 2010, Switzerland, p. 29-52

7. The Government of Nepal Ministry of Health and Population. Drug Resistant Tuber-

culosis Management Guidelines and Manual, 2nd revision, June 2010.

8. Gagneux S. Evolutionary forces in Mycobacterium tuberculosis. European Society of

Mycobacteriology 30th Annual Congress, 2009, p. S.21-26

9. Drobniewski F, Balabanova Y, Nikolayevsky V, Ruddy M, Kuznetzov S, Zakharova S,

Melentyev A, Fedorin I. Drug-Resistant Tuberculosis, Clinical Virulence, and the

Dominance of the Beijing Strain Family in Russia, JAMA. 2005;293:2726-2731

10.Curry FJ. Drug-resistant tuberculosis: A survival guide for clinicians. National

Tuberculosis Center and California Department of Health Services, San Francisco: 2004;

p. 32-4

11.Vernon A, Burman W, Benator D, Khan A, Bozeman L. Acquired rifamycin

monoresistance in patients with HIV-related tuberculosis treated with once-weekly

rifapentine and isoniazid, The Lancet. Vol 353. May 29, 1999, p. 1843- 47

Page 20: PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS MONORESISTEN DAN POLIRESISTENSI rev

12.Cattamanchi A, Dantes RB, Metcalfe JZ, Jarlsberg LJ, Grinsdale J, Kawamura LM,

Osmond D, Hopewell PC, Nahid P. Clinical Characteristics and Treatment Outcomes of

Isoniazid Mono-Resistant Tuberculosis, Clin Infect Dis. 2009 January 15; 48(2): 179–185

13.Kimerling M E, Slavuckij A, Chavers S, Peremtin G G, Tonkel T, Sirotkina O,

Golubchikova V, Baddeley A. The risk of MDR-TB and polyresistant tuberculosis among

the civilian population of Tomsk city, Siberia, Int J Tuberc Lung Dis. 1999, 7(9):866–72

14.Standard for Treatment, in International Standards for Tuberculosis Care: Diagnosis,

Treatment and Public Health, USAID, California, 2006. p. 29-43.

15.

Tabel 3. Hasil DST M. tuberculosis di Norwegia tahun 2002–2006

Resistensi ObatTahun pelaporan

2002 2003 2004 2005 2006

Monoresistensi

Isoniazid (H) 3 8 10 9 7

Rifampisin (R) 2 1

Ethambutol (E) 2 2 1

Streptomisin (S) 8 21 19 20 14

Jumlah total mono resistensi 13 31 30 31 22

Multiresistensi

H+R 3 1 2

H+R+E 1 2

H+R+S 2 3 1

H+R+E+S 1 2 2

Jumlah total multi- resistensi 7 3 4 3* 3

Poli-resistensi

H+S 8 10 4 7 15

H+E 1 1

H+E+S 4 2 1 1

Jumlah total poli-resistensi 12 12 5 8 17

Jumlah pasien yang dilakukan DST 192 273 246 214 225

Jumlah (%) pasien yang dilaporkan resistensi 32 (17) 46 (17) 39 (16) 42 (20) 42 (19)

¼ pasien dengan multi-resistensi yang dilaporkan tahun 2005, satu pasien didiagnosis dan memulai terapi diluar

Norwegia

*tidak dikultur di Norwegia

Dikutip dari (1)