penanganan diet pada psoriasisdocshare01.docshare.tips/files/28217/282171541.pdf · bagian atas...
TRANSCRIPT
-
PENANGANAN DIET PADA PSORIASIS
Oleh :
MUHAMMAD ILHAM 110100285
RICKY SHUBHAN ARITONANG110100125
ANNISA NIDYA R. SITEPU 110100211
MONICA TAMPUBOLON 110100289
PENY R.J. DAMANIK 110100173
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
-
LEMBAR PENGESAHAN
PENANGANAN DIET PADA PSORIASIS
Nama/NIM : Muhammad Ilham 110100285
Ricky Shubhan Aritonang 110100125
Annisa Nidya R. Sitepu 110100211
Monica Tampubolon 110100289
Peny R.J. Damanik 110100173
PEMBIMBING
dr. Murniati Manik, MSc, SpKK, SpGK
NIP: 19530719 198003 2 001
Penilaian Makalah :
Struktur :
Penilaian Topik Pembahasan :
Kedalaman Isi :
NILAI TOTAL :
-
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan kemudahan, karunia, dan ridho-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Penatalaksanaan Diet pada Psoriasis.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, maka akan sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Oleh
karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Murniati Manik, MSc, SpKK, SpGK selaku dosen pembimbing,
terima kasih atas segala masukan, arahan, saran, keluangan waktu, dan
bimbingan hingga makalah ini dapat selesai dengan baik.
2. Seluruh Staf Departemen Ilmu Gizi FK USU, yang telah mendukung
penulis dalam penyelesaian tinjauan pustaka ini.
Penulis menyadari bahwa isi dari makalah ini masih memiliki banyak
kekurangan, baik isi materi, penggunaan bahasa, pengetikan, maupun penataan
tulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun agar
kelak kesalahan tersebut dapat diperbaiki dalam tulisan selanjutnya. Harapan
penulis semoga tinjauan pustaka ini bermanfaat bagi banyak pihak.
Medan, 9 April 2015
Penulis
-
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan.................................................................................................i
Kata Pengantar........................................................................................................ii
Daftar Isi...................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................2
2.1 Definisi..................................................................................................2
2.2 Etiologi..................................................................................................2
2.3 Epidemiologi.........................................................................................3
2.4 Faktor Resiko.........................................................................................4
2.5 Patogenesis............................................................................................5
2.6 Patofisiologi...........................................................................................6
2.7 Manifestasi Klinis..................................................................................6
2.8 Diagnosis...............................................................................................10
2.9 Diagnosis Banding.................................................................................14
2.10..............................................................................................................Tatala
ksana......................................................................................................15
2.11...............................................................................................................Komp
likasi......................................................................................................25
2.12..............................................................................................................Progn
osis.........................................................................................................25
BAB 3 KESIMPULAN.............................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................27
-
BAB 1
PENDAHULUAN
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan
residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan
skuama kasar, berlapis-lapis dan transparan; disertai fenomena tetesan lilin,
Auspitz, dan Kobner (Djuanda, 2007).
Kasus psoriasis makin sering dijumpai. Meskipun penyakit ini tidak
menyebabkan kematian, tetapi menyebabkan gangguan kosmetik, terlebih lagi
mengingat bahwa perjalananya menahun dan residif. Insidens pada pria agak lebih
banyak daripada wanita, psoriasis terdapat pada semua usia, tetapi umumnya pada
orang dewasa (Djuanda, 2007).
Tatalaksana pada pasien psoriasis bertujuan untuk mengurangi keparahan
dan perluasan lesi kulit sehingga tidak lagi mengganggu aktivitas pekerjaan,
sosial, dan kehidupan penderita. Pengobatan yang diberikan dapat berupa obat-
obat topikal, fototerapi, ataupun obat-obatan sistemik (Setiawati S, Kadir D,
Dewiyanti W, Sungowati NK, 2013).
Pada kasus-kasus berat, psoriasis dapat menyebabkan penurunan status gizi.
Psoriasis juga sangat erat hubungannya dengan sindroma metabolik dan
metabolisme lemak yang akhirnya akan mengakibatkan perubahan pada profil
lipid. Oleh sebab itu, pasien dengan psoriasis harus menjalani diet sehat dan
seimbang untuk mencegah defisiensi nutrisi dan untuk memperbaiki keadaan
karena sindroma metabolik yang dideritanya (Araujo MLD, Costa PSSF, Burgos
MGPA, 2012).
-
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kulit kronik yang tidak menular
ditandai dengan plak eritematosa yang berbatas tegas dengan skuama berlapis
berwarna keputihan (Simon C, Everitt H, Kendrick T, 2005).
Psoriasis merupakan penyakit kulit yang umum terjadi di Amerika.
Penyakit ini terjadi pada 1-2% populasi di Amerika Serikat. Pada beberapa kasus,
psoriasis erat kaitannya dengan artritis, miopati dan enteropati (Kumar V, Abbas
AK, Fausto N, 2005).
2.2 Etiologi
Penyebab pasti psoriasis masih belum pasti tetapi dicurigai akibat
pengaruh imunitas dari sel-sel keratinosit epidermis. Sel-sel T tampak memainkan
peranan penting dalam patogenesis psoriasis. Riwayat penyakit pada keluarga,
pengaruh beberapa gen termasuk antigen HLA (Cw6, B13, B17) memiliki
hubungan dengan psoriasis. lokus PSORS1 pada kromososm 6p21 diteliti dapat
menunjukkan kecenderungan seseorang akan mengalami psoriasis. Adanya
pemicu dari lingkungan juga dapat mencetuskan respon inflamasi dan terjadi
proliferasi berlebihan dari sel-sel keratinosit (Schalock PC, 2014).
Beberapa faktor resiko yang diduga berhubungan dengan psoriasis, yaitu :
Luka atau trauma (Fenomena Koebner)
Paparan sinar matahari
HIV
Infeksi streptococcus--hemolitikus
-
Obat-obatan seperti beta bloker, klorokuin, litium, ACE inhibitor,
indometacin, terbinafin, interferon alfa.
Stres emosional
Konsumsi alkohol
Merokok
Obesitas
2.3 Epidemiologi
Walaupun psoriasis terjadi secara universal, namun prevalensinya pada
tiap populasi bervariasi di berbagai belahan dunia. Studi epidemiologi dari seluruh
dunia memperkirakan prevalensi psoriasis berkisar antara 0,6 sampai 4,8%.
Prevalensi psoriasis bervariasi berdasarkan wilayah geografis serta etnis. Di
Amerika Serikat, psoriasis terjadi pada kurang lebih 2% populasi dengan
ditemukannya jumlah kasus baru sekitar 150,000 per tahun. Pada sebuah studi,
insidensi tertinggi ditemukan di pulau Faeroe yaitu sebesar 2,8%. Insidensi yang
rendah ditemukan di Asia (0,4%), misalnya Jepang dan pada ras Amerika-Afrika
(1,3%). Sementara itu psoriasis tidak ditemukan pada suku Aborigin Australia dan
Indian yang berasal dari Amerika Selatan.
Terdapatnya variasi prevalensi psoriasis berdasarkan wilayah geografis
dan etnis menunjukkan adanya peranan lingkungan fisik (psoriasis lebih sering
ditemukan pada daerah beriklim dingin), faktor genetik, dan pola tingkah laku
atau paparan lainnya terhadap perkembangan psoriasis.
Pria dan wanita memiliki kemungkinan terkena yang sama besar.
Beberapa pengamatan terakhir menunjukkan bahwa psoriasis sedikit lebih sering
terjadi pada pria dibanding wanita. Sementara pada sebuah studi yang meneliti
pengaruh jenis kelamin dan usia pada prevalensi psoriasis, ditemukan bahwa
pada pasien yang berusia lebih muda (
-
Psoriasis dapat mengenai semua usia dan telah dilaporkan terjadi saat lahir
dan pada orang yang berusia lanjut. Penelitian mengenai onset usia psoriasis
mengalami banyak kesulitan dalam hal keakuratan data karena biasanya
ditentukan berdasarkan ingatan pasien tentang onset terjadinya dan rekam medis
yang dibuat dokter saat kunjungan awal. Beberapa penelitian berskala besar telah
menunjukkan bahwa usia rata-rata penderita psoriasis episode pertama yaitu
berkisar sekitar 15-20 tahun, dengan usia tertinggi kedua pada 55-60 tahun.
Sementara penelitian lainnya misalnya studi prevalensi psoriasis di Spanyol,
Inggris dan Norwegia menunjukkan bahwa terdapat penurunan prevalensi
psoriasis dengan meningkatnya usia (Neimann, Porter, dan Gelfand, 2006).
2.4 Faktor Risiko
Banyak teori tentang patogenesis yang berhubungan dengan psoriasis,
seperti sebagai kelainan autoimun, trauma mekanik, infeksi staphylococcus, stress
psikologis, radiasi sinar ultraviolet, infeksi HIV, peran obat, alkohol, perubahan
hormonal dan profil lipid dalam darah. Semua di atas dikatakan merupakan faktor
pencetus dari psoriasis. Faktor pencetus ini dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu
faktor lokal dan sistemik (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Faktor pencetus lokal terjadinya psoriasis antara lain trauma, paparan sinar
ultraviolet, dan lokasi atau posisi anatomis. Berbagai trauma baik fisik, kimiawi,
bedah, infeksi dan peradangan dapat memperberat atau mencetuskan lesi
psoriasis. Lesi psoriasis yang berbentuk plakat dan terjadi pada tempat trauma
disebut dengan Fenomena Koebner. Fenomena Koebner, adalah paparan sinar
matahari, juga mengakibatkan eksaserbasi melalui reaksi Koebner. Beberapa
penelitian menyatakan terjadinya peningkatan keparahan penyakit seiring dengan
meningkatnya paparan sinar matahari (Gudjonsson dan Elder, 2012).
Sedangkan faktor pencetus sistemik antara lain: infeksi, obat, konsumsi
alkohol, stres, endokrin, dan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Infeksi bakteri, virus, atau jamur dapat mencetuskan terjadinya psoriasis vulgaris.
Bakteri dapat menghasilkan endotoksin yang berfungsi sebagai superantigen yang
-
dikemudian hari akan meningkatkan aktivasi sel limfosit T, makrofag, sel
Langerhans, dan keratinosis. Infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh spesies
streptococcus -hemoliticus juga sering dikaitkan dengan eksaserbasi psoriasis.
Beberapa obat yang dapat mencetuskan perkembangan lesi psoriasis antara lain:
NSAID, litium, ACE inhibitor, gemfribosil, dan -blocker. Mekanisme
eksaserbasi psoriasis akibat obat-obatan lainnya belum diketahui. Konsumsi
alkohol juga dilaporkan dapat mencetuskan psoriasis walaupun mekanismenya
belum diketahui. Hubungan antara stres dan eksaserbasi psoriasis belum terlalu
jelas namun diduga karena mekanisme neuroimunologis. Psoriasis dilaporkan
akan bertambah buruk dengan timbulnya stres yaitu pada 30-40% kasus. Pada saat
periode premenstruasi, lesi psoriasis dikatakan sering kambuh. Angka kejadian
psoriasis meningkat pada waktu pubertas dan menopause dan diduga peranan dari
faktor endokrin. Psoriasis pada penderita HIV lebih berat karena terjadi defisiensi
sistem imun (Gudjonsson dan Thorarinsson, 2003).
2.5 Patogenesis
Sebelumnya psoriasis dianggap sebagai suatu penyakit primer akibat
gangguan keratinosit, namun saat ini psoriasis dikenal sebagai suatu penyakit
yang diperantarai oleh sistem imun. Psoriasis melibatkan interaksi kompleks
diantara berbagai sel pada sistem imun dan kulit, termasuk sel dendritik dermal,
sel T, neutrofil dan keratinosit. Pada psoriasis, sel T CD8+ terdapat di epidermis
sedangkan makrofag, sel T CD4+ dan sel-sel dendritik dermal dapat ditemukan di
dermis superfisial. Sejumlah sitokin dan reseptor permukaan sel terlibat dalam
jalur molekuler yang menyebabkan manifestasi klinis penyakit. Psoriasis
dianggap sebagai suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imun yang ditandai
dengan adanya sel T helper (Th) 1 yang predominan pada lesi kulit dengan
peningkatan kadar IFN-, tumor necrosing factor- (TNF-), IL-2 dan IL-18.
Baru-baru ini jalur Th17 telah dibuktikan memiliki peranan penting dalam
mengatur proses inflamasi kronik. Sebagai pusat jalur ini terdapat sel T CD4+,
yang pengaturannya diatur oleh IL-23 yang disekresikan oleh sel penyaji antigen
(sel dendritik dermal). Sel Th17 CD4+ mensekresikan IL-17 dan IL-22 yang
-
berperan pada peningkatan dan pengaturan proses inflamasi dan proliferasi
epidermal (Blauvelt, 2007).
2.6 Patofisiologi
Gambar 2.1 Patofisiologi psoriasis
2.7 Manifstasi Klinis
Keadaan umum tidak dipengaruhi, kecuali pada psoriasis yang menjadi
eritroderma. Sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Tempat predileksi pada
-
skalp, perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas bagian ekstensor
terutama siku serta lutut, dan daerah lumbosakral (Djuanda, 2007).
Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi (plak)
dengan skuama di atasnya. Eritema sirkumsrip dan merata, tetapi pada stadium
penyembuhan sering eritema yang di tengah menghilang dan hanya terdapat di
pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta
transparan. Besar kelainan bervariasi: lentikular, numular, atau plakat, dapat
berkonfluensi. Jika seluruhnya atau sebagian besar lentikular disebut psoriasis
gutata, biasanya pada anak-anak dan dewasa muda dan terjadi setelah infeksi akut
oleh Streptococcus (Djuanda, 2007).
Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner
(isomorfik). Kedua fenomena yang disebut lebih dahulu dianggap khas,
sedangkan yang terakhir tak khas, hanya kira-kira 47% yang positif dan didapati
pula pada penyakit lain, misalnya liken planus dan veruka plana juvenilis
(Djuanda, 2007).
Fenomena tetesan lilin ialah skuama yang berubah warnanya menjadi
putih pada goresan, seperti lilin yang digores, disebabkan oleh berubahnya indeks
bias. Cara menggores dapat dengan pinggir gelas alas. Pada fenomena Auspitz
tampak serum atau darah berbintik-bintik yang disebabkan oleh papilomatosis.
Cara melakukannya adalah sebagai berikut: skuama yang berlapis-lapis itu
dikerok, misalnya dengan pinggir gelas alas. Setelah skuamanya habis, maka
pengerokan harus dilakukan perlahan-lahan, jika terlalu dalam tidak akan tampak
perdarahan yang berbintik-bintik, melainkan perdarahan yang merata. Trauma
pada kulit penderita psoriasis, misalnya garukan, dapat menyebabkan kelainan
yang sama dengan kelainan psoriasis dan disebut fenomenon Kobner yang timbul
kira-kira setelah 3 minggu (Djuanda, 2007).
Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan pada kuku, yakni sebanyak
kira-kira 50%, yang agak khas ialah pitting nail atau nail pit, berupa lekukan-
lekukan miliar. Kelainan yang tak khas ialah kuku yang keruh, tebal, bagian
distalnya terangkat karena terdapat lapisan tanduk di bawahnya (hiperkeratosis
subungual), dan onikolisis (Djuanda, 2007).
-
Di samping menimbulkan kelainan pada kulit dan kuku, penyakit ini dapat
pula menyebabkan kelainan pada sendi. Umumnya bersifat poliartikular, tempat
predileksinya pada sendi interfalangs distal, terbanyak terdapat pada usia 30-50
tahun. Sendi membesar, kemudia terjadi ankilosis dan lesi kistik subkorteks
(Djuanda, 2007).
Bentuk Klinis
Pada psoriasis terdapat berbagai bentuk klinis.
1. Psoriasis vulgarisBentuk ini adalah yang lazim terdapat karena itu disebut vulgaris,
dinamakan pula tipe plak karena lesi-lesinya umumnya berbentuk plak.
2. Psoriasis gutataDiameter kelainan biasanya tidak melebihi 1cm. Timbulnya mendadak
dan diseminata, umunya setelah infeksi Streptococcus di saluran napas
bagian atas sehabis influenza atau morbili, terutama pada anak dan dewasa
muda. Selain itu dapat juga timbul setelah infeksi yang lain, baik bakterial
maupun viral.
3. Psoriasis inversa (psoriasis fleksural)Psoriasis tersebut mempunyai tempat predileksi pada daerah fleksor
sesuai dengan namanya.
4. Psoriasis eksudativaBentuk ini sangat jarang. Biasanya kelainan psoriasis kering, tetapi
pada bentuk ini kelainanya eksudatif seperti dermatitis akut.
5. Psoriasis seboroik (seboriasis)Gambaran klinis psoriasis seboroik merupakan gabungan antara
psoriasis dan dermatitis seboroik, skuama yang biasanya kering menjadi
agak berminyak dan agak lunak. Selain berlokasi pada tempat yang lazim,
juga terdapat pada tempat seboroik.
6. Psoriasis pustulosaAda 2 pendapat mengenai psoriasis pustulosa, pertama dianggap
sebagai penyakit tersendiri, kedua dianggap sebagai varian psoriasis.
-
Terdapat 2 bentuk psoriasis pustulosa, bentuk lokalisata dan generalisata.
Bentuk lokalisata, contohnya psoriasis pustulosa palmo-plantar (Barber).
Sedangkan bentuk generalisata, contohnya psoriasis pustulosa generalisata
akut (von Zumbusch).a. Psoriasis pustulosa palmoplantar (Barber)
Penyakit ini bersifat kronik dan residif, mengenai telapak tangan
atau telapak kaki atau keduanya. Kelainan kulit berupa kelompok-
kelompok pustul kecil steril dan dalam, di atas kulit yang eritematosa,
disertai rasa gatal.
b. Psoriasis pustulosa generalisata akut (von Zumbusch)Memiliki banyak faktor provokatif, misalnya yang tersering
adalah penghentian kortikosteroid sistemik. Obat lain contohnya,
penisillin dan derivatnya (ampisillin dan amoksisillin) serta antibiotik
beta laktam yang lain, hidroklorokuin, kalium jodida, morfin,
sulfapiridin, sulfonamida, kodein, fenilbutason, dan salisilat. Faktor lain
selain obat ialah hipokalsemia, sinar matahari, alkohol, stres emosional,
serta infeksi bakterial dan virus.Penyakit ini dapat timbul pada penderita yang sedang atau telah
menderita psoriasis. Dapat pula muncul pada penderita yang belum
pernah menderita psoriasis.Gejala awalnya ialah kulit yang nyeri, hiperalgesia disertai gejala
umum berupa demam, malaise, nausea, anoreksia. Plak psoriasis yang
telah ada makin eritematosa. Setelah beberapa jam timbul banyak plak
edematosa dan eritematosa pada kulit yang normal. Dalam beberapa jam
timbul banyak pustul miliar pada plak-plak tersebut. Dalam sehari
pustul-pustul berkonfluensi membentuk lake of pus berukuran
beberapa cm. Kelainan-kelainan semacam itu akan terus menerus dan
dapat menjadi eritroderma.
7. Eritroderma psoriatikEritroderma psoriatik dapat disebabkan oleh pengobatan topikal yang
terlalu kuat atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Biasanya lesi yang
khas untuk psoriasis tidak tampak lagi karena terdapat eritema dan skuama
-
tebal universal. Ada kalanya lesi psoriasis masih tampak samar-samar, yakni
lebih eritematosa dan kulitnya lebih meninggi (Djuanda, 2007).
Gambar 2.2 Gambaran Klinis Psoriasis Vulgaris: (a) Tipe Plak, (b) Tipe
Gutatta, dan (c) Tipe Eritroderma
2.8 Diagnosis
Diagnosis psoriasis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan histopatologi. Apabila ditemukan fenomena bercak lilin, fenomena
Auzpitz dan fenomena Koebner dapat memberikan diagnosis yang tepat
(Gudjonsson dan Elder, 2012).
Diagnosis dari psoriasis biasanya berdasarkan pada tampilan lesi kulit
yang khas. Tidak ada pemeriksaan darah spesial atau prosedur diagnostik. Jarang
sekali biopsi kulit atau kerokan diperlukan untuk mengeksklusikan penyakit lain
dan untuk mengkonfirmasi diagnosis psoriasis (WHO, 2013).
Pemeriksaan penunjang yang paling umum dilakukan untuk
mengkonfirmasi suatu psoriasis ialah biopsi kulit dengan menggunakan
pewarnaan hematoksilin-eosin. Pada umumnya akan tampak penebalan epidermis
atau akantosis serta elongasi rete ridges. Terjadi diferensiasi keratinosit yang
ditandai dengan hilangnya stratum granulosum. Stratum korneum juga mengalami
-
penebalan dan terdapat retensi inti sel pada lapisan ini yang disebut dengan
parakeratosis. Tampak neutrofil dan limfosit yang bermigrasi dari dermis.
Sekumpulan neutrofil dapat membentuk mikroabses Munro. Pada dermis akan
tampak tanda-tanda inflamasi seperti hipervaskularitas dan dilatasi serta edema
papila dermis. Infiltrat dermis terdiri dari neutrofil, makrofag, limfosit dan sel
mast (Natali O, 2013).
Selain biopsi kulit, abnormalitas laboratorium pada penderita psoriasis
biasanya bersifat tidak spesifik dan mungkin tidak ditemukan pada semua pasien.
Pada psoriasis vulgaris yang luas, psoriasis pustular generalisata, dan eritroderma
tampak penurunan serum albumin yang merupakan indikator keseimbangan
nitrogen negatif dengan inflamasi kronis dan hilangnya protein pada kulit.
Peningkatan marker inflamasi sistemik seperti C-reactive protein, -2
makroglobulin, dan erythrocyte sedimentation rate dapat terlihat pada kasus-kasus
yang berat. Pada penderita dengan psoriasis yang luas dapat ditemukan
peningkatan kadar asam urat serum. Selain daripada itu penderita psoriasis juga
menunjukkan gangguan profil lipid (peningkatan high density lipoprotein, rasio
kolesterol-trigliserida serta plasma apolipoprotein-A1) (Natali O, 2013).
Gambaran Histopatologis Psoriasis
Psoriasis memberi gambaran histopatologik yang khas, yakni parakeratosis
dan akantosis. Pada stratum spinosum terdapat kelompok leukosit yang disebut
abses Munro. Selain itu terdapat pula papilomatosis dan vasodilatasi di
subepidermis (Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, 2008)
Menurut Gudjonsson dan Elder (2012) beberapa perubahan patologis pada
psoriasis yang dapat terjadi pada epidermis maupun dermis adalah sebagai
berikut:
1. Hiperkeratosis, adalah penebalan lapisan korneum.
2. Parakeratosis, adalah terdapatnya inti stratum korneum sampai hilangnya
stratum granulosum.
-
3. Akanthosis, adalah penebalan lapisan stratum spinosum dengan elongasi
rete ridge epidermis.
4. Granulosit neutrofilik bermigrasi melewati epidermis membentuk mikro
abses munro di bawah stratum korneum.
5. Peningkatan mitosis pada stratum basalis.
6. Edema pada dermis disertai infiltrasi sel-sel polimorfonuklear, limfosit,
monosit dan neutrofil.
7. Pemanjangan dan pembesaran papila dermis.
Selain penegakan diagnosis dari psoriasis, kita juga harus mengukur
derajat keparahan psoriasis. Salah satu tehnik yang digunakan untuk mengukur
derajat keparahan psoriasis yaitu dengan menggunakan Psoriasis Area and
Severity Index (PASI) (Natali O, 2013).
PASI menggabungkan elemen pada presentasi klinis yang tampak pada
kulit berupa eritema, indurasi dan skuama. Setiap elemen tersebut dinilai secara
terpisah menggunakan skala dengan nilai 0-4 untuk setiap bagian tubuh: kepala
dan leher, batang tubuh, ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Penilaian dari
masing-masing tiga elemen kemudian dijumlahkan, selanjutnya hasil penjumlahan
masing-masing area tubuh dikalikan dengan skor yang didapat dari skala 0-6 yang
merepresentasikan luasnya area permukaan yang terlibat pada bagian tubuh
tersebut. Skor ini kemudian dikalikan dengan faktor koreksi yang terdapat pada
tiap area tubuh (0.1 untuk kepala dan leher, 0.2 untuk ekstremitas atas, 0.3 untuk
batang tubuh, dan 0.4 untuk ekstremitas bawah). Akhirnya skor dari keempat area
tubuh ditambahkan sehingga menghasilkan skor PASI. Kemungkinan nilai
tertinggi PASI adalah 72 tetapi nilai ini secara umum dianggap hampir tidak
mungkin untuk dicapai. Berdasarkan nilai skor PASI, psoriasis dapat dibagi
menjadi psoriasis ringan (skor PASI 16) (Natali O, 2013).
-
Tabel 2.1 Lembar penilaian PASI menurut British Association ofDermatologists
-
Gambar 2.3 Penilaian presentasi klinis yang tampak pada kulit berupa
eritema, indurasi dan skuama
2.9 Diagnosis Banding
Jika gambaran klinisnya khas, tidaklah sukar membuat diagnosis. Kalau
tidak khas, maka harus dibedakan dengan beberapa penyakit lain yang tergolong
dermatosis eritroskuamosa (Djuanda, 2007).Pada diagnnosis banding hendaknya selalu diingat, bahwa pada psoriasis
terdapat tanda-tanda yang khas, yakni skuama kasar, transparan serta berlapis-
lapis, fenomena tetesan lilin, dan fenomena Auspitz (Djuanda, 2007).Pada stadium penyembuhan telah dijelaskan, bahwa eritema dapat terjadi
hanya di pinggir, hingga menyerupai dermatofitosis. Perbedaannya ialah keluhan
pada dermatofitosis gatal sekali dan pada sediaan langsung ditemukan jamur
(Djuanda, 2007).Sifilis stadium II dapat menyerupai psoriasis dan disebut sifilis
psoriasiformis. Penyakit tersebut sekarang jarang terdapat, perbedaannya pada
sifilis terdapat sanggama tersangka (coitus suspectus), pembesaran kelenjar getah
-
bening menyeluruh, dan tes serologik untuk sifilis (T.S.S.) positif (Djuanda,
2007).Dermatitis seboroik berbeda dengan psoriasis karena skuamanya
berminyak dan kekuning-kuningan dan bertempat predileksi pada tempat yang
seboroik (Djuanda, 2007).
2.10 Tatalaksana
Tujuan tatalaksana pada psoriasis adalah untuk mengurangi keparahan dan
perluasan lesi kulit sehingga tidak lagi mengganggu aktivitas pekerjaan, sosial,
dan kehidupan penderita, termasuk mengurangi simptom psoriasis (Setiawati S,
Kadir D, Dewiyanti W, Sungowati NK, 2013).
Tatalaksana psoriasis secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
obat-obatan topikal, fototerapi, dan obat-obatan sistemik; untuk menghasilkan
terapi yang baik kita perlu memahami mekanisme kerja, toksisitas, dan efek
samping dari masing-masing terapi (Setiawati S, Kadir D, Dewiyanti W,
Sungowati NK, 2013).
Tatalaksana psoriasis tergantung pada tingkat keluasan lesi, keparahan lesi,
lokasi lesi psoriasis, dan tipe psoriasis. Pada psoriasis ringan dengan PASI
-
2. UVB merupakan pilihan terapi yang aman, efektif, dan terjangkau. Terapi
dengan narrowband (NB) UVB lebih efektif daripada broadband UVB.
Untuk mendapatkan perbaikan yang signifikan, diperlukan 20-25 terapi NB
UVB, 2-3 kali seminggu. Bentuk lain paparan sinar UV, termasuk paparan
sinar matahari, juga dapat memberikan perbaikan pada beberapa pasien
tertentu.3. Terapi PUVA sangat efektif pada kebanyakan pasien, dengan potensi remisi
untuk waktu yang lama. Akan tetapi, terapi PUVA jangka panjang pada ras
Kaukasia dikaitkan dengan peningkatan resiko menderita squamous cell
carcinoma bahkan melanoma maligna. 4. Metroteksat adalah satu dari obat anti psoriasis yang efektif untuk psoriasis
tipe plak kronik sedang sampai berat. Metroteksat menghambat aktifitas
asam di hidrolik reduktase dan timidilat sintetase yang berguna untuk
sintesa DNA. Metroteksat juga dapat menghambat proliferasi dan siklus sel
epidermis, menekan kemotaksis netrofil. Meskipun efektif pada kebanyakan
pasien, tetapi metroteksat memiliki resiko untuk menyebabkan
hepatotoksisitas dan dikontraindikasikan pada ibu hamil, pasien dengan
gagal ginjal, hepatitis atau sirosis hati, pengguna alkohol, dan pasien dengan
leukimia atau trombositopenia. Metroteksat merupakan agen yang bersifat
immunosupressif dan teratogen.5. CyA, terapi immunosuppressif lain, bekerja secara cepat dan efektif pada
kebanyakan pasien. Akan tetapi, penggunaan CyA jangka panjang dapat
menyebabkan gangguan fungsi ginjal, hipertensi, limfoma, dan berpotensial
untuk meningkatkan malignansi kutaneus. Oleh karena itu, pengguna CyA
paling baik diberikan untuk jangka waktu 3-4 bulan.6. Asitresin, merupakan agen sistemik untuk terapi psoriasis yang tidak
bersifat immunosupressif. Akan tetapi, karena bersifat teratogen, asitresin
tidak boleh diberikan pada ibu hamil, menyusui atau pada perempuan yang
merencanakan kehamilan dalam 3 tahun setelah penghentian penggunaan
asitresin. Asitresin sering dikombinasikan dengan terapi UVB atau PUVA.7. Agen biologis, merupakan protein yang didapat dari jaringan hewan atau
dihasilkan dari rekombinan DNA dan proses aktivitas farmakologik.
-
Gambar 2.4 Bagan tatalaksana pada psoriasis
Selain pilihan terapi diatas, pasien dengan psoriasis juga harus menjalani
diet yang sehat dan seimbang untuk mencegah defisiensi nutrisi. Pada kasus-kasus
berat, psoriasis dapat menyebabkan penurunan status gizi. Beberapa ahli
mengatakan bahwa psoriasis merupakan parameter adanya gangguan metabolisme
lemak dan berhubungan dengan penyakit obstruksi vaskuler. Psoriasis sangat
berhubungan dengan sindroma metabolik dan metabolisme lemak yang
mengakibatkan adanya perubahan pada profil lipid, misalnya Low Density
Lipoprotein (LDL), High Density Lipoprotein (HDL), dan trigliserida. Pada
psoriasis, ditemukan adanya peningkatan total kolesterol, trigliserida, VLDL, dan
LDL yang bermakna dan penurunan HDL. Oleh karena itu, lamanya berpuasa,
diet rendah kalori dan diet vegetarian dianjurkan pada pasien psoriasis karena
dapat memberikan perbaikan simptom akibat adanya perubahan metabolisme
polyunsaturated fatty acids (PUFAs) dan pengaruh profil eicosanoid, yang
menekan proses inflamasi yang terjadi pada psoriasis (Araujo MLD, Costa PSSF,
Burgos MGPA, 2012). Beberapa terapi nutrisi yang dianjurkan, diantaranya:
-
1. Diet Rendah Kalori/Diet Energi Rendah (DER)
Beberapa penelitian melaporkan bahwa simptom-simptom pada
penyakit inflamasi dapat dikurangi dengan diet rendah kalori atau selama
periode puasa, karena dapat menurunkan intake asam araknoid (AA), yang
mengakibatkan penurunan produksi eicosanoid inflamasi. Hal ini
disebabkan selama periode puasa, terdapat pengurangan aktivasi sel TCD4
dan peningkatan jumlah dan/atau fungsi sitokin dan interleukin anti-
inflamasi. Selain itu, pembatasan kalori juga dapat mengakibatkan
penurunan stress oksidatif.
Diet rendah kalori juga dianjurkan pada pasien dengan obesitas,
yaitu Diet Rendah Kalori dengan pembatasan kalori 500-1000kkal per
hari, bergantung pada kebutuhan energi pasien, yang dapat dihitung
dengan berbagai cara, diantaranya dengan menggunakan rumus Harris-
Benedict. Adapun diet dan gaya hidup yang dianjurkan bersumber dari
American Heart Association Commitee Nutrition (AHA) (2006).
Tabel 2.2 Rumus Harris-Benedict dalam penentuan basal metabolicrate
Perempuan 655 + (9,6 x BB dalam kg ) +(1,8 x TB dalam cm) - (4.7 x
Usia dalam tahun)Laki-Laki 66 + (13,7 x BB dalam kg) + (5 x TB dalam cm) - (6.8 x
Usia dalam tahun)
Tabel 2.3 Diet Energi Rendah
Diet Energi Rendah (DER)Asupan I II
Energi (kkal) 1200 1500Protein (g) 63 80Lemak (g) 25 35
Karbohidrat (g) 190 233Serat (g) 30,2 35
-
Kalsium (mg) 840 901Besi (mg) 22,4 24,7
Vitamin A (RE) 8131 226Tiamin (mg) 0,9 1,1
Vitamin C (mg) 260 270
Tabel 2.4 Rekomendasi diet dan gaya hidup untuk mengurangi resikopenyakit kardiovaskular (AHA, 2006)
Balance calorie intake and physical activity to achieve or maintain a healthy body
weight.Consume a diet rich in vegetables and fruits.
Choose whole-grain, high-fiber foodsConsume fish, especially oily fish, at least twice a week.
Limit your intake of saturated fat to 7% of energy, trans fat to 1% of energy, and
cholesterol to 300 mg per day by choosing lean meats and vegetable alternatives;
selecting fat-free (skim), 1%-fat, and low-fat dairy products; and minimizing
intake of partially hydrogenated fats.Minimize your intake of beverages and foods with added sugars.
Choose and prepare foods with little or no salt.If you consume alcohol, do so in moderation.
When you eat food that is prepared outside of the home, follow the AHA Diet and
Lifestyle Recommendations.Tabel 2.5 Implementasi rekomendasi diet dan gaya hidup AHA 2006
Lifestyle Know your caloric needs to achieve and maintain a
healthy weight. Know the calorie content of the foods and beverages you consume. Track your weight, physical activity, and calorie intake. Prepare and eat smaller portions. Track and, when possible, decrease screen time (eg,
watching television, surfing the Web, playing computer
games). Incorporate physical movement into habitual activities. Do not smoke or use tobacco products. If you consume alcohol, do so in moderation (equivalent
-
of no more than 1 drink in women or 2 drinks in men per
day).Food choices and
preparation
Use the nutrition facts panel and ingredients list when
choosingfoods to buy. Eat fresh, frozen, and canned vegetables and fruits
without highcaloriesauces and added salt and sugars. Replace high-calorie foods with fruits and vegetables. Increase fiber intake by eating beans (legumes), whole-
grain products, fruits, and vegetables. Use liquid vegetable oils in place of solid fats. Limit beverages and foods high in added sugars.
Common formsof added sugars are sucrose, glucose,
fructose, maltose, dextrose,corn syrups, concentrated
fruit juice, and honey. Choose foods made with whole grains. Common forms
of wholegrains are whole wheat, oats/oatmeal, rye,
barley, corn, popcorn,brown rice, wild rice, buckwheat,
triticale, bulgur (crackedwheat), millet, quinoa, and
sorghum. Cut back on pastries and high-calorie bakery products
(eg,muffins, doughnuts). Select milk and dairy products that are either fat free or
low fat. Reduce salt intake bycomparing the sodium content of
similar products (eg, differentbrands of tomato sauce)
and choosing products with less salt;choosing versions of
processed foods, including cereals andbaked goods, that
are reduced in salt; andlimiting condiments (eg, soy
sauce, ketchup). Use lean cuts of meat and remove skin from poultry
beforeeating. Limit processed meats that are high in saturated fat
andsodium.
-
Grill, bake, or broil fish, meat, and poultry. Incorporate vegetable-based meat substitutes into
favoriterecipes. Encourage the consumption of whole vegetables and
fruits in place of juices.
2. Polyunsaturated Fatty Acids (PUFAs)
Lipid adalah makronutrien yang memiliki fungsi energi, struktural
dan hormonal pada organisme. Asam lemak merupakan asam
monokarboksilat dengan rantai hidrokarbon yang memiliki ukuran yang
bervariasi dan berikatan ganda antar atom-atom karbon. Zat-zat ini
diklasifikasikan sebagai monounsaturated dan polyunsaturated, tergantung
pada jumlah ikatan ganda yang dikandung. Asam lemak adalah senyawa
yang tidak dapat terpisahkan dari hampir semua lipid.
Asam linoleat, yang merupakan asam lemak esensial, termasuk ke
dalam golongan omega-6 dan banyak ditemukan pada biji berminyak;
asam ini dapat dikonversi menjadi asam araknoid (AA), yang berasal dari
daging dan telur. Sementara asam eicosapentaenoik (EPA) dan asam
dokosaheksaenoik (DHA) yang termasuk dalam asam lemak omega-3
terdapat dalam makanan dan terutama terkandung dalam ikan air dingin,
seperti mackerel, sarden, salmon, herring, dll.
Selain berfungsi sebagai membran posfolipid, PUFA juga
diperlukan dalam pembentukan eicosanoid, yang merupakan regulator
metabolisme. Asam araknoid (AA) merupakan prekursor prostaglandin,
leukotrien, dan senyawa lain yang berperan dalam reaksi inflamasi dan
regulasi sistem imun, sedangkan derifat EPA berperan sebagai anti-
inflamasi. AA dan metabolit proinflamasinya diketahui berhubungan
terhadap timbulnya lesi psoriasis dan penyakit inflamasi dan autoimun
lainnya. Oleh karena itu, salah satu pilihan terapi psoriasis adalah dengan
-
penggantian AA dengan asam lemak alternatif lain, terutama EPA, yang di
metabolisme melalui jalur enzimatik yang sama dengan AA.
Minyak ikan (omega-3), dapat mengubah komposisi serum dan
lipid pada epidermal dan membran sel darah, yang menjadikannya pilihan
terapi pada psoriasis. Dengan demikian, ketika asam lemak omega-3
dimetabolisme oleh enzim siklooksigenase dan lipoksigenase
menggantikan AA pada membran sel, senyawa ini dapat berperan untuk
mengurangi proses inflamasi yang terjadi.
3. Gluten
Riwayat alergi terhadap gluten (protein yang terdapat pada
gandum, oat, dan gandum hitam) sering ditemukan pada pasien dengan
celiac disease, yang dapat menyebabkan malabsorbsi dan atrofi vili-vili
usus, dan dapat dapat diterapi dengan diet bebas gluten. Celiac disease dan
psoriasis sama-sama berhubungan dengan sitokin T helper 1 (Th1) yang
berperan dalam proses patogenesis penyakit tersebut. Diet bebas gluten
dapat memperbaiki lesi pada kulit meskipun bukan pada pasien dengan
celiac disease tetapi juga pada pasien yang memiliki antibodi antigliadin
IgA dan IgG, dimana antibodi antigliadin tersebut berperan penting dalam
mendiagnosis celiac disease. Demikian juga, banyak penelitian
menyatakan bahwa diet bebas gluten dapat memberi hasil baik pada artritis
rematik, yang juga merupakan penyakit inflamasi kronis, sama halnya
dengan psoriasis.
4. Antioksidan
Kulit merupakan salah satu bagian yang sering terpapar dengan
oksidan, yang dapat menyebabkan pembentukan oksigen reaktif yang
berbahaya. Stress oksidatif dan peningkatan pembentukan radikal bebas
berhubungan erat dengan terjadinya inflamasi pada kulit dan merupakan
salah satu faktor yang berperan dalam patogenesis psoriasis. Peningkatan
konsumsi sayuran dan buah-buahan dapat memberikan efek yang baik
-
karena kaya akan antioksidan, seperti karotenoid, flavonoid, dan vitamin
C, karena status antioksidan yang cukup dalam tubuh merupakan hal yang
penting untuk mencegah ketidakseimbangan antara stress oksidatif dan
pertahanan antioksidan.
5. Selenium
Selenium merupakan salah satu mikronutrien esensial yang
mengandung senyawa pengatur sistem imun dan anti proliferasi, yang
berpengaruh terhadap respon imun baik melalui perubahan pengeluaran
sitokin maupun reseptor lain atau dengan meningkatkan kekebalan sel
tersebut terhadap stress oksidatif. Terlebih lagi, banyak data yang
menyatakan bahwa pasien dengan penyakit inflamasi kulit, kanker kulit,
melanoma maligna, dan limfoma sel T kutaneus memiliki kadar selenium
yang rendah. Kadar selenium yang rendah pada pasien psoriasis juga dapat
menjadi salah satu faktor resiko terjadinya perkembangan penyakit dan
berkaitan juga dengan tingkat keparahan penyakit tersebut.
6. Vitamin D
Vitamin D merupakan zat pro-hormon yang dihasilkan dari
perombakan 7-dehidrokolesterol melalui paparan UVB pada sinar
matahari terhadap kulit. Selain berperan penting dalam menjaga
homeostasis kalsium dan metabolisme tulang, vitamin D juga berperan
penting dalam proliferasi sel, diferensiasi, apoptosis, angiogenesis, dan
berperan dalam pengurangan resiko terjadinya penyakit inflamasi kronis,
seperti penyakit autoimun, penyakit-penyakit infeksi, penyakit
kardiovaskular, dan beberapa penyakit kanker (kanker payudara, colon-
rektal, dan prostat). Vitamin D dapat memberikan efek yang baik pada
penyakit infalamasi yang diatur oleh limfosit Th1, seperti diabetes,
psoriasis, Chrons disease, dan penyakit multiple sclerosis.
7. Vitamin B12
-
Penggunaan metrotreksat sebagai terapi psoriasis mempunyai efek
samping yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin B12 dan asam folat,
yang berakibat pada terjadinya anemia megaloblastik. Untuk mencegah hal
tersebut, maka pasien psoriasis dianjurkan juga untuk menambah asupan
vitamin B12. Beberapa literatur menyatakan efektifitas penggunaan
vitamin vitamin B12 topikal pada pasien psoriasis dapat ditingkatkan
dengan pemberian vitamin B12 secara intramuskular dan sistemik.
8. Zink
Defisiensi zink pada seseorang dapat menyebabkan terjadinya plak
psoriatik. Oleh karena itu asupan zink yang cukup juga diperlukan oleh
pasien dengan psoriasis.
2.11 Komplikasi
Psoriasis berkaitan dengan beberapa sindrom metabolik. Komplikasi
masalah kardiovaskuler tercatat meningkat pada pasien psoriasis berat dan pasien
psoriasis muda. Secara biomolekular, sindrom metabolik ditandai dengan
meningkatnya aktivitas helper T cells type I (Th1). Keadaan ini mengarahkan
pemikiran kepada penetapan hipotesis bahwa psoriasis berhubungan dengan
sindrom tersebut melalui kesamaan jalur inflamasi. Tumor necrosis factor (TNF)-
merupakan salah satu contoh yang berperan pada psoriasis dan sindrom
metabolik, peningkatan kadar mediator ini dalam sirkulasi, reseptor TNF- yang
terlarut maupun produksi TNF- in vitro dijumpai pada pasien dengan komponen
sindrom metabolik, misalnya obesitas dan resistensi insulin. Belum ada bukti yang
pasti menjelaskan ganguan mana yang muncul terlebih dahulu, beberapa tulisan
menerangkan psoriasis terjadi awal diikuti dengan sindrom metabolik (Jacoeb
TNA, 2012).
2.12 Prognosis
Walaupun secara umum psoriasis masih jinak, tetapi penyakit ini
merupakan penyakit panjang dengan kemungkinan remisi dan eksaserbasi.
-
Penyakit ini dapat menimbulkan keadaan lain seperti artritis pada sekitar 10%
kasus. Selain itu pada sekitar 17-55% pasien mengalami remisi dengan durasi
yang berbeda-beda.
Psoriasis ringan biasanya tidak meningkatkan resiko kematian. Akan
tetapi, pada pria dengan psoriasis berat umumnya meninggal 3,5 tahun lebih cepat
dan wanita dengan psoriasis berat umumnya meninggal 4 tahun lebih cepat
(Gelfand JM, et al, 2007).
BAB 3
KESIMPULAN
1. Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kulit kronik, ditandai dengan
adalanya plak eritematosa yang berbatas tegas dengan skuama berlapis
berwarna keputihan, yang diperantarai oleh sistem imun.
2. Tidak ada pemeriksaan darah spesial atau prosedur diagnostik khusus untuk
psoriasis. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan tampilan lesi kulit yang
khas. Pemeriksaan penunjang yang paling umum adalah biopsi kulit
menggunakan pewarnaan hematoksilin-eosin.
3. Psoriasis erat kaitannya dengan sindroma metabolik dan metabolisme lemak.
Penyakit ini juga dapat menyebabkan penurunan status gizi. Oleh sebab itu,
pasien psoriasis harus diberikan diet gizi untuk mencegah defisiensi nutrisi
dan untuk perbaikan sindroma metabolik yang dideritanya.
-
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S., 2006. Penuntun Diet. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
American Heart Association Nutrition Committee, 2006. Diet and lifestyle
recommendations revision 2006: a scientific statement from the American
Heart Association Nutrition Committee. Circulation 114: 82-96.
Araujo M.L.D., Costa P.S.S.F., Burgos M.G.P.A., 2012. Food, Nutrition and Diet
Therapy in Psoriasis. In: Dr. Jennifer Soung ed. Psoriasis. Available from:
http://www.intechopen.com/books/psoriasis/food-nutrition-and-diet-
therapy-inpsoriasis [Accesed 7 April 2015].
Blauvelt A., 2007. New concept in the pathogenesis and treatment of psoriasis:
key roles for IL-23, IL-17A and TGF-1. Expert Rev. Dermatol 2(1): 69-
78.
Djuanda A., 2007. Dermatosis Eritroskuamosa. Dalam: Djuanda A., Hamzah M.,
Aisah S., ed. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Gelfand J.M., et al, 2007. The risk of mortality in patients with psoriasis: results
from a population-based study. Philadelphia : Arch Dermatol. Available
from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18086997 [Accesed 7 April
2015].
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18086997
-
Gudjonsson J., Elder J., 2012. Psoriasis Vulgaris. In: Wolff K., Goldsmith L., Katz
S., Gilchrest B., Paller A., Leffell D., ed. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill: 169-193.
Gudjonsson J.E., Thorarinsson A.M., 2003. Streptococcal Throat Infections and
Excerbation of Chronic Plaque Psoriasis: a prospective study. Br. J of
Derm 149: 530-534.
Jacoeb T.N.A, 2012. Psoriasis dan Keterlibatan Organ Lain. Jakarta : Media
Dermato-Venereologica Indonesiana. Available from :
http://www.perdoski.org/index.php/public/information/mdvi-detail-
editorial/20 [Accesed 7 April 2015].
Kumar V., Abbas A.K., Fausto N., 2005. Robbins And Cotran Pathologic Basis Of
Disease. Philadelphia : Elsevier.
Menter A., et al, 2008. Guidelines of care for the management of psoriasis and
psoriatic arthritis. JAM Acad Dermatol 58(2): 826-850.
Natali O., 2013. Hubungan antara Kadar Prolaktin Serum Penderita Psoriasis.
Vulgaris dengan Skor Psoriasis Area and Severity Index. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Neimann A., Porter S., Gelfand J., 2006. The epidemiology of psoriasis. Expert
Rev. Dermatol 1(1): 63-75.
Oakley A., 2014. PASI Score. New Zealand: DermNet NZ. Available from:
http://dermnetnz.org/scaly/pasi.html [Accessed 8 April 2015].
Schalock P.C., 2014. The Merck Manual Diagnosis & Therapy. US : IDS
Publishing Company.
Setiawati S., Kadir D., Dewiyanti W., Sungowati N.K., 2013. Psoriasis Vulgaris
Treated with Topical Corticosteroids. IJDV 2(2): 66-72.
Simon C., Everitt H., Kendrick T., 2005. Oxford Handbook of General Practice.
UK : Oxford University Press.
WHO, 2013. Psoriasis Report by the Secretariat.
http://www.perdoski.org/index.php/public/information/mdvi-detail-editorial/20http://www.perdoski.org/index.php/public/information/mdvi-detail-editorial/20