penanganan diet pada psoriasisdocshare01.docshare.tips/files/28217/282171541.pdf · bagian atas...

Download PENANGANAN DIET PADA PSORIASISdocshare01.docshare.tips/files/28217/282171541.pdf · bagian atas sehabis influenza atau morbili, terutama pada anak dan dewasa muda. Selain itu dapat

If you can't read please download the document

Upload: vuongkien

Post on 06-Feb-2018

225 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • PENANGANAN DIET PADA PSORIASIS

    Oleh :

    MUHAMMAD ILHAM 110100285

    RICKY SHUBHAN ARITONANG110100125

    ANNISA NIDYA R. SITEPU 110100211

    MONICA TAMPUBOLON 110100289

    PENY R.J. DAMANIK 110100173

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

    MEDAN

    2015

  • LEMBAR PENGESAHAN

    PENANGANAN DIET PADA PSORIASIS

    Nama/NIM : Muhammad Ilham 110100285

    Ricky Shubhan Aritonang 110100125

    Annisa Nidya R. Sitepu 110100211

    Monica Tampubolon 110100289

    Peny R.J. Damanik 110100173

    PEMBIMBING

    dr. Murniati Manik, MSc, SpKK, SpGK

    NIP: 19530719 198003 2 001

    Penilaian Makalah :

    Struktur :

    Penilaian Topik Pembahasan :

    Kedalaman Isi :

    NILAI TOTAL :

  • KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang

    telah memberikan kemudahan, karunia, dan ridho-Nya kami dapat menyelesaikan

    makalah yang berjudul Penatalaksanaan Diet pada Psoriasis.

    Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai

    pihak, maka akan sangat sulit bagi penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Oleh

    karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

    1. dr. Murniati Manik, MSc, SpKK, SpGK selaku dosen pembimbing,

    terima kasih atas segala masukan, arahan, saran, keluangan waktu, dan

    bimbingan hingga makalah ini dapat selesai dengan baik.

    2. Seluruh Staf Departemen Ilmu Gizi FK USU, yang telah mendukung

    penulis dalam penyelesaian tinjauan pustaka ini.

    Penulis menyadari bahwa isi dari makalah ini masih memiliki banyak

    kekurangan, baik isi materi, penggunaan bahasa, pengetikan, maupun penataan

    tulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun agar

    kelak kesalahan tersebut dapat diperbaiki dalam tulisan selanjutnya. Harapan

    penulis semoga tinjauan pustaka ini bermanfaat bagi banyak pihak.

    Medan, 9 April 2015

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    Lembar Pengesahan.................................................................................................i

    Kata Pengantar........................................................................................................ii

    Daftar Isi...................................................................................................................iii

    BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................1

    BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................2

    2.1 Definisi..................................................................................................2

    2.2 Etiologi..................................................................................................2

    2.3 Epidemiologi.........................................................................................3

    2.4 Faktor Resiko.........................................................................................4

    2.5 Patogenesis............................................................................................5

    2.6 Patofisiologi...........................................................................................6

    2.7 Manifestasi Klinis..................................................................................6

    2.8 Diagnosis...............................................................................................10

    2.9 Diagnosis Banding.................................................................................14

    2.10..............................................................................................................Tatala

    ksana......................................................................................................15

    2.11...............................................................................................................Komp

    likasi......................................................................................................25

    2.12..............................................................................................................Progn

    osis.........................................................................................................25

    BAB 3 KESIMPULAN.............................................................................................26

    DAFTAR PUSTAKA................................................................................................27

  • BAB 1

    PENDAHULUAN

    Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan

    residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan

    skuama kasar, berlapis-lapis dan transparan; disertai fenomena tetesan lilin,

    Auspitz, dan Kobner (Djuanda, 2007).

    Kasus psoriasis makin sering dijumpai. Meskipun penyakit ini tidak

    menyebabkan kematian, tetapi menyebabkan gangguan kosmetik, terlebih lagi

    mengingat bahwa perjalananya menahun dan residif. Insidens pada pria agak lebih

    banyak daripada wanita, psoriasis terdapat pada semua usia, tetapi umumnya pada

    orang dewasa (Djuanda, 2007).

    Tatalaksana pada pasien psoriasis bertujuan untuk mengurangi keparahan

    dan perluasan lesi kulit sehingga tidak lagi mengganggu aktivitas pekerjaan,

    sosial, dan kehidupan penderita. Pengobatan yang diberikan dapat berupa obat-

    obat topikal, fototerapi, ataupun obat-obatan sistemik (Setiawati S, Kadir D,

    Dewiyanti W, Sungowati NK, 2013).

    Pada kasus-kasus berat, psoriasis dapat menyebabkan penurunan status gizi.

    Psoriasis juga sangat erat hubungannya dengan sindroma metabolik dan

    metabolisme lemak yang akhirnya akan mengakibatkan perubahan pada profil

    lipid. Oleh sebab itu, pasien dengan psoriasis harus menjalani diet sehat dan

    seimbang untuk mencegah defisiensi nutrisi dan untuk memperbaiki keadaan

    karena sindroma metabolik yang dideritanya (Araujo MLD, Costa PSSF, Burgos

    MGPA, 2012).

  • BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Definisi

    Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kulit kronik yang tidak menular

    ditandai dengan plak eritematosa yang berbatas tegas dengan skuama berlapis

    berwarna keputihan (Simon C, Everitt H, Kendrick T, 2005).

    Psoriasis merupakan penyakit kulit yang umum terjadi di Amerika.

    Penyakit ini terjadi pada 1-2% populasi di Amerika Serikat. Pada beberapa kasus,

    psoriasis erat kaitannya dengan artritis, miopati dan enteropati (Kumar V, Abbas

    AK, Fausto N, 2005).

    2.2 Etiologi

    Penyebab pasti psoriasis masih belum pasti tetapi dicurigai akibat

    pengaruh imunitas dari sel-sel keratinosit epidermis. Sel-sel T tampak memainkan

    peranan penting dalam patogenesis psoriasis. Riwayat penyakit pada keluarga,

    pengaruh beberapa gen termasuk antigen HLA (Cw6, B13, B17) memiliki

    hubungan dengan psoriasis. lokus PSORS1 pada kromososm 6p21 diteliti dapat

    menunjukkan kecenderungan seseorang akan mengalami psoriasis. Adanya

    pemicu dari lingkungan juga dapat mencetuskan respon inflamasi dan terjadi

    proliferasi berlebihan dari sel-sel keratinosit (Schalock PC, 2014).

    Beberapa faktor resiko yang diduga berhubungan dengan psoriasis, yaitu :

    Luka atau trauma (Fenomena Koebner)

    Paparan sinar matahari

    HIV

    Infeksi streptococcus--hemolitikus

  • Obat-obatan seperti beta bloker, klorokuin, litium, ACE inhibitor,

    indometacin, terbinafin, interferon alfa.

    Stres emosional

    Konsumsi alkohol

    Merokok

    Obesitas

    2.3 Epidemiologi

    Walaupun psoriasis terjadi secara universal, namun prevalensinya pada

    tiap populasi bervariasi di berbagai belahan dunia. Studi epidemiologi dari seluruh

    dunia memperkirakan prevalensi psoriasis berkisar antara 0,6 sampai 4,8%.

    Prevalensi psoriasis bervariasi berdasarkan wilayah geografis serta etnis. Di

    Amerika Serikat, psoriasis terjadi pada kurang lebih 2% populasi dengan

    ditemukannya jumlah kasus baru sekitar 150,000 per tahun. Pada sebuah studi,

    insidensi tertinggi ditemukan di pulau Faeroe yaitu sebesar 2,8%. Insidensi yang

    rendah ditemukan di Asia (0,4%), misalnya Jepang dan pada ras Amerika-Afrika

    (1,3%). Sementara itu psoriasis tidak ditemukan pada suku Aborigin Australia dan

    Indian yang berasal dari Amerika Selatan.

    Terdapatnya variasi prevalensi psoriasis berdasarkan wilayah geografis

    dan etnis menunjukkan adanya peranan lingkungan fisik (psoriasis lebih sering

    ditemukan pada daerah beriklim dingin), faktor genetik, dan pola tingkah laku

    atau paparan lainnya terhadap perkembangan psoriasis.

    Pria dan wanita memiliki kemungkinan terkena yang sama besar.

    Beberapa pengamatan terakhir menunjukkan bahwa psoriasis sedikit lebih sering

    terjadi pada pria dibanding wanita. Sementara pada sebuah studi yang meneliti

    pengaruh jenis kelamin dan usia pada prevalensi psoriasis, ditemukan bahwa

    pada pasien yang berusia lebih muda (

  • Psoriasis dapat mengenai semua usia dan telah dilaporkan terjadi saat lahir

    dan pada orang yang berusia lanjut. Penelitian mengenai onset usia psoriasis

    mengalami banyak kesulitan dalam hal keakuratan data karena biasanya

    ditentukan berdasarkan ingatan pasien tentang onset terjadinya dan rekam medis

    yang dibuat dokter saat kunjungan awal. Beberapa penelitian berskala besar telah

    menunjukkan bahwa usia rata-rata penderita psoriasis episode pertama yaitu

    berkisar sekitar 15-20 tahun, dengan usia tertinggi kedua pada 55-60 tahun.

    Sementara penelitian lainnya misalnya studi prevalensi psoriasis di Spanyol,

    Inggris dan Norwegia menunjukkan bahwa terdapat penurunan prevalensi

    psoriasis dengan meningkatnya usia (Neimann, Porter, dan Gelfand, 2006).

    2.4 Faktor Risiko

    Banyak teori tentang patogenesis yang berhubungan dengan psoriasis,

    seperti sebagai kelainan autoimun, trauma mekanik, infeksi staphylococcus, stress

    psikologis, radiasi sinar ultraviolet, infeksi HIV, peran obat, alkohol, perubahan

    hormonal dan profil lipid dalam darah. Semua di atas dikatakan merupakan faktor

    pencetus dari psoriasis. Faktor pencetus ini dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu

    faktor lokal dan sistemik (Gudjonsson dan Elder, 2012).

    Faktor pencetus lokal terjadinya psoriasis antara lain trauma, paparan sinar

    ultraviolet, dan lokasi atau posisi anatomis. Berbagai trauma baik fisik, kimiawi,

    bedah, infeksi dan peradangan dapat memperberat atau mencetuskan lesi

    psoriasis. Lesi psoriasis yang berbentuk plakat dan terjadi pada tempat trauma

    disebut dengan Fenomena Koebner. Fenomena Koebner, adalah paparan sinar

    matahari, juga mengakibatkan eksaserbasi melalui reaksi Koebner. Beberapa

    penelitian menyatakan terjadinya peningkatan keparahan penyakit seiring dengan

    meningkatnya paparan sinar matahari (Gudjonsson dan Elder, 2012).

    Sedangkan faktor pencetus sistemik antara lain: infeksi, obat, konsumsi

    alkohol, stres, endokrin, dan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV).

    Infeksi bakteri, virus, atau jamur dapat mencetuskan terjadinya psoriasis vulgaris.

    Bakteri dapat menghasilkan endotoksin yang berfungsi sebagai superantigen yang

  • dikemudian hari akan meningkatkan aktivasi sel limfosit T, makrofag, sel

    Langerhans, dan keratinosis. Infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh spesies

    streptococcus -hemoliticus juga sering dikaitkan dengan eksaserbasi psoriasis.

    Beberapa obat yang dapat mencetuskan perkembangan lesi psoriasis antara lain:

    NSAID, litium, ACE inhibitor, gemfribosil, dan -blocker. Mekanisme

    eksaserbasi psoriasis akibat obat-obatan lainnya belum diketahui. Konsumsi

    alkohol juga dilaporkan dapat mencetuskan psoriasis walaupun mekanismenya

    belum diketahui. Hubungan antara stres dan eksaserbasi psoriasis belum terlalu

    jelas namun diduga karena mekanisme neuroimunologis. Psoriasis dilaporkan

    akan bertambah buruk dengan timbulnya stres yaitu pada 30-40% kasus. Pada saat

    periode premenstruasi, lesi psoriasis dikatakan sering kambuh. Angka kejadian

    psoriasis meningkat pada waktu pubertas dan menopause dan diduga peranan dari

    faktor endokrin. Psoriasis pada penderita HIV lebih berat karena terjadi defisiensi

    sistem imun (Gudjonsson dan Thorarinsson, 2003).

    2.5 Patogenesis

    Sebelumnya psoriasis dianggap sebagai suatu penyakit primer akibat

    gangguan keratinosit, namun saat ini psoriasis dikenal sebagai suatu penyakit

    yang diperantarai oleh sistem imun. Psoriasis melibatkan interaksi kompleks

    diantara berbagai sel pada sistem imun dan kulit, termasuk sel dendritik dermal,

    sel T, neutrofil dan keratinosit. Pada psoriasis, sel T CD8+ terdapat di epidermis

    sedangkan makrofag, sel T CD4+ dan sel-sel dendritik dermal dapat ditemukan di

    dermis superfisial. Sejumlah sitokin dan reseptor permukaan sel terlibat dalam

    jalur molekuler yang menyebabkan manifestasi klinis penyakit. Psoriasis

    dianggap sebagai suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imun yang ditandai

    dengan adanya sel T helper (Th) 1 yang predominan pada lesi kulit dengan

    peningkatan kadar IFN-, tumor necrosing factor- (TNF-), IL-2 dan IL-18.

    Baru-baru ini jalur Th17 telah dibuktikan memiliki peranan penting dalam

    mengatur proses inflamasi kronik. Sebagai pusat jalur ini terdapat sel T CD4+,

    yang pengaturannya diatur oleh IL-23 yang disekresikan oleh sel penyaji antigen

    (sel dendritik dermal). Sel Th17 CD4+ mensekresikan IL-17 dan IL-22 yang

  • berperan pada peningkatan dan pengaturan proses inflamasi dan proliferasi

    epidermal (Blauvelt, 2007).

    2.6 Patofisiologi

    Gambar 2.1 Patofisiologi psoriasis

    2.7 Manifstasi Klinis

    Keadaan umum tidak dipengaruhi, kecuali pada psoriasis yang menjadi

    eritroderma. Sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Tempat predileksi pada

  • skalp, perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas bagian ekstensor

    terutama siku serta lutut, dan daerah lumbosakral (Djuanda, 2007).

    Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi (plak)

    dengan skuama di atasnya. Eritema sirkumsrip dan merata, tetapi pada stadium

    penyembuhan sering eritema yang di tengah menghilang dan hanya terdapat di

    pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta

    transparan. Besar kelainan bervariasi: lentikular, numular, atau plakat, dapat

    berkonfluensi. Jika seluruhnya atau sebagian besar lentikular disebut psoriasis

    gutata, biasanya pada anak-anak dan dewasa muda dan terjadi setelah infeksi akut

    oleh Streptococcus (Djuanda, 2007).

    Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner

    (isomorfik). Kedua fenomena yang disebut lebih dahulu dianggap khas,

    sedangkan yang terakhir tak khas, hanya kira-kira 47% yang positif dan didapati

    pula pada penyakit lain, misalnya liken planus dan veruka plana juvenilis

    (Djuanda, 2007).

    Fenomena tetesan lilin ialah skuama yang berubah warnanya menjadi

    putih pada goresan, seperti lilin yang digores, disebabkan oleh berubahnya indeks

    bias. Cara menggores dapat dengan pinggir gelas alas. Pada fenomena Auspitz

    tampak serum atau darah berbintik-bintik yang disebabkan oleh papilomatosis.

    Cara melakukannya adalah sebagai berikut: skuama yang berlapis-lapis itu

    dikerok, misalnya dengan pinggir gelas alas. Setelah skuamanya habis, maka

    pengerokan harus dilakukan perlahan-lahan, jika terlalu dalam tidak akan tampak

    perdarahan yang berbintik-bintik, melainkan perdarahan yang merata. Trauma

    pada kulit penderita psoriasis, misalnya garukan, dapat menyebabkan kelainan

    yang sama dengan kelainan psoriasis dan disebut fenomenon Kobner yang timbul

    kira-kira setelah 3 minggu (Djuanda, 2007).

    Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan pada kuku, yakni sebanyak

    kira-kira 50%, yang agak khas ialah pitting nail atau nail pit, berupa lekukan-

    lekukan miliar. Kelainan yang tak khas ialah kuku yang keruh, tebal, bagian

    distalnya terangkat karena terdapat lapisan tanduk di bawahnya (hiperkeratosis

    subungual), dan onikolisis (Djuanda, 2007).

  • Di samping menimbulkan kelainan pada kulit dan kuku, penyakit ini dapat

    pula menyebabkan kelainan pada sendi. Umumnya bersifat poliartikular, tempat

    predileksinya pada sendi interfalangs distal, terbanyak terdapat pada usia 30-50

    tahun. Sendi membesar, kemudia terjadi ankilosis dan lesi kistik subkorteks

    (Djuanda, 2007).

    Bentuk Klinis

    Pada psoriasis terdapat berbagai bentuk klinis.

    1. Psoriasis vulgarisBentuk ini adalah yang lazim terdapat karena itu disebut vulgaris,

    dinamakan pula tipe plak karena lesi-lesinya umumnya berbentuk plak.

    2. Psoriasis gutataDiameter kelainan biasanya tidak melebihi 1cm. Timbulnya mendadak

    dan diseminata, umunya setelah infeksi Streptococcus di saluran napas

    bagian atas sehabis influenza atau morbili, terutama pada anak dan dewasa

    muda. Selain itu dapat juga timbul setelah infeksi yang lain, baik bakterial

    maupun viral.

    3. Psoriasis inversa (psoriasis fleksural)Psoriasis tersebut mempunyai tempat predileksi pada daerah fleksor

    sesuai dengan namanya.

    4. Psoriasis eksudativaBentuk ini sangat jarang. Biasanya kelainan psoriasis kering, tetapi

    pada bentuk ini kelainanya eksudatif seperti dermatitis akut.

    5. Psoriasis seboroik (seboriasis)Gambaran klinis psoriasis seboroik merupakan gabungan antara

    psoriasis dan dermatitis seboroik, skuama yang biasanya kering menjadi

    agak berminyak dan agak lunak. Selain berlokasi pada tempat yang lazim,

    juga terdapat pada tempat seboroik.

    6. Psoriasis pustulosaAda 2 pendapat mengenai psoriasis pustulosa, pertama dianggap

    sebagai penyakit tersendiri, kedua dianggap sebagai varian psoriasis.

  • Terdapat 2 bentuk psoriasis pustulosa, bentuk lokalisata dan generalisata.

    Bentuk lokalisata, contohnya psoriasis pustulosa palmo-plantar (Barber).

    Sedangkan bentuk generalisata, contohnya psoriasis pustulosa generalisata

    akut (von Zumbusch).a. Psoriasis pustulosa palmoplantar (Barber)

    Penyakit ini bersifat kronik dan residif, mengenai telapak tangan

    atau telapak kaki atau keduanya. Kelainan kulit berupa kelompok-

    kelompok pustul kecil steril dan dalam, di atas kulit yang eritematosa,

    disertai rasa gatal.

    b. Psoriasis pustulosa generalisata akut (von Zumbusch)Memiliki banyak faktor provokatif, misalnya yang tersering

    adalah penghentian kortikosteroid sistemik. Obat lain contohnya,

    penisillin dan derivatnya (ampisillin dan amoksisillin) serta antibiotik

    beta laktam yang lain, hidroklorokuin, kalium jodida, morfin,

    sulfapiridin, sulfonamida, kodein, fenilbutason, dan salisilat. Faktor lain

    selain obat ialah hipokalsemia, sinar matahari, alkohol, stres emosional,

    serta infeksi bakterial dan virus.Penyakit ini dapat timbul pada penderita yang sedang atau telah

    menderita psoriasis. Dapat pula muncul pada penderita yang belum

    pernah menderita psoriasis.Gejala awalnya ialah kulit yang nyeri, hiperalgesia disertai gejala

    umum berupa demam, malaise, nausea, anoreksia. Plak psoriasis yang

    telah ada makin eritematosa. Setelah beberapa jam timbul banyak plak

    edematosa dan eritematosa pada kulit yang normal. Dalam beberapa jam

    timbul banyak pustul miliar pada plak-plak tersebut. Dalam sehari

    pustul-pustul berkonfluensi membentuk lake of pus berukuran

    beberapa cm. Kelainan-kelainan semacam itu akan terus menerus dan

    dapat menjadi eritroderma.

    7. Eritroderma psoriatikEritroderma psoriatik dapat disebabkan oleh pengobatan topikal yang

    terlalu kuat atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Biasanya lesi yang

    khas untuk psoriasis tidak tampak lagi karena terdapat eritema dan skuama

  • tebal universal. Ada kalanya lesi psoriasis masih tampak samar-samar, yakni

    lebih eritematosa dan kulitnya lebih meninggi (Djuanda, 2007).

    Gambar 2.2 Gambaran Klinis Psoriasis Vulgaris: (a) Tipe Plak, (b) Tipe

    Gutatta, dan (c) Tipe Eritroderma

    2.8 Diagnosis

    Diagnosis psoriasis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan

    pemeriksaan histopatologi. Apabila ditemukan fenomena bercak lilin, fenomena

    Auzpitz dan fenomena Koebner dapat memberikan diagnosis yang tepat

    (Gudjonsson dan Elder, 2012).

    Diagnosis dari psoriasis biasanya berdasarkan pada tampilan lesi kulit

    yang khas. Tidak ada pemeriksaan darah spesial atau prosedur diagnostik. Jarang

    sekali biopsi kulit atau kerokan diperlukan untuk mengeksklusikan penyakit lain

    dan untuk mengkonfirmasi diagnosis psoriasis (WHO, 2013).

    Pemeriksaan penunjang yang paling umum dilakukan untuk

    mengkonfirmasi suatu psoriasis ialah biopsi kulit dengan menggunakan

    pewarnaan hematoksilin-eosin. Pada umumnya akan tampak penebalan epidermis

    atau akantosis serta elongasi rete ridges. Terjadi diferensiasi keratinosit yang

    ditandai dengan hilangnya stratum granulosum. Stratum korneum juga mengalami

  • penebalan dan terdapat retensi inti sel pada lapisan ini yang disebut dengan

    parakeratosis. Tampak neutrofil dan limfosit yang bermigrasi dari dermis.

    Sekumpulan neutrofil dapat membentuk mikroabses Munro. Pada dermis akan

    tampak tanda-tanda inflamasi seperti hipervaskularitas dan dilatasi serta edema

    papila dermis. Infiltrat dermis terdiri dari neutrofil, makrofag, limfosit dan sel

    mast (Natali O, 2013).

    Selain biopsi kulit, abnormalitas laboratorium pada penderita psoriasis

    biasanya bersifat tidak spesifik dan mungkin tidak ditemukan pada semua pasien.

    Pada psoriasis vulgaris yang luas, psoriasis pustular generalisata, dan eritroderma

    tampak penurunan serum albumin yang merupakan indikator keseimbangan

    nitrogen negatif dengan inflamasi kronis dan hilangnya protein pada kulit.

    Peningkatan marker inflamasi sistemik seperti C-reactive protein, -2

    makroglobulin, dan erythrocyte sedimentation rate dapat terlihat pada kasus-kasus

    yang berat. Pada penderita dengan psoriasis yang luas dapat ditemukan

    peningkatan kadar asam urat serum. Selain daripada itu penderita psoriasis juga

    menunjukkan gangguan profil lipid (peningkatan high density lipoprotein, rasio

    kolesterol-trigliserida serta plasma apolipoprotein-A1) (Natali O, 2013).

    Gambaran Histopatologis Psoriasis

    Psoriasis memberi gambaran histopatologik yang khas, yakni parakeratosis

    dan akantosis. Pada stratum spinosum terdapat kelompok leukosit yang disebut

    abses Munro. Selain itu terdapat pula papilomatosis dan vasodilatasi di

    subepidermis (Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, 2008)

    Menurut Gudjonsson dan Elder (2012) beberapa perubahan patologis pada

    psoriasis yang dapat terjadi pada epidermis maupun dermis adalah sebagai

    berikut:

    1. Hiperkeratosis, adalah penebalan lapisan korneum.

    2. Parakeratosis, adalah terdapatnya inti stratum korneum sampai hilangnya

    stratum granulosum.

  • 3. Akanthosis, adalah penebalan lapisan stratum spinosum dengan elongasi

    rete ridge epidermis.

    4. Granulosit neutrofilik bermigrasi melewati epidermis membentuk mikro

    abses munro di bawah stratum korneum.

    5. Peningkatan mitosis pada stratum basalis.

    6. Edema pada dermis disertai infiltrasi sel-sel polimorfonuklear, limfosit,

    monosit dan neutrofil.

    7. Pemanjangan dan pembesaran papila dermis.

    Selain penegakan diagnosis dari psoriasis, kita juga harus mengukur

    derajat keparahan psoriasis. Salah satu tehnik yang digunakan untuk mengukur

    derajat keparahan psoriasis yaitu dengan menggunakan Psoriasis Area and

    Severity Index (PASI) (Natali O, 2013).

    PASI menggabungkan elemen pada presentasi klinis yang tampak pada

    kulit berupa eritema, indurasi dan skuama. Setiap elemen tersebut dinilai secara

    terpisah menggunakan skala dengan nilai 0-4 untuk setiap bagian tubuh: kepala

    dan leher, batang tubuh, ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Penilaian dari

    masing-masing tiga elemen kemudian dijumlahkan, selanjutnya hasil penjumlahan

    masing-masing area tubuh dikalikan dengan skor yang didapat dari skala 0-6 yang

    merepresentasikan luasnya area permukaan yang terlibat pada bagian tubuh

    tersebut. Skor ini kemudian dikalikan dengan faktor koreksi yang terdapat pada

    tiap area tubuh (0.1 untuk kepala dan leher, 0.2 untuk ekstremitas atas, 0.3 untuk

    batang tubuh, dan 0.4 untuk ekstremitas bawah). Akhirnya skor dari keempat area

    tubuh ditambahkan sehingga menghasilkan skor PASI. Kemungkinan nilai

    tertinggi PASI adalah 72 tetapi nilai ini secara umum dianggap hampir tidak

    mungkin untuk dicapai. Berdasarkan nilai skor PASI, psoriasis dapat dibagi

    menjadi psoriasis ringan (skor PASI 16) (Natali O, 2013).

  • Tabel 2.1 Lembar penilaian PASI menurut British Association ofDermatologists

  • Gambar 2.3 Penilaian presentasi klinis yang tampak pada kulit berupa

    eritema, indurasi dan skuama

    2.9 Diagnosis Banding

    Jika gambaran klinisnya khas, tidaklah sukar membuat diagnosis. Kalau

    tidak khas, maka harus dibedakan dengan beberapa penyakit lain yang tergolong

    dermatosis eritroskuamosa (Djuanda, 2007).Pada diagnnosis banding hendaknya selalu diingat, bahwa pada psoriasis

    terdapat tanda-tanda yang khas, yakni skuama kasar, transparan serta berlapis-

    lapis, fenomena tetesan lilin, dan fenomena Auspitz (Djuanda, 2007).Pada stadium penyembuhan telah dijelaskan, bahwa eritema dapat terjadi

    hanya di pinggir, hingga menyerupai dermatofitosis. Perbedaannya ialah keluhan

    pada dermatofitosis gatal sekali dan pada sediaan langsung ditemukan jamur

    (Djuanda, 2007).Sifilis stadium II dapat menyerupai psoriasis dan disebut sifilis

    psoriasiformis. Penyakit tersebut sekarang jarang terdapat, perbedaannya pada

    sifilis terdapat sanggama tersangka (coitus suspectus), pembesaran kelenjar getah

  • bening menyeluruh, dan tes serologik untuk sifilis (T.S.S.) positif (Djuanda,

    2007).Dermatitis seboroik berbeda dengan psoriasis karena skuamanya

    berminyak dan kekuning-kuningan dan bertempat predileksi pada tempat yang

    seboroik (Djuanda, 2007).

    2.10 Tatalaksana

    Tujuan tatalaksana pada psoriasis adalah untuk mengurangi keparahan dan

    perluasan lesi kulit sehingga tidak lagi mengganggu aktivitas pekerjaan, sosial,

    dan kehidupan penderita, termasuk mengurangi simptom psoriasis (Setiawati S,

    Kadir D, Dewiyanti W, Sungowati NK, 2013).

    Tatalaksana psoriasis secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga, yaitu

    obat-obatan topikal, fototerapi, dan obat-obatan sistemik; untuk menghasilkan

    terapi yang baik kita perlu memahami mekanisme kerja, toksisitas, dan efek

    samping dari masing-masing terapi (Setiawati S, Kadir D, Dewiyanti W,

    Sungowati NK, 2013).

    Tatalaksana psoriasis tergantung pada tingkat keluasan lesi, keparahan lesi,

    lokasi lesi psoriasis, dan tipe psoriasis. Pada psoriasis ringan dengan PASI

  • 2. UVB merupakan pilihan terapi yang aman, efektif, dan terjangkau. Terapi

    dengan narrowband (NB) UVB lebih efektif daripada broadband UVB.

    Untuk mendapatkan perbaikan yang signifikan, diperlukan 20-25 terapi NB

    UVB, 2-3 kali seminggu. Bentuk lain paparan sinar UV, termasuk paparan

    sinar matahari, juga dapat memberikan perbaikan pada beberapa pasien

    tertentu.3. Terapi PUVA sangat efektif pada kebanyakan pasien, dengan potensi remisi

    untuk waktu yang lama. Akan tetapi, terapi PUVA jangka panjang pada ras

    Kaukasia dikaitkan dengan peningkatan resiko menderita squamous cell

    carcinoma bahkan melanoma maligna. 4. Metroteksat adalah satu dari obat anti psoriasis yang efektif untuk psoriasis

    tipe plak kronik sedang sampai berat. Metroteksat menghambat aktifitas

    asam di hidrolik reduktase dan timidilat sintetase yang berguna untuk

    sintesa DNA. Metroteksat juga dapat menghambat proliferasi dan siklus sel

    epidermis, menekan kemotaksis netrofil. Meskipun efektif pada kebanyakan

    pasien, tetapi metroteksat memiliki resiko untuk menyebabkan

    hepatotoksisitas dan dikontraindikasikan pada ibu hamil, pasien dengan

    gagal ginjal, hepatitis atau sirosis hati, pengguna alkohol, dan pasien dengan

    leukimia atau trombositopenia. Metroteksat merupakan agen yang bersifat

    immunosupressif dan teratogen.5. CyA, terapi immunosuppressif lain, bekerja secara cepat dan efektif pada

    kebanyakan pasien. Akan tetapi, penggunaan CyA jangka panjang dapat

    menyebabkan gangguan fungsi ginjal, hipertensi, limfoma, dan berpotensial

    untuk meningkatkan malignansi kutaneus. Oleh karena itu, pengguna CyA

    paling baik diberikan untuk jangka waktu 3-4 bulan.6. Asitresin, merupakan agen sistemik untuk terapi psoriasis yang tidak

    bersifat immunosupressif. Akan tetapi, karena bersifat teratogen, asitresin

    tidak boleh diberikan pada ibu hamil, menyusui atau pada perempuan yang

    merencanakan kehamilan dalam 3 tahun setelah penghentian penggunaan

    asitresin. Asitresin sering dikombinasikan dengan terapi UVB atau PUVA.7. Agen biologis, merupakan protein yang didapat dari jaringan hewan atau

    dihasilkan dari rekombinan DNA dan proses aktivitas farmakologik.

  • Gambar 2.4 Bagan tatalaksana pada psoriasis

    Selain pilihan terapi diatas, pasien dengan psoriasis juga harus menjalani

    diet yang sehat dan seimbang untuk mencegah defisiensi nutrisi. Pada kasus-kasus

    berat, psoriasis dapat menyebabkan penurunan status gizi. Beberapa ahli

    mengatakan bahwa psoriasis merupakan parameter adanya gangguan metabolisme

    lemak dan berhubungan dengan penyakit obstruksi vaskuler. Psoriasis sangat

    berhubungan dengan sindroma metabolik dan metabolisme lemak yang

    mengakibatkan adanya perubahan pada profil lipid, misalnya Low Density

    Lipoprotein (LDL), High Density Lipoprotein (HDL), dan trigliserida. Pada

    psoriasis, ditemukan adanya peningkatan total kolesterol, trigliserida, VLDL, dan

    LDL yang bermakna dan penurunan HDL. Oleh karena itu, lamanya berpuasa,

    diet rendah kalori dan diet vegetarian dianjurkan pada pasien psoriasis karena

    dapat memberikan perbaikan simptom akibat adanya perubahan metabolisme

    polyunsaturated fatty acids (PUFAs) dan pengaruh profil eicosanoid, yang

    menekan proses inflamasi yang terjadi pada psoriasis (Araujo MLD, Costa PSSF,

    Burgos MGPA, 2012). Beberapa terapi nutrisi yang dianjurkan, diantaranya:

  • 1. Diet Rendah Kalori/Diet Energi Rendah (DER)

    Beberapa penelitian melaporkan bahwa simptom-simptom pada

    penyakit inflamasi dapat dikurangi dengan diet rendah kalori atau selama

    periode puasa, karena dapat menurunkan intake asam araknoid (AA), yang

    mengakibatkan penurunan produksi eicosanoid inflamasi. Hal ini

    disebabkan selama periode puasa, terdapat pengurangan aktivasi sel TCD4

    dan peningkatan jumlah dan/atau fungsi sitokin dan interleukin anti-

    inflamasi. Selain itu, pembatasan kalori juga dapat mengakibatkan

    penurunan stress oksidatif.

    Diet rendah kalori juga dianjurkan pada pasien dengan obesitas,

    yaitu Diet Rendah Kalori dengan pembatasan kalori 500-1000kkal per

    hari, bergantung pada kebutuhan energi pasien, yang dapat dihitung

    dengan berbagai cara, diantaranya dengan menggunakan rumus Harris-

    Benedict. Adapun diet dan gaya hidup yang dianjurkan bersumber dari

    American Heart Association Commitee Nutrition (AHA) (2006).

    Tabel 2.2 Rumus Harris-Benedict dalam penentuan basal metabolicrate

    Perempuan 655 + (9,6 x BB dalam kg ) +(1,8 x TB dalam cm) - (4.7 x

    Usia dalam tahun)Laki-Laki 66 + (13,7 x BB dalam kg) + (5 x TB dalam cm) - (6.8 x

    Usia dalam tahun)

    Tabel 2.3 Diet Energi Rendah

    Diet Energi Rendah (DER)Asupan I II

    Energi (kkal) 1200 1500Protein (g) 63 80Lemak (g) 25 35

    Karbohidrat (g) 190 233Serat (g) 30,2 35

  • Kalsium (mg) 840 901Besi (mg) 22,4 24,7

    Vitamin A (RE) 8131 226Tiamin (mg) 0,9 1,1

    Vitamin C (mg) 260 270

    Tabel 2.4 Rekomendasi diet dan gaya hidup untuk mengurangi resikopenyakit kardiovaskular (AHA, 2006)

    Balance calorie intake and physical activity to achieve or maintain a healthy body

    weight.Consume a diet rich in vegetables and fruits.

    Choose whole-grain, high-fiber foodsConsume fish, especially oily fish, at least twice a week.

    Limit your intake of saturated fat to 7% of energy, trans fat to 1% of energy, and

    cholesterol to 300 mg per day by choosing lean meats and vegetable alternatives;

    selecting fat-free (skim), 1%-fat, and low-fat dairy products; and minimizing

    intake of partially hydrogenated fats.Minimize your intake of beverages and foods with added sugars.

    Choose and prepare foods with little or no salt.If you consume alcohol, do so in moderation.

    When you eat food that is prepared outside of the home, follow the AHA Diet and

    Lifestyle Recommendations.Tabel 2.5 Implementasi rekomendasi diet dan gaya hidup AHA 2006

    Lifestyle Know your caloric needs to achieve and maintain a

    healthy weight. Know the calorie content of the foods and beverages you consume. Track your weight, physical activity, and calorie intake. Prepare and eat smaller portions. Track and, when possible, decrease screen time (eg,

    watching television, surfing the Web, playing computer

    games). Incorporate physical movement into habitual activities. Do not smoke or use tobacco products. If you consume alcohol, do so in moderation (equivalent

  • of no more than 1 drink in women or 2 drinks in men per

    day).Food choices and

    preparation

    Use the nutrition facts panel and ingredients list when

    choosingfoods to buy. Eat fresh, frozen, and canned vegetables and fruits

    without highcaloriesauces and added salt and sugars. Replace high-calorie foods with fruits and vegetables. Increase fiber intake by eating beans (legumes), whole-

    grain products, fruits, and vegetables. Use liquid vegetable oils in place of solid fats. Limit beverages and foods high in added sugars.

    Common formsof added sugars are sucrose, glucose,

    fructose, maltose, dextrose,corn syrups, concentrated

    fruit juice, and honey. Choose foods made with whole grains. Common forms

    of wholegrains are whole wheat, oats/oatmeal, rye,

    barley, corn, popcorn,brown rice, wild rice, buckwheat,

    triticale, bulgur (crackedwheat), millet, quinoa, and

    sorghum. Cut back on pastries and high-calorie bakery products

    (eg,muffins, doughnuts). Select milk and dairy products that are either fat free or

    low fat. Reduce salt intake bycomparing the sodium content of

    similar products (eg, differentbrands of tomato sauce)

    and choosing products with less salt;choosing versions of

    processed foods, including cereals andbaked goods, that

    are reduced in salt; andlimiting condiments (eg, soy

    sauce, ketchup). Use lean cuts of meat and remove skin from poultry

    beforeeating. Limit processed meats that are high in saturated fat

    andsodium.

  • Grill, bake, or broil fish, meat, and poultry. Incorporate vegetable-based meat substitutes into

    favoriterecipes. Encourage the consumption of whole vegetables and

    fruits in place of juices.

    2. Polyunsaturated Fatty Acids (PUFAs)

    Lipid adalah makronutrien yang memiliki fungsi energi, struktural

    dan hormonal pada organisme. Asam lemak merupakan asam

    monokarboksilat dengan rantai hidrokarbon yang memiliki ukuran yang

    bervariasi dan berikatan ganda antar atom-atom karbon. Zat-zat ini

    diklasifikasikan sebagai monounsaturated dan polyunsaturated, tergantung

    pada jumlah ikatan ganda yang dikandung. Asam lemak adalah senyawa

    yang tidak dapat terpisahkan dari hampir semua lipid.

    Asam linoleat, yang merupakan asam lemak esensial, termasuk ke

    dalam golongan omega-6 dan banyak ditemukan pada biji berminyak;

    asam ini dapat dikonversi menjadi asam araknoid (AA), yang berasal dari

    daging dan telur. Sementara asam eicosapentaenoik (EPA) dan asam

    dokosaheksaenoik (DHA) yang termasuk dalam asam lemak omega-3

    terdapat dalam makanan dan terutama terkandung dalam ikan air dingin,

    seperti mackerel, sarden, salmon, herring, dll.

    Selain berfungsi sebagai membran posfolipid, PUFA juga

    diperlukan dalam pembentukan eicosanoid, yang merupakan regulator

    metabolisme. Asam araknoid (AA) merupakan prekursor prostaglandin,

    leukotrien, dan senyawa lain yang berperan dalam reaksi inflamasi dan

    regulasi sistem imun, sedangkan derifat EPA berperan sebagai anti-

    inflamasi. AA dan metabolit proinflamasinya diketahui berhubungan

    terhadap timbulnya lesi psoriasis dan penyakit inflamasi dan autoimun

    lainnya. Oleh karena itu, salah satu pilihan terapi psoriasis adalah dengan

  • penggantian AA dengan asam lemak alternatif lain, terutama EPA, yang di

    metabolisme melalui jalur enzimatik yang sama dengan AA.

    Minyak ikan (omega-3), dapat mengubah komposisi serum dan

    lipid pada epidermal dan membran sel darah, yang menjadikannya pilihan

    terapi pada psoriasis. Dengan demikian, ketika asam lemak omega-3

    dimetabolisme oleh enzim siklooksigenase dan lipoksigenase

    menggantikan AA pada membran sel, senyawa ini dapat berperan untuk

    mengurangi proses inflamasi yang terjadi.

    3. Gluten

    Riwayat alergi terhadap gluten (protein yang terdapat pada

    gandum, oat, dan gandum hitam) sering ditemukan pada pasien dengan

    celiac disease, yang dapat menyebabkan malabsorbsi dan atrofi vili-vili

    usus, dan dapat dapat diterapi dengan diet bebas gluten. Celiac disease dan

    psoriasis sama-sama berhubungan dengan sitokin T helper 1 (Th1) yang

    berperan dalam proses patogenesis penyakit tersebut. Diet bebas gluten

    dapat memperbaiki lesi pada kulit meskipun bukan pada pasien dengan

    celiac disease tetapi juga pada pasien yang memiliki antibodi antigliadin

    IgA dan IgG, dimana antibodi antigliadin tersebut berperan penting dalam

    mendiagnosis celiac disease. Demikian juga, banyak penelitian

    menyatakan bahwa diet bebas gluten dapat memberi hasil baik pada artritis

    rematik, yang juga merupakan penyakit inflamasi kronis, sama halnya

    dengan psoriasis.

    4. Antioksidan

    Kulit merupakan salah satu bagian yang sering terpapar dengan

    oksidan, yang dapat menyebabkan pembentukan oksigen reaktif yang

    berbahaya. Stress oksidatif dan peningkatan pembentukan radikal bebas

    berhubungan erat dengan terjadinya inflamasi pada kulit dan merupakan

    salah satu faktor yang berperan dalam patogenesis psoriasis. Peningkatan

    konsumsi sayuran dan buah-buahan dapat memberikan efek yang baik

  • karena kaya akan antioksidan, seperti karotenoid, flavonoid, dan vitamin

    C, karena status antioksidan yang cukup dalam tubuh merupakan hal yang

    penting untuk mencegah ketidakseimbangan antara stress oksidatif dan

    pertahanan antioksidan.

    5. Selenium

    Selenium merupakan salah satu mikronutrien esensial yang

    mengandung senyawa pengatur sistem imun dan anti proliferasi, yang

    berpengaruh terhadap respon imun baik melalui perubahan pengeluaran

    sitokin maupun reseptor lain atau dengan meningkatkan kekebalan sel

    tersebut terhadap stress oksidatif. Terlebih lagi, banyak data yang

    menyatakan bahwa pasien dengan penyakit inflamasi kulit, kanker kulit,

    melanoma maligna, dan limfoma sel T kutaneus memiliki kadar selenium

    yang rendah. Kadar selenium yang rendah pada pasien psoriasis juga dapat

    menjadi salah satu faktor resiko terjadinya perkembangan penyakit dan

    berkaitan juga dengan tingkat keparahan penyakit tersebut.

    6. Vitamin D

    Vitamin D merupakan zat pro-hormon yang dihasilkan dari

    perombakan 7-dehidrokolesterol melalui paparan UVB pada sinar

    matahari terhadap kulit. Selain berperan penting dalam menjaga

    homeostasis kalsium dan metabolisme tulang, vitamin D juga berperan

    penting dalam proliferasi sel, diferensiasi, apoptosis, angiogenesis, dan

    berperan dalam pengurangan resiko terjadinya penyakit inflamasi kronis,

    seperti penyakit autoimun, penyakit-penyakit infeksi, penyakit

    kardiovaskular, dan beberapa penyakit kanker (kanker payudara, colon-

    rektal, dan prostat). Vitamin D dapat memberikan efek yang baik pada

    penyakit infalamasi yang diatur oleh limfosit Th1, seperti diabetes,

    psoriasis, Chrons disease, dan penyakit multiple sclerosis.

    7. Vitamin B12

  • Penggunaan metrotreksat sebagai terapi psoriasis mempunyai efek

    samping yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin B12 dan asam folat,

    yang berakibat pada terjadinya anemia megaloblastik. Untuk mencegah hal

    tersebut, maka pasien psoriasis dianjurkan juga untuk menambah asupan

    vitamin B12. Beberapa literatur menyatakan efektifitas penggunaan

    vitamin vitamin B12 topikal pada pasien psoriasis dapat ditingkatkan

    dengan pemberian vitamin B12 secara intramuskular dan sistemik.

    8. Zink

    Defisiensi zink pada seseorang dapat menyebabkan terjadinya plak

    psoriatik. Oleh karena itu asupan zink yang cukup juga diperlukan oleh

    pasien dengan psoriasis.

    2.11 Komplikasi

    Psoriasis berkaitan dengan beberapa sindrom metabolik. Komplikasi

    masalah kardiovaskuler tercatat meningkat pada pasien psoriasis berat dan pasien

    psoriasis muda. Secara biomolekular, sindrom metabolik ditandai dengan

    meningkatnya aktivitas helper T cells type I (Th1). Keadaan ini mengarahkan

    pemikiran kepada penetapan hipotesis bahwa psoriasis berhubungan dengan

    sindrom tersebut melalui kesamaan jalur inflamasi. Tumor necrosis factor (TNF)-

    merupakan salah satu contoh yang berperan pada psoriasis dan sindrom

    metabolik, peningkatan kadar mediator ini dalam sirkulasi, reseptor TNF- yang

    terlarut maupun produksi TNF- in vitro dijumpai pada pasien dengan komponen

    sindrom metabolik, misalnya obesitas dan resistensi insulin. Belum ada bukti yang

    pasti menjelaskan ganguan mana yang muncul terlebih dahulu, beberapa tulisan

    menerangkan psoriasis terjadi awal diikuti dengan sindrom metabolik (Jacoeb

    TNA, 2012).

    2.12 Prognosis

    Walaupun secara umum psoriasis masih jinak, tetapi penyakit ini

    merupakan penyakit panjang dengan kemungkinan remisi dan eksaserbasi.

  • Penyakit ini dapat menimbulkan keadaan lain seperti artritis pada sekitar 10%

    kasus. Selain itu pada sekitar 17-55% pasien mengalami remisi dengan durasi

    yang berbeda-beda.

    Psoriasis ringan biasanya tidak meningkatkan resiko kematian. Akan

    tetapi, pada pria dengan psoriasis berat umumnya meninggal 3,5 tahun lebih cepat

    dan wanita dengan psoriasis berat umumnya meninggal 4 tahun lebih cepat

    (Gelfand JM, et al, 2007).

    BAB 3

    KESIMPULAN

    1. Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kulit kronik, ditandai dengan

    adalanya plak eritematosa yang berbatas tegas dengan skuama berlapis

    berwarna keputihan, yang diperantarai oleh sistem imun.

    2. Tidak ada pemeriksaan darah spesial atau prosedur diagnostik khusus untuk

    psoriasis. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan tampilan lesi kulit yang

    khas. Pemeriksaan penunjang yang paling umum adalah biopsi kulit

    menggunakan pewarnaan hematoksilin-eosin.

    3. Psoriasis erat kaitannya dengan sindroma metabolik dan metabolisme lemak.

    Penyakit ini juga dapat menyebabkan penurunan status gizi. Oleh sebab itu,

    pasien psoriasis harus diberikan diet gizi untuk mencegah defisiensi nutrisi

    dan untuk perbaikan sindroma metabolik yang dideritanya.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Almatsier S., 2006. Penuntun Diet. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

    American Heart Association Nutrition Committee, 2006. Diet and lifestyle

    recommendations revision 2006: a scientific statement from the American

    Heart Association Nutrition Committee. Circulation 114: 82-96.

    Araujo M.L.D., Costa P.S.S.F., Burgos M.G.P.A., 2012. Food, Nutrition and Diet

    Therapy in Psoriasis. In: Dr. Jennifer Soung ed. Psoriasis. Available from:

    http://www.intechopen.com/books/psoriasis/food-nutrition-and-diet-

    therapy-inpsoriasis [Accesed 7 April 2015].

    Blauvelt A., 2007. New concept in the pathogenesis and treatment of psoriasis:

    key roles for IL-23, IL-17A and TGF-1. Expert Rev. Dermatol 2(1): 69-

    78.

    Djuanda A., 2007. Dermatosis Eritroskuamosa. Dalam: Djuanda A., Hamzah M.,

    Aisah S., ed. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta:

    Balai Penerbit FKUI.

    Gelfand J.M., et al, 2007. The risk of mortality in patients with psoriasis: results

    from a population-based study. Philadelphia : Arch Dermatol. Available

    from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18086997 [Accesed 7 April

    2015].

    http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18086997

  • Gudjonsson J., Elder J., 2012. Psoriasis Vulgaris. In: Wolff K., Goldsmith L., Katz

    S., Gilchrest B., Paller A., Leffell D., ed. Fitzpatricks Dermatology in

    General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill: 169-193.

    Gudjonsson J.E., Thorarinsson A.M., 2003. Streptococcal Throat Infections and

    Excerbation of Chronic Plaque Psoriasis: a prospective study. Br. J of

    Derm 149: 530-534.

    Jacoeb T.N.A, 2012. Psoriasis dan Keterlibatan Organ Lain. Jakarta : Media

    Dermato-Venereologica Indonesiana. Available from :

    http://www.perdoski.org/index.php/public/information/mdvi-detail-

    editorial/20 [Accesed 7 April 2015].

    Kumar V., Abbas A.K., Fausto N., 2005. Robbins And Cotran Pathologic Basis Of

    Disease. Philadelphia : Elsevier.

    Menter A., et al, 2008. Guidelines of care for the management of psoriasis and

    psoriatic arthritis. JAM Acad Dermatol 58(2): 826-850.

    Natali O., 2013. Hubungan antara Kadar Prolaktin Serum Penderita Psoriasis.

    Vulgaris dengan Skor Psoriasis Area and Severity Index. Medan:

    Universitas Sumatera Utara.

    Neimann A., Porter S., Gelfand J., 2006. The epidemiology of psoriasis. Expert

    Rev. Dermatol 1(1): 63-75.

    Oakley A., 2014. PASI Score. New Zealand: DermNet NZ. Available from:

    http://dermnetnz.org/scaly/pasi.html [Accessed 8 April 2015].

    Schalock P.C., 2014. The Merck Manual Diagnosis & Therapy. US : IDS

    Publishing Company.

    Setiawati S., Kadir D., Dewiyanti W., Sungowati N.K., 2013. Psoriasis Vulgaris

    Treated with Topical Corticosteroids. IJDV 2(2): 66-72.

    Simon C., Everitt H., Kendrick T., 2005. Oxford Handbook of General Practice.

    UK : Oxford University Press.

    WHO, 2013. Psoriasis Report by the Secretariat.

    http://www.perdoski.org/index.php/public/information/mdvi-detail-editorial/20http://www.perdoski.org/index.php/public/information/mdvi-detail-editorial/20