penanganan dan pecengahan tuberkulosis edwin c4

38
Penanganan dan Pecengahan Tuberkulosis Edwin 10 2012 096 Mahasiswi semester VI Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510 [email protected] Pendahuluan Tuberkulosis adalah penyakit yang menular dengan mudah melalui droplet secara airborne. Penyakit ini membutuhkan penanganan dan pencegahan lebih lanjut supaya tidak dapat menular ke orang sekitar penderita dan penderita harus minum obat dengan teratur. Jika penderita tersebut tidak minum obat dengan teratur atau berhenti tiba-tiba dapat menyebabkan resistensi obat yang membutuhkan pengobatan yang lebih lama lagi. Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yaitu bakteri yang tahan asam. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang lebih tentang tuberculosis dengan pendekatan kedokteran keluarga, epidemologi, pencegahan dan penanganan tuberculosis pada pembacanya. Makalah ini ditulis sesuai dengan skenario yang telah diberikan. SKENARIO 1 Bapak M ( 45 tahun ) memiliki seorang istri ( 43 tahun ) dan 5 orang anak. Istri Bapak M mendapatkan pengobatan TBC paru dan sudah berjalan 3 bulan. Anak

Upload: edwin-jew

Post on 05-Sep-2015

28 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

makalah TB

TRANSCRIPT

Penanganan dan Pecengahan Tuberkulosis

Edwin

10 2012 096

Mahasiswi semester VI Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510

[email protected]

Pendahuluan

Tuberkulosis adalah penyakit yang menular dengan mudah melalui droplet secara airborne. Penyakit ini membutuhkan penanganan dan pencegahan lebih lanjut supaya tidak dapat menular ke orang sekitar penderita dan penderita harus minum obat dengan teratur. Jika penderita tersebut tidak minum obat dengan teratur atau berhenti tiba-tiba dapat menyebabkan resistensi obat yang membutuhkan pengobatan yang lebih lama lagi. Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yaitu bakteri yang tahan asam.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang lebih tentang tuberculosis dengan pendekatan kedokteran keluarga, epidemologi, pencegahan dan penanganan tuberculosis pada pembacanya. Makalah ini ditulis sesuai dengan skenario yang telah diberikan.

SKENARIO 1

Bapak M ( 45 tahun ) memiliki seorang istri ( 43 tahun ) dan 5 orang anak. Istri Bapak M mendapatkan pengobatan TBC paru dan sudah berjalan 3 bulan. Anak perempuannya (R, 9 tahun) saat ini sedang batuk-batuk sudah 3 minggu tidak kunjung reda, sudah diperiksa oleh dokterpuskesmas dan diberi obat batuk namun belum ada pernaikan. Keluarga Bapak M tinggal di sebuah rumah semi permanen 4x11 meter di pemukiman yang padat penduduk.

Kedokteran Keluarga

Dokter Keluarga adalah Dokter praktek umum yang menerapkan prinsip-prinsip Kedokteran Keluarga (komprehensif, kontinu, koordinatif, kolaboratif), mengutamakan pencegahan, dengan sasaran keluarga beserta segala aspek dan mengikuti perkembangan ilmu/teknologi Kedokteran mutachir (Evidence Based Medicine,EBM).

Klinik adalah badan usaha satu jenis pelayanan kedokteran rawat jalan. Beberapa klinik melengkapi dirinya dengan rawat inap. Misalnya: Klinik 24 jam, Klinik Dokter Keluarga, Klinik Bedah, dsb. Klinik Dokter Keluarga adalah klinik yang diselenggarakan oleh Dokter Praktek Umum yang menerapkan prinsip-prinsip Kedokteran Keluarga. Klinik Dokter Kluarga sering disertai ruang rawat inap sementara (One Day Care) sebelum mendapat tempat rawat inapdi Rumah Sakit rujukan.

Dalam teori administrasi, manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, penggerakpelaksanaan, dan pengontrolan (Planning, Onganizing, Actuating, Controling) terhadap perangkat administrasi (Man, Money, Material, Mothode). Secara singkat, manajemen adalah proses memfungsikan prangkat administrasi agar menghasilkan satu target (sesuatu yang diharapkan). Manajemen Klinik Dokter Keluarga adalah proses perencanaan dan pengontrolan tenaga, sarana prasarana, dana, metoda, pasar, dsb agar mencapai target. Singkatnya manajemen Klinik Dokter Keluarga adalah proses memfungsikan perangkat Klinik Dokter Keluarga agar mencapai target yang diharapkan.

Prinsip Kedokteran Keluarga

1. Dokter kontak pertama (first contact)

Dokter keluarga adalah pemberi layanan kesehatan (provider) yang pertama kali ditemui pasien/klien dalam masalah kesehatannya.

2. Layanan bersifat pribadi ( personal care)

Dokter keluarga memberikan layanan yang bersifat pribadi dengan mempertimbangkan pasien sebagai bagian dari keluarga.

3. Pelayanan paripurna ( comprehensive)

Dokter keluarga memberikan pelayanan menyeluruh yang memadukan promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan rehabilitasi dengan aspek fisik, psikologis, dan social budaya.

4. Pelayanan bersinambungan (continuous care)

Pelayanan Dokter keluarga berpusat pada orangnya (pasient-centered) bukan pada penyakitnya (diseases-centered).

5. Mengutamakan pencegahan (prevention first)

Karena berangkat dari paradigma sehat, maka upaya pencegahan oleh Dokter keluarga dilaksanakan sedini mungkin.

6. KoordinasiDalam upaya mengatasi masalah pasien Dokter keluarga perlu berkonsultasi dengan disiplin ilmu lainnya.

7. KolaborasiBila pasien membutuhkan pelayanan yang berada diluar kompetensinya, Dokter keluarga bekerjasama dan mendelegasikan pengelolaan pasiennya pada pihak lain yang berkompeten.

8. Family oriented

Dalam mengatasi masalah Dokter keluarga mempertimbangkan konteks keluarga, dampak kondisi pasien terhadap keluarga dan sebaliknya.

9. Community oriented

Dokter keluarga dalam mengatasi masalah pasien haruslah tetap memperhatikan dampak kondisi pasien terhadap komunitas dan sebaliknya.

Tujuan Pelayanan dokter keluarga

Tujuan pelayanan dokter keluarga secara umum dapat dibedakan atas dua macam, yakni :

1. Tujuan umum

Tujuan umum pelayanan dokter keluarga pada dasarnya adalah sama dengan tujuan pelayanan kesehatan secara keseluruhan, yakni terwujudnya keadaan sehat bagi setiap anggota keluarga.

2. Tujuan khusus

Tujuan khusus pelayanan dokter keluarga erat hubungannya dengan sejarah perkembangan pelayanan dokter keluarga di satu pihak serta ciri-ciri pelayanan dokter keluarga di pihak lain. Tujuan khusus yang dimaksud adalah terpenuhinya kebutuhan keluarga akan pelayanan kedokteran yang efektif dan efisien.1

Tugas Dokter Keluarga, meliputi :

a. Menyelenggarakan pelayanan primer secara paripurna menyuruh, dan bermutu guna penapisan untuk pelayanan spesialistik yang diperlukan.

b. Mendiagnosis secara cepat dan memberikan terapi secara cepat dan tepat.

c. Memberikan pelayanan kedokteran secara aktif kepada pasien pada saat sehat dan sakit.

d. Memberikan pelayanan kedokteran kepada nidividu dan keluarganya.

e. Membina keluarga pasien untuk berpartisipasi dalam upaya peningkatan taraf kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan rehabilitasi.

f. Menangani penyakit akut dan kronik.

g. Melakukan tindakan tahap awal kasus berat agar siap dikirim ke rumah sakit.

h. Tetap bertanggung jawab atas pasien yang dirujukan ke Dokter Spesialis atau dirawat di RS.

i. Memantau pasien yang telah dirujuk atau dikonsultasikan

j. Bertindak sebagai mitra, penasihat dan konsultan bagi pasiennya.

k. Mengkoordinasikan pelayanan yang diperlukan untuk kepentingan pasien.

l. Menyelenggarakan rekam medis yang memenuhi standar

m. Melakukan penelitian untuk mengembangkan ilmu kedokteran secara umum dan ilmu kedokteran keluarga secara khusus.2

Epidemiologi

Dalam hal mempertimbangkan kepekaan seseorang terhadap tuberkulosis, resiko mendapatkan infeksi dan yang lain adalah resiko timbulnya penyakit klinik sesudah infeksi terjadi. Resiko mendapatkan infeksi dan timbulnya penyakit klinik tergantung dari adanya infeksi di dalam masyarakat, kepadatan penduduk, keadaan sosial dari populasi tersebut dari tidak tepatnya perawatan medis. Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif yang dapat menularkan kepada orang yang berada di sekelilingnya, terutama kontak erat. Resiko penularan setiap tahun (annual risk of tuberculosis infection: ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita tuberculosis hanya 10% yang akan terinfeksi. Hal ini dipengaruhi daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS.3

WHO memperkirakan bahwa sepertiga populasi dunia, kurang lebih sejumlah 2 bilyun orang terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis.Angka infeksi tertinggi di Asia Tenggara, Cina, India dan Amerika Latin.Data yang dilaporkan WHO Indonesia menempati urutan nomor tiga setelah india dan cina yaitu dengan angka 1,7 juta orang Indonesia, menurut teori apabila tidak diobati, tiap satu orang penderita tuberkulosis akan menularkan pada sekitar 10 sampai 15 orang dan cara penularannya dipengaruhi berbagai factor.

Pada orang dewasa dua pertiga kasus terjadi pada laki-laki, tetapi ada sedikit dominasi tuberculosis pada wanita di masa anak-anak. Pada anak, kebanyakan terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis di rumahnya dari seseorang yang dekat padanya. Orang dewasa yang terinfeksi virus HIV dengan tuberculosis dapat menularkan Mycobacterium tuberculosis ke anak, beberapa darinya berkembang penyakit tuberculosis, dan anak dengan infeksi HIV bertambah resiko berkembang tuberculosis sesudah infeksi.

Situasi Epidemiologi di Indonesia

Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI, tahun 1972 TB menempati urutan ke 3 penyebab kematian menurut SKRT tahun 1980 TB menempati urutan ke 4, dan menurut SKRT tahun 1992, TB menempati urutan nomor 2 sesudah penyakit sistem sirkulasi.

Hasil SKRT tahun 1995 TB merupakan penyebab kematian nomor 3 dari seluruh kelompok usia dan nomor 1 antara penyakit infeksi yang merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia.

Dari hasil survey prevalensi TB yang dilakukan di 15 propinsi tahun 1979-1982 menunjukkan berbagai variasi prevalensi tiap-tiap propinsi.Prevalensi tertinggi 0,74% di propinsi NTT dan terendah di propinsi Bali 0,08%. Hasil dari survey ini menunjukkan prevalensi TB rata-rata 0,29%. Sistem kesehatan nasional menargetkan pengurangan prevalensi BTA (+) sampai angka rata-rata 0,20% ditahun 2000.

Menurut WHO di tahun 1999 diperkirakan angka Insidensi TB di Indonesia sekitar 220 per 100.000 penduduk pertahun. Secara simulasi epidemiologi, maka prevalensi pada awal Pelita VI telah diestimasikan sebesar 24 per 10.000 penduduk. Selanjutnya keadaan ini memberikan gambaran bahwa penderita TB menular saat ini terhadap 450.000 orang dan setiap tahunnya penderita baru akan bertambah sebesar 8 per 10.000 penduduk yaitu 150.000 penderita.

Namun dari data-rekapitulasi hasil penemuam TB kasus Baru Direktorat P2 ML Depkes RI jumlah kasus baru tahun 1996/1997 sebesar 14.647 kasus dan tahun 1997/1998 terjadi peningkatan jumlah kasus Baru menjadi 23.682 kasus. Peningkatan jumlah kasus terjadi hampir disemua propinsi kecuali Propinsi Irja dan Timor-timur.

Data yang didapatkan dari RSUP Persahabatan tahun 1998 dari penderita yang berobat jalan di poliklinik paru terdapat 76,21% kasus infeksi dan 62% diantaranya adalah kasus TB paru BTA (+) dan BTA (-). Pada penderita yang dirawat 53,9% kasus infeksi dan 40% diantaranya kasus TB paru.

Pada bayi umur 1 tahun 32,1 % kematian disebabkan penyakit sistem pernapasan, anak balita gol umur 1-4 tahun. penyakit sistem pernapasan 38,8%, pada kelompok umur 5 14 tahun TB 5,8%, kelompok umur 15 34 tahun TB 3,9%, kelompok umur 35-44 tahun 12,4%, kelompok umur 45-54 tahun sebesar 11,5% pada kelompok umur 55 tahun keatas sebesar 8,7%.

Menarik untuk diketahui pada data tahun 1988/89 dari 585.225 penderita TB penderita terbanyak dikalangan petani (47%), kemudian diikuti pegawai dan buruh (28%), ibu rumah tangga (12%), pedagang (6%), pelajar dan mahasiswa (1%) dan lain-lain (6%). Karena keterbatasan dana, baru 26,4% Puskesmas di Indonesia yang melaksanakan peranan dan pengobatan penderita secara pasif, dengan jangkauan penderita diperkirakan 1,6% (33).1

Periode Prepatogenesis

Faktor Host

Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Terdapat 3 puncak kejadian dan kematian :

Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua penderita

Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita

Puncak sedang pada usia lanjut

Dalam perkembangannya, infeksi pertama semakin tertunda, walau tetap tidak berlaku pada golongan dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan grup sampel usia ini atau tidak terlindung dari resiko infeksi. Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi.Penduduk dengan sosialekonomi rendah memiliki laju lebih tinggi.Aspek keturunan dan distribusi secara familial sulit terinterprestasikan dalam TBC, tetapi mungkin mengacu pada kondisi keluarga secara umum dan sugesti tentang pewarisan sifat resesif dalam keluarga.Kebiasaan sosial dan pribadi turut memainkan peranan dalam infeksi TBC, sejak timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian.Status gizi, kondisi kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku sebagai mekanisme pertahanan umum juga berkepentingan besar.Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi primer memberikan beberapa resistensi, namun sulit untuk dievaluasi.4

FaktorAgent(Mycobacterium tuberculosis)

Karakteristik alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap disifektan kimia atau antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang lama. PadaHost, daya infeksi dan kemampuan tinggal sementaraMycobacterium Tuberculosissangat tinggi. Patogenesis hampir rendah dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisiHost. Sifat resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul setelah penggunaan kemoterapi moderen, sehingga menyebabkan keharusan mengembangkan obat baru. Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi kongenital yang jarang terjadi.4

Etiologi

Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Yang tergolong dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah : 1). M.tuberculosae, 2). Varian Asian, 3). Varian African 4). Varian African II, 5). M.bovis. Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.4

Kelompok kuman Mycobacteria Other Than TB (MOTT, atypical adalah : 1. M.kansasi, 2. M.avium 3. M.intracellulare 4. M.scrofulaceum 5. M. malmacerse, 6. M.xenopi.

Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alcohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan kering (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menajdikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi.

Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid.5

Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.5

Gambar 1. Mycobacterium tuberculosis

Faktor Lingkungan

Distribusi geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian yang besar dan prevalensi menurut tingkat perkembangannya. Penularannya pun berpola sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak geografis.

Keadaan sosial-ekonomi merupakan hal penting pada kasus TBC. Pembelajaran sosiobiologis menyebutkan adanya korelasi positif antara TBC dengan kelas sosial yang mencakup pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan tekanan ekonomi. Terdapat pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi komunitas perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga fisik, penggangguran dan tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang TBC dapat juga menjadi pertimbangan pencetus peningkatan epidemi penyakit ini.

Pada lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulang-ulang dengan hewan ternak yang terinfeksi adalah berbahaya.4

Kesehatan lingkungan tempat tinggal penduduk merupakan salah satu dari factor risiko terjadinya TBC, meliputi :

1. Kepadatan huniankamar tidur

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkanoverload.Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.

Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum3 m2/orang.Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90cm.Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun. Untuk menjamin volume udara yang cukup, di syaratkan juga langit-langit minimum tingginya 2,75m.

2. Pencahayaan

Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.

Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux., kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih redup.

Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama Penularan kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang.

3. Ventilasi

Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar.Hal ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB.

Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam kelembaban(humiditiy)yang optimum.

Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur kamar 22 30C dari kelembaban udara optimum kurang lebih 60%.

4. Kondisi rumah

Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman.Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kumanMycrobacterium tuberculosis.

5. Kelembaban udara

Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22 30C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.

Periode Pathogenesis (InteraksiHost-Agent) 4

Interaksi terutama terjadi akibat masuknyaAgentke dalam saluran respirasi dan pencernaanHost. ContohnyaMycobacteriummelewati barrier plasenta, kemudian berdormansi sepanjang hidup individu, sehingga tidak selalu berarti penyakit klinis. Infeksi berikut seluruhnya bergantung pada pengaruh interaksi dariAgent,Hostdan Lingkungan.

Gambar 2. Patogenesis TB

Basil TB yang masuk ke dalam paru melalui bronkhus secara langsung dan pada manusia yang pertama kali kemasukan disebutprimary infection. Infeksi pertama (primer) terjadi ketika seseorang pertama kali kemasukan basil atau kuman TB umumnya tidak terlihat gejalanya. Dan sebagian besar orang, berhasil menahan serangan kuman tersebut dengan cara melakukan isolasi dengan cara dimakanmacrophages, dan dikumpulkan pada kelenjar regional disekitar hilus paru. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru yang menyebabkan peradangan di dalam paru. Oleh sebab itu, kemudian disebut sebagai kompleks primer. Pada saat terjadi infeksi, kuman masuk hingga pembentukan kompleks primer sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat diketahui dengan reaksi positif pada tes tuberkulin.

Biasanya hal tersebut terjadi pada masa kanak-kanak dibawah umur 1 tahun. Apabila gagal melakukancontainmentkuman, maka kuman TB masuk melalui aliran darah dan berkembang, maka timbulah peristiwa klinik yang disebut TB milier. Bahkan kuman bisa dibawa aliran darah ke selaput otak yang disebut meningitis radang selaput otak yang sering menimbulkansequelegejala sisa yang permanen.

Secara umum tubuh memiliki kemampuan perlawanan, kecuali pada penderita AIDS/HIV. Di Amerika 95% anak-anak tubuhnya mampu melawan kuman TB. Di negara-negara yang mempunyai status gizi buruk, angka tersebut jauh lebih besar. Ada ukuranAnnual Risk of Tubercolosis Infection(ARTI).Indonesia tercatat memiliki ARTI sebesar 1-2%, sedangkan Eropa memiliki ARTI 0,1-0,3%. Pada ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun diantara 1000 orang penduduk akan ada 10 orang yang tertular. Sebagian besar yang tertular belum tentu berkembang menjadi TB klinis, hanya sekitar 10% menjadi TB klinis. Dengan ARTI sebesar 1% maka diantara 100.000 penduduk, rata-rata 1000 orang penderita TB baru setiap tahunnya, dimana 100 orang diantaranya adalah BTA positif.

Sebagian besar dari kuman TB yang beredar dan masuk ke dalam paru orang-orang yang tertular mengalami fase atau menjadidormantdan muncul bila kondisi tubuh mengalami penurunan kekebalan, gizi buruk, atau menderita HIV/AIDS (Achmadi, 2005). TB secara teoritis menyerang berbagai organ, namun terutama menyerang organ paru. Sedangkan pada paru-paru tempat yang paling disukai atau tempat yang sering terkena adalahapical pasterior. Hal ini disebabkan karenaMycrobacterium tubercolocisbersifat aerobik, sedangkan pada daerah tersebut adalah bagian paru-paru yang banyak memiliki oksigen.

Cara penularan

Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan kasus jumlah TB. Proses terjadinya infeksi oleh M.tuberculosis biasanya secara inhalasi , sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya. Penularan penyakit inisebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA).6

Gejala klinis

Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah banyak pasien yang ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah ;

1. Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza, tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41oC. Serangan demam pertama dapat sumbuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali.Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.

2. Batuk/Batuk Darah

Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atang berbulan-bulan peradangan bermula.Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif)kemudian setelah timbul peradangan menjai produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

3. Sesak Napas

Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.

4. Nyeri Dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/ melepaskan napasnya.

5. Malaise

Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.5

UPAYA PREVENTIF

Berkaitan dengan perjalanan alamiah dan perananAgent,Hostdan Lingkungan dari TBC, maka tahapan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :

1. Pencegahan Primer

Health Promotion

Upaya promotif dilakukan dengan beberapa cara:

a. Peningkatan pengetahuan pekerja tentang penanggulangan TBC di tempat kerja melalui pendidikan & pelatihan petugas pemberi pelayanan kesehatan di tempat kerja.

b. Penyuluhan

Materi penyuluhan terdiri dari:

Pengertian TB

Penyebab TB

Tanda dan gejala TB

Cara penularan TB

Cara mencegah penularan TB

Pengobatan TB

Prognosis penyakit TB

Penyebarluasan informasi

Peningkatan kebugaran jasmani

Peningkatan kepuasan kerja

Peningkatan gizi kerja

Spesific Protection

Pencegahan primer merupakan upaya yang dilaksanakan untuk mencegah timbulnya penyakit pada populasi yang sehat. Dalam hal ini dapat diberikan vaksin BCG.

Selain pemberian vaksin, upaya mencegah penularan penyakit TBC, antara lain:

1. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin

2. Meludah hendaknya pada tempat tertentu yang sudah diberi desinfektan (air sabun)

3. Imunisasi BCG diberikan pada bayi berumur 3-14 bulan

4. Menghindari udara dingin

5. Mengusahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke dalam tempat tidur

6. Menjemur kasur, bantal,dan tempat tidur terutama pagi hari

7. Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga mencucinya dan tidak boleh digunakan oleh orang lain

8. Makanan harus tinggi karbohidrat dan tinggi protein

9. Meningkatkan ventilasi rumah

10.Sterilisasi dahak,seprai, sarung bantal,dll dengan menggunakan sinar matahari langsung atau sodium hipoklorit 1%

2. Penceghahan Sekunder

Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar pengontrolan kasus TBC yang timbul dengan 3 komponen utama ;Agent,Hostdan Lingkungan.

Early diagnosis

1. Diagnosis tuberkulosis pada orang dewasa

Diagnosis TBC Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. 1,5,6

Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang

Kalau hasil rontgen mendukung TBC, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TBC positif

Kalau hasil rontgen tidak mendukung TBC maka pemeriksaan dahak SPS diulangi

Apabila fasilitas memungkinkan maka dilakukan pemeriksaan lain misalnya biakan. Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu bila tida ada perubahan namun gejala klinis tetap mencurigakan TBC ulangi pemeriksaan dahak SPS.

Kalau hasil SPS positif diagnosis sebagai penderita TBC BTA positif.

Kalau hasil SPS tetap negatif lakukan pemeriksaan foto rontgen dada untuk mendukung diagnosis TBC.

Bila hasil rontgen mendukung TBC didiagnosis sebagai penderita TBC BTA negatif rontgen positif.

Bila hasil rontgen tidak di dukung TBC penderita tersebut bukan TBC.

UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) yang tidak memiliki fasilitas rontgen penderita dapat dirujuk untuk foto rontgen dada.

Pada saat ini uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan diagnosis TBC pada orang dewasa sebab sebagian besar masyarakat sudah terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis karena tingginya prevalensi TBC. Suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah terpapar dengan mycobacterium tuberculosis dilain pihak hasil uji tuberkulin positif hanya menunjukan bahwa yang bersangkutan pernah terpapar dengan mycobacterium tuberculosis dilain pihak hasil ujituberkulin dapat negatif meskipu orang tersebut menderita tuberkulosis misalnya pada penderita HIV/AIDS malnutrisi berat TBC miller dan morbili. 1,5,6

Gambar 3. Skema Diagnosis TBC Paru pada orang dewasa

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu pagi sewaktu (SPS)

Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjan sesuai dengan indikasinya.

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukan aktifitas penyakit.

Gambar 4: Gambaran pemeriksaan Rontgen dada pasien TBC

2. Diagnosis Tuberkulosis pada anak

Pada anak hal ini sulit dan jarang didapat sehingga sebagian besar diagnosis TBC anak didasarkan atas gambar klinis gambar foto rontgen dada dan uji tuberkulin. Untuk itu penting memikirkan adanya TBC pada anak kalau terdapat tanda tanda yang mencurigakan atau gejala gejala seperti dibawah ini :

1) Seorang anak harus dicurugai menderita tuberkulosis kalau

Mempunyai sejarah kontak erat ( serumah ) dengan penderita TBC BTA positif

Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG ( dalam 37 hari )

Terdapat gejala umum TBC

2) Gejala umum TBC pada anak

Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik (failure to thrive).

Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik (failure to thrive) dengan adekuat.

Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau infeksi saluran nafas akut) dapat disertai keringat malam.

Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit biasanya multipel paling sering di daerah leher ketiak dan lipatan paha (inguinal).

Gejalagejala dari saluran nafas misalnya batuk lama lebih dari 30 hari (setelah disingkirkan sebab lain daribatuk) tanda cairan didada dan nyeri dada.

Gejala-gejala dari saluran cerna misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan di are benjolan (masa) di abdomen dan tanda-tanda cairan dalam abdomen.

3) Gejala spesifik

Gejala-gejala ini biasanya tergantung pada bagian tubuh mana yang terserang misalnya :

TBC Kulit/skrofuloderma

TBC tulang dan sendi :

Tulang punggung ( spondilitis ) : gibbus

Tulang panggul ( koksitis ) : pincang pembengkakan dipinggul

Tulang lutut : pincangdan / atau bengkak tulang kaki dan tangan

TBC Otak dan Saraf:

Meningitis : dengan gejala iritabel kaku kuduk muntah-muntah dan kesadaran menurun

Gejala mata : Konjungtivitis flikten ularis

Tuberkel koroid ( hanya terlihat dengan funduskopi )

4). Uji Tuberkulin ( Mantoux )

Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux ( pernyuntikan intrakutan ) dengan semprit tuberkulin 1 cc jarum nomor 26. Tuberkulin yang dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Diukur diameter transveral dari indurasi yang terjadi. Ukuran dinyatakan dalam milimeter, uji tuberkulin positif bila indurasi >10 mm ( pada gizi baik ), atau >5 mm pada gizi buruk.

Bila uji tuberkulin positif, menunjukkan adanya infeksi TBC dan kemungkinan ada TBC aktif pada anak. Namun uji tuberkulin dapat negatif pada anak TBC dengan anergi ( malnutrisi, penyakit sangat berat pemberian imunosupresif,dll). Jika uji tuberkulin meragukan dilakukan uji ulang.

5) Reaksi Cepat BCG

Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat ( dalam 3-7 hari ) berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium tubercolosis.

6) Foto Rontgen dada

Gambar rontgen TBC paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto biasanya sulit, harus hati-hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau underdiagnosis. Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesar kelenjar hilu atau kelenjar paratrakeal.

Foto rontgen dada sebaiknya dilakukan PA ( postero- Anterior ) dan lateral, tetapi kalau tidak mungkin PA saja.

7) Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi

Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya dilakukan dari bilasan lambung karena dahak sulit didapat pada anak. Pemeriksaan BTA secara biakan ( kultur ) memerlukan waktu yang lama cara baru untuk mendeteksi kuman TBC dengan cara PCR ( Polymery chain Reaction ) atau Bactec masih belum dapat dipakai dalam klinis praktis.

Demikian juga pemeriksaan serologis seperti Elisa, Pap, Mycodot dan lain-lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pemakaian dalam klinis praktis. 1,5

Pengobatan Tuberkulosis

Jenis Dan Dosis OAT

a) Isoniasid ( H )

Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sanat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang,Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.3

b) Rifampisin ( R )

Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi dormant ( persister ) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniasid dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk mengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.

c) Pirasinamid ( Z )

Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB ,sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.

d) Streptomisin ( S )

Bersifat bakterisid . Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama penderita berumur sampai 60 tahun dasisnya 0,75 gr/hari sedangkan unuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari.

e) Etambulol ( E)

Bersifat sebagai bakteriostatik . Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg/BB.1

Prinsip Pengobatan

Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh.Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TBC akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS=Directly Observed Treatment Short Course) oleh seorang pengawas Menelan Obat (PMO).Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan.1

Tahap Intensif

Pada tahap intensif ( awal ) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.1

Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit , namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister ( dormant ) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT Di Indonesia

WHO dan IUATLD (Internatioal Union Against Tuberculosis and lung Disease) merekomendasikan paduan OAT Standar :1

Yaitu :

Kategori 1 :

2HRZE / 4 H3R3

2HRZE / 4 HR

2HRZE / 6 HE

Kategori 2:

2HRZES / HRZE /5H3R3E3

2HRZES / HRZE / 5HRE

Kategori 3:

2HRZ / 4H3R3

2HRZ / 4 HR

2HRZ / 6 HE

Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan paduan OAT

Kategori 1 : 2 HRZE / 4H3R3

Kategori 2 : 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3

Kategori 3 : 2 HRZ / 4H3R3

Disamping ketiga kategori ini disediakan paduan obat sisipan ( HRZE ). Panduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak dengan tujuan untuk memudahkam pemberian obat dan menjamin kelangsungan ( kontinuitas ) pengobatan sampai selesai satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan.1

a) Kategori -1 ( 2HRZE / 4H3R3 )

Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZE ). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari isoniasid ( H) dan Rifampisin ( R ) diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan ( 4 H3R3 ).

Obat ini diberikan untuk :

Penderita baru TBC Paru BTA Positif

Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen positif yang sakit berat dan

Penderita TBC Ekstra Paru berat.

Tabel 1. Panduan OAT kategori 1

Tahap pengobatan

Lamanya pengobatan

Dosis Per hari/kali

Jumlah hari / kali menelan obat

Tablet Isoniazid @300 mg

Kaplet Rifampisin @450 mg

Tablet Pirasinamid @500 mg

Tablet Etambutol @250 mg

Tahap Intensif (Dosis Harian)

2 bulan

1

1

3

3

60

Tahap lanjutan (Dosis 3x seminggu)

2 bulan

2

1

-

-

54

Keterangan ; Dosis tersebut diatas untuk penderita dengan berat badan 33-50 kg

Satu paket kombipak kategori 1 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZE untuk tahap intensif dan 54 blister HRH untuk tahap lanjutan masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar.1

b) Kategori 2 ( 2HRZE / HRZE / 5H3R3E3 )

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z),dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.

Obat ini diberikan untuk :

Penderita kambuh ( relaps )

Penderita Gagal ( failure )

Penderita dengan Pengobatan setelah lalai ( after default )

c) Kategori 3 ( 2HRZ / 4H3R3 )

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan ( 2HRZ ) diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu ( 4H3R3 ).

Obat ini diberikan untuk :

Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan

Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe ( limfadenitis ) pleuritis eksudativa unilateral TBC kulit , tbc tulang ( kecuali tulang belakang ) sendi dan kelenjar aderenal.

d) OAT SISIPAN ( HRZE )

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif diberikan obat sisipan ( HRZE ) setiap hari selama 1 bulan.

Prinsip Pengobatan

Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persister) dapat dibunuh.Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TBC akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS=Directly Observed Treatment Short Course) oleh seorang pengawas Menelan Obat (PMO).Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan.1

Follow Up

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah ( LED ) tidak dapat dipakai untuk memantau kemajuan pengobatan. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan specimen sebanyak dua kali sewaktu dan pagi ) hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif bila salah satu spesimen positif, maka hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pada :

a) Akhir tahap Intensif

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 2 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke 3 pengobatan ulang penderita BTA positif dengan kategori 2.

Pemeriksaan dahak pada akhir tahap intensif dilakukan untuk mengetahui apakah telah terjadi konversi dahak yaitu perubahan dari BTA positif menjadi negatif.

Pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 :

Akhir bulan ke 2 pengobatan sebagian besar ( seharusnya > 80 % ) dari penderita. Dahak nya sudah BTA negatif ( konversi ) . Penderita ini dapat meneruskan pengobatan dengan tahap lanjutan. Jika pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 2 hasilnya masih BTA positif, pengobatan diteruskan dengan OAT sisipan selama 1 bulan. Setelah paket sisipan satu bulan selesai , dahak diperiksa kembali, Pengobatan tahap lanjutan tetap diberikan meskipun hasil pemeriksaan ulang dahak BTA masih tetap positif.

Pengobatan ulang penderita BTA positif dengan kategori 2 :

Jika pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 3 masih positif, tahap intensif harus diteruskan lagi selama 1 bulan dengan OAT sisipan, Setelah satu bulan diberi sisipan dahak diperiksa kembali.Pengobatan tahap lanjutan tetap diberikan meskipun hasil pemeriksaan dahak ulang BTA masih positif. Bila hasil uji kepekaan obat menunjukan bahwa kuman sudah resisten tehadap 2 atau lebih jenis OAT,maka penderita tersebut dirujuk ke unit pelayanan spesialistik yang dapat menangani kasus resisten . Bila tidak mungkin , maka pengobatan dengan tahap lanjutan diteruskan sampai selesai.

Pengobatan penderita BTAnegatif rontgen positif dengan kategori 3 ( ringan ) atau kategori 1 ( berat ) :

Penderita TBC paru BTA negatif , rontgen positif , baik dengan pengobatan kategori 3 ( ringan ) atau kategori 1 (berat) tetap dilakukan pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 2 . Bila hasil pemeriksaan ulang dahak BTA positif maka ada 2 kemungkinan:

1. Suatu kekeliruan pada pemeriksaan pertama ( pada saat diagnsis sebenarnya adalah BTA positif tapi dilaporkan sebagai BTA negatif ).

2. Penderita berobat tidak teratur

Seorang penderita yang diagnosa sebagai penderita BTA negatif dan diobati dengan kategori 3 yang hasil pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 2 adalah BTA positif harus didaftar kembali sebagai penderita gagal BTA positif dan mendapat pengobatan dengan kategori 2 mulai dari awal.

Bila pemeriksaan ulang dahak akhir tahap intensif pada penderita baru dan penderita pengobatan ulang BTA positif , dahak menjadi BTA negatif pengobatan diteruskan ketahap lanjutan. Bila pada pemeriksaan ulang dahak akhir pada tahap akhir intensif penderita BTA negatif Rontgen positif dahak menjadi BTA positif, penderita dianggap gagal dan dimulai pengobatan dari permulaan dengan kategori 2.

b) Sebulan sebelum akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 5 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke 7 pengobatan ulang menderita BTA positif dengan kategori 2.1

c) Ahkir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 6 pengobatan pada penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke 8 pengobatan ulang BTA positif , dengan kategori 2.

Pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan dan akhir pengobatan ( AP) bertujuan untuk menilai hasil pengobatan ( Sembuh atau gagal ). Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak ( follow up paling sedikit 2 kali berturut-turut hasilnya negatif ( yaitu pada AP dan / atau sebulan AP , dan pada satu pemeriksaan follow up sebelumnya ).1

Contoh :

Bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada akhir pengobatan (AP) , pada sebulan sebelum AP, dan pada akhir intensif

Bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada AP dan pada akhit intensif ( pada penderita tanpa sisipan ), meskipun pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum AP tidak diketahui hasilnya.

Bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada AP dan pada setelah sisipan (pada penderita yang mendapat sisipan) meskipun pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum AP tidak diketahui hasilnya.

Bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada sebulan sebelum AP dan pada akhir intensif ( pada penderita tanpa sisipan), meskipun pemeriksaan ulang dahak pada AP tidak diketahui hasilnya.

Bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada sebulan sebelum AP dan pada setelah sisipan (pada penderita yang mendapat sisipan meskipun pemeriksaan ulang dahak pada AP tidak diketahui hasilnya).

Bila penderita menyelesaikan pengobatan lengkap, tapi tidak ada hasil nya pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut turut negatif , maka tidak dapat dinyatakan "sembuh" tetapi dinyatakan sebagai "pengobatan lengkap".

Bila BTA masih positif pada sebulan sebelum AP, pendrita dinyatakan gagal dan pengobatan nya diganti. Bila penderita gagal setelah pengobatan dengan kategori 1 Pengobatan diganti dengan kategori 2 mulai dari awal. Bilapenderita gagal setelah pengobatan dengan katagori 2, penderita dianggap sebagai "kasus kronik" kalau fasilitas laboratorium memungkinkan, dilakukan uji kepekaan atau penderita tersebut dirujuk ke UPK spesialistik. Bila tidak mungkin kepada penderita diberikan tablet isoniasid (INH) seumur hidup.

Pengobatan Tbc Pada Anak

Prinsip dasar pengobatan TBC pada anak tidak berbeda dengan pada orang dewasa tetapi ada beberapa hal yang

memerlukan perhatian :

Pemberian obat baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan diberikan setiap hari,

Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak1

Susunan panduan obat TBC anak adalah 2HRZ/4HR:

Tahap intensif terdiri dari isoniasid ( H), Rifampisin ( R ), dan Pirasinamid ( Z ), selama 2 bulan diberikan setiap hari ( 2 HRZ ). Tahap lanjutan terdiri dari Isoniasid ( H ) dan Rifampisin ( R ) selama 4 bulan diberikan setiap hari ( 4 HR ).1

Tabel 2. Jenis dan Dosis Obat TBC anak.

Jenis Obat

BB < 10 kg

BB 10-20 kg

BB 20-33 kg

Isoniazid

50 mg

100 mg

200 mg

Rifampisin

75 mg

150 mg

300 mg

Pirasinamid

150 mg

300 mg

600 mg

Disability Limitation

Pencegahan (profilaksis) primer

Anak yang kontak erat dengan penderita TBC BTA (+). INH minimal 3 bulan walaupun uji tuberkulin (-). Terapi profilaksis dihentikan bila hasil uji tuberkulin ulang menjadi (-) atau sumber penularan TB aktif sudah tidak ada.

Pencegahan (profilaksis) sekunder

Anak dengan infeksi TBC yaitu uji tuberkulin (+) tetapi tidak ada gejala sakit TBC.Profilaksis diberikan selama 6-9 bulan.3

3. Pencegahan Tersier

Rehabilitasi menrupakan suatu usaha mengurangi komplikasi penyakit. Rehabilitasi merupakan tingkatan terpenting pengontrolan TBC. Dimulai dengan diagnosis kasus berupa trauma yang menyebabkan usaha penyesuaian diri secara psikis, rehabilitasi penghibur selama fase akut dan hospitalisasi awal pasien, kemudian rehabilitasi pekerjaan yang tergantung situasi individu. Selanjutnya, pelayanan kesehatan kembali dan penggunaan media pendidikan untuk mengurangi cacat sosial dari TBC, serta penegasan perlunya rehabilitasi. 1

Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dibahas diatas dapat disimpulkan bahwa hipotesis diterima. Tuberkulosis merupakan masalah global dunia yang perlu ditanggulangi dengan tepat. Jika diterapi dengan benar tuberkulosis yang disebabkan oleh kompleks Mycobacterium tuberculosis, yang peka terhadap obat, praktis dapat disembuhkan. Tanpa terapi tuberkulosa akan mengakibatkan kematian dalam lima tahun pertama pada lebih dari setengah kasus. Puskesmas terutamanya perlu melakukan penyuluhan kepada masyarakat secara teratur dan berkala untuk meningkatkan lagi pengetahuan masyarakat mengenai penyakit ini dan dan penyuluhan itu dilakukan sesuai dengan tingkat pendidikan masyarakat di wilayah tersebut.

Daftar Pustaka

1. Aditama TY, Subuh M, Mustikawati DE, Surya A, Basri C, Kamso S. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta : Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2011. h.1-4, 11-35

2. Soetono, Sadikin, & Zanilda. Membangun Praktek Dokter Keluarga Mandiri. Jakarta : Pengurus Besar IDI. 2006

3. Azwar A. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta : Binarupa Aksara; 1996. h.91-118.

4. Universitas Indonesia (FKUI). Tuberculosis. 2004. Telah diunduh dari http://ui.org/ fk/kuliah/respirasi/tuberculosis.htm.

5. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 5. Jakarta : Interna Publishing; 2009. h.2230-8

6. Pohan I. Tuberkulosis paru. In: Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. hal: 438-50