pembrian obat ok
DESCRIPTION
bmTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tugas tenaga medis adalah mengobati pasien. Dokter gigi sebagai
tenaga medis juga perlu mengetahui tentang hal-hal yang berkaitan tentang obat,
disamping tentunya cara menentukan diagnosis yang tepat. Pemilihan obat yang
tepat tidak hanya jenis obat yang diberikan tetapi juga cara pemberian yang tepat
agar tujuan pengobatan terlaksana dengan optimal. Pengetahuan tentang obat
berkaitan erat dengan ilmu Farmakologi. Farmakologi berasal dari kata
“pharmacon” (obat) dan “logos” (ilmu pengetahuan). Farmakologi didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari obat dan cara kerjanya pada sistem biologis.
Dalam pelayanan kesehatan, obat merupakan komponen yang penting
karena diperlukan dalam sebagian besar upaya kesehatan baik untuk
menghilangkan gejala dari suatu penyakit, obat juga dapat mencegah penyakit
bahkan obat juga dapat menyembuhkan penyakit. Tetapi di lain pihak obat dapat
menimbulkan efek yang tidak diinginkan apabila penggunaannya tidak tepat. Oleh
sebab itu, penyediaan informasi obat yang benar, objektif dan lengkap akan sangat
mendukung dalam pemberian pelayanan kesehatan yang terbaik kepada
masyarakat sehingga dapat meningkatkan kemanfaatan dan keamanan
penggunaan obat.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja tipe-tipe terapi pada pasien?
2. Apa saja cara pemberian obat pada pasien?
3. Apa saja cara pemberian obat yang memiliki efek sistemik?
4. Apa saja cara pemberian obat yang memiliki efek lokal?
5. Apa saja macam-macam sterilisasi yang harus dilakukan?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang tipe-tipe
terapi pada pasien serta cara-cara pemberian obat serta sterilisasi yang harus
dilakukan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Terapi perawatan pasien bergantung pada keparahan, urgensi, dan prognosis
penyakit pasien tersebut. Tipe-tipe terapi perawatan pasien antara lain acute,
maintenance, supportive, palliative, empiric, dan supplemental atau replacement.1
a. Acute therapy adalah terapi untuk pasien dengan penyakit yang kritis
dimana sangat membutuhkan perawatan yang intensif.
b. Maintenance therapy adalah terapi untuk pasien dengan kondisi kronis
yang membutuhkan perawatan sementara mencegah perkembangan penyakit
yang diderita pasien.
c. Supportive therapy bukan digunakan langsung untuk mengobati penyakit
pasien melainkan untuk memonitor keadaan fisik pasien sampai diagnosis
ditemukan.
d. Palliative therapy adalah terapi untuk pasien dengan penyakit yang sudah
tidak dapat disembuhkan secara medis. Terapi ini betujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien.
e. Empiric therapy adalah terapi berdasarkan pengalaman praktikal sembari
menunggu diagnosa. Seperti contoh untuk pasien demam, operator
memberikan terapi empiris antibiotik sembari menunggu hasil pemeriksaan
kultur dan sensitif tes.
f. Supplemental atau replacement therapy adalah terapi untuk pasien yang
kehilangan bagian tubuhnya.
Setelah diagnosa ditegakkan maka terapi selanjutnya adalah terapi dengan
obat-obatan. Absorpsi obat merupakan proses masuknya obat dari tempat
pemberian obat ke dalam darah. Hal ini berhubungan dengan cara dan tempat
pemberian obat, yaitu saluran cerna (mulut hingga rektum), kulit, paru, dan otot.
Cara pemberian obat dibagi berdasarkan efek kegunaan, yaitu efek sistemik dan
lokal.2
3
A. Pemberian Obat untuk Efek Sistemik
1. Per Oral
Pemberian obat per oral merupakan cara yang paling banyak dipakai karena
merupakan cara yang paling mudah, murah, aman, dan nyaman bagi pasien.
Berbagai bentuk obat dapat diberikan secara oral baik dalam bentuk tablet, sirup,
kapsul atau puyer. Pemberian obat per oral dapat disertai dengan pemberian
setengah gelas air yang bertujuan untuk membantu absorbsi obat.3
Kelemahan dari pemberian obat per oral adalah pada aksinya yang lambat
karena tempat absorpsi utama adalah usus halus. Usus halus memiliki permukaan
absorpsi yang luas, yaitu 200 m2 (panjang 280 cm, diameter 4 cm, disertai vili dan
mikrovili), sehingga cara ini tidak dapat dipakai pada keadaan gawat.2 Obat yang
diberikan per oral biasanya membutuhkan waktu 30 sampai 45 menit sebelum
diabsorpsi dan efek puncaknya dicapai setelah 1 sampai 1,5 jam.3
Rasa dan bau obat yang tidak enak sering menganggu pasien. Cara per oral
tidak dapat dipakai pada pasien yang mengalami mual-mual, muntah, semi koma,
pasien yang akan menjalani pengisapan cairan lambung, serta pada pasien yang
mempunyai gangguan menelan.3
Beberapa jenis obat dapat mengakibatkan iritasi lambung dan menyebabkan
muntah (misal garam besi dan salisilat), untuk mencegah hal ini umumnya obat
dipersiapkan dalam bentuk kasul yang diharapkan tetap utuh dalam suasana asam
di lambung dan selanjutnya hancur pada suasana netral atau basa di usus.
Pemberian obat jenis ini, bungkus kapsul tidak boleh dibuka, obat tidak boleh
dikunyah dan pasien diberi tahu untuk tidak minum antasid atau susu sekurang-
kurangnya satu jam setelah minum obat.3
Apabila obat dikemas dalam bentuk sirup, maka pemberian harus dilakukan
dengan cara yang paling nyaman khususnya untuk obat yang pahit atau rasanya
tidak enak. Pasien dapat diberi minuman dingin (es) sebelum minum sirup
tersebut, sesudah minum sirup dapat diberi minum, pencuci mulut, atau kembang
gula.3
4
2. Sublingual
Obat dapat diberikan pada pasien secara sublingual, yaitu dengan cara
meletakkan obat di bawah lidah. Pemberian obat secara sublingual hanya untuk
obat yang sangat larut dalam lemak, karena luas permukaan absorpsi kecil,
sehingga obat harus melarut dan diadsorpsi dengan sangat cepat ke dalam
pembuluh darah.2 Cara ini juga mudah dilakukan dan pasien tidak mengalami
kesakitan. Pasien diberitahu untuk tidak menelan obat karena bila ditelan, obat
menjadi tidak aktif oleh adanya proses kimiawi dengan cairan lambung. Pasien
diinstruksikan untuk membiarkan obat tetap di bawah lidah sampai obat menjadi
hancur dan terserap.3
Obat yang sering diberikan dengan cara ini adalah nitrogliserin yaitu obat
vasodilator yang mempunyai efek vasodilatasi pembuluh darah. Obat ini banyak
diberikan pada pasien yang mengalami nyeri dada akibat angina pektoris. Pasien
dapat merasakan efek obat dalam waktu tiga menit dengan pemberian secara
sublingual.3
Gambar: pemberian obat secara sublingual
3. Bukal
Pemberian obat secara bukal, obat diletakkan antara gigi dengan selaput
lendir pada pipi bagian dalam. Seperti pada pemberian secara sublingual, pasien
dianjurkan untuk memberikan obat pada selaput lendir pipi bagian dalam sampai
obat hancur dan diabsorbsi langsung ke pembuluh darah. Kerja sama pasien
sangat penting karena biasanya pasien akan menelan yang akan menyebabkan
obat menjadi tidak efektif.3,4
5
Cara pemberian ini jarang dilakukan dan pada saat ini hanya jenis preparat
hormon dan enzim yang menggunakan metode ini, misalnya hormon polipeptida
oksitosin pada kasus obstetrik. Hormon oksitosin mempunyai efek meningkatkan
tonus serta motilitas otot uterus dan digunakan untuk memacu kelahiran pada
kasus-kasus tertentu.3
4. Parenteral
Istilah parenteral mempunyai arti setiap jalur pemberian obat selain melalui
enteral atau saluran pencernaan. Lazimnya, istilah parenteral dikaitkan dengan
pemberian obat secara injeksi baik intradermal, subkutan, intramuskular, atau
intravena. Pemberian obat secara parenteral mempunyai aksi kerja lebih cepat
dibanding dengan secara oral. Namun, pemberian secara parenteral mempunyai
berbagai risiko yaitu merusak kulit, menyebabkan nyeri, salah tusuk, dan lebih
mahal. Demi keamanan pasien, tenaga medis harus mempunyai pengetahuan yang
memadai tentang cara pemberian obat secara parenteral termasuk cara
menyiapkan, memberikan obat, dan menggunakan teknik steril.3,4,5
Perawat harus mengetahui dan dapat menyiapkan peralatan yang benar
dalam memberikan obat secara parenteral, yaitu: alat suntik (spuit/syringe), jarum,
vial, dan ampul. Menurut bentuknya spuit mempunyai tiga bagian yaitu bagian
ujung yang berkaitan dengan jarum, bagian tabung, dan bagian pendorong obat.
Dilihat dari bahan pembuatnya spuit dapat berupa spuit kaca (jarang digunakan)
dan spui plastik (spuit disposible). Ditinjau dari penggunaanya, spuit dapat
dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu spuit standar hipodermik, spuit insulin, dan
spuit tuberkulin.3
Jarum merupakan alat pelengkap spuit. Jarum injeksi terbuat dari bahan
stainless yang mempunyai ukuran panjang dan besar yang bervariasi. Jarum
mempunyai ukuran panjang berkisar antara 1,27 sampai dengan 12,7 cm. Besar
jarum dinyatakan dengan satuan gauge antara nomor 14 sampai dengan 28 gauge.
Semakin besar ukuran gauge-nya semaki kecil diameternya. Diameter yang besar
dapat menimbulkan rasa sakit saat ditusukkan. Penggunaan ukuran jarum ini
disesuaikan dengan keadaan pasien yang meliputi umur, gemuk/kurus, jalur yang
akan dipakai, dan obat yang akan dimasukkan.3,4,5
6
Cairan obat untuk diberikan secara parenteral biasanya dikemas dalam
ampul atau vial. Ampul biasanya terbuat dari bahan gelas. Sebagian besar bagian
leher ampul mempunyai tanda bewarna melingkar yang dapat dipatahkan. Bila
bagian leher tidak mempunyai tanda berarti bagian pangkal leher harus digergaji
dengan geraji ampul sebelum dipatahkan. Vial mempunyai ukuran yang
bervariasi. Bagian penutupnya biasanya terbuat dari plastik yang dilindungi
dengan logam.3,4,5
Vial dibuka dengan cara membuka logam tipis penyegel bagian atas vial
sehingga bagian karet akan kelihatan. Cairan obat diambil dengan cara
menusukkan jarum spuit pada karet penutup vial.3,4,5
Cara Kerja Menyiapkan Obat dari Ampul dan Vial :
1. Siapkan peralatan meliputi :
a. Vial atau ampul yang berisi cairan obat steril
b. Kapas alkohol
c. Jarum dan spuit sesuai ukuran yang dibutuhkan
d. Air steril atau normal salin bila diperlukan
e. Kassa pengusap
f. Turniket untuk injeksi intravena
g. Kartu obat atau catatan rencana pengobatan
2. Periksa dan yakinkan bahwa order pengobatan dan cara pemberiannya telah
akurat.
3. Siapkan ampul atau vial yang berisi obat sesuai yang diperlukan dan
kemudian buka dengan cara sebagai berikut :
a. Untuk ampul: pegang ampul dan bila cairan obat banyak terletak di bagian
kepala, jentiklah kepala ampul atau putar ampul beberapa kali sehingga
obat akan turun ke bawah. Bila perlu bersihkan bagian leher ampul. Ambil
kassa steril letakkan diantara ampul dan ibu jari dengan jari-jari anda
kemudia patahkan leher ampul ke arah berlawanan dengan anda.
b. Untuk vial : Bila perlu campur larutan dengan memutar-mutar vial dalam
genggaman anda (buka dengan mengocok). Buka logam penyegel
kemudian disinfeksi karet vial dengan kapas alkohol 70%.
7
4. Ambil cairan obat dengan cara sebagai berikut :
a. Untuk obat dalam ampul; sebaiknya gunakan jarum berfilter. Buka
penutup jarum kemudian secara hati-hati masukkan jarum yang terpasang
pada spuit ke dalam ampul dan hisap cairan sesuai yang dibutuhkan. Bila
spuit akan digunakan untuk injeksi, ganti jarum filter dengan jarum biasa.
b. Untuk obat dalam vial; pasang jarum berfilter pada spuit, buka penutup
jarum dan tarik pengokang spuit agar udara masuk ke tabung spuit. Secara
hati-hati tusukkan jarum di tengah karet penutup vial lalu masukkan udara.
Pertahankan jarum tidak menyentuh cairan obat hingga udara tidak
membuang gelembung. Pegang vial sejajar dengan mata lalu tarik obat
secukupnya secara hati-hati. Tarik spuit dari vial kemudian tutup jarum
dengan kap penutup lalu ganti jarum pada spuit dengan jarum biasa.
c. Bila obat berbentuk bubuk (powder), bacalah cara penggunaannya. Obat
injeksi bentuk bubuk harus dibuat dalam larutan dulu sebelum diambil.
Untuk membuat larutan obat bubuk maka sebelum dibuat larutan, hisap
udara dalam vial yang berisi obat tersebut dengan spuit (kecuali untuk obat
yang tidak diperbolehkan). Masukkan air steril atau cairan lain sesuai yang
dibutuhkan ke dalamnya, kemudian putar-putar vital sampai obat menjadi
larutan. Bila obat merupakan multidosis, beri label pada vial tersebut
tentang tanggal dicampur, banyaknya obat dalam vial dan tanda tangan
anda. Bila perlu disimpan, baca cara penyimpanannya sesuai yang
dianjurkan oleh pabrik farmasi.
d. Bila obat perlu dicampur dari beberapa vial misalnya dua vial, maka
perawat harus berupaya mencegah tercampurnya obat pada kedua vial
tersebut. Cara mencampur obat dari dua vial adalah masukkan udara
secukupnya pada vial A dan jaga jarum tidak menyentuh cairan. Lalu
cabut jarum kemudian hisap udara secukupnya lalu masukkan pada vial B.
Hisap cairan obat dari B sesuai yang diperlukan kemudian cabut spuit
tersebut. Ganti jarum kemudian tusukkan pada vial A dan hisap cairan obat
dari vial A sesuai yang diperlukan berikutnya cabut spuit dari vial A.
8
a. Injeksi Intradermal
Injeksi intradermal atau intrakutan merupakan injeksi yang ditusukkan pada
lapisan dermis atau di bawah epidermis/permukaan kulit. Injeksi ini dilakukan
secara terbatas, karena hanya sejumlah kecil obat yang dapat dimasukkan. Cara ini
lazim digunakan untuk test tuberkulin dan test untuk mengetahui reaksi alergi
terhadap obat tertentu serta vaksinasi. Kadang-kadang cara ini digunakan pada
anastesi lokal kemudian dilanjutkan untuk injeksi pada area yang lebih dalam.
Area yang lazim digunakan untuk injeksi intradermal adalah lengan bawah bagian
dalam, dada bagian atas dan punggung pada area skapula.3,4,5
Cara kerja :
1. Siapkan peralatan antara lain :
a) Spuit ukuran 1ml dengan kalibrasi ratusan mililiter
b) Jarum dengan ukuran sesuai kebutuhan, biasanya nomor 25, 26 atau 27
gauge, panjang ¼ sampai dengan 5/8
c) Kapas alkohol
d) Buku pengobatan dan instruksi pengobatan.
2. Beritahu pasien
3. Siapkan area yang akan diinjeksi misalnya lengan kanan atau lakukan
desinfeksi dengan kapas alkohol
4. Pegang erat lengan pasien dengan tangan kiri dan tangan satunya memegang
spuit ke arah pasien
5. Tusukkan spuit dengan sudut 15º pada epidermis kemudian teruskan sampai
dermis lalu dorong cairan obat. Obat ini akan menimbulkan tonjolan di bawah
permukaan kulit
6. Cabut spuit, usap pelan-pelan area penyuntikan dengan kapas antiseptik tanpa
memberikan masage (masage dapat menyebabkan obat masuk ke jaringan
atau keluar melalui lubang injeksi).
b. Injeksi Subkutan/sc
Injeksi subkutan diberikan dengan menusuk area di bawah kulit yaitu pada
jaringan konektif atau lemak di bawah dermis. Setiap jaringan subkutan dapat
dipakai untuk area injeksi ini. Area yang lazim adalah pada lengan atas bagian
9
luar, paha bagian depan, perut, area skapula, ventrogluteal, dan dorsogluteal.
Injeksi tidak diberikan pada area yang nyeri saja, merah, pruritis atau edema. Pada
pemakaian injeksi subkutan jangka lama, maka injeksi perlu direncanakan untuk
diberikan secara rotasi pada area yang berbeda.3,4,5
Jenis obat yang lazim diberikan secara subkutan adalah vaksin, obat-obatan
preoperasi, narkotik, insulin, dan heparin.
Cara kerja :
1. Siapkan peralatan yang berupa :
a. Buku catatan rencana/order pengobatan.
b. Vial atau ampul berisi obat yang diberikan.
c. Spuit dan jarum steril (spuit 2 ml, jarum ukuran 25 gauge, 5/8 – ½ inci).
d. Kapas antiseptik steril.
e. Kassa steril untuk membuka ampul (bila diperlukan)
2. Masukan obat dari vial atau ampul ke dalam tabung spuit dengan cara yang
benar.
3. Beritahu pasien dan atur dalam posisi yang nyaman (jangan keliru
pasien;bantu pasien pada posisi yang mana lengan, kaki, atau perut yang akan
digunakan injeksi dapat rileks).
4. Pilih area tubuh yang tepat, kemudian usap dengan kapas antiseptik dari
tengah keluar secara melingkar sekitar 5 cm menggunakan tangan yang tidak
untuk menginjeksi.
5. Sipakan spuit, lepas kap penutup secara tegak lurus sambil menunggu
antiseptik kering dan keluarkan udara dari spuit.
6. Pegang spuit dengan salah satu tangan antara jempol dan jari-jari pada area
injeksi dengan telapak tangan menghadap ke arah samping atau atas untuk
kemiringan 45º atau dengan telapak tangan menghadap ke bawah untuk
kemiringan 45º. Gunakan tangan yang tidak memegang spuit untuk
mengangkat atau merentangkan kulit, lalu secara hati-hati dan mantap tangan
yang lain menusukan jarum. Lakukan aspirasi, bila muncul darah maka
segera cabut spuit untuk dibuang dan diganti spuit dan obat baru. Bila tidak
muncul darah, maka pelan-pelan dorong obat ke dalam jaringan.
10
7. Cabut spuit lalu usap dan pijat pada area injeksi. Bila tempat penusukkan
mengeluarkan darah, maka tekan area tusukkan dengan kassa steril kering
sampai perdarahan berhenti.
8. Buang spuit pada tempat pembuangan secara benar.
9. Catat tindakan yang telah dilakukan.
10. Kaji keefektifitasan obat.
Gambar: injeksi subkutan
c.Injeksi Intramuskular/im
Injeksi intramuskular dilakukan dengan beberapa tujuan yaitu untuk
memasukkan obat dalam jumlah yang lebih besar dibanding obat yang diberikan
melalui subkutan. Absorbsi juga lebih cepat dibanding dengan pemberian obat
pemberian secara subkutan karena lebih banyak suplai darah di otot tubuh.
Pemberian dengan cara ini dapat pula mencegah/mengurangi iritasi obat, namun
cara ini dapat menyebabkan luka pada kulit dan rasa nyeri serta takut pada
pasien.3
Beberapa lokasi pada tubuh dapat digunakan untuk injeksi intramuskular.
Namun, yang lazim digunakan adalah deltoid, dorsogluteal, ventrogluteal, vastus
lateralis, dan rektus femoris.Area-area tersebut digunakan karena berbagai alasan
antara lain karena massa otot yang besar, vaskularisasi baik, dan jauh dari syaraf.
Dalam pelaksanaan yang harus dipertimbangkan adalah usia pasien, ukuran, dan
kondisi dari otot yang akan diinjeksi. Hal ini bertujuan untuk menghindari obat
salah masuk pada jaringan subkutan, maka pada saat menginjeksi jarum diatur
pada posisi tegak lurus 90º.3
Area Deltoid. Area ini dapat ditemukan pada lengan atas bagian luar. Area
ini jarang digunakan untuk injeksi intramuskular karena mempunyai risiko besar
11
terhadap bahaya tertusuknya pembuluh darah, mengenai tulang atau serabut saraf.
Cara sederhana menentukan lokasi injeksi pada deltoid adalah dengan cara
meletakkan dua jari secara vertikal di bawah akromion, dengan jari yang atas di
atas akromion. Lokasi injeksi adalah tiga jari di bawah akromion.3
Area Dorsogluteal. Dalam melakukan injeksi dorsogluteal harus teliti dan
hati-hati sehingga injeksi tidak mengenai syaraf skiatik dan pembuluh darah.
Lokasi ini dapat digunakan pada orang dewasa dan anak-anak di atas usia 3 tahun,
lokasi ini tidak boleh digunakan pada anak-anak di bawah 3 tahun karena pada
kelompok usia ini otot dorsogluteal belum berkembang.3
Salah satu cara menentukan lokasi dorsogluteal adalah dengan cara
membagi area gluteal menjadi kuadran-kuadran. Area gluteal tidak hanya terbatas
pada bokong saja, tetapi memanjang ke arah krista iliaka. Area injeksi dipilih pada
area kuadran luar atas.3
Area injeksi dorsogluteal dapat pula ditentukan dengan cara menarik garis
bayangan dari spina iliaka posterior superior menuju trokanter besar. Injeksi
dilakukan pada area lateral dan superior terhadap garis bayangan. Untuk
menempatkan area ini dengan jelas, pakaian yang menutupi bokong harus dibuka
secara penuh dan pasien diatur berbaring menghadap ke bawah dalam posisi
pronasi dengan kedua tangan diatas kedua sisi tempat tidur dan kedua kaki diputar
ke ke dalam. Posisi ini akan membantu relaksasi otot gluteus dan relaksasi pasien
yang diinjeksi. Selain posisi pronasi, pasien dapat pula diatur dalam posisi miring
ke samping dengan kaki yang di atas ditekuk pada pangkal paha dan lutut serta
diletakkan di depan kaki bawah yang diatur lurus.3
Area ventrogluteal. Area ini juga disebut area area Von Hochstetter. Area
ini paling banyak dipilih untuk injeksi intramuskular karena pada area ini tidak
terdapat pembuluh drah dan saraf besar. Area ini juga jauh dari anus sehingga
tidak atau kurang terkontaminasi. Dalam melakukan injeksi pada area ini, pasien
dapat diatur dalam posisi berbaring telentang, tengkurap (pronasi), duduk atau
berbaring ke samping. Untuk mendapatkan area ini, misalnya bila pasien diatur
miring ke samping kanan, operator meletakkan telapak tangan pada trokanter
mayor dengan jari-jari menghadap ke arah kepala (perhatikan jangan sampai
keliru dengan krista iliaka superior). Jari tengah diletakkan pada pada spina iliaka
12
anterior superior dan direntangkan menjauh membentuk suatu area berbentuk
huruf V. Jarum injeksi ditusukkan di tengah-tengah area ini.3
Area vastus lateralis. Area ini terletak antara sisi median anterior dan sisi
midlateral paha. Otot vastus lateralis biasanya tebal dan tumbuh secara baik pada
orang dewasa dan anak-anak. Bila melakukan injeksi pada bayi, disarankan
menggunakan area ini karena pada area ini tidak terdapat serabut saraf dan
pembuluh darah besar. Area injeksi disarankan pada sepertiga bagian yang tengah.
Area ini ditentukan dengan cara membagi area antara trokanter mayor sampai
dengan kondila femur lateral menjadi tiga bagian lalu pilih area tengah untuk
lokasi injeksi. Untuk melakukan injeksi ini, pasien dapat diatur miring atau duduk.
Cara kerja injeksi intramuskular :3.4.5
1. Pastikan tentang adanya order pengobatan
2. Siapkan peralatan yang terdiri dari :
a. Kartu pengobatan/rencana order pengobatan
b. Obat steril dalam ampul atau vial
c. Spuit beserta jarum stteril (ukuran tergantung dengan yang diperlukan)
d. Kapas pengusap dalam larutan antiseptik
e. Kaca steril (bila diperlukan untuk membentuk ampul).
3. Siapkan obat dengan mengambil obat dari ampul atau vial sesuai dengan
jumlah yang dikehendaki (baca pada cara kerja menyiapkan obat dari vial
atau ampul).
4. Yakinkan bahwa pasien benar dan beritahu pasien tentang tindakan yang akan
dilakukan, kemudian bantu mengatur posisi yang aman.
5. Buka pakaian, selimut atau kain yang menutupi area yang akan diinjeksi.
6. Tentukan lokasi penyuntikan, pilihlah area yang bebas dari lesi, nyeri tekan,
bengkak dan radang. Bersihkan kulit dengan pengusap antiseptik secara
melingkar dari dalam ke luar.
7. Siapkan spuit yang sudah berisi obat buka penutup jarumnya dengan hati-
hati, dan keluarkan udara dalam spuit.
8. Gunakan tangan yang tidak memegang spuit untuk membentangkan kulit
pada area yang akan ditusuk, pegang spuit antara jempol dan jari-jari
kemudian tusukkan jarum secara tegak lurus pada sudut 90º.
13
9. Lakukan aspirasi untuk mengecek apakah jarum tidak mengenai pembuluh
darah dengan cara menarik pengokang. Bila terhisap darah maka akan segera
cabut spuit, buang dan ganti yang baru. Bila tidak terhisap darah, maka
perlahan-lahan masukkan obat dengan cara mendorong pengokang spuit.
10. Bila obat sudah masuk semua maka segera cabut spuit dan lakukan masage
pada area penusukan.
11. Rapikan pasien dan atur dalam posisi yang nyaman.
12. Buang spuit pada tempat yang disediakan, bereskan peralatan.
13. Observasi keadaan pasien dan catat tindakan.
d.Injeksi Intravena/iv
Jalur vena dipakai khususnya untuk tujuan agar obat yang diberikan dapat
beraksi dengan cepat misalnya pada situasi gawat darurat, obat dimasukkan ke
dalam vena sehingga obat langsung masuk sistem sirkulasi yang menyebabkan
obat dapat berreaksi lebih cepat dibanding dengan cara enteral atau parenteral
yang lain yang memerlukan waktu absorbsi.3
Pemberian obat intravena dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pada
pasien yang tidak dipasang infus, obat diinjeksikan langsung pada vena. Bila cara
ini yang digunakan, maka biasanya dicari vena besar yaitu vena basilika atau vena
sefalika pada lengan. Pada pasien yang dipasang infus, obat dapat diberikan
melalui botol infus atau melaui karet pada selang infus yang dibuat untuk
memasukkan obat.3
Perawat harus mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang memadai
untuk memasukkan obat melaui vena, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam
pelaksanaan atau menyebabkan berbagai masalah yang fatal bagi pasien misalnya
terjadi emboli udara. Perawat juga harus mampu mencari vena yang tepat untuk
penusukan. Jangan lakukan penusukan sebelum yakin mendapatkan vena yang
mudah ditusuk. Pengulungan tusukan dapat menyebabkan rasa sakit dan rasa takut
pada pasien.3
Pasien yang terpasang infus sering mendapat order obat yang dimasukkan
secara intravena. Pada pasien ini, perawat tidak perlu membuat tusukan baru lagi,
tetapi dapat memasukkan obat melalui karet pada pipa infus yang dirancang untuk
14
memasukkan obat atau melalui botol infus. Perawat harus memerhatikan teknik
aseptik dalam melakukan tindakan ini, yaitu dengan mengusap tempat yang akan
ditusuk dengan kapas antiseptik. Klem infus dimatikan selama obat dimasukkan
dan bila sudah selesai, kecepatan tetesan diatur kembali. Setiap penambahan obat
melalui pipa atau botol infus, buat label pada botol infus, angkat dan goyangkan
botol agar obat dapat campur, observasi keadaan pasien dan catat tindakan anda
pada buku catatan pengobatan atau status kesehatan pasien.3,4,5
Cara kerja memberikan obat intravena :
1.Pastikan tentang adanya order pengobatan.
2.Siapkan peralatan yang terdiri dari :
a. Kartu pengobatan/rencana order pengobatan
b. Spuit steril yang berisi obat steril
c. Kapas pengusap dalam larutan antiseptik
d. Turniket
3.Yakinkan bahwa pasien benar dan beritahu pasien tentang tindakan yang akan
dilakukan, kemudian bantu mengatur posisi yang nyaman.
4.Tentukan dan cari vena yang akan ditusuk (misalnya vena basilika dan vena
sefalika, buka kain yang menutupi vena.
5.Bila vena sudah ditemukan misal vena basilika, atur lengan lurus dan pasang
turniket misal vena benar-benar dapat dilihat dan diraba kemudian bersihkan
dengan kapas pengusap antiseptik.
6.Siapkan spuit yang sudah berisi obat. Bila dalam tabung masih terdapat udara,
maka udara harus dikeluarkan.
7.Pelan tusukkan jarum ke dalam vena dengan posisi jarum sejajar dengan vena.
Untuk mencegah vena tidak bergeser tangan yang tidak memegang spuit
dapat digunakan untuk untuk menahan vena sampai jarum masuk vena.
8.Lakukan aspirasi dengan cara menarik pengokang spuit. Bila terhisap darah,
lepas turniket dan dorong obat pelan-pelan ke dalam vena.
9.Setelah obat masuk semua, segera cabut spuit dan buang di tempat pembuangan
sesuai prosedur.
10.Rapikan pasien dan atur dalam posisi yang nyaman.
11.Observasi keadaan pasien dan catat tindakan.
15
Gambar: Ilustrasi pemberian obat secara parenteral
5. Per Rektal
Pemberian obat secara rektal dapat dipakai baik untuk mendapatkan suatu
efek lokal maupun sistemik. Obat-obat yang diabsorpsi melalui rektum masuk ke
sirkulasi sistemik tanpa melalui hepar (misalnya progesteron dan testosteron).6
Alasan lain memberikan obat per rektal adalah untuk menghindari efek
iritasi obat pada lambung. Cara ini juga dapat digunakan untuk penderita yang
tidak sadar, muntah-muntah atau penderita yang tidak bisa menelan pil. Absorpsi
obat memalui rektum ini sering bersifat tidak teratur dan tidak sempurna, serta
banyak juga obat yang mengiritasi mukosa rektum.2,6
Gambar: pemberian obat per rektal
16
B. Pemberian Obat untuk Efek Lokal
1. Pervaginum
Bentuknya hampir sama dengan obat rektal, dimasukkan ke vagina,
langsung ke pusat sasar. Contoh obat yang diberikan secara pervaginum adalah
obat untuk keputihan atau jamur.7
2. Topikal
Pemberian obat-obatan secara topikal hanya diberikan pada tempat tertentu
pada kulit. Obat tersebut bekerja paling kuat pada lokasi tersebut. Obat-obatan itu
diserap melalui kulit dan kemudian akan disebarkan ke seluruh tubuh. Pada
pemberian secara lokal dapat digolongkan sebagai salep atau lotion dan obat tetes
mata, hidung, dan telinga.7
3. Inhalasi
Pemberian obat-obatan melalui inhalasi adalah pemberian obat-obatan
melalui saluran pernafasan langsung ke paru-paru. Pemberian obat secara inhalasi
dapat menggunakan alat inhalator, alat penguap, dan ketel uap.7
Keuntungannya yaitu absorpsi terjadi cepat dan homogen, kadar obat dapat
dikontrol, terhindar dari efek lintas pertama, dapat diberikan langsung pada
bronkus. Kerugiannya yaitu, sukar mengatur dosis, sering mengiritasi epitel paru,
toksisitas pada jantung.7
Gambar: Pemberian obat inhalasi
17
4. Mukosa Mata dan Telinga
Pemberian obat pada mata dan telinga diberikan melalui selaput atau
mukosa mata dan telinga sehingga langsung memberikan efek lokal pada mata
atau telinga. Jenis obat biasanya dapat diberikan dengan irigasi atau instilasi.
Irigasi umumnya bertujuan untuk pembersihan. Obat untuk mata diinstilasi dalam
bentuk cair atau salep.8
5. Intra Nasal
Pemberian obat jenis ini diberikan melalui selaput lendir hidung untuk
mengurangi imflamasi. Bentuk sediaan umumnya adalah obat tetes. Posisi pasien
perlu diperhatikan saat memberikan obat intra nasal, yaitu pasien harus dalam
keadaan telentang dan kepala melebihi ujung kasur.8
18
C. Penggunaan Obat yang Rasional dalam Praktek
WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia
diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari
pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Tujuan pengobatan secara rasional
untuk menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan
kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dengan harga yang terjangkau.
Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:
a. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang
tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan
terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang
diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
b. Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya
dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
c. Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang
memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
d. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi
obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan
rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping.
Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi
yang diharapkan.
e. Tepat Cara Pemberian
Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan,
sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya.
19
f. Tepat Interval Waktu Pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis,
agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari
(misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang
harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum
dengan interval setiap 8 jam.
g. Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masingmasing.
Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan.
Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian
obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh
terhadap hasil pengobatan.
f. Waspada terhadap efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka
merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan
vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan
pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan
tulang yang sedang tumbuh.
h. Tepat penilaian kondisi pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas
terlihat pada beberapa jenis obat, oleh karena itu perlu pertimbangan pada saat
pemberian obat.
i. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta
tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau.
Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar
obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan
mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang
pengobatan dan klinis. Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsen
yang menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan dibeli melalui
jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia harus dan telah menerapkan
CPOB.
20
j. Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting
dalam menunjang keberhasilan terapi
k. Tepat tindak lanjut (follow-up)
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan
upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau
mengalami efek samping. Sebagai contoh, terapi dengan teofilin sering
memberikan gejala takikardi. Jika hal ini terjadi, maka dosis obat perlu ditinjau
ulang atau bisa saja obatnya diganti. Demikian pula dalam penatalaksanaan syok
anafilaksis, pemberian injeksi adrenalin yang kedua perlu segera dilakukan, jika
pada pemberian pertama respons sirkulasi kardiovaskuler belum seperti yang
diharapkan.
l. Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai\ penyerah
obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek atau
tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan obat
yang dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada
pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar
pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan obat juga
petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien.
m. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan, ketidaktaatan
minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:
- Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
- Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
- Jenis sediaan obat terlalu beragam
- Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
- Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara
minum/menggunakan obat
- Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau efek
ikutan (urine menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa diberikan penjelasan
terlebih dahulu.
21
D. Sterilisasi
22
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
berbagai jenis terapi pada pasien serta berbagai cara pemberian obat yang tepat
pada pasien berdasarkan efek yang dihasilkan yaitu efek sistemik dan efek lokal.
SARAN
Berdasarkan makalah diatas, diharapkan semua pembaca terutama tenaga
medis dapat mengetahui dan memahami tipe-tipe terapi pada pasien serta cara
pemberian obat yang baik dan benar agar tujuan pengobatan tercapai.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Williams, Lippincott dan Wilkins. 2006. Portable Pathophysiology. USA :
Lippincott Williams and Wilkins Publisher.
2. Syarif, Amir dkk. 2007. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Badan
Penerbit FK UI.
3. Priharjo, Robert. 1994. Teknik Dasar Pemberian Obat Bagi Perawat.
Jakarta: EGC.
4. Hidayat, Aziz Alimul, Musrifatul Uliyah. 2008. Praktikum Keterampilan
Dasar Praktik Klinik: Aplikasi Dasar-Dasar Praktik Kebidanan. Jakarta:
Salemba Medika.
5. Hidayat, Aziz Alimul, Musrifatul Uliyah. 2004. Buku Saku Praktikum
Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC.
6. Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK Unsri. 2008. Kumpulan Kuliah
Farmakologi: Edisi 2. Jakarta: EGC.
7. Stevens, bordui, dan van der weyde. 1999. Ilmu Keperawatan. Jakarta:
EGC.
8. Berman, Audrey dkk. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis: Edisi 5.
Jakarta: EGC.
24